bab i pendahuluan 1.1. latar belakang...

13
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemahaman atas asas null and void yang belum begitu tepat tersebut terlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah ini. Meskipun terdapat dalam klausula Perjanjian No. 2 tersebut klausula bahwa apabila suatu syarat tidak terpenuhi maka kedua belah pihak bersepakat agar perjanjian yang mereka buat itu null and void, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak menyadari akan sepakat (consent) apa yang telah mereka sepakati bersama itu. Demikian pula dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dengan perjanjian tersebut. Akibatnya, sejak penandatanganan Perjanjian No. 2 hingga penyusunan penelitian dan penulisan karya tulis ini, telah timbul berbagai kesulitan dan permasalahan yang seharusnya tidak perlu ada di Kota Salatiga. Beberapa permasalahan yang Penulis maksudkan tersebut antara lain dapat dikemukakan dibawah ini: Masih saja ada semacam “keyakinan” bahwa ada hak-hak yang timbul dari Perjanjian No. 2 di atas. Misalnya, Hak Guna Bangunan (HGB) masih diyakini dipegang oleh PT. Matahari Mas Sejahtera, namun tidak dioptimalkan. Persoalan tidak hanya mengenai HGB tersebut saja, akan tetapi bagaimana Pemerintah Kota Salatiga dapat mengoperasikan Pasaraya II karena yakin bahwa Perjanjian No. 2 masih ada. Demikian pula juga menyelesaikan permasalahan 1

Upload: vanthuy

Post on 28-Apr-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8333/2/T1_312009033_BAB I.pdfterlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pemahaman atas asas null and void yang belum begitu tepat tersebut

terlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah ini.

Meskipun terdapat dalam klausula Perjanjian No. 2 tersebut klausula bahwa

apabila suatu syarat tidak terpenuhi maka kedua belah pihak bersepakat agar

perjanjian yang mereka buat itu null and void, tetapi dalam kenyataannya para

pihak tidak menyadari akan sepakat (consent) apa yang telah mereka sepakati

bersama itu. Demikian pula dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan

dengan perjanjian tersebut. Akibatnya, sejak penandatanganan Perjanjian No. 2

hingga penyusunan penelitian dan penulisan karya tulis ini, telah timbul berbagai

kesulitan dan permasalahan yang seharusnya tidak perlu ada di Kota Salatiga.

Beberapa permasalahan yang Penulis maksudkan tersebut antara lain dapat

dikemukakan dibawah ini:

Masih saja ada semacam “keyakinan” bahwa ada hak-hak yang timbul dari

Perjanjian No. 2 di atas. Misalnya, Hak Guna Bangunan (HGB) masih diyakini

dipegang oleh PT. Matahari Mas Sejahtera, namun tidak dioptimalkan.

Persoalan tidak hanya mengenai HGB tersebut saja, akan tetapi bagaimana

Pemerintah Kota Salatiga dapat mengoperasikan Pasaraya II karena yakin bahwa

Perjanjian No. 2 masih ada. Demikian pula juga menyelesaikan permasalahan

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8333/2/T1_312009033_BAB I.pdfterlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah

lainnya, seperti lahan kosong di sekitar Pasaraya II yang seharusnya dimanfaatkan

sebagai lahan parkir masih bertitik tolak dari adanya Perjanjian No. 2. Tak pelak,

di mata Ilmu Hukum hal semacam ini merupakan suatu ilegalitas.

Masalah berikut adalah, tersendatnya pembangunan Pasaraya II dalam hal

perizinan. Masalah perizinan tersebut muncul karena dinilai bertentangan dengan

Peraturan Presiden No. 112 tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar

Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Pasar Modern masih bertitik tolak dari

kesadaran bahwa Perjanjian No. 2 masih ada. Semua hal atau permasalahan yang

Penulis angkat dari pendekatan koran di atas menunjukan bahwa pihak-pihak

yang berkepentingan (stake holders) masih berkeyakinan seolah-olah masih ada

Perjanjian No. 2 dan addendumnya, dan melahirkan hak, namun secara yuridis

Perjanjian tersebut sudah null and void.

Apa sesungguhnya yang telah menjadi sebab meskipun, seperti telah

Penulis katakan bahwa secara yuridis Perjanjian No. 2 sudah null and void tetapi

para stake holders masih berpikir bahwa Perjanjian No. 2 dan addendumnya

masih ada? Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Penulis memilih judul

sebagaimana telah di kemukakan di atas.

Menurut Subekti, suatu perjanjian, yang tidak memenuhi syarat obyektif,

(hal tertentu atau causa yang halal), dapat mengakibatkan perjanjian tersebut

menjadi batal demi hukum (Null and void).1

Berkaitan dengan asas atau kaedah hukum yang baru saja Penulis

kemukakan di atas, menurut Subekti, dalam hal yang demikian, secara yuridis

batal demi hukum artinya dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada

1 Subekti., Hukum Perjanjian, Intermasa, 1979, Jakarta, hal., 22-23.

2

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8333/2/T1_312009033_BAB I.pdfterlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah

pula perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian. Tujuan

para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama

lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan

hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim diwajibkan karena jabatannya,

menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.2

Selain pengertian asas, atau kaedah null and void seperti yang telah

dikatakan oleh Subekti di atas, ada juga yang mengatakan kebatalan atau

pembatalan perjanjian menurut Pasal KUHPerdata. Pengertian kebatalan atau

pembatalan perjanjian menurut pihak-pihak selain Subekti itu adalah sebagai

berikut:

Ada suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu

perjanjian harus di anggap batal, meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. Dan

perjanjian dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapapun juga. Batal

mutlak adalah suatu perjanjian, yang diadakan tanpa mengindahkan cara (vorm)

yang secara mutlak dikehendaki oleh undang-undang. Juga batal mutlak adalah

suatu perjanjian, yang causanya bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban

umum (open bare orde).3

Selain itu tentang pengertian batal demi hukum juga diberikan berdasar

pada alasan kebatalannya. Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum, tidak

dapat dipaksakan pelaksanaannya jika terjadi pelanggaran terhadap syarat

obyektif dari sahnya suatu perikatan kecuali oleh hakim. Keharusan akan adanya

suatu hal tertentu yang menjadi obyek dalam perjanjian dirumuskan dalam Pasal

2 Ibid., hal., 22.

3 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, 2003, Jakarta, hal., 182.

3

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8333/2/T1_312009033_BAB I.pdfterlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah

1332 sampai Pasal 1334 (KUHPerdata) diikuti dengan Pasal 1335 sampai dengan

Pasal 1336 (KUHPerdata) yang mengatur mengenai rumusan sebab yang halal,

atau sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak berlawanan dengan

kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Seperti telah dibahas sebelumnya, dengan tidak adanya suatu hal tertentu

(subject certain), yang terwujud dalam kebendaan yang telah disepakati, (obyek

dalam suatu perjanjian), maka jelas perjanjian tidak pernah ada. Karenanya, tidak

pernah pula terbit perikatan di antara para pihak (yang bermaksud membuat

perjanjian tersebut). Perjanjian demikian adalah kosong (null) adanya.4

Selain itu ada juga definisi tentang null and void berdasarkan kriteria-

kriteria seperti perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil. Dalam

Perjanjian demikian tidak dipenuhinya ketentuan hukum tentang, misalnya bentuk

atau format perjanjian, cara pembuatan perjanjian, ataupun cara pengesahan

perjanjian, sebagaimana diwajibkan melalui peraturan perundang-undangan,

berakibat perjanjian formil batal demi hukum.5

Ahli hukum memberikan perngertian perjanjian formil sebagai perjanjian

yang tidak hanya didasarkan pada adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh

undang-undang juga disyaratkan adanya kesepakatan para pihak mematuhi

formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi hukum.6

4W. Prodjodikoro., 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2011

hal., 151.

5 Ibid., hal., 151.

6Herlien Budiono., Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bhakti, 2009, hal., 47- 48.

4

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8333/2/T1_312009033_BAB I.pdfterlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus

ada suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya sering disebut

sebagai syarat objektif untuk sahnya perjanjian. Syarat objektif pertama, yaitu

suatu hal tertentu diartikan oleh Mariam Darus Badrulzaman7 dan Herlien

Budiono8 sebagai objek atau pokok perjanjian, atau apa yang menjadi hak dari

kreditor dan kewajiban bagi debitor menurut Subekti.9

Kriteria selanjutnya adalah perjanjian yang dilakukan oleh orang atau

pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak berwenang, juga berakibat

batal demi hukum. Artinya ketentuan dalam undang-undang tertentu yang

menyatakan bahwa orang atau pihak tertentu tidak berwenang, merupakan aturan

hukum yang bersifat memaksa sehingga tidak bisa disimpangi.10

Sedangkan menurut kriteria syarat batal dalam sebuah perjanjian adalah

suatu peristiwa atau fakta tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa depan,

namun para pihak dalam perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta

tersebut benar terjadi maka perjanjian tersebut menjadi batal.

Perjanjian dengan syarat batal yang menjadi null and void karena syarat

batal tersebut terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan pada kondisi

semula pada saat timbulnya perikatan itu. Dengan kata lain, perjanjian yang null

7Mariam Darus Badrulzaman., “Perikatan pada Umumnya”, dalam buku berjudul

Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung 2001, hal., 79-80.

8Herlien Budiono Elly Erawati, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, PT. Gramedia, Jakarta, 2010, hal., 8.

9Subekti., Hukum Perjanjian, Intermasa, Cetakan V, Jakarta, 1978, hal., 19.

10Herlien Budiono Elly Erawati, Op.Cit hal., 13.

5

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8333/2/T1_312009033_BAB I.pdfterlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah

and void seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal perjanjian itu dibuat atau

void ab initio.

Pasal 1265 KUH Perdata mengatur syarat batal seperti telah dikemukakan

di atas itu dengan menyebut bahwa:

“suatu syarat batal adalah yang bila di penuhi akan

menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu

kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada

suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan

perikatan; ia hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa

yang telah diterimanya, bila yang dimaksudkan terjadi”.11

I.G. Rai Widjaya mengatakan apabila unsur syarat objektif ada yang tidak

terpenuhi (suatu hal tertentu atau suatu sebab yang legal), akibat hukumnya adalah

null and void atau dalam bahasa Belanda nietig verklaard. Artinya, sejak awal

tidak pernah lahir suatu perjanjian sehingga tidak pernah ada perikatan. Karena

tidak pernah lahir perjanjian, tidak ada akibat hukum apapun sehingga tidak ada

dasar hukum yang dapat dijadikan alas hak untuk melakukan gugatan atau

penuntutan.12

Selanjutnya batal demi hukum atau batal dengan sendirinya adalah apabila

terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat obyek tertentu atau tidak

mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan (Pasal 1320 KUH Pedata

Angka (3) dan (4) jis. 1335, 1337, 1339 KUH Pedata), sehingga berakibat kontrak

tersebut batal demi hukum (nietig). Dengan demikian makna pembatalan lebih

11Ibid., hal., 13-14.

12I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak “Contract Drafting dan Praktik” Kesaint Blanc, Bekasi Timur, 2004, hal., 54.

6

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8333/2/T1_312009033_BAB I.pdfterlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah

mengarah pada proses pembentukan kontrak (penutupan kontrak). Akibat hukum

pada pembatalan kontrak adalah “pengembalian pada posisi semula, sebagaimana

halnya sebelum penutupan kontrak, atau void ab initio”.13

Secara konsepsual yuridis, terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal

demi hukum dengan perjanjian yang dapat dibatalkan (voidable). Terakhir ini

yaitu voidable, terjadi apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat sahnya

perjanjian yaitu yang diketahui terjadi apabila salah satu unsur subjektif tidak

terpenuhi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya

kata sepakat diantara para pihak yang mengikatkan dirinya dan memiliki

kecakapan dalam membuat suatu perikatan.

Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai

syarat yang subyektif sebagaimana sudah dikemukakan di atas, maka perjanjian

itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan (canceling)

oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum

(orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap), dan

pihak yang memberikan perizinannya atau yang menyetujui perjanjian itu secara

tidak bebas.14

Dari sini saja sudah dapat diketahui bahwa perjanjian yang dibuat tidak

memenuhi salah satu persyaratan subyektif maka perjanjian tersebut dapat

dibatalkan oleh salah satu pihak apabila diketahuinya. Misalnya kalau pihak yang

tidak cakap menurut hukum. Selanjutnya persetujuan kedua belah pihak

(kesepakatan), harus diberikan secara bebas.

13Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian”Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial” Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, hal., 264.

14Subekti, 1979. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal ., 22-24.

7

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8333/2/T1_312009033_BAB I.pdfterlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah

Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perizinan tidak

bebas, atau tidak ada freedom of contract, yaitu paksaan, kekhilafan dan penipuan.

Dimaksudkan dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis).

Jadi, bukan paksaan badan (fisik). Berikutnya kekhilafan atau kekeliruan terjadi,

apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang

diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek

perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.

Mengenai penipuan, apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan

keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar (misrepresentation) disertai

dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya.

Agus Yudha Hernoko15 dan I.G Rai Widjaya16 juga menyatakan bahwa

ada dua persyaratan yang menentukan sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 KUH

Perdata). Persyaratan tersebut adalah persyaratan subjektif dan persyaratan

objektif. Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka akibatnya ialah bahwa

dengan tidak terpenuhinya persyaratan subjektif (kesepakatan dan kecakapan)

para pihak maka perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak melalui

pengadilan.

Secara prinsip suatu pejanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan

(voidable) jika perjanjian tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan pihak-

pihak tertentu. Pihak-pihak ini tidak hanya dalam perjanjian tersebut, tetapi

meliputi juga individu yang merupakan pihak ketiga di luar para pihak yang

mengadakan perjanjian. Dalam hal ini di luar pembatalan atas perjanjian tersebut

15Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian ”Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial” Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, Catatan No. 11 hal., 264.

16I.G.Rai Widjaya, Catatan No. 10 hal., 55.

8

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8333/2/T1_312009033_BAB I.pdfterlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah

dapat terjadi, baik sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan

maupun setelah prestasi yang wajib dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang

dibuat tersebut dilaksanakan. Bagi keadaan yang terakhir ini, ketentuan Pasal

1451 dan Pasal 1452 KUH Perdata menentukan bahwa setiap kebatalan membawa

akibat bahwa semua kebendaan dan orang-orangnya dipulihkan sama seperti

sebelum perjanjian dibuat.

Memerhatikan alasan-alasan yang dapat dikemukakan sehubungan dengan

pembatalan perjanjian, secara garis besar, alasan pembatalan perjanjian dapat

digolongkan ke dalam dua golongan besar, pembatalan perjanjian oleh salah satu

pihak dalam perjanjian. Alasan-alasan tersebut, seperti telah diuraikan di atas

sering kali disebut dengan alasan subyektif. Pada dasarnya suatu perjanjian hanya

mengikat para pihak yang membuatnya dan karenanya tidak membawa akibat

apapun bagi pihak ketiga. Walau demikian, untuk melindungi kepentingan

kreditor, dalam perikatan dengan debitor dan agar ketentuan Pasal 1131 Jo. Pasal

1132 KUHPerdata dapat dilaksanakan sepenuhnya, maka dibuatlah ketentuan

Pasal 1341 KUHPerdata yang lebih dikenal dengan Actio Paulina.17

Pembatalan tidak mutlak (relatief) yaitu hanya terjadi jika diminta oleh

orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu.

Pembatalan tidak mutlak dapat dibagi menjadi dua macam: Pertama, pembatalan

tidak mutlak atas kekuasaan sendiri (nietig serta van rechtswegenietig). Para

hakim diminta supaya menyatakan batal, misalnya dalam hal perjanjian yang

diadakan oleh seorang yang belum dewasa (lihat pasal 1446 KUHPerdata).

Kedua, pembatalan belaka oleh hakim (vernitigbaar), yang putusannya harus

17Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Catatan No. 2 hal., 172-180.

9

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8333/2/T1_312009033_BAB I.pdfterlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah

berbunyi; membatalkan, misalnya dalam hal perjanjian yang terbentuk secara

paksaan, kekeliruan atau penipuan (lihat pasal 1449 KUH Perdata).

Perbedaan nyata yang dikatakan pihak-pihak di atas diadakan oleh KUH

Perdata antara dua macam pembatalan ini dapat dilihat dari kata-kata yang

terpakai dalam Pasal 1446 dan 1449 KUH Perdata. Pasal 1446 mengatakan,

bahwa perjanjian yang dimaksudkan di situ, dapat dinyatakan batal atas suatu

tuntutan. Tuntutan ini dapat dilakukan secara gugatan atau dalam suatu

perlawanan (exceptie). Sedangkan Pasal 1449 dikatakan, bahwa perjanjian yang

dimaksudkan di situ, hanya dapat dibatalkan atas suatu gugatan

(rechtsvordering).18

Dalam Perjanjian No. 2 dan addendum yang menjadi satuan amatan dari

penelitian ini, nampaknya pemahaman perbedaan konsepsi null and void dengan

konsep dapat dibatalkan (voidable) kurang dipahami secara tepat oleh para pihak

dan stake holders. Hal itulah yang melatarbelakangi penelitian dan penulisan

karya tulis ini.

1.2. Rumusan Masalah

Apa akibat yuridis dari batal demi hukum Pejanjian Kerja Sama

Pemerintah Kota Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera Cabang Surakarta

tentang Peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar Lama, Pasar Berdikari, Pasar

Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi Pasaraya dan Pusat

Pertokoan Salati

18W. Prodjodikoro, Catatan No. 3 hal., 196-197.

10

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8333/2/T1_312009033_BAB I.pdfterlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah

1.3. Tujuan Penelitian

Mengenai tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui apa penyebab

timbul permasalahan dalam Pejanjian Kerja Sama Pemerintah Kota Salatiga

dengan PT. Matahari Mas Sejahtera Cabang Surakarta tentang Peningkatan dan

Penataan (Renovasi) Pasar Lama, Pasar Berdikari, Pasar Baru, dan Kompleks

Pertokoan Morodadi Cs menjadi Pasaraya Salatiga.

1.5. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan di sini adalah penelitian hukum (legal

research) dengan dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach),

pendekatan konseptual (konseptual approach), dan pendekatan kasus (cases

study). Pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan dengan menggunakan

legislasi dan regulasi untuk menjawab isu hukum atau permasalahan penelitian.19

Pendekatan konseptual mengkaji konsep-konsep dan teori-teori yang berkembang

di bidang hokum perdagangan internasional yang relevan dengan permasalahan

penelitian.

Penulis hendak menemukan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum yang

mengatur mengenai jaminan dalam bentuk deposito terhadap documentary credit

dalam perdagangan Internasional.

19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal., 97.

11

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8333/2/T1_312009033_BAB I.pdfterlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah

2. Sumber Hukum

Sumber-sumber hukum penelitian ini meliputi bahan hukum primer, dan

bahan hukum sekunder.

a. Bahan hukum primer, yaitu Perundang-Undangan yang merupakan

kesepakatan antara pemerintah dan rakyat sehingga mempunyai kekuatan

mengikat untuk penyelenggaraan kehidupan bernegara.20 Penulis dalam

melakukan penelitian ini menggunakan bahan hukum primer: Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Bahan Hukum Sekunder yang terutama adalah buku teks berisi mengenai

prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan para sarjana

yang memiliki kualifikasi tinggi.21

3. Unit Amatan dan Unit Analisis

Adapun satuan amatan penelitian ini adalah: Surat Perjanjian

kerjasama No. 2 tahun 1991 tentang peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar

Lama, Pasar Berdikari, Pasar Baru dan kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi

Pasaraya dan Pusat Pertokoan Salatiga. Addendum Pertama Perjanjian Kerja

Sama No. 2 tahun 1991 tentang Peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar

Lama, Pasar Berdikari, Pasar Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs

Menjadi Pasaraya Salatiga dan Pusat Pertokoan Salatiga, antara Pemerintah

Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera

20 Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, hal., 142.

21 Ibid.

12

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8333/2/T1_312009033_BAB I.pdfterlihat dengan jelas dalam Pejanjian No. 2 dan addendumnya dibawah

13

Cabang Surakarta, No. 2 tahun 1992; Addendum Kedua Perjanjian Kerja Sama

No. 2 tahun 1991 tentang Peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar Lama,

Pasar Berdikari, Pasar Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi

Pasaraya Salatiga dan Pusat Pertokoan Salatiga, antara Pemerintah Kotamadya

Daerah Tingkat II Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera Cabang Surakarta,

No. 1 tahun 1993; addendum ketiga Perjanjian Kerja Sama No. 5/perj/VI/1995

Pemerintah Kotamadya Dati II Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera

Cabang Surakarta tentang Peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar Lama,

Pasar Berdikari, Pasar Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi

Pasaraya I dan Pasaraya II Salatiga.

Sedangkan Satuan analisis Penelitian ini adalah Bagaimana asas null and

void dalam Perjanjian Kerjasama Pemerintah Kota Salatiga dengan PT. Matahari

Mas Sejahtera Cabang Surakarta. Dalam rangka mempertajam analisis, maka

suatu studi perbandingan (comparative studies) antara Perjanjian No. 2 dan

addendum perjanjian tersebut di atas juga dibandingkan dengan perjanjian sejenis

yang juga diadakan di Kota Salatiga. Perjanjian tersebut adalah: Surat Perjanjian

Kerja Sama No. 1/1991 tentang Kontrak Bagi Tempat Usaha dalam Rangka

Pembangunan Taman Sari Plaza (saat ini dikuasai oleh Matahari Department

Store), di Kota Salatiga dan addendum perjanjian tersebut.22

22Semua satuan amatan ini Penulis gambarkan dengan lengkap dan rinci dalam Bab III

Hasil Penelitian dan Analisis untuk selanjutnya dianalisis dalam Bab yang sama. Apabila perlu dokumen yang relevan akan dilampirkan dalam Lampiran Skripsi ini. Lihat lampiran I.