tinjauan umum mengenai pejanjian celah timor dan ... ii.pdfkonvensi wina 1969 tentang perjanjian...

40
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEJANJIAN CELAH TIMOR DAN PENYELESAIAN SENGKETA 2.1 Pengertian Asas Rebus Sic Stantibus Berakhirnya pengikatan diri pada suatu perjanjian internasional pada dasarnya harus disepakati oleh para pihak yang terikat dalam perjanjian dimana hal tersebut diatur dalam ketentuan perjanjian itu sendiri. 1 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional membedakan pengakhiran perjanjian yang didasarkan pada kesepakatan para pihak dengan pengakhiran yang dilakukan secara sepihak seperti pembatalan dan penghentian sementara. 2 Asas rebus sic stantibus merupakan dasar untuk mengajukan pengakhiran atau pengunduran diri atau penangguhan. Didalam asas ini suatu perjanjian menentukan perbuatan selanjutnya yang harus dilaksanakan pada masa yang akan datang. Perjanjian internasional berlaku secara efektif hanya selama keadaan yang menjadi dasar dibuatnya perjanjian tersebut tidak berubah atau didalam perjanjian tersebut hanya mengikat selama keadaan tidak berubah. 3 Selanjutnya ditegaskan pula asas rebus sic stantibus tidak dapat diterapkan dalam perjanjian-perjanjian berikut: 4 1 Damos Dumoli Agusman, 2014, “Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia”, Cet 2, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 64. 2 Ibid. 3 Sefriani, 2010, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 299. 4 Ibid

Upload: tranxuyen

Post on 07-Apr-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PEJANJIAN CELAH TIMOR DAN

PENYELESAIAN SENGKETA

2.1 Pengertian Asas Rebus Sic Stantibus

Berakhirnya pengikatan diri pada suatu perjanjian internasional pada dasarnya

harus disepakati oleh para pihak yang terikat dalam perjanjian dimana hal tersebut

diatur dalam ketentuan perjanjian itu sendiri.1Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian

Internasional membedakan pengakhiran perjanjian yang didasarkan pada kesepakatan

para pihak dengan pengakhiran yang dilakukan secara sepihak seperti pembatalan dan

penghentian sementara.2

Asas rebus sic stantibus merupakan dasar untuk mengajukan pengakhiran atau

pengunduran diri atau penangguhan. Didalam asas ini suatu perjanjian menentukan

perbuatan selanjutnya yang harus dilaksanakan pada masa yang akan datang. Perjanjian

internasional berlaku secara efektif hanya selama keadaan yang menjadi dasar dibuatnya

perjanjian tersebut tidak berubah atau didalam perjanjian tersebut hanya mengikat

selama keadaan tidak berubah. 3

Selanjutnya ditegaskan pula asas rebus sic stantibus tidak dapat diterapkan

dalam perjanjian-perjanjian berikut:4

1 Damos Dumoli Agusman, 2014, “Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan PraktikIndonesia”, Cet 2, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 64.

2 Ibid.

3 Sefriani, 2010, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 299.

4 Ibid

1. Traktat-traktat yang secara langsung berkenaan dengan wilayah yang telah

berganti pemilik seperti, traktat-traktat yang menetapkan rezim perbatasan,

servitude, atau quasi servitude, misalnya hak melintas, atau traktat-traktat

netralisasi atau demiliterisasi wilayah terkait.

2. Konvensi-konvensi multilateral yang berkaitan dengan kesehatan, narkotika,

hak-hak manusia dan hal-hal serupa, yang dimaksudkan untuk berlaku,

meskipun ada perubahan-perubahan wilayah.

2.2 Pengertian Asas Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt.

Fakta yang sangat penting menyangkut pembuatan aturan-aturan hukum yang

mengikat bagi masyarakat internasional berpusat kepada pengaturan dan akibat

perjanjian terhadap negara-negara pihak ketiga, yaitu negara yang bukan anggota

perjanjian yang bersangkutan. Aturan umumnya ialah kesepakatan internasional hanya

mengikat bagi para anggotanya. Alasan-alasan untuk aturan tersebut dapat dijumpai

pada asas-asas dasar kedaulatan dan kemerdekaan negara-negara yang tegas

menyatakan bahwa negara harus menyetujui aturan tersebut.

Pengaturan terhadap negara ketiga dalam Konvensi Wina 1969 diatur secara

khusus dalam Bab III, Bagian Keempat, Pasal 34-38. Pasal 34 dengan tegas menganut

asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt yang berarti bahwa perjanjian-perjanjian tidak

dapat memberikan hak dan kewajiban-kewajiban pada pihak ketiga.5Kewajiban pihak

ketiga harus bertindak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian,

dan ia akan tetap terikat pada perjanjian tersebut selama ia tidak menyatakan

5 Aryuni Yuliantiningsih, Pengaturan Asas Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt Berkaitan DenganStatus Hukum Daerah Dasar Laut Samudra Dalam (Sea Bed), Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 1Januari 2010, hlm. 30.

kehendaknya yang berlainan. Bagi pihak ketiga mengenai perjanjian yang telah dibuat

oleh pihak lain, baik negara maupun organisasi internasional, baginya hanya merupakan

kepentingan pihak lain atau res inter allios act. Teori lain mengatakan bahwa mengenai

keterikatan negara pengganti pada perjanjian internasional yang dibuat oleh negara

pendahulu, tidak ada aturan yang berlaku umum. Terhadap pihak ketiga pergantian

negara tidak mempunyai pengaruh, tetapi persoalan biasanya diselesaikan dengan

perjanjian bilateral antara pihak yang terkait.6

2.3 Perjanjian Celah Timor

2.3.1 Sejarah Perjanjian Celah Timor

Istilah Celah Timor diciptakan pada tahun 1972 sebagai hasil dari adanya dua

peristiwa. Pertama, antara Australia dan Indonesia menetapkan sebuah perjanjian yang

melibatkan keduanya untuk menetapkan batas dasar laut di daerah timur Papua Nugini

dan selatan Timor Barat. Celah Timor, secara geografis berada di laut antara Indonesia-

Timor Leste-Australia. Percobaan Eksplorasi minyak dan gas di celah tersebut

sebenarnya sudah dimulai pada tahun sekitar tahun 1970an, tepatnya tahun 1974 dimana

Portugal memberikan konsesi ladang minyak kepada Adobe Gas and Oceanic Company

of Denver yang merupakan perusahaan dari Amerika7.

Celah Timor merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, hal ini

ditunjukan oleh banyaknya cadangan minyak dan gas yang terkandung di dalamnya.

Menurut CIA World Factbook, Timor Leste menunjukan cadangan minyak terbukti

6 Ibid.7 http://www.seasite.niu.edu/easttimor/oil.htm diakses pada tanggal 1 Juni 2015

sebanyak 553.800.000 barrel8, hal ini belum termasuk ladang ladang yang belum

diketahui secara pasti jumlah cadangannya, hal ini dikarenakan belum seluruh Celah

Timor diteliti jumlah pasti dari cadangannya, hal ini juga berlaku pada cadangan Gas

Timor Leste yang mencapai 200.000.000.000 meter kubik yang belum termasuk ladang

ladang gas yang belum tereksplorasi. Hal ini mengungkapkan bahwa ekonomi negara

baru termuda di Asia tenggara ini memiliki harapan dalam membangun negaranya

melalui sumber daya alam minyak dan gas.9

Pada tahun 1974 ada laporan penemuan minyak di struktur Kelp dalam wilayah

Celah Timor yang mengungkapkan adanya minyak yang signifikan dan juga potensi

produksi gas. Hal ini potensial untuk menimbulkan permasalahan baru ketika penemuan

minyak dapat membuat masalah Celah Timor yang sangat vital bagi Australia dan

Indonesia.10 Minyak bagi Australia, dapat menjadi suksesi untuk bisa menjamin

kemandirian energi Australia dalam abad ke-21, sebagai cadangan mereka di daerah lain

yang semakin lama semakin berkurang. Penemuan cadangan baru juga sangat penting

bagi Indonesia. Maka dengan demikian, Australia dan Indonesia memulai negosiasi

untuk membentuk suatu batas yang bisa diterapkan. Kemudian Australia dan Indonesia

melakukan kesepakatan pada prinsipnya untuk melaksanakan zona pengembangan

bersama pada bulan Oktober 1985. Pada tanggal 11 Desember 1989, Menteri Luar

Negeri Australia dan Indonesia akhirnya menandatangani Perjanjian Celah Timor saat

8 https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/rankorder/2 178 rank. Html ?countryName=Timor-Leste&countryCod e=tt&regionCode=eas&rank=46 diakses pada 1 Juni 2015

9 Ibid

10 Ibid.

berada diatas Laut Timor.11

2.3.2 Perjanjian Zona Kerjasama di Celah Timor

Perjanjian Timor Gap Treaty 1989 merupakan perjanjian yang bersifat teknis

yang mengatur mengenai zona pengembangan bersama (join development zone) di

daerah tumpang tindih klaim antara Indonesia dan Australia yaitu celah Timor.

Perjanjian tersebut dibuat oleh kedua belah pihak tidak lain adalah agar tidak

menggangu hubungan bilateral yang baik antara kedua belah pihak dan agar tidak

tertundanya pemanfaatan potensi minyak bumi dan gas alam yang terdapat di Celah

Timor.12

Secara yuridis, perjanjian mengenai zona pengembangan bersama antara

Indonesia dan Australia ini dilegitimasi oleh Konvensi Hukum Laut 1982, sebagaimana

yang terkandung di dalam Pasal 83:

"Sementara persetujuan penetapan batas landas kontinen belum tercapai,

negara-negara yang bersangkutan dalam semangat saling pengertian dan kerjasama

hendaknya berupaya untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis

dan selama berlangsungnya masa transisi ini tidak boleh membahayakan atau

menghambat upaya untuk mencapai persetujuan akhir. Pengaturan semacam ini tidak

boleh merugikan penetapan garis batas landas kontinen yang final".

Perjanjian Timor Gap Treaty tersebut pada prinsipnya mengatur masalah

pembagian keuntungan yang diperoleh dari hasil pemanfaatan minyak bumi dan gas

11 BT, Strategi Diplomasi Australia Terhadap Timor Leste: Kasus Celah Timor, Tesis UMY, hlm. 4.URL : http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t15325.pdf., diakses pada tanggal 26 Februari 2015.

12Rephoyt, Timor Gap Treaty 1989 dan Implikasinya, URL :http://rephoyt.blogspot.com/2011/09/timor-gap-treaty-1989-dan-implikasinya.html, diakses pada tanggal25 Februari 2015.

alam yang terdapat di celah Timor, dengan ketentuan 50 : 50. Atau dengan kata lain,

keuntungan yang diperoleh dari hasil pemanfaatan sumber daya alam yang terdapat di

celah Timor akan menjadi hak Indonesia sebesar 50% dan jumlah yang sama pula untuk

Australia. Di samping mengatur masalah pembagian keuntungan, Timor Gap Treaty

1989 juga membagi daerah celah Timor menjadi tiga bagian, yaitu ;13

1. Daerah A; Daerah A merupakan sebagian dari daerah tumpang tindih klaim

(daerah tumpang tindih klaim yang sebenarnya adalah daerah yang dalam

Perjanjian ini disebut Daerah A dan Daerah C). Daerah A akan dimanfaatkan

bersama oleh kedua pihak dengan pembagian hasil masing-masing 50%. Untuk

mengelola Daerah A akan dibentuk Dewan Menteri dan Otoritas Bersama, dan

diberlakukan Kontrak Bagi Hasil.

2. Daerah B; Daerah B merupakan daerah di sebelah Selatan garis tengah yang

terletak di luar daerah-daerah tumpang tindih klaim, dan di Selatan dibatasi

oleh batas 200 mil laut dari garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia. Daerah

B ini akan dikelola oleh Australia seperti yang berlaku selama ini, tetapi

Australia akan memberikan kepada Indonesia 16% dari penghasilan pajak

bersih atau "Net Resource Rent Tax" (Net RRT) atau 10% dari penghasilan

pajak kotor (Groos RRT). Selain itu Australia akan memberikan informasi

kepada Indonesia tentang kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Daerah B

sebelum kegiatan tersebut dimulai;

3. Daerah C; Daerah ini sebenarnya merupakan bagian dari daerah tumpang

tindih tuntutan yurisdiksi masing-masing pihak. Daerah C tersebut akan

13Hamada Hanung, Timor Gap Treaty dan Implikasinya, URL:http://hanunghisbullahhamda.blogspot.com/2011/04/timor-gap-treaty-1989-dan-implikasinya.html,diakses pada tanggal 25 Februari 2015

dikelola oleh Indonesia, dengan ketentuan bahwa Indonesia akan memberikan

10% dari Pajak Pendapatan Kontraktor. Selain itu Indonesia juga akan

memberitahukan Australia tentang kegiatan tersebut.14

2.4 Pengertian Sengketa Internasional

Dalam dunia internasional, menjalin hubungan internasional adalah suatu hal

mutlak yang tidak bisa dihindari oleh setiap negara, hal ini sudah tertuang di dalam

Konvensi Montevideo 1933 yang menyatakan syarat dari terbentuknya negara salah satu

poin yang paling penting adalah mampu menjalin hubungan internasional dengan

negara lain, tujuannya adalah adanya saling membutuhkan satu negara dengan negara

lainnya, karena tidak ada satu negara yang dapat memenuhi kebutuhan negaranya

sendiri tanpa bantuan dari negara lain.15

Dengan seringnya negara menjalin hubungan

internasional dengan negara lain banyak dampak positif yang dihasilkan dan tidak

dipungkiri lagi selain dampak positif yang didapatkan sisi negatifnya pun ada, misalkan

suatu negara terlibat suatu pertikaian atau sengketa internasional di antara kedua negara,

banyak kasus yang sering menyebabkan ketegangan di antara negara yang bertikai dan

banyak kasus yang terjadi yang menyebabkan masalah di atas.16

Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antarnegara dengan individu,

atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya berjalan dengan baik.

Seringkali hubungan itu menimbulkan sengketa di antara mereka. Sengketa dapat

bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi sengketa antarnegara

14 Ibid15 Dewa Gede Sudika Mangku, 2012, Suatu Kajian Umum Tentang Penyelesaian Sengketa

Internasional Termasuk Di Dalam Tubuh ASEAN, Perspektif Volume XVII No. 3 September 2012, hlm,150.

16 Ibid.

dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan

lain-lain.17

Kata dispute mengandung pengertian pertikaian atau sengketa dimana keduanya

dipergunakan secara bergantian.18

John G. Merrills memahami suatu persengketaan

sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau obyek yang diikuti

oleh pengklaim oleh satu pihak dan penolakan di pihak lainnya. Karena itu, sengketa

internasional adalah perselisihan, yang tidak secara eksklusif melibatkan negara, dan

memiliki konsekuensi pada lingkup internasional.19

Persoalan yang timbul adalah apa

yang bisa dijadikan sebagai subjek persengketaan. Menurut John G. Merrills subyek

dari persengketaan dapat bermacam-macam, mulai dari sengketa mengenai kebijakan

suatu negara sampai persoalan perbatasan.20

Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional adalah suatu situasi

ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan

atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian. Sengketa

internasional dapat merupakan sengketa yang tidak mempengaruhi kehidupan

internasional dan dapat juga merupakan sengketa yang mengancam perdamaian dan

ketertiban internasional.21

17 Huala Adolf, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1.

18 John G Merrills, 1991, International Dispute Settlement, Cetakan 1, Cambridge University Press,Cambridge. Penterjemah Achmad Fausan, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung,(selanjutnya disebut John G Merrils I), hlm. 1.

19 Jawahir Tantowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT. RefikaAditama, Bandung, hlm. 224.

20 John G. Merrills, 2003, The Means of Dispute Settlement, Oxford University Press, New York,(selanjutnya disebut John G Merrils II), hlm. 529.

21 Huala Adolf, op.cit, hlm. 2.

Selain itu, Boulding merumuskan sengketa sebagai suatu situasi dari persaingan

dimana para pihak menyadari adanya ketidakcocokan potensial dari posisi-posisi yang

akan datang dan dimana setiap pihak mengingankan untuk menempati suatu posisi yang

tidak sesuai dengan keinginan-keinginan dari pihak lain.22

2.5 Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa

Pada umumnya metode-metode penyelesaian sengketa digolongkan ke dalam

dua kategori yaitu cara-cara penyelesaian secara damai dan cara-cara penyelesaian

secara paksa atau dengan kekerasan.23

Cara-cara penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan apabila para

pihak telah menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. J.G. Starke

mengklasifikasikan suatu metode penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara

damai atau bersahabat yaitu arbitrase, penyelesaian yudisial, negosiasi, jasa-jasa baik

(good offices), mediasi, konsiliasi, penyelidikan, dan penyelesaian di bawah naungan

organisasi PBB.24

Sementara itu, F. Sugeng Istanto menyatakan bahwa penyelesaian

secara damai dapat dilakukan melalui beberapa cara yakni rujuk, penyelesaian sengketa

di bawah perlindungan PBB, arbitrase dan peradilan.25

22 I Made Widnyana, 2014, Alternatif Penyelesaian Sengketa & Arbitrase, PT. Fikahati Aneksa,Badan Arbitrane Nasional Indonesia, hlm. 27.

23 A.A.S.P. Dian Saraswati, 2007, Simplikasi Pengaruh Pelaksanaan Putusan MahkamahInternasional dalam Memperluas Wilayah Laut Suatu Negara (Studi Kasus Sengketa Wilayah Ambalatantara Indonesia dengan Malaysia), Tesis Program Studi Ilmu Hukum Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial,Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, hlm. 19.

24 J.G. Starke, 2007, Pengantar Hukum Internasional (edisi kesepuluh, Buku 2), Cetakan 1,Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 646.

25 F. Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 88.

Melihat pandangan kedua ahli hukum di atas maka dapat terlihat bahwa

penyelesaian sengketa secara damai pada dasarnya dapat dilakukan berdasarkan:

1. Arbitrase

Arbitrase adalah sebuah salah satu cara alternatif penyelesaian sengketa

yang telah dikenal lama dalam hukum internasional. Dalam penyelesaian suatu

kasus sengketa internasional, sengketa diajukan kepada para arbitrator yang

dipilih secara bebas oleh pihak-pihak yang bersengketa. Menurut F. Sugeng

Istanto, arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa dengan mengajukan

sengketa kepada orang-orang tertentu, yang dipilih secara bebas oleh pihak-

pihak yang bersengketa untuk memutuskan sengketa itu tanpa harus

memperhatikan ketentuan hukum secara ketat.26

Sementara itu, Moh.Burhan Tsani menyatakan arbitrase adalah suatu

cara pengaturan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang

telah disetujui sebelumnya oleh para pihak-pihak yang bersengketa. Sementara

itu, Konvensi Den Haag Pasal 37 Tahun 1907 memberikan definisi arbitrase

internasional bertujuan untuk menyelesai sengketa-sengketa internasional oleh

hakim-hakim pilihan mereka dan atas dasar ketentuan-ketentuan hukum

internasional. Dengan penyelesaian melalui jalur arbitrase ini negara-negara

harus melaksanakan keputusan dengan itikad baik.27

Hakikatnya arbitrase ialah prosedur penyelesaian sengketa konsensual

dalam arti bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat dilakukan

dengan persetujuan negara-negara bersengketa yang bersangkutan. Penyerahan

26 Ibid.

27 Moh. Burhan Tsani, 1990, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, hlm. 109.

suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan perbuatan suatu

compromise, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir

atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum

sengketa lahir (clause compromissoire). Penyerahan sengketa kepada arbitrase

dapat dilakukan dengan menempatkannya di dalam perjanjian internasional

antara negara-negara yang bersangkutan.28

Perjanjian internasional itu mengatur pokok sengketa yang dimintakan

arbitrase, penunjukkan tribunal arbitrase, batas wewenang arbitrase, prosedur

arbitrase, dan ketentuan yang dijadikan dasar pembuatan keputusan arbitrase.

Susunan tribunal arbitrase sangat beranekaragam tergantung pada suatu

perjanjian internasional yang mengatur arbitrase itu. Tribunal arbitrase dapat

terdiri dari seorang arbitrator atau beberapa orang arbitrator, beberapa arbitrator

ini dapat merupakan gabungan arbitrator yang telah ditunjuk oleh pihak-pihak

yang bersengketa atau gabungan arbitrator yang ditunjuk oleh pihak-pihak yang

bersengketa ditambah arbitrator yang dipilih menurut cara-cara tertentu.

Wewenang tribunal arbitrase tergantung pada suatu kesepakatan negara-negara

yang bersengketa dalam perjanjian internasional tentang arbitrase yang

bersangkutan.29

2. Penyelesaian Yudisial (Judicial Settlement)

Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian yang dihasilkan melalui

suatu pengadilan yudisial internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya

28 Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, hlm. 32.

29 Huala Adolf, op.cit, hlm. 38.

dengan memperlakukan dari suatu kaidah-kaidah hukum. Peradilan yudisial ini

menurut F. Sugeng Istanto juga dapat disamakan dengan suatu peradilan

internasional. Peradilan Internasional penyelesaian masalah dengan menerapkan

ketentuan hukum yang dibentuk secara teratur. Pengadilan dapat dibagi ke

dalam dua kategori yaitu pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau

pengadilan khusus. Pengadilan internasional permanen contohnya adalah

Mahkamah Internasional (ICJ).30

Peradilan internasional berbeda dengan arbitrase internasional dalam

beberapa hal, yaitu sebagai berikut:31

1) Mahkamah secara permanen merupakan sebuah pengadilan, yang

diatur dengan statuta dan serangkaian ketentuan prosedurnya

yang mengikat terhadap semua pihak yang berhubungan dengan

Mahkamah;

2) Mahkamah memiliki panitera atau register tetap, yang telah

menjalankan semua fungsi yang diperlukan dalam menerima

dokumen-dokumen untuk arsip, dilakukan suatu pencatatan dan

pengesahan, pelayanan umum Mahkamah, dan bertindak sebagai

saluran komunikasi tetap dengan pemerintah dan badan-badan

lain;

3) Proses peradilan dilakukan secara terbuka, sementara pembelaan-

pembelaan dan catatan-catatan dengan pendapat serta keputusan-

keputusannya dipublikasikan;

30 Ibid

31 Dewa Gede Sudika Mangku, op.cit, hlm. 152.

4) Pada prinsipnya Mahkamah dapat dimasuki oleh semua negara

untuk proses penyelesaian yudisial segala kasus yang dapat

diserahkan oleh negara-negara itu kepadanya dan semua masalah

khususnya yang diatur dalam traktat dan konvensi yang berlaku;

5) Pasal 38 Statuta Mahkamah secara khusus menetapkan bentuk

hukum yang berbeda-beda yang harus diberlakukan Mahkamah

di dalam perkara-perkara dan masalah-masalah yang telah

diajukan kehadapannya, tanpa menyampingkan Mahkamah untuk

dapat memutuskan suatu perkara ex aequo et bono apabila para

pihak setuju terhadap cara tersebut (meskipun bukan ex aequo et

bono dalam pengertian yang kaku, prinsip-prinsip kepantasan

yang diterapkan oleh Mahkamah dalam sejumlah besar perkara

beberapa waktu ini yang diajukan kepadanya yang berkenaan

dengan suatu penetapan batas-batas maritim dan teritorial;

6) Keanggotaan Mahkamah adalah wakil-wakil dari bagian terbesar

suatu masyarakat internasional dan mewakili sistem hukum

utama, sejauh hal itu tidak bertentangan dengan pengadilan lain;

7) Dimungkinkan bagi Mahkamah untuk mengembangkan suatu

praktek yang konsisten dalam proses-proses peradilannya dan

memelihara kesinambungan wawasan terhadap suatu hal yang

tidak sesuai jika dilakukan pengadilan-pengadilan ad hoc.

3. Negosiasi

Negosiasi atau perundingan dapat didefinisikan sebagai upaya untuk

dapat mempelajari dan merujuk mengenai sikap yang dipersengketakan agar

dapat mencapai suatu hasil yang dapat diterima oleh para pihak yang

bersengketa. Apapun bentuk hasil yang dicapai, walaupun sebenarnya lebih

banyak diterima oleh satu pihak dibandingkan dengan pihak yang lainnya.

Negosiasi merupakan suatu teknik penyelesaian sengketa yang paling tradisional

dan paling sederhana. Dalam teknik penyelesaian sengketa tidak melibatkan

pihak ketiga. Pada dasarnya negosiasi hanya berpusat pada diskusi yang

dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait. Perbedaan persepsi yang telah dimiliki

oleh keduabelah pihak akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan

pemahaman atas inti persoalan menjadi lebih mudah untuk dipecahkan.

Bilamana jalan keluar ditemukan oleh pihak-pihak, maka akan berlanjut pada

pemberian konsesi dari tiap pihak kepada pihak lawan.32

Karena itu, dalam hal salah satu pihak bersikap menolak kemungkinan

negosiasi sebagai salah satu cara penyelesaian ini akan mengalami jalan buntu.

Di dalam melakukan negosiasi para pihak harus bisa bersifat universal, harus

memenuhi aturan-aturan tentang niat baik, dan tidak sekedar dilaksanakan secara

formalitas. Negosiasi atau perundingan merupakan suatu pertukaran-pertukaran

pendapat atau usul-usul antar pihak yang bersengketa untuk mencari

kemungkinan tercapainya penyelesaian sengketa secara damai, sedangkan pokok

perundingan biasanya merupakan apa yang menjadi pokok dari sengketa

internasional yang telah melibatkan pihak-pihak perundingan. Negosiasi

32 Jawahir Tantowi dan Pranoto Iskandar, op.cit,hlm. 226.

merupakan suatu proses yang di dalamnya secara eksplisit diajukan usul secara

nyata untuk tercapainya suatu persetujuan.33

Negosiasi juga melibatkan diskusi langsung antar pihak-pihak dalam

sengketa, tidak ada pihak luar atau ketiga yang terlibat dalam proses negosiasi.

Segi positif dari suatu negosiasi ini adalah sebagai berikut: 34

1. Para pihak sendiri yang melakukan negosiasi (perundingan) secara

langsung dengan pihak lainnya;

2. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana

penyelesaian sengketa secara negosiasi ini dilakukan menurut

kesepakatan bersama;

3. Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur

penyelesaiannya;

4. Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik di dalam

negeri;

5. Dalam negosiasi, para pihak dapat berupaya mencari penyelesaian yang

dapat diterima dan memuaskan para pihak, sehingga tidak ada pihak yang

menang dan yang kalah, tetapi diupayakan kedua belah pihak menang;

6. Negosiasi dimungkinkan dapat digunakan untuk setiap penyelesaian

sengketa dalam setiap bentuknya, apakah negosiasi secara tertulis, lisan,

bilateral, multilateral, dan lain-lain.

33 Mirza Satria Buana, 2007, Hukum Internasional Teori dan Praktek, FH Unlam Press, KalimantanSelatan, hlm. 88.

34 Huala Adolf, op.cit,hlm. 41.

Sedangkan, kelemahan utama penggunaan cara negosiasi di dalam

penyelesaian sengketa adalah:35

1) Manakala kedudukan dari para pihak tidak seimbang, salah satu pihak

kuat sedang pihak yang lain lemah. Dalam keadaan ini, pihak yang kuat

berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali

terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketa

di antara mereka.

2) Bahwa proses berlangsungnya suatu negosiasi acapkali lambat dan

memakan waktu lama. Hal ini terutama dikarenakan suatu permasalahan

antarnegara yang timbul. Selain itu juga, jarang sekali adanya persyaratan

penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketanya

melalui negosiasi.

3) Manakala salah satu pihak terlalu keras dengan pendiriannya, keadaan ini

dapat mengakibatkan proses negosiasi menjadi tidak produktif.

Sementara itu juga, menurut F. Sugeng Istanto, negosiasi adalah

penyelesaian sengketa melalui usaha-usaha penyesuaian pendapat antara pihak-

pihak yang bersengketa secara bersahabat. Negosiasi ini merupakan sarana

untuk menetapkan penyesuaian kebijakan atau sikap tentang masalah yang

disengketakan.36

John G. Merrills menggambarkan peranan penting lembaga

negosiasi ini dengan kalimat sebagai berikut: dalam praktiknya, negosiasi

35 Ibid.

36 F. Sugeng Istanto, op.cit,hlm. 89.

acapkali dimanfaatkan dari pada cara-cara lain, seringkali pula negosiasi hanya

satu-satunya cara yang dipakai, bukan karena cara ini yang pertama ditempuh,

tetapi karena seringkali negara-negara merasakan keuntungannya meskipun

sengketanya sudah begitu rumit dan sulit didamaikan. Negosiasi merupakan

sebuah metode penting dan pada umunya merupakan persoalan-persoalan yang

serius yang dalam praktek harus didahulukan oleh pertukaran diplomatik

dan/atau diplomatic exchanges terlebih dahulu.37

4. Mediasi

Mediasi sebenarnya merupakan bentuk lain dari negosiasi sedangkan

yang membedakannya adalah terdapat keterlibatan pihak ketiga. Dalam hal

pihak ketiga yang hanya bertindak sebagai pelaku mediasi atau mediator

komunikasi bagi pihak ketiga untuk mencarikan negosiasi-negosiasi, maka peran

dari pihak ketiga disebut sebagai good office. Seorang mediator merupakan

pihak ketiga yang memiliki peran yang aktif untuk mencari solusi yang tepat

untuk melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai dan

untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan langsung di antara para

pihak. Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan

langsung di antara para pihak. Mediator bisa negara, individu, dan organisasi

internasional.38

Di dalam melakukan negosiasi atau perundingan, mediator dapat

mengajukan beberapa opsi atau penawaran mengenai penyelesaian masalah

sengketa. Adakalanya penawaran mediasi ditolak dan adakalanya juga dapat

37 John G. Merrills I, Penterjemah Achmad Fausan,hlm. 27.38 Jawahir Tantowi dan Pranoto Iskandar, op.cit,hlm. 227.

diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Keberhasilan proses mediasi

tergantung pada kemauan para pihak atau parties willingness to solved issues

dan penerimaan serta pengaturan penyelesaian yang disarankan atau approval

and implement dispute settlement. Proses mediasi bisa dikatakan berhasil apabila

usulan, penawaran atau peranan mediator dapat diterima oleh para pihak yang

bersengketa. Bahkan mediator dapat pula berupaya mendamaikan para pihak

yang bersengketa. Tetapi saran-saran atau pun usulan-usulan mediator tidak

mempunyai daya mengikat dan/atau binding power. Jadi, mediator hanya

berperan untuk mendamaikan tuntutan kepentingan yang saling berlawanan serta

meredam rasa dendam yang mungkin timbul antara pihak-pihak yang

bersengketa.39

Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi ini hampir mirip dengan

konsilisasi. Perbedaannya, pada mediasi umumnya mediator memberikan usulan

penyelesaian secara informal dan usulan tersebut didasarkan pada laporan yang

diberikan oleh para pihak, tidak dari hasil penyelidikan sendiri. Perlu ditekankan

disini, bahwa saran atau usulan penyelesaian yang diberikan tidaklah mengikat

sifatnya, dimana sifatnya hanya berupa rekomendatif atau usulan saja.40

5. Konsiliasi

Menurut J. G. Starke, istilah konsiliasi mempunyai suatu arti yang luas

dan sempit. Dalam pengertian luas, konsiliasi mencakup berbagai ragam metode

dimana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negara-negara

39 Ibid

40 Ibid.

lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite penasihat yang tidak

berpihak. Dalam pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan suatu sengketa

kepada sebuah komisi atau komite untuk membuat laporan beserta usulan-usulan

kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut, usulan itu tidak memiliki

sifat mengikat.41

Konsiliasi menurut the Institute of International Law melalui the

Regulations on the Procedure of International Conciliation yang telah

diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 dinyatakan, sebagai suatu metode

dari penyelesaian sengketa bersifat internasional di dalam suatu komisi yang

dibentuk oleh pihak-pihak, baik sifatnya permanen atau ad hoc (sementara)

berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa. Proses seperti ini berupaya

mendamaikan pandangan-pandangan para pihak yang bersengketa meskipun

usulan-usulan penyelesaian yang dibuat oleh konsiliator sifatnya tidak

mempunyai kekuatan hukum.42

6. Jasa-jasa Baik (Good Offices)

Jasa-jasa baik diartikan sebagai suatu tindakan pihak ketiga yang akan

mencoba membawa ke arah terselenggaranya suatu perundingan atau

memberikan fasilitas ke arah terselenggaranya perundingan dengan tanpa

berperan serta dalam diskusi mengenai substansi atau pokok sengketa yang

bersangkutan. Dalam jasa-jasa baik, pihak ketiga hanyalah sebagai fasilitator

41 J.G. Starke, Op.cit, hlm. 673.

42 Ibid

dan menawarkan saluran komunikasi supaya dapat dimanfaatkan oleh para pihak

yang bersengketa demi terlaksananya proses perundingan.43

Keikutsertaan pihak ketiga memberikan jasa-jasa baik memudahkan

pihak yang bersengketa untuk bersama-sama mempercepat perundingan di

antara mereka. Setiap pihak yang bersengketa dapat meminta kehadiran jasa-jasa

baik. Namun, pihak lainnya tidak berkewajiban untuk menerima permintaan

tersebut. Dengan kata lain, permintaan tersebut sifatnya tidak mengikat dan tidak

boleh dipandang sebagai tindakan yang tidak bersahabat atau unfriendly act.44

Dalam jasa-jasa baik, seorang pihak ketiga hanya memberikan jasa-

jasanya untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan menyarankan

penyelesaiannya (secara umum), dan tanpa secara nyata ikut serta dalam

perundingan atau melakukan penyelidikan yang sangat mendalam mengenai

aspek-aspek sengketa tersebut itu. Negara atau organisasi internasional yang

bertindak untuk memberikan jasa-jasa baik berarti telah menunjukkan

keinginannya yang bersahabat untuk meningkatkan penyelesaian sengketa.

Apabila pihak ketiga telah mempertemukan pihak-pihak yang telah bersengketa

untuk mencari penyelesaian suatu sengketa, maka selesailah sudah tugas pihak

ketiga tersebut.45

7. Pencarian Fakta (Inquiry)

43 Ibid

44 Wener Levy, 1991, Contemporary International Law: A ConciseIntroduction, Westview Press, hlm.280.

45 Ibid.

Ketika terjadi pertikaian mengenai fakta dari suatu persoalan, metode

inquiry dapat dipandang paling tepat. Sebab metode ini digunakan untuk

mencapai penyelesaian sebuah sengketa dengan cara mendirikan sebuah komisi

atau badan yang bersifat internasional untuk mencari dan mendengarkan semua

bukti-bukti yang relevan dengan permasalahan kemudian.46

Dengan dasar bukti-bukti dan permasalahan yang timbul badan ini akan

dapat mengeluarkan sebuah fakta yang disertai dengan penyelesaiannya. Tujuan

dari pencarian fakta untuk mencari fakta yang sebenarnya adalah membentuk

suatu dasar bagi penyelesaian sengketa di antara dua negara, yaitu mengawasi

pelaksanaan dari suatu perjanjian internasional, memberikan informasi guna

membuat putusan di tingkat internasional. Pencarian fakta oleh J. G. Starke,

disarankan dengan istilah penyelidikan, tujuan dari penyelidikan tanpa membuat

rekomendasi-rekomendasi yang spesifik adalah untuk menetapkan fakta yang

mungkin diselesaikan dan dengan cara demikian memperlancar suatu

penyelesaian sengketa yang dirundingkan.47

Penyelesaian Sengketa Secara Paksa atau Dengan Kekerasan

Apabila negara-negara tidak dapat mencapai suatu kesepakatan untuk

menyelesaikan sengketa-sengketa mereka secara damai maka cara pemecahan yang

mungkin adalah dengan melalui cara-cara kekerasan. Prinsip-prinsip cara penyelesaian

melalui kekerasan adalah sebagai berikut:

1. Perang dan Tindakan Bersenjata Non Perang

46 Jawahir Tantowi dan Pranoto Iskandar, op.cit,hlm. 228.

47 J.G. Starke, opt.cit.,hlm. 674.

Menurut F. Sugeng Istanto, pertikaian bersenjata atau perang adalah

suatu pertentangan yang disertai penggunaan kekerasan angkatan bersenjata

masing-masing pihak dengan tujuan menundukkan lawan dan menetapkan

persyaratan perdamaian secara sepihak. Sementara itu, menurut J. G. Starke,

keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk dapat menaklukkan negara lawan

dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian dimana negara yang

ditaklukkan itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya.48

2. Retorsi

Menurut J.G. Starke, retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan

dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak

patut dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-

tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang

kehormatannya telah dihina, misalnya merenggangnya hubungan-hubungan

diplomatik, pencabutan keistimewaan diplomatik, atau penarikan diri dari

konsensi-konsensi fiskal dan bea.49

Sementara itu, menurut F. Sugeng Istanto, keadaan yang membenarkan

penggunaan retorsi sampai saat kini belum dapat secara pasti ditentukan karena

pelaksanaan retorsi sangat beranekaragam.50

Penggunaan retorsi secara sah oleh

negara anggota PBB nampak terikat dengan ketentuan Piagamnya. Anggota

PBB harus menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi dengan cara damai

48 Ibid

49 Ibid.

50 F. Sugeng Istanto, op.cit,hlm. 150.

sehingga tidak mengganggu perdamaian dan keamanan internasional dan

keadilan.51

3. Tindakan-Tindakan Pembalasan (Reprisal)

Reprisal adalah metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk

mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan

melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan.52

Reprisal berbeda

dengan retorsi karena perbuatan retorsi hakikatnya merupakan perbuatan yang

tidak melanggar hukum sedangkan perbuatan reprisal pada hakikatnya

merupakan perbuatan yang melanggar hukum.Reprisal di suatu masa perang

adalah perbuatan pembalasan antara pihak yang berperang dengan tujuan untuk

memaksa pihak lawan menghentikan perbuatannya yang telah melanggar hukum

perang. Misalnya, pada tahun 1939 sampai 1940 Inggris menahan barang-barang

eksport Jerman yang dimuat kapal netral sebagai pembalasan atas perbuatan

tidak sah yang penenggelaman kapal dagang oleh ranjau yang dipasang

angkutan laut Jerman.53

4. Blokade Secara Damai (Pacific Blockade)

Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang telah

terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut.Namun, blokade

51 Lihat Pasal 2 ayat (3) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

52 J.G. Starke, opt.cit.,hlm. 680.

53 Ibid

secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai.

Sementara itu menurut pendapat dari F. Sugeng Istanto, blokade adalah suatu

pengepungan wilayah, digolongkan sebagai suatu pembalasan, tindakan itu pada

umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk

menaati permintaan ganti rugi kerugian yang diderita oleh negara yang

memblokade. Blokade yang secara damai untuk pertama kalinya dilakukan pada

tahun 1872, karena pada tahun itu telah dilakukan sekitar 20 tindakan

demikian.54

Blokade secara damai pada umumnya dapat digunakan oleh negara-

negara yang lemah, meskipun karena itu besar kemungkinan terjadi

penyalahgunaan dalam sebagaian besar kasus blokade secara damai dapat

dipakai oleh negara-negara besar yang bertindak secara bersama-sama untuk

tujuan kepentingan dari negara-negara yang bersangkutan, misalnya untuk

mengakhir kerusuhan atau untuk mencegah terjadinya perang.55

5. Intervensi

Perkataan intervensi seringkali dipakai secara umum untuk menunjukkan

hampir semua tindakan campurtangan oleh suatu negara dalam urusan negara

lain. Menurut suatu pengertian yang lebih khusus intervensi itu terbatas pada

tindakan mencampuri urusan dalam negeri atau luar negeri dari negara lain yang

melanggar kemerdekaan negara itu, bukanlah satu intervensi suatu pemberian

nasehat oleh suatu negara pada suatu negara lain mengenai beberapa hal yang

54 Thomas, Walter R, 1980, Pacific Blokade, A Lost Opportunity of the 1930’s, dalam US Naval WarCollege International Law Studies, hlm. 198. Dalam J.G. Starke, Ibid, hlm. 683.

55 Ibid.

terletak di dalam kompetensi dari negara yang disebut kemudian untuk

mengambil keputusan untuk dirinya, walaupun pada umumnya orang

mengangap itu sebagai suatu intervensi. Campurtangan harus berbentuk suatu

perintah, yaitu bersifat memaksakan atau ancaman kekerasan berdiri

dibelakangnya, campurtangan tersebut hampir selalu disertai dengan suatu

bentuk atau implikasi tindakan untuk mengganggu kemerdekaan politik negara

bersangkutan.56

2.6 Perjanjian Internasional

Dalam masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan

yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara.Melalui

perjanjian internasional tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur

berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup

masyarakat itu sendiri.57 Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini,

tidak ada satu negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak

ada satu negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan

internasionalnya.58Semakin besarnya dan semakin meningkatnya esalingtergantungan

antara umat manusia di dunia ini mendorong diadakannya kerjasama internasional yang

dalam banyak hal dirumuskan dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional.59

56 J.L. Brierly, 1996, Hukum Bangsa-Bangsa Suatu Pengantar Hukum Internasional, Bharatara,Jakarta, hlm. 256.

57 Boer Mauna, op.cit, hlm. 82.

58 Ibid.

59 I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1, Mandar Maju, Bandung, hlm.2.

Perjanjian internasional yang pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional

yang utama adalah instrumen-instrumen yuridik yang menampung kehendak dan

persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan

bersama. Persetujuan bersama dari negara-negara berdaulat untuk mengikatkan diri

pada kaidah-kaidah hukum internasional yang disebut dengan commont consent

merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan-kegiatan negara-negara

atau subjek hukum internasional lainnya di dunia.60 Dasar mengikatnya hukum

internasional juga terletak pada asas Pacta Sun Servada yaitu setiap perjanjian harus

dipatuhi oleh pembuatnya. Pada awalnya pembuatan perjanjian-perjanjian internasional

hanya diatur oleh hukum kebiasaan internasional. Prakteknya, hukum kebiasaan

internasional mempunyai beberapa kelemahan, antara lain adalah substansinya yang

kurang jelas atau samar-samar sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum.

Berdasar pada hal tersebut, kaidah-kaidah Hukum Perjanjian Internasional dalam bentuk

tertulis harus segera diwujudkan. Pertengahan tahun 1960-an, Komisi Hukum

Internasional (komisi yang dibentuk melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor

174/II tentang pembentukan Komisi Hukum Internasional) menaruh perhatian terhadap

permasalahan pengkodifikasian Hukum Perjanjian Internasional.61

Komisi Hukum Internasional menyiapkan Rancangan Naskah Konvensi tentang

Hukum Perjanjian yang khusus mengatur masalah perjanjian antar negara dan negara.

Rancangan tersebut diajukan kepada Majelis Umum PBB. Setelah Majelis Umum PBB

mengeluarkan 2 kali resolusi (Resolusi Nomor 2166 (XXI) dan Nomor 2287 (XXII)),

yang pada intinya menyerukan kepada anggotanya untuk segera mengadakan konferensi

60 Boer Mauna, Op.cit, hlm.83

61 I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 6.

internasional dalam bidang hukum perjanjian, maka diselenggarakanlah konferensi

internasional di Wina, Austria, dari tanggal 26 Maret sampai 24 Mei 1968 dan

dilanjutkan pada tanggal 9 April-22 Mei 1969. Hasil dari konferensi tersebut adalah

disepakatinya naskah konvensi dan tanggal 23 Mei 1969 dilakukan penandatanganan

oleh para wakil-wakil negara yang mengadakan perundingan. Konvensi ini kemudian

dikenal sebagai the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina

1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional). Konvensi ini mulai berlaku (enter into

force) pada tanggal 27 Januari 1980.62

Dalam perkembangannya, Komisi Hukum Internasional menyiapkan kembali

rancangan pasal-pasal untuk perjanjian internasional antara negara dengan organisasi

internasional dan antara organisasi internasional dengan organisasi internasional.

Dengan mekanisme yang hampir sama dengan prosedur pembuatan konvensi Wina

1969, pada tanggal 18 Februari-21 Maret 1986 diadakankonferensi di Wina, Austria,

untuk membahas rancangan dari Komisi Hukum Internasional tersebut. 20 Maret 1986,

para delegasi peserta konferensi menyepakati naskah konvensi dan 21 Maret 1986

naskah Konvensi dinyatakan terbuka untuk ditandatangani oleh semua negara peserta.

Konvensi ini dikenal dengan nama the 1986 Vienna Convention on The Law of Treaties

between State and International Organization and between International Organization

and International Organization (Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian antara

negara dan Organisasi Internasional dan antara Organisasi Internasional dan Organisasi

Internasional).63

62 I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 7.

63 I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 9.

Dengan adanya 2 konvensi tentang Hukum Perjanjian Internasional tidaklah

berarti bahwa kaidah-kaidah hukum perjanjian itu semuanya tercakup dalam kedua

konvensi ini. Di luar dari kedua konvensi masih terdapat kaidah-kaidah Hukum

Perjanjian Internasional yang berbentuk hukum kebiasaan internasional, sepanjang tidak

bertentangan dengan kaidah Hukum Perjanjian Internasional yang terdapat dalam kedua

konvensi; kaidah-kaidah Hukum Perjanjian Internasional yang berbentuk yurisprudensi;

kaidah-kaidah Hukum Perjanjian Internasional yang berbentuk doktrin atau pendapat

sarjana; ataupun yang berupa prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-

bangsa beradab, maupun yang berbentuk keputusan atau resolusi organisasi-organisasi

internasional. Dengan perkataan lain, semua yang dikemukakan di atas itu merupakan

sumber hukum dalam arti formal dari Hukum Perjanjian Internasional.64

2.6.1 Pengertian Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional merupakan suatu persetujuan yang dibuat antara

negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam

instrumen tunggal atau dua atau lebih instrument yang berkaitan dan apapun

nama yang diberikan padanya.65Selain itu, perjanjian internasional juga

didefinisikan sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat

bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum

tertentu.66Perjanjian Internasional menurut Michael Virally adalah A treaty is

64 I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 10-11.

65 D. J. Harris, 2004, Cases & Materials On International Law, Sixth Edition, Sweet and MaxwellLimited, London, hlm. 788-789.

66 Syahmin A.K., 1985, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969), Amico,Bandung, (selanjutnya disebut Syahmin AK. I), hlm. 9.

internationalagreement which is entered into by two or more states orother

international persons and is governed by international law.67

Pembentukan perjanjian mensyaratkan para pihak harus negara dan

berbentuk tertulis. Konvensi Wina 1969 hanya dapat digunakan terhadap

sengketa mengenai perjanjian yang dibentuk negara dengan negara dan

bentuknya harus tertulis. Untuk sengketa yang pihaknya bukan negara misalnya

organisasi internasional pengaturannya ditemukan dalam Konvensi Wina 1986

tentang perjanjian internasional untuk sesama organisasi internasional atau

organisasi dengan negara.68

Syarat penting untuk dikatakan sebagai perjanjian internasional adalah

bahwa perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional. Meskipun

para pihaknya adalah negara, namun bilamana ada klausul bahwa para pihak

tunduk pada hukum nasional salah satu peserta maka perjanjian tersebut tidaklah

dapat digolongkan sebagai perjanjian internasional melainkan kontrak.69

Definisi perjanjian internasional yang terdapat pada Konvensi Wina

dikembangkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang menyatakan bahwa

perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun,

yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah

67 F.A.WhisnuSituni, 1989, Identifikasi dan Reformasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, MandarMaju, Bandung, hlm.31.

68 Lihat Pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina 1986 menyatakan bahwa perjanjian berarti suatupersetujuan internasional yang diatur oleh hukum internasional dan dirumuskan dalam bentuk tertulis: (i)antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional; atau (ii) sesama organisasiinternasional, baik persetujuan itu berupa satu instrumen atau lebih dari satu instrumen yang salingberkaitan dan tanpa memandang apapun juga namanya.

69 Sefriani, Op.cit, hlm. 29.

Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau

subjek hfukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban

pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.70

Definisi perjanjian internasional diadopsi juga oleh Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan

bahwa setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum

internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi

internasional, atau subjek hukum internasional lain.71

Dari pengertian-pengertian tersebut, maka terdapat beberapa kriteria dasar

atau parameter yang harus dipenuhi oleh suatu dokumen perjanjian untuk dapat

ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional menurut Konvensi Wina dan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yaitu:72

1. Perjanjian tersebut harus berkarakter internasional, sehingga tidak

mencakup perjanjian-perjanjian yang berskala nasional seperti

perjanjian antarnegara bagian atau antara Pemerintah Daerah dari

suatu negara nasional;

2. Perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi

internasional, sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun

bersifat internasional namun dibuat oleh non-subjek hukum

internasional, seperti perjanjian antara negara dengan perusahaan

multinasional;

70 Boer Mauna, op.cit, hlm. 84-85.

71 Damos Dumoli Agusman, Op.cit, hlm. 20.

72 Ibid.

3. Perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional yang

oleh Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang perjanjian

internasional disebut dengan “diatur dalam hukum internasional

serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.

Perjanjian-perjanjian yang tunduk pada hukum perdata nasional

tidak cukup dalam kriteria ini.

2.6.2 Unsur-Unsur Perjanjian Internasional

Berdasarkan pengertian mengenai perjanjian internasional sebagaimana

dalam pembahasan 2.1.1, maka dapat dijabarkan beberapa unsur atau kualifikasi

yang harus terpenuhi dalam suatu perjanjian, untuk dapat disebut sebagai

perjanjian internasional, yaitu:

1. Kata Sepakat

Kata sepakat merupakan unsur yang sangat esensial dari duatu

perjanjian, termasuk perjanjian internasional.Kata sepakat adalah

inti dari perjanjian.Tanpa adanya kata sepakat antara para pihak,

maka tidak aka nada perjanjian.Kata sepakat inilah yang

dirumuskan atau dituangkan di dalam naskah pasal-pasal

perjanjian.Pasal-pasal naskah perjanjian itulah mencerminkan kata

sepakat dari para pihak.73

2. Subyek-subyek hukum

73 Syahmin AK., 2006, Hukum Kontrak Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,(selanjutnya disebut Syahmin AK. II), hlm. 14.

Subyek-subyek hukum dalam hal ini adalah subyek-subyek hukum

internasional yang terikat pada perjanjian.Dalam perjanjian-

perjanjian internasional yang tertutup dan substansinya lebih

bersifat teknis, misalnya dalam perjanjian bilateral atau multilateral

terbatas, pihak-pihak yang melakukan perundingan adalah juga

pihak-pihak yang terikat pada perjanjian. Sedangkan pada

perjanjian internasional yang terbuka dan isinya mengenai masalah

yang bersifat umum, antara pihak-pihak yang melakukan

perundingan dengan pihak-pihak yang terikat pada perjanjian

internasional tersebut belum tentu sama. Subyek-subyek hukum

internasional yang dapat membuat atau terikat sebagai pihak pada

suatu perjanjian internasional adalah negara (termasuk negara

bagian, sepanjang konstitusi negara federal yang bersangkutan

memungkinkannya), tahta suci, organisasi internasional, kaum

belligerensi, dan bangsa yang sedang memperjuangkan haknya.74

3. Berbentuk tertulis

Bentuk tertulis ini adalah sebagai perwujudan dari kata sepakat

otentik dan mengikat para pihak. Kata sepakat itu dirumuskan

dalam bahasa dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak.

Kata sepakat itu dirumuskan dalam bahasa dan tulisan yang

dipahami dan disepakati para pihak yang bersangkutan. Biasanya

bahasa yang umum dipergunakan adalah bahasa Inggris sebagai

bahasa pergaulan internasional. Ada pula perjanjian-perjanjian

74 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2010, Pengantar Hukum Internasional, P.T. Alumni,Bandung, hlm. 117-118.

internasional yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih.

Sedangkan tulisan atau huruf yang dipergunakan adalah huruf latin,

meskipun tidak dilarang menggunakan huruf lain. Dengan

bentuknya yang tertulis, maka terjamin adanya ketegasan,

kejelasan, dan kepastian hukum bagi para pihak maupun juga bagi

pihak ketiga yang mungkin pada suatu waktu tersangkut pada

perjanjian itu.75

4. Obyek tertentu

Obyek dari perjanjian internasional itu adalah boyek atau hal yang

diatur di dalamnya. Setiap perjanjian pasti mengandung obyek

tertentu. Tidak ada perjanjia yang tanpa obyek yang pasti. Obyek

itu sendiri secara langsung menjadi nama dari perjanjian tersebut.

Misalnya konvensi tentang hukum laut yang berarti obyek dari

perjanjian atau konvensi tersebut adalah tentang laut.76

5. Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional

Hukum internasional yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah,

baik hukum internasional pada umumnya, maupun Hukum

Perjanjian Internasional pada khususnya. Sebagaimana secara

umum sudah dipahami, bahwa setiap perjanjian melahirkan

hubungan hukum berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi

para pihak yang terikat pada perjanjian itu.77

75 I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 17.

76 Ibid.

77 Ibid.

2.6.3 Akibat-Akibat Perjanjian Internasional

Perjanjian Internasional mengikat para pihak (prinsip pacta sunt

servanda). Selanjutnya negara-negara pihak pada perjanjian harus

menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut dalam peraturan

perundang-undangan nasional. Sehubungan dengan itu, mengenai akibat-

akibat perjanjian ini akan dibagi dalam 3 Sub-bagian yaitu; 78

a. Akibat Perjanjian Terhadap Negara-Negara Pihak

Sebagai sumber utama hukum internasional, perjanjian mengikat negara

pihak.Sifat mengikat ini berarti negara pihak suatu perjanjian harus

mentaati dan menghormati pelaksanaan perjanjian tersebut. Daya ikat

perjanjian adalah didasarkan atas prinsip pacta sunt servanda.

Pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian dalam hal ini

menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-

negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good

faith. Prinsip ini merupakan dasar pokok hukum perjanjian dan telah

diakui secara universal dan yang merupakan bagian dari prinsip-prinsip

hukum umum (general principles of law. Peradilan-peradilan dan

arbitrase internasional dalam keputusan-keputusannya selalu menyebut

prinsip itikad baik tersebut. Pasal 2 Piagam PBB pun menyatakan dalam

78 Boer Mauna, Op.cit, hlm.135.

ayat 2 nya antara lain “Semua negara harus melaksanakan dengan itikad

baik semua kewajiban-kewajiban sesuai dengan Piagam”.79

b. Akibat Perjanjian Terhadap Negara Lain

Disini berlaku prinsip terkenal apa yang dinamakan pacta tertiis nec

nocent nec prosunt yang berarti bahwa perjanjian-perjanjian tidak dapat

menimbulkan kewajiban-kewajiban dan memberikan hak-hak pada

negara ketiga.80

Namun ternyata, ada beberapa pengecualian terhadap prinsip-

prinsip yang disebut di atas yaitu :

- Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga atas

persetujuan merek

Ini adalah mengenai perjanjian-perjanjian yang dapat memberikan hak dan

kewajiban kepada negara ketiga atas persetujuan negara-negara tersebut.

Contoh mengenai hal ini sangat jarang dan Pasal 35 Konvensi Wina tentang

Hukum Perjanjian hanya menyatakan :

Suatu kewajiban dapat timbul bagi negara ketiga yang berasal dari

ketentuan suatu perjanjian yang dibuat dengan sengaja oleh negara-negara

pihak dan negara ketiga tadi menerima kewajiban tersebut dalam bentuk

tertulis.

- Perjanjian yang memberikan hak-hak kepada negara ketiga.

Klausula Most-Favoured Nation adalah suatu mekanisme yang sering

dipakai dalam hubungan ekonomi internasional. Klausula ini berarti bahwa

setiap keuntungan yang diperoleh suatu negara dalam kaitannya dengan

79 Ibid, hlm. 135.80 Ibid, hlm. 143.

suatu perjanjian di bidang tertentu dengan negara lain, akandinikmati pula

oleh negara ketiga. Jadi setiap perlakuan khusus yang diberikan pada suatu

negara harus pula diberikan kepada negara ketiga.

Pengecualian klausula ini dimungkinkan bagi negara-negara yang akan

membuat persetujuan perdagangan bagi terciptanya kawasan perdagangan

bebas.

- Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga tanpa

persetujuan mereka.

Pengecualian mengenai hal ini kita jumpai dalam Pasal 2 (6) Piagam PBB

yang antara lain menyatakan bahwa Organisasi ini harus memastikan bahwa

negara-negara bukan anggota PBB bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh

mungkin apabila dianggap perlu untuk pedamaian dan keamanan

internasioanal. Jadi, negara bukan anggota PBB sepanjang mengenai

perdamaian dan keamanan internasional harus bertindak sesuai dentgan asas

dari Piagam.

c. Pengaturan Perjanjian pada Peraturan Perundang-Undangan Nasional.

Yang dimaksud dengan pengaturan perjanjian pada perundang-undangan

nasional adalah membuat ketentuan-ketentuan untuk menampung apa yang

diatur di dalam perjanjian yang telah diterima. Selanjutnya, untuk setiap

perjanjian yang bersifat bilateral harus ada undang-undang nasional sebagai

dasar dari setiap perjanjian yang dibuat antar negara. Andaikata undang-undang

nasionalnya tidak ada, akan sulit pelaksanaannya di dalam negeri.81

81 Ibid.

2.6.4 Batal dan Berakhirnya Suatu Perjanjian Internasional

Dalam praktek suatu perjanjian internasional yang telah berlaku dapat

ditinjau ulang keabsahannya atau batal dan berakhir jika ditemukan hal-hal

sebagai berikut:82

a) Bertentangan dengan ketentuan dalam hukum nasional yang penting dan

mendasar. Biasanya, hal ini terkait dengan prosedur pembuatannya, misalnya

dalam hal penandatanganan atau ratifikasi tidak dilakukan oleh organ yang

berwenang.

b) Adanya kesalahan (error) atas fakta atau situasinya

Kesalahan atau kekeliruan tersebut berkenaan dengan suatu situasi atau fakta

dimana fakta atau situasi tersebut dianggap oleh negara yang bersangkutan ada

pada saat perumusan ketentuan naskah perjanjian itu dan fakta atau situasi

tersebut merupakan dasar yang essensial bagi negara yang bersangkutan dalam

menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian tersebut.

c) Adanya penipuan (fraud) dari negara mitra berundingnya

Perjanjian Munich 29-30 September 1938 dibuat atas dasar penipuan Hitler

sendiri. Ini dibuktikan dari dokumen-dokumen yang ditemukan dimana Hitler

tidak ada maksud sama sekali untuk melaksanakannya.

d) Adanya kecurangan (corruption) dari wakil suatu negara

Pengaturan tentang masalah ini dalam Pasal 50 Konvensi Wina 1969 yang

menyatakan bahwa “suatu perundingan yang dihasilkan dengan jalan korupsi dari

82 Staff Pengajar Fakultas Hukum UGM , 2010, Pengantar Hukum Internasional, Bagian HukumInternasional Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.85

wakil delegasi suatu negara, dapat dijadikan sebagai alasan oleh negara lain untuk

membatalkan persetujuan tersebut”.

e) Adanya paksaan yang dilakukan oleh wakil suatu negara

Misalnya dalam pembuatan Perjanjian Munich 29-30 September 1939 tentang

pendirian Protektorat Jerman di Propinsi Bohemia dan Moravia di Cekoslavia.

Dimana saat proses perundingan terjadi kekerasan yang dilakukan Hitler terhadap

Presiden Hacha dan Menteri Luar Negeri Chvaslkovsky Berlin dan akhirnya

perjanjian tersebut dibatalkan oleh Tribunal Militer Nuremberg tanggal 1 Oktober

1946

f) Adanya ancaman atau penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh suatu negara

yang melanggar prinsip-prinsip umum hukum intenasional yang tertuang dalam

Piagam PBB sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 (4) Piagam PBB.

g) Bertentangan dengan Ius Cogens

Ius Cogens adalah norma dasar dalam hukum internasional umum yang telah

diterima dan diakui oleh masyarakat internasioanal negara-negara secara

keseluruhan sebagai suatu norma yang tidak dapat lagi diganggu kecuali dengan

norma lain yang mempunyai sifat yang sama.83

Sedangkan, berdasarkan ketentuan Pasal 59-64 Konvensi Wina 1969

beberapa alasan yang menyebabkan berakhirnya suatu perjanjian internasional

antara lain:84

1. Jika terjadi abrogasi perjanjian

83 Staff Pengajar Fakultas Hukum, 2010, Pengantar Hukum Internasional, Bagian HukumInternasional Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.91

84 Ibid

Yakni suatu kondisi dimana semua pihak dalam perjanjian menutup

perjanjian lain dengan pokok materi yang sama dengan perjanjian

sebelumnya, namun pengaturannya berbeda. Proses abrogasi ini dapat

dilakukan secara terang-terangan ataupun diam-diam. (Pasal 59 Konvensi

Wina 1969).

2. Jika terjadi pelanggaran material perjanjian oleh para pihak

Pelanggaran material yang dimaksud disini adalah pelanggaran yang sifatnya

substansial, yang berakibat pada terhalangnya pencapaian tujuan dalam

perjanjian. Pelanggaran ini harus ditegaskan dan dibuktikan sebagai antisipasi

jika ada negara pihak yang dengan sengaja mengangkat pelanggaran kecil

sebagai alasan membatalkan perjanjian (Pasal 60 Konvensi Wina 1969).

3. Perjanjian tidak mungkin untuk dilaksanakan

Tidak mungkinnya suatu perjanjian dilaksanakan dapat terjadi karena

musnahnya secara permanen atau hancurnya suatu objek yang sangat

diperlukan bagi pelaksanaan perjanjian tersebut. (Pasal 61 Konvensi Wina

1969)

4. Asas Rebus Sic Stantibus

Yakni suatu kondisi terjadi perubahan-perubahan yang mendasar yang tidak

dapat diprediksi oleh negara perunding, namun keberadaan perubahan

tersebut sangat berpengaruh dalam mengubah secara radikal luasan

kewajiban-kewajiban yang masih harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan

dalam perjanjian tersebut. (Pasal 62 Konvensi Wina 1969).

5. Jika terjadi pemutusan hubungan diplomatic dan konsuler, dimana

hubungan diplomatic dan konsuler tersebut sangat perlu untuk pelaksanaan

suatu perjanjian (Pasal 62 Konvensi Wina 1969).

6. Jika lahir Ius Cogens

7. Jika terjadi perang85

85 Ibid.