bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah. bab i.pdf · hukumnya.6 sebagai batasan agar jabatan...

40
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lembaga Kenotariatan adalah salah satu lembaga kemasyarakatan yang ada di Indonesia, lembaga ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia yang menghendaki adanya suatu alat bukti mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan atau terjadi diantara mereka. 1 Terkait dengan hal ini semakin banyak kebutuhan akan jasa Notaris. Notaris sebagai abdi masyarakat mempunyai tugas melayani masyarakat dalam bidang perdata, khususnya dalam hal pembuatan akta otentik. Seperti yang dimaksud dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jo Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut Undang-Undang Jabatan Notaris), dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa : “Akta Otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.” Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa : “Akta Notaris yang selanjutnya disebut akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.” 1 G.H.S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal. 2.

Upload: others

Post on 17-Jan-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Lembaga Kenotariatan adalah salah satu lembaga kemasyarakatan yang

ada di Indonesia, lembaga ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama

manusia yang menghendaki adanya suatu alat bukti mengenai hubungan hukum

keperdataan yang ada dan atau terjadi diantara mereka.1 Terkait dengan hal ini

semakin banyak kebutuhan akan jasa Notaris. Notaris sebagai abdi masyarakat

mempunyai tugas melayani masyarakat dalam bidang perdata, khususnya dalam

hal pembuatan akta otentik. Seperti yang dimaksud dalam pasal 1868 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata jo Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut Undang-Undang Jabatan

Notaris), dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan

bahwa :

“Akta Otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang

berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.”

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa :

“Akta Notaris yang selanjutnya disebut akta otentik yang dibuat oleh atau

dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam

undang-undang ini.”

1 G.H.S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga,

Jakarta, hal. 2.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

2

Fungsi dan peran Notaris dalam gerak pembangunan nasional yang

semakin kompleks dewasa ini tentunya makin luas dan makin berkembang, sebab

kelancaran dan kepastian hukum yang dijalankan oleh semua pihak makin banyak

dan luas, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hukum

yang dihasilkan oleh Notaris. Pemerintah dan masyarakat luas tentunya

mempunyai harapan agar pelayanan jasa yang diberikan oleh Notaris kepadanya

benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat dipertanggungjawabkan.2

Notaris mempunyai peran serta dalam aktivitas menjalankan profesi

hukum yang tidak dapat dilepaskan dari persoalan-persoalan mendasar yang

berkaitan dengan fungsi serta peranan hukum itu sendiri, dimana hukum diartikan

sebagai kaidah-kaidah yang mengatur segala kehidupan masyarakat.3 Tanggung

jawab Notaris yang berkaitan dengan profesi hukum tidak dapat dilepaskan pada

pendapat bahwa dalam melaksanakan jabatannya tidak dapat dilepaskan dari

keagungan hukum itu sendiri, sehingga Notaris diharapkan bertindak untuk

merefleksikannya didalam pelayanannya kepada masyarakat.4

Seorang Notaris agar benar-benar menjalankan kewenangannya, Notaris

harus senantiasa melakukan tugas jabatannya menurut hukum yang tertinggi

dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak memihak. Notaris dalam

menjalankan kewenangannya tidak boleh mempertimbangkan keuntungan pribadi,

Notaris hanya boleh memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan

kebenarannya, Notaris wajib bersikap tulus ikhlas terhadap klien dan

2 Suharwadi K. Lubis, 1994, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,

hal.35-36. 3 Ibid.

4 Wiratni Ahmadi, 2000, ”Pendidikan Magister Kenotariatan”, Makalah

disampaikan pada pengenalan pendidikan Magister Kenotariatan Universitas

Padjadjaran, Bandung, hal. 1-2

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

3

mempergunakan segala sumber keilmuwannya, apabila Notaris yang

bersangkutan tidak menguasai bidang hukum tertentu dalam pembuatan akta,

maka ia wajib berkonsultasi dengan rekan lain yang mempunyai keahlian dalam

masalah yang sedang dihadapi, disamping itu Notaris juga wajib merahasiakan

segala sesuatu yang diketahuinya tentang masalah klien karena kepercayaan yang

telah diberikan kepadanya.5

Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan

hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak

berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang

pejabat (Notaris) melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan,

dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum, seperti yang dimaksud

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada

seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Wewenang Notaris diatur dalam Pasal 15 menyebutkan :

(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang

berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin

kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan

grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan

Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain

atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris

berwenang pula:

5 Marisco A. Umbas, 2013, “Pelaksanaan Pengawasan terhadap Tugas dan

Fungsi Notaris,” Lex Privatum, Vol.I, No.4, hal. 68. 6 Philipus M. Hadjon dan Tatik Sri Djatmiati, 1997, Tentang Wewenang,

Penerbit Yuridika, Surabaya, hal. 1.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

4

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat

di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku

khusus;

c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat

yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan

Akta;

f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. membuat Akta risalah lelang.

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Pasal 15 ayat (1) dan (2) tersebut di atas mengatur tentang Wewenang

Notaris, sedangkan dalam Pasal 15 ayat (3)-nya merupakan wewenang yang akan

ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang (ius

constituendum).

Mengingat peranan dan kewenangan Notaris yang sangat penting bagi lalu

lintas hukum dalam kehidupan bermasyarakat, maka perilaku dan tindakan

Notaris dalam menjalankan fungsi kewenangan, rentan terhadap penyalahgunaan

yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat, sehingga lembaga pembinaan

dan pengawasan terhadap Notaris perlu diefektifkan. Ketentuan yang mengatur

tentang pengawasan bagi Notaris diatur dalam Bab IX Pasal 67 sampai dengan

Pasal 81 Undang-Undang Jabatan Notaris dan Keputusan Menteri Hukum dan

Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004

tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris sebagai peraturan

pelaksanaannya. Ketentuan-ketentuan ini merupakan salah satu upaya untuk

mengantisipasi kelemahan dan kekurangan dalam sistem pengawasan terhadap

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

5

Notaris, sehingga diharapkan dalam menjalankan profesi jabatannya, Notaris

dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.7

Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak menutup kemungkinan

bersinggungan dengan permasalahan hukum pidana yang melibatkan seorang

Notaris. Hal ini bisa terjadi pada waktu notaris diminta untuk membuat akta oleh

seorang client. Akta yang diminta ini mengandung suatu perbuatan pidana yang

tidak disadari atau dilakukan dengan sengaja oleh Notaris dan Client yang

bersangkutan tidak menerangkan kepada Notaris. Meskipun demikian, notaris

harus bertanggungjawab atas akta yang dibuatnya tersebut. Jika notaris tidak

menyadari bahwa akta yang dibuatnya mengandung unsur pidana, maka notaris

yang bersangkutan akan dipanggil sebagai saksi.

Dasar hukum pemanggilan terhadap Notaris tertuang dalam Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris Pasal 66, yaitu :

(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau

hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang:

(a) mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang

dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam

penyimpanan Notaris; dan

(b) memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang

berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam

penyimpanan Notaris.

(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.

(3) Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)

hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban

menerima atau menolak permintaan persetujuan.

(4) Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban

dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis

kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.

7 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis

Pengawas Notaris, hal.3.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

6

Bertitik tolak pada ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris

tersebut di atas maka dapat di lihat ada 2 (dua) isu hukum. Pertama, Pasal 66 ayat

(1) huruf a tidak menjelaskan akta yang mana yang bisa diambil penyidik,

penuntut umum atau hakim. Apakah hanya sebatas akta yang tersangkut perkara

pidana atau untuk semua akta. Redaksi Pasal 66 ayat (1) huruf a ini bisa

ditafsirkan penyidik, penuntut umum dan hakim dapat mengambil semua akta

yang disimpan Notaris. Kedua, berkaitan dengan ijin Majelis Kehormatan Notaris,

apakah ijin ini mutlak ataukah bisa disimpangi. Bila dilihat dari bunyi Pasal 66

ayat (3) dan ayat (4) yaitu majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama

30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau

menolak permintaan persetujuan (Pasal 66 ayat (3)). Dalam hal Majelis

Kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), Majelis Kehormatan Notaris dianggap menerima

permintaan persetujuan (Pasal 66 ayat (4)). Redaksi kedua ayat ini menunjukkan

bahwa ijin Majelis Kehormatan Notaris, tidak mutlak harus diberikan, mengingat

setelah 30 hari, penyidik, penuntut umum dan hakim dapat begitu saja mengambil

fotocopy akta dan minuta dari Notaris.

Pemanggilan Notaris sebagai saksi, seharusnya pemanggilan tidak dapat

dilakukan begitu saja. Menurut ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan

Notaris pemanggilan Notaris ini harus mendapatkan persetujuan Majelis

Kehormatan Notaris. Perlunya persetujuan Majelis Kehormatan Notaris

mengingat Notaris sebagai pejabat umum yang harus merahasiakan akta yang

dibuatnya sebagaimana diuraikan berikut ini.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

7

Sebagai tindak lanjut dari amanat Pasal 66 Undang-Undang Jabatan

Notaris maka pada tanggal 5 Februari 2016 diterbitkan Peraturan Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan

Notaris (selanjutnya disebut Permenkumham No. 7 Tahun 2016 saja). Konsideran

Permenkumham No. 7 Tahun 2016 ini menyebutkan bahwa peraturan ini dibuat

untuk melaksanakan ketentuan Pasal 66A ayat (3) Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia tentang Majelis Kehormatan Notaris. Pasal 1 angka 1

Permenkumham No. 7 Tahun 2016 yang menyebutkan Majelis Kehormatan

Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan

pembinaan Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk

kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi Minuta

Akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan

dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

Sebagai jabatan kepercayaan notaris wajib merahasiakan isi akta dan

segala keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatannya. Hal ini sejalan

dengan sumpah jabatan yang diucapkan sebelum notaris melaksanakan

jabatannya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris jo Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris. Notaris tidak bisa secara bebas mengungkapkan atau

membocorkan rahasia jabatannya kepada siapa pun kecuali terdapat peraturan

perundang-undangan lain yang memperbolehkannya untuk membuka rahasia

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

8

jabatannya, sumpah jabatan tersebut ditegaskan sebagai salah satu kewajiban

notaris yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris, yang menyatakan dalam menjalankan jabatanya, notaris

berkewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan

segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan

sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Penggunaan hak untuk merahasiakan sesuatu yang berkaitan dengan

jabatan diatur pula dalam hukum acara pidana, hukum perdata, dan Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana. Pasal 170 ayat 1 KUHAP menyatakan bahwa, mereka

yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau juga jabatannya diwajibkan untuk

menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari penggunaan hak untuk

memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan

kepadanya.

Selanjutnya dalam Pasal 1909 ayat 2 KUHPerdata dinyatakan bahwa,

segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya menurut

undang-undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata

mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagaimana

demikian. Pasal 322 ayat 1 KUHPidana menyatakan bahwasanya, barangsiapa

dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau

pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana

penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.

Dalam hal Notaris yang berkewajiban merahasiakan sesuatu yang

berkaitan dengan jabatan maka notaris dikatakan memiliki hak ingkar untuk

dijadikan saksi baik dalam peradilan perdata maupun peradilan pidana. Istilah hak

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

9

ingkar merupakan terjemahan dari verschoningsrech yang artinya adalah hak

untuk dibebaskan dari memberi keterangan sebagai saksi dalam suatu perkara baik

itu perkara perdata maupun perkara pidana. Hak ini merupakan pengecualian dari

Pasal 1909 KUH Perdata bahwa setiap orang yang dipanggil menjadi saksi wajib

memberikan kesaksian.

Tiap-tiap orang yang dipanggil sebagai saksi, mempunyai kewajiban untuk

memberikan keterangan-keterangan. Seseorang yang berdasarkan undang-undang

dipanggil sebagai saksi, yang sengaja tidak memenuhi kewajibannya sebagai saksi

diancam pidana sebagai melakukan suatu kejahatan. Pengecualiannya ialah

apabila seseorang yang dipanggil itu, mempunyai hak untuk menolak memberikan

keterangan-keterangan sebagai saksi, berdasarkan hubungan-hubungan tertentu

yang disebutkan dalam undang-undang.8

Dalam hukum acara perdata, Pasal 1909 KUH Perdata mewajibkan setiap

orang yang cakap menjadi saksi, untuk memberikan kesaksian di muka

pengadilan. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap mereka, yang berdasarkan

ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dibebaskan dari

kewajiban untuk memberikan kesaksian yaitu sebagaimana yang telah diatur

dalam Pasal 1909 KUH Perdata dan Pasal 146 dan 277 HIR, mereka dapat

mempergunakan haknya untuk mengundurkan diri sebagai saksi, dengan jalan

menuntut penggunaan hak ingkarnya (verschoningsrecht).9

Dalam hukum acara pidana, ketentuan dalam Pasal 170 ayat (1) dan (2)

KUHAP menyebutkan:

(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.

8 A. Kohar, 1984, Notaris Berkomunikasi, Alumni, Bandung, hal. 42.

9 G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 120.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

10

(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan

tersebut.

Dalam hal pemanggilan Notaris sebagai tersangka atau yang terindikasi

melakukan tindak pidana, maka pemanggilan notaris yang mensyaratkan

persetujuan Majelis Kehormatan Notaris patut untuk dipermasalahkan. Karena hal

ini dapat dikatakan bertentangan Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa

segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan

dan wajib menjunjung hukum pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Lebih jauh lagi persyaratan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris

bertentangan dengan ketentuan Pasal 112 Kitab Undang-Undang Acara Pidana

(KUHAP) yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan

pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi

yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah

dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya

panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan

tersebut.

(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak

datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada

petugas untuk membawa kepadanya.

Ketentuan Pasal 112 KUHAP tersebut dapat dikatakan bahwa penyidik

berhak memanggil tersangka dan orang yang disangkakan ini wajib datang kepada

penyidik. Ketentuan ini berlaku untuk setiap orang dan tanpa syarat apapun.

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

mennyatakan bahwa pengambilan minuta akta dan pemanggilan Notaris yang

menyatakan untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau

hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah. Dalam perkembangan

selanjutnya ketentuan Pasal 66 ini dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

11

49/PUU-X/2012). Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak mengindahkan bahwa

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, notaris memiliki tanggungjawab

terhadap akta yang dibuatnya sehingga notaris harus berhadapan langsung dengan

Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim ketika harus berhadapan dengan

pengadilan.

Atas Putusan MKRI para Notaris tidak perlu mempermasalahkannya,

sebagai Warga Negara Indonesia yang taat hukum notaris harus tunduk dan patuh

pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, karena Putusan Mahkamah

Konstitusi telah “final and binding” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Namun pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan

atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris masalah

dimunculkan lagi tentang perlunya persetujuan bagi Penyidik, Penuntut Umum

dan Hakim untuk mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang

dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; dan

memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta

yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.

Jika pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 persetujuan tersebut

berasal dari Majelis Pengawas Daerah, sedangkan pada Pasal 66 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 persetujuan berasal dari Majelis Kehormatan Notaris.

Dalam hal tersebut di atas pertanyaan yang bisa dimunculkan apa bedanya

persetujuan melalui Majelis Pengawas Daerah dengan persetujuan melalui Majelis

Kehormatan Notaris? Apakah hal ini tidak mengingkari Putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut di atas mengingat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

disebutkan bahwa dibutuhkannya persetujuan seperti yang diatur dalam Pasal 66

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

12

telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Menurut penulis hal tersebut merupakan norma konflik yaitu norma yang

berasal dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49/PUU-X/2012 yang

berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 bertentangan dengan norma yang

terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 dimana norma

dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49/PUU-X/2012 tidak mengharuskan

adanya persetujuan bagi bagi Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim untuk

mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta

akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; dan memanggil notaris

untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau

protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notari sedangkan norma yang

terkandung dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 hal tersebut

masih memerlukan ”persetujuan” dari Majelis Kehormatan Notaris. Dalam hal ini

seolah-olah Majelis Kehormatan Notaris berdiri di atas Mahkamah Konstitusi atau

bahkan Undang-Undang Dasar 1945.

Pengaturan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris juga memiliki

ketidakjelasan (norma kabur) mengingat apakah fotocopy akta yang dapat diambil

penyidik, penuntut umum dan hakim hanya sebatas akta yang tersangkut perkara

pidana atau untuk semua akta, karena redaksi Pasal 66 ayat (1) huruf a ini bisa

ditafsirkan penyidik, penuntut umum dan hakim dapat mengambil semua akta

yang disimpan Notaris. Selain itu ketidakjelasan juga terjadi apakah ijin Majelis

Kehormatan Notaris mutlak ataukah bisa disimpangi, mengingat setelah 30 hari

ijin disampaikan, maka ijin tersebut tidak diperlukan lagi.

Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan-

perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

13

penelitian yang berkaitan dengan pemanggilan Notaris baik pemeriksaan terhadap

Notaris maupun membuka rahasia akta, yaitu :

1. Penelitian Muhammad Ilham Arisaputra dengan judul ”Kewajiban Notaris

Dalam Menjaga Kerahasiaan Akta Dalam Kaitannya dengan Hak Ingkar

Notaris”. Tesis pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum,

Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2012. Rumusan masalah dari tesis

ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana implementasi hak ingkar notaris dalam menjaga

kerahasiaan akta berdasarkan UUJN?

b. Bagaimana kendala terhadap penggunaan hak ingkar notaris dalam

menjaga kerahasiaan akta dalam kaitannya dengan hak ingkar

berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris?

Penelitian Muhammad Ilham Arisaputra dengan penelitian yang akan

dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua

penelitian ini sama-sama meneliti tentang kewajiban notaris dalam

menjaga kerahasiaan akta. Perbedaannya jika penelitian Muhammad Ilham

Arisaputra, mengkaitkan kewajiban notaris dalam menjaga kerahasiaan

akta dengan hak ingkar notaris, maka pada penelitian yang akan dilakukan

mengkaitkan kewajiban notaris dalam menjaga kerahasiaan akta dengan

persetujuan Dewan kehormatan Notaris.

2. Penelitian Pricilia Yuliana Kambey dengan judul ”Peran Notaris Dalam

Proses Peradilan Pidana”. Tesis Program Magister Kenotariatan, Fakultas

Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, tahun 2013. Rumusan masalah

dari tesis ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah keberadaan notaris sebagai pejabat umum dalam

memberikan kesaksian terhadap suatu perkara menyangkut akta yang

dibuatnya dalam proses peradilan pidana?

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

14

b. Bagaimanakah peran notaris dalam memberikan keterangan untuk

membantu proses peradilan pidana dikaitkan dengan rahasia

jabatannya?

Penelitian Pricilia Yuliana Kambey dengan penelitian yang akan dilakukan

memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini

sama-sama meneliti tentang keberadaan notaris sebagai pejabat umum

dalam memberikan kesaksian terhadap suatu perkara menyangkut akta

yang dibuatnya dalam proses peradilan pidana. Perbedaannya jika

penelitian Pricilia Yuliana Kambey, menganalisis peran notaris dalam

memberikan keterangan untuk membantu proses peradilan pidana

dikaitkan dengan rahasia jabatannya, maka pada penelitian yang akan

dilakukan meganalisis perlunya ijin Majelis Kehormatan Notaris dalam

pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut

kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.

3. Penelitian Yenny Lestari Wilamarta dengan judul “Rahasia notaris, hak

ingkar dan perlindungan hukum bagi notaris yang membuka isi (rahasia)

akta”. Tesis Program Magister Kenotariatan, Fakultas HukumUniversitas

Indonesia, Tahun 2011. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai

berikut :

a. Apakah notaris diperbolehkan membuka isi (rahasia) akta yang

dibuatnya kepada lembaga penyidik atau lembaga penuntut?

b. Apakah notaris dapat menggunakan hak ingkar yang terdapat dalam

Undang-Undang Jabatan Notaris bila bertentangan dengan undang-

undang lainnya?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap notaris yang membuka isi

(rahasia) akta?

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

15

Penelitian Yenny Lestari Wilamarta dengan penelitian yang akan

dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua

penelitian ini sama-sama meneliti tentang notaris yang membuka rahasia

akta. Perbedaannya jika penelitian Yenny Lestari Wilamarta mengkaitkan

rahasia notaris dengan hak ingkar dan perlindungan hukum bagi notaris

yang membuka isi (rahasia) akta, maka pada penelitian yang akan

dilakukan mengkaitkan rahasia notaris dengan perlunya ijin Majelis

Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi

notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.

Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan

penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan

bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian

sebelumnya baik substansi maupun metodologinya.

Bertitik tolak pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis

dengan judul ”Fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam Pemberian Persetujuan

Terhadap Penyidik bagi Notaris yang Tersangkut Kasus Pidana Terhadap Akta

yang Dibuatnya”.

1.2. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, permasalahan dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal

pemberian persetujuan bagi Notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap

akta yang dibuatnya (ius constitutum)?

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

16

2. Bagaimana sebaiknya pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris

dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus

pidana terhadap akta yang dibuatnya (ius constituendum)?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam pemberian

persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap

akta yang dibuatnya.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam

hal pemberian persetujuan bagi notaris terhadap akta yang dibuatnya yang

tersangkut hukum pidana (ius contitutum).

2. Untuk mengetahui pengaturan yang sebaiknya terhadap fungsi Majelis

Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris

terhadap akta yang dibuatnya yang tersangkut hukum pidana (ius

contituendum).

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran terkait dengan pengaturan

pemanggilan notaris terkait akta yang dibuatnya tersangkut hukum pidana.

1.4.2. Manfaat Praktis

Sebagai masukan bagi Majelis Kehormatan Notaris dalam memberikan

persetujuan atas pemanggilan notaris terkait akta yang dibuatnya tersangkut

hukum pidana.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

17

1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

1.5.1. Landasan Teoritis

Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang

telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu

peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Bernard Arief

Sidharta, teori hukum merupakan teori yang secara kritis menganalisis berbagai

aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan

keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan

tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan

sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam

kenyataan masyarakat.10

Teori-teori yang digunakan dalam melakukan penelitian

ini adalah Teori Fungsi, Teori Wewenang, Teori Tanggungjawab dan Teori

Hukum Pembuktian. Selain teori-teori tersebut, penelitian ini juga menggunakan

konsep Akta Notaris untuk dijadikan pisau analisis dalam menjawab perumusan

masalah penelitian.

1.5.1.1. Konsep Akta Notaris

Notaris dijadikan Pejabat Umum adalah ketentauan undang-undang

menghendakinya, karena satu-satunya Pejabat umum yang melayani kepentingan

umum, sesuai kewenangannya yang disebutkan dalam UUJN adalah pembuatan

akta otentik, yang berkaitan dengan. Pasal 1868 KUHPer. Adapun Pasal 1868

KUHPer. Memuat definisi tentang akta otentik sebagai berikut:

10

Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum,

Mandar Maju, Bandung, hal. 104.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

18

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang

ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang

berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, maka suatu akta agar dapat

dijadikan sebagai akta otentik harus memenuhi 3 persyaratan sebagai berikut:

a. Akta itu harus dibuat “oleh” atau “dihadapan” seorang Pejabat Umum;

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;

c. Pejabat Umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Setelah mengethui syarat-syarat pembuatan akta otentik, maka selanjutnya

perlu diketahui bahwa akta-akta Notaris itu ada dua macam, yaitu:

a. Akta yang dibuat oleh pejabat, yang disebut dengan akta relaas atau akta

pejabat (ambtelijke akten), misalnya: Akta Risalah Rapat Perseroan

Terbatas yang dibuat oleh Notaris; Berita Acara pembukaan Safe-deposit

box dari suatu Perseroan Terbatas Perbankan; Berita Acara penarikan

Undian;

Akta relaas atau akta pejabat itu menguraikan mengenai sesuatu tindakan

yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan serta

dialami oleh pembuat akta itu, yakni Notaris itu sendiri, dalam

menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Akta yang memuat uraian dari

hal-hal yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu dinamakan akta

yang dibuat oleh Notaris (sebagai Pejabat Umum).

b. Akta yang dibuat dihadapan pejabat, yang sering disebut dengan akta

partai (partij acten), misalnya perjanjian sewa menyewa atas sebidang

tanah berikut bangunan dari anggota masyarakat, akta jual-beli, akta hibah

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

19

uang, akta wasiat, surat kuasa dan lain-lain. Dalam akta partai ini

dicantumkan keterangan-keterangan dari orang-orang yang bertindak

sebagai pihak-pihak dalam akta itu.

Akta partai berisikan cerita dari hal-hal yang terjadi karena perbuatan yang

dilakukan oleh pihak lain dihadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau

diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya

dan untuk keperluan itu, pihak yang bersaangkutan sengaja datang

menghadap Notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan

perbuatan hukum itu dihadapan Notaris, agar keterangan atau perbuatan

itu dinyatakan oleh Notaris dalam suatu akta otentik.

Dalam hubungannya dengan hal yang diuraikan diatas, maka yang pasti

secara otentik pada akta partij terhadap pihak lain adalah:

a. Tanggal dari akta itu;

b. Tanda tangan-tanda tangan yang ada dalam akta itu;

c. Identitas dari orang-orang yang hadir;

d. Bahwa hal-hal yang tercantum dalam akti itu adalah sesuai dengan

keadaan pada saat diterangkan oleh para penghadap kepada Notaris, agar

dicantumkan dalam akta itu, sedangkan kebenaran dari keterangan-

keterangan itu sendiri, hanya pasti antara pihak-pihak yang bersangkutan

sendiri.

Membuat akta partai (acte partij) inisiatif tidak berasal dari pejabat,

melainkan dari pihak-pihak yang berkepentingan memberikan keterangan,

sedangkan untuk akta pejabat (acte ambtelijk), maka pejabatlah yang aktif

membuat akta tersebut atas permintaan dari para pihak yang berkepentingan. Oleh

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

20

karena itu, akta pejabat berisikan keterangan yang dilihat dan didengar sendiri

serta ditulis oleh pejabat yang bersangkutan. Sedangkan akta partai berisikan

keterangan para pihak sendiri yang diformulasikan serta disampaikan kepada

pejabat, agar pejabat merampungkan maksud dan keterangannya dalam suata akta

otentik.

Ketentuan Pasal 1870 KUHPer menyebutkan bahwa akta otentik

memberikan bukti yang paling sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli

warisnya serta sekaligus orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal

yang tersurat di dalamnya; Akta otentik merupakan bukti yang cukup, atau juga

disebut bukti yang sempurna,artinya isi dari akta tersebut oleh hakim harus

dianggap benar, selama ketidak-benarannya tidak terbukti. Namun kekuatan bukti

yang sempurna masih dapat digugurkan bila ada bukti lawan yang kuat dengan

menuduh bahwa akta itu palsu, dan ternyata benar dalam akta Notaris yang

minutanya disimpan oleh Notaris itu mengandung kepalsuan, misalnya ada pihak

yang membubuhi tanda tangan palsu dan perihal kepalsuan tanda tangan tersebut

dapat dibuktikan, sehingga gugurlah kekuatan bukti otentik dari akta Notaris

tersebut.

Adapun syarat otentisitas dari akta Notaris adalah sebagai berikut:

a. Para penghadap menghadap Notaris;

b. Para penghadap mengutarakan maksudnya;

c. Notaris mengkonstantir maksud dari para pengahadap dalam sebuat akta;

d. Notaris membacakan susunan kata dalam bentuk akta kepada para

penghada;

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

21

e. Para penghadap membubuhkan tandatangannya, yang berarti

membenarkan hal-hal yang termuat dalam akta tersebut, dan

penandatanganan tersebut harus dilakukan pada saat itu juga.

f. Dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali ditentukan lain

oleh UU.

Akta yang bersangkutan apabila tidak memenuhi syarat otentisitas tersebut

dimuka, maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta

di bawah tangan. Surat yang ditandan tangai oleh pihak-pihak secara di bawah

tangan itu, sekalipun merupakan salah satu bukti surat tertulis, namun kekuatan

bukti hukumnya agak lemah, karena bila ada pihak yang meragukannya, maka

surat di bawah tangan ini tidak dapat menjamin tentanggal tanggal yang pasti

pembuatan suratnya; surat di bawah tangan itu tidakmempunyai kekuatan

eksekusi dan bila suratdibawah tangan itu hilang, baik asli maupun salinannya,

maka sukar sekali pihak-pihak yang telah menanda tangani surat itu untuk

membuktikan, bahwa antara mereka telah ada suatu ikatan perjanjian atau ada

suatu perbuatan hukum yang saling mengikat.

Akta otentik yang dibuat oleh Notaris mempunyai 3 (tiga) macam

kekuatan pembuktian, yakni:

a. Kekuatan pembuktian lahiriah

Akta yang dibuat dihadapan Pejabat Umum yang memenuhi ketentuan

undang-undang itu membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Hal ini

sesuai dengan ketentuan dari Pasal 1875 KUHPer., yang antara lain

mengatakan bahwa surat dibawah tangan itu tidak dapat membuktikan

dirinya itu demikian adanya, seperti hal-hal yang disebutkan dalam surat

dibawah tangan itu; akta yang dibuat dibawah tangan baru berlaku atau

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

22

dianggap sah, apabila yang menanda tanganinya mengakui kebenaran dari

tanda tangannya, yang dengan sendirinya juga mengaku isi yang dimuat

dalam surat dibawah tangan itu. Sedangkan akta otentik membuktikan

sediri mengenai keabsahannya. Akta itu terhadap setiap orang dianggap

sebagai akta otentik, sampai dapat dibuktikan bahwa akta itu adalah tidak

otentik.

b. Kekuatan pembuktian formal.

Membuktikan bahwa Pejabat Umum yang bersangkutan telah menyatakan

dalam tulisan sebagaimana yang tercantum dalam akta dan yang dilakukan

serta disaksikannya dalam menjalankan jabatannya. Dalam arti formal,

sepanjang mengenai akta pejabat (ambtelijke akte), akta itu membuktikan

kebenaran dari hal-hal yang disaksikan, yakni dilihat, didengar dan juga 8

dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan

jabatannya.

c. Kekuatan pembuktian material.

Membuktikan antara pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut

dalam akta itu telah terjadi, dengan pengertian:

1) Bahwa akta itu apabila dipergunakan dimuka pengadilan, adalah cukup

dan hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian

lainnya/disamping itu;

2) Bahwa pembuktian sebaliknya diperkenankan dengan alat-alat

pembuktian biasa, yang diperbolehkan untuk itu menurut undang-

undang.11

11

G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal.47.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

23

1.5.1.2. Teori Fungsi

Teori fungsi digunakan dalam penelitian ini untuk memecahkan rumusan

masalah pertama mengingat tesis ini membahas mengenai fungsi Majelis

Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris terhadap akta

yang dibuatnya tersangkut dengan hukum pidana. Menurut The Liang Gie fungsi

merupakan sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama

berdasarkan sifatnya, pelaksanaan ataupun pertimbangan lainnya.12

Definisi

tersebut memiliki persepsi yang sama dengan definisi fungsi menurut Sutarto,

yaitu fungsi adalah rincian tugas yang sejenis atau erat hubungannya satu sama

lain untuk dilakukan oleh seorang pegawai tertentu yang masing-masing

berdasarkan sekelompok aktivitas sejenis menurut sifat atau pelaksanaannya.13

Sedangkan pengertian singkat dari definisi fungsi menurut Moekijat, yaitu fungsi

adalah sebagai suatu aspek khusus dari suatu tugas tertentu.14

Fungsi dan peran memiliki pengertian yang berbeda. Dalam pemikiran

Wrenn, peran dengan fungsi itu berbeda. Peran, dikonseptualisasikan ke dalam

suatu tujuan, sedangkan fungsi berarti proses. Konsep peran lebih ditekankan

pada suatu bagian akhir yang dituju; sedangkan fungsi, menegaskan kegiatan atau

aktivitas dalam rangka pencapaian tujuan.15

12

The Liang Gie, 2010, Unsur-unsur Administrasi: Suatu kumpulan

Karangan, Edisi 2, Penerbit Supersukses, Yogyakarta, hal. 27. 13

Sutarto, 2010, Dasar-dasar Organisasi, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, hal. 22. 14

Moekijat, 2012, Peran dan Fungsi Manajemen, Remaja Rosdakarya,

hal.95. 15

Wrenn, C.G., 2011, The World of the Contemporary Counselor,

Houghton Mifflin, Boston, hal 35.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

24

Bagi Wrenn, peran didefinisikan sebagai harapan-harapan (expectations)

dan pengarahan-pengarahan perilaku yang dikaitkan dengan suatu posisi;

sedangkan fungsi diartikan sebagai aktivitas yang ditunjukkan untuk suatu peran.

Dengan kata lain, peran berkaitan dengan suatu posisi; sementara itu rincian

perbuatan dalam menjalankan posisi berarti fungsi.16

Apabila peran sering kali

ditegaskan melalui perilaku individu di dalam penampilan hak dan kewajiban

yang berkaitan dengan suatu posisi; maka fungsi merupakan aktivitas spesial atau

khusus dari seseorang.

Salah satu fungsi Majelis Kehormatan Notaris adalah memberikan

persetujuan dalam hal pemanggilan Notaris untuk proses peradilan, penyidikan,

penuntut umum atau hakim. Dengan persetujuan tersebut mempunyai arti bahwa

dengan tidak adanya persetujuan maka hal tersebut tidak dapat dilakukan (Pasal

66 Undang-Undang Jabatan Notaris). Selain itu berdasarkan Pasal 66 A dan Pasal

67 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris disebutkan

bahwa fungsi lain dari Majelis Kehormatan Notaris adalah melaksanakan

pembinaan dan pengawasan terhadap notaris.

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana

diubah dengan Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

pengawasan Notaris dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri setempat. Setelah

berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut maka pengawas terhadap

Notaris di bawah naungan langsung Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,

yang selanjutnya dilimpahkan kepada Majelis Kehormatan Notaris.

16

Ibid.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

25

Pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota,

Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara

Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris menyebutkan pengertian pengawasan

adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan

yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.17

Rumusan tersebut yang menjadi tujuan pokok pengawasan adalah agar

segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris

dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang digariskan dalam peraturan dasar

yang bersangkutan, senantiasa dilakukan di atas jalur yang telah ditentukan, bukan

saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminnya

perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Pembentukan Majelis

Kehormatan Notaris untuk menyelamatkan kepentingan masyarakat dari kerugian

yang diakibatkan oleh Notaris yang tidak bertanggung jawab dan menjaga citra

dan kewibawaan lembaga Notariat serta melindungi nama baik kelompok prifesi

Notaris dari penilaian yang generaliris. Selain hal tersebut dengan adanya Majelis

Kehormatan Notaris, maka mempunyai dampak positif yaitu akan membentuk

suatu “Peradilan Profesi Notaris” yang dijalankan di setiap tingkatan secara

berjenjang selain yang sudah ada pada organisasi profesi notaris sendiri. Dengan

adanya peradilan tersebut, maka akan memberikan perlindungan hukum dan

jaminan kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya secara profesional.18

17

Widiatmoko, 2007, Himpunan Peraturan Jabatan Notaris, Pradnya

Paramita, Jakarta, hal. 20. 18

Ibid.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

26

1.5.1.3. Teori Wewenang

Teori wewenang digunakan dalam penelitian ini untuk menjawab rumusan

masalah pertama dan kedua yaitu mengenai wewenang Notaris untuk membuat

akta otentik dan wewenang Majelis Kehormatan Notaris dalam fungsinya untuk

memberikan ijin pengambilan akta yang disimpan Notaris dan pemeriksaan

terhadap Notaris yang aktanya tersangkut hukum pidana.

Wewenang (atau sering pula disebut dengan istilah kewenangan)

merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan

yang bersangkutan.19

Sjahran Basah mengemukakan bahwa kewenangan

seseorang atau pejabat pemerintah untuk melakukan suatu tindakan pemerintahan

dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan baik secara langsung

(atribusi) ataupun pelimpahan (delegasi dan sub delegasi) serta atas dasar

penugasan (mandate).20

Pendapat ini juga dikemukakan oleh H.D. Van Wijk dan

Wilem Konijnenbelt yang mengklasifikasikan cara perolehan kewenangan atas 3

(tiga) cara antara lain:

a. Atributie : “Teoleninning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever

aan een bestuurorgaan”, atau atribusi adalah pemberian wewenang

pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.

b. Delegatie : “Overdracht van een bevoegdheid van he teen bestuurorgan

aan een ander”, atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan

dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

c. Mandate : “een bestuurorgan lat zijn bevoegdheid names hues uitoefenen

door een ander”, artinya mandat terjadi ketika organ pemerintahan

mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.21

19

Habib Hadjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap

UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal.

77. 20

Sjahran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan

Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, hal.7. 21

Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press,

Yogyakarta, hal. 45.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

27

Dengan melihat kepada ada atau tidaknya suatu peralihan kewenangan, F.A.M.

Stroink dan J.G. Steenbeek berpendapat mengenai cara peralihan wewenang pada

hakekatnya hanya melalui cara atribusi dan delegasi saja. Atribusi adalah

pembangunan kekuasaan kepada bagian instansi dan pada atribusi terjadi

pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh pembuat undang-undang

(dalam arti material kepada organ administrasi negara).

Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi

kepada pejabat yang lebih rendah atas dasar peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini suatu badan juga telah memiliki wewenang secara mandiri membuat

peraturan perundang-undangan (wewenang atribusi), menyerahkan kepada suatu

badan untuk membuat peraturan perundang-undangan atas dasar kekuasaan dan

tanggung jawabnya sendiri. Menurut Indroharto penerima wewenang atas dasar

delegasi (delegataris) dapat pula mendelegasikan wewenang yang diterimanya

dari pemberi wewenang asli (delegasi) kepada organ atau pejabat TUN lainnya.22

Bagir Manan dan A. Hamid S. Attamimi menyatakan teori wewenang

pembentukan peraturan perundang-undangan dibedakan atas atribusi dan

delegasi.23

Pengertian atribusi wewenang pembentukan peraturan perundang-

undangan memuat unsur-unsur :

a. Penciptaan wewenang baru untuk membuat peraturan perundang-

undangan;

22

Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan

Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 66. 23

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Kedudukan dan Fungsi

Keputusan Presiden Sistem Perundang-undangan dan Peranannya Dalam

Akselerasi Pembangunan Ekonomi, Penerbit Alumni, Bandung, hal 206.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

28

b. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk UUD atau pembentuk UU

kepada suatu lembaga;

c. Lembaga yang menerima wewenang itu bertanggung jawab atas

pelaksanaan wewenang tersebut.24

Sedangkan pengertian delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan

memuat unsur-unsur :

a. Penyerahan wewenang untuk membuat peraturan perundang-undangan;

b. Wewenang itu diserahkan oleh pemegang wewenang atributif (delegans)

kepada lembaga lainnya (delegataris);

c. Lembaga yang menerima wewenang (delegataris) bertanggung jawab atas

pelaksanaan wewenang tersebut.

Wewenang atribusi dan delegasi terdapat persamaan dan perbedaan.

Persamaannya adalah lembaga yang menerima wewenang bertanggung jawab atas

pelaksanaan wewenang itu. Sedangkan perbedaannya adalah (1) pada delegasi

selalu harus didahului adanya atribusi, sedangkan pada atribusi tidak ada yang

mendahului dan (2) pada atribusi terjadi pembentukan wewenang, sedangkan pada

delegasi terjadi penyerahan wewenang.25

Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan konsep inti dari

hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Tanpa adanya kewenangan

yang dimiliki, maka pejabat negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan

atau tindakan pemerintahan. Menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan dengan

24

Hamid S. Atamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik

Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara Studi Analisis Mengenai

Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-

Pelita IV, Disertasi, Pasca Sarjana UI, Jakarta, hal 347-352 25

S.F. Marbun, 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi Dan Implementasinya

Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 109-120.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

29

kewenangan, yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy making) yaitu kekuasaan

yang menentukan tugas (taakstelling) dari alat-alat pemerintah atau kekuasaan

yang menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy

executing) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik negara

yang telah ditentukan (verwezenlijkking van de taak).26

1.5.1.4. Teori Tanggungjawab

Teori tanggungjawab digunakan dalam penelitian ini untuk memecahkan

rumusan masalah yang pertama dan kedua mengingat permasalahan dalam

penelitian ini adalah mengenai tanggungjawab Notaris jika akta yang dibuatnya

tersangkut hukum pidana. tanggungjawab atau tanggungjawab hukum yang

dimaksudkan disini adalah terjemahan dari bahasa Inggris “Liability”.

Tanggung jawab dalam bahasa Inggrisnya adalah responsibility atau dalam

bahasan Belanda adalah aansprekelijk, yang artinya adalah bertanggung jawab,

terikat, bertanggung jawab menurut hukum atas kesalahan atau akibat suatu

perbuatan.27

Ada pula istilah lainnya yang berkaitan adalah pertanggung jawaban

yang dalam bahasa Inggris adalah accountability dan dalam bahasa Belanda

adalah aansprakelijkheid yang artinya juga tanggung jawab, keterikan, tanggung

jawab dalam hukum memikul tanggung jawab.28

Menurut Soehardi dikatakan bahwa dasar dari suatu tanggung jawab

adalah suatu wewenang (authority) atau hak wewenang itu berkaitan dengan tugas

26

Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara,

Bina Aksara, Jakarta, hal. 30. 27

Fockema Andrea, diterjemahkan oleh Adiwinata A. Teloeki dan H.

Boerchanudin St. Batoeh, 2007, Kamus Istilah Hukum, Cet. Pertama, Binacipta,

Jakarta, hal. 6. 28

Ibid, hal 6.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

30

dan merupakan kekuasaan yang melekat pada tugas atau pekerjaan (responsibility,

duty), sedangkan hak melekat pada pribadi. Untuk melaksanakan suatu tugas akan

tergantung pada capability atau ability yang berfungsi secara memadai untuk

melaksanakan suatu tugas atau suatu tanggung jawab (responsibility). Hasil

hubungan antara responsibility dengan capability ini adalah suatu accountability

atau suatu pertanggungjawaban.29

Setiap orang pada umumnya harus bertanggung jawab atas segala tindakan

atau perbuatannya. Pengertian orang ini termasuk pula suatu rechtspersoon. Orang

dalam artian yuridis adalah setiap orang yang mempunyai wewenang hukum,

yang artinya adalah kecapakan untuk menjadi subyek hukum, atau sebagai

pendukung hak dan kewajiban, maka untuk itu terlebih dahulu harus ditentukan

dulu status seseorang dalam suatu hubungan hukum.30

Hubungan hukum mencerminkan adanya kepentingan-kepentingan dari

pihak-pihak yang melakukan hubungan hukum, ada kehadiran hukum akan

berfungsi untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan

kepentingan tersebut agar tidak saling bertubrukan (conflit of interest). Hukum

melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan

kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Kekuasaan

yang diberikan oleh hukum itu disebut sebagai hak. Antara hak dan kewajiban

terdapat hubungan yang sangat erat, yang satu akan mencerminkan yang lain. Di

satu sisi hak dan di sisi lainnya akan terlihat adanya kewajiban.31

29

Soehardi Sigit, 2008, Pengorganisasian, Fakultas Ekonomi Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 25 -28. 30

Ali Chidir, 2007, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 7. 31

Satijipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 53.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

31

Pasal 1365 KUH Perdata dikandung ajaran tentang tanggung jawab,

seperti dalam rumusan sebagai berikut: ”Setiap orang bertanggung jawab tidak

saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian

yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

Pasal 1365 KUH Perdata di atas, menunjukan bahwa dalam KUH Perdata

dikenal ada 2 (dua) jenis tanggung jawab, yaitu :

a. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan, artinya seseorang dapat dimintai

pertanggung jawaban atas kesalahan yang telah diperbuatnya dan akibat

kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain;

b. Tanggung jawab berdasarkan risiko, artinya seseorang dapat dimintai

pertanggung jawaban atas kerugian yang diderita oleh orang lain bukan

karena kesalahan yang bersangkutan, melainkan sebagai resiko yang

ditanggungnya karena kesalahan orang lain dan orang tersebut adalah

menjadi bawahannya atau menjadi tanggungnya, atau dalam

pengawasannya.

Tanggung jawab karena kesalahan sebagaimana telah diatur dalam Pasal

1365 KUH Perdata dan Pasal 1367 KUH Perdata merupakan bentuk klasik

pertanggung jawaban perdata.

1.5.1.5. Teori Hukum Pembuktian

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang

didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam proses Hukum Acara

Pidana. Akan berakibat fatal jia seseorang yang didakwakan melakukan tindak

pidana namun setelah dibuktikan melalui proses pembuktian dipersidangan, ia

tidak terbukti bersalah. Untuk menghindari hal seperti itu Hukum Acara Pidana

bertujuan untuk mencari dan menemukan atau paling tidak agar mendekati

kebenaran materill. Menurut Ansorie Abuan bahwa pembuktian ini adalah

merpakan masalah yang pelik (ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

32

menempati titik sentral dalam Hukum Acara Pidana. Adapun tujuan dari

pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materill, dan

bukan untuk mencari kesalahan seseorang.32

Indonesia menganut teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara

negatif. Pada teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikitnya

dua alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan

keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu.33

Bambang Poernomo berpendapat bahwa sistem atau Teori pembuktian

berdasarkan Undang-Undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie)

bahwa “Sistem pembuktian ini merupakan gabungan antara sistem pembuktian

menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut

keyakinan atau conviction in time.34

Sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif merupakan

keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem.

Dari hasil penggabungan kedua teori yang saling bertentangan menghasilkan

sistem atau teori pembuktian atas dasar undang-undang secara negatif dengan

rumusannya yang berbunyi “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh

keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah

menurut undang-undang”.

32

Ansorie Abuan, Syarifuddin Fetanase, Ruben Ahmad, 1990, Hukum

Acara Pidana, Angkasa, Bandung, hal. 185. 33

Ibid, hal. 188. 34

Bambang Purnomo, 1986, Hukum Acara Pidana, Pokok-Pokok Tata

Acara Peradilan Pidana Indonesia dalam UU RI Tahun 1981, Liberty, Yogyakarta,

hal. 42.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

33

Bertitik tolak dari uraian di atas untuk menentukan salah atau tidaknya

seorang tedakwa menurut sistem pembuktian menurut undang-undang secara

negative, terdapat dua komponen :

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang

sah menurut undang-undang

2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan cara dan dengan alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang.35

D. Simons yang dikutip Wirjono Prodjodikoro, menyatakan dalam sistem

atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif ini,

pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda yaitu pada peraturan

perundang-undangan, keyakinan hakim dan menurut undang-undang, dasar

keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan perundang-undangan.36

Masih lebih lanjut menurut pendapat D. Simons bahwa teori pmbuktian

berdasarkan undang-undang bermakna dan hanya berlaku untuk keuntungan

terdakwa, tidak dimaksudkan untuk menjurus kepada dipidananya orang yang

tidak bersalah hanya dapat kedang-kadang memaksa dibebaskannya orang

bersalah.37

Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan, “Untuk

Indonesia yang telah menerapkan Teori Pembuktian berdasarkan undang-undang

secara negatif (negatief wettelijke) melalui KUHAP, sebaiknya dipertahankan,

35

Hendrastanto Yudowidagdo, dkk. 1987, Kapita Selekta Hukum Acara

Pidana Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 240. 36

Wirjono Prodjodikoro, 1992, Hukum Acara Pidana di Indonesia,

Sumur, Bandung, hal. 77.. 37

Ibid.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

34

berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan

hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan hukuman pidana,

janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas

kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim

dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus

dituntut oleh hakim dalam melakukan peradilan.38

1.5.2. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teoritis,

maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:

38

Ibid, hal. 78.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

35

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

Kewajiban sebagai Saksi

Karena jabatannya untuk menyimpan rahasia,

dapat dibebaskan sebagai saksi

Notaris

Pejabat umum pembuatan Akta

Pemanggilan oleh Penyidik

Fungsi Majelis Kehormatan Notaris Dalam Pemberian Persetujuan Terhadap Penyidik

Bagi Notaris Yang Tersangkut Kasus Pidana Terhadap Akta Yang Dibuatnya

Landasan Teori

Simpulan dan Saran

1. Bagaimana pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi

Notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya (ius constitutum)?

2. Bagaimana sebaiknya pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian

persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya (ius

constituendum)?

Sebagai Saksi Sebagai Tersangka

Pasal 27 UUD

NRITahun 1945

Pasal 112 KUHAP

Pemanggilan notaris harus mendapat izin

Majelis Kehormatan Notaris

(Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris)

Norma kabur Pasal 66:

- Tidak dibatasi fotocopy akta yang boleh diambil diambil penyidik, penuntut umum dan hakim

- Ijin pemanggilan dari Majelis Kehormatan Notaris tidak diperlukan lagi, 30 hari setelah ijin

diajukan.

Tidak perlu ijin

Metode Penelitian

Teori Fungsi Teori Wewenang Teori Tanggungjawab Teori Hk. Pembuktian

Fungsi Majelis Kehormatan Notaris Dalam Pemberian Persetujuan Terhadap Penyidik

Bagi Notaris Yang Tersangkut Kasus Pidana Terhadap Akta Yang Dibuatnya

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

36

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

Sesuai dari adanya norma kabur yaitu norma yang berasal dari Pasal 66

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, maka dalam penelitian ini peneliti

mempergunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif

merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-

undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum

tertentu yang dalam hal ini adalah permasalahan tentang fungsi Majelis

Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi Notaris

yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.

Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu

penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma

dalam hukum positif.39

Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik

dengan norma-norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau

pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang

otonom, mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.40

1.6.2. Jenis Pendekatan

Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif

akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan

ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta penjelasan

hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif.

39

Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Banyumedia, Malang, hal. 295. 40

Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan

Jurimetri, Alumni, Jakarta, hal 13-14.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

37

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa

pendekatan yaitu :

1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).

2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).

3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).

4. Pendekatan Historis (historical approach).

5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).

6. Pendekatan Kasus (case approach).

7. Pendekatan Teleologis.41

Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu

penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih

yang sesuai.

Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode

pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep

(conceptual approach) dan Pendekatan Historis (historical approach), mengingat

permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai

fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap

penyidik bagi Notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.

Selain kedua pendekatan tersebut, dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan

komparatif untuk membandingkan Majelis Pengawas Daerah dengan Majelis

Kehormatan Notaris.

1.6.3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian hukum normatif

terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tertier.42

Bahan hukum tersebut antara lain :

41

Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal. 300-301

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

38

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang

berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari :

a. UUD NRI Tahun 1945.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432).

d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5491).

e. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan

Tugas Majelis Pengawas Notaris.

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku

teks, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta simposium yang

dilakukan para pakar terkait dengan objek kajian penelitian hukum ini.43

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti kamus hukum, Surat kabar, majalah mingguan, bulletin

dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang

42

Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit

Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18. 43

Johny Ibrahim, Op.Cit, hal. 392.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

39

memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum

ini.44

1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam pengumpulan bahan hukum ini harus ditegaskan permasalahan

mengenai jenis, sifat dan kategori bahan hukum serta perlakuan terhadap bahan

hukum yang dikumpulkan. Tujuannya agar pengumpulan bahan hukum dan

penganalisaan terhadap bahan hukum dapat sesuai dengan tujuan dari penelitian.45

Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan adalah studi

pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan data sekunder mengenai obyek

penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-prespektif,

dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan data sekunder mengenai objek

penelitian, baik secara konvensional maupun dengan menggunakan teknologi

informasi seperti internet, dan lain-lain.

1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data,

melainkan melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat

kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan

hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara

interpretatif, evaluatif, argumentatif dan deskriptif.

44

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif,

Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14-15. 45 Ibid.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya

40

a. Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu

hukum seperti penafsiran historis, sistematis. Selanjutnya bahan Hukum

tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif, sistematis dan

argumentatif.

b. Teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan,

proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan,baik yang tertera dalam

baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder.

c. Teknik Sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum

atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun

tidak sederajat.

d. Teknik Argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena

penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran

hukum.

e. Teknik deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh

gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi

pidananya.46

46

Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2008, Program Studi

Magister Hukum, Universitas Udayana, hal. 14.