pendahuluan latar belakang...

33
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bahasa, yang salah satu fungsinya adalah sebagai alat komunikasi (Pateda, 1987: 4), selalu berhubungan dengan bentuk, makna, dan fungsi. Apabila suatu alat komunikasi itu hanya berupa bentuk saja, tanpa makna dan maksud atau fungsi yang jelas, maka komunikasi tersebut jelas akan sia-sia karena inti dari komunikasi adalah menyampaikan maksud (Poedjosoedarmo, 2001: 171). Apabila suatu alat komunikasi itu hanya berupa makna saja, maka makna itu tidak akan tersampaikan tanpa adanya bentuk yang nyata untuk menyampaikan makna tersebut. Sementara komunikasi yang sudah dikemas dalam bentuk dan makna yang utuh tetapi tidak disertai dengan fungsi yang jelas maka akan menjadikan komunikasi itu kabur dan tidak jelas arahnya. Seperti itulah kiranya kesatuan bahasa terkait dengan salah satu fungsinya sebagai alat komunikasi. Analisis terhadap bahasa sebagai alat komunikasi juga melibatkan ketiga aspek tadi, yaitu analisis terhadap bentuk, makna, dan fungsi. Bahasa sendiri terdiri dari berbagai tataran dan oleh karenanya bisa dianalisis dari berbagai tataran kajian kebahasaan pula mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana. Dari beberapa tataran tersebut, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar dalam hierarki kebahasaan. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, atau karangan utuh (buku), yang membawa amanat lengkap (Kridalaksana, 1984: 208). Salah satu hal yang penting diperhatikan dalam menganalisis wacana terkait dengan bentuk, makna dan fungsi

Upload: haque

Post on 10-Mar-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Bahasa, yang salah satu fungsinya adalah sebagai alat komunikasi (Pateda,

1987: 4), selalu berhubungan dengan bentuk, makna, dan fungsi. Apabila suatu

alat komunikasi itu hanya berupa bentuk saja, tanpa makna dan maksud atau

fungsi yang jelas, maka komunikasi tersebut jelas akan sia-sia karena inti dari

komunikasi adalah menyampaikan maksud (Poedjosoedarmo, 2001: 171). Apabila

suatu alat komunikasi itu hanya berupa makna saja, maka makna itu tidak akan

tersampaikan tanpa adanya bentuk yang nyata untuk menyampaikan makna

tersebut. Sementara komunikasi yang sudah dikemas dalam bentuk dan makna

yang utuh tetapi tidak disertai dengan fungsi yang jelas maka akan menjadikan

komunikasi itu kabur dan tidak jelas arahnya. Seperti itulah kiranya kesatuan

bahasa terkait dengan salah satu fungsinya sebagai alat komunikasi.

Analisis terhadap bahasa sebagai alat komunikasi juga melibatkan ketiga

aspek tadi, yaitu analisis terhadap bentuk, makna, dan fungsi. Bahasa sendiri

terdiri dari berbagai tataran dan oleh karenanya bisa dianalisis dari berbagai

tataran kajian kebahasaan pula mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis, semantik,

dan wacana. Dari beberapa tataran tersebut, wacana merupakan satuan gramatikal

tertinggi dan terbesar dalam hierarki kebahasaan. Wacana dapat direalisasikan

dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, atau karangan utuh (buku), yang membawa

amanat lengkap (Kridalaksana, 1984: 208). Salah satu hal yang penting

diperhatikan dalam menganalisis wacana terkait dengan bentuk, makna dan fungsi

2

bahasa adalah bahwa analisis ini juga merupakan analisis terhadap suatu konteks.

Hal ini berarti bahwa dalam suatu analisis wacana, bukan hanya bentuknya saja

yang perlu diperhatikan tetapi juga konteks yang melingkupinya mengapa dan

untuk apa wacana yang bersangkutan muncul.

Pendekatan sosiopragmatik dalam analisis wacana bisa digunakan untuk

mengetahui konteks yang melingkupi suatu wacana. Sosiopragmatik merupakan

titik pertemuan antara sosiologi dan pragmatik yang berarti bahwa prinsip

pragmatik beroperasi secara berbeda pada masyarakat bahasa dan kondisi sosial

yang berbeda (Leech, 1983: 10-11, Rahardi, 2009: 14). Suatu wacana tentu saja

memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda antara wacana satu dengan wacana

yang lainnya. Perbedaan tersebut salah satunya disebabkan oleh konteks yang

melingkupi wacana tersebut. Melalui pendekatan ini, konteks yang terkait dengan

aspek atau komponen-komponen yang melatarbelakangi suatu wacana bisa

diketahui.

Salah satu wacana yang ada dan berkembang di masyarakat adalah wacana

siaran berita. Merupakan salah satu tanda kemajuan jaman di mana informasi bisa

disampaikan dan didapat dengan mudah, salah satunya dengan adanya siaran

berita di berbagai media baik itu media cetak ataupun elektronik, baik itu lokal,

nasional, ataupun internasional. Hampir setiap hari kita bisa memperbaharui

informasi atau berita yang kita butuhkan dengan cepat karena adanya koran, radio,

televisi, internet, dan sebagainya. Salah satu media penyampaian berita yang

menarik adalah media televisi. Dalam media tersebut, wacana berita disampaikan

secara lisan dengan disertai gambar, tulisan, dan juga illustrasi lain yang menarik.

3

Hampir semua media penyiaran televisi di Indonesia memiliki program

berita, baik itu yang disiarkan dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, ataupun

dalam bahasa Inggris. Sebagian besar media penyiaran di Indonesia menyiarkan

berita dalam bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional dan bahasa

persatuan Indonesia. Beberapa yang menampilkan wacana berita dalam bahasa

daerah kebanyakan adalah stasiun televisi lokal, sementara yang menyiarkan

wacana berita dalam bahasa Inggris hanya beberapa media penyiaran saja yang

mencakup media lokal dan nasional. Wacana berita yang disampaikan dalam

bahasa daerah tentu hanya dimengerti oleh golongan tertentu saja yang mengerti

bahasa tersebut. Misalnya saja siaran berita yang disampaikan dalam bahasa Jawa

akan lebih dimengerti oleh pendengar atau penonton yang paham dengan bahasa

Jawa. Hal yang sama juga terjadi pada wacana berita yang disampaikan dalam

bahasa Inggris yang hanya dimengerti oleh beberapa orang yang paham dengan

bahasa Inggris.

Salah satu program berita berbahasa Inggris adalah Indonesia Now yang

ditayangkan oleh Metro TV setiap hari Sabtu pukul 09.00 WIB. Metro TV

merupakan salah satu stasiun televisi swasta besar di Indonesia. Berbeda dengan

stasiun penyiaran yang lainnya yang sebagian besar menyajikan tayangan yang

menghibur seperti sinetron, musik, gossip, dan sebagainya, tayangan yang

ditampilkan di Metro TV sebagian besar adalah siaran berita ataupun tayangan

yang sifatnya lebih informatif. Indonesia Now adalah salah satu program berita

unggulan yang dimiliki oleh Metro TV yang disiarkan dalam bahasa Inggris.

4

Siaran berita berbahasa Inggris tersebut tentunya hanya dimengerti oleh

pendengar tertentu saja yang paham dengan bahasa Inggris. Pendengar yang tidak

paham betul dengan bahasa Inggris tidak akan berlama-lama berada di depan

televisi dan mendengarkan siaran berita tersebut karena pendengar berasumsi

bahwa dia tidak akan mendapat informasi apapun dari sana karena

ketidaktahuannya terhadap bahasa Inggris. Hal ini tentu saja berarti bahwa wacana

siaran berita berbahasa Inggris tersebut tidak bisa dinikmati oleh semua kalangan

masyarakat disamping tujuan dari stasiun televisi yang salah satunya adalah untuk

mendapatkan rating jumlah penonton yang tinggi. Dalam kaitannya dengan hal

ini, wacana siaran berita Indonesia Now yang ditayangkan oleh Metro TV jelas

memiliki fungsi atau tujuan tertentu mengapa dihadirkan di tengah masyarakat

Indonesia di mana bahasa Inggris merupakan bahasa asing yang tidak banyak

diketahui dan dipakai oleh sebagian besar masyarakatnya.

Terlepas dari bahasa yang digunakan, jika dilihat dari media

penyampaiannya Indonesia Now merupakan wacana lisan yang berbeda dari

wacana berita yang ada di koran atau majalah yang disampaikan dalam bentuk

tulisan. Sintaksis bahasa lisan secara khas jauh kurang terstruktur jika dibanding

dengan bahasa tulis. Bahasa lisan berisi banyak kalimat yang tidak lengkap, sering

hanya berupa rangkaian frase; bahasa lisan secara khas tidak banyak berisi

subordinasi. Selain itu, bahasa lisan banyak menggunakan “fillers” atau pengisi

jeda, seperti ehmm, well, I mean, dan sebagainya (Brown dan Yule, 1996: 15-17).

Akan tetapi, dalam wacana siaran berita Indonesia Now yang merupakan wacana

5

lisan, tidak ditemui ciri-ciri tersebut seperti yang terdapat pada kutipan Indonesia

Now edisi 01 Desember 2012 berikut ini:

Presenter 1: Selamat berjumpa lagi. Welcome to “Indonesia Now” from

Jakarta. I am Tascha Liudmilla. ‘Selamat datang di acara Indonesia Now dari Jakarta. Saya Tascha Liudmilla.’

Presenter 2: Hello, I am Dalton Tanonaka and this is your weekly window into the country’s top stories and people. ‘Halo, saya Dalton Tanonaka dan acara ini adalah jendela mingguan Anda untuk melihat orang-orang dan cerita teratas negeri ini.’

Presenter 2: Indonesian parliament members went to Cairo this week to assess the cease-fire between Israel and Hamas. They met with Egyptian representatives Tuesday who told them of hopes that the ceasefire would hold. Egypt also said it opens its borders for medical and logistic support to keep the peace. …………………………………………………………………………. ‘Anggota parlemen Indonesia minggu ini berangkat ke Kairo untuk menilai kesepakatan damai antara Israel dan Hamas. Mereka bertemu dengan perwakilan Mesir pada hari Selasa yang menyampaikan kepada mereka harapan bahwa kesepakatan damai akan berlanjut. Mesir juga menyampaikan bahwa pihaknya akan membuka perbatasan untuk bantuan medis dan juga logistik untuk menjaga perdamaian.’

Berdasarkan pada salah satu cuplikan wacana Indonesia Now tersebut di

atas, dapat dilihat bahwa pengisi jeda yang menurut Brown dan Yule (1996: 15-

17) banyak ditemukan dalam bahasa lisan, justru tidak ditemukan pada bagian

wacana siaran berita di atas meskipun wacana tersebut juga merupakan wacana

yang disampaikan secara lisan. Bahasa lisan yang digunakan dalam wacana siaran

berita berbeda dengan bahasa lisan yang biasanya di mana wacana berita lebih

banyak menggunakan kalimat lengkap. Selain itu, ragam yang digunakan dalam

kutipan wacana siaran berita tersebut di atas adalah ragam formal, bukan ragam

santai atau informal seperti yang misalnya ditemui pada wacana lisan sehari-hari.

6

Akan tetapi hal itu tidak serta merta menjadikan wacana berita Indonesia

Now tanpa pengisi jeda dan tanpa ragam informal. Pengisi jeda ditemukan di

beberapa bagian lain pada wacana berita tersebut, misalnya saja pada tayangan

cuplikan interview atau wawancara yang dilakukan pembawa berita dengan

narasumber. Selain itu, pada bagian penutup wacana siaran berita Indonesia Now

juga ditemukan adanya fillers, di mana kali ini fillers digunakan antara kedua

pembawa berita yang saling bercakap dengan pilihan ragam bahasa yang lebih

santai. Ragam ini bisa dilihat seperti pada kutipan siaran berita edisi 01 Desember

2012 berikut ini:

Presenter 1: Well, now you’re on the new challenges dear and all of us wish

you very-very well. ‘Well, sekarang kamu punya tantangan baru sayang dan kami semua berharap baik untukmu.’

Presenter 2: That’s so sweet. ‘Manis sekali.’ Presenter 1: Yak. Well you know, if you look in the dictionary; you look in the

word “sweet,” they have your picture next to it. ‘Ya. Well, kamu tahu apabila kamu melihat kata “sweet” di kamus, maka akan ada gambarmu di sebelah kata itu.’

Presenter 2: Thank you, Dalton. ‘Terima kasih, Dalton.’ ………………………………………………………………………….

Presenter 2: And that is “Indonesia Now” for this week. Thank you for watching. I am Tascha Liudmilla. ‘Dan demikian tadi siaran Indonesia Now untuk minggu ini. Terima kasih sudah menyaksikan tayangan ini. Saya Tascha Liudmilla.’

Presenter 1: For the last time. ‘Untuk yang terakhir kalinya.’ Terima kasih. I am Dalton Tanonaka. Please join us again next week. ‘Terima kasih. Saya Dalton Tanonaka. Bergabunglah kembali bersama kami minggu depan.’

Pada kutipan wacana siaran berita Indonesia Now di atas, jelas sekali terlihat

bahwa sebelum sampai pada bagian penutup wacana berita tersebut, ragam yang

digunakan oleh kedua presenter atau pembawa berita dalam berinteraksi satu

sama lain adalah ragam informal yang memang berbeda dengan ragam yang

7

mereka gunakan ketika menyampaikan informasi atau berita-berita penting

kepada penonton. Hal ini juga menjadikan wacana Indonesia Now menarik karena

pemilihan ragam formal dan informal tersebut bukan berarti tanpa alasan dalam

artian bahwa selalu ada hal yang melatarbelakangi pemilihan ragam suatu bahasa

dalam suatu peristiwa tutur. Meskipun terdapat percakapan antara kedua pembawa

berita, wacana lisan siaran berita Indonesia Now tidak melibatkan penonton ke

dalam peristiwa tutur yang terjadi antara kedua pembawa berita. Dalam wacana

seperti itu, pembawa beritalah yang secara aktif mengkomunikasikan pesan dan

penonton hanya secara pasif menerima informasi yang disampaikan tanpa ikut

terlibat ke dalam peristiwa tutur tersebut.

Karakteristik bahasa lisan dalam wacana Indonesia Now yang berbeda

dengan bahasa lisan pada percakapan sehari-hari, pemilihan ragam bahasa, serta

bentuk interaksi antara pembawa berita dan penonton tentu saja merupakan ciri

wacana Indonesia Now yang berbeda dari wacana yang lainnya. Karakter tersebut

pastinya tidak hadir begitu saja tanpa adanya faktor yang mempengaruhinya.

Dalam setiap peristiwa tutur, selalu ada aspek atau komponen tutur yang

mempengaruhi bentuk atau karakter bahasa yang digunakan di dalamnya. Hal

yang sama juga terjadi dalam wacana Indonesia Now di mana karakteristik bahasa

dalam wacana tersebut dipengaruhi oleh komponen-komponen tutur tertentu yang

menjadikannya berbeda dengan wacana yang lain.

Selain beberapa karakter tersebut, Indonesia Now juga memiliki karakter

lain yang dicirikan melalui fungsi dan struktur wacananya. Tuturan yang

disampaikan oleh pembawa berita pada wacana Indonesia Now tentu saja bukan

8

merupakan tuturan kosong tanpa makna dan fungsi yang jelas. Tuturan-tuturan

yang disampaikan oleh pembawa berita pasti memiliki fungsi tersendiri untuk apa

tuturan tersebut disampaikan. Selain itu, wacana Indonesia Now juga memiliki

komponen-komponen yang disusun membentuk suatu alur atau struktur tertentu

dari wacana ini. Salah satu contohnya adalah wacana Indonesia Now memiliki

komponen pengantar berita yang disampaikan pada bagian paling awal

penayangan wacana tersebut. Komponen dan alur tersebut tidak ditemui pada,

misalnya, wacana percakapan lisan sehari-hari atau pada wacana konsultasi antara

dokter dengan pasien yang pastinya memiliki komponen dan struktur yang lain.

Berdasarkan pada beberapa hal yang tampak dari pengamatan sekilas

tersebut, bisa dikatakan bahwa memang Indonesia Now sebagai sebuah wacana

memiliki karakter yang khas yang berbeda dari wacana yang lainnya. Beberapa

hal tersebut membuat wacana Indonesia Now menarik untuk dikaji lebih lanjut

lagi melalui pendekatan sosiopragmatik yang bisa mengungkap konteks tertentu

yang menjadikan wacana Indonesia Now berbeda dengan wacana yang lain.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang disampaikan pada bagian latar belakang penelitian

di atas, terdapat beberapa permasalahan yang menarik untuk diteliti. Permasalahan

tersebut diantaranya adalah:

1. Bagaimana struktur wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia Now di

Metro TV?

9

2. Apa saja komponen tutur dalam wacana siaran berita berbahasa Inggris

Indonesia Now di Metro TV?

3. Apa fungsi wacana dilihat dari tindak tutur yang ada dalam siaran berita

berbahasa Inggris Indonesia Now di Metro TV?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan struktur wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia

Now di Metro TV.

2. Mendeskripsikan komponen-komponen tutur wacana siaran berita berbahasa

Inggris Indonesia Now di Metro TV.

3. Mendeskripsikan fungsi wacana siaran berita berbahasa Inggris Indonesia

Now di Metro TV berdasarkan tindak tutur yang dimanfaatkan di dalamnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik itu secara praktis

ataupun secara teoretis.

1.4.1 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan

pengetahuan mengenai struktur wacana siaran berita berbahasa Inggris, komponen

tutur yang membangunnya, dan fungsi dari wacana tersebut.

10

1.4.2 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini mengungkap bahwa ada pola-pola tertentu

yang harus diikuti dalam membuat atau menyusun sebuah wacana berita, salah

satunya adalah pola dalam wacana siaran berita Indonesia Now. Penelitian ini juga

diharapkan dapat memberikan tambahan referensi bagi penelitian mengenai

analisis wacana yang merupakan salah satu bidang kajian yang memang banyak

diminati oleh para peneliti bahasa. Selain itu, analisis wacana siaran berita

berbahasa Inggris ini diharapkan untuk selanjutnya bisa menjadi titik pangkal bagi

analisis lain yang serupa di bidang analisis wacana siaran berita baik itu untuk

dikembangkan menjadi analisis wacana kritis, retorika, stilistika penyampaian

berita, ataupun dalam bidang kajian terkait lainnya.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai wacana memang tampaknya banyak menarik perhatian

peneliti untuk mengkajinya secara lebih mendalam mengenai bagaimana struktur

dan komponen tertentu bisa membangun sebuah wacana yang utuh. Jorgensen dan

Phillips (2007: 2) menyatakan bahwa analisis wacana bukanlah sekedar satu

pendekatan tunggal, melainkan serangkaian pendekatan multidisipliner yang bisa

digunakan untuk mengeksplorasi banyak domain sosial yang berbeda yang berada

dalam jenis-jenis kajian yang berbeda. Karena merupakan pendekatan yang

multidisipliner juga lah yang menjadikan suatu wacana dapat dianalisis dari

beberapa segi kebahasaan. Beberapa penelitian yang sudah ada mencoba

11

menganalisis wacana dari beberapa bidang kajian seperti sosiolinguistik,

pragmatik, atau sosiopragmatik.

Salah satu penelitian pada wacana adalah yang dilakukan oleh Mawadati

(2002) yang menggunakan pendekatan sosiolinguistik, dalam hal ini penelitian

yang dilakukan adalah mengenai “Wacana Penyuluhan Keluarga Berencana

sebagai Salah Satu Bentuk Register” yang datanya diambil dari data lisan berupa

penyuluhan program Keluarga Berencana di dua wilayah di Yogyakarta. Dalam

penelitiannya tersebut, Mawadati berusaha untuk mengungkapkan struktur

wacana penyuluhan Keluarga Berencana, komponen tuturnya dan bentuk-bentuk

khas register penyuluhan Keluarga Berencana.

Penelitian serupa tentang analisis wacana juga dilakukan oleh Santoso

(2006) yang mengangkat wacana iklan komersial berbahasa Indonesia di televisi.

Dalam penelitiannya tersebut, Santoso memaparkan tiga bagian iklan di televisi,

yaitu butir utama, tubuh iklan, dan penutup iklan yang masing-masing memiliki

fungsi berbeda dalam membangun sebuah wacana iklan komersial di televisi.

Selain itu, Santoso juga memerikan aspek verbal dan non-verbal dari wacana iklan

komersial tersebut.

Selain kedua penelitian di atas, masih ada juga beberapa penelitian tentang

analisis wacana seperti yang dilakukan oleh Hidayat (2008) dan Sultan (2009).

Keduanya sama-sama mengangkat analisis wacana melalui pendekatan

sosiopragmatik yang menghubungkan wacana dengan tindak tutur dan

penyimpangan maksim yang ada di dalamnya. Perbedaan dari kedua penelitian

tersebut terletak pada objeknya di mana Hidayat mengambil objek yang berupa

12

wacana iklan perdukunan dalam bentuk tulis di media cetak, sedangkan Sultan

mengambil objek wacana iklan operator seluler di media elektronik.

Meskipun penelitian kali ini juga merupakan analisis wacana, namun

penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang sebelumnya. Yang

membedakan penelitian ini dari penelitian yang sebelumnya adalah objek

penelitian ini sendiri. Apabila penelitian sebelumnya mengangkat analisis wacana

dalam penyuluhan keluarga berencana dan juga analisis wacana iklan baik itu

dalam bentuk lisan ataupun tertulis, penelitian kali ini mengangkat wacana

Indonesia Now yang merupakan wacana siaran berita berbahasa Inggris mingguan

yang ditayangkan oleh stasiun televisi Metro TV. Penelitian ini menggunakan

pendekatan sosiopragmatik untuk mengetahui konteks yang melatarbelakangi

wacana siaran berita Indonesia Now.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Wacana

Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak yang artinya

adalah “berkata,” “berucap” (Douglas, 1976: 226 dalam Mulyana, 2005: 3). Oleh

para linguis Indonesia dan di negara-negara berbahasa Melayu lainnya, istilah

wacana dikenalkan dan digunakan sebagai bentuk terjemahan dari istilah bahasa

Inggris discourse (Oetomo, 1993: 3). Kata discourse sendiri berasal dari bahasa

Latin discursus yang artinya “lari ke sana kemari,” “lari bolak balik.” Kata ini

diturunkan dari dis (dari/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari). Jadi

discursus bearti lari ke arah yang berbeda yang kemudian ditransfer maknanya

13

menjadi ‘terlibat dalam sesuatu atau memberi informasi tentang sesuatu (Vass,

1992 dalam Titscher dkk. 2000: 42). Webster (1983: 522) dalam Mulyana (2005:

4) memperluas makna discourse sebagai berikut: (1) komunikasi kata-kata, (2)

ekspres gagasan-gagasan, (3) risalah tulisan, disertasi formal, kuliah, ceramah,

khutbah.

Dalam ilmu bahasa, wacana digunakan untuk mendeskripsikan struktur

yang lebih tinggi dari kalimat (Mills, 2004: 116). Kridalaksana (1984: 208) dan

Chaer (1995: 267) menambahkan bahwa wacana berarti satuan bahasa terlengkap,

yang dalam hierarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi dan

terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, atau

karangan utuh (buku), yang membawa amanat lengkap. Tarigan (1993: 27)

menambahkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertingggi

atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang

berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan

secara lisan atau tertulis. Moeliono selanjutnya (1988: 334) mengatakan bahwa

wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi

satu dengan lainnya dalam kesatuan makna. Pengertian tersebut serupa dengan

apa yang disampaikan oleh Dardjowidjojo (1993: 34) bahwa wacana merupakan

rentatan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuk makna yang serasi di antara

kalimat itu. Dalam kaitannya dengan kesatuan makna dalam sebuah wacana,

Mulyana (2005: 6) menambahkan bahwa suatu rentetan kalimat bisa disebut

sebagai wacana atau bukan wacana tergantung pada keutuhan unsur-unsur makna

dan konteks yang melingkupinya.

14

Unsur pembeda antara bentuk wacana dan bukan wacana adalah pada ada

tidaknya kesatuan makna yang dimilikinya (Mulyana, 2005: 5). Tiap kajian

wacana akan selalu mengaitkan unsur-unsur satuan kebahasaan yang ada di

bawahnya, seperti fonem, morfem, frasa, klausa, atau kalimat (Mulyana, 2005: 6).

Selain itu, analisis wacana tentunya adalah analisis atas bahasa yang digunakan.

Maka analisis itu tidak dapat dibatasi pada deskripsi bentuk bahasa yang terikat

pada tujuan atau fungsi yang dirancang untuk menggunakan bentuk tersebut

dalam urusan-urusan manusia. Kalau ada ahli linguistik yang memusatkan

perhatian pada penentuan sifat-sifat formal suatu bahasa, penganalisis wacana

berkewajiban menyelidiki untuk apa bahasa tersebut dipakai (Brown dan Yule,

1996: 1). Wijana (2006: 62) menegaskan bahwa analisis wacana tidak dapat

dilakukan semata-mata hanya mengandalkan pendekatan formal dan mengabaikan

faktor-faktor yang bersifat situasional. Lebih lanjut dinyatakan bahwa amanat

sebuah wacana dalam linguistik sangat bergantung pada konteksnya, baik konteks

yang bersifat lingual maupun konteks nonlingual.

Wacana sering kali disamakan penggunaannya dengan teks di mana wacana

diasosiasikan dengan wacana lisan dan teks sebagai wacana tertulis. Akan tetapi

pada dasarnya wacana dan teks mengacu pada dua hal yang berbeda. Wacana

merupakan payung analisis terhadap teks baik itu teks lisan ataupun teks tertulis

yang lebih tinggi daripada kalimat (Georgakopoulou dan Goutsos, 1997: 3-4).

Analisis wacana merupakan perpaduan antara teks dan konteks, atau oleh

Renkema (2004: 1) didefinisikan sebagai analisis yang menghubungkan antara

bentuk dan fungsi dalam komunikasi verbal.

15

Aspek kontekstual dalam suatu wacana lebih bergantung pada faktor

sosiokultural, seperti misalnya sensibilitas atas tingkat kesopanan cara bertutur,

atau familiaritas sebuah istilah pada lawan bicara (van Dijk, 1988: 25). Wacana

dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu.

Menurut Guy Cook dalam Eriyanto (2001: 8-9), analisis wacana juga memeriksa

konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan

mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana

perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap

masing-masing pihak. Sementara itu, aspek tekstual dari suatu wacana mencakup

struktur sistem kebahasaan khusus yang dapat berbeda antara satu bahasa dengan

bahasa lain, atau satu wacana dengan wacana yang lain. Van Dijk melihat suatu

teks terdiri dari tiga struktur atau tingkatan yang masing-masing bagian saling

mendukung.

Tingkatan pertama adalah struktur makro yang merupakan makna global

atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema

yang dikedepankan dalam suatu berita. Tingkatan kedua adalah superstruktur,

yaitu struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana

bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Dengan menggunakan

struktur skematik ini dapat diidentifikasi mengenai awal dan akhir dari sebuah

wacana, atau headline (judul utama) pada sebuah berita, pembukaan pada

percakapan, atau suatu kesimpulan dari suatu argumen. Hal tersebut merupakan

satu ide formal, bagaimana isi sebuah berita akan selalu memiliki sebuah awalan

yang berfungsi mengawali dan meringkas laporan serta apapun yang dinyatakan

16

pada akhir suatu percakapan atau artikel atau laporan akan berfungis sebagai

kategori penutup (van Dijk, 1997: 13). Tingkatan yang ketiga yaitu struktur mikro

yang merupakan makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu

teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.

Terkait dengan superstruktur, analisis wacana juga memperhatikan keutuhan

struktur yang menjadikan suatu wacana tertentu utuh. Keutuhan struktur wacana

lebih dekat maknanya sebagai suatu kesatuan maknawi (semantik) ketimbang

sebagai kesatuan bentuk (sintaksis). Suatu rangkaian kalimat dikatakan menjadi

struktur wacana bila di dalamnya terdapat hubungan emosional (maknawi) antara

bagian yang satu dengan bagian yang lainnya (Mulyana, 2005: 25). Suatu wacana

tertentu tersusun dari bagian-bagian yang membangunnya menjadi sebuah wacana

yang utuh dan suatu wacana dituntut memiliki keutuhan struktur. Keutuhan itu

sendiri dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu

organisasi kewacanaan. Organisasi inilah yang disebut sebagai struktur wacana

yang dapat diurai atau dideskripsikan bagian-bagiannya (Mulyana, 2005: 25).

Penganalisis wacana akan mencoba mendeskripsikan bentuk-bentuk bahasa yang

terdapat dalam datanya, yang berhubungan dengan lingkungan-lingkungan tempat

terdapatnya. Dalam arti ini, analisis wacana adalah suatu cara menyelidiki bahasa

di mana penganalisis wacana mencoba menemukan keteraturan-keteraturan dalam

datanya dan mendeskripsikannya (Brown dan Yule, 1996: 22-23).

17

1.6.2 Komponen Tutur

Wacana adalah wujud atau bentuk bahasa yang bersifat komunikatif,

interpretatif, dan kontekstual. Artinya, analisis terhadap pemakaian bahasa dalam

suatu wacana memerlukan adanya kemampuan menginterpretasikan dan

memahami konteks terjadinya wacana. Konteks ialah situasi atau latar terjadinya

suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab atau alasan terjadinya

suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan,

apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat

bergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tutur itu (Mulyana,

2005: 21).

Menurut Moeliono (1988: 336) dan Samsuri (1987: 4), konteks terdiri atas

beberapa hal, yakni situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa,

bentuk, amanat, kode, dan saluran. Dalam kajian sosiolinguistik, Dell Hymes

(1972) merumuskan faktor-faktor penentu peristiwa tutur melalui akronim

SPEAKING yang diantaranya adalah:

a. S (Setting dan Scene), yaitu latar dan suasana. Latar (setting) lebih bersifat

fisik, yaitu meliputi tempat dan waktu terjadinya tuturan. Sementara scene

adalah latar psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang

menyertai peristiwa tuturan.

b. P (Participants), yaitu peserta dalam suatu peristiwa tutur, yaitu orang-orang

yang terlibat dalam percakapan, baik langsung maupun tidak langsung. Hal-

18

hal yang berkaitan dengan partisipan seperti usia, pendidikan, latar sosial, dan

sebagainya juga menjadi perhatian.

c. E (Ends), yaitu hasil atau tangggapan dari suatu pembicaraan yang memang

diharapkan oleh penutur, dan tujuan akhir pembicaraan itu sendiri.

d. A (Acts of Sequence), mengacu pada pesan/amanat, terdiri dari bentuk pesan

(message form) dan isi pesan (message content). Dalam Nadar (2009: 7-8).

acts of sequence menunjuk pada saluran tutur yang dapat merupakan lisan

maupun tertulis .

e. K (Key), meliputi cara, nada, sikap, atau semangat dalam melakukan

percakapan, semangat percakapan antara lain misal serius, santai, akrab.

f. I (Instrumentalities), yaitu sarana percakapan. Maksudnya dengan media apa

percakapan tersebut disampaikan, misalnya dengan cara lisan, tertulis, surat,

radio, dan sebagainya.

g. N (Norms) atau norma, menunjuk pada norma atau aturan yang membatasi

percakapan, misalnya apa yang boleh dibicarakan, apa yang tidak dan

bagaimana cara membicarakannya, misalnya saja untuk hal yang halus, kasar,

terbuka, jorok, dan sebagainya.

h. G (Genre) mengacu pada jenis atau bentuk wacana. Hal ini langsung

menunjuk pada jenis wacana yang disampaikan, misalnya wacana telepon,

wacana koran, wacana puisi, ceramah, dan sebagainya.

Poedjosoedarmo (1985: 80) mengembangkan pendapat Hymes dengan

menyebutnya sebagai komponen tutur yang meliputi pribadi si penutur atau orang

pertama (O1), anggapan penutur terhadap kedudukan sosial dan relasinya dengan

19

orang yang diajak berbicara (O2), kehadiran orang ketiga (O3), maksud atau

kehendak si penutur, warna emosi si penutur, nada suara pembicara, pokok

pembicaraan, urutan bicara, bentuk wacana, adegan tutur, lingkungan tutur, norma

kebiasaan lain.

Senada dengan apa yang disampaikan oleh Hymes dan Poedjosoedarmo

mengenai komponen tutur, Holmes (2001: 8) juga menyatakan sejumlah faktor

sosial yang relevan dengan pemakaian bahasa yang menentukan bentuk tuturan

yang dihasilkan. Holmes mengelompokkannya menjadi 4 faktor, yaitu (1) the

participants (partisipan), yaitu siapa yang berbicara dan siapa yang diajak bicara;

(2) the setting/social context of interaction (setting atau konteks sosial interaksi),

yaitu di mana penutur dan petutur saling berkomunikasi; (3) the topic (topic),

yaitu apa yang dibicarakan oleh penutur dan petutur; dan (4) the functions

(fungsi), yaitu fungsi dari komunikasi, mengapa penutur dan petutur

berkomunikasi. Selain itu, Holmes (2001: 9-10) juga mendeskripsikan 4 dimensi

sosial yang bermanfaat untuk menganalisis faktor-faktor sosial dalam

berkomunikasi, yaitu skala jarak sosial yang berkaitan dengan peserta tutur, skala

status yang berhubungan dengan hubungan antar peserta tutur, skala formalitas

yang berkaitan dengan setting dan tipe informasi, dan dua skala fungsional yang

berhubungan dengan maksud dan topik dalam suatu interaksi.

1.6.3 Fungsi Bahasa

Bahasa oleh Brown dan Yule (1983: 1) dideskripsikan memiliki dua fungsi,

yaitu fungsi transaksional dan fungsi interaksional. Fungsi transaksional

20

merupakan fungsi di mana yang dipentingkan dalam komunikasi itu adalah isi dari

apa yang dikomunikasikan. Dengan kata lain, fungsi transaksional merupakan

fungsi bahasa sebagai penyalur informasi. Sementara itu, fungsi interaksional

merupakan fungsi bahasa untuk mengekspresikan hubungan sosial dan sikap

personal. Fungsi interaksional digunakan untuk menunjukkan solidaritas dan

menjaga kedekatan sosial (Cutting, 2008: 21).

Selain dua fungsi tersebut, Holmes (2001: 259) juga menyatakan beberapa

fungsi lain terkait dengan suatu tuturan. Fungsi-fungsi tersebut diantaranya

adalah:

a. Fungsi Ekspresif

Pada fungsi ekspresif, bahasa digunakan untuk menyatakan perasaan penutur.

Fungsi ini biasanya bersifat individual dari dalam diri penutur seperti

misalnya tuturan yang digunakan untuk menyatakan perasaan senang, sedih,

menyesal, dan sebagainya.

b. Fungsi Direktif

Bahasa yang memiliki fungsi direktif digunakan untuk membuat lawan tutur

melakukan sesuatu seperti apa yang diinginkan oleh penuturnya. Fungsi

direktif ini secara langsung dinyatakan melalui modus kalimat yang berupa

kalimat imperatif seperti misalnya “Keluar dari ruanganku sekarang” di mana

penutur memberikan perintah kepada lawan tuturnya secara langsung untuk

meninggalkan ruangan penutur. Fungsi direktif ini bisa juga disampaikan

melalui tuturan tak langsung seperti dalam “Bisakah kamu ambilkan bukuku

di rak itu?” di mana meskipun merupakan modus kalimat tanya, tuturan

21

tersebut tidak benar-benar digunakan penutur untuk mendengar jawaban

“iya” atau “tidak” dari lawan tutur, namun penutur meminta lawan tutur

untuk melakukan sesuatu seperti yang disebutkan dalam tuturannya.

c. Fungsi Referensial

Fungsi referensial sama halnya seperti fungsi transaksional di mana bahasa

digunakan untuk menyampaikan informasi. Yang diutamakan dalam fungsi

ini adalah isi pesan yang ada dalam tuturan yang misalnya digunakan untuk

mendeskripsikan, menjelaskan, melaporkan, dan sebagainya.

d. Fungsi Metalinguistik

Bahasa dalam fungsi metalinguistik digunakan untuk memberikan komentar

atau menjelaskan bahasa itu sendiri. Fungsi ini biasanya direpresentasikan

dengan penjabaran istilah-istilah tertentu dalam suatu bahasa, misalnya

“Sporadis” merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan sesuatu

yang jarang atau tidak terjadi secara terus menerus.

e. Fungsi Puitis

Fungsi puitis mengutamakan keindahan dari bahasa yang digunakan. Fungsi

ini banyak digunakan pada bahasa puisi atau syair yang memang selain

banyak menggunakan perumpamaan atau kiasan, bahasanya juga

dipertimbangkan benar-benar sehingga bisa menampilkan sisi indah dari apa

yang disampaikan.

f. Fungsi Fatis

Fungsi fatis digunakan untuk mengungkapkan solidaritas dan empati kepada

orang lain. Apabila dihubungkan dengan fungsi interaksional dan

22

transaksional yang sebelumnya sudah disebutkan, fungsi fatis ini termasuk ke

dalam fungsi interaksional di mana bahasa digunakan untuk mengekspresikan

hubungan sosial dan sikap personal.

1.6.4 Tindak Tutur

Austin (1962: 6) menyebutkan bahwa pada dasarnya pada saat seseorang

menuturkan sesuatu, orang tersebut tidak semata-mata memberikan pernyataan

saja, akan tetapi lebih kepada melakukan suatu tindakan dari apa yang disebutkan

dalam tuturannya. Hal ini oleh Austin disebut sebagai tindak tutur yang

merupakan tindakan yang dilakukan melalui tuturan. Teori tindak tutur

menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan melalui tuturan bisa dianalisis

melalui tiga level yang berbeda, yaitu tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi

(Cutting, 2008: 13).

a. Tindak Lokusi

Tindak lokusi adalah tindak tutur yang digunakan untuk menyatakan sesuatu

(Wijana, 2009: 20; Cutting, 2008: 14; Austin, 1962: 95). Tindak tutur ini disebut

juga sebagai “the act of saying something” ‘tindakan mengatakan sesuatu’.

Misalnya saja terdapat tuturan “Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Sri

Sultan Hamengku Buwana X.” Kalimat tersebut semata-mata hanya ditujukan

oleh penutur untuk memberikan informasi kepada lawan tutur mengenai siapa

gubernur DIY dan tidak untuk mempengaruhi lawan tutur untuk melakukan suatu

tindakan. Tindak lokusi diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk

23

menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk

mempengaruhi lawan tuturnya (Wijana, 2009: 21).

Konsep lokusi adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat.

Kalimat atau tuturan dalam hal ini dianggap sebagai suatu satuan yang terdiri dari

dua unsur, yaitu subjek dan predikat. Tindak lokusi juga merupakan tindakan yang

paling mudah diidentifikasi karena pengidentifikasiannya dapat dilakukan tanpa

harus mempertimbangkan konteks yang melingkupi tuturan dalam suatu situasi

tutur tertentu (Wijana dan Rohmadi, 2009: 22).

b. Tindak Ilokusi

Selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, sebuah

tuturan dapat juga digunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur yang

digunakan untuk melakukan sesuatu disebut sebagai tindak ilokusi (Austin, 1962:

99). Dengan kata lain, tindak ilokusi merupakan hal yang dilakukan dalam

mengucapkan suatu tuturan. Tindak ilokusi berkaitan dengan fungsi dari kata-kata

yang diujarkan dan tujuan tertentu yang ada dalam pikiran penutur (Cutting, 2008:

14). Dalam mengujarkan “Sekarang sudah jam 6.50,” seorang penutur yang

misalnya adalah seorang ayah, yang mengujarkan tuturan tersebut kepada lawan

tutur, misalnya adalah anak lelakinya yang sedang sarapan sebelum berangkat

sekolah, penutur tentu tidak semata-mata memberi tahu lawan tuturnya mengenai

informasi tentang waktu pada saat tuturan itu diujarkan. Akan tetapi, penutur

memiliki maksud dan tujuan tertentu dalam mengujarkan tuturan tersebut, dalam

hal ini penutur meminta lawan tuturnya untuk segera menyelesaikan sarapannya

24

dan bergegas berangkat ke sekolah agar lawan tutur tidak terlambat masuk kelas

karena jarak rumah dari sekolah yang lumayan jauh. Maksud dan tujuan penutur

yang sebenarnya adalah meminta lawan tuturnya agar melakukan sesuatu hal

itulah yang disebut sebagai tindak ilokusi atau “the act of doing something”

‘tindakan melakukan sesuatu.’

Searle mengelompokkan fungsi umum yang dimiliki oleh tindak tutur

ilokusi menjadi lima bagian (Nadar, 2009: 15-16; Cutting, 2008: 14-15; Leech,

1983: 205), yaitu:

a) Declaration ‘deklarasi’: merupakan tuturan yang bisa mengubah dunia

atau dimaksudkan untuk menciptakan status atau sebuah keadaan baru,

seperti “I hereby pronounce you man and wife” yang diucapkan oleh

seorang penutur yang memang memiliki wewenang untuk mengucapkan

tuturan tersebut akan serta merta mengubah dua orang lelaki dan

perempuan menjadi pasangan suami istri. Selain itu, tindak tutur deklarasi

ini bisa berupa tuturan seperti memutuskan, membatalkan, melarang,

mengizinkan, dan memberi maaf.

b) Representative ‘representatif’: merupakan tuturan yang dipercaya oleh

penutur sebagai sesuatu yang benar. Dengan kata lain, tindak tutur ini

mengikat penutur pada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Tindak

tutur representatif ini dapat berupa tuturan yang berfungsi untuk

menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan (Levinson:

1991: 240).

25

c) Commissive ‘komisif’: merupakan tuturan yang membuat penutur

melakukan sesuatu di kemudian hari, atau tindak tutur yang mengikat

penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam

tuturannya seperti berjanji, bersumpah, atau mengancam.

d) Directive ‘direktif’: tuturan yang membuat pendengar atau lawan tutur

melakukan sesuatu, misalnya saja “requesting,” commanding,” dan

“ inviting.” Tindak tutur direktif ini antara lain adalah menyuruh,

memohon, menuntut, dan mengundang.

e) Expressive ‘ekspresif’: tuturan yang menyatakan apa yang penutur rasakan

seperti meminta maaf, menyesal, memuji, berterimakasih, dan mengeluh.

c. Tindak Perlokusi

Selain tindak tutur ilokusi yang digunakan untuk menyatakan sesuatu, suatu

tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh atau

efek bagi yang mendengarkannya (Austin, 1962: 101). Tindak tutur yang

pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan

tindak perlokusi atau the act of affecting someone (Wijana, 2009: 23). Tindak

perlokusi mengharapkan adanya efek pada pendengar terhadap tuturan yang

disampaikan dan reaksi pendengar setelah mendengar tuturan tersebut (Cutting,

2008: 14). Tuturan “Sekarang sudah jam 6.50” pada contoh sebelumnya selain

memiliki tindak ilokusi juga mengandung efek perlokusi yang diharapkan oleh

penutur. Jam masuk sekolah biasanya adalah jam 7.00 dan apabila jarak rumah

dengan sekolah lumayan jauh, waktu 10 menit merupakan waktu yang terbatas

26

dan ditakutkan bahwa si anak akan terlambat berangkat ke sekolah. Dalam

menyampaikan tuturan tersebut, sang ayah sebagai penutur mengharapkan bahwa

efek dari tuturan tersebut terhadap anaknya sebagai lawan tutur adalah bahwa

lawan tutur menjadi terburu-buru sehingga segera menyelesaikan sarapannya dan

segera berangkat sekolah.

d. Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsu ng

Tindak tutur juga bisa dibedakan berdasarkan strukturnya (Yule, 1996: 54).

Struktur yang dimaksud dalam hal ini adalah berdasarkan pada tiga modus utama

kalimat, yaitu kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah. Untuk

mengetahui apakah suatu tindak tutur merupakan suatu tindak tutur langsung

ataupun tidak langsung bisa dilihat berdasarkan pada hubungan antara modus

kalimatnya dan fungsi komunikatifnya di mana kalimat berita berfungsi untuk

memberitakan, kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah

untuk menyuruh, mengajak, atau memohon (Nadar, 2009: 18; Yule, 1996: 54).

Apabila terdapat hubungan langsung antara modus kalimat dengan fungsinya,

maka tindak tutur yang terjadi adalah tindak tutur langsung. Sedangkan apabila

terdapat hubungan yang tidak langsung antara modus kalimat dan fungsinya,

maka tindak tuturnya adalah tindak tutur tidak langsung (Yule, 1996: 54-55).

Tuturan “Kumpulkan laporannya sekarang di meja saya” yang dituturkan

oleh seorang bos atau atasan kantor kepada bawahannya merupakan salah satu

contoh tindak tutur langsung. Modus kalimat perintah dalam tuturan tersebut

digunakan oleh sang bos untuk menyuruh bawahannya agar mengumpulkan

27

laporan pada saat tuturan berlangsung di meja penutur yang bersangkutan. Karena

terdapat hubungan langsung antara modus kalimat dengan fungsi komunikatifnya,

yaitu kalimat perintah yang digunakan untuk memberikan perintah, maka tuturan

tersebut di atas merupakan tindak tutur langsung.

Tuturan “Panas sekali di dalam sini” yang disampaikan oleh seorang dosen

yang merasa sangat gerah pada saat mengajar jam siang di suatu ruang kelas

merupakan bentuk tindak tutur tidak langsung. Modus kalimat berita pada tuturan

tersebut tidak digunakan semata-mata untuk menyatakan keadaan ruang kelas

yang sangat panas. Dengan menyampaikan tuturan tersebut, dosen sebenarnya

menginginkan mahasiswa agar membuka jendela atau menyalakan AC sehingga

ruangan tersebut menjadi lebih dingin. Karena terdapat hubungan yang tidak

langsung antara modus kalimat dengan fungsi komunikatifnya di mana kalimat

berita digunakan untuk memberikan perintah, maka tuturan tersebut merupakan

tindak tutur tidak langsung. Karena tindak tutur tidak langsung adalah tuturan

yang berbeda dengan modus kalimatnya, maka maksud dari tindak tutur tidak

langsung dapat beragam dan tergantung pada konteksnya (Nadar, 2009: 19).

e. Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal

Di samping tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, sejumlah

tindak tutur mempunyai makna yang sesuai dan tidak sesuai dengan kata-kata

yang menyusunnya. Tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata

yang menyusunnya disebut sebagai tindak tutur literal, sedangkan tindak tutur

yang maksudnya tidak sama dengan makna kata yang menyusunnya disebut

28

sebagai tindak tutur tidak literal (Wijana dan Rohmadi, 2011: 30). Tindak tutur

literal dan tidak literal bisa berinteraksi dengan tindak tutur langsung dan tak

langsung menjadi tindak tutur langsung literal, tidak langsung literal, langsung

tidak literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal.

Tuturan “Baunya harum” yang disampaikan oleh seorang pengunjung gerai

parfum merupakan bentuk tindak tutur langsung literal. Hal ini terjadi karena

makna tuturan yang disampaikan oleh pengunjung gerai tersebut sama dengan

makna kata-kata yang menyusunnya di mana pengunjung tersebut menyatakan

bahwa bau parfum yang dicobanya memang harum. Tindak tutur tersebut juga

merupakan tindak tutur langsung karena modus kalimat dari tuturan tersebut yang

merupakan kalimat berita yang sesuai dengan fungsinya untuk menyatakan

sesuatu.

Contoh tuturan sebelumnya, yaitu “Panas sekali di dalam sini” merupakan

bentuk tindak tutur tak langsung literal. Tuturan tersebut merupakan tindak tutur

tidak langsung karena modus kalimat berita pada tuturan tersebut digunakan untuk

memberikan perintah. Selain itu, tuturan tersebut juga merupakan tindak tutur

literal karena melalui tuturan tersebut, penutur memang benar-benar ingin

menyampaikan bahwa dirinya merasakan panas berada di dalam ruangan yang

disebutkan dalam tuturannya.

Tuturan “Nonton TV terus aja, dik” yang disampaikan oleh seorang kakak

kepada adiknya yang besok akan melangsungkan ujian semester di sekolah

merupakan contoh tindak tutur langsung tak literal. Modus kalimat perintah dalam

tuturan tersebut memang digunakan untuk memberikan perintah sehingga tuturan

29

tersebut merupakan tindak tutur langsung. Akan tetapi, tuturan tersebut tentu saja

tidak benar-benar dimaksudkan untuk memerintahkan sang adik untuk terus

menonton televisi. Tuturan tersebut justru memiliki makna lain di mana sang

kakak tidak suka melihat adiknya terus menerus menonton televisi karena

seharusnya sang adik belajar untuk persiapan ujian esok harinya. Makna tuturan

yang tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya menjadikan tuturan

yang kedua tersebut sebagai tindak tutur tidak literal.

Tindak tutur tidak langsung tidak literal terdapat pada tuturan “Kamarmu

rapi sekali” yang dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya yang baru saja

bangun tidur dengan keadaan kamar yang luar biasa berantakan. Tuturan tersebut

merupakan tindak tutur tak literal karena tentu saja dengan melihat kondisi kamar

yang berantakan, tidak mungkin sang ibu benar-benar ingin menyatakan bahwa

kamar anaknya dalam keadaan rapi. Tuturan tersebut juga merupakan tindak tutur

tak langsung karena melalui kalimat berita tersebut, ibu tersebut tidak hanya

menyindir anaknya bahwa kamarnya berantakan akan tetapi juga memberikan

perintah kepada anak tersebut untuk segera membersihkan dan membereskan

kamarnya. Makna tuturan yang diujarkan selalu berkaitan dengan konteks karena

dalam konteks yang berbeda maka makna tuturan yang disampaikan juga akan

berbeda.

30

1.7. Metode Penelitian

1.7.1 Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan kajian sosiopragmatik pada wacana siaran berita

Indonesia Now yang ditayangkan di stasiun televisi Metro TV. Penelitian ini

merupakan penelitian yang bersifat kualitatif yang menekankan pada proses dan

makna yang tidak melibatkan penghitungan dalam hal kuantitas, jumlah,

intensitas, atau frekuensi (Denzin dan Lincoln, 1994: 4). Pendapat yang sama juga

disampaikan oleh Strauss dan Orbin (2007: 4) yang menyatakan bahwa penelitian

kualitatif merupakan jenis penelitian yang memproduksi temuan tidak

berdasarkan pada penghitungan. Selain itu, penelitian kualitatif merupakan

penelitian yang memproduksi atau menghasilkan data deskriptif yang terdiri dari

kata-kata lisan dan tertulis serta kebiasaan (Bogdan dan Taylor dalam Moleong,

2001: 3).

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wacana siaran berita

berbahasa Inggris Indonesia Now yang merupakan satu kesatuan yang utuh.

Populasi data dalam penelitian ini adalah siaran berita berbahasa Inggris

Indonesia Now yang ditayangkan oleh Metro TV. Dari siaran berita tersebut, tidak

semua akan dijadikan data sebagai bahan untuk analisis dalam penelitian ini,

dalam artian bahwa dari populasi tersebut, diambil beberapa data yang bisa

mewakili populasi data secara keseluruhan yang disebut sebagai sampel data.

Sampel data dikumpulkan dari beberapa episode siaran berita berbahasa Inggris

Indonesia Now yang ditayangkan di stasiun televisi Metro TV pada Desember

2012. Data dalam bentuk rekaman video siaran berita diunduh dari

31

www.metrotvnews.com/indonesianow yang merupakan webpage dari Metro TV

yang menyediakan layanan video streaming dimana semua program acara dan

berita Metro TV bisa disaksikan kapan pun dan di manapun.

Penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak di mana

menurut Mahsun (2005: 92), metode penyediaan data ini diberi nama metode

simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan

menyimak penggunaan bahasa, dan dalam kaitannya dengan penelitian ini,

peneliti menyimak penggunaan bahasa dalam rekaman video wacana siaran berita

berbahasa Inggris Indonesia Now yang ditayangkan oleh Metro TV. Terkait

dengan teknik lanjutan yang dilakukan untuk menjaring data, peneliti

menggunakan teknik bebas libat cakap. Dalam teknik ini, peneliti tidak dilibatkan

langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan pemunculan calon data kecuali

hanya sebagai pemerhati terhadap calon data yang terbentuk dan muncul dari

peristiwa kebahasaan di luar dirinya (Jati Kesuma, 2007: 44). Selain itu, peneliti

juga menggunakan teknik lanjutan yang berupa teknik catat di mana peneliti

melakukan pencatatan dari apa yang dituturkan oleh pembaca berita dalam video

rekaman siaran berita ke dalam bentuk transkrip.

1.7.2 Analisis Data

Data yang terkumpul dari proses penyimakan dan pencatatan selanjutnya

akan diatur untuk memudahkan analisis data. Yang pertama kali dilakukan adalah

mengklasifikasikan data menjadi beberapa kelompok atau bagian berdasarkan

kemiripan dari karakteristik tuturan itu sendiri, misalnya saja dari letak dan juga

32

tema atau topik tuturan, apakah merupakan pembuka, isi, penutup atau merupakan

bagian yang lain dari wacana siaran berita Indonesia Now. Pengklasifikasian data

yang seperti itu digunakan untuk kepentingan analisis data untuk menjawab

rumusan masalah yang pertama, yaitu memerikan struktur wacana siaran berita

berbahasa Inggris Indonesia Now.

Analisis data yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua

dilakukan melalui pemilahan dan pendeskripsian komponen-komponen tutur dari

wacana berita seperti partisipan, setting, topik, dan beberapa aspek komponen

tutur yang lain dalam wacana tersebut. Dalam menganalisis komponen tutur

wacana Indonesia Now, penulis menggunakan teori faktor penentu peristiwa tutur

yang dirumuskan oleh Hymes melalui akronim SPEAKING-nya. Untuk rumusan

masalah ketiga, tuturan dari penyiar berita dipilah kemudian dikelompokkan

sesuai dengan tindak tutur yang sama untuk mengetahui fungsi dari wacana siaran

berita berbahasa Inggris Indonesia Now. Untuk menganalisis maksud dari tindak

tutur, penulis berusaha untuk memahami dan menafsirkan maksud dari apa yang

disampaikan oleh penutur dengan dasar teori Searle mengenai tindak lokusi,

ilokusi, dan perlokusi, serta pendapat Nadar dan Wijana mengenai tindak tutur

langsung dan tidak langsung serta literal dan tidak literal. Maksud penutur dalam

tindak tutur ilokusinya kemudian dihubungkan juga dengan fungsi bahasa yang

disampaikan oleh Holmes.

33

1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data

Menurut Mahsun (2005: 123) hasil analisis bisa disajikan melalui dua cara,

yaitu metode formal dan informal. Metode formal adalah perumusan dengan

menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang. Sementara metode informal

adalah perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan

terminologi yang bersifat teknis. Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini

menggunakan metode informal dengan menggunakan deskripsi kata-kata biasa

dan bukan dengan simbol-simbol tertentu.

1.8 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I mengenai pendahuluan menyajikan

latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab

II dalam penelitian ini memaparkan struktur dari wacana siaran berita berbahasa

Inggris Indonesia Now yang menjadikan wacana tersebut sebagai suatu kesatuan

yang utuh. Bab III menyajikan komponen tutur atau beberapa aspek yang

menandai terjadinya peristiwa tutur dalam wacana siaran berita berbahasa Inggris

Indonesia Now. Bab IV memaparkan fungsi wacana siaran berita Indonesia Now

yang dilihat berdasarkan tindak tutur yang dimanfaatkan oleh kedua pembaca

berita wacana tersebut. Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan yang di

dapat dari hasil analisis data serta saran yang terkait dengan penelitian ini dan juga

penelitian lain mengenai analisis wacana.