bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah notaris dalam

140
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam menjalankan profesinya memberikan pelayanan kepada masyarakat sepatutnya bersikap sesuai aturan yang berlaku. Ini penting karena Notaris melaksanakan tugas jabatannya tidaklah semata-mata untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat, serta mempunyai kewajiban untuk menjamin kebenaran dari akta-akta yang dibuatnya, karena itu seorang Notaris dituntut lebih peka, jujur, adil dan transparan dalam pembuatan suatu akta agar menjamin semua pihak yang terkait langsung dalam pembuatan sebuah akta otentik. Dalam melaksanakan tugas jabatannya seorang Notaris harus berpegang teguh kepada kode etik jabatan Notaris, karena tanpa itu, harkat dan martabat profesionalisme akan hilang dan tidak lagi mendapat kepercayaan dari masyarakat. Notaris juga dituntut untuk memiliki nilai moral yang tinggi, karena dengan adanya moral yang tinggi maka Notaris tidak akan menyalahgunakan wewenang yang ada padanya, sehingga Notaris akan dapat menjaga martabatnya sebagai seorang pejabat umum yang memberikan pelayanan yang sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak merusak citra Notaris itu sendiri. Sebagaimana harapan Komar Andasasmita, agar setiap Notaris mempunyai pengetahuan yang cukup luas dan mendalam serta keterampilan sehingga merupakan andalan masyarakat dalam merancang, menyusun dan membuat berbagai akta otentik,

Upload: voquynh

Post on 31-Dec-2016

231 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Notaris dalam menjalankan profesinya memberikan pelayanan kepada

masyarakat sepatutnya bersikap sesuai aturan yang berlaku. Ini penting karena

Notaris melaksanakan tugas jabatannya tidaklah semata-mata untuk kepentingan

pribadi, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat, serta mempunyai

kewajiban untuk menjamin kebenaran dari akta-akta yang dibuatnya, karena itu

seorang Notaris dituntut lebih peka, jujur, adil dan transparan dalam pembuatan

suatu akta agar menjamin semua pihak yang terkait langsung dalam pembuatan

sebuah akta otentik. Dalam melaksanakan tugas jabatannya seorang Notaris harus

berpegang teguh kepada kode etik jabatan Notaris, karena tanpa itu, harkat dan

martabat profesionalisme akan hilang dan tidak lagi mendapat kepercayaan dari

masyarakat.

Notaris juga dituntut untuk memiliki nilai moral yang tinggi, karena

dengan adanya moral yang tinggi maka Notaris tidak akan menyalahgunakan

wewenang yang ada padanya, sehingga Notaris akan dapat menjaga martabatnya

sebagai seorang pejabat umum yang memberikan pelayanan yang sesuai dengan

aturan yang berlaku dan tidak merusak citra Notaris itu sendiri. Sebagaimana

harapan Komar Andasasmita, agar setiap Notaris mempunyai pengetahuan yang

cukup luas dan mendalam serta keterampilan sehingga merupakan andalan

masyarakat dalam merancang, menyusun dan membuat berbagai akta otentik,

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

2

sehingga susunan bahasa, teknis yuridisnya rapi, baik dan benar, karena

disamping keahlian tersebut diperlukan pula kejujuran atau ketulusan dan sifat

atau pandangan yang objektif.1

Perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya demi terlaksananya fungsi pelayanan dan tercapainya kepastian

hukum dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, telah diatur dan

dituangkan dalam undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2004 Nomor 117 (untuk selanjutnya disebut UUJN), undang-undang mana telah

mengalami perubahan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004, Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 (untuk selanjutnya disebut UU

Perubahan Atas UUJN). Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris menentukan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk

membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud

dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Notaris

dikatakan sebagai pejabat umum karena Notaris diangkat dan diberhentikan oleh

pemerintah. Meskipun Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah,

namun Notaris tidak dapat disamakan dengan pegawai negeri yang juga diangkat

1Komar Andasasmita, 1981, Notaris Dengan Sejarah, Peranan, Tugas

Kewajiban, Rahasia Jabatannya, Sumur, Bandung, hal. 14.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

3

dan diberhentikan oleh pemerintah. Yang membedakannya adalah Notaris

merupakan pegawai pemerintah tanpa menerima gaji dari pemerintah.

Diberlakukannya UUJN dan UU perubahan atas UUJN diharapkan bahwa

akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris mampu menjamin

kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. UU perubahan atas UUJN telah

menetapkan dalam Pasal 15 ayat (1) tentang kewenangan seorang Notaris yaitu

Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,

dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau

yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta

autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,

memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan

akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang

lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain itu dalam Pasal 15 ayat (2) UU

perubahan atas UUJN menyatakan Notaris juga berwenang mengesahkan tanda

tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan

mendaftar dalam buku khusus, membukukan surat di bawah tangan dengan

mendaftar dalam buku khusus, membuat kopi dari asli surat di bawah tangan

berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam

surat yang bersangkutan, melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat

aslinya, memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta,

membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan membuat akta risalah lelang.

Dari beberapa kewenangan tersebut jasa seorang Notaris kebanyakan dibutuhkan

oleh masyarakat dalam hal pembuatan akta otentik.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

4

Akta otentik yang dibuat oleh Notaris pada hakekatnya sesuai dengan apa

yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Notaris berkewajiban untuk

memasukkan ke dalam akta mengenai apa saja yang dikehendak para pihak dan

selanjutnya menuangkan pernyataan atau keterangan para pihak tersebut ke dalam

akta Notaris. Sedangkan tulisan di bawah tangan atau biasa disebut dengan akta

dibawah tangan dibuat tidak dibuat dihadapan Notaris dan dalam bentuk yang

tidak ditentukan oleh undang-undang serta tanpa adanya perantara berdasarkan

ketentuan Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Menurut Pasal 1 angka 7 UU perubahan atas UUJN menentukan bahwa

“akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris

menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Akta

otentik yang dimaksud adalah akta otentik sesuai dengan rumusan Pasal 1868

Kitab Undang Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUHPerdata)

yaitu : “Suatu akta otentik ialah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh

undang undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai pegawai umum yang

berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuat.”

Berdasarkan pasal tersebut Notaris mempunyai wewenang untuk membuat

akta otentik. Terdapat dua golongan akta otentik yang dibuat oleh Notaris yaitu

akta otentik yang dibuat oleh Notaris dimana merupakan suatu akta yang dibuat

oleh Notaris mengenai suatu tindakan yang dilakukan atas suatu keadaan yang

disaksikan oleh Notaris dan akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris yaitu

akta yang dibuat dihadapan Notaris yang memuat uraian mengenai hal-hal yang

diterangkan oleh pihak yang menghadap kepada Notaris. Dengan adanya UUJN

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

5

dan UU perubahan atas UUJN kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik

nanti dalam penerapannyan akta tersebut mampu menjamin kepastian, ketertiban,

dan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait. Akta otentik merupakan

alat bukti tulisan atau surat yang bersifat sempurna. Akta otentik memiliki 3 (tiga)

kekuatan pembuktian yaitu kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige

bewijskracht) yang merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan

keabsahanya sebagai akta otentik. Kekuatan pembuktian formil (formele

bewijskracht) yang memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta

tersebut dalam akta betul-betul diketahui dan didengar oleh Notaris dan

diterangkan oleh para pihak yang menghadap. Kekuatan pembuktian Materiil

(materiele bewijskracht) yang merupakan kepastian tentang materi atau isi suatu

akta.

Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) berwenang membuat

akta otentik, sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris dapat dibebani

tanggung jawab atas perbuatannya dalam membuat akta otentik yang tidak sesuai

dengan ketentuan yang berlaku atau dilakukan secara melawan hukum.

Pertanggungjawaban merupakan suatu sikap atau tindakan untuk menanggung

segala akibat dari perbuatan yang dilakukan atau sikap untuk menanggung segala

resiko ataupun kosekuensinya yang ditimbulkan dari suatu perbuatan.

Pertanggungjawaban itu ditentukan oleh sifat pelanggaran dan akibat

hukum yang ditimbulkannya. Secara umum pertanggungjawaban yang biasa

dikenakan terhadap Notaris adalah pertanggungjawaban pidana, administrasi dan

perdata. Pertanggungjawaban secara pidana dijatuhi sanksi pidana,

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

6

pertanggungjawaban administrasi dijatuhi sanksi administrasi, dan

pertanggungjawaban perdata dijatuhi sanksi perdata. Itu merupakan konsekuensi

dari akibat pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan oleh Notaris dalam proses

pembuatan akta otentik.

Menentukan adanya suatu pertanggungjawaban secara perdata atau pidana

yang dilakukan oleh seorang Notaris harus dipenuhi tiga syarat, yaitu harus ada

perbuatan Notaris yang dapat dihukum yang unsur-unsurnya secara tegas

dirumuskan oleh undang-undang. Perbuatan Notaris tersebut bertentangan dengan

hukum, serta harus ada kesalahan dari Notaris tersebut. Kesalahan atau kelalaian

dalam pengertian pidana meliputi unsur-unsur bertentangan dengan hukum dan

harus ada perbuatan melawan hukum. Sehingga pada dasarnya setiap bentuk

pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan Notaris selalu mengandung sifat

melawan hukum dalam perbuatan itu.

Istilah perbuatan melawan hukum itu memiliki ruang lingkup yang lebih

luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak

hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja

tetapi juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya

dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan

perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi

dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Perbedaan perbuatan

melawan hukum dan perbuatan pidana menurut Rachmat Setiawan adalah :

“Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undang-

undang, sehingga sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

7

adalah tidak demikian. Undang-undang hanya menentukan satu pasal umum, yang

memberikan akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum.”2

Dikaji dari perspektif teoretis dan praktik konsepsi perbuatan melawan

hukum dikenal dalam dimensi Hukum Perdata dan Hukum Pidana. Dari aspek

etimologis dan terminologis maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa

Belanda dikenal dengan terminologi wederrechtelijk dalam ranah Hukum Pidana

dan terminologi onrechtmatige daad dalam ranah Hukum Perdata. Perbuatan

Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks Hukum Perdata diatur

dalam Pasal 1365 KUHPerdata, pada bagian tentang perikatan-perikatan yang

dilahirkan demi Undang-Undang, yaitu : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang

membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dapat

dijumpai baik dalam ranah Hukum Pidana (publik) maupun dalam ranah Hukum

Perdata (privat). Sehingga dapat ditemui istilah melawan Hukum Pidana

begitupun melawan Hukum Perdata. Dalam konteks itu jika dibandingkan maka

kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan

perbedaan.3 Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk

dikatakan sifat melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan hukum

yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua sifat melawan hukum

2Rachmat Setiawan, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan

Hukum, Alumni, Bandung, hal. 15. 3Rosa Agustina, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH

Universitas Indonesia, hal 14.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

8

tersebut pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum.

Perbedaan pokok antara kedua sifat melawan hukum tersebut, apabila sifat

melawan Hukum Pidana lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan

umum (public interest), hak obyektif dan sanksinya adalah pemidanaan.

Sedangkan sifat melawan Hukum Perdata lebih memberikan perlindungan kepada

private interest, hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian

(remedies). Dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai

perbuatan melawan hukum diperlukan syarat yang bertentangan dengan

kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan hak subjektif orang lain,

bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan

kehati-hatian.4

Sifat melawan hukum dibagi menjadi sifat melawan hukum formal dan

sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formal terjadi karena

memenuhi rumusan delik di dalam undang undang. Sifat melawan hukum formal

merupakan syarat untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Sedangkan sifat

melawan hukum materil merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang tidak

hanya terdapat di dalam undang-undang, tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas

hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan

berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis.

Menurut Munir Fuady perbuatan melawan hukum dalam konteks Hukum

Pidana dengan dalam konteks Hukum Perdata adalah lebih dititikberatkan pada

perbedaan sifat Hukum Pidana yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang

4Ibid, hal. 117.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

9

bersifat privat. Sesuai dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan

perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar (disamping mungkin

juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum dalam

sifat Hukum Perdata maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.5

Notaris tidak dapat dilepaskan dari perbuatan yang menyimpang atau

perbuatan yang melawan hukum. Karena seorang Notaris tetap seorang manusia

biasa yang tak luput dari kesalahan. Notaris harus siap untuk menghadapi jika

sewaktu-waktu dijadikan pihak yang terlibat dalam perkara bidang Hukum

Perdata maupun Hukum Pidana, yang diakibatkan dari produk hukum yang

dibuatnya. Sehingga dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dipungkuri

lagi, saat ini cukup banyak perkara-perkara pidana yang terjadi dikarenakan

perilaku Notaris yang tidak professional dan memihak salah satu pihak pada akta-

akta yang dibuatnya. Akibat dari semua ini ada beberapa Notaris yang telah

ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa dan dipidana.

Dewasa ini ditemukan kasus-kasus yang menjerat Notaris ke pengadilan

mulai dari kasus perdata maupun kasus pidana serta sudah ada yang dijatuhi

putusan pengadilan. Adapun yurisprudensi-yurisprudensi mengenai Notaris yang

dijatuhi putusan perdata dan pidana yaitu putusan Mahkamah Agung nomor

1847K/Pid/2010 jucto putusan Pengadilan Negeri Medan nomor

1673/Pid.B/2008/PN.Mdn jucto putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor

265/PID/2009/PT.MDN yang menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun kepada

5Munir Fuady, 2005, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan

Kontemporer), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjunya disingkat Munir

Fuady I), hal. 22.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

10

seorang Notaris yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan perbuatan pidana yaitu membuat akta authentik palsu. Putusan

Pengadilan Tinggi Medan nomor 88/PDT/2011/PT-MDN jucto Putusan

Pengadilan Negeri Medan nomor 297/Pdt.G/2009/PN.Mdn yang menjatuhkan

sanksi perdata berupa ganti rugi kepada Notaris atas perbuatan melawan hukum

yang dilakukan dan menimbulkan kerugian kepada para pihak. Putusan

Mahkamah Agung nomor 1099 K/PID/2010 jucto putusan Pengadilan Tinggi

Medan nomor 82/PID/2010/PT-MDN jucto putusan Pengadilan Negeri Medan

Nomor 3036/PID.B/2009/PN.Mdn yang menyatakan bahwa Notaris telah terbukti

secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta

menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik dan

menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.

Berdasarkan pemaparan di atas, Notaris yang melakukan perbuatan

melawan hukum dalam pembuatan akta otentik wajib mempertanggungjawabkan

perbuatannya baik secara pidana maupun secara perdata. Namun penerapan satu

jenis sanksi dalam pertanggungjawaban Notaris dirasa belum cukup, sehingga

diperlukan komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk

pertanggungjawaban Notaris. Dengan demikian pertanggungjawaban seorang

Notaris terhadap perbuatan yang dilakukannya dapat memberikan jaminan

kepastian hukum kepada Notaris itu sendiri dan para pihak yang dirugikan.

Ketentuan dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN tidak mengatur

mengenai komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk

pertanggungjawaban yang dibebani terhadap Notaris yang melakukan perbuatan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

11

melawan hukum. UUJN dan UU perubahan hanya mengatur mengenai penerapan

sanksi perdata dan administrasi, dimana kedua jenis sanksi tersebut berdiri sendiri

dan tidak dapat dilakukan secara bersama-sama karena penjatuhan sanksi tersebut

terhadap jenis pelanggaran yang berbeda dalam ketentuan UUJN dan UU

perubahannya. Sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan bentuk

pertanggungjawaban yang layak dilakukan oleh Notaris yang melakukan

perbuatan melawan hukum agar pertanggungjawabannya dirasakan adil

khususnya bagi para pihak yang dirugikan maupun bagi Notaris itu sendiri.

Sehubungan dengan latar belakang di atas maka mendorong penulis untuk

melakukan penelitian serta menuangkan dalam bentuk tesis yang berjudul

“Pertanggungjawaban Notaris Yang Melakukan Perbuatan Melawan

Hukum Dalam Pembuatan Akta Otentik”.

Penelitian tentang pertanggungjawaban Notaris merupakan penelitian yang

asli dan dapat dipertanggungjawabkan, penulis telah membandingkan dengan

beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang

pertanggungjawaban Notaris. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini

antara lain :

1. Penelitian yang berjudul “TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM

HAL TERJADI PELANGGARAN KODE ETIK” oleh Evie Murniaty

Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas

Diponegoro Semarang Tahun 2010 dengan rumusan masalah

bagaimanakah tanggung jawab Notaris dalam hal terjadi pelanggaran kode

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

12

etik dan bagaimana akibat hukum jika terjadi pelanggaran kode etik oleh

Notaris

2. Penelitian yang berjudul “PELAKSANAAN SANKSI PELANGGARAN

KODE ETIK PROFESI NOTARIS OLEH DEWAN KEHORMATAN

IKATAN NOTARIS INDONESIA DI KABUPATEN TANGERANG”

oleh Sulistiyono, Sarjana Hukum, Program Pasca Sarjana Magister

Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2009, dengan

rumusan masalah pelanggaran kode etik apa saja yang dilakukan oleh

Notaris di Kabupaten Tangerang dan bagaimanakah pelaksanaan sanksi

yang dijatuhkan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia sebagai

organisasi profesi dapat mengikat terhadap Notaris yang melanggar kode

etik di Kabupaten Tangerang.

3. Penelitian yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM NOTARIS

DALAM KAITANNYA DENGAN AKTA YANG DIBUATNYA

MANAKALA ADA SENGKETA DI PENGADILAN NEGERI (Studi

Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pontianak No. 72/pdtg/pn.Pontianak)”

oleh Ratih Tri Jayanati Program Studi Magister Kenotariatan Program

Pascasarjana Universitas Diponegoro tahun 2010 dengan rumusan masalah

bagaimana perlindungan hukum Notaris selaku Pejabat Umum yang

membuat akta sesuai syarat formil ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang jabatan Notaris dan apa akibat hukum dari putusan

yang dijatuhkan oleh Pengadilan terhadap Notaris.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

13

Penelitian tersebut di atas berbeda penulisannya dengan penelitian ini

dimana dalam penelitian ini menekankan pada pertanggungjawaban Notaris yang

melakukan perbuatan melawan hukum serta kekosongan norma dalam UUJN,

UU perubahan atas UUJN dan dalam Kode Etik Jabatan Notaris tentang tidak

dicantumkannya ketentuan mengenai komulasi atau penggabungan penerapan

sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban yang diberikan terhadap Notaris yang

melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga tesis ini adalah asli, ada unsur

kebaruan dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dikemukakan

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum yang

melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang

Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan

akta otentik?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat

umum dan tujuan yang bersifat khusus sebagai berikut :

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memahami Ilmu

Pengetahuan khususnya dalam bidang Hukum Kenotariatan berkaitan dengan

pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

14

1.3.2. Tujuan Khusus

Selain memuat tujuan umum, penelitian ini juga memuat tujuan khusus

yang ingin diperoleh dari penelitian ini, adapun tujuan khususnya yaitu sebagai

berikut :

1 Untuk mengetahui dan menganalisa pertanggungjawaban seorang Notaris

yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta

otentik.

2 Untuk mengetahui dan menganalisa akibat hukum terhadap akta otentik

yang dibuat oleh seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan

hukum dalam pembuatan akta otentik.

1.4. Manfaat Penelitian

Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis

pada khususnya sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis.

1.4.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi pengembangan ilmu hukum dalam kaitannya dengan mengenai perbuatan

Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya.

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dan pemahaman kepada Notaris agar Notaris dalam

menjalankan profesinya, terutama dalam pembuatan akta berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, manfaat lainnya yaitu memberikan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

15

pemahaman kepada para pihak tentang akibat hukum akta yang dibuatnya

dihadapan Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum.

1.5. Landasan Teoritis

Melakukan sebuah penelitian diperlukan adanya landasan teoritis,

sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly Lubis bahwa landasan teoritis

merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, asas maupun

konsep yang relevan digunakan untuk mengupas suatu kasus ataupun

permasalahan.6 Untuk meneliti mengenai suatu permasalahan hukum, maka

pembahasan adalah relevan apabila dikaji menggunakan teori-teori hukum,

konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum. Teori hukum dapat digunakan untuk

menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis, yang

relevan untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.7

Teori berasal dari kata teoritik, dapat didefenisikan adalah alur logika atau

penalaran, yang merupakan seperangkat konsep, definisi, dan proposisi yang

disusun secara sistematis. Secara umum, teori mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk

menjelaskan (explanation), meramalkan (prediction), dan pengedalian (control)

suatu gejala. Menurut pendapat Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, teori adalah

suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai

6M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju,

Bandung, hal. 80. 7Salim H. S., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali

Pers, Jakarta, hal. 54.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

16

suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai

fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.8

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan

penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, prediksi

atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan

pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori bisa digunakan untuk menjelaskan

fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, orang dapat meletakkan fungsi

dan kegunaan teori dalam penelitian sebagai pisau analisis pembahasan tentang

peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.

Adapun asas hukum, konsep hukum dan yurisprudensi-yurisprudensi yang

digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitiaan ini adalah asas praduga sah,

konsep tujuan hukum Gustav Radbruch dan konsep perlindungan hukum.

Sementara itu, teori-teori yang digunakan yaitu teori keadilan, teori

pertanggungjawaban dan teori kewenangan.

1.5.1. Asas Praduga Sah

Perlindungan hukum terhadap produk hukum seorang Notaris dapat

dilindungi dengan adanya suatu asas praduga sah. Asas praduga sah (Vermoeden

van Rechtmatigheid atau Presumptio Iustae Causa) adalah asas yang menganggap

sah suatu produk hukum sebelum adanya putusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum tetap yang menyatakan tidak sah. Dengan adanya asas ini maka

akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus dianggap sah dan mengikat para pihak

8Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum

Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 134.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

17

sebelum dapat dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materil

akta otentik tersebut. Apabila tidak dapat dibuktikan maka akta yang bersangkutan

tetap sah mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta

tersebut. Asas ini telah diakui dalam UUJN yang tersebut dalam penjelasan bagian

umum yang menegaskan bahwa akta Notaris sebagai alat bukti tertulis yang

terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam akta Notaris harus diterima,

kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal sebaliknya secara

memuaskan di hadapan persidangan pengadilan.9

Asas ini digunakan untuk menganalisis akibat hukum terhadap akta otentik

yang dibuat oleh Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam

pembuatan akta otentik. Dengan asas praduga sah ini akta otentik patut dikatakan

sah sebelum ada yang membuktikan akta otentik tersebut tidak sah.

1.5.2. Konsep Tujuan Hukum dan Konsep Perlindungan Hukum

Dalam penelitian ini digunakan konsep tujuan hukum dan konsep

perlindungan hukum. Konsep tujuan hukum menurut Gustav Radbruch adalah

hukum memiliki tujuan yang berorientasi pada 3 hal yaitu keadilan, kemanfaatan,

kepastian Hukum.10

Pandangan dari Gustav Radbruch ini dikenal juga dengan

teori 3 Nilai Dasar Hukum yang merupakan rechtsidee atau cita hukum yang ingin

dicapai oleh bangsa Indonesia. Penelitian hukum ini bermaksud untuk mencapai

ketiga tujuan hukum diatas dengan menerapkannya kedalam proses

9Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris

sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat

Habib Adjie I), hal. 79.

10O. Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media,

Salatiga, hal. 33.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

18

pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam

pembuatan akta otentik. Sedangkan konsep perlindungan hukum menurut Philipus

M. Hadjon mengemukakan perlindungan hukum dalam kepustakaan hukum

bahasa Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescherming van de burgers”11

.

Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari

bahasa Belanda, yakni “rechsbescherming”. Pengertian kata perlindungan

tersebut, terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi

sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan.

Satijipto Raharjo menyatakan bahwa perlindungan hukum itu adalah

memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan

orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat

menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.12

Sedangkan Philipus M.

Hadjon menyebutkan bahwa pada dasarnya perlindungan hukum meliputi dua hal

yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.

Perlindungan hukum preventif meliputi tindakan yang menuju kepada upaya

pencegahan terjadinya sengketa sedangkan perlindungan represif maksudnya

adalah perlindungan yang arahnya lebih kepada upaya untuk menyelesaikan

sengketa, seperti contohnya adalah penyelesaian sengketa di pengadilan.13

Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya

11

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan hukum bagi Rakyat Indonesia,

Bina Ilmu, Surabaya, hal. 1. 12

Ibid, hal. 54.

13

Budi Agus Riswandi dan Sabhi Mahmashani, 2009, Dinamika Hak

Kekayaan Intelektual Dalam masyarakat Kreatif, Total Media, Yogyakarta,

hal. 12.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

19

sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah untuk bersikap hati-hati dalam

pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif

bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di

lembaga peradilan.14

Profesi seorang Notaris harus berpedoman dan tunduk kepada UUJN dan

UU perubahan atas UUJN. Landasan filosofis dibentuknya UUJN dan UU

perubahan atas UUJN adalah untuk terwujudnya jaminan kepastian hukum,

ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.

Melalui akta yang dibuatnya, maka Notaris harus dapat memberikan kepastian dan

perlindungan hukum kepada masyarakat yang menggunakan jasa Notaris.

Pentingnya peranan Notaris dalam membantu menciptakan kepastian

hukum serta perlindungan hukum bagi masyarakat lebih bersifat preventif yaitu

bersifat pencegahan terjadinya masalah hukum, dengan cara menerbitkan akta

otentik yang dibuat dihadapannya terkait dengan status hukum, hak, dan

kewajiban seseorang dalam hukum yang berfungsi sebagai alat bukti yang paling

sempurna di pengadilan apabila terjadi sengketa atas hak dan kewajiban terkait.15

Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dapat menjadi bukti otentik dalam

memberikan perlindungan hukum kepada para pihak manapun yang

berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian peristiwa atau

kepastian perbuatan hukum itu dilakukan.

14

Maria Alfons, 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas

Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual,

Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang, hal 18.

15

Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban

Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 7.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

20

1.5.3. Yurisprudensi-yurisprudensi

Putusan Mahkamah Agung nomor 1847K/Pid/2010 yang menguatkan

putusan Pengadilan Negeri Medan nomor 1673/Pid.B/2008/PN.Mdn tanggal 18

Pebruari 2009 dan putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor

265/PID/2009/PT.MDN tanggal 26 Mei 2009 yang menjatuhkan pidana penjara

selama 2 tahun kepada seorang Notaris yang telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana yaitu membuat akta authentik

palsu. Putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor 88/PDT/2011/PT-MDN jucto

Putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 19 Juli 2010 nomor

297/Pdt.G/2009/PN.Mdn yang menjatuhkan sanksi perdata berupa ganti rugi

kepada Notaris atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan dan menimbulkan

kerugian kepada para pihak. Putusan Mahkamah Agung nomor 1099 K/PID/2010

jucto putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor 82/PID/2010/PT-MDN tanggal 25

Februari 2010 jucto putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor

3036/PID.B/2009/PN.Mdn yang menyatakan bahwa Notaris telah terbukti secara

sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta menyuruh

menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik dan menjatuhkan

pidana penjara selama 2 (dua) tahun.

Berdasarkan yurisprudensi-yurisprudensi tersebut di atas dapat

disimpulkan bahwa Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam

pembuatan akta otentik hanya dijatuhi satu jenis pertanggungjawaban dalam

bentuk sanksi pidana ataupun sanksi perdata. Tidak disebutkan Notaris dijatuhi

sanksi lainya serta tidak adanya suatu komulasi atau penggabungan penerapan

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

21

sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban Notaris yang membuat akta otentik

secara melawan hukum dalam yurisprudensi tersebut.

1.5.4. Teori Keadilan

Keadilan berasal dari kata adil yang artinya menurut kamus besar bahasa

Indonesia adalah tidak memihak atau tidak berat sebelah. Sehingga keadilan dapat

diartikan sebagai suatu perbuatan yang bersifat adil atau perbuatan yang tidak

memihak. Keadilan adalah salah satu dari tujuan hukum selain kemanfaatan dan

kepastian hukum. Perwujudan keadilan dapat dilihat dalam ruang lingkup

kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara.

Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-

teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan

kemakmuran. Teori keadilan Aritoteles, keadilan menurut pandangan Aristoteles

dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan

“commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap

orang porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama

banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini

berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.16

Teori keadilan merupakan salah satu tujuan hukum seperti apa yang

dikemukakan oleh Gustav Radbruch dalam teori gabungan etis dan utility yang

konsep hukumnya adalah hukum bertujuan untuk keadilan, kegunaan dan

16

L.J. Van Apeldoorn, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita

cetakan 26, Jakarta, hal. 11-12.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

22

kepastian.17

Teori keadilan John Rawls, berpendapat bahwa keadilan adalah

kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan

tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau

menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan,

khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.18

Teori Keadilan Hans Kelsen,

dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum

sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur

perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan

kebahagian didalamnya.19

Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang

bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa

suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar-

besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni

terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat

hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti

kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia

yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan menggunakan

17

H. Chaerudin, 1999, Filsafat Suatu Ikhtisar, FH UNSUR, Cianjur,

hal. 19 18

Pan Mohamad Faiz, 2009, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal

Konstitusi, Volue 6 Nomor 1, hal. 139-140. 19

Hans Kelsen, 2011, General Theory of Law and State, diterjemahkan

oleh Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, hal. 7.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

23

pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan

oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.20

Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapat-

pendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tiga hal tentang pengertian

adil. Adil ialah meletakan sesuatu pada tempatnya, menerima hak tanpa lebih dan

memberikan orang lain tanpa kurang dan memberikan hak setiap yang berhak

secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam

keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum,

sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran.21

Teori ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk

mencari keadilan yang seadil-adilnya terhadap pertanggungjawaban yang

dibebankan kepada Notaris yang telah melakukan perbuatan melawan hukum

dalam pembuatan akta otentik khususnya perbuatan Notaris yang telah dijatuhi

putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Diharapkan

teori ini dapat memberikan rasa adil dalam hal pertanggungjawaban Notaris

terhadap perbuatannya yang melawan hukum khususnya bagi para pihak yang

dirugikan oleh Notaris atau bagi Notaris itu sendiri dan pada umumnya bagi

masyarakat yang akan menggunakan jasa Notaris. Sehingga kepercayaan

masyarakat terhadap seorang Notaris akan semakin besar dan membuat

masyarakat merasa aman apabila menggunakan jasa seorang Notaris.

20

Ibid 21

Kahar Masyhur, 1985, Membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia,

Jakarta, hal 71.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

24

1.5.5. Teori Pertanggungjawaban

Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu

keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut,

dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).22

Dari pengertian tersebut maka

tanggung jawab dapat diartikan sebagai perbuatan bertanggungjawab

(pertanggungjawaban) atas perbuatan yang telah dilakukan.

Mengenai pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig

terdapat dua teori yang melandasinya, yaitu: 23

a. Teori fautes personalles

Adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga

dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah

menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan

pada manusia selaku pribadi.

b. Teori fautes de services

Adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga

dibebankan kepada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori

ini, tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya,

kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang

dilakukan itu merupakan kesalahan berat dan atau kesalahan ringan, berat

22

Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1139. 23

Sonny Pungus, 2010, Teori Pertanggungjawaban, available from URL:

http://Sonnytobelo.blogspot.com/2010/12/teoripertanggungjawaban.html.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

25

atau ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang

harus ditanggung.

Seseorang dikatakan secara hukum bertanggung jawab untuk suatu

perbuatan hukum tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam

kasus perbuatan yang berlawanan. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam

pertanggungjawaban yang dibedakan atas pertanggungjawaban atas kesalahan

(based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility)24

.

Pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) adalah prinsip yang

cukup umum berlaku dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Dalam

KUHPerdata, khususnya pada Pasal 1365, Pasal 1366 dan Pasal 1367, prinsip ini

dipegang teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan untuk

bertanggungjawab secara hukum apabila unsur terdapat unsur kesalahan yang

dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai pasal perbuatan

melawan hukum mengharuskan empat unsur pokok yang harus dipenuhi yaitu

adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, dan

adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility), prinsip tanggung

jawab mutlak adalah suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada

pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam

melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau tidak, dalam hal ini

pelakunya dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam

24

Jimly Asshidiqie dan Ali Safaat, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang

Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia, Jakarta, hal. 61.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

26

melakukan perbuatannya itu pelaku tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak

pula mengandung unsur kelalaian, kekurang hati-hatian atau ketidakpatutan.

Karena itu, tanggung jawab mutlak sering juga disebut dengan tanggung jawab

tanpa kesalahan25

. Menurut Hans Kelsen di dalam teorinya tentang tanggung

jawab hukum menyatakan bahwa “seseorang bertanggung jawab secara hukum

atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab atas suatu

sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”.26

Hubungan antara teori pertanggungjawaban ini dengan permasalahan yang

penulis angkat adalah walaupun Notaris di dalam menjalankan kewenangannya

sebagai pejabat umum telah membuat akta otentik yang baik dan benar serta

sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

tetapi tidak dipungkiri di dalam menjalankan tugasnya tersebut seorang Notaris

bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan didalam pembuatan akta yang akan

menimbulkan akibat hukum pada para pihaknya. Apabila Notaris melakukan

kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan para pihak, maka Notaris tersebut

dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kesalahannya tersebut. Sehingga

teori pertanggungjawaban ini digunakan untuk menganalisis pertanggungjawaban

apa saja yang dapat dibebankan kepada Notaris yang dalam melaksanakan tugas

dan jabatannya melakukan perbuatan menyimpang atau perbuatan melawan

hukum. Teori ini untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk mengetahui

jenis pertanggungjawaban seperti apa yang sesuai diberikan kepada Notaris dan

25

Munir Fuady I, Op.Cit, hal. 173. 26

Jimly Asshidiqie dan Ali Safaat, Op.Cit, hal. 63.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

27

nantinya dapat memberikan kepuasan kepada para pihak yang dirugikan atas

perbuatan Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan

akta otentik.

1.5.6. Teori Kewenangan

Istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang sering ditemukan dalam

literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum. Kekuasaan sering

disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan

dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering

disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan

dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah

(the rule and the ruled).27

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah

wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan

istilah bevoegheid dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon,

jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah

bevoegheid. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah

bevoegheid digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat.

Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya

digunakan dalam konsep hukum publik.28

27

Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, hal. 35-36. 28

Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah Universitas

Airlangga, Surabaya, hal. 20.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

28

Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian

kewenangan dan wewenang. Kita harus membedakan antara kewenangan

(authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan

adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan

yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu

“onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan

terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan

lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya

meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi

wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta

distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-

undangan.29

Pengertian wewenang secara yuridis adalah kemampuan yang diberikan

oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.

Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah : bevoegheid wet kan worden

omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door

publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer.

(wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan

29

Ateng Syafrudin, 2002, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara

yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas

Parahyangan, Bandung, hal. 22.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

29

dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum

publik dalam hukum publik).30

Pengertian kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda

dengan wewenang (competence). Ada tiga jenis kewenangan dilihat dari cara

diperolehnya yaitu kewenangan secara atribusi, delegasi, maupun mandat.

Kewenangan secara atribusi, delegasi, ataupun mandat menurut J.G. Brouwer dan

A.E. Schilder, yang mengatakan :

a. With atribution, power is granted to an administrative authority by an

independent legislative body. The power is initial (originair), which is to

say that is not derived from a previously existing power. The legislative

body creates independent and previously non existent powers and assigns

them to an authority.

b. Delegation is a transfer of an acquired atribution of power from one

administrative authority to another, so that the delegate (the body that the

acquired the power) can exercise power in its own name.

c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans)

assigns power to the body (mandataris) to make decision or take action in

its name.

J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang

diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh

suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak

diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan

kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan

memberikan kepada organ yang berkompeten. Delegasi adalah kewenangan yang

dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan

kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan)

30

Stout HD, de betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, 2004,

Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni,

Bandung, hal. 4.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

30

dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada mandat, tidak

terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator)

memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat

keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.31

Kewenangan yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal

dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan

memperoleh kewenangan secara langsung dari pasal tertentu dalam suatu

peraturan perundang-undangan. Jadi dalam atribusi, penerima wewenang dapat

menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan

tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan

sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Pada delegasi tidak

ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat

yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada

pemberi delegasi (delegans), tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris).

Sementara pada mandat, peneriman mandat (mandataris) hanya bertindak untuk

dan atas nama pemberi mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang

diambil mandataris tetap berada pada mandans. Hal ini karena pada dasarnya

penerima mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.32

Kewenangan Notaris sebagai pejabat umum yang bertugas membuat akta

otentik, termasuk kewenangan secara atribusi karena kewenangan Notaris

31

J.G. Brouwer dan Schilder, 1998, A Survey of Dutch Administrative Law,

Nijmegen: Ars Aeguilibri, hal. 16-17. 32

Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal. 105-106.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

31

diberikan oleh undang-undang langsung yaitu Undang-undang nomor 2 tahun

2014 Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan Notaris berwenang untuk membuat akta

otentik. Dalam kaitannya kewenangan dengan permasalahan yang diangkat adalah

apabila Notaris yang diberi kewenangan dalam membuat akta otentik

menyalahgunakan wewenangnya tersebut yang mengakibatkan para pihak

mengalami kerugian serta dapat mengakibatkan akta otentik yang dibuat oleh

Notaris tersebut dapat dibatalkan. Sehingga Notaris dapat dikatakan telah

bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Teori

kewenangan ini untuk menjawab rumusan masalah kedua.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dikaji, maka penelitian ini

merupakan jenis penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan penelitian

hukum doktrinal yakni yang berfokus pada peraturan yang tertulis (law in book)33

,

yang beranjak dari adanya kekosongan norma dalam ketentuan UUJN dan UU

perubahan atas UUJN mengenai komulasi atau penggabungan penerapan sanksi

sebagai bentuk pertanggungjawaban yang diberikan terhadap Notaris yang

melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik. Menurut

Peter Mahmud Marzuki, ilmu hukum merupakan ilmu yang normatif.

Mempelajari norma-norma hukum merupakan bagian esensial di dalam ilmu

33

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian

Hukum, Edisi ke-1 Cet IV, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 118.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

32

hukum.34

Sehingga penelitian hukum normatif diartikan sebagai suatu proses

untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum

guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk

menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru untuk menyelesaikan masalah

yang dihadapi, sehingga hasil yang diperoleh tersebut, sudah mengandung nilai.35

Menurut Abdulkadir Muhammad, penelitian hukum normatif adalah

penelitian yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori,

sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi,

konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan

mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak

mengkaji aspek terapan atau pelaksanaan.36

1.6.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan yang dipergunakan dalam tesis ini adalah pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (The Case

Approach). Pendekatan perundangan-undangan adalah pendekatan yang dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut

dengan isu hukum yang ditangani. Sedangkan pendekatan kasus adalah

pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus

34

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Edisi ke-1 Cet VI,

Kencana, Jakarta, hal. 24. 35

Ibid, hal. 35. 36

Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya,

Bandung, hal. 102.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

33

yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.37

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini, adalah

sebagai berikut :

1. Bahan Hukum Primer terdiri atas :

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris.

d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004.

e) Kode Etik Notaris.

2. Bahan Hukum Sekunder terdiri atas:

a) Buku-buku hukum (text book).

b) Jurnal-jurnal hukum.

c) Karya tulis hukum yang termuat dalam media massa.

3. Bahan Hukum Tertier terdiri atas:

a) Kamus hukum.

b) Ensiklopedi hukum.

c) Internet.

37

Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hal. 24.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

34

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah

teknik telaah kepustakaan (study document). Teknik tersebut dilakukan dengan

mengumpulkan bahan-bahan hukum yang dianggap berhubungan dengan

permasalahan dalam penelitian, kemudian melakukan klasifikasi terhadap bahan-

bahan hukum yang dikumpulkan. Dalam hal ini peneliti mempelajari kepustakaan

yang berhubungan dengan pertanggungjawaban Notaris yang melakukan

perbuatan melawan hukum.

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis yang digunakan terhadap bahan-bahan hukum yang telah

terkumpul untuk menyelesaikan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini

adalah dilakukan dengan teknik deskriptif dan teknik interpretasi yaitu sebagai

berikut :

1. Teknik deskriptif merupakan langkah pertama yang dipergunakan dalam

menganalisa, karena teknik deskriptif adalah teknik dasar analisis yang tidak

dapat dihindari penggunaannya. Deskriptif berarti menguraikan apa adanya

terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non

hukum.

2. Teknik interpretasi (penafsiran) menurut Sudikno Mertokusumo merupakan

salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gamblang

tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

35

undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu.38

Teknik

interprestasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi

gramatikal (tata bahasa) dan interpretasi sistematis.

- Interpretasi gramatikal disebut juga penafsiran tata bahasa, adalah

menafsirkan kata kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan

kaidah hukum tata bahasa.39

Bahasa merupakan sarana yang dipakai

pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu

pembuat undang-undang harus memilih kata-kata yang jelas dan tidak

dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Titik tolak dalam penafsiran

menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari.

- Interprestasi sistematis ialah dengan melihat hubungan diantara aturan

dalam suatu peraturan perundang-undangan yang saling bergantungan.40

Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan

peraturan hukum lain. Dengan interpretasi sistematis dalam menafsirkan

undang-undang tidak boleh menyimpang dari sistem peraturan perundang-

undangan.

38Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif

Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 61.

39

Ibid, hal. 63.

40

Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hal. 112.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

36

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Notaris

Notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter

yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat

yang disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan

tanda yang dipakai dalam penulisan cepat (stenografie). Awalnya jabatan Notaris

hakikatnya ialah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh

kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti

otentik yang memberikan kepastian hubungan Hukum Perdata, jadi sepanjang alat

bukti otentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan Notaris

akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat.41

Notaris seperti yang

dikenal di zaman Belanda sebagai Republik der Verenigde Nederlanden mulai

masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Oost Ind.

Compagnie di Indonesia.42

Pengertian Notaris dalam ketentuan Pasal 1 Instructie voor De Notarissen

in Indonesia, menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang harus

mengetahui seluruh perundang-undangan yang berlaku, yang dipanggil dan

diangkat untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk

memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan

41G.H.S Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris

Reglement), Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 41. 42

Ibid, hal. 15.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

37

tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya,

demikian juga salinannya yang sah dan benar.43

Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Notaris mempunyai arti orang yang mendapat kuasa dari pemerintah

berdasarkan penunjukan (dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia) untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat

wasiat, akta, dan sebagainya.44

Menurut Matome M. Ratiba dalam bukunya Convecaying Law for

Paralegals and Law Students menyebutkan : “Notary is a qualified attorneys

which is admitted by the court and is an officer of the court in both his office as

notary and attorney and as notary he enjoys special privileges.”45

Terjemahannya

yaitu Notaris adalah pengacara yang berkualifikasi yang diakui oleh pengadilan

dan petugas pengadilan baik di kantor sebagai Notaris dan pengacara dan sebagai

Notaris ia menikmati hak-hak istimewa.

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk

membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang

diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan

dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian

tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya,

semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga

43

Ibid, hal. 20. 44

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Cetakan ke-3, Jakarta,

1990, hal. 618.

45

Matome M. Ratiba, 2013, Convecaying Law for Paralegals and Law

Students, bookboon.com, hal. 28.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

38

ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.46

Mendasarkan pada

nilai moral dan nilai etika Notaris, maka pengembanan jabatan Notaris adalah

pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan tidak memihak dalam

bidang kenotariatan yang pengembanannya dihayati sebagai panggilan hidup

bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan

umum serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia pada

umumnya dan martabat Notaris pada khususnya.47

Menurut G.H.S. Lumban Tobing memberikan pengertian Notaris yaitu

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta

otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan

oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk

dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan

aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang

pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau

orang lain.48

Sedangkan menurut Colenbrunder, Notaris adalah pejabat yang

berwenang untuk atas permintaan mereka yang menyuruhnya mencatat semua

46

Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap

UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung,

(selanjutnya disingkat Habib Adjie II), hal. 13. 47

Herlien Budiono, 2007, Notaris dan Kode Etiknya, Upgrading dan

Refreshing Course Nasional Ikatan Notaris Indonesia, Medan, hal. 3. 48

G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 31.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

39

yang dialami dalam suatu akta dan menyaksikan (comtuleert) dalam akta tentang

keadaan sesuatu barang yang ditunjukkan kepadanya oleh kliennya.49

Pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris menentukan “Notaris adalah pejabat umum yang

berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya

sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-

undang lainnya.” Menurut Habib Adjie, Notaris merupakan suatu jabatan publik

yang mempunyai karakteristik yaitu sebagai Jabatan, artinya UUJN merupakan

unifikasi di bidang pengaturan jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum

dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia,

sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada

UUJN. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara.

Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau

tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu

(kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan

pekerjaan tetap.50

Karakteristik kedua Notaris mempunyai kewenangan tertentu, artinya

setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya

sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak bertabrakan

49

Engelbrecht De Wetboeken wetten en Veroordeningen, Benevens de

Grondwet van de Republiek Indonesie, Ichtiar Baru-Van Voeve, 1998, Jakarta,

hal. 882. 50

Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 32-34.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

40

dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat

(Notaris) melakukan suatu tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, maka

dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang Notaris

hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UU perubahan atas

UUJN.51

Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam Pasal 2 UUJN

menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam

hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UU perubahan

atas UUJN). Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan

oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang

mengangkatnya, yaitu pemerintah. Dengan demikian, Notaris dalam menjalankan

jabatannya harus bersifat mandiri (autonomous), tidak memihak siapa pun

(impartial), tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang berarti dalam

menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang

mengangkatnya atau oleh pihak lain.

Notaris tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya.

Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak

menerima gaji maupun uang pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima

honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan

pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.52

51

Habib Adjie I, Loc.Cit. 52

Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 35-36.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

41

Kewenangan Notaris sebagai penjabaran dari Pasal 1 angka 1 UU

perubahan atas UUJN terdapat dalam Pasal 15 UU perubahan atas UUJN yang

tersirat sebagai berikut :

1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,

perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-

undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk

dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan

akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,

semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan

atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh

Undang-undang.

2) Notaris berwenang pula :

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di

bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam

buku khusus.

c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinanyang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang

bersangkutan.

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.

f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.

g. Membuat akta risalah lelang.

3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Seorang Notaris dalam menjalankan profesinya memiliki kewajiban-

kewajiban yang sebagaimana diatur dalam Bab III bagian kedua UU perubahan

atas UUJN. Seorang Notaris wajib bertindak jujur, seksama dan tidak memihak.

Kejujuran merupakan hal yang penting karena jika seorang Notaris bertindak

dengan ketidakjujuran maka akan banyak kejadian yang merugikan klien bahkan

akan menurunkan ketidakpercayaan klien terhadap Notaris tersebut. Keseksamaan

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

42

bertindak merupakan salah satu hal yang juga harus selalu dilakukan seorang

Notaris.53

Selain itu juga dalam melaksanakan jabatannya Notaris juga

berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan klien, membuat dokumen atau akta yang

diminta oleh klien, membuat daftar akta-akta yang dibuatnya, membacakan akta

di hadapan para pihak, dan menerima karyawan magang di kantornya. Mengenai

kewajiban Notaris ini diatur secara lengkap dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan

ayat (3) UU perubahan atas UUJN, yakni :

1 Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib :

a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan

menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.

b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai

bagian dari Protokol Notaris.

c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta

Akta.

d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta

berdasarkan Minuta Akta.

e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-

Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya.

f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala

keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan

sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.

g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang

memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak

dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih

dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun

pembuatannya pada sampul setiap buku.

h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak

diterimanya surat berharga.

i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan

waktu pembuatan akta setiap bulan.

j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau

daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada

kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan

berikutnya.

53

Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa

Sukses, Jakarta, hal. 41.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

43

k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada

setiap akhir bulan.

l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik

Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,

dan tempat kedudukan yang bersangkutan.

m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling

sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk

pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat

itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

n. Menerima magang calon Notaris.

2 Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta in originali.

3 Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :

a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun.

b. Akta penawaran pembayaran tunai.

c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat

berharga.

d. Akta kuasa.

e. Akta keterangan kepemilikan.

f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi

yang memiliki unsur-unsur yaitu perilaku Notaris harus memiliki integritas moral

yang mantap, harus jujur bersikap terhadap klien maupun diri sendiri, sadar akan

batas-batas kewenangannya dan tidak bertindak semata-mata berdasarkan

pertimbangan uang.54

Jabatan yang dipangku Notaris adalah jabatan kepercayaan

dan justru oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya.

Sebagai seorang kepercayaan, Notaris berkewajiban untuk merahasiakan semua

apa yang diberitahukan kepadanya selaku Notaris.55

Kewajiban merahasiakan

dapat dilakukan dengan upaya penuntutan hak ingkar, yang merupakan

pengecualian terhadap ketentuan dalam Pasal 1909 KUHPerdata bahwa setiap

54

Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka

Ilmu, Semarang, hal. 93. 55

G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 117.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

44

orang yang dipanggil sebagai saksi wajib memberikan kesaksian di muka

pengadilan. Selain itu juga, Notaris dalam melaksanakan jabatannya dituntut

untuk dapat memenuhi dan mentaati ketentuan-ketentuan sebagaimana telah

diatur dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN.

Akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris diharapkan mampu

menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Untuk mencapai tujuan

tersebut diperlukan suatu pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris, agar

Notaris tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran yang ditentukan dalam UUJN.

Menurut R. Soegondo mengemukakan bahwa untuk dapat membuat akta otentik,

seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia,

seorang advokat, meski pun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak

berwenang untuk membuat akta otentik, karena itu tidak mempunyai kedudukan

sebagai pejabat umum. Sebaliknya seorang pegawai catatan sipil (Ambtenaar van

de Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta

otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran, akta

perkawinan, akta kematian. Demikian itu karena ia oleh undang-undang

ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta

itu.56

Menurut G.H.S. Lumban Tobing mengemukakan bahwa akta yang dibuat

oleh Notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat relaas atau menguraikan

secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat

56

R. Soegondo, 1982, Hukum Notariat di Indonesia, CV. Rajawali,

Jakarta, hal. 43.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

45

atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni Notaris sendiri, di dalam

menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Akta yang dibuat sedemikian dan

memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan dan dialaminya itu dinamakan

akta yang dibuat oleh Notaris sebagai pejabat umum. Akan tetapi akta Notaris

dapat juga berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi karena perbuatan yang

dilakukan oleh pihak lain di hadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau

diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya dan

untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan Notaris dan

memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan itu di hadapan Notaris, agar

keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh Notaris dalam suatu akta otentik.

Akta sedemikian dinamakan akta yang dibuat di hadapan (ten overtaan) Notaris.57

Nilai pembuktian akta otentik merupakan salah satu langkah dalam proses

beracara dalam perkara perdata dan pidana. Pembuktian diperlukan karena adanya

bantahan atau penyangkalan dari pihak lawan atau untuk membenarkan sesuatu

hak yang menjadi sengketa adalah suatu peristiwa atau hubungan hukum yang

mendukung adanya hak.58

Apa yang tersebut mengenai isi dari akta otentik

diaggap benar kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Kekuatan pembuktian

sempurna, mengandung arti bahwa isi akta itu dalam pengadilan dianggap benar

sampai ada bukti perlawanan yang melumpuhkan akta tersebut. Beban

pembuktian perlawanan itu jatuh pada pihak lawan dari pihak yang menggunakan

akta otentik atau akta di bawah tangan tersebut.

57

G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 51. 58

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 129.

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

46

2.2 Perbuatan Melawan Hukum

Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) sebelumnya

diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang

lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan

dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Menurut

ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti

kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang tidak

bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut adalah

bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang

diwajibkan dalam pergaulan masyarakat.

Perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup

salah satu dari perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut:

1 Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.

2 Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.

3 Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.

4 Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam

pergaulan masyarakat yang baik.59

Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain adalah melanggar

hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum, tetapi tidak terbatas pada hak-hak

yaitu hak-hak pribadi (persoonlijkheidsrechten), hak kekayaan (vermosgensrecht),

hak atas kebebasan dan hak atas kehormatan dan nama baik.60

Perbuatan yang

bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri adalah suatu kewajiban hukum

yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupun

59

Munir Fuady I, Op.Cit, Hal. 6. 60

Munir Fuady I, Op.Cit, hal. 8.

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

47

hukum tidak tertulis. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan adalah

tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai

hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, manakala

tindakan melanggar kesusilaan tersebut telah terjadi kerugian bagi pihak lain

maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat meminta ganti kerugian

berdasarkan atas perbutan melawan hukum seperti yang terkadung dalam Pasal

1365 KUHPerdata.

Perbuatan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan

dalam pergaulan masyarakat yang baik atau yang disebut dengan

istilah zorgvuldigheid juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum.

Jadi, jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara

melanggar pasal-pasal dari hukum yang tertulis mungkin masih dapat dijerat

dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan

dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat.

Keharusan dalam pergaulan masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis, tetapi

diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.61

Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dapat

dijumpai baik dalam ranah Hukum Pidana (publik) maupun dalam ranah Hukum

Perdata (privat). Sehingga dapat ditemui istilah melawan Hukum Pidana

begitupun melawan Hukum Perdata. Dalam konteks itu jika dibandingkan maka

kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan

61

Munir Fuady I, Loc.Cit.

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

48

perbedaan.62

Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk

dikatakan melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan hukum

yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua melawan hukum tersebut

pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum. Perbedaan

pokok antara kedua melawan hukum tersebut, apabila melawan Hukum Pidana

lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak

obyektif dan sanksinya adalah pemidanaan. Sementara melawan Hukum Perdata

lebih memberikan perlindungan kepada private interest, hak subyektif dan sanksi

yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies).

Sementara menurut M.A. Moegni Djojodordjo, Mariam Darus

Badrulzaman, Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, I.S. Adiwimarta, dan Setiawan,

menerjemahkannya menjadi perbuatan melawan hukum. Penterjemahan

onrechtmatige daad sebagai perbuatan melawan hukum lebih tepat dibandingkan

perbuatan melanggar hukum. Pertama, dalam kata melawan melekat sifat aktif

dan pasif. Kedua, kata itu secara subtansif lebih luas cakupannya dibandingkan

dengan kata melanggar. Maksudnya adalah bahwa dalam kata melawan dapat

mencakup perbuatan yang didasarkan, baik secara sengaja maupun lalai.

Sementara kata melanggar cakupannya hanya pada perbuatan yang berdasarkan

kesengajaan saja.

Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan

hukum adalah sebagai berikut :

62

Rosa Agustina, Op.Cit, hal. 14.

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

49

1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari

kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan

hak untuk meminta ganti rugi.

2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya

kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum

yang mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu

perbuatan biasa maupun bisa juga perbuatan yang merupakan suatu

kecelakaan.

3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum,

kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan

dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu

ganti rugi.

4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian

dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak atau

wanprestasi terhadap kewajiban trust ataupun wanprestasi terhadap

kewajiban equity lainnya.

5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak

atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak

orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan

kontraktual.

6. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan

dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum dan

karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.

7. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak seperti juga kimia bukan

suatu fisika atau matematika.63

Perbuatan melawan hukum dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1365

hingga Pasal 1380. Meskipun pengaturan perbuatan melawan hukum dalam

KUHPerdata hanya 15 pasal, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa gugatan

perdata di pengadilan didominasi oleh gugatan perbuatan melawan hukum

disamping gugatan wanprestasi. Terminologi perbuatan melawan hukum

63

Munir Fuady, 2005, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim,

Jaksa, Advokat,Notaris, Kurator, dan Pengurus, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

(selanjutnya disingkat Munir Fuady II), hal. 4.

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

50

merupakan terjemahan dari kata onrechtmatige daad (bahasa Belanda) atau dalam

bahasa Inggris dikenal dengan istilah tort.

Perbuatan melawan hukum lebih diartikan sebagai sebuah perbuatan

melukai (injury) daripada pelanggaran terhadap kontrak (breach of contract).

Apalagi perbuatan melawan hukum umumnya tidak didasari dengan adanya

hubungan hukum kontraktual. Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang

dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan

hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan

kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari

perbuatan melawan hukum, yaitu perbuatan melawan hukum karena kesengajaan,

perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun

kelalaian) dan perbuatan melawan hukum karena kelalaian64

Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas

dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya

mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi

juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan

bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan

perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi

dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Menurut Rahmat

Setiawan perbuatan melawan hukum adalah setiap perbuatan pidana selalu

dirumuskan secara seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya terbatas.

Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum adalah tidak demikian. Undang-

64Ibid, hal. 3.

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

51

undang hanya menetukan satu pasal umum, yang memberikan akibat-akibat

hukum terhadap perbuatan melawan hukum.65

Jadi pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas. Perbuatan

melawan hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar

kaidah-kaidah tertulis, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban

hukum si pelaku dan melanggar kaidah hak subjektif orang lain, tetapi juga

perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaidah yang mengatur

tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki

seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda

warga masyarakat. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ada 4 unsur

Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yaitu :

1. Adanya Perbuatan Melawan Hukum

Dikatakan perbuatan melawan hukum, tidak hanya hal yang bertentangan

dengan undang-undang, tetapi juga jika berbuat atau tidak berbuat sesuatu

yang memenuhi salah satu unsur berikut yaitu berbertentangan dengan hak

orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri,

bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan keharusan (kehati-

hatian, kepantasan, kepatutan) yang harus diindahkan dalam pergaulan

masyarakat mengenai orang lain atau benda.

2. Adanya unsur kesalahan

Unsur kesalahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai perbuatan dan akibat-

akibat yang dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku.

65

Rachmat Setiawan, Op.Cit, hal. 15.

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

52

3. Adanya kerugian

Yaitu kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum tidak hanya

dapat mengakibatkan kerugian uang saja, tetapi juga dapat menyebabkan

kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan

kesenangan hidup.

4. Adanya hubungan sebab akibat

Unsur sebab-akibat dimaksudkan untuk meneliti adalah hubungan kausal

antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan sehingga

si pelaku dapat dipertanggungjawabkan.

2.3 Pertanggungjawaban Hukum

Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang secara

etimologi berarti kewajiban terhadap segala sesuatunya atau fungsi menerima

pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri atau pihak lain. Sedangkan

pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu

keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut,

dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Untuk memperoleh atau

meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu ditempuh usaha melalui

pendidikan, penyuluhan, keteladanan dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Atas dasar ini, dikenal beberapa jenis tanggung jawab, yaitu :

1. Tanggung jawab terhadap diri sendiri

Tanggung jawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran tiap orang untuk

memenuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian

sebagai manusia pribadi. Dengan demikian bisa memecahkan masalah-

masalah kemanusiaan mengenai dirinya sendiri, menurut sifat dasarnya

manusia adalah mahluk bermoral, tapi juga seorang pribadi. Karena

Page 53: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

53

merupakan seorang pribadi maka manusia mempunyai pendapat sendiri,

perasaan dan angan-angan sendiri, sebagai perwujudan dari itu, manusia

berbuat dan bertindak. Dalam hal ini manusia tidak luput dari kesalahan

dan kekeliruan baik disengaja maupun tidak disengaja.

2. Tanggung jawab terhadap masyarakat

Pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan manusia

lainnya, sesuai dengan kedudukannya sebagai mahluk sosial. Karena

membutuhkan manusia lain maka ia harus berkomunikasi dengan manusia

lain tersebut. Sehingga dengan demikian manusia disini merupakan

anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti

anggota masyarakat yang lain agar dapat melangsungkan hidupnya dalam

masyarakat tersebut. Wajarlah apabila segala tingkah laku dan

perbuatannya harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat

3. Tanggung jawab kepada bangsa dan Negara

Suatu lagi kenyataan bahwa tiap manusia, tiap individu adalah warga

Negara suatu Negara. Dalam berpikir, bertindak, berbuat, bertingkah laku

manusia terikat oleh norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh

Negara. Manusia tidak dapat berbuat semaunya sendiri. Bila perbuatan

manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada Negara.

4. Tanggung jawab terhadap Tuhan

Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawab,

melainkan mengisi kehidupannya, manusia mempunyai tanggung jawab

langsung, sebab dengan mengabaikan perintah-perintah Tuhan berarti

mereka meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya manusia terhadap

Tuhan sebagai penciptanya, bahkan untuk memenuhi tanggung jawabnya,

manusia memerlukan pengorbanan.66

Menurut Hans Kelsen dalam bukunya membagi pertanggungjawaban

menjadi empat macam yaitu:

1. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab

terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri.

2. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung

jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.

66

Hans Kelsen, terjemahan Raisul Mutaqien, 2006, Teori Hukum Murni,

Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hal 140.

Page 54: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

54

3. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang

individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena

sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian.

4. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu

bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak

sengaja dan tidak diperkirakan.67

Menurut kamus hukum ada 2 istilah pertanggungjawaban yaitu liability

(thestate of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible).

Liability merupakan istilah hukum yang luas, dimana liability menunjuk pada

makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau

tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability

didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability juga

merupakan kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial, kondisi

bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian,

ancaman, kejahatan, biaya atau beban. Kondisi yang menciptakan tugas untuk

melaksanakan undang-undang dengan segera atau pada masa yang akan datang.

Sedangkan responsibility berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atau suatu

kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan.

Responsibility juga berarti kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang

yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas

kerusakan yang telah ditimbulkannya.68

67

Ibid. 68

Ridwan HR., 2007, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal. 335-336.

Page 55: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

55

Tanggung jawab hukum menurut KUHPerdata adalah tanggung jawab

dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam

Pasal 1365 KUHPerdata. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya

kelalaian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata dan tanggung

jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367

KUHPerdata.69

Sedangkan bentuk pertanggungjawaban dalam Hukum Perdata

dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu pertanggungjawaban kontraktual dan

pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum.

Perbedaan antara tanggung jawab kontraktual dengan tanggung jawab

perbuatan melawan hukum adalah apakah dalam hubungan hukum tersebut

terdapat perjanjian atau tidak. Apabila terdapat perjanjian tanggung jawabnya

adalah tanggung jawab kontraktual. Sementara apabila tidak ada perjanjian namun

terdapat satu pihak merugikan pihak lain, pihak yang dirugikan dapat menggugat

pihak yang merugikan untuk bertanggung jawab dengan dasar telah melakukan

perbuatan melawan hukum.

Tanggung jawab kontraktual didasarkan adanya hubungan kontraktual.

Hubungan kontraktual adalah hubungan hukum yang dimaksudkan untuk

menimbulkan akibat hukum, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban terhadap para

pihak dalam perjanjian. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan

kewajibannya dan karenanya menimbulkan kerugian bagi pihak lain, pihak yang

dirugikan tersebut dapat mengugat dengan dalil wanprestasi. Pengertian umum

69

Munir Fuady II, Op.Cit, hal. 4.

Page 56: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

56

tentang wanprestasi adalah tidak terlaksananya perjanjian karena kelalaian salah

satu pihak. Bentuk dari kelalaian tersebut dapat berupa sama sekali tidak

melaksanakan prestasi, terlambat melaksanakan prestasi atau keliru dalam

melaksanakan prestasi.

Konsekuensi hukum dari wanprestasinya adalah keharusan bagi salah satu

pihak untuk membayar ganti rugi. Adanya suatu wanprestasi salah satu pihak,

pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian atau pemenuhan

perjanjian. Gugatan wanpretasi bertujuan menempatkan penggugat pada posisi

seandainya perjanjian terlaksana (pay on time).

Ganti rugi yang diberikan tersebut adalah kehilangan keuntungan yang

diharapkan (expectation loss). KUHPerdata mengatur hal tersebut pada Pasal

1244, Pasal 1245 dan Pasal 1246 KUHPerdata, ganti rugi terdiri dari biaya, rugi

dan bunga. Pengertian dari biaya adalah segala pengeluaran yang nyata-nyata

telah dikeluarkan oleh kreditur akibat dari wanprestasinya debitur. Rugi adalah

kerugian yang ditanggung oleh kreditur akibat wanprestasinya debitur. Sementara

bunga adalah kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh kreditur terhadap

suatu hubungan hukum. Ganti rugi dalam tanggung jawab kontraktual adalah

ganti rugi yang merupakan akibat langsung wanprestasi. Dengan kata lain, ada

hubungan sebab akibat atau causal-verband antara kerugian yang diderita dengan

perbuatan wanprestasi, kerugian harus merupakan akibat langsung dari

wanprestasi.

Tanggung jawab perbuatan melawan hukum hadir untuk melindungi

hak-hak seseorang. Hukum dalam perbuatan melawan hukum menggariskan

Page 57: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

57

hak-hak dan kewajiban-kewajiban saat seseorang melakukan perbuatan baik

kesalahan atau kelalaian atau melukai orang lain dan perbuatan tersebut

menimbulkan kerugian bagi orang lain. Perbuatan melawan hukum di Indonesia

secara normatif merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1365

KUHPerdata ini menentukan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang

mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan

perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian.70

Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) berwenang membuat

akta otentik. Sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris dapat dibebani

tanggung jawab atas perbuatannya dalam membuat akta otentik. Tanggung jawab

Notaris sebagai pejabat umum meliputi tanggung jawab profesi Notaris itu sendiri

yang berhubungan dengan akta, diantaranya yang pertama, tanggung jawab

Notaris secara perdata atas akta dibuatnya, dalam hal ini adalah tanggung jawab

terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan melawan hukum.

Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat aktif maupun pasif. Aktif, dalam

artian melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain.

Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan perbuatan yang merupakan

keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan

melawan hukum disini yaitu adanya suatu perbuatan melawan hukum, adanya

kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan.

70

R. Subekti dan Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang hukum

Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 346.

Page 58: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

58

Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu suatu perbuatan

tidak saja melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan

atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan

perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut melanggar hak orang lain,

bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan,

bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta

orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Tanggung jawab Notaris dalam ranah Hukum Perdata ini, termasuk

didalamnya adalah tanggung jawab perpajakan yang merupakan kewenangan

tambahan Notaris yang diberikan oleh UU Perpajakan. Kedua, tanggung jawab

Notaris secara pidana atas akta dibuatnya. Pidana dalam hal ini adalah perbuatan

pidana yang dilakukan oleh Notaris dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum

yang berwenang membuat akta, bukan dalam konteks individu sebagai warga

negara pada umumnya. Ketiga tanggung jawab Notaris berdasarkan peraturan

jabatan Notaris (UUJN) dan terakhir tanggung jawab Notaris dalam menjalankan

tugas jabatannya berdasarka kode etik Notaris. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4

UUJN tentang sumpah jabatan Notaris.71

Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas profesinya bahwa

Notaris sebagai pejabat umum tugas utamanya ialah dalam pembuatan akta

otentik, kalau Notaris menjalankan tugas jabatannya sesuai Undang-Undang

Jabatan Notaris (UUJN), UU perubahan atas UUJN dan peraturan perundangan di

71

Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia

(Perspektif Hukum dan Etika), UII Press cetakan pertama, Yogyakarta, hal. 35-49.

Page 59: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

59

dalam pembuatan akta, maka secara materiil dalam suasana formal sudah

memenuhi persyaratan dan menjalankan tugas dengan baik. Contohnya yaitu

apabila para pihak meminta pembuatan suatu akta, maka pernyataan yang

disampaikan oleh Notaris adalah Notaris tinggal menkonstatir di dalam suatu akta.

Notaris bertanggung jawab atas apa yang disampaikan atau diberi keterangan oleh

yang bersangkutan tetapi tidak bertanggung jawab atas kebenaran dari materi

yang disampaikan. Tanggung jawab secara lain ialah Notaris harus bertindak

jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, menjaga kepentingan pihak yang terkait

dalam perbuatan hukum. Merahasiakan sesuatu mengenai akta yang dibuatnya

dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan

sumpah atau janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.72

Tuntutan tanggung jawab terhadap Notaris muncul sejak terjadinya

sengketa berkaitan dengan akta yang telah dibuat dengan memenuhi unsur-unsur

dalam perbuatan melawan hukum meliputi perbuatan manusia yang memenuhi

rumusan peraturan perundang-undangan, artinya berlaku asas legalitas, nulum

delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada perbuatan yang dilarang

dan diancam dengan pidana jika hal tersebut tidak atau belum dinyatakan dalam

aturan undang-undang), dan perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum.

Konsep pertanggungjawaban ini apabila dikaitkan dengan profesi Notaris, maka

Notaris dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan dan kelalaiannya dalam

pelaksanaan tugas dan jabatannya.

72

Peter Tamba Simbolon, 2008, Pembatalan Akta Notariil Dalam Sengketa

Perdata di Pengadilan Negeri Semarang, Tesis, Program Pascasarjana Magister

Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 82-83.

Page 60: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

60

Pertanggungjawaban Notaris dapat dibagi menjadi pertanggungjawaban

secara pidana, administrasi dan perdata. Ketiga jenis pertanggungjawaban tersebut

ditentukan oleh sifat pelanggaran (melawan hukumnya perbuatan) dan akibat

hukumnya. Bentuk pertanggungjawaban pidana selalu bersanksi pidana.

Pertangungjawaban administrasi selalu bersanksi administrasi, dan

pertanggungjawaban perdata ditujukan pada pengembalian kerugian keperdataan,

akibat dari wanprestasi atau onrechtsmatige daad. Pada dasarnya setiap bentuk

pelanggaran selalu mengandung sifat melawan hukum dalam perbuatan itu.

Dalam hal sifat melawan hukum tindak pidana, selalu membentuk

pertanggunggjawaban pidana sesuai tindak pidana tertentu yang dilanggarnya.

Sementara sifat melawan Hukum Administrasi dan Hukum Perdata, sekedar

membentuk pertanggungjawaban administrasi dan perdata saja sesuai dengan

perbuatan yang dilakukan.

Page 61: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

61

BAB III

TANGGUNG JAWAB NOTARIS YANG MELAKUKAN

PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM

PEMBUATAN AKTA OTENTIK

3.1. Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris

3.1.1. Tanggung Jawab secara Perdata

Tanggung jawab secara perdata seorang Notaris yang melakukan

perbuatan melawan hukum, dalam hal ini menyangkut mengenai tanggung jawab

terhadap akta yang dibuat oleh Notaris secara melawan hukum. Perbuatan

melawan hukum yang dilakukan Notaris disini dalam diartikan dalam sifat aktif

maupun sifat pasif. Artian aktif yaitu Notaris melakukan perbuatan yang

menimbulkan kerugian pada pihak lain. Sedangkan dalam artian pasif, Notaris

tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain

menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya

suatu perbuatan yang diilakukan secara melawan hukum, adanya kesalahan dan

adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini diartikan

luas, yaitu suatu perbuatan tidak saja melanggar undang-undang, tetapi juga

melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian.

Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan

tersebut melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku,

bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan dalam

memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup

sehari-hari.

Page 62: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

62

Notaris melakukan perbuatan melawan hukum dapat didasarkan pada

Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan tiap perbuatan melanggar hukum yang

membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu. Sehingga pasal tersebut

merupakan dasar untuk menyatakan perbuatan yang dilakukan Notaris merupakan

perbuatan melawan hukum.

Notaris dapat dikatakan melanggar hak subyektif orang lain apabila

melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik, menurut

Meyers hak subyektif adalah wewenang khusus yang diberikan oleh hukum pada

seseorang dimana dapat memperolehnya demi kepentingannya. Hak subyektif

terdiri dari hak kebendaan dan absolute, hak pribadi yang meliputi hak untuk

mempunyai integritas terhadap jiwa dan kehidupan, hak atas kebendaan pribadi,

hak atas kehormatan dan hak istimewa juga nama baik.73

Unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris harus juga

memuat mengenai adanya kerugian (Schade) yang ditimbulkan dari perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris. Seseorang yang mengalami

kerugian akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain

berhak mengajukan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya kepada pengadilan

negeri. Ganti rugi yang diminta dapat berupa ganti rugi yang bersifat materiil dan

immateriil. Hakimlah yang menentukan berapa sepantasnya pihak yang menderita

73

M.A Moegni Djojodirjo, 1982, Perbuatan melawan hukum, Pradnya

Paramita, Jakarta, hal. 21.

Page 63: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

63

kerugian itu harus dibantu ganti ruginya, sekalipun pihak yang mengalami

kerugian menuntut ganti rugi dalam jumlah yang tidak pantas.

Kesalahan Notaris dalam membuat akta sehingga menyebabkan pihak lain

mengalami kerugian dapat termasuk perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Adapun syarat perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum yaitu adanya

perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, harus ada kesalahan, dan harus ada

hubungan sebab dan akibat antara perbuatan dan kerugian. Sedangkan unsur dari

perbuatan melawan hukum ini meliputi adanya suatu perbuatan melawan hukum,

adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan.

Akibat adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris dalam

pembuatan akta otentik menimbulkan adanya pertanggungjawaban yang harus

dilakukan oleh seorang Notaris. Dalam pertanggungjawaban seorang Notaris

secara perdata, hakim dalam menangani perkara perdata yang melibatkan Notaris

mencari suatu kebenaran formil dari akta otentik yaitu kebenaran dari apa yang

diperoleh berdasarkan apa yang dikemukakan oleh para pihak. Kebenaran ini

digali dari fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak. Kebenaran dalam ranah

perdata sangat tergantung dari para pihak. Berbeda dengan ranah Hukum Pidana

yang mencari adalah kebenaran materiil. Hakim tidak tergantung kepada apa yang

dikemukakan oleh jaksa penuntut umum maupun oleh penasihat hukum terdakwa.

Hakim bersifat aktif mencari kebenaran yang menurut fakta yang sebenarnya,

bukan menurut apa yang dikemukakan oleh jaksa penuntut umum maupun

penasihat hukum terdakwa.

Page 64: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

64

Peran Notaris disini hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan

hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta. Notaris hanya

mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para

pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil pembuatan

akta otentik kemudian menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan

untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta otentik tersebut. Hal ini

mewajibkan Notaris untuk bersikap netral dan tidak memihak serta memberikan

semacam nasihat hukum bagi klien yang meminta petunjuk hukum pada Notaris

yang bersangkutan.

Namun Notaris dapat juga dipertanggung jawabkan atas kebenaran

materiil suatu akta bila nasihat hukum yang diberikannya ternyata dikemudian

hari merupakan suatu yang keliru. Serta apabila dalam pembuatan akta tersebut

ternyata Notaris tidak memberikan akses mengenai suatu hukum tertentu yang

berkaitan dengan akta yang dibuatnya sehingga salah satu pihak merasa tertipu

atas ketidaktahuannya. Untuk itulah disarankan bagi Notaris untuk memberikan

informasi hukum yang penting yang selayaknya diketahui klien sepanjang yang

berurusan dengan masalah hukum. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa ada hal lain

yang juga harus diperhatikan oleh Notaris, yaitu yang berkaitan dengan

perlindungan hukum Notaris itu sendiri, dengan adanya ketidakhati-hatian dan

kesungguhan yang dilakukan Notaris, sebenarnya Notaris telah membawa dirinya

pada suatu perbuatan yang oleh undang-undang harus dipertanggungjawabkan.

Jika suatu kesalahan yang dilakukan oleh Notaris dapat dibuktikan, maka Notaris

Page 65: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

65

dapat dikenakan sanksi berupa ancaman sebagaimana yang telah ditentukan oleh

undang-undang.

Sanksi merupakan alat pemaksa, selain hukuman, juga untuk menaati

ketetapan yang ditentukan dalam peraturan atau perjanjian. Sanksi juga diartikan

sebagai alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian. Sanksi

merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh

penguasa sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma Hukum

Administrasi. Dengan demikian unsur-unsur sanksi yaitu sebagai alat kekuasaan,

bersifat hukum publik, digunakan oleh penguasa dan sebagai reaksi terhadap

ketidakpatuhan.

Hakekatnya sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk

memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan

yang dilakukannya telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan

untuk mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan

hukum yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan

hukum. Sanksi yang ditujukan terhadap Notaris juga merupakan penyadaran,

bahwa Notaris dalam melakukan tugas dan jabatannya telah melanggar ketentuan-

ketentuan mengenai pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris sebagaimana

tercantum dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN, serta untuk

mengembalikan tindakan Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya untuk

tertib sesuai dengan UUJN dan UU perubahan atas UUJN.

Pemberian sanksi terhadap Notaris juga untuk melindungi masyarakat dari

tindakan Notaris yang dapat merugikan masyarakat, misalnya membuat akta yang

Page 66: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

66

tidak melindungi hak-hak para pihak. Sanksi tersebut juga untuk menjaga

martabat lembaga Notaris sebagai lembaga kepercayaan, karena jika Notaris

melakukan pelanggaran, dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap

Notaris. Secara individu diberikannya sanksi terhadap Notaris merupakan suatu

pertaruhan dari jabatan seorang Notaris yang menjalankan tugas dan jabatannya,

apakah dikemudian hari masyarakat masih mau mempercayakan pembuatan akta

terhadap Notaris yang bersangkutan atau tidak. UUJN dan UU perubahan atas

UUJN yang mengatur jabatan Notaris berisikan ketentuan-ketentuan yang bersifat

memaksa atau merupakan suatu aturan hukum yang imperatif untuk ditegakkan

terhadap Notaris yang telah melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas dan

jabatannya.

Sanksi yang diberikan yang diberikan terhadap pertanggungjawaban

perdata seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum pembuatan

akta otentik adalah sanksi perdata. Sanksi ini berupa penggantian biaya, ganti rugi

dan bunga merupakan akibat yang akan diterima Notaris atas tuntutan para

penghadap yang merasa dirugikan atas pembuatan akta oleh Notaris. Penggantian

biaya, ganti rugi atau bunga harus didasarkan pada suatu hubungan hukum antara

Notaris dengan para pihak yang menghadap Notaris. Jika ada pihak yang merasa

dirugikan sebagai akibat langsung dari suatu akta Notaris, maka yang

bersangkutan dapat menuntut secara perdata terhadap Notaris. Dengan demikian,

tuntutan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga terhadap Notaris tidak

berdasarkan atas penilaian atau kedudukan suatu alat bukti yang berubah karena

melanggar ketentuan-ketentuan tertentu, tetapi hanya dapat didasarkan pada

Page 67: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

67

hubungan hukum yang ada atau yang terjadi antara Notaris dengan para

penghadap.

Pasal 41 UU perubahan atas UUJN menentukan adanya sanksi perdata,

jika Notaris melakukan perbuatan melawan hukum atau pelanggaran terhadap

Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 UU perubahan atas UUJN maka akta Notaris

hanya akan mempunyai pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Akibat dari

akta Notaris yang seperti itu, maka dapat menjadi alasan bagi pihak yang

menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga

kepada Notaris.

Kedudukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai

akta dibawah tangan merupakan nilai dari sebuah pembuktian yang tidak dapat

dituntut dengan ganti rugi dalam bentuk apapun. Demikian juga dengan batalnya

akta demi hukum, jika sudah batal demi hukum maka akta tersebut dianggap tidak

pernah ada atau tidak pernah dibuat. Jika demikian bahwa tuntutan biaya, ganti

rugi dan bunga bukan sebagai akibat seperti itu, tapi karena ada hubungan hukum

antara Notaris dan para pihak yang menghadap Notaris. Hubungan hukum

merupakan suatu hubungan yang akibatnya diatur oleh hukum.

Hubungan hukum Notaris dan para penghadap merupakan hubungan

hukum yang khas, dengan karakter sebagai berikut :

a. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam

pemberian kuasa untuk membuat akta atau untuk melakukan pekerjaan-

pekerjaan tertentu.

b. Mereka yang datang ke hadapan Notaris, dengan anggapan bahwa Notaris

mempunyai kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginan

para pihak secara tertulis dalam bentuk akta otentik.

Page 68: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

68

c. Hasil akhir dari tindakan Notaris berdasarkan kewenangan Notaris yang

berasal dari permintaan atau keinginan para pihak sendiri.

d. Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan.74

Hubungan hukum antara Notaris dan para penghadap yang telah membuat

akta di hadapan Notaris atau oleh Notaris tidak dapat dikontruksikan atau

ditentukan pada awal Notaris dan para penghadap berhubungan, karena pada saat

itu belum terjadi permasalahan apapun. Untuk menentukan bentuk hubungan

Notaris dengan para penghadap harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1869

KUHPerdata, bahwa akta otentik terdegradasi menjadi mempunyai kekuatan

pembuktian sebagai akta di bawah tangan dengan alasan tidak berwenangnya

pejabat umum yang bersangkutan, tidak mempunyai pejabat umum yang

bersangkutan, cacat dalam bentuknya atau akta Notaris dibatalkan berdasarkan

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum. Kemudian hal ini

dapat dijadikan dasar untuk menggugat Notaris sebagai suatu perbuatan melawan

hukum atau dengan kata lain hubungan Notaris dan para penghadap dapat

dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, karena Notaris tidak

berwenang membuat akta yang bersangkutan dan akta Notaris cacat dalam

bentuknya.

Tuntutan terhadap Notaris dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi, dan

bunga sebagai akibat akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta

dibawah tangan atau batal demi hukum, berdasarkan adanya hubungan hukum

yang khas antara Notaris dengan para penghadap dengan sebagai perbuatan

melawan hukum dan ketidakcermatan, ketidaktelitian, ketidaktepatan dalam

74

Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 102.

Page 69: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

69

teknik administratif membuat akta berdasarkan UUJN dan UU perubahan atas

UUJN serta penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta yang

bersangkutan untuk para penghadap, yang tidak didasarkan pada kemampuan

menguasai keilmuan bidang Notaris secara khusus dan hukum pada umumnya.

Penjatuhan sanksi perdata berdasarkan pada putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan tetap yang amar putusannya menghukum Notaris untuk

membayar biaya, ganti rugi, dan bunga kepada penggugat.

Kesimpulan dari pertanggungjawaban secara perdata seorang Notaris yang

melakukan perbuatan melawan hukum adalah Notaris wajib

mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan dijatuhi sanksi perdata berupa

penggantian biaya atau ganti rugi kepada pihak yang dirugikan atas perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris. Namun sebelum Notaris dijatuhi

sanksi perdata maka Notaris terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa telah

adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum Notaris

terhadap para pihak, dan antara kerugian yang diderita dan perbuatan melawan

hukum dari Notaris terdapat hubungan kausal, serta perbuatan melawan hukum

atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan

kepada Notaris yang bersangkutan.

3.1.2. Tanggung Jawab secara Administrasi

Tanggung Jawab secara administrasi terhadap seorang Notaris yang

melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik dapat

dijatuhi sanksi administrasi. Secara garis besar sanksi administrasi dapat

dibedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu sanksi reparatif adalah sanksi ini

Page 70: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

70

ditujukan untuk perbaikan atas pelanggaran tata tertib hukum. Dapat berupa

penghentian perbuatan terlarang, kewajiban perubahan sikap/tindakan sehingga

tercapainya keadaan semula yang ditentukan, tindakan memperbaiki sesuatu yang

berlawanan dengan aturan. Contohnya paksaan untuk berbuat sesuatu untuk

pemerintah dan pembayaran uang paksa yang ditentukan sebagai hukuman.

Sanksi punitif adalah sanksi yang bersifat menghukum, merupakan beban

tambahan. Sanksi hukuman tergolong dalam pembalasan, dan tindakan preventif

yang menimbulkan ketakutan kepada pelanggar yang sama atau mungkin untuk

pelanggar-pelanggar lainnya. Contohnya pembayaran denda kepada pemerintah,

teguran keras. Dan sanksi regresif adalah sanksi sebagai reaksi atas sesuatu

ketidaktaatan, dicabutnya hak atas sesuatu yang diputuskan menurut hukum,

seolah-olah dikembalikan kepada keadaan hukum yang sebenarnya sebelum

keputusan diambil. Contohnya pencabutan, perubahan atau penangguhan suatu

keputusan.75

Beberapa kepustakaan Hukum Administrasi dikenal beberapa jenis sanksi

administrasi antara lain :

1. Eksekusi nyata adalah sanksi yang digunakan administrasi, baik dengan

tidak memenuhi kewajiban yang tercantum dalam suatu ketetapan Hukum

Administrasi maupun pada pelanggaran-pelanggaran suatu ketentuan

undang-undang berbuat tanpa izin, yang terdiri dari mengambil,

menghalangi, menjalankan atau memperbaiki apa yang bertentangan

dengan ketentuan dalam peraturan yang sah, yang dibuat, disusun, dialami,

dibiarkan, dirusak atau diambil oleh pelaku.

75

J.B.J.M.Ten Berge, 1996, Besturen Door de Overheid, W.E.J. Tjeenk

Qillink, Deventer, hal. 390-391.

Page 71: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

71

2. Eksekusi langsung (parate executie) adalah sanksi dalam penagihan uang

yang berasal dari hubungan Hukum Administrasi.

3. Penarikan kembali suatu izin adalah sanksi yang diberikan pada

pelanggaran-pelanggaran peraturan atau syarat-syarat yang berhubungan

dengan ketetapan, tetapi juga pelanggaran peraturan perundang-

undangan.76

Menurut Philipus M Hadjon dan H. D. Van Wijk/ Willem Konijnenbelt77

sanksi

administrasi meliputi sebagai berikut :

a. Paksaan pemerintah

Paksaan pemerintah sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari penguasa

guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah Hukum

Administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya

ditinggalkan oleh para warga Negara karena bertentangan dengan undang-

undang.

b. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin,

pembayaran, subsidi)

Sanksi yang digunakan dengan mencabut atau menarik kembali suatu

keputusan atau ketetapan yang menguntungkan dengan mengeluarkan

ketetapan baru. Sanksi seperti ini diterapkan dalam hal terjadi pelanggaran

terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan

tertulis yang telah diberikan, juga terjadi pelanggaran undang-undang yang

terkait dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar. Dalam keadaan

tertentu sanksi seperti ini tidak terlalu perlu didasarkan pada suatu

peraturan perundang-undangan, apabila keputusan (ketetapan) berlaku

untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifatnya dapat diakhiri atau

ditarik kembali (izin, subsidi berkalas) dan tanpa adanya suatu peraturan

perundang-undangan yang tegas untuk itu, penarikan kembali tidak dapat

diadakan secara berlaku surut. Pencabutan atau penarikan yang

menguntungkan merupakan suatu sanksi situatif yaitu sanksi yang

dikeluarkan bukan dengan maksud sebagai reaksi terhadap perbuatan yang

tercela dari segi moral, melainkan dimaksudkan untuk mengakhiri

keadaan-keadaan yang secara objektif tidak dapat dibenarkan lagi.

c. Pengenaan denda administratif

Sanksi pengenaan denda administratif ditujukan kepada mereka yang

melanggar peraturan perundang-undangan tertentu dan kepada si

pelanggar dikenakan sejumlah uang tertentu berdasarkan peraturan

76

Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 108. 77

H. D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1990, Hoolfdstukken van

Adminstratief Recht, Uitgeverij Lemma BW, Utrecht, hal. 330-345.

Page 72: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

72

perundang-undangan yang bersangkutan, kepada pemerintah diberikan

wewenang untuk menerapkan sanksi tersebut.

d. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah

Sanksi pengenaan uang paksa oleh pemerintah ditujukan untuk menambah

hukuman yang pasti, disamping denda yang telah disebutkan dengan tegas

dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.78

Sanksi administrasi bedasarkan UU perubahan atas UUJN menyebutkan

ada 5 (lima) jenis sanksi administrasi yang diberikan apabila seorang Notaris

melanggar ketentuan UU perubahan atas UUJN yaitu peringatan lisan, peringatan

tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan

pemberhentian dengan tidak hormat. Sanksi-sanksi itu berlaku secara berjenjang

mulai dari teguran lisan sampai dengan pemberhentian dengan tidak hormat,

Sanksi Notaris karena melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana

tersebut dalam pasal pasal dalam UU perubahan atas UUJN merupakan sanksi

internal yaitu sanksi terhadap Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya

tidak melaksanakan serangkaian tindakan tertib pelaksanaan tugas dan jabatan

kerja Notaris yang harus dilakukan untuk kepentingan Notaris sendiri. Sanksi

terhadap Notaris berupa pemberhentian sementara dari jabatannya merupakan

tahap berikutnya setelah penjatuhan sanksi teguran lisan dan teguran secara

tertulis.

Kedudukan sanksi berupa pemberhentian sementara dari jabatan Notaris

atau skorsing merupakan masa menunggu pelaksanaan sanksi paksaan

pemerintah. Sanksi pemberentian sementara Notaris dari jabatannya, dimaksudkan

agar Notaris tidak melaksanakan tugas dan jabatannya untuk sementara waktu,

78

Ibid.

Page 73: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

73

sebelum sanksi berupa pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak

hormat dijatuhi kepada Notaris. Pemberian sanksi pemberhentian sementara ini

berakhir dalam bentuk pemulihan kepada Notaris untuk menjalankan tugas dan

jabatannya kembali atau ditindaklanjuti dengan sanksi pemberhentian dengan

hormat atau pemberhentian tidak hormat.

Sanksi pemberhentian sementara dari jabatan Notaris merupakan sanksi

paksaan nyata sedangkan sanksi yang berupa pemberhentian dengan hormat dan

pemberhentian tidak hormat termasuk ke dalam jenis sanksi pencabutan keputusan

yang menguntungkan. Dengan demikian ketentuan pasal-pasal UU perubahan atas

UUJN yang dapat dikategorikan sebagai sanksi administrasi yaitu pemberhentian

sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat.

Prosedur penjatuhan sanksi administratif dilakukan secara langsung oleh

instansi yang diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut. Penjatuhan

sanksi administrasi adalah sebagai langkah preventif (pengawasan) dan langkah

represif (penerapan sanksi). Langkah preventif dilakukan melalui pemeriksaan

protocol Notaris secara berkala dan kemungkinan adanya pelanggaran dalam

pelaksanaan jabatan Notaris. Sedangkan langkah represif dilakukan melalui

penjatuhan sanksi oleh Majelis Pengawas Wilayah, berupa teguran lisan dan

teguran tertulis serta berhak mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat

pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (Enam) bulan dan

pemberhentian tidak hormat

Majelis Pengawas Pusat selanjutnya melakukan pemberhentian sementara

serta berhak mengusulkan kepada menteri berupa pemberhentian dengan tidak

Page 74: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

74

hormat. Kemudian Menteri atas usulan Majelis Pengawas Pusat dapat

memberhentian Notaris dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat.

Kesimpulan pertanggungjawaban secara administrasi terhadap seorang Notaris

adalah Notaris dapat dijatuhi sanksi administrasi berupa pemberhentian

sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak

hormat terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum.

3.1.3 Tanggung Jawab terhadap Kode Etik Profesi Notaris

Seorang Notaris yang melakukan profesinya harus berperilaku profesional,

berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat kehormatan Notaris dan

berkewajiban menghormati rekan dan saling menjaga dan membela kehormatan

nama baik korps atau organisasi. Sebagai profesi Notaris, ia bertanggungjawab

terhadap profesi yang dilakukannya, dalam hal ini kode etik profesi.79

Profesi Notaris merupakan profesi yang berkaitan dengan individu,

organisasi profesi, masyarakat pada umumnya dan Negara. Tindakan Notaris akan

berkaitan dengan elemen-elemen tersebut oleh karenanya suatu tindakan yang

keliru dari Notaris dalam menjalankan pekerjaannya tidak hanya akan merugikan

Notaris itu sendiri saja namun dapat juga merugikan organisasi profesi,

masyarakat dan Negara. Hubungan profesi Notaris dengan masyarakat dan Negara

telah diatur dalam UUJN berikut peraturan perundang-undangan lainnya.

Sementara hubungan profesi Notaris dengan organisasi profesi Notaris diatur

melalui kode etik Notaris.

79

Ignatius Ridwan Widyadharma, 1994, Hukum Profesi tentang Profesi

Hukum, CV. Ananta, Semarang, hal. 133-134.

Page 75: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

75

Menurut Abdulkadir Muhammad, khusus bagi profesi hukum sebagai

profesi terhormat, terdapat nilai-nilai profesi yang harus ditaati oleh mereka, yaitu

sebagai berikut :

a. Kejujuran

b. Otentik

c. Bertanggung jawab

d. Kemandirian moral

e. Keberanian moral. 80

Notaris disini sebagai pejabat umum diberikan kepercayaan yang harus berpegang

teguh tidak hanya pada peraturan perundang-undangan semata namun juga pada

kode etik profesinya, karena tanpa adanya kode etik, harkat dan martabat dari

profesinya akan hilang.

Hubungan antara kode etik dengan UUJN terdapat dalam Pasal 4 ayat (1)

dan ayat (2) mengenai sumpah jabatan yang tersirat sebagai berikut :

1) Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan

sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang

ditunjuk.

2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai

berikut :

"Saya bersumpah/berjanji :

Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia,

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris seria peraturan perundang-

undangan lainnya.

Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur,

saksama, mandiri, dan tidak berpihak.

Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan

kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan

tanggung jawab saya sebagai Notaris.

80

Munir Fuady II, Op.Cit, hal. 4.

Page 76: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

76

Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh

dalam pelaksanaan jabatan saya.

Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung

maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apa pun, tidak pernah dan

tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun."

Notaris melalui sumpahnya berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan

akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan,

martabat dan tanggung jawabnya sebagai Notaris. UUJN dan kode etik Notaris

menghendaki agar Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat

umum, selain harus tunduk pada UUJN juga harus taat pada kode etik profesi

serta harus bertanggungjawab terhadap masyarakat yang dilayaninya, organisasi

profesi (Ikatan Notaris Indonesia atau INI) maupun terhadap Negara. Setiap

Notaris yang baru diangkat harus mengucapkan sumpah yang sesuai dengan

ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN. Kode etik profesi Notaris

merupakan pedoman sikap dan tingkah laku jabatan Notaris. Kode Etik Notaris

ditetapkan oleh Organisasi Notaris sesuai dengan bunyi Pasal 83 ayat (1) UUJN

yaitu Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.

Berdasarkan Pasal 1 angka 13 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak

Asasi Manusia No.M-01.H.T.03.01 Tahun 2003 tentang kenotarisan, organisasi

Notaris satu-satunya yang diakui oleh pemerintah adalah Ikatan Notaris Indonesia

(INI). Kemudian, Kode Etik Notaris yang berlaku saat ini adalah Kode Etik

Notaris berdasarkan Keputusan Kongres Luar Biasa INI tanggal 27 Januari 2005

di Bandung (Kode Etik Notaris). Dalam Pasal 1 angka 2 Kode Etik

Notaris disebutkan bahwa:

Page 77: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

77

Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah

seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris

Indonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasarkan

keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur

dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang

berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan

dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk

di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris pengganti, dan Notaris

Pengganti Khusus.

Menurut Abdulkadir Muhammad, Notaris dalam menjalankan tugas

jabatannya harus seperti sebagai berikut :

a. Notaris dituntut melakukan perbuatan akta dengan baik dan benar. Artinya

akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-

pihak yang berkepentingan karena jabatannya.

b. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang

dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang

berkepentingan dalam arti yang sebenarnya. Notaris harus menjelaskan

kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan prosedur

akta yang dibuatnya itu.

c. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta Notaris itu

mempunyai kekuatan bukti sempurna.81

Pelanggaran terkait dengan kode etik Notaris adalah perbuatan atau

tindakan yang dilakukan oleh anggota perkumpulan organisasi Ikatan Notaris

Indonesia maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris

yang melanggar ketentuan kode etik dan/atau disiplin organisasi. Terkait dengan

sanksi sebagai bentuk upaya penegakan kode etik Notaris atas pelanggaran kode

etik didefinisikan sebagai suatu hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana,

upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin Notaris.

81

Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hal. 49.

Page 78: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

78

Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) dalam upaya untuk menjaga kehormatan

dan keluhuran martabat jabatan Notaris, mempunyai kode etik Notaris yang

ditetapkan oleh kongres dan merupakan kaidah moral yang wajib ditaati oleh

setiap anggota I.N.I. Dewan Kehormatan merupakan organ perlengkapan I.N.I

yang terdiri dari anggota-anggota yang dipilih dari anggota I.N.I dan werda

Notaris, yang berdedikasi tinggi dan loyal terhadap perkumpulan, berkepribadian

baik, arif dan bijaksana, sehingga dapat menjadi panutan bagi anggota dan

diangkat oleh kongres untuk masa jabatan yang sama dengan masa jabatan

kepengurusan. Dewan Kehormatan berwenang melakukan pemeriksaan atas

pelanggaran terhadap kode etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya

sesuai dengan kewenangannya dan bertugas untuk melakukan pembinaan,

bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode

etik. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan

kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai masyarakat secara

Iangsung. Memberikan saran dan pendapat kepada majelis pengawas atas dugaan

pelanggaran kode etik dan jabatan Notaris.

Kewenangan pengawasan pelaksanaan dan penindakan kode etik Notaris

ada pada Dewan Kehormatan yang berjenjang mulai dari tingkat daerah, wilayah,

dan pusat. Bagi Notaris yang melakukan pelanggaran kode etik, Dewan

Kehormatan berkoordinasi dengan Majelis Pengawas berwenang melakukan

pemeriksaan atas pelanggaran tersebut dan dapat menjatuhkan sanksi kepada

pelanggarnya, sanksi yang dikenakan terhadap anggota Ikatan Notaris Indonesia

Page 79: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

79

(INI) sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Kode etik Notaris

yaitu :

1) Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran

Kode Etik dapat berupa :

a. Teguran.

b. Peringatan.

c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan.

d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan.

e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.

2) Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota

yang melanggar Kode Etik disesuaikan dengan kwantitas dan kwalitas

pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.

Namun sanksi pemecatan yang diberikan terhadap Notaris yang

melakukan pelanggaran dan perbuatan melawan hukum bukanlah berupa

pemecatan dari jabatan Notaris melainkan pemecatan dari keanggotaan Ikatan

Notaris Indonesia sehingga walaupun Notaris yang bersangkutan telah terbukti

melakukan pelanggaran dan perbuatan melawan hukum, Notaris tersebut masih

dapat membuat akta dan menjalankan kewenangan lainnya sebagai Notaris,

dengan demikian sanksi berupa pemecatan dari keanggotaan perkumpulan

tentunya tidak berdampak pada jabatan seorang Notaris yang telah melakukan

pelanggaran dan perbuatan melawan hukum.

Notaris masih tetap dapat membuat akta dan menjalankan jabatannya

sebagai Notaris, karena sanksi pemecatan tersebut bukan berarti secara serta merta

Notaris tersebut diberhentikan dari jabatannya, karena hanya menteri yang

berwenang untuk memecat Notaris dari jabatannya dengan mendengarkan laporan

dari Majelis Pengawas. Notaris masih saja dapat menjalankan jabatannya,

Page 80: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

80

sehingga sanksi kode etik tersebut terkesan kurang mempunyai daya mengikat

bagi Notaris yang melakukan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum dalam

pembuatan akta otentik. Sehingga seorang Notaris seharusnya dapat dituntut

untuk membayar ganti rugi dalam hal adanya kesalahan yang dilakukan Notaris

menyangkut perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai

kode etik. Antara kerugian yang diderita dengan kelalaian atau pelanggaran

Notaris terdapat hubungan sebab akibat (causalitas). Pelanggaran atau kelalaian

tersebut disebabkan oleh kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada

Notaris yang bersangkutan.

Menurut ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris dinyatakan, bahwa

pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia dengan membentuk Majelis Pengawas. Pengawasan tersebut meliputi

perilaku Notaris dan pelaksanaan Jabatan Notaris. Dengan demikian, Majelis

Pengawas, menggunakan Kode Etik yang telah dibuat oleh Ikatan Notaris

Indonesia (INI), sebagai bahan pengawasan terhadap Notaris. Majelis Pengawas

akan mengambil tindakan apabila ada pengaduan dari masyarakat mengenai

perilaku Notaris yang menyimpang. Kesimpulan pertanggungjawaban Notaris

terhadap Kode etik Notaris adalah seorang Notaris dijatuhi sanksi kode etik

berupa teguran, peringatan, schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan

perkumpulan, onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan dan

pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan.

Page 81: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

81

3.1.3. Tanggung Jawab secara Pidana

Menurut Hermin Hediati Koeswadji suatu perbuatan melawan hukum

dalam konteks pidana atau pebuatan yang dilarang oleh undang-undang dan

diancam dengan pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia yang

dapat berupa:

1. Suatu tindakan atau tindak tanduk yang dilarang dan diancam dengan

sanksi pidana, seperti memalsukan surat, sumpah palsu, pencurian.

2. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana oleh

undang-undang, seperti pembunuhan, penganiayaan.

3. Keadaan atau hal-hal yang khusus dilarang dan diancam sanksi pidana

oleh undang-undang, seperti menghasut, melanggar kesusilaan umum.

b. Unsur subjektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia.

c. Unsur subjektif dapat berupa :

1 Dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid).

2 Kesalahan (schuld).82

Notaris dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam konteks

Hukum Pidana sekaligus juga melanggar kode etik dan UUJN, sehingga syarat

pemidanaan menjadi lebih kuat. Apabila hal tersebut tidak disertai dengan

pelanggaran kode etik atau bahkan dibenarkan oleh UUJN, maka mungkin hal ini

dapat menghapuskan sifat melawan hukum suatu perbuatan dengan suatu alasan

pembenar. Adapun pemidanaan terhadap Notaris dapat saja dilakukan dengan

batasan sebagai berikut :

a. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja,

penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang

dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk

dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana.

b. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau

oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan

UUJN.

82

Liliana Tedjosapatro, 1991, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana,

CV Agung, Semarang, hal. 51.

Page 82: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

82

c. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang

untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini MPN.83

Apabila seorang Notaris melakukan penyimpangan akan sebuah akta yang

dibuatnya sehingga menimbulkan suatu perkara pidana maka Notaris harus

mempertanggung jawabkan secara pidana apa yang telah dilakukannya tersebut.

Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijbaarheid)

yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana

berdasarkan Hukum Pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pelaku

yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenakan pidana karena perbuatannya

itu.84

Hal tersebut didasarkan pada asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan

atau “actus non facit reum nisi mens sit rea”. Orang tidak mungkin dimintakan

pertanggungjawaban dan dijatuhi pidana jika tidak melakukan kesalahan. Akan

tetapi seseorang yang melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat

dipidananya. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidanya apabila dia

mempunyai kesalahan.85

Terjadinya pemidanaan terhadap Notaris berdasarkan akta yang dibuat

oleh atau di hadapan Notaris sebagai bagian dari pelaksanaan tugas jabatan atau

kewenangan Notaris, tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan

tata cara pembuatan akta dan hanya berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) saja, menunjukkan telah terjadinya kesalahpahaman atau

83

Habib Adjie I, Op. Cit, hal. 124‐125. 84

Dwidja Priyatno, 2004, Kebijakan Legislasi tentang Sistem

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Utomo, Bandung,

hal. 30. 85

Ibid, hal. 56.

Page 83: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

83

penafsiran terhadap kedudukan Notaris sedangkan akta otentik yang dibuat oleh

Notaris sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata. Sanksi pidana merupakan

ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi atau upaya-upaya pada

cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan.86

Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang

batasan-batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi

rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN dan kode etik jabatan Notaris

juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP. Apabila tindakan

pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris

memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi jika ternyata berdasarkan UUJN

dan menurut penilaian dari Majelis Pengawas Daerah bukan suatu pelanggaran.

Maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena

ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada UUJN dan kode etik

jabatan Notaris.

Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya tidak

diatur dalam UUJN namun tanggung jawab Notaris secara pidana dikenakan

apabila Notaris melakukan perbuatan pidana. UUJN hanya mengatur sanksi atas

pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap UUJN sanksi tersebut dapat

berupa akta yang dibuat oleh Notaris tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya

mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Terhadap Notarisnya sendiri

86

Habib Adjie, Jurnal Renvoi, Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret 2005, hal.

126.

Page 84: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

84

dapat diberikan sanksi yang berupa teguran hingga pemberhentian dengan tidak

hormat.

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum.

Larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi

yang melanggar larangan tersebut. Dalam kehidupan manusia, ada perbuatan-

perbuatan yang tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan Hak Asasi

Manusia (HAM) yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara

hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat

dan martabat manusia.87

Ada juga perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat

umum atau kepentingan sosial, yaitu kepentingan yang lazim terjadi dalam

perspektif pergaulan hidup antar manusia sebagai insan yang merdeka dan

dilindungi oleh norma-norma moral, agama, sosial serta hukum. Bertentangan

dengan kepentingan pemerintah dan Negara, yaitu kepentingan yang muncul dan

berkembang dalam rangka penyelenggaraan kehidupan pemerintahan serta

kehidupan bernegara demi tegak dan berwibawanya Negara Indonesia.88

Sanksi pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, dimana sanksi pidana dibagi

menjadi pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas pidana

mati, pidana penjara, pidana kurungan dan denda, sedangkan pidana tambahan

87

Ilhami Bisri, 2005, Sistem Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal. 40. 88

Ibid.

Page 85: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

85

berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan

pengumuman putusan hakim. Keberadaan sanksi pidana tambahan disini berupa

adanya pencabutan hak, dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 38 KUHP yang

menyatakan mengenai adanya suatu pencabutan hak, disini Pasal 38 KUHP lebih

menenkankan adanya sanksi tambahan tidak dapat dijadikan dasar sebagai adanya

komulasi atau penggabungan penerapan sanksi dalam Hukum Pidana. Karena

dalam prakteknya dan dalam yurisprudensi-yurisprudensi yang menjatuhkan

pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum tidak

ditemukan sanksi tambahan berupa pencabutan hak seorang Notaris sebagai

seorang pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik.

Sanksi pidana dianggap sebagai sanksi paling kuat bagi perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris, karena seperti disebutkan di atas

sanksi pidana merupakan ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi

perdata, administrasi atau sanksi kode etik Notaris tidak mempan atau dianggap

tidak mempan dalam menghukum atau membuat Notaris menjadi jera untuk tidak

melakukan perbuatan melawan hukum lagi. Prosedur penerapan sanksi pidana

yaitu berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

yang amar putusannya menghukum Notaris untuk menjalani pidana tertentu. Jadi

pertanggungjawaban secara pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan

melawan hukum adalah Notaris mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan

penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan

hukum. Notaris dapat dijatuhi sanksi pidana berupa pidana kurungan atau pidana

penjara atau pidana lainya yang diatur dalam KUHP. Adapun yurisprudensi yang

Page 86: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

86

menunjang dalam pertanggungjawaban seorang Notaris secara pidana yaitu

putusan Mahkamah Agung nomor 1099 K/PID/2010. Dalam hal ini seorang

Notaris bernama San Smith, SH didakwa dalam dakwaan primair yaitu Pasal 266

ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP yaitu telah melakukan, turut

serta melakukan, menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta

otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu,

dengan maksud untuk itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran.

Dakwaan Subsidair Pasal 263 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke1

KUHP yaitu membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan

suatu hak yang dilakukan terhadap akta otentik, turut serta melakukan, menyuruh

memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai suatu hal

yang kebenarannya harus dinyatakan oleha akta itu, dengan maksud untuk itu

seolah-olah keterangannya sesuai kebenaran. Terhadap dakwaan tersebut

Pengadilan Negeri Medan dalam putusannya Nomor 3036/PID.B/2009/PN.Mdn,

tertanggal 4 Januari 2010 yang amar lengkapnya menyatakan bahwa terdakwa

Notaris tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu

akta otentik dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara

selam 1 (satu) tahun.

Pengadilan Tinggi Medan menerima permintaan banding dari Jaksa dan

Penasihat hukum terdakwa dan tetap menyatakan dalam putusan nomor

82/PID/2010/PT-MDN tanggal 25 Februari 2010 bahwa Notaris tersebut telah

terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta

Page 87: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

87

menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik dan

menjatuhkan pidana penajara selama 2 (dua) tahun.

Mahkamah Agung dalam Putusan MA nomor 1099 K/PID/2010 menolak

permohonan Kasasi dari pemohon kasasi yaitu Notaris tersebut. Menimbang

bahwa putusan judex Facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-

undang, judex facti tidak salah menerapkan hukum karena telah

mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis.

Putusan tersebut di atas seorang Notaris dibebankan petanggungjawaban

secara pidana yaitu dengan dijatuhkan pidana penjara atas perbuatan melawan

hukum yang dilakukannya, disini Notaris hanya dibebankan pertanggungjawaban

pidana. Dalam amar putusannya tidak disebutkan pertanggungjawab secara

perdata berupa penggantian kerugian yang diderita oleh para pihak maupun

pertanggungjawaban administrasi. Disini sanksi pidana merupakan sanksi yang

paling terkuat dan bisa memberikan efek jera terhadap Notaris yang melakukan

perbuatan melawan Hukum dalam pembuatan akta otentik. Namun seharusnya

pemberian ganti kerugian juga sangat perlu diberikan kepada para pihak, karena

kerugian yang diderita para pihak tidak dapat dibilang sedikit. Dalam hal ini

adanya komulasi atau penggabungan sanksi sebagai wujud dari

pertanggungjawaban Notaris perlu dilakukan atau diterapkan sehingga

pertanggungjawaban seorang Notaris benar-benar memberikan rasa adil dan

memberikan perlindungan hukum terhadap para pihak yang dirugikan atas

perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam pembuatan akta otentik.

Page 88: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

88

3.2. Perbuatan Melawan Hukum Seorang Notaris

Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang Notaris dapat

mencakup ranah bidang perdata, administrasi, kode etik profesi Notaris dan ranah

bidang pidana. Adapun perbuatan melawan hukum dalam ranah bidang perdata

diatur dalam buku III Pasal 1352 KUHPerdata. Perbuatan melawan hukum berasal

dari undang-undang, bukan karena perjanjian yang berdasarkan persetujuan dan

perbuatan melawan hukum murni merupakan akibat pelanggaran perbuatan

manusia yang sudah ditentukan sendiri oleh undang-undang. Sedangkan ranah

bidang pidana yaitu seorang Notaris dapat dikenakan tindakan pidana atas

perbuatan yang melanggar ketentuan dari kaedah peraturan larangan yang

diterbitkan oleh negara. Hukum Pidana adalah suatu kumpulan uturan yang

berkaitan langsung dengan ketertiban umum. Setiap perbuatan pidana selalu

dirumuskan secara seksama dalam undang-undang sehingga sifatnya terbatas

Ranah bidang administrasi dan kode etik yaitu diberikan batasan seorang Notaris

diketegorikan melanggar ketentuan UUJN, UU perubahan atas UUJN dan kode

etik Notaris secara formil atau perdata (law of tort) atas apa yang mereka lakukan

terkait dengan tindakan-tindakan Notaris. Seperti penambahan, pengurangan,

pencoretan, pengubahan akta tidak sesuai prosedur dengan tidak dilakukan tidak

dihadapan dua saksi, Notaris/saksi yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum,

Notaris mempunyai hubungan darah dengan salah satu atau para penghadap.

Notaris melakukan perbuatan melawan hukum juga dapat didasarkan pada

Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan tiap perbuatan melanggar hukum yang

membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

Page 89: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

89

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu. Kesalahan Notaris dalam

membuat akta sehingga menyebabkan pihak lain mengalami kerugian dapat

termasuk perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Adapun syarat perbuatan

dikatakan perbuatan melawan hukum yaitu adanya perbuatan, yang melawan

hukum, harus ada kesalahan dan harus ada hubungan sebab akibat antara

perbuatan dan kerugian.

Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan

oleh subjek hukum yang melanggar ketentuan atau peraturan yang telah

ditetapkan. Notaris sebagai subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban

sekaligus sebagai anggota dari perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia memiliki

kewajiban yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari dalam

menjalankan tugas jabatannya. Kewajiban dan larangan Notaris diatur dalam UU

perubahan atas UUJN (Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal 17) serta

Kode Etik Notaris (Pasal 3 dan Pasal 4) yaitu Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat

(3) menyatakan :

(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib :

a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan

menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.

b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai

bagian dari Protokol Notaris.

c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta

Akta.

d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta

berdasarkan Minuta Akta.

e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-

undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya.

f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan

segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan

sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Page 90: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

90

g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang

memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta

tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi

lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan

tahun pembuatannya pada sampul setiap buku.

h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak

diterimanya surat berharga.

i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan

waktu pembuatan akta setiap bulan.

j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau

daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada

kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan

berikutnya.

k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada

setiap akhir bulan.

l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik

Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama,

jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan.

m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling

sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk

pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada

saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

n. Menerima magang calon Notaris.

(2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta in

originali.

(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :

a.Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun.

b.Akta penawaran pembayaran tunai.

c.Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat

berharga.

d.Akta kuasa.

e.Akta keterangan kepemilikan.

f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Notaris sebagai anggota organisasi profesi Notaris memiliki kewajiban dan

larangan yang diatur dalam suatu kode etik jabatan Notaris, serta kode etik

tersebut memiliki sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap

Page 91: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

91

ketentuan dalam kode etik jabatan Notaris tersebut. Kewajiban Notaris diatur

dalam Pasal 3 Kode Etik Notaris, yaitu :

Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris

wajib :

1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik.

2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan

Notaris.

3. Menjaga dan membela kehormatan perkumpulan.

4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggungjawab,

berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan

Notaris.

5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada

ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.

6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara.

7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan lainnya untuk

masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium.

8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut

merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam

melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.

9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan kantornya

dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200

cm x 80 cm , yang memuat:

a. Nama lengkap dan gelar yang sah.

b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir

sebagai Notaris.

c. Tempat kedudukan.

d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna

putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama

harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut

tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud.

10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang

diselenggarakan oleh perkumpulan.

11. Menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan

perkumpulan.

12. Membayar uang iuran perkumpulan secara tertib.

13. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang

meninggal dunia.

14. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium

ditetapkan perkumpulan.

15. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan

penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali alasan-alasan yang

sah.

Page 92: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

92

16. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam

melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling

memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling

menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi

dan tali silaturahim.

17. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak

membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya.

18. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai

kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak

terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam:

a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris.

c. Isi Sumpah Jabatan Notaris.

d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris

Indonesia.

Selain kewajiban Notaris yang diatur dalam Kode Etik Notaris, ada hal

lain mengenai beberapa larangan bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya

yang disebutkan dalam Pasal 4, yaitu:

Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan. Notaris

dilarang :

1. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor

perwakilan.

2. Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/ Kantor

Notaris" di luar lingkungan kantor.

3. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara

bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya,

menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam

bentuk :

a. Iklan.

b. Ucapan selamat.

c. Ucapan belasungkawa.

d. Ucapan terima kasih.

e. Kegiatan pemasaran.

f. Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun

olahraga.

4. Bekerja sama dengan biro jasa/orang/badan hukum yang pada hakekatnya

bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien.

5. Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah

dipersiapkan oleh pihak lain.

6. Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditanda tangani.

Page 93: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

93

7. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah

dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada

klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain.

8. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-

dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis

dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya.

9. Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang

menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama

rekan Notaris.

10. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang

lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan perkumpulan.

11. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan

kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang

bersangkutan.

12. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang

dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau

menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata

didalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau

membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan

kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya

dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah

timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan

ataupun rekan sejawat tersebut.

13. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat ekslusif dengan

tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi

menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi.

14. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan

peraturan perundangundangan yang berlaku.

15. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai

pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas

pada pelanggaran-pelanggaran terhadap :

a. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang JabatanNotaris.

b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004

tentang Jabatan Notaris.

c. Isi sumpah jabatan Notaris.

d. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah

Tangga dan/atau Keputusan-Keputusan lain yang telah ditetapkan oleh

organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota.

Apabila Notaris melanggar ketentuan dalam pasal-pasal tersebut diatas

Notaris telah dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dalam ranah

Hukum Administrasi dan melanggar ketentuan kode etik jabatan Notaris yang

Page 94: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

94

berlaku. Notaris dalam menjalankan jabatannya dapat juga terjerat dalam kasus

atau perkara yang diakibatkan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan

seorang Notaris dalam proses pembuatan akta otentik, dalam ranah Hukum Pidana

diantaranya dapat berupa pemalsuan dokumen atau surat yang diatur dalam

ketentuan Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP. Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP

menyatakan bahwa :

1 Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat

menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang

diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk

memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah

isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat

menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara

paling lama enam tahun.

2 Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai

surat palsu atau yang dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat

itu dapat menimbulkan kerugian.

Sedangkan dalam penjelasan dari Pasal 264 ayat (1) dan (2) KUHP menyatakan

bahwa :

1 Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan

tahun, jika dilakukan terhadap:

1) Akta-akta otentik.

2) Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya

ataupun dari suatu lembaga umum.

3) Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu

perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai.

4) Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang

diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai

pengganti surat-surat itu.

5) Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.

2 Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai

surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang

Page 95: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

95

dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu

dapat menimbulkan kerugian.

Notaris juga dapat dikatakan melakukan penggelapan apabila melanggar

ketentuan Pasal 372 dan Pasal 374 KUHP. Pasal 372 yang menyatakan bahwa :

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu

yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada

dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan,

dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling

banyak sembilan ratus rupiah.

Sedangkan penjelasan dari Pasal 374 KUHP yang menyatakan bahwa

Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang

disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena

mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Selain itu perbuatan Notaris dapat dikategorikan dalam ranah pidana apabila

seorang Notaris memberikan keterangan palsu di bawah sumpah yang diatur

dalam ketentuan Pasal 242 KUHP yang tersirat sebagai berikut :

1 Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya

memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum

kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan

palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi

maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan

pidana penjara paling lama tujuh tahun.

2 Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan

merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana

penjara paling lama sembilan tahun.

3 Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan

menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.

4 Pidana pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No. 1 – 4 dapat dijatuhkan.

Adapun contoh pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh Notaris misalnya

Notaris memalsukan surat setoran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan

Page 96: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

96

(BPHTB) dan surat setoran pajak (SSP). Sedangkan contoh penggelapan yang

dilakukan oleh Notaris yaitu penggelapan BPHTB yang dibayarkan klien.

3.3. Tanggung Jawab Notaris Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum

Notaris yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam

menjalankan profesinya wajib mempertanggungjawabkan perbuatan yang

dilakukannya tersebut. Besarnya tanggung jawab Notaris dalam menjalankan

profesinya mengharuskan Notaris untuk selalu cermat dan hati-hati dalam setiap

tindakannya. Namun demikian sebagai manusia biasa, tentunya seorang Notaris

dalam menjalankan tugas dan jabatannya terkadang tidak luput dari kesalahan

baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian yang kemudian dapat

merugikan pihak lain. Dalam penjatuhan sanksi terhadap Notaris, ada beberapa

syarat yang harus terpenuhi yaitu perbuatan Notaris harus memenuhi rumusan

perbuatan itu dilarang oleh undang-undang, adanya kerugian yang ditimbulkan

dari perbuatan Notaris tersebut serta perbuatan tersebut harus bersifat melawan

hukum, baik formil maupun materiil. Secara formal disini sudah dipenuhi karena

sudah memenuhi rumusan dalam undang-undang, tetapi secara materiil harus diuji

kembali dengan kode etik, UUJN dan UU perubahan atas UUJN.

Tugas seorang Notaris adalah membuat suatu akta otentik yang diinginkan

oleh para pihak untuk suatu perbuatan hukum tertentu. Tanpa adanya suatu

permintaan dari para pihak maka Notaris tidak akan membuatkan suatu akta

apapun. Notaris dalam membuat suatu akta harus berdasarkan keterangan atau

pernyataan dari para pihak yang hadir dihadapan Notaris, kemudian Notaris

menuangkan keterangan-keterangan/penyataan-pernyataan tersebut kedalam suatu

Page 97: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

97

akta, dimana akta tersebut telah memenuhi ketentuan secara ilmiah, formil dan

materiil dalam pembuatan akta otentik. Serta Notaris dalam membuat akta

tersebut harus berpijak pada peraturan hukum atau tata cara prosedur pembuatan

akta. Selain itu Notaris juga berperan dalam hal memberikan nasehat hukum yang

sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh para pihak yang membutuhkan

jasa seorang Notaris. Seandainya nasehat hukum yang diberikan oleh Notaris

kepada para pihak kemudian dituangkan ke dalam bentuk akta maka hal tersebut

tetap sebagai keinginan atau keterangan para pihak yang bersangkutan, tidak

sebagai keterangan atau pernyataan Notaris.

Seorang Notaris dapat secara sadar, sengaja untuk secara bersama-sama

dengan para pihak yang bersangkutan (penghadap) melakukan atau membantu

atau menyuruh penghadap untuk melakukan suatu tindakan hukum yang

diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum. Jika hal ini dilakukan,

selain merugikan Notaris, para pihak, dan pada akhirnya orang yang menjalankan

tugas jabatan sebagai Notaris, diberi sambutan sebagai orang yang senantiasa

melanggar hukum.89

Aspek yang dijadikan batasan dalam hal pelanggaran oleh Notaris harus

diukur berdasarkan UUJN, artinya apakah perbuatan yang dilakukan oleh Notaris

melanggar pasal-pasal tertentu dalam UUJN, karena ada kemungkinan menurut

UUJN bahwa akta yang bersangkutan telah sesuai dengan UUJN, tetapi menurut

pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana. Dengan

demikian sebelum melakukan penyidikan lebih lanjut, lebih baik meminta

89

Habib Adjie I, Op.Cit. hal. 124.

Page 98: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

98

pendapat mereka yang mengetahui dengan pasti mengenai hal tersebut, yaitu dari

organisasi jabatan Notaris. Ancaman sanksi yang demikian itu dimaksudkan agar

dalam menjalankan tugas dan jabatannya, seorang Notaris dituntut untuk dapat

bertanggungjawab terhadap diri, klien, dan juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Adapun tanggung jawab hukum seorang Notaris dalam menjalankan

profesinya menurut Lanny Kusumawati digolongkan dalam 2 (dua) bentuk yaitu :

a. Tanggung jawab Hukum Perdata yaitu apabila Notaris melakukan

kesalahan karena ingkar janji sebagaimana yang telah ditentukan dalam

ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata atau perbuatan melanggar hukum

sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.

Terhadap kesalahan tersebut telah menimbulkan kerugian pihak klien atau

pihak lain.

b. Tanggung jawab Hukum Pidana bilamana Notaris telah melakukan

perbuatan hukum yang dilarang oleh undang-undang atau melakukan

kesalahan/perbuatan melawan hukum baik karena sengaja atau lalai yang

menimbulkan kerugian pihak lain.90

Selain adanya tanggung jawab Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Notaris

yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan tugas dan

jabatannya, juga dikenakan tanggung jawab administrasi dan tanggungjawab

terhadap kode etik jabatan Notaris. Tanggung jawab administrasi, perdata dan

kode etik Notaris dengan dikenai sanksi yang mengarah pada perbuatan yang

dilakukan oleh yang bersangkutan, sedangkan pertanggungjawaban pidana yang

dikenai sanksi pidana menyasar pada pelaku (orang) yang melakukan tindakan

hukum tersebut. Sanksi administratif dan sanksi perdata bersifat reparatoir atau

korektif artinya untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi oleh

yang bersangkutan ataupun oleh Notaris lain. Regresif berarti segala sesuatunya

90

Lanny Kusumawati, 2006, Tanggung jawab Jabatan Notaris, Refika

Aditama, Bandung, hal 49.

Page 99: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

99

dikembalikan kepada suatu keadaan ketika sebelum terjadinya pelanggaran.

Dalam aturan hukum tertentu, disamping dijatuhi sanksi adminstratif, juga dapat

dijatuhi sanksi pidana (secara komulatif) yang bersifat comdemnatoir (punitif)

atau menghukum, dalam kaitan ini UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk

Notaris yang melanggar UUJN. Jika terjadi hal seperti itu maka terhadap Notaris

tunduk kepada tindak pidana umum.91

UUJN dan UU perubahan atas UUJN hanya mengatur bahwa ketika

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan

pelanggaran/perbuatan melawan hukum, maka Notaris dapat dikenai atau dijatuhi

sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan Notaris. Dalam

praktek ditemukan bahwa tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan

Notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi atau sanksi perdata atau

kode etik jabatan Notaris, tetapi kemudian dikualifikasian sebagai suatu tindak

pidana yang dilakukan oleh Notaris. tetapi dalam penjatuhan sanksi hanya dijatuhi

berupa sanksi pidana.

Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tunduk dan patuh pada

UUJN. Oleh karena itu apabila Notaris melakukan pelanggaran dalam

melaksanakan tugas dan jabatannya, Notaris diancam sanksi sebagaimana tertuang

dalam UUJN. Sanksi terhadap Notaris dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu sanksi

perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga merupakan akibat yang

akan diterima Notaris atas tuntutan para penghadap jika akta yang bersangkutan

hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta

91Ibid, hal. 123‐124.

Page 100: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

100

menjadi batal demi hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 UU

perubahan atas UUJN. Selain sanksi perdata, juga ditentukan sanksi adminstrasi

yaitu berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara,

pemberhentian dengan hormat, sampai pemberhentian dengan tidak hormat,

sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal dalam UU perubahan atas UUJN.92

Selain itu, Notaris juga masih harus menghadapi ancaman sanksi berupa sanksi

etika jika Notaris melakukan pelanggaran terhadap kode etik jabatan Notaris, dan

bahkan dapat dijatuhi sanksi pidana. Namun demikian, sanksi pidana terhadap

Notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan tugas jabatannya, dan tunduk

pada ketentuan pidana umum yaitu KUHP, UUJN dan UU perubahan atas UUJN

tidak mengatur mengenai tindak pidana khusus untuk Notaris.

Menurut Hermin Hediati Koeswadji, suatu delik atau pebuatan yang

dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana mempunyai unsur-

unsur sebagai berikut mempunyai unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat

di luar manusia yang dapat berupa suatu tindakan atau tindak tanduk yang

dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, seperti memalsukan surat, sumpah

palsu, pencurian. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana

oleh undang-undang, seperti pembunuhan, penganiayaan. Keadaan atau hal-hal

yang khusus dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti

menghasut, melanggar kesusilaan umum. Kedua mempunyai unsur subjektif, yaitu

unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia. Unsur subjektif dapat

92

Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 91‐92.

Page 101: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

101

berupadapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid) dan kesalahan

(schuld).93

Batasan-batasan pemidanaan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh

Notaris adalah berupa ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal

akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa

akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat)

untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana. Ada tindakan hukum

dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang jika diukur

berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN. Tindakan Notaris tersebut tidak

sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris,

dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.94

Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang

batasan-batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi

rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN dan kode etik jabatan Notaris

juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP. Apabila tindakan

pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana,

tetapi jika ternyata berdasarkan UUJN dan menurut penilaian dari Majelis

Pengawas Daerah bukan suatu pelanggaran. Maka Notaris yang bersangkutan

tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai sebuah akta

harus didasarkan pada UUJN dan kode etik jabatan Notaris.

93

Liliana Tedjosapatro, 1991, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana,

CV Agung, Semarang, hal. 51. 94

Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 124‐125.

Page 102: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

102

Bentuk pertanggungjawaban seorang Notaris yang melakukan perbuatan

melawan hukum dalam pembuatan akta otentik harus dapat

dipertanggungjawabkan dengan penuh tanggung jawab serta memuat rasa

keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan akibat perbuatan Notaris serta keadilan

bagi Notaris itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep tujuan hukum menurut

Gustav Radbruch yang mengarahkan pertanggungjwaban yang diberikan terhadap

Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta

otentik sesuai dengan tujuan hukum yaitu yang lebih diutamakan memberikan

keadilan bagi pihak yang dirugikan selajutnya memberikan manfaat dan

selanjutnya menjamin adanya kepastian hukum.

Sedangkan dalam teori keadilan menurut Hans Kelsen yang menyatakan

bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat

mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat

menemukan kebahagian didalamnya. Dari teori tersebut dapat dijelaskan bahwa

tujuan dari pertanggungjawaban seorang Notaris yaitu untuk memberikan rasa adil

bagi para pihak maupun bagi Notaris sebagai akibat dari perbuatan melawan

hukum seorang Notaris dalam pembuatan akta otentik.

Demikian pula dengan bentuk pertanggungjawaban Notaris yang

melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik telah sesuai

dengan teori pertanggujawaban yang dikemukan oleh Kranenburg dan Vegtig

dalam teori fautes personalles yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak

ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan

kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku

Page 103: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

103

pribadi. Sehingga disini Notaris berdasarkan teori pertanggungjawaban tersebut

Notaris bertanggungjawab secara pribadi atas perbuatan melawan hukum yang

dilakukannya dalam pembuatan akta otentik.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa bentuk pertangggungjawaban

terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan

akta otentik adalah seorang Notaris dapat dikenakan pertanggungjawaban secara

perdata berupa sanksi untuk melakukan penggantian biaya atau ganti rugi kepada

pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh

Notaris. Pertanggungjawaban secara administrasi berupa pemberian sanksi

teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan

hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat sebagai seorang Notaris.

Pertanggungjawaban terhadap kode etik profesi Notaris berupa pemberian sanksi

teguran, peringatan, pemecatan sementara (schorsing), pemecatan (Onzetting) dan

pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Sedangkan

pertanggungjawaban secara pidana seorang dapat berupa pemberian sanksi pidana

penjara atau kurungan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Hal-

hal tersebut berdasarkan temuan-temuan dalam yurisprudensi mengenai

pertanggungjawaban terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan

hukum.

Page 104: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

104

BAB IV

AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK YANG

DIBUAT OLEH SEORANG NOTARIS YANG MELAKUKAN

PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN

AKTA OTENTIK

4.1 Akta Otentik dan Akta Di Bawah Tangan

Pengertian akta menurut Sudikno Mertokusumo adalah surat sebagai alat

bukti yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu

hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.95

Menurut R. Subekti, akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja

dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.96

Menurut A. Kohar, akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat

bukti.97

Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya “Rechts geleerd

Handwoorddenboek”, kata akta itu berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti

geschrift atau surat.98

Menurut ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa : “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan

otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan“. Berdasarkan bunyi pasal

tersebut dapat disimpulkan bahwa akta terdiri atas 2 macam akta yaitu akta otentik

dan akta di bawah tangan.

95

Sudikno mertokusumo, 1981, Hukum Acara Perdata Indonesia, Lyberti,

Yogyakarta, hal 149. 96

R.Subekti, 1991, Hukum Pembuktian, PT. Pradya Paramita, Jakarta,

hal. 89. 97

A.Kohar, 1993, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, hal 3. 98

S. J. Fockema Andreae, 1951, Rechtsgeleerd Handwoorddenboek,

diterjemahkan oleh Walter Siregar, Bij J. B. Wolter uitgeversmaat schappij, N.V.

Gronogen, Jakarta, hal. 9.

Page 105: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

105

Akta Otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah akta yang

dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh pemerintah menurut

peraturan perundang-undangan. Akta Otentik merupakan alat bukti yang

sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya atau atau orang-orang yang

mendapatkan hak daripadanya. Dengan kata lain, isi akta otentik dianggap benar,

selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Menurut R. Subekti bawa akta

otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis

dalam akta tersebut harus dapat dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap benar,

selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan.99

Apabila ada akta yang batal

sebagai akta otentik, maka akta tersebut masih berfungsi sebagai akta di bawah

tangan, apabila akta tersebut akta tersebut ditandatangani oleh para pihak,

sepanjang berubahnya status dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan

tersebut tidak mendatangkan kerugian, maka Notaris tersebut tidak bisa dituntut,

sekalipun Notaris tersebut akan kehilangan nama baiknya.

Akta otentik yang dibuat oleh Notaris terbagi menjadi 2 bentuk yaitu

pertama akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau

akta pejabat (ambtelijke akten). Akta pejabat/akta relaas merupakan akta yang

dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan

apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya, jadi inisiatif tidak berasal dari

orang/para pihak yang namanya diterangkan didalam akta tersebut. Ciri khas

dalam akta ini adalah tidak adanya komparisi dan Notaris bertanggung jawab

99

R. Subekti, Op.Cit, hal. 48.

Page 106: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

106

penuh atas pembuatan akta.100

Dalam pembuatan akta pejabat/akta relaas tidak

menjadi masalah apakah orang-orang yang hadir tersebut menolak untuk

menandatangani akta itu, misalnya dalam pembuatan Akta Berita Acara Rapat

Para Pemegang Saham dalam Perseroan Terbatas. Apabila orang-orang yang hadir

dalam rapat telah meninggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani, maka

Notaris cukup menerangkan di dalam akta bahwa para pemegang saham atau

peserta rapat yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta

tersebut dan akta tersebut tetap merupakan suatu akta otentik.

Kedua, akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang

dinamakan akta partij (partij akten). Partij akta adalah akta yang dibuat dihadapan

para pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan akta itu dibuat atas permintaan

dari pihak-pihak yang berkepentingan. Ciri khas pada akta ini adalah adanya

komparisi yang menjelaskan kewenangan para pihak yang menghadap Notaris

untuk membuat akta.101

Perbedaan antara kedua jenis akta tersebut adalah dalam akta relaas

penandatanganan akta bukanlah suatu keharusan, akta tersebut masih dikatakan

sah apabila salah satu pihak atau lebih tidak menandatangani akta tersebut selama

Notaris menyebutkan alasan pihak tersebut tidak menandatangani akta. Sedangkan

dalam akta partij penandatangan oleh para pihak merupakan suatu keharusan yang

menyatakan bahwa memang benar yang bersangkutan memberi keterangan

dihadapan Notaris. Apabila salah satu pihak/penghadap tidak menandatangani

100

Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 109.

101

Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Loc.Cit.

Page 107: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

107

akta tersebut maka hal ini berarti pihak tersebut tidak menyetujui isi perjanjian

tersebut, kecuali tidak menandatangani akta tersebut dikarenakan oleh

keterbatasan fisik, misalnya dikarenakan tidak bisa baca tulis, cacat, maupun sakit

maka pihak tersebut akan membubuhkan cap jempolnya dan Notaris menerangkan

alasan pembubuhan cap jempol tersebut dalam akhir akta.

Selain itu perbedaan kedua akta tersebut terletak pada pemberian

pembuktian sebaliknya (tegenbewijs) terhadap isi akta. Kebenaran isi akta pejabat

(ambtelijk akte) tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu

adalah palsu, sedangkan pada akta partij dapat digugat isinya, tanpa menuduh

bahwa akta tersebut akta palsu akan tetapi dengan jalan menyatakan bahwa

keterangan dari para pihak yang bersangkutan yang diuraikan dalam akta itu

adalah tidak benar, artinya terhadap keterangan yang diberikan itu diperkenalkan

pembuktian sebaliknya.102

Menurut Irawan Soerodjo, mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) unsur

essensialia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu di dalam

bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan di hadapan pejabat

umum dan akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang

untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.103

Pendapat di atas sesuai dengan

ketentuan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta otentik ialah suatu akta yang

di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan

102

GHS Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 53. 103

Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak atas Tanah di Indonesia,

Arkola, Surabaya, hal. 56.

Page 108: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

108

pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta

dibuatnya.

Akta di bawah tangan adalah akta yang cara pembuatan atau terjadinya

tidak dilakukan oleh dan atau di hadapan pejabat pegawai umum, tetapi hanya

oleh pihak-pihak yang berkepentingan saja. Akta di bawah tangan contohnya

adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan lain-

lain. Menurut Pasal 1857 KUHPerdata, jika akta di bawah tangan diakui oleh

orang terhadap siapa akta itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan

alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para

ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya. Selain itu akta

dibawah tangan merupakan akta yang dibuat serta ditanda tangani oleh para pihak

yang bersepakat dalam perikatan atau antara para pihak yang berkepentingan saja.

Pengertian dari akta di bawah tangan ini dapat diketahui dari beberapa

perundang-undangan sebagai berikut :

1 Pasal 101 ayat b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan

Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa akta di bawah tangan, yaitu surat

yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan

dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa

atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya

2 Pasal 1874 KUHPerdata, menyatakan bahwa yang dianggap sebagai

tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan,

surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang

dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

Page 109: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

109

Ciri-ciri akta dibawah tangan yaitu bentuknya yang bebas, pembuatannya tidak

harus di hadapan pejabat umum, tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama

tidak disangkal oleh pembuatnya dan dalam hal harus dibuktikan, maka

pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi dan bukti lainnya.

Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2

orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.

4.2 Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata yaitu suatu akta otentik

ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh

atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

Jadi syarat otentitas suatu dokumen yaitu dalam bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang, oleh atau dihadapan pejabat umum dan pejabat tersebut harus

berwenang di tempat akta dibuat. Menurut Pasal 285 Rbg, akta otentik yaitu yang

dibuat, dengan bentuk yang sesuai dengan undang-undang oleh atau di hadapan

pejabat umum yang berwenang di tempat akta itu dibuat, merupakan bukti

lengkap antara para pihak serta keturunannya dan mereka yang mendapatkan hak

tentang apa yang dimuat di dalamnya dan bahkan tentang suatu pernyataan

belaka, hal terakhir ini sepanjang pernyataan itu ada hubungan langsung dengan

apa yang menjadi pokok akta itu.

Pembuatan akta otentik yang menjadi dasar dalam pembuatannya yaitu

harus adanya keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para

pihak. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat

memberikan saran atau nasehat dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika

Page 110: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

110

saran atau nasehat Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta

otentik, maka tetap isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau

tindakan Notaris.

Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis

dari akta otentik, dalam hal ini tidak berarti pejabat umum dalam hal ini Notaris

sebagai pelaku dari akta tersebut, Notaris tetap berada di luar para pihak atau

bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan Notaris seperti itu, sehingga

jika suatu akta otentik dipermasalahkan, maka tetap kedudukan Notaris bukan

sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam

kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai tergugat atau turut tergugat dalam perkara

perdata. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan

Notaris, menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang.

Akta Notaris dibuat sesuai kehendak para pihak yang berkepentingan guna

memastikan atau menjamin hak dan kewajiban para pihak, kepastian, ketertiban

dan perlindungan hukum para pihak. Akta Notaris pada hakekatnya memuat

kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada

Notaris. Notaris berkewajiban untuk memasukkan dalam akta tentang apa yang

sungguh-sungguh telah dimengerti sesuai dengan kehendak para pihak dan

membacakan kepada para pihak tentang isi dari akta tersebut. Pernyataan atau

keterangan para pihak tersebut oleh Notaris dituangkan dalam akta Notaris.104

Akta otentik terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam undang-

undang, sehingga hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayanya pejabat

104

Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 45.

Page 111: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

111

tersebut, maka isi dari akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri.

Dengan kata lain dapatlah dianggap bahwa akta otentik itu dibuat sesuai dengan

kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya.

Pembuktian dalam hukum acara mempunyai arti yuridis berarti hanya berlaku

bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka dan

tujuan dari pembuktian ini adalah untuk memberi kepastian kepada hakim tentang

adanya suatu peristiwa-peristiwa tertentu. Maka pembuktian harus dilakukan oleh

para pihak dan siapa yang harus membuktikan atau yang disebut juga sebagai

beban pembuktian berdasarkan Pasal 163 HIR ditentukan bahwa barang siapa

yang menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan

untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang

itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Ini berarti dapat

ditarik kesimpulan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia yang harus

membuktikan.105

Alat-alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata antara lain

adalah bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan,

pengakuan dan sumpah. Menurut G.H.S. Lumban Tobing akta Notaris dapat

dibedakan atas 2 (dua) bentuk, yaitu:

a. Akta yang dibuat oleh (door enn) Notaris atau yang dinamakan akta relaas atau

akta pejabat (ambtelijke akten). Akta jenis ini di antaranya akta berita acara

105

Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi

Keempat, Liberty, Yogyakarta, hal. 121.

Page 112: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

112

rapat pemegang saham perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi

harta peninggalan dan akta berita acara penarikan undian.106

b. Akta yang dibuat di hadapan Notaris atau yang dinamakan akta partij (partij

akten). Akta jenis ini di antaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta

perjanjian kredit dan sebagainya.107

Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat para pihak

yang membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus

dipenuhi. Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya

perjanjian, ada syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang

mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap

bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat objektif yaitu

syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek

yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak yang terdiri dari suatu hal

tertentu dan sebab yang tidak dilarang.

Notaris dalam membuat akta harus memenuhi syarat-syarat yang telah

ditentukan dalam perundang-undangan. Pasal 1869 KUHPerdata menyatakan

bahwa suatu akta yang dibuat di hadapan pejabat yang tidak berwenang itu,

bukanlah suatu akta otentik melainkan hanya berlaku sebagai akta di bawah

tangan apabila para pihak telah menandatangani. Akta di bawah tangan dibuat

oleh para pihak yang berkepentingan tanpa bantuan dari seorang pejabat umum.

106

G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 51-52. 107

G.H.S. Lumban Tobing, Loc.Cit.

Page 113: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

113

Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna selama dibuat

menurut bentuk dan tata cara sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang

yaitu KUHPerdata, UUJN dan UU perubahan atas UUJN, jika ada prosedur yang

tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi dapat dibuktikan , maka akta

tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang

mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Jika sudah

berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan sepenuhnya

kepada hakim.

Akta Notaris sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian,

dalam hal ini ada 3 (tiga) nilai pembuktian, yaitu kekuatan pembuktian lahiriah

(uitwendige bewijskracht), kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht),

kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskrcht).108

Kekuatan pembuktian

lahiriah (uitwendige bewijskracht) adalah kemampuan lahiriah akta Notaris yang

merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya

sebagai akta otentik (acta publica probant seseipsa). Jika dilihat dari luar

(lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah

ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta

otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa

akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian

ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta Notaris. Parameter untuk

menentukan akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu tandatangan dari Notaris yang

bersangkutan, baik yang ada pada minuta akta dan salinan dan adanya awal akta

108

Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 26.

Page 114: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

114

(mulai dari judul) sampai dengan akhir akta. Menurut R. Soegondo kemampuan

lahiriah akta ialah syarat-syarat yang diperlukan agar supaya sesuatu akta Notaris

dapat berlaku sebagai akta otentik.109

Kekuatan pembuktian lahir ini merupakan kekuatan pembuktian yang

didasarkan atas keaadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta

publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lahirnya tampak sebagai

akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu

berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya.

Berarti suatu akta otentik mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya

sendiri sebagai akta otentik.

Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht) adalah akta Notaris

harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam

akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang

menghadap.110

Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus

dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan

ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap, membuktikan

ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang

dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan

ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang disampaikan di

hadapan Notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi, dan Notaris

ataupun ada prosedur pembuatan akta yang dilakukan. Dengan kata lain pihak

109

R. Soegondo, Op. Cit, hal. 55. 110

R. Soegondo, Loc.Cit.

Page 115: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

115

yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik

untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu

membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh

siapapun.111

Kekuatan pembuktian formal ini memberi arti bahwa akta otentik itu

dibuktikan mengenai apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah

benar merupakan uraian kehendak pihak-pihak. Akta otentik menjamin kebenaran

tanggal, tanda tangan, komparan, dan tempat akta dibuat. Dalam arti formil pula

akta Notaris membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu yang dilihat,

didengar dan dialami sendiri oleh Notaris sebagai Pejabat Umum dalam

menjalankan jabatannya. Akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan

pembuktian formil, terkecuali bila si penanda tangan dari surat/akta itu mengakui

kebenaran tanda tangannya.

Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht) menurut R.

Soegondo adalah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan

pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang

mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya

(tegenbewijs).112

Akta otentik itu tidak hanya membuktikan bahwa para pihak

sudah menerangkan bahwa apa yang ditulis pada akta tersebut, tetapi juga

menerangkan bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis adalah

benar-benar terjadi.

111

Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 27. 112

R. Soegondo, Op.Cit, hal. 56.

Page 116: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

116

Penafsiran yang demikian itu diambil dari Pasal 1871 KUHPerdata,

dimana disebutkan bahwa suatu akta otentik tidak hanya memberikan bukti yang

sempurna tentang sesuatu yang termuat didalamnya sebagai suatu penuturan

belaka, selainnya sekadar sesuatu yang dituturkan itu ada hubungannya langsung

dengan pokok isi akta, dari pasal tersebut diambilah mengenai segala sesuatu yang

menjadi pokok isi akta itu, yaitu segala sesuatu yang tegas dinyatakan oleh para

penandatanganan akta.

Akta otentik tidak hanya mempunyai kukuatan pembuktian formal, yaitu

bahwa benar para pihak sudah menerangkan sesuatu yang ditulis dalam akta

tersebut, tetapi juga mempunyai kekuatan pembuktian materiil, yaitu bahwa

sesuatu yang diterangkan tadi adalah benar, inilah yang dinamakan kekuatan

pembuktian mengikat, sehingga kekuatan pembuktian akta otentik adalah sah

karena merupakan bukti sempurna bagi para pihak, ahli waris dan orang-orang

yang mendapatkan hak dari padanya, bukti sempurna berarti bahwa kebenaran

dari isi akta tersebut harus diakui, tanpa ditambah dengan pembuktian yang lain,

sampai dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain. Dan merupakan bukti bebas bagi

pihak ketiga, bukti bebas artinya kebenaran dari isi akta diserahkan pada penilaian

hakim, jika dapat dibuktikan sebaliknya.

Pembuatan akta otentik oleh atau di hadapan Notaris diatur dalam Pasal 1

angka 7 UU perubahan atas UUJN, hal tersebut tidak berarti bahwa Notaris ikut

ambil bagian dalam perbuatan hukum yang mana dibuatkan akta olehnya, Notaris

tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak, Notaris tetap berada di luar para

pihak. Suatu saat apabila akta tersebut dipermasalahkan, maka Notaris dapat

Page 117: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

117

menempatkan posisinya dengan tidak ikut sebagai pembantu tergugat dalam

lingkup Hukum Perdata maupun membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum

Pidana.

Perkara pidana dan perdata terhadap akta otentik biasanya

dipermasalahkan dari aspek formalnya yaitu mengenai pukul/waktu, tanggal,

bulan dan tahun kapan para penghadap menghadap ke hadapan Notaris, mengenai

komparisi, identitas para penghadap termasuk juga kewenangan para pihak dalam

bertindak, mengenai tanda tangan para penghadap, mengenai salinan akta yang

tidak sesuai dengan minuta akta, mengenai salinan akta ada tapi minuta akta tidak

ada, hal ini berkaitan dengan penyimpanan minuta akta yang seharusnya tertata

rapi, dan mengenai minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi salinan

akta malah dikeluarkan.

Hal-hal tersebut biasanya yang menjadi perhatian dalam pembuatan akta

otentik oleh Notaris, oleh karena itu Notaris harus berpedoman kepada UUJN dan

UU perubahan atas UUJN, jangan sampai melenceng jauh dari UUJN dan UU

perubahan atas UUJN atau bahkan tidak berpedoman kepada UUJN dan UU

perubahan atas UUJN dalam pembuatan akta otentik. Hal yang sangat penting

diperhatikan yaitu mengenai komparisi akta, harus sesuai apakah para pihak

tersebut berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dalam akta atau tidak.

Sedangkan bila dilihat dari sudut pandang Hukum Pidana yang berkaitan dengan

aspek formal pembuatan akta otentik oleh Notaris, pihak penyidik, penuntut

umum dan hakim akan memasukkan Notaris telah melakukan tindakan hukum :

Page 118: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

118

1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang

dipalsukan (Pasal 163 ayat (1), (2) KUHP)

2. Melakukan pemalsuan (Pasal 264 KUHP)

3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266

KUHP)

4. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan (Pasal 55

Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP)

5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan

surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 263 ayat

(1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP.113

Jika kemudian ternyata terbukti bahwa yang menghadap Notaris tersebut

bukan orang yang sebenarnya atau orang yang mengaku asli, tapi orang yang

sebenarnya tidak pernah menghadap Notaris, sehingga menimbulkan kerugian

orang yang sebenarnya, maka dalam hal ini Notaris tidak bisa disalahkan karena

unsur kesalahannya tidak ada, dan Notaris telah melaksanakan tugas jabatan

sesuai aturan hukum yang berlaku, sesuai asas tiada hukum tanpa kesalahan, dan

tiada kesalahan yang dilakukan oleh Notaris yang bersangkutan, maka Notaris

tersebut harus dilepas dari segala tuntutan.

Kehendak penghadap yang tertuang dalam akta secara meteriil merupakan

kehendak atau keinginan para pihak sendiri, bukan kehendak Notaris, dan tugas

Notaris hanya memberi saran saja, kalaupun kemudian saran tersebut diikuti dan

dituangkan dalam akta, hal tersebut tetap merupakan keinginan atau kehendal

penghadap sendiri. Jika penghadap mendalilkan bahwa akta Notaris yang berisi

keterangan atau perkataannya di hadapan Notaris, tidak dikehendaki oleh

penghadap, kemudian penghadap mengajukan gugatan dengan gugatan untuk

113

Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 136.

Page 119: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

119

membatalkan akta tersebut. Sehingga hal tersebut harus dapat dibuktikan bahwa

akta dibuat dalam keadaan terpaksa, kekhilafan atau penipuan, jika tidak dapat

dibuktikan maka gugatan seperti itu ditolak, karena semua prosedur untuk dalam

pembuatan akta telah dilakukan oleh Notaris bersangkutan. Jika secara materiil isi

akta tidak sesuai dengan keinginan penghadap, sehingga dapat diajukan gugatan

ke pengadilan, dengan kewajiban untuk membuktikan dalil gugatannya.

Dalam gugatan untuk menyatakan akta Notaris tersebut tidak sah, maka

harus dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materiil akta

Notaris. Jika tidak dapat dibuktikan maka akta yang bersangkutan tetap sah dan

mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut.

Penilaian terhadap akta Notaris harus dilakukan dengan asas praduga sah,

berdasarkan asas ini bahwa suatu keputusan Tata Usaha Negara harus dianggap

sah selama belum dibuktikan sebaliknya, sehingga pada prinsipnya harus selalu

dapat segera dilaksanakan. Fungsi dan kedudukan dari akta Notaris sebagai akta

otentik yang mempunyai kekuatan istimewa sebagai alat bukti, kekuatan

pembuktian akta otentik demikian juga (termasuk di dalamnya) akta Notaris

adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-

undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari

tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orang-

orang tertentu. Dalam pemberian tugas inilah terletak tanda kepercayaan kepada

Page 120: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

120

pejabat dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang dibuat oleh

mereka.114

Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris

sebagai akta otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan

dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak

benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian

sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasi kekuatan

pembuktiannya menjadi akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta

di bawah tangan.

Akta otentik yang dibuat oleh Notaris dalam hal ini dapat dikatakan

memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna selama dibuat menurut bentuk dan

tata cara sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang yaitu KUHPerdata

dan UUJN, jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak

dipenuhi dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat

dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta

dibawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya

diserahkan sepenuhnya kepada hakim.

Mengacu pada penjelasan diatas artinya bahwa syarat akta Notaris sebagai

akta otentik adalah harus dibuat dengan tata cara maupun prosedur sebagaimana

yang ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang

114

G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 63.

Page 121: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

121

berwenang untuk di wilayah kedudukannya. Adapun Irawan Soerodjo

mengemukakan bahwa ada tiga unsur syarat formal suatu akta otentik : 115

1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang

2. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum

3. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang

untuk itu dan di tempat di mana akta itu dibuat.

Mengenai pembuatan akta Notaris oleh atau di hadapan Notaris diatur

dalam Pasal 1 angka 7 UU perubahan atas UUJN, hal tersebut tidak berarti bahwa

Notaris ikut ambil bagian dalam perbuatan hukum yang mana dibuatkan akta

olehnya, Notaris tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak, Notaris tetap

berada di luar para pihak. Suatu saat apabila akta tersebut dipermasalahkan, maka

Notaris dapat menempatkan posisinya dengan tidak ikut sebagai pembantu

tergugat dalam lingkup Hukum Perdata maupun membantu para pihak dalam

kualifikasi Hukum Pidana.

Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat penulis katakan bahwa akta

Notaris adalah memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, dibuat oleh atau di

hadapan Notaris, mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan

dibuat berdasarkan ketentuan dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia

serta memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam UUJN

sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai

kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat

dibuktikan ketidakbenarannya. Dengan demikian barang siapa yang menyatakan

115

Irawan Soerodjo, Op.Cit, hal. 148.

Page 122: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

122

bahwa suatu akta otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan

akta itu. Apabila suatu akta otentik ternyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian

lahir, formil maupun materil dan tidak memenuhi syarat otentisitas maka akta

otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta di bawah

tangan.

4.3 Akibat Hukum terhadap Akta Notaris Yang Dibuat Oleh Notaris Secara

Melawan Hukum.

Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian dari kekuasan

negara di bidang Hukum Perdata terutama untuk membuat alat bukti otentik (akta

Notaris). Dalam pembuatan akta Notaris baik dalam bentuk partij akta maupun

relaas akta, Notaris bertanggungjawab supaya setiap akta yang dibuatnya

mempunyai sifat otentik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868

KUHPerdata. Kewajiban Notaris untuk dapat mengetahui peraturan hukum yang

berlaku di Negara Indonesia juga serta untuk mengetahui hukum apa yang berlaku

terhadap para pihak yang datang kepada Notaris untuk membuat akta. Hal tersebut

sangat penting agar supaya akta yang dibuat oleh Notaris tersebut memiliki

otentisitasnya sebagai akta otentik karena sebagai alat bukti yang sempurna.

Namun dapat saja Notaris melakukan suatu kesalahan dalam pembuatan akta.

Kesalahan-kesalahan yang mungkin dapat terjadi, yaitu :

a. Kesalahan ketik pada salinan Notaris, dalam hal ini kesalahan tersebut

dapat diperbaiki dengan membuat salinan baru yang sama dengan yang

asli dan hanya salinan yang sama dengan yang asli baru mempunyai

kekuatan sama seperti akta asli.

b. Kesalahan bentuk akta Notaris, dalam hal ini dimana seharusnya dibuat

berita acara rapat tapi oleh Notaris dibuat sebagai pernyataan keputusan

rapat.

Page 123: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

123

c. Kesalahan isi akta Notaris, dalam hal ini mengenai keterangan dari para

pihak yang menghadap Notaris, di mana saat pembuatan akta dianggap

benar tapi ternyata kemudian tidak benar116

Apabila ada akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau yang

berkepentingan, maka untuk menyelesaikannya harus didasarkan pada kebatalan

dan pembatalan akta Notaris sebagai suatu alat bukti yang sempurna. Kesalahan-

kesalahan yang terjadi pada akta-akta yang dibuat oleh Notaris akan dikoreksi

oleh hakim pada saat akta Notaris tersebut diajukan ke pengadilan sebagai alat

bukti.

Menurut George Whitecross Patton117

alat bukti tersebut dapat berupa oral

(words spoken by a witness in court) dan documentary (the production of a

admissible documents) atau material (the production of a physical res other

document). Alat bukti sah atau yang diterima dalam suatu perkara (perdata), pada

dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan saksi-saksi, pengakuan,

sumpah, dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang mempunyai nilai

pembuktian. Dalam perkembangan alat bukti sekarang ini (untuk perkara pidana

dan perdata) telah diterima juga alat bukti elektronik atau yang terekam atau yang

disimpan secara elektronis sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan

pengadilan. Dalam kaitan ini perlu diberi penekanan dan penjelasan terdap alat

bukti tertulis dapat berupa tulisan yang mempunyai nilai pembuktian. Secara

tertulis tersebut dapat berupa surat (secara umum) dan surat dalam bentuk tertentu

116Mudofir Hadi, 1991, Varia Peradilan Tahun VI Nomor 72, Pembatalan

Isi Akta Notaris Dengan Putusan Hakim, hal. 142-143. 117

George Whitecross Patton, 1953, A Text-Book af Jurisprudence, Oxford

at the Clarendon Press, second editon, hal. 481.

Page 124: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

124

serta tata cara pembuatan dengan pejabat yang ditunjuk oleh peraturan

perundang-undangan.

Kewenangan dari hakim untuk menyatakan suatu akta Notaris tersebut

batal demi hukum, dapat dibatalkan atau akta Notaris tersebut dinyatakan tidak

mempunyai kekuatan hukum. Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris

terhadap ketentuan-ketentuan pasal-pasal dalam UU perubahan atas UUJN, yang

menyebabkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di

bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, maka pihak yang merugikan

dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga pada Notaris. Dalam hal

suatu akta Notaris dibatalkan oleh putusan hakim di pengadilan, maka jika

menimbulkan kerugian bagi para pihak yang berkepentingan, Notaris dapat

dituntut untuk memberikan ganti rugi, sepanjang hal tersebut terjadi disebabkan

oleh karena kesalahan Notaris. Namun dalam hal pembatalan akta Notaris oleh

pengadilan dengan alasan bukan merupakan kesalahan Notaris, maka para pihak

yang berkepentingan tidak dapat menuntut Notaris untuk memberikan ganti rugi.

Seorang Notaris baru dapat dikatakan bebas dari pertanggungjawaban

hukum apabila akta otentik yang dibuatnya dan atau dibuat dihadapannya telah

memenuhi syarat formil. Akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta otentik pada dasarnya terjadinya

suatu perkara dimana pejabat umum telah mencari-cari keuntungan serta

menyalahgunakan kewenangan yang telah diatur dalam UUJN dan UU perubahan

atas UUJN dan seorang klien atau penghadap lainnya merasa dirugikan atas

terbuatnya suatu akta yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum yang

Page 125: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

125

dilakukan oleh Notaris, sehingga berakibat akta otentik yang dibuat oleh Notaris

dapat menjadi batal atau dapat dibatalkan.

Mengenai pembatalan akta adalah menjadi kewenangan hakim perdata,

yakni dengan mengajukan gugatan secara perdata kepengadilan. Apabila dalam

persidangan dimintakan pembatalan akta oleh pihak yang dirugikan (pihak

korban) maka akta Notaris tersebut dapat dibatalkan oleh hakim perdata jika ada

bukti lawan. Sebagaimana diketahui bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang

merupakan alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian yang

mengikat dan sempurna. Ini berarti bahwa masih dimungkinkan dapat

dilumpuhkan oleh bukti lawan yakni diajukannya gugatan untuk menuntut

pembatalan akta ke pengadilan agar akta tersebut dibatalkan.

Pembatalan menimbulkan keadaan tidak pasti, oleh karena itu undang-

undang memberikan waktu terbatas dalam hal menuntut dimana oleh undang-

undang dapat dilakukan pembatalan apabila hendak melindungi seseorang

terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian dalam suatu putusan oleh hakim

perdata selama tidak dimintakan pembatalan maka perbuatan hukum/perjanjian

yang tercantum dalam akta tersebut akan tetap berlaku atau sah. Setelah adanya

putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap atas gugatan penuntutan

pembatalan akta tersebut maka akta itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum

sebagai alat bukti yang otentik karena mengandung cacat secara yuridis/cacat

hukum, maka dalam amar putusan hakim perdata akan menyatakan bahwa akta

tersebut batal demi hukum. Dan berlakunya pembatalan akta tersebut adalah

berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/perjanjian itu dibuat.

Page 126: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

126

Hukum perjanjian memuat adanya akibat hukum tertentu jika syarat

subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi,

maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh

orang-orang tertentu atau yang berkepentingan. Pembatalan karena ada

permintaan dari pihak yang berkepentingan, seperti orang tua, wali atau

pengampu disebut pembatalan yang relatif atau tidak mutlak. Pembatalan relatif

ini dibagi 2 (dua) yaitu pembatalan atas kekuatan sendiri, maka atas permintaan

orang tertentu dengan mengajukan gugatan atau perlawanan, agar hakim

menyatakan batal (nietig verklaard) suatu perjanjian. Contohnya jika tidak

dipenuhi syarat subjektif (Pasal 1446 KUHPerdata) dan pembatalan oleh hakim,

dengan putusan membatalkan suatu perjanjian dengan mengajukan gugatan.

Contohnya Pasal 1449 KUHPerdata.118

Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancaman untuk dibatalkan oleh

para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar

ancaman seperti itu tidak terjadi, maka dapat dimintakan penegasan dari mereka

yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat

para pihak. Jika syarat suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat

karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka persetujuan tersebut tidak

mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUHPerdata). Jika tidak dinyatakan suatu

sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab

lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah (Pasal 1336

118

Wirjono Prodjodikoro, 1989, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur

Bandung, hal. 121.

Page 127: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

127

KUHPerdata), objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (nietig),

tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap

tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun.

Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi, jika suatu perjanjian yang

dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk perbuatan

hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan atau berlawanan

dengan kesusilaan atau ketertiban umum, karena perjanjian sudah dianggap tidak

ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling menuntut atau

menggugat dengan cara dan bentuk apapun.119

Misalnya jika suatu perjanjian

wajib dibuat dengan akta (Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tapi

ternyata tidak dilakukan, maka perbuatan hukum atau perjanjian tersebut batal

demi hukum.

Pembatalan terhadap suatu akta otentik dapat juga dilakukan oleh Notaris

apabila para pihak/penghadap menyadari adanya kekeliruan atau kesalahan yang

telah dituangkan dalam akta tersebut. Sehingga dapat membuat keraguan terhadap

kesepakatan/perjanjian dari para pihak/penghadap, maka akta tersebut dapat

dibatalkan oleh Notaris. Bilamana Notaris terseret dalam perkara pemalsuan akta

yang menjadi aktor intelektualnya atau Notaris turut serta ikut melakukan

pemalsuan surat yang bisa dikategorikan dalam perbuatan tindak pidana tersebut

maka secara yuridis tidak dapat ditolelir bukan hanya berdasarkan ketentuan

pidana saja, tetapi juga oleh peraturan dalam KUHPerdata serta UUJN dan

undang-undang perubahannya.

119

R. Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 22.

Page 128: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

128

Kasus Notaris berkaitan dengan akta otentik yang dibuatnya dan aktanya

menimbulkan perkara perdata atau pidana maka aktanya batal demi hukum karena

kita melihat dari sisi syarat sah perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 yang

berisi kesepakatan para pihak, kecakapan bertindak, adanya suatu hal tertentu

yang diperjanjikan dan adanya suatu sebab yang halal terhadap perjanjian

tersebut. Jika suatu akta menimbulkan suatu pidana maka persyaratan perjanjian

dilihat unsur-unsur perjanjian yang terkandung didalamnya. Para ahli hukum

seperti Sudikno Mertokusuno, Mariam Darus, dan J.J. Satrio bersepakat bahwa

unsur-unsur perjanjian itu terdiri dari unsur esensialia, unsur naturalia, dan unsur

aksidentalia.120

Unsur pertama lazim disebut dengan bagian inti perjanjian, unsur kedua

dan ketiga disebut bagian non inti perjanjian. Unsur esensialia adalah unsur yang

mutlak harus ada untuk terjadinya perjanjian, agar penjanjian itu sah dan ini

merupakan syarat sahnya perjanjian. Jadi keempat syarat dalam Pasal 1320

KUHPerdata merupakan unsur esensialia perjanjian. Dengan kata lain, sifat

esensialia perjanjian adalah sifat yang menentukan perjanjian itu tercipta

(constructieve oordeel).

Unsur naturalia adalah unsur yang lazim melekat pada perjanjian, yaitu

unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam

dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian. Unsur ini merupakan sifat

bawaan (natuur) atau melekat pada perjanjian. Misalnya penjual harus menjamin

120

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari

Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 84.

Page 129: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

129

cacat-cacat tersembunyi kepada pembeli. Sedangkan unsur aksidentalia, artinya

unsur yang harus dimuat atau dinyatakan secara tegas di dalam perjanjian oleh

para pihak. Misalnya jika terjadi perselisihan, para pihak telah menentukan tempat

yang dipilih.

Untuk membuktikan suatu akta tersebut sah atau tidak sah dalam

penelitian ini, digunakan asas praduga sah. Asas praduga sah (Vermoeden van

Rechtmatigheid) atau Presumptio Iustae Causa adalah asas yang menganggap sah

suatu produk hukum sebelum adanya putusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum tetap yang menyatakan tidak sah. Dengan adanya asas ini maka

akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus dianggap sah dan mengikat para pihak

sebelum dapat dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materil

akta otentik tersebut. Dalam ketentuan yang tersebut dalam Pasal 41 UU

perubahan atas UUJN yang menyatakan jika Notaris melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 mengakibatkan

akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka

akta Notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah

tangan, namun apabila para pihak dapat membuktikan ketidakbenaran akta otentik

tesebut dalam persidangan di pengadilan dan mengakibatkan akta tersebut dapat

dibatalkan serta kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan tidak akan

berlaku lagi. Karena asas praduga sah ini berkaitan dengan akta yang dapat

dibatalkan, merupakan suatu tindakan mengandung cacat yaitu tidak

berwenangnya Notaris untuk membuat akta secara lahiriah, formal, materiil dan

tidak sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta Notaris.

Page 130: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

130

Akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh Notaris secara

melawan hukum sehingga menyebabkan akta otentik menjadi akta dibawah

tangan serta akta tersebut dapat dibatalkan telah sejalan dengan teori kewenangan

dan konsep perlindungan hukum. Seperti dikemukakan dalam teori kewenangan,

Notaris dalam membuat akta otentik termasuk dalam kewenangan secara atribusi,

berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU perubahan atas UUJN. Terjadinya

suatu akibat hukum yaitu berupa akta otentik menjadi akta dibawah tangan dan

akta tersebut dibatalkan diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang yang

dilakukan oleh Notaris, dimana Notaris dalam menjalakan wewenangnya telah

melanggar ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian bagi

para pihak dan mengakibatkan berubahnya kekuatan pembuktian akta dan adanya

pembatalan akta otentik tersebut oleh pengadilan.

Akibat hukum ini juga telah sejalan dengan konsep perlindungan hukum

yang dikemukan Satijipto Raharjo yang menjelaskan bahwa perlindungan hukum

memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan

orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat

menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Serta bahwa perlindungan

hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial,

ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Sesuai dengan pengertian

konsep perlindungan hukum yang dikemukan oleh para sarjana maka akibat

hukum berupa pembatalan akta otentik dapat melindungi para pihak yang merasa

dirugikan oleh perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam proses

pembuatan akta otentik.

Page 131: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

131

Adapun kedudukan akta Notaris dapat dibagi menjadi 5 macam yaitu dapat

dibatalkan, batal demi hukum, mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta

dibawah tangan, dibatalkan oleh para pihak sendiri dan dibatalkan oleh putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena penerapan asas

praduga sah. Kelima kedudukan akta Notaris tersebut tidak dapat dilakukan secara

bersama-sama, tetapi hanya berlaku satu saja. Jika akta Notaris diajukan

pembatalan oleh pihak yang berkepentingan kepada pengadilan umum (Negeri)

dan telah ada putusan pengadilan umum yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap atau akta Notaris mempunyai kududukan pembuktian sebagai akta dibawah

tangan atau akta Notaris batal demi hukum, atau akta Notaris dibatalkan oleh para

pihak sendiri dengan akta Notaris lagi, maka pembatalan akta Notaris yang

lainnya tidak berlaku.

Akibat hukum terhadap terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang

Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah hilangnya

keotentikkan akta tersebut dan menjadi akta dibawah tangan sesuai dengan

ketentuan Pasal 41 UU perubahan atas UUJN serta akta otentik tersebut dapat

dibatalkan apabila pihak yang mendalilkan dapat membuktikannya dalam

persidangan di pengadilan, karena pembuatan suatu akta otentik harus memuat

ketiga unsur tersebut di atas (lahiriah, formil dan materiil) atau salah satu unsur

tersebut tidak benar dan menimbulkan perkara pidana atau perdata yang kemudian

dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Sehingga dalam menjalankan jabatanya

seorang Notaris harus tunduk pada ketentuan undang-undang dan akta tersebut

dibuat oleh dan dihadapan Notaris sesuai dengan prosedur dan tata cara

Page 132: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

132

pembuatan akta otentik agar keotentikannya tidak menjadi akta di bawah tangan

atau akta tidak sampai dibatalkan.

Page 133: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

133

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dengan

pokok permasalahan yang telah dirumuskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut bahwa:

1. Bentuk pertangggungjawaban terhadap Notaris yang melakukan perbuatan

melawan hukum dalam pembuatan akta otentik adalah seorang Notaris dapat

dikenakan pertanggungjawaban secara perdata berupa sanksi untuk

melakukan penggantian biaya atau ganti rugi kepada pihak yang dirugikan

atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris.

Pertanggungjawaban secara administrasi berupa pemberian sanksi teguran

lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan

hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat sebagai seorang Notaris.

Pertanggungjawaban terhadap kode etik profesi Notaris berupa pemberian

sanksi teguran, peringatan, pemecatan sementara (schorsing), pemecatan

(Onzetting) dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan

perkumpulan. Sedangkan pertanggungjawaban secara pidana seorang dapat

berupa pemberian sanksi pidana penjara atau kurungan atas perbuatan

melawan hukum yang dilakukannya. Hal-hal tersebut berdasarkan temuan-

Page 134: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

134

temuan dalam yurisprudensi mengenai pertanggungjawaban terhadap Notaris

yang melakukan perbuatan melawan hukum.

2. Akibat hukum terhadap terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang

Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah hilangnya

keotentikkan akta tersebut dan menjadi akta dibawah tangan serta akta otentik

tersebut dapat dibatalkan apabila pihak yang mendalilkan dapat

membuktikannya dalam persidangan di pengadilan, karena pembuatan suatu

akta otentik harus memuat tiga unsur yaitu lahiriah, formal dan materiil atau

salah satu unsur tersebut tidak benar dan menimbulkan perkara pidana atau

perdata yang kemudian dapat dibuktikan ketidakbenarannya.

5.2 Saran

Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan di atas

terhadap pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan

hukum dalam pembuatan akta otentik adalah sebagai berikut :

1 Agar seorang Notaris dan para pihak terhindarkan dari segala resiko baik

berupa sanksi maupun pembatalan akta otentik dalam proses pembuatan akta

otentik dihadapan Notaris maka Notaris dan para pihak harus memiliki sifat

kehati-hatian, lebih teliti dan memiliki itikad baik dalam pembuatan akta

otentik serta mematuhi ketentuan hukum yang berlaku dan berlandaskan pada

moral dan etika.

2 Agar pemerintah selaku lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) selaku lembaga legislatif merekontruksi kembali pengaturan dalam

UUJN dan UU perubahan atas UUJN mengenai tidak adanya komulasi atau

Page 135: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

135

penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang

Notaris, karena pengaturan komulasi atau penggabungan penerapan sanksi ini

tentunya akan lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para

pihak yang dirugikan oleh perbuatan melawan hukum seorang Notaris.

Page 136: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

136

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Adjie, Habib, 2008, Hukum Notariat di Indonesia-Tafsiran Tematik Terhadap UU

No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung.

Alfons, Maria, 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-

produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual,

Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang.

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Andasasmita, Komar, 1981, Notaris Dengan Sejarah, Peranan, Tugas Kewajiban,

Rahasia Jabatannya, Sumur, Bandung.

Atmasasmita, Romli, 1989, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan

Pertama Yayasan LBH, Jakarta.

Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1. Stelsel Pidana,

Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja

Grafindo, Jakarta.

Chomzah, Achmad Ali, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid 1,

Prestasi Pustakaraya, Jakarta.

Ferry, Ahmad Nindra, 2002, Efektifitas Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan

Kejahatan Psikotropika di Kota Makassar, Perpustakaan Unhas, Makassar.

Hadjon, Phillipus M., 1987, Perlindungan hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT.

Bina Ilmu, Surabaya.

Hartono, Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,

Alumni, Bandung.

Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang,

Noymedia Publishing, Malang.

Kanter E.Y, 2001, Etika Profesi Hukum Sebuah Pendekatan Religius, Storia

Grafika, Jakarta.

Kie, Tan Thong, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT.Ichtiar

Baru Van Hoeve, Jakarta.

Page 137: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

137

Koeswadji, Hermien Hadiati, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam

Rangka Pembangunan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kusumawati, Lanny, 2006, Tanggung jawab Jabatan Notaris, Refika Aditama,

Bandung.

Kusumaatmadja, Mochtar, 2002, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,

Alumni, Bandung.

Matome, M. Ratiba, 2013, Convecaying Law for Paralegals and Law Students,

bookboon.com,

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari

Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Morris, L. Cohen dan Kent C. Olson, 2000, Legal Resarch In A Nutshell, Seventh,

Edition, ST. Paul, Minn, West Group.

Patton, George Whitecross, 1953, A Text-Book af Jurisprudence, Oxford at the

Clarendon Press, second editon.

Priyatno, Dwidja, 2004, Kebijakan Legislasi tentang Sistem

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Utomo,

Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono, 1973, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung.

Saleh, Roeslan, 1983, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungan Jawab Pidana,

Cetakan Pertama Ghalia Indo, Jakarta.

Salim HS. H. dan H. Abdullah, 2007, Perancangan Kontrak dan MOU, Sinar

Grafika, Jakarta.

Satrio, 1999, Hukum Perikatan : Perikatan pada Umumnya, Alumni, Badung.

Setiawan, Rachmat, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum,

Alumni, Bandung.

Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris

Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung.

Page 138: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

138

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

_______, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Soesanto, R., 1982, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris,

Pradnya Paramita, Jakarta.

Solly, M. Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung.

Stroink, F.A.M dan Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi

dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Raharjo, Satijipto, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rasjidi, Lili dan I.B Wysa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja

Rusdakarya, Bandung.

Rianto, Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta.

Rubaie, Achmad, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.

Bayumedia, Malang.

Tahir, Azhary, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta.

Tanya, Bernard L. et.al., 2006, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas

Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya.

Tedjosaputro, Liliana, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu,

Semarang

Ten Berge, J.B.J.M, 1996, Besturen Door de Overheid, W.E.J. Tjeenk Qillink,

Deventer.

Tobing, G.H.S. Lumban, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta.

Triwulan, Tutik, 2006, Pengantar Hukum perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka

Publisher, Jakarta.

Usman, Rachmadi, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta.

Page 139: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

139

Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,

Jakarta.

Widyadharma, Ignatius Ridwan, 1996, Etika Profesi Hukum, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang.

Widjojanto, Bambang, 2005, Etika Profesi Suatu Kajian dan Beberapa Masalah

Pokok, Makalah disampaikan pada Pendidikan Khusus Profesi Advokat

Angkatan I, Depok.

Wijk, H.D Van dan Willem Konijnenbelt, 1990, Hoolfdstukken van Adminstratief

Recht, Uitgeverij Lemma BW, Utrecht.

Yudha, Hernoko Agus, 2008, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam

Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta.

II. ARTIKEL

Majalah Berita Bulanan Notaris/PPAT, 2006, Jurnal Renvoi, edisi

No.32/Th.III/Januari 2006, PT. Jurnal Renvoi Mediatama, Jakarta.

Majalah Renvoi, 2010, Jurnal Renvoi Mediatama, edisi delapan puluh dua Maret,

PT. Jurnal Renvoi Mediatama, Jakarta.

Blackgank Ar’oNe, diakses pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 18.50, Atribusi,

Kewenangan, Delegasi, Mandat, http : //arwanblack74.blogspot.com

Davis Ralph C, di akses pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 19.15, Wewenang,

Delegasi, Sentralisasi, Desentralisasi, http : //wahyu410.wordpress.com.

III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Acara Pidana,

PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Rhedbook Publisher, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran

Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 117.

Page 140: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

140

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang

Nomor 30 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

Nomor 3.

Kode Etik Notaris oleh Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) ditetapkan di Bandung

pada tanggal 27 Januari 2005.