pendahuluan latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Bahasa, yang salah satu fungsinya adalah sebagai alat komunikasi (Pateda,
1987: 4), selalu berhubungan dengan bentuk, makna, dan fungsi. Apabila suatu
alat komunikasi itu hanya berupa bentuk saja, tanpa makna dan maksud atau
fungsi yang jelas, maka komunikasi tersebut jelas akan sia-sia karena inti dari
komunikasi adalah menyampaikan maksud (Poedjosoedarmo, 2001: 171). Apabila
suatu alat komunikasi itu hanya berupa makna saja, maka makna itu tidak akan
tersampaikan tanpa adanya bentuk yang nyata untuk menyampaikan makna
tersebut. Sementara komunikasi yang sudah dikemas dalam bentuk dan makna
yang utuh tetapi tidak disertai dengan fungsi yang jelas maka akan menjadikan
komunikasi itu kabur dan tidak jelas arahnya. Seperti itulah kiranya kesatuan
bahasa terkait dengan salah satu fungsinya sebagai alat komunikasi.
Analisis terhadap bahasa sebagai alat komunikasi juga melibatkan ketiga
aspek tadi, yaitu analisis terhadap bentuk, makna, dan fungsi. Bahasa sendiri
terdiri dari berbagai tataran dan oleh karenanya bisa dianalisis dari berbagai
tataran kajian kebahasaan pula mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis, semantik,
dan wacana. Dari beberapa tataran tersebut, wacana merupakan satuan gramatikal
tertinggi dan terbesar dalam hierarki kebahasaan. Wacana dapat direalisasikan
dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, atau karangan utuh (buku), yang membawa
amanat lengkap (Kridalaksana, 1984: 208). Salah satu hal yang penting
diperhatikan dalam menganalisis wacana terkait dengan bentuk, makna dan fungsi
2
bahasa adalah bahwa analisis ini juga merupakan analisis terhadap suatu konteks.
Hal ini berarti bahwa dalam suatu analisis wacana, bukan hanya bentuknya saja
yang perlu diperhatikan tetapi juga konteks yang melingkupinya mengapa dan
untuk apa wacana yang bersangkutan muncul.
Pendekatan sosiopragmatik dalam analisis wacana bisa digunakan untuk
mengetahui konteks yang melingkupi suatu wacana. Sosiopragmatik merupakan
titik pertemuan antara sosiologi dan pragmatik yang berarti bahwa prinsip
pragmatik beroperasi secara berbeda pada masyarakat bahasa dan kondisi sosial
yang berbeda (Leech, 1983: 10-11, Rahardi, 2009: 14). Suatu wacana tentu saja
memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda antara wacana satu dengan wacana
yang lainnya. Perbedaan tersebut salah satunya disebabkan oleh konteks yang
melingkupi wacana tersebut. Melalui pendekatan ini, konteks yang terkait dengan
aspek atau komponen-komponen yang melatarbelakangi suatu wacana bisa
diketahui.
Salah satu wacana yang ada dan berkembang di masyarakat adalah wacana
siaran berita. Merupakan salah satu tanda kemajuan jaman di mana informasi bisa
disampaikan dan didapat dengan mudah, salah satunya dengan adanya siaran
berita di berbagai media baik itu media cetak ataupun elektronik, baik itu lokal,
nasional, ataupun internasional. Hampir setiap hari kita bisa memperbaharui
informasi atau berita yang kita butuhkan dengan cepat karena adanya koran, radio,
televisi, internet, dan sebagainya. Salah satu media penyampaian berita yang
menarik adalah media televisi. Dalam media tersebut, wacana berita disampaikan
secara lisan dengan disertai gambar, tulisan, dan juga illustrasi lain yang menarik.
3
Hampir semua media penyiaran televisi di Indonesia memiliki program
berita, baik itu yang disiarkan dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, ataupun
dalam bahasa Inggris. Sebagian besar media penyiaran di Indonesia menyiarkan
berita dalam bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional dan bahasa
persatuan Indonesia. Beberapa yang menampilkan wacana berita dalam bahasa
daerah kebanyakan adalah stasiun televisi lokal, sementara yang menyiarkan
wacana berita dalam bahasa Inggris hanya beberapa media penyiaran saja yang
mencakup media lokal dan nasional. Wacana berita yang disampaikan dalam
bahasa daerah tentu hanya dimengerti oleh golongan tertentu saja yang mengerti
bahasa tersebut. Misalnya saja siaran berita yang disampaikan dalam bahasa Jawa
akan lebih dimengerti oleh pendengar atau penonton yang paham dengan bahasa
Jawa. Hal yang sama juga terjadi pada wacana berita yang disampaikan dalam
bahasa Inggris yang hanya dimengerti oleh beberapa orang yang paham dengan
bahasa Inggris.
Salah satu program berita berbahasa Inggris adalah Indonesia Now yang
ditayangkan oleh Metro TV setiap hari Sabtu pukul 09.00 WIB. Metro TV
merupakan salah satu stasiun televisi swasta besar di Indonesia. Berbeda dengan
stasiun penyiaran yang lainnya yang sebagian besar menyajikan tayangan yang
menghibur seperti sinetron, musik, gossip, dan sebagainya, tayangan yang
ditampilkan di Metro TV sebagian besar adalah siaran berita ataupun tayangan
yang sifatnya lebih informatif. Indonesia Now adalah salah satu program berita
unggulan yang dimiliki oleh Metro TV yang disiarkan dalam bahasa Inggris.
4
Siaran berita berbahasa Inggris tersebut tentunya hanya dimengerti oleh
pendengar tertentu saja yang paham dengan bahasa Inggris. Pendengar yang tidak
paham betul dengan bahasa Inggris tidak akan berlama-lama berada di depan
televisi dan mendengarkan siaran berita tersebut karena pendengar berasumsi
bahwa dia tidak akan mendapat informasi apapun dari sana karena
ketidaktahuannya terhadap bahasa Inggris. Hal ini tentu saja berarti bahwa wacana
siaran berita berbahasa Inggris tersebut tidak bisa dinikmati oleh semua kalangan
masyarakat disamping tujuan dari stasiun televisi yang salah satunya adalah untuk
mendapatkan rating jumlah penonton yang tinggi. Dalam kaitannya dengan hal
ini, wacana siaran berita Indonesia Now yang ditayangkan oleh Metro TV jelas
memiliki fungsi atau tujuan tertentu mengapa dihadirkan di tengah masyarakat
Indonesia di mana bahasa Inggris merupakan bahasa asing yang tidak banyak
diketahui dan dipakai oleh sebagian besar masyarakatnya.
Terlepas dari bahasa yang digunakan, jika dilihat dari media
penyampaiannya Indonesia Now merupakan wacana lisan yang berbeda dari
wacana berita yang ada di koran atau majalah yang disampaikan dalam bentuk
tulisan. Sintaksis bahasa lisan secara khas jauh kurang terstruktur jika dibanding
dengan bahasa tulis. Bahasa lisan berisi banyak kalimat yang tidak lengkap, sering
hanya berupa rangkaian frase; bahasa lisan secara khas tidak banyak berisi
subordinasi. Selain itu, bahasa lisan banyak menggunakan “fillers” atau pengisi
jeda, seperti ehmm, well, I mean, dan sebagainya (Brown dan Yule, 1996: 15-17).
Akan tetapi, dalam wacana siaran berita Indonesia Now yang merupakan wacana
5
lisan, tidak ditemui ciri-ciri tersebut seperti yang terdapat pada kutipan Indonesia
Now edisi 01 Desember 2012 berikut ini:
Presenter 1: Selamat berjumpa lagi. Welcome to “Indonesia Now” from
Jakarta. I am Tascha Liudmilla. ‘Selamat datang di acara Indonesia Now dari Jakarta. Saya Tascha Liudmilla.’
Presenter 2: Hello, I am Dalton Tanonaka and this is your weekly window into the country’s top stories and people. ‘Halo, saya Dalton Tanonaka dan acara ini adalah jendela mingguan Anda untuk melihat orang-orang dan cerita teratas negeri ini.’
Presenter 2: Indonesian parliament members went to Cairo this week to assess the cease-fire between Israel and Hamas. They met with Egyptian representatives Tuesday who told them of hopes that the ceasefire would hold. Egypt also said it opens its borders for medical and logistic support to keep the peace. …………………………………………………………………………. ‘Anggota parlemen Indonesia minggu ini berangkat ke Kairo untuk menilai kesepakatan damai antara Israel dan Hamas. Mereka bertemu dengan perwakilan Mesir pada hari Selasa yang menyampaikan kepada mereka harapan bahwa kesepakatan damai akan berlanjut. Mesir juga menyampaikan bahwa pihaknya akan membuka perbatasan untuk bantuan medis dan juga logistik untuk menjaga perdamaian.’
Berdasarkan pada salah satu cuplikan wacana Indonesia Now tersebut di
atas, dapat dilihat bahwa pengisi jeda yang menurut Brown dan Yule (1996: 15-
17) banyak ditemukan dalam bahasa lisan, justru tidak ditemukan pada bagian
wacana siaran berita di atas meskipun wacana tersebut juga merupakan wacana
yang disampaikan secara lisan. Bahasa lisan yang digunakan dalam wacana siaran
berita berbeda dengan bahasa lisan yang biasanya di mana wacana berita lebih
banyak menggunakan kalimat lengkap. Selain itu, ragam yang digunakan dalam
kutipan wacana siaran berita tersebut di atas adalah ragam formal, bukan ragam
santai atau informal seperti yang misalnya ditemui pada wacana lisan sehari-hari.
6
Akan tetapi hal itu tidak serta merta menjadikan wacana berita Indonesia
Now tanpa pengisi jeda dan tanpa ragam informal. Pengisi jeda ditemukan di
beberapa bagian lain pada wacana berita tersebut, misalnya saja pada tayangan
cuplikan interview atau wawancara yang dilakukan pembawa berita dengan
narasumber. Selain itu, pada bagian penutup wacana siaran berita Indonesia Now
juga ditemukan adanya fillers, di mana kali ini fillers digunakan antara kedua
pembawa berita yang saling bercakap dengan pilihan ragam bahasa yang lebih
santai. Ragam ini bisa dilihat seperti pada kutipan siaran berita edisi 01 Desember
2012 berikut ini:
Presenter 1: Well, now you’re on the new challenges dear and all of us wish
you very-very well. ‘Well, sekarang kamu punya tantangan baru sayang dan kami semua berharap baik untukmu.’
Presenter 2: That’s so sweet. ‘Manis sekali.’ Presenter 1: Yak. Well you know, if you look in the dictionary; you look in the
word “sweet,” they have your picture next to it. ‘Ya. Well, kamu tahu apabila kamu melihat kata “sweet” di kamus, maka akan ada gambarmu di sebelah kata itu.’
Presenter 2: Thank you, Dalton. ‘Terima kasih, Dalton.’ ………………………………………………………………………….
Presenter 2: And that is “Indonesia Now” for this week. Thank you for watching. I am Tascha Liudmilla. ‘Dan demikian tadi siaran Indonesia Now untuk minggu ini. Terima kasih sudah menyaksikan tayangan ini. Saya Tascha Liudmilla.’
Presenter 1: For the last time. ‘Untuk yang terakhir kalinya.’ Terima kasih. I am Dalton Tanonaka. Please join us again next week. ‘Terima kasih. Saya Dalton Tanonaka. Bergabunglah kembali bersama kami minggu depan.’
Pada kutipan wacana siaran berita Indonesia Now di atas, jelas sekali terlihat
bahwa sebelum sampai pada bagian penutup wacana berita tersebut, ragam yang
digunakan oleh kedua presenter atau pembawa berita dalam berinteraksi satu
sama lain adalah ragam informal yang memang berbeda dengan ragam yang
7
mereka gunakan ketika menyampaikan informasi atau berita-berita penting
kepada penonton. Hal ini juga menjadikan wacana Indonesia Now menarik karena
pemilihan ragam formal dan informal tersebut bukan berarti tanpa alasan dalam
artian bahwa selalu ada hal yang melatarbelakangi pemilihan ragam suatu bahasa
dalam suatu peristiwa tutur. Meskipun terdapat percakapan antara kedua pembawa
berita, wacana lisan siaran berita Indonesia Now tidak melibatkan penonton ke
dalam peristiwa tutur yang terjadi antara kedua pembawa berita. Dalam wacana
seperti itu, pembawa beritalah yang secara aktif mengkomunikasikan pesan dan
penonton hanya secara pasif menerima informasi yang disampaikan tanpa ikut
terlibat ke dalam peristiwa tutur tersebut.
Karakteristik bahasa lisan dalam wacana Indonesia Now yang berbeda
dengan bahasa lisan pada percakapan sehari-hari, pemilihan ragam bahasa, serta
bentuk interaksi antara pembawa berita dan penonton tentu saja merupakan ciri
wacana Indonesia Now yang berbeda dari wacana yang lainnya. Karakter tersebut
pastinya tidak hadir begitu saja tanpa adanya faktor yang mempengaruhinya.
Dalam setiap peristiwa tutur, selalu ada aspek atau komponen tutur yang
mempengaruhi bentuk atau karakter bahasa yang digunakan di dalamnya. Hal
yang sama juga terjadi dalam wacana Indonesia Now di mana karakteristik bahasa
dalam wacana tersebut dipengaruhi oleh komponen-komponen tutur tertentu yang
menjadikannya berbeda dengan wacana yang lain.
Selain beberapa karakter tersebut, Indonesia Now juga memiliki karakter
lain yang dicirikan melalui fungsi dan struktur wacananya. Tuturan yang
disampaikan oleh pembawa berita pada wacana Indonesia Now tentu saja bukan
8
merupakan tuturan kosong tanpa makna dan fungsi yang jelas. Tuturan-tuturan
yang disampaikan oleh pembawa berita pasti memiliki fungsi tersendiri untuk apa
tuturan tersebut disampaikan. Selain itu, wacana Indonesia Now juga memiliki
komponen-komponen yang disusun membentuk suatu alur atau struktur tertentu
dari wacana ini. Salah satu contohnya adalah wacana Indonesia Now memiliki
komponen pengantar berita yang disampaikan pada bagian paling awal
penayangan wacana tersebut. Komponen dan alur tersebut tidak ditemui pada,
misalnya, wacana percakapan lisan sehari-hari atau pada wacana konsultasi antara
dokter dengan pasien yang pastinya memiliki komponen dan struktur yang lain.
Berdasarkan pada beberapa hal yang tampak dari pengamatan sekilas
tersebut, bisa dikatakan bahwa memang Indonesia Now sebagai sebuah wacana
memiliki karakter yang khas yang berbeda dari wacana yang lainnya. Beberapa
hal tersebut membuat wacana Indonesia Now menarik untuk dikaji lebih lanjut
lagi melalui pendekatan sosiopragmatik yang bisa mengungkap konteks tertentu
yang menjadikan wacana Indonesia Now berbeda dengan wacana yang lain.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang disampaikan pada bagian latar belakang penelitian
di atas, terdapat beberapa permasalahan yang menarik untuk diteliti. Permasalahan
tersebut diantaranya adalah:
1. Bagaimana struktur wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now di
Metro TV?
9
2. Apa saja komponen tutur dalam wacana siaran berita berbahasa Inggris
Indonesia Now di Metro TV?
3. Apa fungsi wacana dilihat dari tindak tutur yang ada dalam siaran berita
berbahasa Inggris Indonesia Now di Metro TV?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan struktur wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia
Now di Metro TV.
2. Mendeskripsikan komponen-komponen tutur wacana siaran berita berbahasa
Inggris Indonesia Now di Metro TV.
3. Mendeskripsikan fungsi wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia
Now di Metro TV berdasarkan tindak tutur yang dimanfaatkan di dalamnya.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik itu secara praktis
ataupun secara teoretis.
1.4.1 Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan
pengetahuan mengenai struktur wacana siaran berita berbahasa Inggris, komponen
tutur yang membangunnya, dan fungsi dari wacana tersebut.
10
1.4.2 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini mengungkap bahwa ada pola-pola tertentu
yang harus diikuti dalam membuat atau menyusun sebuah wacana berita, salah
satunya adalah pola dalam wacana siaran berita Indonesia Now. Penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan tambahan referensi bagi penelitian mengenai
analisis wacana yang merupakan salah satu bidang kajian yang memang banyak
diminati oleh para peneliti bahasa. Selain itu, analisis wacana siaran berita
berbahasa Inggris ini diharapkan untuk selanjutnya bisa menjadi titik pangkal bagi
analisis lain yang serupa di bidang analisis wacana siaran berita baik itu untuk
dikembangkan menjadi analisis wacana kritis, retorika, stilistika penyampaian
berita, ataupun dalam bidang kajian terkait lainnya.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai wacana memang tampaknya banyak menarik perhatian
peneliti untuk mengkajinya secara lebih mendalam mengenai bagaimana struktur
dan komponen tertentu bisa membangun sebuah wacana yang utuh. Jorgensen dan
Phillips (2007: 2) menyatakan bahwa analisis wacana bukanlah sekedar satu
pendekatan tunggal, melainkan serangkaian pendekatan multidisipliner yang bisa
digunakan untuk mengeksplorasi banyak domain sosial yang berbeda yang berada
dalam jenis-jenis kajian yang berbeda. Karena merupakan pendekatan yang
multidisipliner juga lah yang menjadikan suatu wacana dapat dianalisis dari
beberapa segi kebahasaan. Beberapa penelitian yang sudah ada mencoba
11
menganalisis wacana dari beberapa bidang kajian seperti sosiolinguistik,
pragmatik, atau sosiopragmatik.
Salah satu penelitian pada wacana adalah yang dilakukan oleh Mawadati
(2002) yang menggunakan pendekatan sosiolinguistik, dalam hal ini penelitian
yang dilakukan adalah mengenai “Wacana Penyuluhan Keluarga Berencana
sebagai Salah Satu Bentuk Register” yang datanya diambil dari data lisan berupa
penyuluhan program Keluarga Berencana di dua wilayah di Yogyakarta. Dalam
penelitiannya tersebut, Mawadati berusaha untuk mengungkapkan struktur
wacana penyuluhan Keluarga Berencana, komponen tuturnya dan bentuk-bentuk
khas register penyuluhan Keluarga Berencana.
Penelitian serupa tentang analisis wacana juga dilakukan oleh Santoso
(2006) yang mengangkat wacana iklan komersial berbahasa Indonesia di televisi.
Dalam penelitiannya tersebut, Santoso memaparkan tiga bagian iklan di televisi,
yaitu butir utama, tubuh iklan, dan penutup iklan yang masing-masing memiliki
fungsi berbeda dalam membangun sebuah wacana iklan komersial di televisi.
Selain itu, Santoso juga memerikan aspek verbal dan non-verbal dari wacana iklan
komersial tersebut.
Selain kedua penelitian di atas, masih ada juga beberapa penelitian tentang
analisis wacana seperti yang dilakukan oleh Hidayat (2008) dan Sultan (2009).
Keduanya sama-sama mengangkat analisis wacana melalui pendekatan
sosiopragmatik yang menghubungkan wacana dengan tindak tutur dan
penyimpangan maksim yang ada di dalamnya. Perbedaan dari kedua penelitian
tersebut terletak pada objeknya di mana Hidayat mengambil objek yang berupa
12
wacana iklan perdukunan dalam bentuk tulis di media cetak, sedangkan Sultan
mengambil objek wacana iklan operator seluler di media elektronik.
Meskipun penelitian kali ini juga merupakan analisis wacana, namun
penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang sebelumnya. Yang
membedakan penelitian ini dari penelitian yang sebelumnya adalah objek
penelitian ini sendiri. Apabila penelitian sebelumnya mengangkat analisis wacana
dalam penyuluhan keluarga berencana dan juga analisis wacana iklan baik itu
dalam bentuk lisan ataupun tertulis, penelitian kali ini mengangkat wacana
Indonesia Now yang merupakan wacana siaran berita berbahasa Inggris mingguan
yang ditayangkan oleh stasiun televisi Metro TV. Penelitian ini menggunakan
pendekatan sosiopragmatik untuk mengetahui konteks yang melatarbelakangi
wacana siaran berita Indonesia Now.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Wacana
Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak yang artinya
adalah “berkata,” “berucap” (Douglas, 1976: 226 dalam Mulyana, 2005: 3). Oleh
para linguis Indonesia dan di negara-negara berbahasa Melayu lainnya, istilah
wacana dikenalkan dan digunakan sebagai bentuk terjemahan dari istilah bahasa
Inggris discourse (Oetomo, 1993: 3). Kata discourse sendiri berasal dari bahasa
Latin discursus yang artinya “lari ke sana kemari,” “lari bolak balik.” Kata ini
diturunkan dari dis (dari/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari). Jadi
discursus bearti lari ke arah yang berbeda yang kemudian ditransfer maknanya
13
menjadi ‘terlibat dalam sesuatu atau memberi informasi tentang sesuatu (Vass,
1992 dalam Titscher dkk. 2000: 42). Webster (1983: 522) dalam Mulyana (2005:
4) memperluas makna discourse sebagai berikut: (1) komunikasi kata-kata, (2)
ekspres gagasan-gagasan, (3) risalah tulisan, disertasi formal, kuliah, ceramah,
khutbah.
Dalam ilmu bahasa, wacana digunakan untuk mendeskripsikan struktur
yang lebih tinggi dari kalimat (Mills, 2004: 116). Kridalaksana (1984: 208) dan
Chaer (1995: 267) menambahkan bahwa wacana berarti satuan bahasa terlengkap,
yang dalam hierarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi dan
terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, atau
karangan utuh (buku), yang membawa amanat lengkap. Tarigan (1993: 27)
menambahkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertingggi
atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang
berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan
secara lisan atau tertulis. Moeliono selanjutnya (1988: 334) mengatakan bahwa
wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi
satu dengan lainnya dalam kesatuan makna. Pengertian tersebut serupa dengan
apa yang disampaikan oleh Dardjowidjojo (1993: 34) bahwa wacana merupakan
rentatan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuk makna yang serasi di antara
kalimat itu. Dalam kaitannya dengan kesatuan makna dalam sebuah wacana,
Mulyana (2005: 6) menambahkan bahwa suatu rentetan kalimat bisa disebut
sebagai wacana atau bukan wacana tergantung pada keutuhan unsur-unsur makna
dan konteks yang melingkupinya.
14
Unsur pembeda antara bentuk wacana dan bukan wacana adalah pada ada
tidaknya kesatuan makna yang dimilikinya (Mulyana, 2005: 5). Tiap kajian
wacana akan selalu mengaitkan unsur-unsur satuan kebahasaan yang ada di
bawahnya, seperti fonem, morfem, frasa, klausa, atau kalimat (Mulyana, 2005: 6).
Selain itu, analisis wacana tentunya adalah analisis atas bahasa yang digunakan.
Maka analisis itu tidak dapat dibatasi pada deskripsi bentuk bahasa yang terikat
pada tujuan atau fungsi yang dirancang untuk menggunakan bentuk tersebut
dalam urusan-urusan manusia. Kalau ada ahli linguistik yang memusatkan
perhatian pada penentuan sifat-sifat formal suatu bahasa, penganalisis wacana
berkewajiban menyelidiki untuk apa bahasa tersebut dipakai (Brown dan Yule,
1996: 1). Wijana (2006: 62) menegaskan bahwa analisis wacana tidak dapat
dilakukan semata-mata hanya mengandalkan pendekatan formal dan mengabaikan
faktor-faktor yang bersifat situasional. Lebih lanjut dinyatakan bahwa amanat
sebuah wacana dalam linguistik sangat bergantung pada konteksnya, baik konteks
yang bersifat lingual maupun konteks nonlingual.
Wacana sering kali disamakan penggunaannya dengan teks di mana wacana
diasosiasikan dengan wacana lisan dan teks sebagai wacana tertulis. Akan tetapi
pada dasarnya wacana dan teks mengacu pada dua hal yang berbeda. Wacana
merupakan payung analisis terhadap teks baik itu teks lisan ataupun teks tertulis
yang lebih tinggi daripada kalimat (Georgakopoulou dan Goutsos, 1997: 3-4).
Analisis wacana merupakan perpaduan antara teks dan konteks, atau oleh
Renkema (2004: 1) didefinisikan sebagai analisis yang menghubungkan antara
bentuk dan fungsi dalam komunikasi verbal.
15
Aspek kontekstual dalam suatu wacana lebih bergantung pada faktor
sosiokultural, seperti misalnya sensibilitas atas tingkat kesopanan cara bertutur,
atau familiaritas sebuah istilah pada lawan bicara (van Dijk, 1988: 25). Wacana
dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu.
Menurut Guy Cook dalam Eriyanto (2001: 8-9), analisis wacana juga memeriksa
konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan
mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana
perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap
masing-masing pihak. Sementara itu, aspek tekstual dari suatu wacana mencakup
struktur sistem kebahasaan khusus yang dapat berbeda antara satu bahasa dengan
bahasa lain, atau satu wacana dengan wacana yang lain. Van Dijk melihat suatu
teks terdiri dari tiga struktur atau tingkatan yang masing-masing bagian saling
mendukung.
Tingkatan pertama adalah struktur makro yang merupakan makna global
atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema
yang dikedepankan dalam suatu berita. Tingkatan kedua adalah superstruktur,
yaitu struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana
bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Dengan menggunakan
struktur skematik ini dapat diidentifikasi mengenai awal dan akhir dari sebuah
wacana, atau headline (judul utama) pada sebuah berita, pembukaan pada
percakapan, atau suatu kesimpulan dari suatu argumen. Hal tersebut merupakan
satu ide formal, bagaimana isi sebuah berita akan selalu memiliki sebuah awalan
yang berfungsi mengawali dan meringkas laporan serta apapun yang dinyatakan
16
pada akhir suatu percakapan atau artikel atau laporan akan berfungis sebagai
kategori penutup (van Dijk, 1997: 13). Tingkatan yang ketiga yaitu struktur mikro
yang merupakan makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu
teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.
Terkait dengan superstruktur, analisis wacana juga memperhatikan keutuhan
struktur yang menjadikan suatu wacana tertentu utuh. Keutuhan struktur wacana
lebih dekat maknanya sebagai suatu kesatuan maknawi (semantik) ketimbang
sebagai kesatuan bentuk (sintaksis). Suatu rangkaian kalimat dikatakan menjadi
struktur wacana bila di dalamnya terdapat hubungan emosional (maknawi) antara
bagian yang satu dengan bagian yang lainnya (Mulyana, 2005: 25). Suatu wacana
tertentu tersusun dari bagian-bagian yang membangunnya menjadi sebuah wacana
yang utuh dan suatu wacana dituntut memiliki keutuhan struktur. Keutuhan itu
sendiri dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu
organisasi kewacanaan. Organisasi inilah yang disebut sebagai struktur wacana
yang dapat diurai atau dideskripsikan bagian-bagiannya (Mulyana, 2005: 25).
Penganalisis wacana akan mencoba mendeskripsikan bentuk-bentuk bahasa yang
terdapat dalam datanya, yang berhubungan dengan lingkungan-lingkungan tempat
terdapatnya. Dalam arti ini, analisis wacana adalah suatu cara menyelidiki bahasa
di mana penganalisis wacana mencoba menemukan keteraturan-keteraturan dalam
datanya dan mendeskripsikannya (Brown dan Yule, 1996: 22-23).
17
1.6.2 Komponen Tutur
Wacana adalah wujud atau bentuk bahasa yang bersifat komunikatif,
interpretatif, dan kontekstual. Artinya, analisis terhadap pemakaian bahasa dalam
suatu wacana memerlukan adanya kemampuan menginterpretasikan dan
memahami konteks terjadinya wacana. Konteks ialah situasi atau latar terjadinya
suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab atau alasan terjadinya
suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan,
apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat
bergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tutur itu (Mulyana,
2005: 21).
Menurut Moeliono (1988: 336) dan Samsuri (1987: 4), konteks terdiri atas
beberapa hal, yakni situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa,
bentuk, amanat, kode, dan saluran. Dalam kajian sosiolinguistik, Dell Hymes
(1972) merumuskan faktor-faktor penentu peristiwa tutur melalui akronim
SPEAKING yang diantaranya adalah:
a. S (Setting dan Scene), yaitu latar dan suasana. Latar (setting) lebih bersifat
fisik, yaitu meliputi tempat dan waktu terjadinya tuturan. Sementara scene
adalah latar psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang
menyertai peristiwa tuturan.
b. P (Participants), yaitu peserta dalam suatu peristiwa tutur, yaitu orang-orang
yang terlibat dalam percakapan, baik langsung maupun tidak langsung. Hal-
18
hal yang berkaitan dengan partisipan seperti usia, pendidikan, latar sosial, dan
sebagainya juga menjadi perhatian.
c. E (Ends), yaitu hasil atau tangggapan dari suatu pembicaraan yang memang
diharapkan oleh penutur, dan tujuan akhir pembicaraan itu sendiri.
d. A (Acts of Sequence), mengacu pada pesan/amanat, terdiri dari bentuk pesan
(message form) dan isi pesan (message content). Dalam Nadar (2009: 7-8).
acts of sequence menunjuk pada saluran tutur yang dapat merupakan lisan
maupun tertulis .
e. K (Key), meliputi cara, nada, sikap, atau semangat dalam melakukan
percakapan, semangat percakapan antara lain misal serius, santai, akrab.
f. I (Instrumentalities), yaitu sarana percakapan. Maksudnya dengan media apa
percakapan tersebut disampaikan, misalnya dengan cara lisan, tertulis, surat,
radio, dan sebagainya.
g. N (Norms) atau norma, menunjuk pada norma atau aturan yang membatasi
percakapan, misalnya apa yang boleh dibicarakan, apa yang tidak dan
bagaimana cara membicarakannya, misalnya saja untuk hal yang halus, kasar,
terbuka, jorok, dan sebagainya.
h. G (Genre) mengacu pada jenis atau bentuk wacana. Hal ini langsung
menunjuk pada jenis wacana yang disampaikan, misalnya wacana telepon,
wacana koran, wacana puisi, ceramah, dan sebagainya.
Poedjosoedarmo (1985: 80) mengembangkan pendapat Hymes dengan
menyebutnya sebagai komponen tutur yang meliputi pribadi si penutur atau orang
pertama (O1), anggapan penutur terhadap kedudukan sosial dan relasinya dengan
19
orang yang diajak berbicara (O2), kehadiran orang ketiga (O3), maksud atau
kehendak si penutur, warna emosi si penutur, nada suara pembicara, pokok
pembicaraan, urutan bicara, bentuk wacana, adegan tutur, lingkungan tutur, norma
kebiasaan lain.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Hymes dan Poedjosoedarmo
mengenai komponen tutur, Holmes (2001: 8) juga menyatakan sejumlah faktor
sosial yang relevan dengan pemakaian bahasa yang menentukan bentuk tuturan
yang dihasilkan. Holmes mengelompokkannya menjadi 4 faktor, yaitu (1) the
participants (partisipan), yaitu siapa yang berbicara dan siapa yang diajak bicara;
(2) the setting/social context of interaction (setting atau konteks sosial interaksi),
yaitu di mana penutur dan petutur saling berkomunikasi; (3) the topic (topic),
yaitu apa yang dibicarakan oleh penutur dan petutur; dan (4) the functions
(fungsi), yaitu fungsi dari komunikasi, mengapa penutur dan petutur
berkomunikasi. Selain itu, Holmes (2001: 9-10) juga mendeskripsikan 4 dimensi
sosial yang bermanfaat untuk menganalisis faktor-faktor sosial dalam
berkomunikasi, yaitu skala jarak sosial yang berkaitan dengan peserta tutur, skala
status yang berhubungan dengan hubungan antar peserta tutur, skala formalitas
yang berkaitan dengan setting dan tipe informasi, dan dua skala fungsional yang
berhubungan dengan maksud dan topik dalam suatu interaksi.
1.6.3 Fungsi Bahasa
Bahasa oleh Brown dan Yule (1983: 1) dideskripsikan memiliki dua fungsi,
yaitu fungsi transaksional dan fungsi interaksional. Fungsi transaksional
20
merupakan fungsi di mana yang dipentingkan dalam komunikasi itu adalah isi dari
apa yang dikomunikasikan. Dengan kata lain, fungsi transaksional merupakan
fungsi bahasa sebagai penyalur informasi. Sementara itu, fungsi interaksional
merupakan fungsi bahasa untuk mengekspresikan hubungan sosial dan sikap
personal. Fungsi interaksional digunakan untuk menunjukkan solidaritas dan
menjaga kedekatan sosial (Cutting, 2008: 21).
Selain dua fungsi tersebut, Holmes (2001: 259) juga menyatakan beberapa
fungsi lain terkait dengan suatu tuturan. Fungsi-fungsi tersebut diantaranya
adalah:
a. Fungsi Ekspresif
Pada fungsi ekspresif, bahasa digunakan untuk menyatakan perasaan penutur.
Fungsi ini biasanya bersifat individual dari dalam diri penutur seperti
misalnya tuturan yang digunakan untuk menyatakan perasaan senang, sedih,
menyesal, dan sebagainya.
b. Fungsi Direktif
Bahasa yang memiliki fungsi direktif digunakan untuk membuat lawan tutur
melakukan sesuatu seperti apa yang diinginkan oleh penuturnya. Fungsi
direktif ini secara langsung dinyatakan melalui modus kalimat yang berupa
kalimat imperatif seperti misalnya “Keluar dari ruanganku sekarang” di mana
penutur memberikan perintah kepada lawan tuturnya secara langsung untuk
meninggalkan ruangan penutur. Fungsi direktif ini bisa juga disampaikan
melalui tuturan tak langsung seperti dalam “Bisakah kamu ambilkan bukuku
di rak itu?” di mana meskipun merupakan modus kalimat tanya, tuturan
21
tersebut tidak benar-benar digunakan penutur untuk mendengar jawaban
“iya” atau “tidak” dari lawan tutur, namun penutur meminta lawan tutur
untuk melakukan sesuatu seperti yang disebutkan dalam tuturannya.
c. Fungsi Referensial
Fungsi referensial sama halnya seperti fungsi transaksional di mana bahasa
digunakan untuk menyampaikan informasi. Yang diutamakan dalam fungsi
ini adalah isi pesan yang ada dalam tuturan yang misalnya digunakan untuk
mendeskripsikan, menjelaskan, melaporkan, dan sebagainya.
d. Fungsi Metalinguistik
Bahasa dalam fungsi metalinguistik digunakan untuk memberikan komentar
atau menjelaskan bahasa itu sendiri. Fungsi ini biasanya direpresentasikan
dengan penjabaran istilah-istilah tertentu dalam suatu bahasa, misalnya
“Sporadis” merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan sesuatu
yang jarang atau tidak terjadi secara terus menerus.
e. Fungsi Puitis
Fungsi puitis mengutamakan keindahan dari bahasa yang digunakan. Fungsi
ini banyak digunakan pada bahasa puisi atau syair yang memang selain
banyak menggunakan perumpamaan atau kiasan, bahasanya juga
dipertimbangkan benar-benar sehingga bisa menampilkan sisi indah dari apa
yang disampaikan.
f. Fungsi Fatis
Fungsi fatis digunakan untuk mengungkapkan solidaritas dan empati kepada
orang lain. Apabila dihubungkan dengan fungsi interaksional dan
22
transaksional yang sebelumnya sudah disebutkan, fungsi fatis ini termasuk ke
dalam fungsi interaksional di mana bahasa digunakan untuk mengekspresikan
hubungan sosial dan sikap personal.
1.6.4 Tindak Tutur
Austin (1962: 6) menyebutkan bahwa pada dasarnya pada saat seseorang
menuturkan sesuatu, orang tersebut tidak semata-mata memberikan pernyataan
saja, akan tetapi lebih kepada melakukan suatu tindakan dari apa yang disebutkan
dalam tuturannya. Hal ini oleh Austin disebut sebagai tindak tutur yang
merupakan tindakan yang dilakukan melalui tuturan. Teori tindak tutur
menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan melalui tuturan bisa dianalisis
melalui tiga level yang berbeda, yaitu tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi
(Cutting, 2008: 13).
a. Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur yang digunakan untuk menyatakan sesuatu
(Wijana, 2009: 20; Cutting, 2008: 14; Austin, 1962: 95). Tindak tutur ini disebut
juga sebagai “the act of saying something” ‘tindakan mengatakan sesuatu’.
Misalnya saja terdapat tuturan “Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Sri
Sultan Hamengku Buwana X.” Kalimat tersebut semata-mata hanya ditujukan
oleh penutur untuk memberikan informasi kepada lawan tutur mengenai siapa
gubernur DIY dan tidak untuk mempengaruhi lawan tutur untuk melakukan suatu
tindakan. Tindak lokusi diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk
23
menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk
mempengaruhi lawan tuturnya (Wijana, 2009: 21).
Konsep lokusi adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat.
Kalimat atau tuturan dalam hal ini dianggap sebagai suatu satuan yang terdiri dari
dua unsur, yaitu subjek dan predikat. Tindak lokusi juga merupakan tindakan yang
paling mudah diidentifikasi karena pengidentifikasiannya dapat dilakukan tanpa
harus mempertimbangkan konteks yang melingkupi tuturan dalam suatu situasi
tutur tertentu (Wijana dan Rohmadi, 2009: 22).
b. Tindak Ilokusi
Selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, sebuah
tuturan dapat juga digunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur yang
digunakan untuk melakukan sesuatu disebut sebagai tindak ilokusi (Austin, 1962:
99). Dengan kata lain, tindak ilokusi merupakan hal yang dilakukan dalam
mengucapkan suatu tuturan. Tindak ilokusi berkaitan dengan fungsi dari kata-kata
yang diujarkan dan tujuan tertentu yang ada dalam pikiran penutur (Cutting, 2008:
14). Dalam mengujarkan “Sekarang sudah jam 6.50,” seorang penutur yang
misalnya adalah seorang ayah, yang mengujarkan tuturan tersebut kepada lawan
tutur, misalnya adalah anak lelakinya yang sedang sarapan sebelum berangkat
sekolah, penutur tentu tidak semata-mata memberi tahu lawan tuturnya mengenai
informasi tentang waktu pada saat tuturan itu diujarkan. Akan tetapi, penutur
memiliki maksud dan tujuan tertentu dalam mengujarkan tuturan tersebut, dalam
hal ini penutur meminta lawan tuturnya untuk segera menyelesaikan sarapannya
24
dan bergegas berangkat ke sekolah agar lawan tutur tidak terlambat masuk kelas
karena jarak rumah dari sekolah yang lumayan jauh. Maksud dan tujuan penutur
yang sebenarnya adalah meminta lawan tuturnya agar melakukan sesuatu hal
itulah yang disebut sebagai tindak ilokusi atau “the act of doing something”
‘tindakan melakukan sesuatu.’
Searle mengelompokkan fungsi umum yang dimiliki oleh tindak tutur
ilokusi menjadi lima bagian (Nadar, 2009: 15-16; Cutting, 2008: 14-15; Leech,
1983: 205), yaitu:
a) Declaration ‘deklarasi’: merupakan tuturan yang bisa mengubah dunia
atau dimaksudkan untuk menciptakan status atau sebuah keadaan baru,
seperti “I hereby pronounce you man and wife” yang diucapkan oleh
seorang penutur yang memang memiliki wewenang untuk mengucapkan
tuturan tersebut akan serta merta mengubah dua orang lelaki dan
perempuan menjadi pasangan suami istri. Selain itu, tindak tutur deklarasi
ini bisa berupa tuturan seperti memutuskan, membatalkan, melarang,
mengizinkan, dan memberi maaf.
b) Representative ‘representatif’: merupakan tuturan yang dipercaya oleh
penutur sebagai sesuatu yang benar. Dengan kata lain, tindak tutur ini
mengikat penutur pada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Tindak
tutur representatif ini dapat berupa tuturan yang berfungsi untuk
menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan (Levinson:
1991: 240).
25
c) Commissive ‘komisif’: merupakan tuturan yang membuat penutur
melakukan sesuatu di kemudian hari, atau tindak tutur yang mengikat
penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam
tuturannya seperti berjanji, bersumpah, atau mengancam.
d) Directive ‘direktif’: tuturan yang membuat pendengar atau lawan tutur
melakukan sesuatu, misalnya saja “requesting,” commanding,” dan
“ inviting.” Tindak tutur direktif ini antara lain adalah menyuruh,
memohon, menuntut, dan mengundang.
e) Expressive ‘ekspresif’: tuturan yang menyatakan apa yang penutur rasakan
seperti meminta maaf, menyesal, memuji, berterimakasih, dan mengeluh.
c. Tindak Perlokusi
Selain tindak tutur ilokusi yang digunakan untuk menyatakan sesuatu, suatu
tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh atau
efek bagi yang mendengarkannya (Austin, 1962: 101). Tindak tutur yang
pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan
tindak perlokusi atau the act of affecting someone (Wijana, 2009: 23). Tindak
perlokusi mengharapkan adanya efek pada pendengar terhadap tuturan yang
disampaikan dan reaksi pendengar setelah mendengar tuturan tersebut (Cutting,
2008: 14). Tuturan “Sekarang sudah jam 6.50” pada contoh sebelumnya selain
memiliki tindak ilokusi juga mengandung efek perlokusi yang diharapkan oleh
penutur. Jam masuk sekolah biasanya adalah jam 7.00 dan apabila jarak rumah
dengan sekolah lumayan jauh, waktu 10 menit merupakan waktu yang terbatas
26
dan ditakutkan bahwa si anak akan terlambat berangkat ke sekolah. Dalam
menyampaikan tuturan tersebut, sang ayah sebagai penutur mengharapkan bahwa
efek dari tuturan tersebut terhadap anaknya sebagai lawan tutur adalah bahwa
lawan tutur menjadi terburu-buru sehingga segera menyelesaikan sarapannya dan
segera berangkat sekolah.
d. Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsu ng
Tindak tutur juga bisa dibedakan berdasarkan strukturnya (Yule, 1996: 54).
Struktur yang dimaksud dalam hal ini adalah berdasarkan pada tiga modus utama
kalimat, yaitu kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah. Untuk
mengetahui apakah suatu tindak tutur merupakan suatu tindak tutur langsung
ataupun tidak langsung bisa dilihat berdasarkan pada hubungan antara modus
kalimatnya dan fungsi komunikatifnya di mana kalimat berita berfungsi untuk
memberitakan, kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah
untuk menyuruh, mengajak, atau memohon (Nadar, 2009: 18; Yule, 1996: 54).
Apabila terdapat hubungan langsung antara modus kalimat dengan fungsinya,
maka tindak tutur yang terjadi adalah tindak tutur langsung. Sedangkan apabila
terdapat hubungan yang tidak langsung antara modus kalimat dan fungsinya,
maka tindak tuturnya adalah tindak tutur tidak langsung (Yule, 1996: 54-55).
Tuturan “Kumpulkan laporannya sekarang di meja saya” yang dituturkan
oleh seorang bos atau atasan kantor kepada bawahannya merupakan salah satu
contoh tindak tutur langsung. Modus kalimat perintah dalam tuturan tersebut
digunakan oleh sang bos untuk menyuruh bawahannya agar mengumpulkan
27
laporan pada saat tuturan berlangsung di meja penutur yang bersangkutan. Karena
terdapat hubungan langsung antara modus kalimat dengan fungsi komunikatifnya,
yaitu kalimat perintah yang digunakan untuk memberikan perintah, maka tuturan
tersebut di atas merupakan tindak tutur langsung.
Tuturan “Panas sekali di dalam sini” yang disampaikan oleh seorang dosen
yang merasa sangat gerah pada saat mengajar jam siang di suatu ruang kelas
merupakan bentuk tindak tutur tidak langsung. Modus kalimat berita pada tuturan
tersebut tidak digunakan semata-mata untuk menyatakan keadaan ruang kelas
yang sangat panas. Dengan menyampaikan tuturan tersebut, dosen sebenarnya
menginginkan mahasiswa agar membuka jendela atau menyalakan AC sehingga
ruangan tersebut menjadi lebih dingin. Karena terdapat hubungan yang tidak
langsung antara modus kalimat dengan fungsi komunikatifnya di mana kalimat
berita digunakan untuk memberikan perintah, maka tuturan tersebut merupakan
tindak tutur tidak langsung. Karena tindak tutur tidak langsung adalah tuturan
yang berbeda dengan modus kalimatnya, maka maksud dari tindak tutur tidak
langsung dapat beragam dan tergantung pada konteksnya (Nadar, 2009: 19).
e. Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal
Di samping tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, sejumlah
tindak tutur mempunyai makna yang sesuai dan tidak sesuai dengan kata-kata
yang menyusunnya. Tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata
yang menyusunnya disebut sebagai tindak tutur literal, sedangkan tindak tutur
yang maksudnya tidak sama dengan makna kata yang menyusunnya disebut
28
sebagai tindak tutur tidak literal (Wijana dan Rohmadi, 2011: 30). Tindak tutur
literal dan tidak literal bisa berinteraksi dengan tindak tutur langsung dan tak
langsung menjadi tindak tutur langsung literal, tidak langsung literal, langsung
tidak literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal.
Tuturan “Baunya harum” yang disampaikan oleh seorang pengunjung gerai
parfum merupakan bentuk tindak tutur langsung literal. Hal ini terjadi karena
makna tuturan yang disampaikan oleh pengunjung gerai tersebut sama dengan
makna kata-kata yang menyusunnya di mana pengunjung tersebut menyatakan
bahwa bau parfum yang dicobanya memang harum. Tindak tutur tersebut juga
merupakan tindak tutur langsung karena modus kalimat dari tuturan tersebut yang
merupakan kalimat berita yang sesuai dengan fungsinya untuk menyatakan
sesuatu.
Contoh tuturan sebelumnya, yaitu “Panas sekali di dalam sini” merupakan
bentuk tindak tutur tak langsung literal. Tuturan tersebut merupakan tindak tutur
tidak langsung karena modus kalimat berita pada tuturan tersebut digunakan untuk
memberikan perintah. Selain itu, tuturan tersebut juga merupakan tindak tutur
literal karena melalui tuturan tersebut, penutur memang benar-benar ingin
menyampaikan bahwa dirinya merasakan panas berada di dalam ruangan yang
disebutkan dalam tuturannya.
Tuturan “Nonton TV terus aja, dik” yang disampaikan oleh seorang kakak
kepada adiknya yang besok akan melangsungkan ujian semester di sekolah
merupakan contoh tindak tutur langsung tak literal. Modus kalimat perintah dalam
tuturan tersebut memang digunakan untuk memberikan perintah sehingga tuturan
29
tersebut merupakan tindak tutur langsung. Akan tetapi, tuturan tersebut tentu saja
tidak benar-benar dimaksudkan untuk memerintahkan sang adik untuk terus
menonton televisi. Tuturan tersebut justru memiliki makna lain di mana sang
kakak tidak suka melihat adiknya terus menerus menonton televisi karena
seharusnya sang adik belajar untuk persiapan ujian esok harinya. Makna tuturan
yang tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya menjadikan tuturan
yang kedua tersebut sebagai tindak tutur tidak literal.
Tindak tutur tidak langsung tidak literal terdapat pada tuturan “Kamarmu
rapi sekali” yang dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya yang baru saja
bangun tidur dengan keadaan kamar yang luar biasa berantakan. Tuturan tersebut
merupakan tindak tutur tak literal karena tentu saja dengan melihat kondisi kamar
yang berantakan, tidak mungkin sang ibu benar-benar ingin menyatakan bahwa
kamar anaknya dalam keadaan rapi. Tuturan tersebut juga merupakan tindak tutur
tak langsung karena melalui kalimat berita tersebut, ibu tersebut tidak hanya
menyindir anaknya bahwa kamarnya berantakan akan tetapi juga memberikan
perintah kepada anak tersebut untuk segera membersihkan dan membereskan
kamarnya. Makna tuturan yang diujarkan selalu berkaitan dengan konteks karena
dalam konteks yang berbeda maka makna tuturan yang disampaikan juga akan
berbeda.
30
1.7. Metode Penelitian
1.7.1 Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan kajian sosiopragmatik pada wacana siaran berita
Indonesia Now yang ditayangkan di stasiun televisi Metro TV. Penelitian ini
merupakan penelitian yang bersifat kualitatif yang menekankan pada proses dan
makna yang tidak melibatkan penghitungan dalam hal kuantitas, jumlah,
intensitas, atau frekuensi (Denzin dan Lincoln, 1994: 4). Pendapat yang sama juga
disampaikan oleh Strauss dan Orbin (2007: 4) yang menyatakan bahwa penelitian
kualitatif merupakan jenis penelitian yang memproduksi temuan tidak
berdasarkan pada penghitungan. Selain itu, penelitian kualitatif merupakan
penelitian yang memproduksi atau menghasilkan data deskriptif yang terdiri dari
kata-kata lisan dan tertulis serta kebiasaan (Bogdan dan Taylor dalam Moleong,
2001: 3).
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wacana siaran berita
berbahasa Inggris Indonesia Now yang merupakan satu kesatuan yang utuh.
Populasi data dalam penelitian ini adalah siaran berita berbahasa Inggris
Indonesia Now yang ditayangkan oleh Metro TV. Dari siaran berita tersebut, tidak
semua akan dijadikan data sebagai bahan untuk analisis dalam penelitian ini,
dalam artian bahwa dari populasi tersebut, diambil beberapa data yang bisa
mewakili populasi data secara keseluruhan yang disebut sebagai sampel data.
Sampel data dikumpulkan dari beberapa episode siaran berita berbahasa Inggris
Indonesia Now yang ditayangkan di stasiun televisi Metro TV pada Desember
2012. Data dalam bentuk rekaman video siaran berita diunduh dari
31
www.metrotvnews.com/indonesianow yang merupakan webpage dari Metro TV
yang menyediakan layanan video streaming dimana semua program acara dan
berita Metro TV bisa disaksikan kapan pun dan di manapun.
Penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak di mana
menurut Mahsun (2005: 92), metode penyediaan data ini diberi nama metode
simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan
menyimak penggunaan bahasa, dan dalam kaitannya dengan penelitian ini,
peneliti menyimak penggunaan bahasa dalam rekaman video wacana siaran berita
berbahasa Inggris Indonesia Now yang ditayangkan oleh Metro TV. Terkait
dengan teknik lanjutan yang dilakukan untuk menjaring data, peneliti
menggunakan teknik bebas libat cakap. Dalam teknik ini, peneliti tidak dilibatkan
langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan pemunculan calon data kecuali
hanya sebagai pemerhati terhadap calon data yang terbentuk dan muncul dari
peristiwa kebahasaan di luar dirinya (Jati Kesuma, 2007: 44). Selain itu, peneliti
juga menggunakan teknik lanjutan yang berupa teknik catat di mana peneliti
melakukan pencatatan dari apa yang dituturkan oleh pembaca berita dalam video
rekaman siaran berita ke dalam bentuk transkrip.
1.7.2 Analisis Data
Data yang terkumpul dari proses penyimakan dan pencatatan selanjutnya
akan diatur untuk memudahkan analisis data. Yang pertama kali dilakukan adalah
mengklasifikasikan data menjadi beberapa kelompok atau bagian berdasarkan
kemiripan dari karakteristik tuturan itu sendiri, misalnya saja dari letak dan juga
32
tema atau topik tuturan, apakah merupakan pembuka, isi, penutup atau merupakan
bagian yang lain dari wacana siaran berita Indonesia Now. Pengklasifikasian data
yang seperti itu digunakan untuk kepentingan analisis data untuk menjawab
rumusan masalah yang pertama, yaitu memerikan struktur wacana siaran berita
berbahasa Inggris Indonesia Now.
Analisis data yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua
dilakukan melalui pemilahan dan pendeskripsian komponen-komponen tutur dari
wacana berita seperti partisipan, setting, topik, dan beberapa aspek komponen
tutur yang lain dalam wacana tersebut. Dalam menganalisis komponen tutur
wacana Indonesia Now, penulis menggunakan teori faktor penentu peristiwa tutur
yang dirumuskan oleh Hymes melalui akronim SPEAKING-nya. Untuk rumusan
masalah ketiga, tuturan dari penyiar berita dipilah kemudian dikelompokkan
sesuai dengan tindak tutur yang sama untuk mengetahui fungsi dari wacana siaran
berita berbahasa Inggris Indonesia Now. Untuk menganalisis maksud dari tindak
tutur, penulis berusaha untuk memahami dan menafsirkan maksud dari apa yang
disampaikan oleh penutur dengan dasar teori Searle mengenai tindak lokusi,
ilokusi, dan perlokusi, serta pendapat Nadar dan Wijana mengenai tindak tutur
langsung dan tidak langsung serta literal dan tidak literal. Maksud penutur dalam
tindak tutur ilokusinya kemudian dihubungkan juga dengan fungsi bahasa yang
disampaikan oleh Holmes.
33
1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data
Menurut Mahsun (2005: 123) hasil analisis bisa disajikan melalui dua cara,
yaitu metode formal dan informal. Metode formal adalah perumusan dengan
menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang. Sementara metode informal
adalah perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan
terminologi yang bersifat teknis. Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini
menggunakan metode informal dengan menggunakan deskripsi kata-kata biasa
dan bukan dengan simbol-simbol tertentu.
1.8 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I mengenai pendahuluan menyajikan
latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab
II dalam penelitian ini memaparkan struktur dari wacana siaran berita berbahasa
Inggris Indonesia Now yang menjadikan wacana tersebut sebagai suatu kesatuan
yang utuh. Bab III menyajikan komponen tutur atau beberapa aspek yang
menandai terjadinya peristiwa tutur dalam wacana siaran berita berbahasa Inggris
Indonesia Now. Bab IV memaparkan fungsi wacana siaran berita Indonesia Now
yang dilihat berdasarkan tindak tutur yang dimanfaatkan oleh kedua pembaca
berita wacana tersebut. Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan yang di
dapat dari hasil analisis data serta saran yang terkait dengan penelitian ini dan juga
penelitian lain mengenai analisis wacana.