bab i pendahuluan 1.1. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Dalam berinteraksi, prinsip kesantunan dalam berbahasa yang sangat
memperhatikan perasaan orang lain menjadi hal penting demi keharmonisan
sosial. Akan tetapi, prinsip kesantunan tersebut, pada praktiknya bisa dilanggar
oleh penutur. Semakin pesatnya penggunaan teknologi komunikasi, internet atau
dunia maya menjadi wadah baru yang berisiko bagi aksi untuk mengungkapkan
hal-hal yang dapat dinilai tidak santun secara terbuka.
Dalam penelitian ini, ketidaksantunan diduga kerap disampaikan oleh
kelompok yang menamakan diri haters (pembenci) salah satu artis terkenal di
Indonesia. Kebebasan berekspresi, dewasa ini, juga diduga menjadi salah satu
latar belakang para pelaku menggungkapkan ketidaksukaannya pada sesuatu,
termasuk para haters. Istilah haters dibentuk dari kata berbahasa Inggris hate
ditambah dengan akhiran –er. Kata haters mengikuti pola kata player, eater,
ataupun walker, di mana dalam bahasa Inggris apabila bentuk dasar dilekatkan
dengan imbuhan akhir –er, kata tersebut memiliki arti ‘pelaku’, sehingga kata
player berarti ‘pemain’, eater berarti ‘pemakan’, dan walker berarti ‘pejalan kaki’.
Dengan begitu kata haters menjadi kata populer di Indonesia untuk memberikan
arti ‘pembenci’ dengan akhiran –s yang berarti jamak menjadi ‘pembenci-
pembenci’.
2
Sebagai public figure, selain memiliki penggemar (fans) yang sangat
banyak, artis-artis itu juga memiliki haters. Salah satu komunitas haters yang
cukup banyak pengikutnya adalah haters Ayu Ting Ting (ATT). ATT dikabarkan
memiliki jumlah haters kedua terbesar di Indonesia setelah Mulan Jameela. Hal
ini tampak dari jumlah pengikut di jejaring sosial Instagram hingga mencapai
puluhan ribu dan telah mencapai lebih dari 500 unggahan, seperti akun Instagram
@ayting_nyablak_nemplok, @komentatorpedas, @dramakuin dan
@ayutingtliciousgresekgrepek.
Salah satu contoh tuturan yang pernah disampaikan oleh salah satu
pengikut akun haters @ayting_nyablak_nemplok sebagai berikut.
(1) Masi anak siji da kendor kek nenek2 #boikotayutingting
(2) Anak satu tapi yg ditetein banyak. Namanya juga pelacur (Datum 1.a)
Tuturan (1) disampaikan untuk mengomentari gambar 1, sementara
tuturan (2) tampak mendukung dan merespons tuturan sebelumnya. Gambar di
Gambar 1: Datum 1
3
atas merupakan konteks visual yang diunggah untuk menjadi acuan tuturan (1)
dan (2). Pada gambar tersebut terlihat adanya penambahan tanda khusus berupa
tanda panah () berwarna merah yang menunjuk pada payudara Ayu Ting Ting.
Kata kendor dalam tuturan (1) belum tentu bisa dimengerti apabila pembaca tidak
memberhatikan konteks visual tersebut. Kata tersebut mengacu pada tanda panah
yang sengaja dihadirkan oleh pengunggah. Ada indikasi tidak santun dalam
menyampaikan tidak suka terhadap Ayu Ting Ting. Hal ini dinilai melalui (1)
topik pembicaraan yang sangat intim dan pribadi sengaja diangkat untuk
menghina, serta (2) ejekan pelacur untuk ATT. Pelacur adalah sebutan untuk
Wanita Tuna Susila (WTS).
(3) Nah... sopo mau bisnis ama ubul tukibul... Hati” ntar ujung ujung ne atiit atii.... coZ pan ubul mata uangan... Nyang penting uang uang uang. Sahabat no belakang. #boikotayuayutingting
(Datum 8) Tuturan (3) disampaikan oleh akun @ayting_nyablak_nemplok. Pada
tuturan tersebut terdapat variasi bahasa, yaitu kata tukibul yang merupakan
kependekan dari bahasa gaul “tukang kibul” artinya “tukang bohong”.
Penggunaan kata ini sekaligus menunjukkan adanya indikasi penghinaan juga
disampaikan untuk memengaruhi pembaca agar memiliki pikiran yang sama
tentang Ayu Ting Ting.
Penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan teori ketidaksantunan
dengan perspektif Jonathan Culpeper. Culpeper memiliki konsep praktik-praktik
ketidaksantunan yang mengancam muka (harga diri) sasaran. Hal ini sejalan
4
dengan dugaan bahwa keempat akun haters tersebut memang sengaja dibuat
untuk menyerang harga diri Ayu Ting Ting.
Dengan demikian, tuturan ketidaksantunan ini akan dianalisis secara
menyeluruh untuk melihat peran linguistik dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal
yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah struktur wacana yang membentuk
ketidaksantunan, variasi bentuk kebahasaan yang dipakai oleh empat akun
Instagram kelompok haters ATT, strategi ketidaksantunan dalam mengungkapkan
ujaran, dan faktor-faktor yang mendukung kemunculan ketidaksantunan itu.
Struktur wacana dideskripsikan untuk melihat konteks visual yang
memicu ketidaksantunan dalam bertutur. Aspek-aspek kebahasaan berperan untuk
melihat adanya dinamika pemilihan kata, proses pembentukan kata, pengaruh
satuan lingual, penggunaan gaya bahasa, dan juga perubahan nilai rasa semantis
sebagai implikasi dari berkembangnya kreativitas penutur. Selain itu, untuk
melihat daya pragmatisnya, strategi ketidaksantunan berperan untuk melihat
variasi ekspresi berbahasa oleh para haters di media sosial melalui teori
ketidaksantunan dari Jonathan Culpeper. Faktor-faktor yang menyebabkan
kemunculan tuturan kebencian oleh haters Ayu Ting Ting akan dideskripsikan
dengan memperhatikan sejumlah aspek situasi tutur.
5
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, dapat
dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
a. Bagimana struktur wacana yang menjadi pemicu ketidaksantunan dalam
bertutur oleh akun haters Ayu Ting Ting di Instagram?
b. Bagaimana bentuk-bentuk kebahasaan yang dipakai dalam tindak
ketidaksantunan berbahasa oleh haters Ayu Ting Ting (ATT) dalam akun
Instagram?
c. Bagaimana strategi ketidaksantunan yang dipakai oleh haters ATT dalam
akun Instagram?
d. Apa faktor-faktor pendorong terjadinya ketidaksantunan bertutur yang
dilakukan oleh haters ATT itu bisa terjadi?
1.3. Tujuan Penelitian
Ada dua tujuan penelitian ini, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis.
Secara teoretis, penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan struktur wacana yang
membentuk ketidaksantunan yang disampaikan oleh haters Ayu Ting Ting dalam
akun Instagram, menguraikan bentuk-bentuk kebahasaan yang dipakai dalam
ketidaksantunan oleh para haters Ayu Ting Ting, mendeskripsikan strategi
ketidaksantunan dalam tuturan oleh haters Ayu Ting Ting dalam akun Instagram,
dan menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya tuturan
ketidaksantunan oleh haters Ayu Ting Ting di Instagram.
6
Secara praktis, penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan
mengenai studi linguistik dengan memperhatikan kajian pragmatik juga mencakup
struktural bahasa agar penelitian ini menjadi menyeluruh. Selain itu, diharapkan
pula dapat memembantu memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-sehari, khususnya ketidaksantunan dalam berbahasa. Hasil penelitian yang
berupa ulasan tentang strategi ketidaksantunan sebagai variasi ekspresi
kebahasaan ini diharapkan dapat digunakan untuk membantu para ahli bahasa saat
memberi kesaksian di pengadilan bila ujaran kebencian berkembang menjadi
kasus hukum. Hasil penelitian berupa faktor-faktor yang mendorong munculnya
ketidaksantunan diharapkan dapat menerangjelaskan tentang komponen tutur
yang berperan dalam penciptaan tuturan kebencian di media sosial.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat praktik ketidaksantunan berbahasa
Indonesia oleh masyarakat di dunia maya, khususnya pada kelompok anti ATT
yang ditunjukkan di media sosial Instagram, dengan cara mendeskripsikan
struktur wacana, aspek-aspek kebahasaan, strategi ketidaksantunan, dan faktor-
faktor yang mendukung lahirnya tuturan tersebut. Adapun empat akun kelompok
haters Ayu Ting Ting di media sosial Instagram yang menjadi objek dalam
penelitian ini adalah @ayting_nyablak_nemplok, @komentatorpedas,
@dramakuin dan @aytingliciousgresekgrepe. Keempat akun tersebut dipilih
untuk karena memiliki jumlah pengikut yang banyak dan aktif mengirim
7
unggahan ke dalam akunnya. Selain itu, dipilih empat akun untuk menjamin
tersediaan data bila terjadi retas di salah satu akun Instagram.
Dalam penelitian ini, data berasal dari tuturan-tuturan dalam bentuk
tulisan, baik tuturan di kolom keterangan unggahan maupun komentar-komentar
yang ditulis oleh para pengikutnya.
1.5. Tinjauan Pustaka
Sebelum penelitian ini dilakukan, beberapa kepustakaan berhasil
dikumpulkan untuk melihat perkembangan penelitian terkait ujaran kebencian
dalam bidang ilmu linguistik.
Sebuah tesis yang berjudul “Ungkapan Kebencian yang Muncul pada
Fenomena Islamophobia di United Kingdom” telah ditulis oleh Dwi Puji Lestari
pada 2016 silam. Tesis dari Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada tersebut dilakukan untuk
mengetahui bagaimana orang-orang non-muslim yang tinggal di Inggris
menggungkapkan kebenciannya terhadap umat muslim di Inggris. Penelitian ini
menjawab dua masalah, yaitu menjelaskan strategi ketidasantunan dalam
ungkapan kebencian pada fenomena Islamophobia di United Kingdom dan
mendeskripsikan penerapan ilokusi yang ditunjukkan dalam ungkapan-ungkapan
kebencian pada koran elektronik yang memuat berita mengenai Islamophobia di
United Kingdom. Adapaun data diambil dari laporan-laporan insiden kejahatan
kebencian (hate crime) di selutruh koran-koran elektronik di Inggris pada 2014
dan 2015, baik berupa kata, frasa, maupun kalimat. Kemudian, untuk menjawab
8
masalah, data tersebut dianalisis dengan dua teori, yaitu teori ketidaksantunan
Jonathan Culpeper dan teori tindak tutur Austin.
Adapun tesis berjudul “Tuturan Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik
dalam Bahasa Indonesia” ditulis oleh Ratna Muthia (2015) dari program studi
Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Penelitian
tersebut menjawab tiga masalah, yaitu mendeskripsikan bentuk-bentuk tuturan,
variasi ekspresi tuturan, dan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan
munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam Bahasa
Indonesia di media sosial. Pada tesis ini, untuk menentukan jenis-jenis kalimat
dalam tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik, data dianalisis dengan
metode padan refrensial. Untuk menentukan makna dan gaya bahasa digunakan
teknik bagi unsur langsung pada metode agih dan metode padan pragmatis.
Sementara itu, variasi ekspresi dalam tuturan dianalisis dengan strategi heuristic.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan
pencemaran nama baik dianalisis dengan menggunakan teori SPEAKING. Hasil
analisis disajikan dengan metode informal. Data penelitian ini berasal dari tuturan
penghinaan dan pencemaran nama baik yang penuturnya dilaporkan ke pihak
kepolisian dengan tuduhan melanggar pasal 27 ayat (3) UU no. 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Tesis tentang ketidaksantunan juga pernah ditulis oleh Moh. Al. Qorror
Al-Khasy, yakni berjudul “Kekerasan Verbal dalam Debat Sunni-Syi’ah: Studi
Ketidaksantunan Berbahasa dalam al-Munazarat baina Fuqaha as-Sunnah wa
Fuqaha asy-Syi’ah”. Ada tiga masalah dalam tesis tersebut, yaitu bagaimana
9
bentuk strategi ketidaksantunan dalam debat Sunni-Syi’ah, bagaimana fungsi
ketidaksantunan berbahasa yang mengarah pada terjadinya kekerasan verbal
dalam debat Sunni-Syi’ah, dan mengapa bisa terjadi kekerasan verbal dalam debat
Sunni-Syi’ah.
Dari pemaparan tentang penelitian-penelitian di atas, kajian ujaran
kebencian sebagai ketidaksantunan berbahasa dalam bahasa Indonesia, khususnya
di media sosial, masih perlu untuk dikaji. Berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya, penelitian ini berfokus kepada perilaku berbahasa yang tidak santun
di media sosial dalam studi kasus haters Ayu Ting Ting di situs jejaring sosial
Instagram.
1.6. Landasan Teori
1.6.1 Teori Ketidaksantunan Jonathan Culpeper
Ketidaksantunan dalam bertutur milik Culperper tercetus dari teori
kesantunan milik Brown-Levinson. Kesantunan berbahasa tersebut berorientasi
pada tindak penyelamatan muka (face). Kata “muka” (face) tidak mengaju pada
bentuk rupa fisik, tetapi muka dalam arti public image, atau masyarakat Indonesia
memandangnya sebagai “harga diri” ataupun “nama baik”. Sebagai istilah teknis,
muka merupakan wujud pribadi seseorang dalam masyarakat. Muka mengacu
pada makna sosial dan emosional yang setiap orang harus memiliki dan
mengharapkan orang lain untuk mengetahui.
Kesantunan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang
digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang muka orang lain (Yule,
10
1996:104). Jika sebuah tuturan akan digambarkan sebagai ancaman terhadap
muka orang lain, penutur dapat mengatakan sesuatu untuk mengurangi
kemungkinan ancaman itu, tindakan itu disebut sebagai tindak penyelamatan
muka. Kemungkinan lain, jika seorang penutur menyatakan sesuatu yang
mengandung suatu ancaman terhadap harapan-harapan individu lain, berkenaan
dengan nama baik, pernyataan ini dideskripsikan sebagai tindak pengancaman
muka (face threatening act/FTA). Tindak pengancaman muka (FTA), bagi
Brown-Levinson, disebut sebagai pelanggaran terhadap kesantunan. Culpeper lalu
menamai FTA sebagai ketidaksantunan (impoliteness).
Ada dua macam muka yang bisa ditunjukkan ketika melakukan tindak
penyelamatan muka, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif seseorang
adalah kebutuhan untuk dapat diterima, jika mungkin disukai oleh orang lain,
diperlakukan sebagai anggota dari kelompok yang sama, dan mengetahui bahwa
keinginannya dimiliki bersama dengan yang lainnya. Sementara itu, muka negatif
adalah kebutuhan untuk merdeka, memiliki kebebasan bertindak, dan tidak
tertekan oleh orang lain. Dengan kata lain, muka negatif ialah keinginan citra diri
yang berorientasi pada tuntutan individu akan kebebasan bersikap serta aman dari
paksaan atau gangguan. Kata ‘negatif’ di sini bukan berarti buruk, melainkan
untuk menunjukkan bentuk lain dari muka positif (Yule, 1996:107.
Tindak penyelamatan muka yang diwujudkan dengan muka negatif akan
cenderung menunjukkan rasa hormat, menekankan pentingnya minat dan waktu
orang lain, dan bahkan termasuk permintaan maaf atas pemaksaan atau penyelaan.
Tindak tutur seperti ini disebut kesopanan negatif. Sedangkan tindak
11
penyelamatan muka yang diwujudkan dengan muka positif akan cenderung
memperlihatkan arasa kesetiakawanan, kesepakatan kedua penutur menginginkan
sesuatu yang sama dan mereka memiliki suatu tujuan yang sama. Tindakan
semacam ini dinamakan kesopanan positif.
Pada perkembangannya, Culpeper (1995:356—358) merumuskan
berbagai strategi ketika melakukan tindak penyerangan terhadap muka, yang
dikenal dengan strategi ketidaksantunan. Istilah “strategi” dipahami sebagai cara
untuk mencapai tujuan dalam sebuah interaksi pada suatu konteks tertentu.
a) Bald on Record
Bald on record adalah tindakan menyerang harga diri dengan cara
mengutarakannya secara langsung, jelas, tidak ambigu, dan ringkas dalam
keadaan pengancaman harga diri yang tidak diminimalkan.
b) Positive Impoliteness
Tindak tutur ini merupakan strategi pengancaman muka yang digunakan
untuk merusak harga diri/muka. Bentuk-bentuk dari strategi ketidaksantunan
positif ini (output of positive impoliteness), misalnya (1) mengabaikan, menghina,
dan tidak mengakui keberadaan orang lain; (2) mengeluarkan lawan tutur dari
aktivitas tertentu; (3) tidak menyatu dengan yang lain, misalnya menolak
bersepakat atau enggan duduk bersama; (4) menunjukkan ketidakpedulian dan
ketidaktertarikan; (5) menggunakan julukan yang tidak pantas pada lawan tutur;
(6) menggunakan bahasa atau julukan yang tidak diketahui oleh pihak “lain”
sehingga ia merasa kebingungan; (7) mencari-cari ketidaksetujuan misalnya
dalam topik yang sensitif; (8) membuat lawan tutur tidak nyaman, misalnya
12
dengan membuat keributan, bercanda yang berlebihan, atau bahkan sedikit
berbicara; (9) menggunakan bahasa tabu seperti bahasa yang kasar dan jorok; (10)
memanggil lawan bicara dengan nama lain yang menunjukkan penghinaan. Pada
perkembangannya, tindak tutur (11) mengkritik tajam atau komplain, serta (12)
mengajukan pertanyaan yang tidak mengenakan dan mengandung prasangka juga
masuk ke dalam ketidaksantunan ini.
c) Negative impoliteness
Negative impoliteness atau ketidaksantunan negatif adalah strategi tindak
pengancaman harga diri dengan dapat dilakukan dengan cara (1) menakut-nakuti
lawan tutur dengan cara menanamkan kepercayaan bahwa perbuatan lawan tutur
yang merusak orang lain akan terjadi; (2) merendahkan dan mencemooh, yaitu
mengecilkan mitra tutur, memberi tekanan, dan tidak menganggap serius; (3)
melanggar jarak hubungan dengan mitra tutur seperti melebih-lebihkan jarak yang
semestinya (atau sok kenal, sok dekat) dan berbicara topik yang sangat intim; (4)
mengungkapkan secara langsung bahwa mitra tutur emiliki hutang atau berhutang
budi pada penutur; dan (5) melanggar struktur percakapan, misalnya memberikan
instruksi dengan tujuan merusak percakapan. Selain itu, dengan (6) memaksa
penerima untuk mengikuti maksud penutur (message enforce), (7) mengancam
dan memperingatkan, serta (8) menunjukkan ekspresi negatif (negative
expressive) berupa kutukan sumpah, dan harapan buruk juga merupakan bentuk-
bentuk dari ketidaksantunan ini.
d) Sarcasm or mock politeness
13
Yang dimaksud dengan ketidaksantunan ini adalah sarkasme atau
kesantunan yang dibuat-buat. Tindak tutur ini seolah-olah menggunakan
kesantuan padahal tidak demikian maksudnya (bermuka dua). Sarkasme dipahami
sebagai konsep ironi yang dapat merusak keharmonisan sosial. Dengan kata lain,
berpura-pura sopan dalam strategi ini memang dipakai untuk menyerang harga
diri orang lain. Hal tersebut berbeda dengan tindak banter (olok-olok atau
bergurau) yang berkata dengan tidak sopan namun tidak merusak keharmonisan
sosial. Culpeper menyebut tindak tutur ini sebagai meta-strategi karena
penggunaan strategi ini cenderung bermuka dua dan harus dikaji secara
mendalam.
e) Withhold Politeness (Penahanan Kesopanan)
Tindak tutur ini merupakan upaya untuk meniadakan kesopanan yang
diharapkan, misalnya dengan sengaja menghilangkan ucapan ‘terima kasih’
kepada seseorang yang telah membantu. Hal tersebut disebut ketidaksantunan
yang disengaja (deliberate impoltiness).
f) Off-record Impoliteness
Tindak tutur ini disebut juga ketidaksantunan yang tidak langsung. Hal
tersebut merupakan bentuk tuturan implikatif yang menekankan pada maksud
tertentu dibandingkan dengan maksud lainnya.
Culpeper merupakan pengamat kediaksantunan dalam berbahasa. Ia
berpendapat bahwa disebut ketidaksantunan bila (1) penutur memang bermaksud
menyerang harga diri pembaca, pendengar atau mitra tuturnya, dalam hal ini
adalah sasaran kebencian yaitu Ayu Ting Ting, (2) pendengar atau mitra tuturnya,
14
dalam hal ini Ayu Ting Ting, merasa atau menyadari bahwa tindakan penutur
bertujuan untuk menyerang mukanya, atau (3) kombinasi keduanya.
Ketidaksantunan memiliki dua sandaran, yakni informasi yang tidak
mengenakkan dan menyakiti hati yang diekspresikan lewat tuturan dan informasi
tersebut memang diekspresikan denga tujuan tersebut (Culpeper, 2005:38—39).
1.6.2 Situasi Tutur
Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Dengan demikian
tuturan adalah akibat, sedangkan situasi tutur adalah sebabnya. Di dalam
komunikasi, tidak ada tuturan tanpa situasi tutur. Oleh sebab itu, maksud tuturan
yang sebenarnya dapat diketahui bila mengetahui situasi tutur yang
melatarbelakanginya.
Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan di atas, situasi tutur
menghadirkan bermacam-macam makna yang yang terdapat dalam tuturan.
Sejumlah aspek-aspek dalam situasi tutur penting dikemukakan untuk mengetahui
latar belakang lahirnya sebuah tuturan. Wijana (2011:15—17) mengemukakan
aspek-aspek tersebut adalah.
1. Penutur (n) dan Petutur (t)
Di dalam linguistik, ihwal sopan santun berkenaan dengan dengan
hubungan antarpemeran serta yang dinamakan “diri” dan “lain”. Dalam
percakapan, “diri” biasanya diidentifikan dengan n (penutur), dan “lain” lazimnya
diidentifikasi dengan t. Akan tetapi, penutur juga dapat menunjukkan sopan
15
santun kepada pihak ketiga yang hadir ataupun tidak hadir dalam situasi ujar yang
bersangkutan (Leech, 1993:206).
Oleh sebab itu, nama “lain” tidak hanya berlaku untuk pemeran serta
yang disapa, tetapi juga untuk mereka yang ditandai dengan kata ganti persona
ketiga. Leech melanjutkan, penting atau tidaknya perilaku sopan santun yang
ditunjukkan kepada pihak ketiga tentunya beragam dan ditentukan oleh beberapa
faktor: faktor kunci adalah apakah pihak ketiga hadir atau tidak. Faktor lainnya
ialah apakah pihak ketiga di bawah pengaruh n atau di bawah pengaruh t.
Misalnya, n harus lebih sopan bila membicarakan istri t daripada membicarakan
istri n sendiri. Namun, hal ini harus memperhatikan faktor-faktor budaya yang
menyertainya.
Dalam penelitian ini, nama “diri” ialah penutur n yakni empat akun
Instagram haters Ayu Ting Ting yang menulis kolom keterangan unggahan
(caption), sementara nama “lain” atau petutur t berkenaan dengan orang-orang
yang berkomentar dan juga pihak ketiga yang dibicarakan, yaitu Ayu Ting Ting.
Untuk itulah kajian ini akan membicarakan ketidaksantunan dalam berbahasa
ketika para haters menunjukkan rasa tidak suka terhadap Ayu Ting Ting di ruang
publik atau media sosial Instagram.
2. Konteks Tuturan
Konteks tuturan adalah semua aspek fisik atau aspek sosial yang relevan
dari tuturan yang bersangkutan. Di dalam pragmatik konteks pada hakekatnya
adalah semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami
bersama oleh penutur dan mitra tuturnya.
16
3. Tujuan Tuturan
Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi
pada tujuan (goal oriented activities). Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh
penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan. Bentuk-bentuk tuturan pun
dapat bermacam-macam untuk menyatakan maksud yang sama. Sebaliknya,
berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama.
4. Tuturan sebagai Bentuk Tindakan atau Aktivitas
Pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret,
tidak abstrak seperti pada studi sintaksis ataupun semantik. Pada tingkat yang
lebih konkret, pragmatik memiliki entitas pentur dan mitra tutur yang lebih jelas,
serta waktu dan tempat pengutaraannya.
5. Tuturan sebagai Produk Tindak Verbal
Tuturan yang dipakai dalam rangka pragmatik merupakan bentuk dari
tindak tutur. Tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal.
Penelitian ini menggunakan teori pragmatik sebagai teori dasar.
Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara
eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi
(Wijana, 2011:4). Pragmatik mempelajari makna secara eksternal. Artinya, di
dalam pragmatik, makna tentulah terikat oleh konteks (context dependent) dan
kajian pragmatik bertujuan untuk mengkaji maksud penutur (speaker meaning dan
speaker sense).
Serupa dengan hal tersebut, Yule (1996:3—4) menjelaskan empat ruang
lingkup yang tercakup dalam pragmatik. Pertama, pragmatik adalah studi tentang
17
makna yang disampaikan oleh penutur (penulis). Oleh sebab itu, studi ini lebih
banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan
tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang
digunakan dalam tuturan itu sendiri. Pragmatik adalah studi tentang maksud
penutur.
Kedua, pragmatik, menurutnya, merupakan studi yang perlu melibatkan
penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus
dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Diperlukan
suatu pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin
dikatakan dan disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, di mana, kapan,
dan dalam keadaan apa. Untuk itulah, Yule mengatakan bahwa pragmatik adalah
studi makna kontekstual.
Ketiga, pendekatan itu juga perlu menyelidiki bagaimana cara pendengar
dapat menyimpulkan tentang apa yang dituturkan agar dapat sampai pada suatu
interpretasi makna yang dimaksudkan oleh penutur. Tipe studi ini, kata Yule,
menggali betapa banyak sesuatu yang tidak dikatakan ternyata menjadi bagian
yang disampaikan. Oleh sebab itu, studi pragmatik menggali lebih banyak yang
disampaikan daripada yang dituturkan. Keempat, studi tentang tuturan ini juga
dipakai untuk mengungkapkan jarak hubungan. Keakraban, baik keakraban fisik,
sosial, atau konseptual, menyiratkan adanya pengalaman yang sama.
18
1.7. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode linguistik deskriptif dengan bentuk
kualitatif. Sudaryanto (1998:62) mengatakan, metode linguistik deskriptif adalah
sebuah metode dengan mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat
mengenai fakta-fakta dan hubungan kausal dari bahan yang dianalisis. Sementara
itu, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menganalisis data yang ada,
tanpa mengurangi atau menambah sesuai dengan sifat data yang alamiah. Data
yang dianalisis tersebut akan diuraikan dalam bentuk kata-kata ataupun kalimat
berdasarkan data di lapangan. Penelitian ini memerikan data bahasa berdasarkan
jenisnya, bukan berdasarkan jumlah. Metode penelitian ini terdiri atas tiga
tahapan, yaitu metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode
penyajian hasil analisis data.
Data penelitian ini berasal dari tuturan-tuturan yang berasal dari empat
akun Instagram haters Ayu Ting Ting, yakni @ayting_nyablak_nemplok,
@komentatorpedas, @dramakuin dan @aytingliciousgresekgrepe. Untuk
memperoleh data, peneliti harus memiliki akun Instagram terlebih dahulu, baru
bisa mengakses Instagram. Setelah itu, dengan akun Instagram itu, peneliti dapat
mengikuti keempat akun haters Ayu Ting Ting tersebut, sehingga dapat
mengetahui dan mengakses setiap foto, tuturan keterangan, dan tuturan komentar
yang diunggah oleh haters.
Data dikumpulkan dengan metode simak, yakni dengan menyimak
penggunaan bahasa tanpa intervensi dari peneliti. Adapun teknik yang digunakan
adalah teknik sadap, yaitu dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau
19
beberapa orang. Dalam hal ini penyadapan dilakukan terhadap penggunaan bahasa
secara tertulis. Alat penentunya adalah intuisi kebahasaan peneliti sebagai penutur
asli bahasa yang diteliti, yaitu bahasa Indonesia. Intuisi kebahasaan adalah
kesadaran penuh yang tak terumuskan, tetapi terpercaya, terhadap apa dan
bagaimana kenyataan yang bersifat kebahasaan (Kesuma, 2007:56).
Data-data tersebut terdiri atas objek penelitian dan konteks visualnya.
Objek penelitian ini berupa kata, kalimat, dan wacana, sedangkan konteks tuturan
berisi latar belakang situasi yang terungkap dalam gambar yang diunggahnya.
Selanjutnya, tiap-tiap kasus dari keseluruhan data yang telah terkumpul dicatat
oleh peneliti ke dalam kartu data sehingga siap untuk dideskripsikan dalam
analisis data.
Setelah semua data dirangkum dalam kartu data, tiap-tiap datum
dianalisis bentuk-bentuk aspek kebahasaan dan variasi strateginya, serta faktor-
faktor tuturan ketidaksantunan.
Pada tahap analisis data, metode yang dipakai adalah metode padan
pragmatis dan metode agih. Metode padan pragmatis adalah metode yang alat
penentunya lawan atau mitra wicara (Kesuma, 2007:49). Metode ini digunakan
untuk mengidentifikasi satuan kebahasaan menurut reaksi atau akibat dari sebuah
tuturan. Dalam mempraktikkan metode ini, teknik yang digunakan adalah teknik
daya pilah pragmatis pula, yakni daya pilah yang menggunakan mitra wicara
sebagai alat penentu.
Sementara itu, ada beberapa tuturan yang perlu dianalisis dengan
menggunakan metode agih, yaitu metode yang alat penentunya ada didalam dan
20
merupakan bagian dari bahasa yang diteliti. Dalam metode ini digunakan teknik
bagi unsur langsung, yaitu teknik analisis data dengan cara membagi sutau
kontruksi menjadi beberapa bagian atau unsur sehingga membentuk konstruksi
yang dimaksud (Kesuma, 2007:54—55). Alat penetunya adalah intuisi
kebahasaan peneliti terhadap bahasa yang diteliti. Dengan menggunakan teknik
ini, diharapkan tuturan dapat terbaca dengan baik sehingga maksud penutur pun
dapat diketahui.
Setelah data dianalisis sesuai dengan masalah-masalah yang telah
diungkapkan, hasil penelitian ini akan disajikan dalam kalimat-kalimat biasa.
Teknik keseluruhan yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik catat,
yakni mencatat data yang diperoleh dari sumber data, lalu
mendokumentasikannya dalam kartu data untuk segera diklasifikasi menurut
bentuk-bentuk aspek kebahasaan yang menunjukkan ketidaksantunan, strategi
ketidaksantunan sebagai variasi ekspresi, dan faktor-faktor munculnya
ketidaksantunan oleh haters ATT.
1.8. Sistematika Laporan Penelitian
Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I adalah pendahulan yang
berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup
masalah, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika
laporan penelitian. Bab II merupakan penjelasan tentang struktur wacana
ketidaksantunan oleh haters Ayu Ting Ting. Adapaun Bab III berisi uraian
21
tentang bentuk-bentuk kebahasaan yang dipakai dalam tindak tutur
ketidaksantunan berbahasa oleh haters Ayu Ting Ting dalam akun Instagram.
Selanjutnya, Bab IV berisi penjrlaskan tentang strategi ketidaksantunan
berbahasa yang ditunjukkan oleh haters Ayu Ting Ting dalam akun Instagram.
Bab V berisi tentang penjelasan mengenai faktor-faktor yang mendorong
ketidaksantunan dalam bertutur oleh haters Ayu Ting Ting di Instagram. Terakhir,
bab VI ialah kesimpulan.