bab i pendahuluan 1.1. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Partisipasi anggota masyarakat dalam pemilihan Gubernur dan wakil gubernur
Aceh Tahun 2017 dalam kategori sukses. Namun pemilihan umum kepala daerah
(Pemilukada) kali ini juga masih dipertanyakan dari segi kualitas karena fenomena
partisipasi aktif yang belum maksimal. Dari tahun-ketahun kurangnya partisipasi
masyarakat masih menjadi salah satu permasalahan dalam pemilukada di Aceh.
Partisipasi masyarakat kota Banda Aceh pada pemilukada Aceh tahun 2012 mencapai
62% pemilih.1 Sedangkan pada pemilukada Aceh tahun 2017, partisipasi pemilih
meningkat 1% mencapai 63.1%.2
Angka pertisipasi dari tahun ke tahun tergolong rendah. Rendahnya tingkat
pertisipasi di kota Banda Aceh yang merupakan wilayah perkotaan dikhawatirkan
dapat mempengaruhi pemerintahan yang akan berajalan lima tahun mendatang.
Karena tinggi rendahnya penggunaan hak suara dalam pemilukada menjadi ukuran
sejauhmana sebuah pemerintahan yang didukung oleh masyarakat. Pemilukada juga
1 Serambi Indonesia. KIP Diminta Tingkatkan Sosialisasi Pilkada. 2017. Diakses pada
tanggal 19 Desember 2017. Disitus : http://aceh.tribunnews.com/2017/01/09/kip-diminta-tingkatkan-
sosialisasi-pilkada 2 KPU Prov Aceh. Pilkada Provisi Aceh. 2017. Di akses pada tanggal 18 Desember 2017. Di
situs : https://pilkada2017.kpu.go.id/hasil/t1/aceh
2
dinilai dapat mengkomodasi sistem seleksi terpadu yang saling melengkapi untuk
melahirkaan calon kepala daerah yang berkualitas, yang memimpin Aceh kedepan.
Partispasi dalam pemilukada di negara dengan sistem demokrasi merupakan
hak warga negara. Faktor –faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya partisipasi
politik seseorang tergantung dari kesadaran politik dan kepercayaan kepada
pemerintah (sistem politik).3 Kesadaran politik juga menjadi faktor determinan dalam
partisipasi politik masyarakat, artinya sebagai hal yang berhubungan pengetahuan dan
kesadaran akan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan lingkungan masyarakat,
kegiatan politik menjadi ukuran dan kadar seseorang terlibat dalam proses partisipasi
politik. Keikutsertaan masyarakat dalam pemilukada adalah kegiatan membuat
keputusan. Bentuk dari perilaku pemilih ini juga akan menentukan pilihannya. Hasil
dari pilihan ini yang kemudian akan berdampak pada lima tahun pemerintahan
mendatang.
Ketika pemilih menentukan pilihan pada suatu kandidat calon gubernur
karena dipengaruhi oleh kelas sosial, agama, kelompok etnik atau atas dasar
kesamaan daerah atau bahasa, maka pilihannya akan tertuju pada pemimpin yang
memiliki latar belakang dan demografi yang sama. Perilaku pemilih yang lahir dari
ikatan emosional (identifikasi) akan menentukan pilihannya pada bentuk ketokohan
calon dan identifikasi partai. Atas dasar kedekatan pada tokoh atau memiliki
informasi yang cukup pada partai tertentu. Sedangkan pilihan atas dasar kalkulasi
3 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 2010), hal: 184.
3
untung rugi baik orientasi pada ekonomi maupun politik, maka bentuk perilakunya
bersifat rasional dan menjatuhkan pilihannya pada tokoh yang memiliki Visi dan
Misi, program kerja, latar belakang yang memang bisa memberikan keutungan
untuknya walaupun bukan keuntungan secara langsung dan dalam jangka waktu
dekat, tetapi dapat berupa keuntungan dari kebijakan pemerintahan mendatang.
Dari perspektif demokrasi, sebenarnya pemilukada sangat baik bagi
perkembangan demokrasi. Akan tetapi, realitas umum mengatakan bahwa
pemilukada segera bergeser dari momen pesta demokrasi menjadi fenomena politik
yang selalu diwarnai persoalan yang menyebabkan pemilukada belum mampu
menjamin terwujudnya demokrasi. Permasalahan rendahnya partisipasi masyarakat
dalam pemilukada hingga bentuk dari perilaku pemilih yang tidak rasional menjadi
masalah yang memerlukan analisis mendalam. Karena tolak ukur keberhasilan
demokrasi dimulai dari tingginya partisipasi pemilih yang menentukan dukungan
masyarakat pada pemerintah dan bentuk perilaku pemilih yang akan menentukan
sang tokoh (pemimpin) yang menjalankan pemerintahan kedepan. Sehingga harapan
akan demokrasi ideal ada pada partisipasi yang tinggi dengan bentuk perilaku pemilih
yang bersifat rasional. Bukan hanya partisipasi semu yang menekankan pada
tingginya angka jumlah pemilih tanpa independensi dalam memilih.
Dalam negara demokrasi apapun latar belakang masyarakat memiliki hak
yang sama dalam memilih. Pemilih dalam hal ini termasuk didalamnya para pemilih
pemula salah satunya para siswa yang masih duduk di kursi pendidikan SMA/MA
4
sederajat menginjak usia 17 tahun ke atas dan mahasiswa yang menginjak perguruan
tinggi sekitar umur 21 tahun. Pemilih pemula ini di dominasi oleh para mahasiswa
yang baru menempuh dunia perguruan tinggi. Hal ini sangat menarik mengingat
mahasiswa memiliki idealisme murni dan jiwa nasionalis, maka tidak heran
mahasiswa menyandang gelar sebagai agen of change.
Dikalangan pemilih pemula, antusias mereka tidak cukup tinggi dalam
mengikuti pemilihan kepala daerah di Aceh tahun 2017. Hasil survei awal yang telah
saya lakukan pada 10 orang pemilih pemula di kecamatan Syiah Kuala, pemilih
pemula mengetahui 6 kandidat pasang calon Gubernur dan wakil Gubernur Aceh
2017. Tidak hanya itu 8 dari 10 juga berpartisipasi dalam proses pencoblosan calon
Gubernur dan wakil gubernur Aceh untuk periode 2017-2022. Namun 9 dari 10
menjawab bahwa mereka sangat jarang mengakses informasi ke 6 pasang calon
kandidat ini, sehingga mereka tidak memiliki informasi yang cukup mengenai latar
belakang atau track record calon gubernur, Visi dan Misi maupun slogan pasangan
calon. Kurangnya informasi hinggga lewatnya keterlibatan mereka dalam proses
kampanye karena alasan tidak memiliki waktu disebabkan aktivitas yang padat.4
Survei awal yang saya lakukan pada 10 orang yang berstatus pelajar dan
mahasiswa di Kecamatan Syiah Kuala pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur
Aceh 2017 menunjukan bahwa mereka memilih karena alasan kedekatan pribadi,
4 Wawancara. Pemilih Pemula. Dilakukan di Kota Banda Aceh Kecamatan Syiah Kuala. Pada
Desember Tahun 2017.
5
rekomendasi keluarga dan kesamaan asal daerah.5 Dari beberapa alasan di atas
perilaku pemilih pemula merujuk pada model sosiologi atau yang di kenal juga
dengan Mazhab Columbia.6 Pendekatan ini menjelaskan bahwa karekteristik dan
pengelompokan sosial merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih.
Asumsi dasar model sosiologi ini ialah bahwa perilaku memilih ditentukan oleh kelas
sosial, agama dan kelompok etnik atau kedaerahan atau bahasa.7
Model sosiologi yang telah dikembangkan sebagai model SES (Socio
Economic Status), yang disempurnakan dengan apa yang disebut Civil Voluntary
Model 8 menjelaskan bahwa seorang berpartisipasi dalam pemilu karena kesadaraan
arti penting pemilu, namun banyak juga masyarakat rendah akses pendidikan juga
cenderung menggunakan model sosiologi ini. Sehingga ketika pemilih pemula yang
berstatus pelajar dan mahasiswa memilih karena alasan yang tidak rasional, maka
relasi atara tingkat pendidikan dan perilaku pemilih tidak sejalan. Perilaku model
sosiologi ini lebih dominan dapat disebabkan oleh kurangnya kesadaran politik
dikalangan pemilih pemula.
Partisipasi menjadi penting dalam sebuah negara demokrasi karena sukses
atau tidaknya suatu pemilukada ditentukan dari tinggi rendahnya penggunaan hak
5 Wawancara. Pemilih Pemula. Dilakukan di Kota Banda Aceh Kecamatan Syiah Kuala. Pada
Desember Tahun 2017. 6 Affan Gaffar, Javanese Voters: A case Stusy Of Election Under A Hegemoni Party System.
(Yogyakarta: Gajamada University Press, 1992) hal. 4 7 Saiful Mujani dan R. William Liddle dkk, Kuasa Rakyat Analisis Tentang Prilaku Memilih
Dalam Pemilihan Legistlative Dan Presiden Indonesia PasCa Orde Baru. (Jakarta: Mizan, 2016), hal.
6 8 Saiful Mujani dan R. William Liddle dkk, Kuasa Rakyat Analisis Tentang Prilaku Memilih
Dalam Pemilihan Legistlative Dan Presiden Indonesia PasCa Orde Baru.., hal. 6.
6
suara, tidak hanya dapat dijadikan ukuran dukungan masyarakat pada sebuah
pemerintah, tapi berhasil tidaknya sebuah sistem politik akan kembali pada
masyarakat itu sendiri. Namun ketika penggunaan hak suara digunakan secara tidak
rasional maka tidak hanya pemerintahannya yang akan bermasalah tetapi eksistensi
dari demokrasi itu juga perluh dipertanyakan.
Pada pemilukada Aceh 2017, pemilih pemula di kota Banda Aceh
menyumbang suara yang cukup signifikan berkisar 30% dari seluruh pemilih dan ini
dinilai sangat potensial dalam mendongkrak nilai dari demokrasi.9 Namun adanya
opini mengenai besarnya hak suara yang digunakan secara tidak rasional dikalangan
pemilih pemula berimbas pada tidak terpenuhinya output dari pemilukada, sehingga
menimbulkan pertanyaan baru mengenai dimana fungsi idealisme dan nasionalisme
dari generasi muda. Kebanyakan pemilih pemula masih dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan tertentu terutama oleh orang terdekat seperti kerabat,
tetangga dan lingkungan sekitar hingga anggota keluarga maka tidak jarang pemilih
pemula menjadi sasaran mobilisasi partai politik dalam menarik suara.
Uraian diatas menggambarkan bahwa perilaku memilih pemilih pemula
sangat penting mendukung kualitas output pemilukada. Hal tersebut dikarenakan
pemilukada merupakan salah satu elemen strategis dalam manajemen memilih
pemimpin. Dalam menjawab pertanyaan mengenai hal tersebut, apakah kesadaran
9 Merdeka.com, Ajak pemilih pemula mencoblos, KIP Banda Aceh Gelar Stand Up Comedy.
2017. Diakses pada tanggal 19 Desember 2017. Disitus: https://www.merdeka.com/politik/ajak-
pemilih-pemula-mencoblos-kip-banda-aceh-gelar-stand-up-comedy.html
7
politik menyebabkan faktor sosiologis lebih dominan mempengaruhi perilaku
memilih pemilih pemula? Kemudian hal itu juga menjadi faktor yang mempengaruhi
kurangnya kesadaran politik dikalangan pemilih pemula? Lebih jauh lagi ingin
melihat sejauhmana tingkat kepercayaan pemilih pemula kepada pemerintah.
Penelitian ini akan menjawab pertanyaan tersebut secara rasionalitas akademik
dengan proses yang dapat dipertanggungjawabkan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas
maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah mengapa kesadaran politik
menyebabkan faktor sosiologis lebih dominan mempengaruhi perilaku memilih
pemilih pemula?
1. Bagaimana tingkat kepercayaan pemilih pemula kepada pemeritah ?
2. Bagaimana agen sosialisasi membentuk perilaku memilih pemilih
pemula?
3. Bagaimana kesadaran politik dikalangan pemilih pemula?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, secara umum tujuan penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui :
1. Ingin mengetahui kerja agen sosialisasi membentuk perilaku memilih
pemilih pemula
8
2. Ingin menganalisis hal yang mempengaruhi tingkat kepercayaan
dikalangan pemilih pemula pada pemerintah.
3. Ingin menganalisis faktor yang mempengaruhi kurangnya kesadaran
politik dikalangan pemilih pemula.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan penulisan penelitian yang ingin penulis peroleh adalah
sebagai berikut:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis,
sekurang-kurangnya dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi
dunia pendidikan.
2. Secara akademik penelitian ini bisa berguna untuk menjadi rujukan dalam
pengembangan ilmu politik dan menjadi sumber referensi bagi peneliti
dimasa yang akan datang terutama tentang perilaku politik dan elektoral.
3. Secara praktek untuk menambah wawasan terhadap para pemilih
mengenai pentingnya partisipasi politik, dan digunakan sebagai tolak
ukur pada pemilihan kepala daerah.
4. Kegunaan secara khusus bagi penulis adalah sebagai sarana untuk
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang perilaku pemilih,
meningkatkan kreativitas dalam membahas serta menyusun karya ilmiah.
9
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1. Tinjauan Kepustakaan
2.1.1. Tinjauan Tentang Partisipasi Dan Perilaku Memilih
2.1.1.1. Pengertian Partisipasi Politik
Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Karena keputusan
politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan memengaruhi
kehidupan warga masyarakat, sehingga warga masyarakat berhak ikut serta
menentukan isi keputusan politik. Partisipasi politik didefinisikan sebagai
kaikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan semua keputusan yang
menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.10
Menurut Meriam Budiarjo partisipasi
politik adalah kegiatan politik seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara
aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan
secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public
policy). Kegiatan ini mencangkup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu
menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying dengan
pejabat pemerintah dan sebagainya. 11
10 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik.., hal. 180 11 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik, (Bandung: Alfabeta, 2012). hal. 156.
10
Hal yang menyangkut mengenai konseptualisasi partisipasi politik ialah12
:
1. Partisipasi politik yang dimaksudkan berupa kegiatan atau perilaku luar
individu warga negara biasa yang dapat diamati, bahkan perilaku dalam
berupa sikap dan orientasi.
2. Kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat
keputusan politik. Baik kegiatan yang berhasil (efektif) maupun gagal
mempengaruhi pemerintahan termasuk dalam konsep partisipasi politik
3. Kegiatan mempengaruhi pemerintah tanpa menggunakan perantara individu
dapat dilakukan secara langsung ataupun secara tidak langsung. Kegiatan
yang langsung berarti individu mempengaruhi pemerintah melalui pihak lain
yang dianggap dapat dilakukan melalui prosedur yang wajar (konvensional)
dan tak berupa kekerasan (nonvience) salah satunya seperti ikut memilih
dalam pemilihan umum.
Partisipasi politik sebagai kegiatan dibedakan menjadi partipasi aktif dan
partisipasi pasif. Partisipasi aktif kegiatan yang berorientasi pada proses input dan
output politik, dan partisipasi pasif merupakan kegiatan yang berorientasi pada proses
output. Sedangkan anggota masyarakat yang tidak masuk kedalam kategori
partisipasi aktif dan pasif karena menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada
12 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik.., hal. 180-181.
11
telah menyimpang dari apa yang mereka cita-citakan. Maka kelompok ini disebut
apatis atau golongan putih (golput). 13
Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya partispasi politik seseorang ialah
kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Yang dimasud
dengan kesadaran politik ialah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga
negara. Hal ini menyangkut pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat
dan politik, dan menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan
masyarakat dan politik tempat dia hidup. Sedangkan yang dimasud dengan sikap dan
kepercayaan kepada pemerintah ialah penilaian seseorang terhadap pemerintah :
apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak. 14
Bedasarkan tinggi rendahnya kedua faktor tersebut, Paige membagi partisipasi
menjadi empat tipe yaitu15
:
1. Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada
pemerintah yang tinggi, partisipasi politik cenderung aktif.
2. Sebaliknya kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah,
apabila partisipasi politik cenderung pasif - tertekan (apatis)
3. Partisipasi ketiga berupa militan radikal, yakni apabila kesadaran politik
tinggi tatapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah
13 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik.., hal. 182-183. 14 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik.., hal. 184. 15 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik.., hal. 184-185.
12
4. Apabila kesadaran politk sangat rendah tetapi kepercayaan kepada
pemerintah sangat tinggi, partisipasi ini disebut tidak aktif.
Kedua faktor diatas bukan faktor-faktor yang berdiri sendiri. Tinggi
rendahnya kedua faktor tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti status
sosial dan status ekonomi, afiliasi politik orang tua dan pengalaman berorganisasi.
2.1.2.2. Tinjauan Tentang Perilaku Pemilih Pemula
Perilaku pemilih menurut Ramlan Surbakti adalah aktivitas pemberian suara
oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk
memilih dan tidak memilih di dalam sautu pemilu maka pemilih akan memilih atau
mendukung kandidat tertentu.16
Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang
berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Dimana
pelaku kegiatan adalah lembaga pemerintah selaku pemegang fungsi-fungsi
pemerintah dan fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat.17
Brennan dan
Lomasky serta Fiorina menyatakan bahwa keputusan memilih selama pemilu adalah
perilaku „ekspresif‟. Menurut mereka perilaku memilih sangat dipengaruhi oleh
loyalitas dan ideologi. Keputusan untuk memberi dukungan dan suara tidak akan
terjadi apabila tidak terdapat loyalitas pemilih yang cukup tinggi kepada partai politik
jagoannya. Begitu juga sebaliknya, pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau
16 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…, hal. 480. 17 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik …,hal. 167.
13
mereka menganggap bahwa suatu partai politik tidak loyal atau tidak konsisten
terhadap janji dan harapan yang telah mereka berikan.18
Firmanzah melihat ada tiga faktor determinan bagi pemilih dalam memutuskan
pilihan politiknya, ketiga itu ialah :
1. Kondisi awal pemilih. Kondisi awal dimaksud adalah karakteristik yang
melekat dalam diri pemilih.
2. Faktor media massa yang mempengaruhi opini publik. Media sebagai
sumber informasi dan sebagai pencerdasan mayarakat sengat
mempengaruhi opini di masyarakat. Karena setiap data dan informasi
mengenai kandidat akan menjadi pertimbangan masyarakat dalam
menentukan pilihan.
3. Faktor partai politik atau kontestan. Pada faktor ini pemilih akan menilai
latar belakang reputasi, citra, ideologi dan kulitas para tokoh-tokoh partai
politik. Apabila trackrecord partai politiknya selama ini baik, juga
berdampak pada kualitas tokoh dari partai tersebut. Sehingga faktor partai
politik dan kontestan ini dapat menjadi rujukan masyarakat dalam
menentukan pilihanya.19
Partispasi dalam pemilihan umum (voter
turnout) adalah tindakan seseorang warga negara biasa yang dilakukan
secara sukarela untuk mempengaruhi keputusan-keputusan publik (public
18 Firmanzah, Marketing Politik Antara Pemahaman Dan Realitas,( Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia,2008), hal. 87. 19 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik.., hal. 481-482.
14
policy). Partisipasi adalah tindakan bukan keinginan, maksud, minat, suka
atau sikap pada umumnya.20
Menurut Brady dalam buku kuasa rakayat ada empat kriteria yang harus hadir
dalam suatu entitas yang disebut pasrtisipasi politik adalah :
1. Tindakan
2. Oleh orang biasa
3. Dilakukan secara suka rela
4. Untuk mempengaruhi kebijakan publik.21
Prilaku pemilih menurut Firmanzah terbagi beberapa segmen atau tipe, yakni
pemilih rasional, kritis, tradisional, dan skeptis.22
1. Pemilih rasional pada dasarnya menjadikan orientasi kandidat atau partai
sebagai penentu dalam memutuskan pilihannya, dimana pemilih lebih
mengutamakan kemampuan parpol atau calon kontestan dalam program
kerjanya yang di tawarkan partai yang berorientasi kemasa depan dan
menganalisis apa saja yang telah dilakukan partai tersebut dimasa lalu.
2. Pemilih kritis juga berorientasi pada kemampuan kandidat atau calon dalam
mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat dan mereka berorientasi akan
hal-hal yang bersifat
20 Saiful Mujani dan R. William Liddle dkk, Kuasa Rakyat Analisis Tentang Prilaku Memilih
Dalam Pemilihan Legislative Dan Presiden Indonesia Pasca OrdeBaru…, hal. 4. 21 Saiful Mujani dan R. William Liddle dkk, Kuasa Rakyat Analisis Tentang Prilaku Memilih
Dalam Pemilihan Legislative Dan Presiden Indonesia Pasca OrdeBaru..,,hal. 5. 22 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik..,hal. 483-486.
15
ideologis. Mereka akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai
(ideologi) dengan kebijkan yang dibuat.
3. Pemilih tradisional memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak
terlalu melihat pada kebijakan parpol atau seorang kontestan. Pemilih ini
sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham, dan
agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah parpol.
4. Pemilih skeptis ialah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi cukup
tinggi dengan sebuah parpol atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan
kebijakan sebagai suatu yang penting. Pemilih yang memiliki minat rendah
terhadap politik secara umum atau mereka yang termasuk golongan putih
(golput).
Menurut Ramlan Surbakti terdapat lima pendekatan dalam melihat model
perilaku politik ialah23
:
1. Pendekatan struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari
konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai,
sistem pemiliha umum, permasalahan, dan program yang ditonjolkan oleh
setiap partai. Struktur social yang menjadi sumber kemajemukan politik
dapat berupa kelas sosial atau perbedaan-perbedaan anatra majikan dan
pekerja, agama, perbedaan kota dan desa, dan bahasa, dan nasionalisme.
23 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik.., hal. 186-187.
16
2. Pendekatan sosiologis cenderun menempatkan kegiatan memilih dalam
ikatan dengan konteks sosial. Konkretnya, pilihan seseorang dalam
pemilihan umum dipengaruhi latar belakang deografi dan sosial ekonomi,
seperti jenis kelamin, tempat tingal, pekerjaan, pendidikan, kelas,
penndapata dan agama.
3. Pendekatan ekologis melihat berdasarkan unit territorial, seperti desa,
kelurahan, kecamatan, dan kabupaten.
4. Pendekatan psikologi social berdasarkan identifikasi partai. Konsep ini
merujuk pada presepsi pemilih atas partai-partai yang ada atau
ketertarikan emosional pemilih terhadap pertai tertentu.
5. Pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi
untung dan rugi. Yang di pertimbangkan tidak hanya ongkos memilih dan
kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi
ini digunanakan pemilih dan kandidiat yang hendak mencalonkan diri
untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah.
Para pemilih dikelompokkan dalam empat segmen berdasarkan prilaku. Yang
dikembangkan oleh Newman antara lain segmen pemilih rasional, segmen pemilih
emosional, segmen pemilih social dan segmen pemilih situasional 24
:
24 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…,hal. 482-483.
17
1. Segmen pemilih rasional. Kelompok pemilih yang memfokuskan
perhatian pada faktor isu dan kebijakan kontestan dalam menentukan
pilihan politiknya.
2. Segmen pemilih emosional. Kelompok pemilih yang dipengaruhi oleh
perasaan-perasaan tertentu seperti kesedihan, kekewatiran dan
kegembiraan terhadap harapan tertentu dalam menentukan pilihan
politiknya. Faktor ini di dukung oleh personalitas kandidat.
3. Segemen pemilih sosial. Kelompok yang mengasosiasikan ketestan
pemilu dengan kelompok-kelompok sosial tertentu dalam menetukan
pilihan politiknya.
4. Segmen pemilh situasional. Kelompok pemilih yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor situasional tertentu dalam menentukan pilihannya. Segmen
ini digerakan oleh perubahan perubahan yang akan menggeser pilihan
politiknya jika terjadi kondisi-kondisi tertentu.
Banyak teori yang menjelaskan tentang prilaku pemilih namun pada
umumnya ada tiga pendekatan untuk menganalisis tingkah laku masa pemilih dalam
suatu pemilu yaitu prilaku sosiologi, psikologi dan rasional. Penelitian ini akan
menggunakan tiga pendekatan ini untuk menganalisis model perilaku pemilih pemula
di Kota Banda Aceh, tepatnya Kecamatan Syiah Kuala.
18
1. Model Sosiologi
Menurut Afan Gaffar, dalam menganalisis voting behavior dan untuk
menjelaskan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan sebagai alasan oleh para
pemilih dalam menjatuhkan pilihannya, dikenal dua macam pendekatan, yaitu
Mazhab Columbia yang menggunakan pendekatan sosiologis dan Mazhab Michigan
yang dikenal dengan pendekatan psikologis. Pendekatan sosiologis ini dipelopori dan
dikembangkan oleh sejumlah ilmuwan ilmu sosial dan ilmu politik dari Columbia’s
University Bureau of Applied Social Science, sehingga terkenal dengan Mashab
Colombia (The Columbia School of Electoral Behavior).25
Pendekatan sosiologis menjelaskan, karakteristik dan pengelompokan sosial
merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih dan pemberian suara pada
hakikatnya adalah pengalaman kelompok. Model sosiologis membangun asumsi
bahwa perilaku memilih ditentukan oleh karakteristik sosiologis para pemilih,
terutama kelas sosial, agama, dan kelompok etnik atau kedaerahan atau bahasa.26
Model sosiologi untuk voter turnout yang telah di kembangkan sebagai model
SES (socio economic status), lalu di sempurnakan dengan apa yang di sebut Civil
Voluntary Model.27
Dua model ini menjelaskan bahwa seseorang berpartisipasi dalam
25 Afan Gaffar, Javanese Voters :A Case Study Of Election Under A Hegemonic Party
System…, hal. 4. 26 Saiful Mujani dan R. William Liddle dkk, Kuasa Rakyat Analisis Tentang Prilaku Memilih
Dalam Pemilihan Legislative Dan Presiden Indonesia Pasca OrdeBaru..,hal. 6. 27 Saiful Mujani dan R. William Liddle dkk, Kuasa Rakyat Analisis Tentang Prilaku Memilih
Dalam Pemilihan Legislative Dan Presiden Indonesia Pasca OrdeBaru..,hal. 6.
19
pemilu karena kesadaran tentang arti penting pemilu bagi kepentingan dirinya dan
masyarakat banyak. Orang yang punya kesadaran ini biasanya relative berpendidikan.
Namun masyarakat yang rendah akses pendidikannya juga cenderung menggunakan
model sosiologis dalam memilih seperti banyak studi-studi yang ada tentang dampak
relative dari ketiga faktor sosiologis tersebut menunjukan bahwa faktor agama dan
etnik sering mempunyai dampak yang lebih signifikan ketimbang kelas sosial.
Terlepas dari posisi kelas sosial seseorang buruh ataupun majikan, kelas bawah atau
kelas atas, blue collar ataupun white collar (pekerja yang bergaji), orang yang taat
beragama cebderung mendukung partai politik atau calon pejabat publik yang
dipandang bersikap positif atas agama. 28
2. Model Psikologis
Teori perilaku pemilih psikologis atau Mashab Michigan lebih
menekankan bahwa perilaku memilih seseorang atau sekelompok orang
dipengaruhi oleh aspek sosio-psikologis yang menentukan tindakan memilih, yang
dikembangkan oleh “The Survey Research Center, University of Michigan”, karena
itu model ini lebih dikenal sebagai Mazhab Michigan.
Menurut model ini, seorang warga berpartisipasi dalam pemilu atau
pemilukada bukan saja karena kondisinya lebih baik secara sosial-ekonomi atau
karena berada dalam jaringan sosial, akan tetapi karena ia tertarik dengan politik,
28 Saiful Mujani dan R. William Liddle dkk, Kuasa Rakyat Analisis Tentang Prilaku Memilih
Dalam Pemilihan Legislative Dan Presiden Indonesia Pasca OrdeBaru…,hal.20
20
punya perasaan dekat dengan partai tertentu (identitas partai), punya informasi yang
cukup untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti serta percaya bahwa
pilihannya dapat ikut perbaiki keadaan (political efficacy).29
Pada dasarnya pendekatan psikologis ini adalah pendekatan yang melihat
perilaku pemilih sebagai bentukan dari proses sosialisasi yang melahirkan ikatan
emosional (identifikasi) yang mengarahkan tindakan politik seseorang dalam suatu
pemilihan. Indikator yang digunakan untuk mengukur besarnya pengaruh pendekatan
ini yaitu :
1) Ketokohan, dilihat dari perasaan emosional pemilih yang melandasi
pilihannya dengan mempertimbangkan identitas atau ketokohan calon
(atau tokoh dibelakang calon) dan tokoh-tokoh panutan yang
dihormati oleh pemilih.
2) Identifikasi partai, yang dilihat dari kesamaan pandangan responden
dengan anggota keluarganya terhadap pilihan tertentu serta adanya
kesamaan antara partai yang dipilih dengan partai yang dikagumi.30
29 Saiful Mujani dan R. William Liddle dkk, Kuasa Rakyat Analisis Tentang Prilaku Memilih
Dalam Pemilihan Legislative Dan Presiden Indonesia Pasca OrdeBaru..,hal. 22. 30 Saiful Mujani dan R. William Liddle dkk, Kuasa Rakyat Analisis Tentang Prilaku Memilih
Dalam Pemilihan Legislative Dan Presiden Indonesia Pasca OrdeBaru..,hal. 22.
21
3. Model Pilihan Rasional
Pendekatan rasional berkaitan dengan orientasi utama pemilih yaitu orientasi
ekonomi dan politik. Model rasional berasumsi bahwa setiap pemilih akan
menentukan pilihannya apabila dia diuntungkan baik secara ekonomi maupun poltik.
Menurut perfektif rasionalitas pemilih ini, seseorang warga berprilaku rasional. Yakni
menghitung bagaimana caranya mendapatkan hasil maksimal dengan ongkos
minimal.31
Perspektif pilihan rasional Anthony Down (1957) melihat nilai demokrasi atau
kewajiban warga negara faktor penting yang membuat yang membuat warga tetap
memilih dalam pemilu meskipun tidak mendapatkan insentif personal. Bila
demokrassi atau rasa berkewajiban sebagai warga negara untuk ikut dalam pemilu
lebih kuat dibandingkan ongkos yang di perlukan untuk mencapai nilai tersebut pada
diri seseorang, maka orang tersebut kemungkinan besar akan ikut pemilu.32
Pendekatan rasional lebih melihat kegiatan perilaku pemilih sebagai produk
hitungan untung rugi. Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan dan
mendapat informasi-informasi yang cukup. Tindakan mereka didasarkan bukan
karena faktor kebetulan atau kebiasaan dan bukan merupakan kepentingan pribadi,
tetapi kepentingan umum berdasarkan pikiran dan pertimbangan yang logis.
31 Saiful Mujani dan R. William Liddle dkk, Kuasa Rakyat Analisis Tentang Prilaku Memilih
Dalam Pemilihan Legislative Dan Presiden Indonesia Pasca OrdeBaru..,hal. 29. 32 Saiful Mujani dan R. William Liddle dkk, Kuasa Rakyat Analisis Tentang Prilaku Memilih
Dalam Pemilihan Legislative Dan Presiden Indonesia Pasca OrdeBaru….,hal. 29-30
22
2.1.2. Tinjauan Tentang Sosialisasi Politik Dan Efektivitas Kerja Agen
Sosialisasi
Sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik para
anggota masyarakat. Proses ini diperoleh baik secara sengaja melalui pendidikan
formal, nonformal dan informal maupun secara tidak sengaja melalui kontak dan
pengalaman sehari-hari.33
Sosialisasi politik ditentukan oleh lingkungan sosial,
ekonomi dan kebudayaan dimana individu berada, selain itu juga ditentukan oleh
interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadiannya.34
Budaya politik, menurut Almond dan Verba, merupakan sikap individu
terhadap sistem dan komponen-komponenya, dan juga sikap inividu terhadap peranan
yang dimainkan dalam sistem politik.35
Singkatnya, budaya politik tidak lain daripada
orientasi psikologis terhadap obyek sosial, dalam hal ini sistem politik.36
Menurut Almond dan Verba ada tiga tipe budaya politik. Pertama adalah
budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat
rendah. Tipe budaya politik di mana ikatan seorang individu terhadap sebuah sistem
politik tidaklah begitu kuat, baik secara kognitif maupun afektif.37
Budaya politik
33 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik.., hal. 149-150 34 Michael Rush dan Philip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008), hal. 25. 35 Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan
Demokrasi di Lima Negara. (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hal. 13. 36 Affan Gafar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), hal. 99 37 Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan
Demokrasi di Lima Negara…, hal. 20.
23
parokial umumnya terdapat dalam masyarakat tradisional dan lebih bersifat
sederhana.
Kedua, budaya politik kaula (subyek) yaitu masyarakat bersangkutan sudah
relative maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif. Dalam
budaya politik kaula memiliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politiknya,
namun perhatian dan intensitas orientasi mereka terhadap input dan partisipasinya
dalam proses output sangat rendah.38
Budaya politik ini tingkatannya lebih tinggi dari
parokial oleh sebab individu merasa bahwa mereka adalah bagian dari warga suatu
negara.
Ketiga, budaya politik partisipan adalah budaya politik yang lebih tinggi
tingkatannya ketimbang subyek. Dalam budaya politik partisipan, individu mengerti
bahwa mereka adalah warga negara yang punya sejumlah hak maupun kewajiban.
Budaya politik partisipan ini yaitu ditandai dengan kesadaran politik yang sangat
tinggi.39
Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik.
Menurut M. Rush Sosialisasi politik ialah proses yang melaluinya orang
dalam masyarakat tertentu belajar mengenali sistem politik. Proses ini sedikit banyak
menentukan prespsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik.40
38 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…, hal. 116. 39 Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan
Demokrasi di Lima Negara…, hal. 20. 40 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik.( Jakarta : Gramedia Pustaka, 2008). hal. 407.
24
Sosialisasi politik dibagi dua, yakni pendidikan politk dan indoktrinasi politik.
Pendidikan politik merupakan suatu proses dialogis diantara pemberi dan penerima
pesan. Sedangkan indoktrinasi poltik ialah proses sepihak ketika penguasa
memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma dan
simbol yang dianggap pihak yang berkuasa sebagai ideal dan baik.41
Dalam kegiatan sosialisasi politik dikenal yang namanya agen. Agen inilah
yang melakukan kegiatan memberi pengaruh kepada individu. Beberapa agen
sosialisasi ini ialah :
1. Keluarga
Pengaruh kehidupan keluarga baik yang langsung maupun yang tidak
langsung, yang merupakan struktur sosialisasi pertama yang dialami seseorang sangat
kuat dan kekal. Yang paling jelas pengaruh dari keluarga ini ialah dalam hal
pembentukan sikap terhadap wewenang kekuasaan (authority). Keluarga biasanya
membuat keputusan bersama, dan bagi si anak keputusan-keputusan yang dibuat itu
bersifat otoritatif, dalam arti keengganan untuk mematuhinya dapat mengundang
hukuman.42
Apa yang anak-anak hadapi dari daftar awal keluarga biasanya melebihi
semua faktor lainnya. Upaya di atas sosialisasi oleh pemerintah dan sekolah pada
41 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik.., hal. 150 42 Mohtar Mas‟oed dan Colin Mac Andrew, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press. 2008), hal. 47.
25
umumnya gagal jika nilai-nilai mereka bertentangan dengan orientasi keluarga.
Negara-negara komunis, seperti Polandia, memiliki masalah ini: rezim tersebut
mencoba menanamkan nilai sosialis pada anak-anak, namun keluarga tersebut
mengajarkan anak tersebut untuk mengabaikan pesan-pesan ini. Dimana nilai
keluarga dan pemerintah pada umumnya kongruen, seperti di negara-negara bersatu,
dua mode sosialisasi saling memperkuat satu sama lain.43
Orang tua mempengaruhi perilaku politik kita selama beberapa dekade.
Orang-orang Kost memilih seperti yang dilakukan orang tua mereka. Pada dasarnya,
keluarga membentuk susunan psikologis individu, yang pada gilirannya menentukan
seperti keterikatan dan kepercayaan pihak atau sinisme tentang pemerintah. Tahun-
tahun awal memiliki efek yang paling kuat, terutama dan dapat mempertahankan
mereka sepanjang hidup mereka. Orang-orang memberi kembali kepada dunia
sebagai orang dewasa apa yang mereka dapatkan darinya sebagai anak-anak. Satu
studi menemukan bahwa orang-orang dengan kepribadian otoriter telah diperlakukan
secara kasar seperti anak-anak. Almond dan Verba menemukan bahwa mereka yang
ingat memiliki suara dalam keputusan keluarga karena anak-anak memiliki rasa
kemanjuran politik dewasa yang lebih besar.44
43 Michael G. Roskin, Robert L. Cord, James A. Medeiros dan Walter S. Jones. Political
Science An Introduction. (Canada: Pearson Education. 2012), hal. 132. 44 Michael G. Roskin, Robert L. Cord, James A. Medeiros dan Walter S. Jones. Political
Science An Introduction…, hal. 132.
26
2. Sekolah
Sosialisasi yang lebih disengaja terjadi di sekolah. Pemerintah lebih
menggunakan sejarah untuk menanamkan anak-anak dengan bangga dan patriotisme.
Banyak bangsa Afrika mencoba menyatukan suku mereka, biasanya dengan bahasa
dan sejarah yang berbeda, dengan mengajar bahasa Prancis atau Inggris tentang masa
lalu mitos ketika mereka adalah bangsa yang hebat dan bersatu. Seringkali dosis tidak
bekerja, seperti yang terlihat baru-baru ini di Congo (terutama Zaire). Negara-negara
komunis juga menggunakan sekolah untuk menanamkan dukungan bagi rezim
tersebut. Seperti yang kita lihat di tahun 1089, usaha ini gagal; keluarga dan gereja
mengesampingkan usaha sekolah untuk membuat orang-orang Eropa Timur menjadi
komunis yang percaya. Sekolah A.S. melakukan pekerjaan cemerlang untuk
mengubah imigran dari banyak wilayah menjadi satu negara, sesuatu yang dikritik
oleh pendidikan dwibahasa katakan harus dipulihkan.45
Kegunaan sekolah juga mempengaruhi sikap politik. Secara serentak, orang-
orang dengan pendidikan selama bertahun-tahun menunjukkan rasa tanggung jawab
yang lebih kuat kepada komunitas mereka dan merasa lebih mampu mempengaruhi
kebijakan publik kemudian melakukan warga berpendidikan rendah. Orang dengan
lebih banyak sekolah lebih partisipatif. Lulusan perguruan tinggi lebih toleran dan
berpikiran terbuka, terutama soal pacuan, daripada putus sekolah tinggi, yang
45 Michael G. Roskin, Robert L. Cord, James A. Medeiros dan Walter S. Jones. Political
Science An Introduction…, hal. 132-133.
27
seringkali parokial dalam pandangan. Pendidikan memberi kesan lebih terbuka, dan
orang berpendidikan umumnya menikmati pendapatan dan sattaus yang lebih tinggi,
yang dengan sendirinya mendorong minat dan partisipasi.46
3. Kelompok Teman
Teman dan teman bermain juga dari nilai politik. Misalnya, anak-anak
sekolah di Jamaika yang bersekolah dengan anak-anak kelas sosial yang lebih tinggi
cenderung mengambil sikap politik kelas-kelas tersebut, tetapi ketika mereka
bersekolah dengan teman kelas pekerja, sikap mereka tidak berubah. Kekuatan relatif
pengaruh kelompok sebaya tampaknya semakin meningkat. Dengan kedua orang tua
bekerja, anak-anak mungkin lebih banyak disosialisasikan oleh teman sebaya
daripada keluarga. Pemberi nama nilai keluarga menganggap ini sebagai penyebab
utama penggunaan narkoba dan kekerasan muda.47
4. Media Massa
Memperoleh pengaruh adalah media massa, terutama televisi. Banyak yang
takut pengaruhnya negatif. Ilmuwan politik Harvard Robert Putnam berpendapat
bahwa menonton TV yang berat membuat orang pasif dan tidak tertarik dalam
aktivitas masyarakat atau kelompok. Seiring anak-anak Amerika menonton ribuan
jam televisi (adik perempuan plug-in) setahun, mereka menanggung banyak
46 Michael G. Roskin, Robert L. Cord, James A. Medeiros dan Walter S. Jones. Political
Science An Introduction…, hal. 132-133. 47 Michael G. Roskin, Robert L. Cord, James A. Medeiros dan Walter S. Jones. Political
Science An Introduction…, hal. 133.
28
kejahatan dan pembunuhan. Beberapa kritikus ini cenderung membuat mereka tidak
berperasaan dan melakukan kekerasan, tapi ini belum terbukti. TV menjangkau anak-
anak lebih awal bahkan berusia 3 tahun dapat mengenali presiden di televisi kongres
menerima liputan TV yang jauh lebih sedikit dan kurang hormat, pandangan bahwa
anak-anak dapat menjalani sisa hidup mereka.48
Seperti sekolah, media massa mungkin tidak berhasil jika pesan mereka
bertentangan dengan keluarga dan ajaran agama wahat. Bahkan para periset soviet
menemukan bahwa keluarga lebih banyak berpengaruh pada pandangan politik
individu daripada media massa soviet. Media massa Iran, yang semuanya dikuasai
oleh konservatif Islam, kebanyakan orang Iran percaya kebalikan dari apa yang media
cetak memberi mereka. Media massa saja tidak bisa melakukan semuanya.49
5. Pemerintah
Pemerintah sendiri merupakan agen sosialisasi, apalagi jika melahirkan
standar hidup yang meningkat. Banyak kegiatan pemerintah dimaksudkan untuk
menjelaskan atau menampilkan pemerintah kepada publik, selalu dirancang untuk
membangun dukungan dan loyalitas. Kacamata hebat, seperti Olimpiade Beijing
2008, memiliki efek penguatan, seperti parade dengan bendera dan tentara, dan
pengumuman pemimpin puncak. Namun, kekuatan pemerintah untuk mengendalikan
48 Michael G. Roskin, Robert L. Cord, James A. Medeiros dan Walter S. Jones. Political
Science An Introduction…, hal. 134. 49 Michael G. Roskin, Robert L. Cord, James A. Medeiros dan Walter S. Jones. Political
Science An Introduction…, hal. 134.
29
sikap politik terbatas karena pesan dan pengalaman menjangkau individu melalui
percakapan dengan kelompok kerabat atau rekan utama, yang menyampaikan pesan
mereka sendiri. Kelompok yang bermutu dapat mensosialisasikan chidren mereka
untuk tidak menyukai pemerintah dan mengabaikan pemijatannya.50
2.2. Kerangka Konsep
Pergelaran pesta demokrasi di Aceh dalam rangka pemilihan kepala daerah
serentak pada 2017, untuk memilih gubernur dan wakil gubernur serta kepala daerah
di 20 kabupaten dan kota. Merupakan wujud dari demokrasi dimana adanya
keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu pemiulkada
merupakan tolak ukur sejauh mana negara itu telah melaksanakan demokrasi dan
partisipasi masyarakat menajadi indikator pemerintahan yang didukung oleh
masyarakat. Pemilukada juga memperlihatkan bagaiman sebuah kekuasaan berasal
dari rakyat yang kemudian dipercayakan demi kepentingan rakyat dan kepada
masyarakatlah setiap kebijakan dipertanggungjawabkan.
Menurut UU No. 10 tahun 2008 dalam Bab IV pasal 19 ayat 1 dan 2 serta
pasal 20 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemilih pemula adalah warga
Indonesia yang pada hari pemilihan atau pemungutan suara adalah Warga Negara
Indonesia yang sudah genap berusia 17 tahun dan atau lebih atau sudah/pernah kawin
yang mempunyai hak pilih, dan sebelumnya belum termasuk pemilih karena
50 Michael G. Roskin, Robert L. Cord, James A. Medeiros dan Walter S. Jones. Political
Science An Introduction…, hal. 134.
30
ketentuan Undang-Undang Pemilu. Jadi katagori pemilih pemula ialah 17 – 21 tahun,
terkecuali karena telah menikah.
Keikutsertaan pemilih pemula dalam proses pemilukada merupakan hal yang
sangat penting mengingat jumlah suara yang signifikan dimiliki oleh pemilih pemula
dalam mendorong pesta demokrasi yang lebih demokratis. Bentuk partisipasi memilih
pemilih pemula ini di dominasi oleh model sosiologi, hal ini disebabkan dari
kurangnya kesadaran politik dikalangan pemilih pemula. Untuk mengkaji dan
memahami apakah kesadaran politik menyebabkan faktor sosiologi lebih
mendominasi dikalangan pemilih pemula dikota dan Banda Aceh pada pemilukada
Aceh tahun 2017. Dan melihat bagaimana agen sosialisasi membentuk perilaku
memilih pemilih pemula. Berdasarkan indikator-indikator tersebut digunakan tiga
pendekatan besar, yaitu :
1. Pendekatan Sosiologis
2. Pendekatan Psikologis
3. Pendekatan Rasional
Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan perilaku pemilih seperti yang ada
di atas dikarenakan pendekatannya harus disesuaikan dengan kondisi lokasi penelitian
yang berada di kota Banda Aceh Provinsi Aceh sehingga kecendrungan memilih lebih
mengarah pada ketiga pendekatan tersebut dan objek penelitian yakni pemilih
31
pemulah di kota Banda Aceh dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
secara langsung di Provinsi Aceh tahun 2017.
Menggunakan pendekatan-pendekatan yang ada di atas, yaitu tiga pendekatan
besar dalam perilaku pemilih maka akan diketahui perilaku pemilih pemula dalam
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Provinsi Aceh
tahun 2017 serta melihat bagaimana agen sosialisasi membentuk perilaku memilih
pemilih pemula. Agar lebih mudah dalam memahami kerangka pikir dalam penelitian
ini, berikut adalah bagan dari kerangka pikir penelitian ini :
Sosialisasi Politik
Perilaku Pemilih Pemula
Tingkat Partisipasi Semu
Rasional
Psikologi
Sosiologi
Age
n
Sosi
alisa
si
Polit
ik
Gambar. 01
Kerangka Pikir
32
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yang bersifat kualitatif. Menurut
Bogdan dan Guba menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan Kirk dan Miller mendefinisikan
penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang
secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya
sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam
peristilahannya.51
3.2. Lokasi Penelitian
Peneliti melakukan penelitian di Kecamatan Syiah Kuala desa Kopelma
Darusalam kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Alasan diambil dalam lingkungan
Kecamatan Syiah Kuala desa Kopelma Darusalam kota Banda Aceh sebagai lokasi
penelitian pertimbangan pertama adalah karena Kecamatan Syiah Kuala termasuk
dalam jumlah pemilih tetap terbesar di Kota Banda Aceh. Total ada sebanyak
51 Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan Tindakan, (Bandung:
Refika Aditama, 2014), hal. 181.
33
150.608 pemilih tetap di Kota Banda Aceh yang tersebar di 90 gampong dalam
sembilan kecamatan. Kecamatan yang memiliki DPT terbesar pertama adalah
Kecamatan Kuta Alam, terdapat 11 desa, 72 TPS, 14.172 pemilih laki-laki, 14. 173
pemilih perempuan. Total pemilih, 28. 345 orang. Disusul oleh Kecamatan
Baiturrahman terdapat 10 desa, 58 TPS, 9.962 pemilih laki-laki dan 10. 817 pemilih
perempuan. Totalnya 20.779 orang 52
. Kecamatan yang memiliki jumlah DPT
terbanyak di kota Banda Aceh berikutnya ada di Kecamatan Syiah Kuala. Menurut
data Kecamatan Syiah Kuala terdapat 10 desa, 57 TPS, 9.496 pemilih laki-laki dan
9.501 pemilih perempuan. Totalnya 18. 997 orang.53
Pertimbangan berikutnya ialah karena antusias pemilih di Kecamatan Syiah
Kuala cukup tinggi dalam memberikan suaranya. Menurut data KPU, partisipasi di
Kecamatan Syiah Kuala mencapai 65,8% dengan total suara 12. 222 orang.54
Selain
itu Kecamatan Syiah Kuala adalah pusat pendidikan (kota pelajar) di Kota Banda
Aceh dengan kehadiran beberapa universitas dan sekolah-sekolah, yang mendapatkan
julukan sebagai jantung hati rakyat Aceh. Sehingga Kecamatan Syiah Kuala cukup
representatif menjadi sampel dalam penelitian ini.
52 Berita.co.2016. Inilah Jumlah Pemilih di Kota Banda Aceh Untuk Pilkada 2017. Diakses
pada tanggal 28 Desember 2017. Disitus: http://www.beritakini.co/news/ini-jumlah-pemilih-di-kota-
banda-aceh-untuk-pilkada-2017/index.html 53 KIP Kota Banda Aceh. 2016. E Paper Banda Aceh Election News Edisi: Jumlah Pemilih
Pilkada Di Kota Banda Aceh Pilkada 2017. Diakses pada tanggal 25 Januari 2017. Disitus:
http://kip.bandaacehkota.go.id/wp-content/uploads/2017/06/3.-Bulletin-KIp-Banda-Aceh-KIP-edisi-3-
Desember-2016.pdf. 54 KPU Prov Aceh. 2017. Hasil Hitung TPS (From C1) Kota Banda Aceh. Diakses pada
tanggal 25 Februari 2018. Disitus: https://pilkada2017.kpu.go.id/hasil/t1/aceh/kota_banda_aceh
34
3.3. Populasi Dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian. Sementara Sampel adalah
menggeneralisasikan hasil penelitian sampel.55
Populasi penelitian untuk metode
kualitatif adalah seluruh penduduk kota Banda Aceh yang berumur 17-21 tahun.
Dalam pilkada 2017 mendatang yang termasuk kategori pemilih pemula 17-21 ialah
lahir tahun 2000-1996, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi Aceh kategori
tersebut berjumlah 20.196 jiwa.56
Dari sekian banyak populasi yang ada dan tidak
memungkinkan untuk mendata satu persatu calon pemilih pemula di kecamatan Syiah
Kuala kota Banda Aceh, maka populasi akan di wakili oleh sampel yang berjumlah 6
orang yang akan di ambil dari beberapa penduduk yang berusia 17 - 21 tahun.
Teknik pengambilan sampel dalam peneitian ini adalah Nonprobability
sampling. Nonprobability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak
memberikan peluang yang sama bagi unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi
anggota sampel.57
Dalam penelitian ini menggunakan Sampling Kuota. Sampling
kuota adalah teknik untuk menentukan sampel dan populasi yang mempunyai ciri-ciri
tertentu sampai jumlah kuota yang diinginkan. 58
55 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta,
2014), hal. 173-174. 56 Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh 2015 57 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2006), hal. 122. 58 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D…,hal. 124.
35
3.4. Variabel Penelitian
Variable penelitian ini ialah partisipasi memilih pemilih pemula yang meliputi
model :
1. Perilaku memilih berdasarkan pertimbangan sosiologi,
2. Perilaku memilih berdasarkan pertimbangan psikologis dan
3. Perilaku memilih berdasarkan pertimbangan rasional.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Menurut moleong, sumber data penelitian kulitataif adalah tampilan yang
berupa kata-kata lisan atau tertulis yang dicermati oleh peneliti dan benda-benda yang
di amati sampai detailnya agar dapat ditangkap makna yang tersirat dalam dokumen
atau bendanya.59
Pada penelitian ini teknik pengumpulan data metode kualitatif yaitu
dengan menggunakan data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang diucapkan
secara lisan, gerak-gerik atau prilaku yang dilakukan oleh subjek yang dapat
dipercaya, dalam hal ini adalah subjek (informan) yang berkenaan dengan variable
yang diteliti.60
59 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik…, hal. 22. 60 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik…, hal. 22.
36
Data primer diperoleh dari observasi dan interview atau wawancara mendalam
terhadap responden dengan menggunakan wawancara yang terstruktur untuk
mengetahui data alasan kesadaran politik menyebabkan faktor sosiologis lebih
dominan mempengaruhi perilaku memilih pemilih pemula, serta melihat peran dari
agen sosialisasi dalam membentuk perilaku memilih pemilih pemula dan juga
mengukur tingkat kepercayaan pemilih pemula kepada pemeritah.
Yang menjadi data primer dalam penelitian ini ialah 6 orang penduduk
Kecamatan Syiah Kuala yang berusia 17 hingga 21 tahun, keluarga dari salah satu
sampel, komunitas atau kelompok teman pemilih pemula, salah satu pengajar di
bidang pendidikan kewarganegaraan di SMAN 5 Kota Banda Aceh dan di UIN Ar-
Raniry, The Aceh Institute yang mewakili LSM, 2 orang tim sukses kandidat calon
gubernur dan wakil gubernur Aceh tahun 2017 yaitu tim sukses pasangan Irwandi
Yusuf dan Nova Iriansyah dan Tarmizi Kharim dan Machsalmina Ali. Serta Media
masa yang diwakili oleh Serambi Indonesia, KIP Provinsi Aceh selaku penyelenggara
pemilukada.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen grafis
(tabel, catatan, notulen rapat, sms dan lain-lain), foto-foto, filem, rekaman video,
benda-benda lain yang memperkaya data primer. 61
61 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik…, hal. 22.
37
Data sekunder diperoleh melalui telaah kepustakaan, instansi atau dinas
terkait, data dari instansi atau dinas sebagai penunjang data yang diperlukan data
dalam penelitian ini, seperti gambaran umum pemilukada Aceh sebelumnya, jumlah
pemilih pemula, data jumlah pemilih pemulah di kota Banda Aceh.
3.6. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian metode kualitatif dari penelitiaan ini adalah melalui
wawancara. Dalam penelitian kualitatif, wawanacara dimaksudkan untuk mendalami
suatau kejadian atau kegiatan subjek penelitian.62
Menurut Stedward wawancara
adalah alat yang baik untuk menghidupkan topik riset. Wawancara juga merupakan
metode bagus untuk pengumpulan data tentang subjek kontenporer yang belum dikaji
secara ekstensif dan tidak banyak literatur yang membahasnya.63
Wawancara yang
akan dilakukan dalam penelitian ini menggunakan wawancara terstruktur.
Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila peneliti atau
pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan
diperoleh.64
3.7. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis data deskriptif. Deskriptif
(describe) yang berarti memaparkan atau menggabarkan suatu hal. Penelitian
62 Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan Tindakan.., hal. 213. 63 Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, (Jakarta: Kencana, 2009). hal. 104. 64 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D…,
hal. 319.
38
deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk menyelidiki keadaan, kondisi,
peristiwa kegiatan dan lain-lain, yang hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan
penelitian.65
Pada penelitian ini teknik analisis data juga menggunakan analisis isi
(content analysis). Content analysis berangkat dari anggapan dasar dari ilmu-ilmu
sosial bahwa studi tentang proses dan isi komunikasi adalah dasar dari studi-studi
ilmu sosial.66
Menurut Susan Stainback dalam buku Sugiyono Analisis data merupakan hal
yang kritis dalam proses penelitian kualitatif. Analisis digunakan untuk memahami
hubungan dan konsep dalam data sehingga hipotesis dapat dikembangkan dan
dievaluasi.67
Proses analisis data dimulai dari analis sebelum memasuki lapangan.
Analisis dilakukan terhadap studi pendahuluan, atau data sekunder, yang akan
digunakan untuk menemukan fokus penelitian.68
Data yang telah terkumpul dilakukan editing (penyuntingan), hal ini untuk
menghindari terjadinya kesalahan. Setelah itu dilakukan reduksi data. Mereduksi data
berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang
penting, di cari tema dan polanya dan membuang hal-hal yang tidak perlu. Setelah
mereduksi data langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data atau menyajikan data.
Menurut Miles dan Huberman yang paling sering digunakan untuk peyajian data
65 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik…,hal. 3. 66 Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan Tindakan.., hal. 224. 67 Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. (Bandung: Alfabeta, 2014).
hal. 244. 68 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D…,
hal. 336.
39
dalam penelitian kualitatif ialah dengan teks dan bersifat naratif. Langkah ketiga
dalam analisis data kualitatif adalah Menurut Miles dan Huberman adalah penarikan
kesimpulan dan verifikasi. 69
69 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D…,hal. 338- 345.
40
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Krisis Sosial Dan Tingkat Kepercayaan Pemilih Pemula Pada
Pemerintah
Krisis sosial dapat diartikan sebagai bentuk penyimpangan negatif dari
konteks sosial yang dapat berdampak pada segalah aspek kehidupan, salah satunya
pada aspek partisipasi masyarakat pada pemilukada. Krisis sosial muncul akibat
ketidak percayaan pemilih pemula pada elit ditingkat nasional maupun lokal.
Fenomena korupsi, pemimpin yang dianggap tidak berkompeten pada tugas dan
kewajiban yang diembannya serta pemimpin berkerja tidak sesuai dengan visinya
dimana tidak pro rakyat dan tidak jarang menggunakan kekuasaannya untuk urusan
pribadi atau kelompok pendukungnya saja, menyebabkan masyarakat apatis dalam
memilih pada pemilukada Aceh 2017.
Firmanzah menjelaskan bahwa ada beberapa faktor determinan bagi pemilih
dalam memutuskan pilihannya, salah satunya ialah faktor parpol dan kontestan70
.
Pemilih akan menilai latar belakang, reputasi atau tarck record calon kepala daerah.
Dalam hal ini pemilih akan menilai kualitas dari reputasi kerja baik partai atau calon
tersebut dalam waktu yang cukup lama, jauh sebelum masa kampanye pemilukada
70 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…,hal. 482.
41
dimulai, yang kemudian ini menjadi barometer pemilih dalam memilih pada
pemilukada.
Tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah juga menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Seseorang
yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi cenderung untuk memberikan
suaranya pada pemilukada. Partisipasi dalam proses politik pada pemerintah yang
dipercayai, menjadi jalan awal agar kepentinganya dapat terpenuhi. Seperti pendapat
Gabriel Almond bahwa partisipasi politik selalu diawali oleh adanya artikulasi
kepentingan dimana seseorang mampu mengontrol sumber daya71
.
Momentum pemilukada Aceh tahun 2017 ini menjadi pembelajaran bagi
pemerintah untuk segerah berbenah. Dampak dari pemerintahan yang sebelumnya
menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan pada pemerintah dikalangan pemilih
pemula. Pemilih pemula berpendapat bahwa pemerintah yang berkuasa lebih
mengutamakan kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya dari pada
masyarakatnya sebagai pemberi kekuasaan, menyebabkan janji-janji selama
kampanye tidak direalisasikan. Untuk kasus Aceh saja setiap tahun APBA terlambat
untuk disahkan, hal ini disebabkan karena ada kepentingan politik disana bukan
kepentingan masyarakat. Mengutip pendapat salah satu pemilih pemula mengatakan :
“Saya tidak percaya pada pemerintah, baik di Aceh maupun di pusat.
Kebiasaannya seperti pemerintah yang dulu terpilih, setelah menang mereka tidak
71 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…,hal. 157.
42
berkerja untuk rakyat. Banyak program- program yang di janjikan tidak dijalankan.
Banyak juga aktor-aktor politik setelah dipilih masuk penjara karena kasus korupsi
seperti yang baru- baru ini kasus Setya Novanto.72
‟‟
Pemerintah juga dinilai korup baik ditingkat nasional maupun lokal,
banyaknya kasus para eksekutif maupun legislative yang tertangkap tangan dan
terbukti melakukan korupsi. Kepercayaan pemilih pemula pada pemerintah rendah
juga disebabkan oleh kasus yang hampir setiap waktu terjadi dimana penguasa kebal
akan hukum sementara produk hukum sangat ditegakkan kepada masyarakat tingkat
bawah. Padahal para elit politik mempunyai peranan penting untuk menjalankan roda
pemerintahan dan menggiring dunia perpolitikan kearah lebih baik. Keadaan para elit
politik ini juga akan berpengaruh terhadap stabil atau tidak stabilnya perpolitikan baik
tingkat nasional maupun lokal. Mengutip pendapat salah satu pemilih pemula :
“Penegakan hukum di Indonesia masih belum cukup baik. banyak kasus
masyarakat seperti mencuri karena lapar dijatuhi hukuman yang terbilanng cukup
berat, sedangkan koruptor yang harusnya di jatuhi hukuman berat malah bisa jalan-
jalan ke luar kota bahkan mendapat fasilitas mewah dirutan.73
“
72 Wawancara. Meisara. Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh,
Provinsi Aceh. Pada tanggal 06 Juni 2018. 73 Wawancara. Meisara. Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh,
Provinsi Aceh. Pada tanggal 31 Mei 2018.
43
Diagram. 03.
Rata-Rata Tingkat Kepercayaan Pemilih Pemula Pada Pemerintah
Kurangnya kepercayaan pada pemerintah berdampak pada minimnya
partisipasi pemilih pemula pada pemilukada gubernur dan wakil gubernur Aceh tahun
2017. Pemilih pemula memiliki anggapan bahwa pemberian suara tidak menjadi alat
yang efektif untuk menyalurkan kepentingan mereka dengan kata lain tindakan
mereka memberikan suara tidak memiliki efek politik untuk keuntungan mereka.
0,00%
5,00%
10,00%
15,00%
20,00%
25,00%
30,00%
Pemilih Pemula
28,33%
44
Frank Lindenfold mengatakan bahwa faktor utama yang mendorong orang untuk
berpartisipasi dalam kehidupan politik adalah kepuasan finansial74
.
Rendahnya partisipasi dikalangan pemilih pemula dikhawatirkan akan
mempengaruhi jalannya pemerintahan. Karena rendahnya partisipasi adalah tanda
rendahnya legitimasi. Partisipasi yang rendah juga akan mempengaruhi budaya
politik yang berkembang. Apabila pemilih pemula terus menerus memiliki tingkat
partisipasi yang rendah dalam setiap pemilukada tidak hanya menggangu jalannya
demokrasi, namun juga membentuk perilaku yang apatis. Menurut pembagian
sosialisasi poltik oleh David F. Roth dan Frank L. Wilson75
ada empat lapisan
partisipasi politik.
74 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…,hal. 193.
75 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…,hal. 168.
45
Gabar. 02.
Piramida Partisipasi Poliitk
Pada pemilukada gubernur dan wakil gubernur tahun 2017 total pemilih
pemula di Banda Aceh berjumlah 20. 196 jiwa, dan 66,6% pemilih pemula di
kecamatan Syiah Kuala masuk kategori sebagai lapisan terbawah dalam partisipasi
yaitu lapisan apolitis. Apolitis adalah kelompok orang yang tidak peduli terhadap
sesuatu yang berhubungan dengan politik atau mereka yang tidak melibatkan diri
dengan politik. Ketidak terlibatan diri dengan politik bisa dalam bentuk menarik diri
untuk tidak memberikan suara pada Pemilukada. Sementara 16,6% pemilih pemula
masuk dalam kategori pengamat sementara kategori partisipan hanya sebagian kecil
dari pemilih pemula.
Aktivis
Partisipan
Pengamat
Orang yang Apolitis
46
Kurangnya kepercayaan pada pemerintah tidak hanya meningkatkan angka
golongan putih (golput) dikalangan pemilih pemula tetapi pemilih pemula juga
menarik diri dari segala ativiatas politik seperti kegiatan kampanye hingga hadir
dalam sosialisasi yang dilakukan agen sosialiasi. Apabila negara – negara otoriter
berpartai tunggal mengalami masalah akibat tidak memberi kepecayaan pada rakyat
untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, maka negara demokrasi akan mengalami
krisis politik ketika pemilih mulai apatis dengan pemerintah.
4.1. Peran Agen Sosialisasi Membentuk Perilaku Pemilih Pemula
Perilaku politik adalah kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan
dan pelaksanaan keputusan politik. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh pemerintah
maupun masyarakat. Kegiatan yang dilakukan pada dasarnya di bagi dua yaitu fungsi
pemerintahan (pejabat pemerintahan) dan warga negara biasa yang tidak memiliki
fungsi pemerintahan tetapi memiliki hak untuk mempengaruhi orang yang memiliki
fungsi pemerintahan (fungsi politik)76
. Proses mempengaruhi yang dilakukan pemilih
pemula salah satunya dengan menggunakan hak suara dalam pemilu atau pemilukada.
Momentum ini menjadi sarana rotasi kepemimpinan politik.
Kondisi awal pemilih pemula adalah faktor determinan dalam memutuskan
pilihan politiknya pada pemilukada. Kondisi awal77
yang dimaksud adalah
karakteristik yang melekat dalam diri pemilih pemula, seperti sistem nilai yang
76 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik…,hal. 167. 77 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…, hal. 481.
47
dimiliki, kayakinan dan kepercayaan. Variable yang terdapat pada kondisi awal ini
dibentuk oleh agen sosialisasi. Agen sosialisasi dapat membentuk sikap dan orientasi
politik pemilih pemula.
Agen sosialisasi sangat berperan dalam membentuk perilaku memilih pemilih
pemula. Ia dapat memberikan infomasi dan pendidikan politik hingga melakukan
indoktrinisasi politik kepada pemilih pemula. Pemberian informasi dan pendidikan
politik dapat menjadi dasar bagi pemilih pemula dalam menentukan sikapnya
terhadap gejala – gejala politik yang ada. Sementara indoktrinisasi politik sendiri
sedikit lebih ekstrem dalam proses sosialisasi. Karena indoktrinisasi adalah sebuah
proses yang dilakukan berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan gagasan,
sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan yang dimiliki agen yang dilakukan
secara satu arah. Penerima indoktrinisasi cenderung tidak kritis karena menerima
informasi secara penuh tanpa bisa melakukan evaluasi terhadap informasi yang di
dapat.
Sidney Hook bependapat bahwa sosialisasi adalah proses pembentukan sikap
dan orientasi politik anggota masyarakat78
. Melalui proses sosialisasi ini pemilih
pemula memiliki kepekaan politik hingga pandangan politik yang dapat
terimplementasi dalam perilaku politik. Proses yang berlangsung seumur hidup ini,
baik formal maupun informal sangat penting bagi keberlangsungan demokrasi. Proses
yang berlangsung secara formal biasa terjadi melalui lembaga yang bewenang seperti
78 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…,hal. 8.
48
sekolah. Sedangkan informal terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang
bersifat kekeluargaan seperti antara teman, sahabat dan kelompok sosial yang ada di
dalam masyarakat. Menurut Amin Ibrahim dari sosialisasi politik yang dilaksanakan
terus menerus di masyarakat dapat mewujudkan nilai-nilai demokrasi ideal79
.
Maksimal atau tidaknya kerja agen sosialisasi berdampak cukup besar pada
partisipasi pemilih pemula. Agen sosialisasi yang aktif juga dapat membentuk
perilaku politik pemilih pemula menuju perilaku yang bersifat rasional dengan
budaya yang partisipan. Michael G. Roskin membedakan lima agen sosialiasi yaitu
keluarga, sekolah, kelompok teman, media masa dan pemerintah. Diagram berikut
akan menjelaskan agen sosialisasi yang berkerja paling dominan pada pemilih
pemula:
79 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik …, hal. 7.
49
Diagram. 01.
Pemilih Pemula Yamg Mendapatkan Sosialisasi Dari Agen Sosialisasi
Bagaimana kerja agen sosialisasi akan dijelaskan di bawah ini secara lebih detail :
Pertama keluarga, dari lima agen sosialisasi hanya keluarga satu-satunya agen
yang aktif berkerja dalam memberikan sosialisasi pada pemilukada gubernur dan
wakil gubernur Aceh tahun 2017. Parsentase keaktifan keluarga sebagai agen
sosialisasi pada pemilih pemula mencapai 99,9%. Keluarga cukup rutin memberikan
informasi politik pada pemilih pemula. Informasi dapat berupa daftar calon gubernur
dan wakil gubernur, latar belakang calon, program kerja dan partai pengusung calon.
Diskusi rutin yang terjadi dalam keluarga membentuk sikap suka rela pemilih pemula
99,99%
16,66% 16,66%
0 0
16,66%
00,00%
20,00%
40,00%
60,00%
80,00%
100,00%
120,00%
Keluarga Teman
Bermain
Sekolah Media
Masa
Lembaga
Pemerintah
LSM Tim
Sukses
50
ketika agen dalam keluarga menyerankan pilihan. Seperti pendapat salah satu
keluarga pemilih pemula :
“Saya dan keluarga cukup sering membahas pemilukada di rumah, biasanya
diskusi dilakukan bersama- sama dengan anggota keluarga lain juga. Pembahasan
diskusi mengenal calon, program kerja, dan latar belakang calon. Saya menyarankan
pilihan pada anak tetapi saya tidak memaksa anak memilih calon apa80
”
Keluarga mempunyai peranan penting dalam proses sosialisasi karena
keluarga mempunyai kesempatan menurunkan nilai-nilai politiknya kepada pemilih
pemula tidak hanya pada masa sekarang, tetapi dimulai dari masa kekosongan nilai
(anak-anak) hingga dewasa. Sosialisasi informal yang dibangun keluarga dengan
menghadirkan diskusi rutin secara tatap muka membentuk model sosialiasasi
indentifikasi. Model indentifikasi81
ini adalah model dimana pemilih pemula
cenderung mengambil sikap dari orang tua untuk membentuk citra diri yang akan
memberikan dasar bagi afiliasi dari kaitan kelompok. Model ini membentuk 83,3%
pemilih pemula memiliki pilihan yang sama dengan keluarga.
Kedua sekolah, sebagai agen formal sekolah sangat berperan membentuk
perilaku politik pemilih pemula. Nilai- nilai politik dapat diturunkan secara langsung
yaitu dengan melakukan komunikasi tatap muka maupun secara tidak langsung
dengan memasukan nilai-nilai politik dalam kurikulum atau dalam buku bacaan.
80 Wawancara. Julidar. Keluraga dari Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda
Aceh, Provinsi Aceh. Pada tanggal 04 Juni 2018. 81 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…,hal. 52.
51
Proses sosialisasi politik yang dilakukan sekolah pada pemilih pemula tidak
maksimal, karena pembahasan pemilukada tidak masuk dalam kurikulum atau silabus
yang menyebabkan transformasi informasi antara guru atau dosen kepada pemilih
pemula tidak fokus pada pemilukada. Pemilukada disekolah masuk dalam
pembahasan hak dan kewajiban negara, yang menyebebakan buku bacaan khusus
materi pemilukada juga tidak dimiliki pihak sekolah. Mengutip pendapat salah satu
pengajar yang mengatakan :
“Sekolah tidak memiliki silabus khusus mengenai pemilu atau pemilukada,
pembahasan tersebut masuk dalam materi hak dan kewajiban warga negara.
Gambaran umum mengenai pemilu atau pemilukada biasanya di berikan di sela-sela
materi atau ada murid/ mahasiswa yang bertanya berkaitan dengan materi
tersebut82
”
Hal serupa juga di jelaskan oleh pemilih pemula,.
“…dalam proses belajar kami biasnya tidak pernah memiliki materi khusus
mengenai pemilu atau pemilukada, kecuali materi hak dan kewajiban warga negara.
Hak dan kewajiban warga negara biasanya hanya membahas tentang hak
mencalonkan, atau hak memilih atau kewajiban membela Negara.83
“
82 Wawancara Marliana. Guru Pendidikan Kewarga Negaraan SMAN 5 Banda Aceh,
Provinsi Aceh. Pada tanggal 17 Juli 2018. 83 Wawancara.Silvia. Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh, Provinsi
Aceh. Pada tanggal 31 Mei 2018.
52
Model sosialisasi yang digunakan sekolah adalah model sosialisasi
identifikasi, dimana pemilih pemula menerima nilai-nilai melalui komunikasi tatap
muka. Komunikasi yang dibangun juga berbasis kurikulum yang digunakan. Menurut
data hanya 16,6% pemilih pemula yang pernah mengikuti simulasi pemilu. Pihak
sekolah maupun universitas juga mengaku tidak memberikan simulasi pemilu pada
pemilih pemula. Hal ini dikawatirkan berdampak cukup serius pada kesalahan yang
mungkin terjadi dalam bilik suara mengingat minimnya informasi yang diterima
pemilih pemula serta banyaknya pemilih pemula yang juga belum pernah sama sekali
mengikuti pemilukada.
Ketiga kelompok teman, Pemilih pemula tidak mendapatkan informasi poltik
apapun dalam kelompok bermainnya. Padahal kelompok teman juga merupakan agen
sosialiasi yang berperan dalam perkembangan dan pembentukan perilaku politik
pemilih pemula. Mengutip pendapat Martin Levin yang mengatakan bahwa
kecendrungan individu untuk menerima padangan mayoritas ada di dalam kelompok
sebaya84
. Namun dalam kelompok teman diskusi politik tidak terjadi. Pemilih pemula
menghabiskan waktu berinterkasi dengan teman bermainnya yang memakan waktu
berjam-jam baik secara langsung maupun menggunakan aplikasi chatting hanya
membahas mengenai fashion, filem, tugas, atau cerita masa lalu. Seperti pendapat
salah satu pemilih pemula :
84 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…,hal. 36.
53
“Bertemu dengan teman ya di sekolah di mulai dari masuk hingga pulang
sekolah, kecuali hari libur seperti hari minggu jumpanya hanya sore hari. Kalau
tidak bisa jumpa biasanya kami chatting. Pembahasannya mengenai kejadian di
sekolah, tugas, atau trend masa kini85
”
Keempat medi masa. Media masa sangat berpengaruh dalam membagun
padangan politik pemilih pemula. Media masa hadir dalam bentuk cetak maupun
online selama 24 jam. Pada pemilukada gubernur dan wakil gubernur Aceh tahun
2017, Serambi Indonesia menyiarkan berta-berita seputar aktifitas para calon,
hambatan atau tantangan yang terjadi selama pemilukada, serta kegiatan sosialisasi
baik yang dilakukan oleh lembaga non pemerintahan maupun oleh lembaga
pemerintah seperti KIP Prov Aceh. Serambi mengatakan bahwa :
“Sebagai media yang independen, kami tidak mengeluarkan berita atas
kepentingan satu kelompok calon. Sehingga berita yang dikeluarkan banyak berupa
proses kegiatan selama pemilukada di mulai dari pendaftaran, kampanye hingga
penghitungan suara. Serambi juga tidak mengeluarkan berita sosialiasi memilih
kecuali berita tersebut dalam bentuk iklan yang di pasang lembaga lain seperti KIP
provinsi86
”
85 Wawancara. Meisara. Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh,
Provinsi Aceh. Pada tanggal 04 Juni 2018. 86 Wawancara media serambi Indonesia. Pada tanggal 26 Mei 2018 dan Pada tanggal 26 Juli
2018. Cek website : http://aceh.tribunnews.com/
54
Penting tidaknya media massa bagi sosialisasi politik tentu juga tergantung
pada corak atau sistem dari pada media massa itu sendiri. Berbeda dari rezim totaliter
yang membatasi peranan media massa dalam menurunkan nilai-nilai politik. Pada
masyarakat demokratis, nilai-nilai yang terkandung pada media massa bervariasi.
Kebebasan yang besar menjadikan agen dapat menurunkan nilai politik baik yang
bersifat vertikal maupun horizontal87
.
Pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur Aceh 2017, wacana dominan
yang dibangun oleh serambi bersifat vertikal dimana pemberitaan hanya dari
pemerintah ke pada masyarakat, sedangkan nilai-nilai politik dari bawah sangat
jarang dimuat atau disiarkan. Pemberitaan hanya sekedar pemberian informasi
pemilukada tanpa dapat mempengaruhi sikap pemilih untuk terlibat dalam
pemilukada.
Serambi berpendapat sebagai media yang independen tanpa dipengaruhi oleh
kelompok lain selama pemilukada. Sepertinya pemilih pemula tidak sependapat
dengan hal tersebut. Pemilih pemula cenderung tidak percaya dengan media massa,
yang dinilai bersifat ekploitatif untuk kepentingan tertentu. Pemberitaan yang bersifat
propaganda yang memberintakan keunggulan kandidiat tertentu serta perbedaan hasil
poling kandidat dari media satu dengan media lainnya menjadi alasan kurangnya
kepercayaan pemilih pemula pada media massa.
87 Eriza. Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…,hal. 39.
55
Model sosialisasi yang dilakukan Serambi bersifat akumulasi. Model
akumulasi melihat bahwa semakin banyak informasi yang dimasukan pada individu
atau kelompok maka semakin banyak pengetahuan yang diperoleh88
. Informasi yang
diberikan serambi dapat menambah pemahaman pada pemilih pemula mengenai nilai-
nilai politik. Serambi juga memantau keadaan politik selama proses pemilukada
secara rutin baik disiarkan secara cetak setiap hari dalam bentuk koran pagi maupun
secara online yang dapat di akses di websitenya.
Akses yang mudah disajikan serambi dalam memberikan pemahaman politik
tidak manarik minat pemilih pemula untuk mengakses informasi tersebut. Hasil
penelitian yang peneliti lakukan menunjukan bahwa 83.3% pemilih pemula sangat
jarang mengakses informasi pemilukada, bahkan 33,3% pemilih pemula tidak
mengenal calon gubernu dan wakil gubenur Aceh tahun 2017. Pemilih pemula hanya
mengandalkan informasi dari Timline di Media sosial seperti instagram, twitter dan
fecebook dalam memenuhi kecukupan informasi politiknya. Seperti pendapat salah
satu pemilih pemula mengatakan :
“Informasi politik yang saya miliki selain dari keluarga, juga dari timeline
media sosial seperti facebook atau instagram. Buka website berita sih tidak pernah,
kalau baca koran sangat jarang89
“
88 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…, hal. 52. 89 Wawancara.Cut Roza. Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh,
Provinsi Aceh. Pada tanggal 27 Mei 2018.
56
Kelima pemerintah sebagai agen sosialisasi salah satu berkewajiban dalam
memberikan sosialisasi pada pemilih pemula. Dalam melakukan sosialiasi KIP
provinsi Aceh tidak berkerja sendiri tetapi juga menjalin kerjasama dengan lembaga
lain seperti LSM atau komunitas masyarakat. Sosialisasi ini dilakukan secara terus
menerus selama pemilukada di 20 kabupaten dan kota di Aceh, dengan menggunakan
berbagai model sosialisasi baik secara tatap muka seperti diskusi umum maupun
melalui media baik online ataupun cetak. Sosialisasi yang dilakukan KIP menyasar
keberbagai kalangan pemilih seperti difabel, pemilih perempuan dan pemilih pemula.
Sosialisasi dikalangan pemilih terkhusus pemilih pemula menggunakan berbagai
model sosialisasi seperti stand up comedy, simulasi memilih, hingga diskusi warung
kopi. Seperti pernyataan anggota KIP Provinsi Aceh mengatkan bahwa :
“Sosialiasi dilakukan tidak hanya terbatas menggunakan media TV, radio
dan media cetak (koran) saja, tetapi juga sosialiasi juga menggunakan media sosial
seperti youtube, fecebook, twitter dan instagram yang merupakan basis penggunanya
adalah pemilih pemula, sajian sosioliasais pada pemilih pemula ini menggunakan
video pendek mengangkat tema Pemilukada.”90
Dari beberapa agen sosialiasasi di atas, dalam penelitian ini peneliti
menemukan dua agen yang juga berperan dalam membentuk perilaku politik pemilih
pemula serta juga menjadi agen sosialisasi ialah LSM dan tim sukses. Pertama LSM,
90 Waancara Bapak Ahmad Darlis, Anggota KIP Provinsi Aceh. Pada tanggal 6 Juli 2018 di
Banda Aceh.
57
sebagai oragnisasi yang bergerak di bidang non politik. LSM sangat berpengaruh
dalam membentuk perilaku politik pemilih pemula. LSM tidak hanya sebagai wadah
penyaruh aspirasi masyarakat, tetapi juga memberikan pengaruh kepada pemerintah
dalam mengambil kebijakan. Pada pemilukada gubernur dan wakil gubernur Aceh
tahun 2017, The Aceh Institute atau yang di singkat AI cukup rutin dan cukup intes
dalam melakukan sosialisasi di masyarakat, AI menyebutnya stakeholder meeting 91
.
Model sosialisai yang dilakukan AI ialah voter education dan stakeholder outreach.92
Sebaran sosialisasinya di 14 kabupaten dan kota antaranya Langsa, Aceh
Timur, Aceh Tamiang dan daerah lainnya, dengan mengangkat Takeline Aku
Memilih Dengan Hati. Model sosialisasi yang dilakukan dibedakan menurut
pelanggaran maupun konflik di daerah atau menurut masanya. Untuk daerah yang
konfliknya tinggi menggunkan model FGD atau Focus Group Discussion sementara
untuk daerah yang cukup banyak pemilih seperti pemilih perempuan, pemilih pemula
maupun difabel menggunakan model sosialisasi terbuka.
AI berkerjasama dengan KIP Prov Aceh, Panwasli dan lembaga lokal dalam
melakukan sosialisasi. Dengan target sekitar 100 orang untuk perserta umum dan
sekitar 40 - 45 orang untuk Difabel. Sosialisasi yang dilakukan cukup memuaskan
kerena dalam melakukan sosialisasi, AI tidak hanya membuat seminar dengan
mengahadirkan narasumber yang berasal dari Lembaga pemerintahan seperti KIP
91 Wawancara Ibuk Dhani Marisa mewakili The Aceh Institute (LSM). Pada tanggal 13 Juli
2018. 92 Voter education adalah pendidikan pemilih. Sedangkan Stakeholder outreach adalah
penjangkau pemangku kepentingan atau penguatan lembaga pemilu atau lemabaga pengawasan.
58
Prov Aceh, Panwasli maupun akademisi tetapi juga memasukan kegiatan hiburan
seperti stand up comedy dengan tema pemilukada.
Kedua ialah tim sukses. Sosialisasi yang dilakukan tim sukses menggunakan
model tatap muka seperti meet and great maupun melalui media baik online maupun
cetak. Model sosialisasi yang dilakukan ialah diskusi warung kopi, Meet and great
dan kampanye akbar dengan sasaran semua kalangan pemilih. Tim sukses optimis
bahwa calon cukup terkenal dikalangan pemilih pemula sehingga tidak ada ada
sosialisasi khusus yang dilakukan bagi pemilih pemula. Sementara pada masyarakat
desa sosialisasi dilakukan lebih rutin dari kalagan lain mengingat jangkauan
informasi masyarakat desa sangat terbatas. Seperti pendapat salah satu tim sukses
mengatakan :
“Sasaran sosialisasi dilakukan banyak menargetkan masyarakat desa. Untuk
pemilih pemula sendiri tidak ada sosialisasi khusus yang dilakukan karena calon
cukup terkenal dikalangan akademisi. 93
”
Mensosialisasikan sosok figure calon gubernur dan wakil gubernur pada
pemilih, tim sukses dan kandidat mengangkat isu- isu kemiskinan, pendidikan,
pelaksanaan Syariat Islam, reformasi birokrasi dan pembangunan daerah. Seperti
salah satu calon gubernur dan wakil gubenur Aceh., Irwandi dan Nova sebagai
incumbent kebijakan pada masa kepemimpinan sebelumnya juga menjadi unggulan
dalam memperkenalkan sosoknya untuk dianggap pantas dipilih. Beberapa program
93 Wawancara Tim Sukses Tarmizi Kharim di Banda Aceh. Pada tanggal 07 Juli 2018.
59
yang dijual ialah beasiswa untuk anak yatim, program bantuan keuangan peumakmue
gampong (BKPG), lahirnya badan dayah yang juga lahir di massa kepemimpinannya
pada periode 2007-2012, serta penyempurnaan JKA yang sudah masuk dalam BPJS.
Program yang sukses pada masa kepemimpinan sebelumnya manjadi daya
jual yang cukup menarik perhatian pemilih. To vote or not vote di dalam suatu
pemilukada dapat ditentukan oleh isu kebijakan politik, citra sosial, citra kandidat,
dan peristiwa personal94
. Keempat aspek tersebut dinilai tidak hanya pada masa
kampanye berlangsung tetapi juga sudah dimulai semenjak ia hadir dalam kehidupan
sosial masyarakat itu. Karena reputasi dibangun melalui kerja panjang dan merupakan
hasil dari akumulasi serta kinerja dalam waktu yang relatif lama.
Tabel. 01
Model Sosialisasi Yang Dilakukan Agen Sosialisasi
NO Agen Sosialisasi Model Sosialisasi
1 Keluarga - Menggunakan model identifikasi, dengan
sosialisasi informal secara tatap muka.
Seperti ngobrol santai.
2 Sekolah, - Sosialisasi formal secara tatap muka dan
94 Eriza. Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…, hal. 481.
60
dengan model identifikasi. Seperti proses
belajar mengajar di dalam ruang kelas.
3 Kelompok teman - Sosialisasi informal dapat terjadi. Dengan
model ahli antar pribadi (interpersonal
transfer model) meliputi diskusi tatap
muka dan diskusi melalui media seperti
penggunaan aplikasi chatting meliputi
whatsapp, line dan media sosial lainnya.
4 Media masa - Sosialisasi dalam bentuk transfer informasi
dengan menggunakan model akumulasi.
Sosialisasi dilakukan melalui media cetak
meliputi koran dan melalui website
serambi95
.
5 Pemerintah - Menggunakan model akumulasi.
Sosialisasi formal atau informal dapat
terjadi baik secara tatap muka berupa
pertemuan dalam bentuk diskusi, seminar,
workshop, rapat kerja, pendidikam
pemilih, ceramah, dan simulasi.
- Melalui media massa dalam bentuk tulisan,
95 Melalui website dapat diakses di http://aceh.tribunnews.com/ .
61
gambar, audio visual, website, talk show
dan debat kandidiat.
- Media pendukung meliputi poster, brosur,
spanduk, baliho, leafleat, baju, topi dan
gelas.
6 LSM - Menggunakan model akumulasi.
Sosialisasi yang terjadi berupa formal atau
informal meliputi, Focus Group
Discussion dan sosialisasi terbuka. Seperti
seminar dengan menghadirkan
narasumber, simulasi, dan stand up
comedy.
7 Tim sukses - Menggunakan model akumulasi.
Sosialisasi informal secara tatap muka
maupun melalui media. Sosialisasinya
meliputi diskusi warung kopi, meet and
great, kampanye akbar.
- Melalui media meliputi koran, majalah,
website, media sosial seperti youtube,
facebook, twitter dan instagram.
- Media pendukung seperti poster, brosur,
62
spanduk, baliho, baju dan stiker.
Data olahan sendiri.
Banyaknya model sosialisasi yang dilakukan agen sosialisasi ternyata tidak
mampu menarik minat pemilih pemula untuk berpartisipasi dalam proses sosialisai.
Asumsi bahwa sosialisasi tidak mempengaruhi partisipasi dikalangan pemilih pemula
menjadi salah satu faktor kecilnya minat pemilih pemula untuk mengikuti pendidikan
poliitk dari agen sosialisasi. Padahal 66,6% agen sosialiasi berkerja cukup aktif dalam
melakukan sosialisasi selama pemilukada gubernur dan wakil gubernur Aceh tahun
2017. Serta 2 dari 9 agen sosialisasi memiliki sasaran sosialisasi khusus untuk
pemilih pemula, seperti yang dilakukan KIP dan LSM. Baik menggunakan media
sosial diantaranya youtube, fecebook, twitter dan instagram. Maupun diskusi tatap
muka seperti seminar. Mengutip pendapat LSM yang mengatakan :
“Model sosialisai yang kami lakukan adalah voter education dan stakeholder
outreach dengan mengangkat tema yang menarik seperti aku memilih dengan hati
dan juga mengahadirkan stand up comedy di tengah-tengah acara sosialisasi. 96
”
Dari seluruh agen sosialisasi, keluarga menjadi agen yang paling dominan
diterima informasinya oleh pemilih pemula. Pada kenyataannya keluarga ternyata
tidak cukup efektif untuk meningkatkan partisipasi pemilih pemula. Hasil penelitian
yang peneliti lakukan menunjukan bahwa tingkat partisipasi pemilih pemula pada
96 Wawancara Ibu Dhani Marisa mewakili The Aceh Institute (LSM). Pada tanggal 13 Juli
2018.
63
67%
33%
Tidak Memilih
Memilih
pemilukada gubernur dan wakil gubernur Aceh tahun 2017 hanya mencapai 33,3%.
Sisanya 66,6% tidak dapat memberikan hak suaranya karena alasan kesibukan
kegiatan sehari-hari.
Diagram. 02.
Partisipasi Pemilih Pemula Pada Pemilukada Aceh Tahun 2017
Rendahnya tingkat partisipasi pemilih pemula dapat disebabkan oleh
kurangnya kesadaran untuk mengakses informasi oleh pemilih pemula. Menurut data
hanya 40% pemilih pemula yang pernah mengikuti sosialisasi yang dilakukan agen
64
sosialisasi.97
Pemilih pemula juga berpendapat bahwa kebanyakan agen sosialisasi
tidak berkerja secara efektif seperti sekolah/universitas sebagai lembaga formal yang
tidak memiliki fokus pelajaran yang mendalam tentang pemilu. Dan juga ketidak
merataan sosialisasi yang dilakukan agen sosialisasi salah satunya KIP yang
mengakibatkan ketidak cukupan informasi politik yang diterima pemilih pemula,
sehigga dalam perkembangan pembentukan sikap politiknya pemilih pemula
mengalami ketidak matangan sikap politik. Tidak matangnya sikap politik pemilih
pemula yang dimaksud ialah pemilih pemula tidak mampu menghasilkan perilaku
yang rasional dimana ia memiliki sikap dan orientasi poliitk yang independen.
Mengambil pernyataan dari salah satu pemilih pemula mengatakan bahwa :
“Rumah menjadi tempat saya mendapatkan informasi pemilukada karena
keluarga saya cukup sering membahas pemilukada. Pada proses pemilihan pada
Pemilukada gubernur dan wakil gubernur Aceh tahun 2017, saya juga memiliki
pilihan yang sama dengan keluarga, kami memilih salah satu calon yang sudah kami
sepakati sebelumnya98
.”
Hal ini hampir dirasakan oleh semua pemilih pemula, dalam penelitian ini
keluarga tidak hanya menjadi agen yang paling aktif melakukan sosialisasi tetapi juga
menjadi orientasi pemilih pemula dalam menentukan pilihanya. Seperti pendapat
Hyman mengatakan bahwa keluarga adalah faktor yang dominan membentuk
97 Hasil Wawancara. Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh, Provinsi
Aceh. Wawancara dimulai dari Mei – Juni 2018 98 Wawancara. Cut Nabila. Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh,
Provinsi Aceh. Pada tanggal 29 Mei 2018.
65
orientasi politik dan partisipasi politik dalam proses sosial99
. Ketidak seimbangan
pendidikan politik pemilih pemula dari berbagai sumber agen sosialiasi secara
lengkap, berdampak pada tidak terpenuhinya nilai-nilai politik yang diterima pemilih
pemula, sehingga pada usia dewasa pemilih pemula tidak memiliki kematangan dari
sikap politiknya.
Keluarga tidak dapat menjadi agen sosialisasi tunggal dalam melakukan
pendidikan politik. Keluarga juga tidak akan menjadi agen yang efektif dalam
membentuk perilaku rasional pada pilihan politik pemilih pemula. Keluarga
membentuk anak untuk bersikap sesuai aturan yang berlaku dalam keluarga yang
sehingga anak dituntut untuk mematuhi orang tuanya. Hal ini dapat dilihat dari
keberadaan penghargaan dan penghukuman atas perilaku yang keliru. Robinson
mengatakan bahwa dalam keluarga terjadi pemisahan peran yang jelas diantara
anggota-anggotanya, sebagai ibu, anak, atau pada usia tertentu sebagai kakek dan
nenek. Dalam kaiatanya dengan sosialisasi politik, anak yang mengalami sosialisasi
akan sangat memperhatikan posisi mereka dalam hubungan dengan orang lain.
Mereka akan sangat sadar posisi mereka dalam kaitannya dengan kepemilikan
kekuasaan100
.
Budaya ini akan membentuk perilaku sosiologi politik di kalangan pemilih
pemula. Menurut Saiful Mujani dalam bukunya kuasa rakyat mengatakan bawah
99 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…,hal. 23. 100 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…, hal. 25.
66
perilaku memilih model sosiologi ditentukan oleh karateristik sosiologi seperti kelas
sosial, agama dan kelompok etnik atau kedaerahan dan bahasa101
. Ketika pemilih
pemula memilih atas dasar orientasi keluarga maka dia masuk dalam karakteristik
sosiologi.
Keluarga dalam prosesnya secara tidak langsung membentuk perilaku politik
sosiologi pada pemilih pemula. Menurut Kamanto Sunarto bahwa pola sosialiasi
dalam keluarga dapat berlangsung dalam dua bentuk umum: Pertama, sosialisasi
represif, yaitu sosialisasi yang menekan kepada kepatuhan anak dan hukuman
terhadap perilaku yang keliru. Kedua sosialisasi partisipatif, yaitu sosialisasi yang
menekan pada otonomi anak dan memberikan imbalan terhadap perilaku anak yang
baik102
. Untuk lebih jelas lihat tabel di bawa ini :
101 Saiful Mujani dan R. William Liddle dkk, Kuasa Rakyat Analisis Tentang Prilaku Memilih
Dalam Pemilihan Legislative Dan Presiden Indonesia Pasca OrdeBaru..,hal. 6. 102 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…,hal. 24-25.
67
Tabel. 02.
Bentuk Sosialisasi Keluarga Pada Anak
Sosialisasi Represif Sosialisasi Partisipatif
- Menghukum perilaku yang keliru
- Hukuman dan imbalan material
- Kepatuhan anak
- Komunikasi sebagai perintah
- Komunikasi non-verbal
- Sosialisasi yang berpusat pada
orang tua
- Anak memperhatikan keinginan
orang tua
- Keluarga merupakan significant
other
- Memberikan imbalan perilaku
yang baik
- Hukuman dan imbalan simbolis
- Otonomi anak
- Komunikasi sebagai intraksi
- Komunikasi verbal
- Sosialisasi yang berpusat pada
anak
- Orang tua memperhatikan
keperluan anak
- Keluarga merupakan generalized
other
Mayoritas pola sosialiasi yang dilakukan keluarga cenderung pada pola
sosialiasi represif. Sehingga pemilih pemula secara sadar atau tidak sadar menerima
pilihan politik orang tuanya sebagai bentuk kepatuhan anak. Sebesar 83,3% pemilih
68
pemula mempunyai pilihan yang sama dengan keluarga103
. Pola pengasuhan sangat
mempengaruhi pilihan politik pemilih pemula. Dean Jaros dan Lawrence V. Grant
juga menegaskan bahwa sosialiasi poltik yang diberikan orang tua terhadap anaknya
biasanya dipengaruhi pilihan politik orang tuanya. 104
Penelitian yang sama yang dilakukan oleh Angus Campbell, G Gurin dan
Warreb E. Miller studi mengenai pemilihan presiden tahun 1952 menemukan
kecendrungan yang kuat pada pemberi suara untuk memberikan dukungan kepada
partai yang sama dengan ayah mereka105
. Sementra untuk kasus Aceh sendiri yang
lebih bersifat extended family dimana kuatnya kedekatan hubungan antara anak dan
orang tua tentu lebih memungkinkan bagi anak untuk mengidentifikasi sikap,
penampilan, dan perilaku mereka sesuai dengan perilaku orang tuanya. Micheal Rush
dan Phililip Althof dalam teori peranan keluarga dalam sosialiasi politik mengatakan
bahwa, anak-anak cenderung menerima pilihan partai dari orang tuanya.106
4.3. Kesadaran Politik Di Kalangan Pemilih Pemula
Kesadaran politk menjadi salah satu faktor pemilih pemula untuk
berpartisipasi dalam pemilukada. Sebesar 83,3% pemilih pemula memiliki tingkat
kesadaran yang rendah. Hal ini dilihat dari kurangnya kemauan pemilih pemula
dalam mengakses informasi poltik, manarik diri dari keterlibatannya dengan agen
103 Hasil Wawancara. Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh, Provinsi
Aceh. Wawancara dimulai dari Mei-Juni 2018. 104 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…,hal. 27. 105 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…,hal. 27. 106 Efriza, Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik…,hal. 28.
69
sosialisasi serta tidak berpartisipasi pada pemilukada. Maka wajar saja dari tidak
terpenuhinya ketiga variabel di atas menjadikan tingginya kesadaran politik pada
pemilih pemula hanya 16,6% .
Diagram. 04.
Tingkat Kesadaran Politik Pemilih Pemula
Pemilih pemula sebagai agen perubahan yang memiliki tingkat status sosial
yang yang cukup baik dengan kematangan pemikiran, yang dibentuk melalui proses
belajar, seharusnya kesadaran politik juga sudah lebih baik. Apa yang menjadi hak
dan kewajiban warga negara harusnya sudah melekat dalam diri pemilih pemula,
mengingat materi ini sudah diajarkan terus menerus dari tingkat Sekolah Dasar
16%
17%
67%
Partisipan Aktif Partisipan Pasif Tidak Aktif
70
hingga menjadi Mahasiswa/i. Seperti pendapat Ramlan Surbakti dalam bukunya
memahami Ilmu Politik, mengatakan tinggi rendahnya kesadaran poltik dipengaruhi
oleh faktor-faktor seperti status sosial, dan status ekonomi, afiliasi politik orang tua
dan pengalaman berorganisasi107
. Statsus sosial yang dimaksud ialah kedudukan
seseorang dalam masyarakat dalam karena keturunan, pendidikan dan pekerjaan. Dari
aspek pendidikan harusnya dapat menjadikan status sosial yang bagus pada pemilih
pemula, terlebih pemilih pemula adalah agen perubahan yang memiliki sikap
independensi.
Kurangnya kesadaran poltik dikalangan pemilih pemula akibat dari ketidak
mandirian pemilih pemula dalam menentukan sikap. Ketidak mandirian ini
disebabkan minimnya sikap kritis akan politik pada pemilih pemula sehingga sumber
informasi hanya mengandalkan keluarga. Hal ini berdampak pada tidak terpenuhi
informasi politik yang di miliki, sehingga keluarga menjadi satu-satunya sumber
rujukan dalam menentukan sikap politiknya. Padahal 66,6% agen sosialisasi berkerja
melakukan sosialisasi pada pemilukada, walapun penyebarannya tidak menyeluruh.
107 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik…, hal. 185.
71
Tabel. 03.
Agen Sosialisai yang Melakukan Sosialisai Pada Pemilukada Aceh Tahun 2017
NO Agen Sosialisasi Keterangan
1 Keluarga
2 Guru SMAN 5 Banda Aceh -
3 Dosen PKN UIN Ar-raniry
Banda Aceh
-
4 The Aceh Institute (LSM)
5 Tim Sukses Irwandai
6 Tim Sukses Tarmizi
7 Serambi Indonesia
(Media Massa)
8 KIP Prov Aceh
9 Kelompok Teman -
Data Hasil Olahan Sendiri108
108 Keterangan tabel : tanda () menunjukan bahwa agen sosialisasi memberikan sosialisasi
pada pemilukada gubernur dan wakil gubernur Aceh tahun 2017 . Tanda (-) menunjukan bahwa agen
sosialisasi tidak memberikan sosialisasi selama pemilukada gubernur dan wakil gubernur Aceh tahun
2017
72
Kesadaran politik dan kepercayaan pada pemerintah menjadi aspek yang
penting dalam membangun budaya politik yang partisipan dengan perilaku politik
yang rasional. Paige mengatakan bahwa apabila seseorang memiliki kesadaran politik
dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi maka partisipasi cenderung aktif.
Sebaliknya, kesadaran politk dan kepecayaan kepada pemerintah rendah, apabila
partisipasi politiknya cenderung pasif-tertekan (apatis).109
Kedua faktor di atas
bukanlah faktor-faktor yang berdiri sendiri (bukan variable yang independen).
Artinya, tinggi rendahnya kedua faktor tersebut juga di pengaruhi oleh faktor lain,
seperti kerja agen sosialisasi.
Pada akhirnya kesadaran politik, kepercayaan pada pemerintah dan kerja agen
sosialisasi yang mempengaruhi perilaku pemilih pemula yang cenderung pada model
sosiologi. Perilaku politik sosiologi yang menghasilkan partisipasi semu pada pemilih
pemula berakhir pada terbentuknya budaya poltik parokial di masyarakat. Partisipasi
semu adalah partisipasi pemilih pemula yang telah dimanipulasi dalam mengambil
pilihan. Partisipasi semu cenderung dapat digunakan oleh orang luar atau elit untuk
tujuan tertentu karena partisipasi ini tidak berasal dari insiatif murni yang berawal
dari adanya kesadaran politik. Bentuk dari perilaku ini tidak hanya berdampak pada
pemerintahan yang akan datang tetapi juga pada bentuk demokrasi.
Tolak ukur keberhasilan dari demokrasi dinilai dari tinggi rendahnya
partisipasi pemilih, hal tersebut merupakan bentuk dukungan pada pemerintah
109 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik…., hal. 185.
73
kedepan. Namun partisipasi semu yang hanya menekan pada tingginya angka jumlah
pemilih tanpa independensi dalam memilih tidak akan membentuk demokrasi
subtansial yang ideal. Karena mencapai demokrasi substansial tidak hanya menekan
demokrasi pada tingkat procedural yang memprioritaskan pada angka partisipasi yang
tinggi. Tetapi juga pada bentuk perilaku yang dihasilkan yang akan berdampak pada
pembentukan budaya sosial dan politik di masyarakat.
74
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Perilaku memilih pemilih pemula pada pemilukada gubernur dan wakil
gubernur tahun 2017, di kecamatan Syiah Kuala cenderung pada model sosiologi
dalam menggunakan hak suaranya. Model sosiologi ini menjadi kecendrungan pilihan
politik pemilih pemula, dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor eksternal dipengaruhi oleh kerja agen sosialisasi dalam membentuk
perilaku politik pemilih pemula, sedangkan faktor internal ialah tingkat kepercayaan
pemilih pemula pada pemerintah dan kesadaran politik.
Tidak maksimalnya kerja agen sosialisasi pada pemilih pemula menyebabkan
informasi dan pendidikan tidak membentuk nilai-nilai, sikap dan orientasi politik
pada pemilih pemula. Pemikiran dari keluarga yang bersifat represif juga membentuk
ketidak independensi perilaku politik pemilih pemula. Tidak hanya permasalahan
agen yang tiak berkerja secara efektif, perilaku pemilih pemula yang tidak rasional ini
juga dipengaruhi oleh kurangnya kepercayaan pemilih pemula pada pemerintah dan
kurangnya kesadaran politik pemilih pemula. Faktor- fator ini tidak hanya
bertanggung jawab pada bentuk perilaku politik sosiologi pada pemilih pemula tetapi
juga terhadap partisipasi semu pemilih pemula.
75
Pemilih pemula yang memiliki kepecayaan pada pemerintah, juga akan
menghadirkan kesadaran politik, kesadaran akan posisi dirinya dalam sebuah tatanan
kehidupan bernegara. Kesadaran politik juga akan membentuk minat-minat dalam
diri pemilih pemula terhadap proses-proses politik, seperti mengikuti perkembangan
informasi politik secara mandiri, diskusi publik, kampanye dan kegiatan poltik
lainnya. Wujud terakhir dari kesadaran politik ialah adanya partisipasi politik pemilih
pemula dalam pemilukada.
Penggunaan suara yang didorong oleh kesadaran politik yang tinggi akan
menghasilkan pilihan atas dasar rasionalitas. Pilihan yang rasional akan membawa
demokrasi yang lebih baik. Pesta demokrasi akan dimanfaatkan perilaku rasional
untuk melakukan kampanye bersifat dialogis, karena pesan yang dia butuhkan dalam
memilih ialah visi misi, dan program kerja calon. Sehingga black campaign, money
politic dan kampanye yang bersifat negative tidak akan mempengaruhinya.
Pemilih pemula yang memiliki kesadaran politik dan partisipasi politik yang
tinggi akan dapat menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan dapat
mengagregasikan kepentingan masyarakat luas terkhusus pemilih pemula. Perilaku
pemilih pemula ini sejatinya sangat penting mendukung kualitas output pemilukada.
Namun untuk mendorong seseorang menjadi pemilih rasional bukanlah hal yang
mudah.
76
Pemilih rasional membutuhkan informasi yang cukup, kemampuan analisis
yang tajam, waktu yang panjang serta independensi pemilih. Faktor tersebut tidak
dimiliki oleh pemilih pemula di kecamatan Syiah Kuala. Ketidak efektifan kerja agen
sosialisasi serta kurangnya kepercayaan pemilih pemula pada pemerintah menjadikan
rendahnya kesadaran di kalangan pemilih pemula. Pada akhirnya model sosiologi
menjadi perilaku politik pemilih pemula, yang menghasilkan partisipasi semu pada
pemilukada gubernur dan wakil gubenur Aceh tahun 2017.
5.2. Saran
1. Sosialisasi dilakukan pemerintah, LSM, dan tim sukses harus secara
meyeluruh tidak hanya di perkotaan tetapi juga di pedesaan untuk dapat
memaksimalkan kesadaran pemilih pemula dalam berpartisipasi pada
pemilukada.
2. Keluarga sebagai agen pertama yang memberika sosialisasi pada pemilih
pemula, di harapkan memberikan pemahaman politik, terkhusus dalam hal
pentingnya memberikan hak suara mereka, tanpa intervensi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dalam menentukan pilihan.
3. Perlunya pendidikan politik yang simultan baik yang diselenggarakan oleh
pemerintah dalam bentuk pengintegrasian kurikulum di sekolah-sekolah
dan universitas.
77
DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel A. dan Sidney Verba. 1990. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik
dan Demokrasi di Lima Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi . 2014. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. 2015. Aceh Dalam Angka.
Berita.co.2016. Inilah Jumlah Pemilih di Kota Banda Aceh Untuk Pilkada 2017.
Diakses Pada tanggal 28 Desember 2017. Disitus:
http://www.beritakini.co/news/ini-jumlah-pemilih-di-kota-banda-aceh-untuk-
pilkada-2017/index.html
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka.
Efriza. 2012. Politik Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik. Bandung: Alfabeta.
Firmanzah. 2008. Marketing Politik Antara Pemahaman Dan Realitas. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Gaffar, Affan. 1992. Javanese Voters: A case Stusy Of Election Under A Hegemoni
Party System.Yogyakarta: Gajamada University Press.
Gafar, Affan. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Harrison, Lisa. 2009. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana.
KIP Kota Banda Aceh. 2016. E Paper Banda Aceh Election News Edisi : Jumlah
Pemilih Pilkada Di Kota Banda Aceh Pilkada 2017. Diakses pada tanggal 25
Januari 2017. Disitus: http://kip.bandaacehkota.go.id/wp-
content/uploads/2017/06/3.-Bulletin-KIp-Banda-Aceh-KIP-edisi-3-Desember-
2016.pdf.
KPU Prov Aceh. Pilkada Provisi Aceh. 2017. Di akses pada tanggal 18 Desember
2017. Disitus : https://pilkada2017.kpu.go.id/hasil/t1/aceh
KPU Prov Aceh. 2017. Hasil Hitung TPS (From C1) Kota Banda Aceh. Diakses pada
tanggal 25 Februari 2018. Disitus:
https://pilkada2017.kpu.go.id/hasil/t1/aceh/kota_banda_aceh
Mas‟oed, Mohtar dan Colin Mac Andrew. 2008. Perbandingan Sistem Politik.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Mujani, Saiful dan R. William Liddle dkk. 2016. Kuasa Rakyat Analisis Tentang
Prilaku Memilih Dalam Pemilihan Legistlative Dan Presiden Indonesia
PasCa Orde Baru. Jakarta: Mizan.
Merdeka.com, Ajak pemilih pemula mencoblos, KIP Banda Aceh Gelar Stand Up
Comedy. 2017. Diakses pada tanggal 19 Desember 2017. Disitus:
https://www.merdeka.com/politik/ajak-pemilih-pemula-mencoblos-kip-banda-
aceh-gelar-stand-up-comedy.html
Roskin, Michael G. Robert L. Cord. James A. Medeiros dan Walter S. Jones. 2012.
Political Science An Introduction. Canada: Pearson Education.
78
Rush, Michael dan Philip Althoff. 2008. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suharsaputra, Uhar. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan Tindakan.
Bandung: Refika Aditama.
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.
Serambi Indonesia. KIP Diminta Tingkatkan Sosialisasi Pilkada. 2017. Diakses pada
tanggal 19 Desember Disitus : http://aceh.tribunnews.com/2017/01/09/kip-
diminta-tingkatkan-sosialisasi-pilkada
Wawancara. Dilakukan di Banda Aceh Kecamatan Syiah Kuala. Pada Desember
2017.
Waancara. Ahmad Darlis. Anggota KIP Provinsi Aceh. Pada tanggal 6 Juli 2018 di
Banda Aceh.
Wawancara. Nur Fazila. Dosen Pendidikan Kewarga Negaraan UIN Ar-raniry. Banda
Aceh, Provinsi Aceh. Pada tanggal 04 Juni 2018.
Wawancara. Keluraga dari Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda
Aceh, Provinsi Aceh. Pada tanggal 04 Juni 2018.
Wawancara. Guru Pendidikan Kewarga Negaraan SMAN 5 Banda Aceh, Provinsi
Aceh. Pada tanggal 17 Juli 2018.
Wawancara. Dhani Marisa mewakili The Aceh Institute (LSM). Pada tanggal 13 Juli
2018.
Wawancara. Serambi Indonesia (Media Masa). Pada tanggal 26 Mei 2018 dan Cek
website : http://aceh.tribunnews.com/ Pada tanggal 26 Juli 2018.
Wawancara. Silvia. Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh,
Provinsi Aceh. Pada tanggal 31 Mei 2018.
Wawancara.Cut Roza Novianita. Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala Kota
Banda Aceh, Provinsi Aceh. Pada tanggal 04 Juni 2018.
Wawancara. Purnama Iswahyudi. Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala Kota
Banda Aceh, Provinsi Aceh. Pada tanggal 27 Mei 2018.
Wawancara. Cut Nabila Amartiwi T. Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala
Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Pada tanggal 29 Mei 2018.
Wawancara. T. Amalul. Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda
Aceh, Provinsi Aceh. Pada tanggal 06 Juni 2018.
Wawancara. Meisara. Pemilih Pemula di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh,
Provinsi Aceh. Pada tanggal 31 Mei 2018.
Wawancara. Sayuti. Tim Sukses Tarmizi Kharim dan Machsalmina Ali. Pada tanggal
07 Juli 2018 di Banda Aceh.
Wawancara. Safar. Tim Sukses Irwandi Yusuf Dan Nova Iriansyah. Pada tanggal 07
Juli 2018 di Banda Aceh.