bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Seiring dengan perkembangan bisnis yang semakin pesat di Indonesia,
membuat banyak perusahaan sangat membutuhkan tambahan dana untuk dapat
mengembangkan dan memperluas usahanya. Investasi adalah upaya yang
dilakukan perusahaan berupa penempatan dana pada aset tertentu dengan tujuan
untuk mendapatkan keuntungan di masa yang akan datang. Dalam berinvestasi,
ada dua hal yang sering menjadi perhatian dan pertimbangan bagi para investor
dalam memilih jenis investasi yaitu return dan risiko. Hubungan return harapan
dan risiko dari suatu investasi merupakan hubungan yang searah dan linier.
Artinya jika semakin besar return yang diharapkan, maka semakin besar pula
tingkat risiko yang harus dipertimbangkan oleh investor.
Pasar modal dinilai memiliki peranan yang sangat penting bagi
perkembangan ekonomi di Indonesia. Pasar modal adalah suatu tempat yang
mempertemukan antara pihak pencari dana (emiten) dan pihak yang mempunyai
kelebihan dana (investor) untuk saling melakukan transaksi dengan cara
memperjualbelikan sekuritas. Adanya pasar modal membuat para investor dapat
memilih berbagai jenis efek yang diinginkan, yaitu dengan mempertimbangkan
tingkat keuntungan yang diinginkan dengan risiko yang diterima. Perusahaan
dapat memperoleh dana dengan cara menjual saham perusahaannya kepada publik
dipasar modal atau dikenal dengan go public.
2
Perusahaan yang melakukan go public akan memperdagangkan sahamnya
terlebih dahulu di pasar primer atau sering disebut juga pasar perdana. Di pasar
perdana perusahaan bisa mendapatkan sejumlah dana yang diharapkan sehingga
dapat digunakan untuk membiayai kegiatan perusahaannya. Penawaran saham
perdana kepada masyarakat luas melalui pasar perdana ini dikenal dengan istilah
Initial Public Offering (IPO). Harga saham pada pasar perdana ditentukan oleh
kesepakatan antara emiten (perusahaan penerbit) dengan underwriter (penjamin
emisi), sedangkan harga saham pada pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme
pasar, yaitu permintaan dan penawaran yang dilakukan oleh penjual dan pembeli.
Semakin banyak perusahaan yang melakukan IPO berarti menggambarkan
semakin meningkatnya persaingan bisnis di Indonesia. Berikut adalah gambar
pertumbuhan perusahaan yang melakukan IPO Jumlah perusahaan yang
melakukan IPO periode 2010-2016 :
Gambar 1.1 Pertumbuhan Perusahaan yang Melakukan IPO
Sumber : www.idx.co.id, diolah (2017)
Dari Gambar 1.1, dapat diketahui bahwa perusahaan yang melakukan IPO
terbanyak adalah pada tahun 2013 yaitu sebanyak 30 perusahaan yang melakukan
IPO dan pada tahun 2016 perusahaan yang melakukan IPO yaitu sebanyak 14
0
10
20
30
40
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
3
perusahaan, jumlah ini merupakan jumlah perusahaan yang paling sedikit
melakukan IPO dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Penurunan tingkat
perusahaan yang melakukan IPO dapat disebabkan oleh faktor-faktor tertentu.
Permasalahan penting yang dihadapi oleh perusahaan yang melakukan
IPO, yaitu ketika melakukan penawaran saham perdana di pasar modal adalah
penutupan besarnya harga penawaran saham perdana. Jika penentuan harga saham
pada saat IPO lebih rendah dibandingkan dengan harga saham yang terjadi dipasar
sekunder di hari pertama maka akan terjadi underpricing. Sedangkan jika
penentuan harga saham perdana lebih tinggi dari harga saham dipasar sekunder
maka akan terjadi overpricing.
Fenomena underpricing akan dapat merugikan pihak emiten karena dana
yang diperoleh dari publik tidak maksimal, tetapi fenomena ini menguntungkan
pihak investor karena mendapatkan initial return yang diharapkan. Fenomena
overpricing ini adalah fenomena sebaliknya dimana pihak emiten akan
diuntungkan karena mendapat modal yang maksimal sesuai dengan yang
diharapkan oleh emiten saat akan melakukan IPO, tetapi ini justru akan merugikan
investor karena tidak mendapatkan initial return. Bila harga saham terlalu tinggi
dan minat investor rendah maka akan membuat saham yang ditawarkan menjadi
kurang menarik (Puspaningsih dan Mujib,2011).
4
Berikut adalah gambar untuk memperjelas kondisi perusahaan yang
melakukan Initial Public Offering (IPO) periode 2010-2016:
Gambar 1.2 Kondisi Perusahaan yang Melakukan IPO
Sumber : www.idx.co.id, diolah (2017)
Berdasarkan gambar 1.2 dapat disimpulkan bahwa dalam perusahaan-
perusahaan yang listing di BEI pada tahun 2010-2016 ditemukan adanya gap
yakni tingkat underpricing yang relatif tinggi. Perusahaan-perusahaan yang
mengalami underpricing mayoritas lebih tinggi sebesar 83.44%. Sementara
perusahaan yang mengalami overpricing sebesar 13.91%. Sedangkan perusahaan
yang tidak mengalami underpricing dan overpricing (Initial Return = 0) sebesar
2.65%. Perusahaan yang banyak mengalami underpricing tertinggi yaitu pada
tahun 2010 sebanyak 22 perusahaan. Fenomena underpricing pada perusahaan
yang melakukan IPO periode 2010-2016 yang tinggi sebesar 83.44%. Secara
teoritis tingkat underpricing dapat diminimalisir dengan dilakukannya penerbitan
propektus atau informasi perusahaan yang harus dilakukan pada semua
perusahaan baik perusahaan keuangan maupun perusahaan non keuangan yang
0
5
10
15
20
25
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Underpricing
Overpricing
IR = 0
5
melakukan IPO agar tidak terjadi asimetris informasi yang menyebabkan
underpricing.
Fenomena underpricing terjadi karena adanya asimetri informasi
dikarenakan terdapat perbedaan informasi antara pihak-pihak yang terlibat
diantaranya yaitu pihak emiten, masyarakat dan investor. Untuk mengurangi
adanya asimetri informasi maka dilakukanlah penerbitan propektus oleh
perusahaan yang bersangkutan. Propektus perusahaan merupakan salah satu
sumber informasi yang akan go public dan untuk mengurangi kesenjangan
informasi (Saputra dan Suaryana, 2016).
Perusahaan banyak yang memiliki ekspetasi tinggi mengenai IPO karena
pelaksanaan IPO merupakan salah satu bagian penting dari perkembangan
perusahaan dan menciptakan berbagai peluang baru untuk perusahaan (Kartika
dan Putra, 2017). Berikut adalah gambar peristiwa underpricing yang terjadi di
Indonesia, rata-rata perusahaan mengalami peristiwa underpricing pada saat IPO
di BEI periode 2010-2016 :
Gambar 1.3. Presentase Rata-Rata Underpricing Perusahaan yang IPO
Sumber : www.idx.co.id, diolah (2017)
21.26%
30.54%
20.14%
29.00%
24.31%
30.00% 29.81% 28.92%
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
6
Dari gambar 1.3, dapat diketahui bahwa rata-rata perusahaan yang
melakukan IPO di BEI periode 2010-2016 mengalami peristiwa underpricing.
Rata-rata underpricing tertinggi terjadi pada tahun 2010 sebanyak 30.54%.
Sedangkan rata-rata underpricing terendah terjadi pada tahun 2011 yakni hanya
20.14%. Dalam Kurun waktu 7 tahun, diketahui bahwa rata-rata sebesar 27.53%
underpricing yang terjadi pada perusahaan yang melakukan IPO di BEI. Hal ini
menjadi indikasi yang kuat bahwa sebagian besar perusahaan yang melakukan
IPO di BEI mengalami underpricing. Sehingga menimbulkan ketertarikan untuk
meneliti lebih lanjut tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
underpricing.
Penelitian tentang tingkat underpricing merupakan hal yang menarik bagi
peneliti keuangan untuk mengevaluasi secara empiris perilaku investor dalam
pembuatan keputusan investasi di pasar modal, dimana dihubungkan dengan
informasi pada propektus (Saputra dan Suaryana, 2016). Faktor-faktor yang
diduga mempengaruhi underpricing diantaranya adalah ukuran perusahaan,
return on assets dan finanancial leverage.
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi underpricing bisa dilihat dan
dianalisis oleh calon investor melalui laporan keuangan perusahaan tertentu.
Laporan keuangan suatu perusahaan merupakan bentuk informasi yang yang
dipublikasikan perusahaan. Informasi yang terdapat di laporan keuangan
diantaranya mengenai entitas yang meliputi aset, liabilitas, ekuitas, pendapatan
dan beban termasuk keuntungan dan kerugian, kontribusi dari dan distribusi
kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik dan arus kas.
7
Ukuran perusahaan menunjukkan jumlah pengalaman dan kemampuan
suatu perusahaan yang mengindikasi kemampuan dan tingkat risiko dalam
mengelola investasi yang diberikan stockholder dalam meningkatkan
kemakmuran mereka (Pangemanan dan Mawikere, 2011). Ukuran Perusahaan
dapat menjadi pertimbangan bagi pihak investor untuk menentukan keputusannya
memberikan dana atau tidak kepada suatu perusahaan tertentu. Dalam hal ukuran
perusahaan dapat dilihat dari total aktiva yang dimiliki perusahaan yang dapat
dipergunakan untuk kegiatan operasi perusahaan. Ukuran perusahaan dapat di
ukur dengan menggunakan proksi size.
Alasan dipilihnya variabel ukuran perusahaan sebagai variabel independen
karena ukuran perusahaan turut meningkatkan kepercayaan invenstor untuk
memberikan dananya kepada perusahaan tertentu, karena semakin besar ukuran
perusahaan maka semakin mudah pula perusahaan mendapatkan dana.
Disebabkan pula dengan adanya beberapa penelitian terdahulu yang memberikan
hasil tidak konsisten tentang pengaruh ukuran perusahaan terhadap underpricing.
Menurut Saputra dan Suaryana (2016) dalam hasil penelitiannya mengatakan
bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap underpricing. Hasil ini
didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh, Kartika dan Putra (2017),
Pahlevi (2014) serta Lisnawati dan Munaroh (2015) yang mengatakan hasil
yang sama. Menurut Purwanto dan Mahyani (2016) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh negatif terhadap
underpricing. Menurut Hermuningsih (2014) mengatakan bahwa ukuran
perusahaan berpengaruh positif terhadap underpricing.
8
Rasio profitabilitas yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap
underpricing yaitu Return on Asset. Alasan dipilihnya variabel Return on Assets
(ROA) sebagai variabel independen dikarenakan rasio ROA ini dapat mengukur
efektivitas perusahaan dalam menghasilkan laba. Semakin tinggi ROA maka
semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Disebabkan
pula dengan adanya beberapa penelitian terdahulu yang memberikan hasil tidak
konsisten tentang pengaruh ROA terhadap underpricing. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Saputra dan Suaryana (2016) mengatakan bahwa ROA
berpengaruh negatif terhadap underpricing. Hasil ini juga didukung dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Pahlevi (2014) serta isnawati dan Munaroh
(2015). Menurut Prastica (2012) mengatakan bahwa ROA berpengaruh postif
signifikan terhadap underpricing. Sedangkan menurut Purwanto dan Mahyani
(2016) ROA tidak berpengaruh terhadap underpricing. Hasil ini juga didukung
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Isynuwardhana (2015).
Financial leverage dipilih sebagai variabel independen. Untuk menghitung
rasio leverage dipilihlah indikator Debt to Equity Ratio (DER) dengan alasan
karena rasio ini menggambarkan sumber pendanaan perusahaan. Dengan
pertimbangan bahwa semakin besar total hutang maka akan mempertinggi resiko
perusahaan untuk menghadapi kebangkrutan. Dan hal tersebut akan direspon
negatif oleh investor sehingga akan menekan harga saham.
Disebabkan pula dengan adanya beberapa penelitian terdahulu yang
memberikan hasil tidak konsisten tentang pengaruh financial leverage terhadap
underpricing. Penelitian yang dilakukan oleh Saputra dan Suryana (2016)
9
mengatakan bahwa financial leverage berpengaruh positif terhadap underpricing.
Hasil ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Pahlevi (2014) serta
Lisnawati dan Munawaroh (2015). Menurut hasil penelitian Kartika dan Putra
(2017) mengatakan bahwa financial leverage berpengaruh negatif terhadap
underpricing. Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwanto
dan Mahyani (2016) serta Sari dan Isynuwardhana (2015) mengatakan bahwa
financial leverage tidak berpengaruh terhadap underpricing.
Pemilihan periode tahun dalam penelitian ini yaitu dari tahun 2010-2016
juga menjadi hal yang diperhatikan. Alasan memilih periode tahun yang dimulai
dari tahun 2010-2016 dapat dilihat pada gambar 1.3, dikarenakan pada tahun 2010
adalah tahun dengan rata-rata underpricing tertinggi yaitu sebesar 30.54%.
Sedangkan untuk tahun-tahun berikutnya hingga tahun 2016 rata-rata
underpricing cukup fluktuasi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin menelaah kembali
faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing saham pada penawaran umum
perdana di Bursa Efek Indonesia dengan menggunakan data penelitian periode
2010-2016. Berdasarkan fenomena yang terjadi, maka dari itu peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian yang berjudul “PENGARUH UKURAN
PERUSAHAAN, RETURN ON ASSETS DAN FINANCIAL LEVERAGE
PADA UNDERPRICING PENAWARAN UMUM PERDANA DI BURSA
EFEK INDONESIA PERIODE 2010-2016”
10
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
diidentifikasikan permasalahan yang ada dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi ukuran perusahaan, return on assets, financial
leverage dan underpricing penawaran umum perdana pada perusahaan
IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang mengalami underpricing periode
2010-2016?
2. Bagaimana ukuran perusahaan berpengaruh pada underpricing penawaran
umum perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-2016?
3. Bagaimana return on assets berpengaruh pada underpricing penawaran
umum perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-2016?
4. Bagaimana financial leverage berpengaruh pada underpricing penawaran
umum perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-2016?
5. Bagaimana ukuran perusahaan, return on assets dan financial leverage
berpengaruh secara simultan pada underpricing penawaran umum perdana
di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-2016?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mencari penyelesaian atas
permasalahan yang telah diuraikan dalam identifikasi masalah sehingga tujuan
dari penelitian ini dapat terjawab melalui pengumpulan data dan pengelolahan
data tersebut.
11
Berikut tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kondisi ukuran perusahaan, return on assets, financial
leverage dan underpricing penawaran umum perdana pada perusahaan
IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang mengalami underpricing periode
2010-2016.
2. Untuk mengetahui pengaruh ukuran perusahaan pada underpricing
penawaran umum perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-
2016.
3. Untuk mengetahui pengaruh return on assets pada underpricing
penawaran umum perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-
2016.
4. Untuk mengetahui pengaruh financial leverage pada underpricing
penawaran umum perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-
2016.
5. Untuk mengetahui pengaruh ukuran perusahaan, return on assets dan
financial leverage secara simultan pada underpricing penawaran umum
perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-2016.
1.4 Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
akademis maupun praktis bagi pihak-pihak yang diharapkan dapat memanfaatkan
penelitian tersebut, sebagai berikut:
12
4.1 Bagi Peneliti
Dalam penelitian ini, peneliti memperoleh pengetahuan tentang ilmu
manajemen keuangan, khususnya mengenai pengaruh ukuran perusahaan,
return on assets dan financial leverage pada underpricing penawaran
umum perdana di Bursa Efek Indonesia.
4.2 Bagi Peneliti Lain
Bagi peneliti selanjutnya, dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk
penelitian selanjutnya yang terkait dan sejenis melakukan penelitian yang
lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruh underpricing
pada penawaran umum perdana di Bursa Efek Indonesia.
4.3 Bagi Perusahaan
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pertimbangan bagi
perusahaan yang sudah melakukan initial public offering (IPO), agar
saham yang ditawarkan ke publik atau masyarakat dapat terjual dengan
harga yang optimal.
4.4 Bagi Investor
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi investor
dalam mengambil keputusan investasi dengan cara membandingkan
faktor-faktor yang perlu diperhatikan oleh investor dalam memberikan
dananya kepada perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana
(IPO), dengan harapan investor mampu memperoleh return awal (initial
return) yang besar.
13
1.5 Kerangka Pemikiran
Investasi bisa berkaitan dengan berbagai aktivitas seperti
menginvestasikan sejumlah dana pada aset real (tanah, emas, mesin atau
bangunan) mapun aset financial (deposito, saham ataupun obligasi) merupakan
aktivitas investasi yang umumnya dilakukan.
Menurut Tandelilin (2010:2), “Investasi adalah komitmen atas
sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang dilakukan pada saat ini,
dengan tujuan memperoleh keuntungan di masa datang”.
Menurut Martalena dan Maya (2011 : 2),
“Investasi merupakan bentuk penundaan konsumsi masa sekarang
untuk memperoleh konsumsi di masa yang akan datang, di mana di
dalamnya terkandung unsur risiko ketidakpastian sehingga
dibutuhkan kompensasi atau penundaan tersebut”.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa investasi adalah
suatu komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lainnnya yang di lakukan
pada saat ini, dengan tujuan memperoleh keuntungan di masa yang akan datang,
dimana di dalamnya terdapat risiko ketidakpastian sehingga dibutuhkan
kompensasi atau penundaan tersebut.
Pasar modal merupakan pilihan yang tepat bagi investor, emiten serta
pihak lain untuk melakakukan transaksi dengan cara memperjualbelikan sekuritas.
Menurut Martalena dan Maya (2011 : 2),
“Pasar modal merupakan pasar untuk berbagi instrument keuangan
jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik surat utang
(obligasi), ekuitas (saham), reksadana, instrument derative maupun
instrument lainnya. Pasar modal merupakan sarana pendanaan bagi
perusahaan maupun institusi lain (misalnya pemerintah), dan sebagai
sarana bagi kegiatan berinvestasi, dengan demikian pasar modal
14
memfasilitasi berbagai sarana dan prasarana kegiatan jual-beli dan
kegiatan terkait lainnya”.
Menurut Undang-undang Pasar Modal No 8 Tahun 1995,
“Pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran
umum perdana dan perdagangan efek, perusahaan publik yang
berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi
yang berkaitan dengan efek”.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut pasar modal merupakan sarana
yang terorganisir untuk memperjualbelikan berbagai instrument keuangan jangka
panjang. Pasar modal telah memfasilitasi berbagai sarana dan prasarana untuk
melakukan kegiatan jual-beli dengan kegiatan lainnya yang mendukung terjadinya
transaksi tersebut.
Jenis pasar modal diantaranya yaitu pasar perdana (primary market) dan
pasar sekunder (secondary market).
Menurut Sunariyah (2011 : 12),
“Pasar perdana adalah penawaran saham dari perusahaan yang
menerbitkan saham kepada pemodal selama waktu yang ditetapkan
oleh pihak penerbit sebelum saham tersebut diperdagangkan di pasar
sekunder”.
Sedangkan menurut Tandelilin (2010 : 1),
“Dalam pasar perdana inilah untuk pertama kali perusahaan menjual
sekuritasnya, dan proses itu disebut dengan istilah Initial Public
Offering (IPO) atau penawaran umum, atau dapat juga dikatakan
pasar perdana terjadi pada perusahaan emiten menjual sekuritasnya
kepada investor umum untuk pertama kalinya”.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut pasar perdana (primary
market) merupakan pasar yang digunakan untuk pertama kalinya perusahaan
menjual saham kepada pemodal atau investor yang akan memberikan dananya
kepada suatu perusahaan tertentu.
15
Menurut Sunariyah (2011 : 12),
”Pasar sekunder didefinisikan sebagai perdagangan saham setelah
melewati masa penawaran pada pasar perdana. Jadi, pasar sekunder
dimana saham dan sekuritas lain diperjual-belikan secara luas,
setelah melalui masa penjualan dari pasar perdana. Harga saham di
pasar sekunder ditentukan oleh permintaan dan penawaran antara
pembeli dan penjual”.
Sedangkan menurut Tandelilin (2010 : 1),
“Setelelah sekuritas emiten dijual di pasar perdana, selanjutnya
sekuritas emiten tersebut kemudian biasa diperjualbelikan oleh dan
antara investor di pasar sekunder. Dengan adanya pasar sekunder,
investor dapat melakukan perdagangan sekuritas untuk
mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu, pasar sekunder
memberikan likuiditas kepada investor, bukan kepada perusahaan”.
Berdasarkan pengertian tersebut pasar sekunder (secondary market)
merupakan perdagangan saham setelah sekuritas diperjualbelikan di pasar
perdana. Harga saham di pasar sekunder ditentukan oleh permintaan dan
penawaran antara pembeli dan penjual. Dengan begitu, adanya pasar sekunder ini
dapat memberikan kemudahan kepada calon investor untuk mengambil keputusan
dalam memberikan dananya kepada perusahaan. .
Saham merupakan salah satu bentuk investasi yang dapat digunakan oleh
para investor, salah satu tujuan investor membeli saham yaitu untuk mendapatkan
keuntungan lebih dari saham yang dimiliki di suatu perusahaan tertentu.
Menurut Fahmi (2012 : 81),
“Saham merupakan salah satau instrument pasar modal yang paling
banyak diminati oleh investor, karena mampu memberikan tingkat
pengembalian yang menarik. Saham adalah kertas yang tercantum
dengan jelas nilai nominal, nama perusahaan, dan diikuti dengan hak
dan kewajiban yang telah dijelaskan pada setiap pemegangnya”.
16
Sedangkan pengertian saham menurut Hermuningsih (2012 : 78)
“Saham merupakan salah satu surat berharga yang diperdagangkan di
pasar modal yang bersifat kepemilikan”.
Menurut Tjiptono Darmaji dan Hendy M, Fakhruddin (2011 :5),
“Saham (stock) dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau
pemilikan seseorang atau badan suatu perusahaan atau perseroan
terbatas. Saham berwujud selembar kertas yang menerangkan bahwa
pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan
surat berharga tersebut. Porsi kepemilikan ditentukan oleh seberapa
besar pernyataan yang ditanamkan di perusahaan tersebut”.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa saham
merupakan bukti kepemilikan sesorang atau badan suatu perusahaan atau
perseroan terbatas sebagai pemegang saham dan memiliki hak atas penghasilan
perusahaan dalam bentuk deviden yang nantinya akan dibagikan oleh perusahaan
dengan hasil yang tidak menentu atau bahkan tetap sesuai dengan kesepakatan
yang disepakati dengan pihak perusahaan tertentu.
Perusahaan yang ingin menjual sahamnya di pasar perdana maka
perusahaan tersebut harus melakukan go public atau initial public offering (IPO)
dengan mendaftarkan perusahaannya di Bursa Efek Indonesia dengan harapan
perusahaan yang melakukan IPO dapat mendapatkan dana dari pihak investor
secara optimal.
Menurut Tandelilin (2010 : 27),
“Initial public offering (IPO) adalah penawaran saham perdana ke
publik atau masyarakat melalui pasar perdana. Perusahaan hanya
akan mendapatkan dana dari penjualan sahamnya di pasar perdana
dan tidak akan mendapat tambahan dana melalui transaksi yang
terjadi di pasar sekunder”.
17
Sedangkan menurut UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal,
“Yang dimaksud dengan penawaran umum adalah kegiatan yang
dilakukan emiten untuk menjual efek kepada masyarakat,
berdasarkan tata cara yang diatur oleh undang-undang dan
peraturan pelaksanaanya”.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
initial public offering (IPO) merupakan penawaran umum harga saham yang
dijual di pasar perdana dan hanya akan mendapatkan dana dari hasil penjualan di
pasar perdana tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Setelah perusahaan melakukan initial public offering (IPO) perusahaan
mengharapakan harga saham mereka lebih tinggi di pasar perdana dibandingkan
harga yang ada di pasar sekunder dengan begitu perusahaan tidak akan mengalami
fenomena underpricing atau harga rendah, sehingga perusahaan tersebut dapat
mendapatkan kebutuhan dana sesuai dengan yang diharapkan dan dapat
mengumpulkan dana secara maksimal.
Menurut Jogiyanto (2016 : 36),
“Fenomena yang menarik yang terjadi di penawaran perdana ke
publik adalah fenomena harga rendah (underpricing). Fenomena
harga rendah terjadi karena penawaran perdana ke publik yang
secara rerata murah. Secara rerata membeli saham di penawaran
perdana dapat mendapatkan return awal (initial return) yang tinggi.
Secara rerata disini maksudnya adalah tidak semua penawaran
perdana murah, tetapi dapat juga mahal dan secara rerata masih
dapat dikatakan murah (underpricing)”.
Menurut Purwanto dkk (2015 : 92), Underpricing adalah suatu
keadaan dimana harga saham pada penawaran perdana lebih rendah
dibandingkan ketika diperdagangkan dipasar sekunder.
18
Sedangkan menurut Risqi dan Harto (2013:1), Apabila harga saham
pada saat IPO lebih rendah dibandingkan dengan harga saham di pasar
sekunder hari pertama, maka akan terjadi fenomena yang disebut
underpricing”.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpukan bahwa
underpricing adalah suatu fenomena yang terjadi pada penawaran umum perdana.
Underpricing merupakan suatu keadaan dimana harga saham yang dijual kepada
investor di pasar perdana lebih murah dibandingkan dengan harga saham yang
dijual di pasar sekunder. Keadaan ini membuat para emiten merasa rugi atas
penjualan saham tersebut, tetapi pihak lain yaitu investor merasa diuntungkan
dengan adanya fenomena underpricing tersebut.
Ukuran yang digunakan dalam mengukur tingkatan underpricing dalam
suatu perusahaan dapat diukur dengan initial return saham. Underpricing diukur
dengan initial return saham, yaitu selisih harga penutupan hari pertama saham
diperdagangan di pasar sekunder dengan harga penawaran perdana dan hasilnya
dibagi dengan harga penawaran perdana (Junaeni dan Agustian 2013 : 53).
Dapat dirumuskan menjadi :
Dimana : CP = Closing Price
OP = Opening Price
𝑖𝑛𝑖𝑡𝑖𝑎𝑙 𝑟𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 =𝐶𝑃 − 𝑂𝑃
𝑂𝑃 𝑋 100%
19
Fenomena underpricing merupakan sinyal positif bagi investor yang
menandakan bahwa perusahaan tersebut memiliki kemungkinan memberikan
keuntungan dimasa mendatang. Investor yang membeli saham saat penawaran
perdana berharap agar harga sahamnya meningkat di pasar sekunder. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan kondisi underpricing, keuntungan berupa initial
return akan didapat oleh investor. Initial return merupakan tingkat pengembalian
yang diperoleh investor selama periode saham yang dibeli pada pasar perdana
dengan penutupan pada hari pertama (Adam, et al,. 2008). Bagi emiten fenomena
underpricing dianggap sebagai suatu kondisi yang merugikan karena kemampuan
untuk mendapatkan dana yang maksimal tidak dapat diraih. Meskipun demikian
murahnya harga saham dipasar perdana dibandingkan dengan harga di pasar
sekunder juga menguntungkan bagi emiten karena perusahaan yang mengalami
undepricing berarti menandakan perusahaan akan memberikan keuntungan pada
investor. Sehingga saat emiten melakukan penawaran saham kembali
kemungkinan besar saham tersebut akan laku terjual (Puspaningsih dan Mujib,
2011).
Sebagai salah satu pertimbangan investor untuk membeli saham suatu
perusahaan. Investor dapat mengetahui informasi tentang perusahaan tersebut
dengan melihat laporan keuangannya. Laporan keuangan tersebut nantinya akan
mempermudah investor untuk mengambil keputusan dalam melakukan pembelian
saham.
20
Menurut Fahmi (2012 :2 ),
“Laporan keuangan merupakan suatu informasi yang
menggambarkan kondisi keuangan suatu perusahaan, dan lebih jauh
informasi tersebut dapat dijadikan sebagai gambaran kinerja
keuangan perusahaan tersebut”.
Sedangkan menurut Munawir (2012 : 2),
“Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akhir
akuntansi yang dapat digunkan sebagai alat untuk berkomunikasi
antar data keuangan atau aktivitas perusahaan dengan pihak-pihak
yang berkepentingan dengan data atau aktivitas perusahaan
tersebut”.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa laporan
keuangan merupakan suatu proses pada proses akhir akuntansi yang bertujuan
untuk mengetahui dan memahami unsur-unsur laporan keuangan seperti neraca
dan laporan laba rugi, dan laporan keuangan juga yang akan membantu investor
sebagai dasar pengambilan keputusan untuk berinvestasi.
Dalam laporan keuangan, investor dapat mendapatkan informasi tentang
bagaimana kinerja keuangan suatu perusahaan tertentu dan kemudian dapat dilihat
dengan mengunakan rasio-rasio yang sudah tertera melalui laporan keuangan yang
dipublikasikan perusahaan, dan kemudian investor dapat menganalisis sendiri
hasil kinerja keuangannya.
Ukuran perusahaan dapat menjadi suatu pertimbangan untuk para investor
dalam mengambil keputusan. Menurut Jogiyanto (2015 : 254), ukuran
perusahaan adalah “Besar kecilnya perusahaan dapat diukur dengan total
aktiva harta perusahaan dengan menggunakan perhitungan nilai logaritma
total aktiva”.
21
Sedangkan menurut Riyanto (2011 :59), “Ukuran perusahaan
merupakan besar kecilnya perusahaan di lihat dari nilai equity, nilai
perusahaan, ataupun hasil nilai total aktiva dari suatu perusahaan”.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpukan bahwa ukuran
perusahaan merupakan besar kecilnya suatu perusahaan yang dapat dihitung
dengan nilai equity, nilai perusahaan atau nilai aktiva. Ukuran perusahaan dapat
dilihat melalui total aktiva yang dimiliki perusahaan. Menurut Jogiyanto (2015 :
282), ukuran perusahaan dapat diukur dengan rumus sebagai berikut :
Total aktiva merupakan tolak ukur atau besaran skala suatu perusahaan
karena dianggap dapat menunjukkan ukuran perusahaan karena mewakili
kekayaan perusahaan baik berupa aktiva tetap maupun aktiva lancar (Carter dan
Manaster 1990, dalam Hastuti 2017).
Perusahaan dengan skala usaha yang besar dan tingkat pertumbuhan yang
tinggi diharapkan akan memberikan tingkat keuntungan yang tinggi maka akan
menawarkan saham dengan nilai besar. Demikian pula sebaliknya, perusahaan
kecil yang baru berdiri dengan tingkat pertumbuhan usaha yang relatif kecil, maka
akan menawarkan saham dengan nilai kecil. Dengan demikian semakin besar
presentase saham yang ditawarkan kepada masyarakat maka tingkat
ketidakpastiannya akan semakin kecil, yang pada akhirnya akan menurunkan
tingkat underpricing saham (Chisty,1996).
Ukuran Perusahaan = Ln (Total Aktiva)
22
Memiliki ukuran perusahaan yang besar merupakan salah satu sinyal
bahwa perusahaan memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan usaha dengan
lebih baik (Kartika dan Putra, 2017). Investor mempunyai kecenderungan untuk
menginvestasikan dananya pada perusahaan yang memiliki skala yang lebih tinggi
karena ketidakpastian atas perusahaan dapat dilihat dari suatu ukuran perusahaan.
Ketika investor membaca propektus, menganalisis ukuran perusahaan
menggunakan tolak ukur total aktiva akan memberikan penilaian bahwa total
aktiva dapat dipergunakan untuk menambah penghasilan emiten dan mampu
memenuhi kewajibannya, maka risiko ketidakpastian di masa yang akan datang
dapat diperkecil sehingga dapat mengurangi tingkat keraguan investor dalam
melakukan investasi kepada suatu perusahaan. Pahlevi (2014), Saputra dan
Suaryana (2016), dan Kartika dan Putra (2017), berhasil membuktikan bahwa
ukuran perusahaan berpengaruh signifikan dan negatif terhadap underpricing.
Menurut Kasmir (2014 : 201), “Return on asset merupakan rasio yang
menunjukkan hasil (return) atas jumlah aktiva yang digunakan dalam
perusahaan”.
Menurut Fahmi (2012:98),
“Return on assets sering disebut sebagai return on investment, karena
ROA ini melihat sejauh mana investasi yang telah ditanamkan
mampu memberikan pengembalian keuntungan sesuai dengan yang
diharapkan dan investasi tersebut sebenarnya sama dengan aset
perusahaan yang ditanamkan atau ditempatkan”.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa return on
assets (ROA) merupakan rasio profitabilitas yang digunakan untuk mengukur
23
efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan
aktiva yang dimiliki perusahaan.
Dengan kata lain semakin produktif perusahaan dalam menghasilkan
keuntungan maka menjadi daya tarik bagi investor untuk berinvestasi pada
perusahaan tertentu. Semakin banyak investor yang menanamkan modalnya di
perusahaan tersebut, maka dapat meningkatkan harga saham. ROA dapat dihitung
dengan menggunakan rumus :
Return on Assets merupakan salah satu ukuran profitabilitas perusahaan,
maka semakin tinggi ROA akan semakin rendah tingkat underpricing karena
investor akan menilai kinerja perusahaan lebih baik dan bersedia membeli saham
perdananya dengan harga yang lebih tinggi. Calon investor akan
mempertimbangkan presentase profitabilitas perusahaan sebelum menentukan
investasinya sehingga nilai ketidakpastiannya semakin rendah yang akan
menurunkan nilai underpricing perusahaan tersebut (Yasa, 2008). Pahlevi (2014),
Lisnawati dan Munaroh (2015), serta Saputra dan Suaryana (2016)
menemukan bahwa ROA berpengaruh signifikan negatif terhadap underpricing.
Menurut Sartono (2012 :263),
“Financial Leverage adalah penggunaan sumber dana yang memiliki
beban tetap dengan harapan bahwa akan memberikan tambahan
keuntungan yang lebih besar daripada beban tetapnya sehingga akan
meningkatkan keuntungan bagi pemegang saham.”
𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑜𝑛 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠 =𝐸𝐴𝑇
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑥 100%
24
Setiap keputusan pendanaan mengharuskan manajer keuangan untuk dapat
mempertimbangkan manfaat dan biaya dari sumber-sumber dana yang akan
dipilih karena sumber dana mempunyai konsekuensi finansial yang berbeda.
Menurut Sutrisno (2012 : 212) “Leverage Financial digunakan untuk
mengukur kemampuan seberapa besar perusahaan dibiayai oleh hutang,”
Sedangkan menurut Fahmi (2011 : 127), “Rasio yang mengukur
seberapa besarnya perusahaan dibiayai oleh dengan hutang.”
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
rasio financial leverage merupakan rasio yang mengukur seberapa banyak
perusahaan menggunakan dana dari hutang yang dengan harapan akan membawa
tambahan keuntungan yang lebih besar dari beban tetapnya sehingga akan
meningkatkan keuntungan bagi pemegang saham. Semakin tinggi tingkat hutang
yang dimiliki, maka semakin besar beban bunga yang harus dibayarkan
perusahaan. Hal ini nantinya akan menyebabkan keuntungan yang diperoleh
perusahaan semakin sedikit.
Rasio ini pada umumnya disebut juga rasio utang (debt), untuk mengukur
presentasi dana yang disediakan oleh kreditur. Pada analisis rasio keuangan,
financial leverage dihitung melalui perbandingan total hutang dan total equity
perusahaan, dimana dalam laporan keuangan disebut leverage ratio. Dalam
penelitian ini rasio leverage yang digunakan oleh penulis adalah debt to equity
ratio.
25
Menurut Kasmir (2014: 157), “Debt to equity ratio merupakan rasio
yang digunakan untuk menilai utang dengan ekuitas. Rasio ini dicari dengan
membandingankan antara seluruh utang lancar dengan seluruh ekuitas”.
Menurut Sutrisno (2012: 218),
“Debt to equity ratio merupakan imbangan antara hutang yang
dimiliki perusahaan dengan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ini
berarti modal sendiri semakin sedikit dibanding dengan hutangnya.
Bagi perusahaan, sebaiknya besarnya hutang tidak boleh melebihi
modal sendiri agar beban tetapnya tidak terlalu tinggi”.
Berdasarkan pegertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa debt to
equity Ratio merupakan rasio imbangan antara hutang yang dimiliki perusahaan
dengan modal sendiri yang digunakan untuk menilai utang dengan ekuitas.
Debt to equity ratio untuk setiap perusahaan tertentu berbeda-beda,
tergantung karakteristik bisnis dan keberagaman arus kasnya. Perusahaan dengan
arus kas yang stabil memiliki rasio yang lebih tinggi.
Adapun rumus debt to equity ratio yaitu:
Financial Leverage menunjukkan kemampuan perusahaan dalam
membayar hutang-hutangnya yang dimilikinya dengan equity yang dimiliki suatu
perusahaan tersebut. Apabila financial leverage ini tinggi menunjukkan risiko
suatu perusahaan dan akan mengurangi minat calon investor sehingga akan
meningkatkan ketidakpastian suatu perusahaan karena pihak investor takut untuk
menginvestasikan dananya di perusahaan tersebut. Hal tersebut dapat
𝐷𝑒𝑏𝑡 𝑡𝑜 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔
𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑥 100%
26
mengakibatkan perusahaan untuk menurunkan harga saham saat IPO karena untuk
menarik investor agar mau berinvestasi atau menanamkan dananya di perusahaan
tersebut.
Menurunkan harga saham saat IPO maka akan memperbesar potensi
terjadinya underpricing, Sehingga jika semakin besar financial leverage
perusahaan maka akan dapat berpontensi memperbesar tingkat underpricing yang
akan terjadi. Semakin Financial Leverage perusahaan rendah maka dapat
memberikan sinyal bahwa perusahaan memiliki sedikit risiko sehingga dapat
menarik minat investor untuk berinvestasi atau menanamkan dananya di
perusahaan tersebut. Pahlevi (2014), Saputra dan Suaryana (2016) serta
Lisnawati dan Munawaroh (2015) menemukan bahwa financial leverage
berpengaruh signifikan poisitif terhadap underpricing.
27
Berdasarkan keterangan yang telah diuraikan tesebut maka dapat
disimpulkan kerangka pemikiran penelitian ini sebagai berikut:
Gambar 1.4 Skema Kerangka Pemikiran
Perusahaan
Underpricing
Pasar Modal
Laporan
Keuangan
Go
Public/IPO
Return On
Asset
Financial
Leverage
Saham
Ukuran
Perusahaan
Closing
Price
Pasar
Perdana
Opening
Price
Pasar
Sekunder
Investasi
28
(-)
(-)
Gambar 1.5 Paradigma Penelitian
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hipotesis penelitian sebagai
berikut:
1. Ukuran perusahaan berpengaruh negatif pada underpricing penawaran
umum perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI).
2. Return on assets berpengaruh negatif pada underpricing penawaran umum
perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI).
3. Financial leverage berpengaruh posistif pada underpricing penawaran
umum perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI).
4. Ukuran perusahaan, return on assets, financial leverage secara simultan
berpengaruh pada underpricing penawaran umum perdana di Bursa Efek
Indonesia (BEI).
Financial Leverage (X3)
Return on Assets (X2)
Ukuran Perusahaan (X1)
Underpricing (Y) (+)
29
1.6 Lokasi dan Waktu Penelitian
1.6.1 Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Data laporan
keuangan yang diperlukan dalam penelitian ini di dapat melalui website dari situs
resmi dan diakui Bursa Efek Indonesia (BEI) yaitu www.idx.co.id,
www.duniainvestasi.com, www.yahoofinance.com dan www.sahamok.com, dan
dari beberapa referensi buku dan jurnal yang mendukung judul penelitian ini.
1.6.2 Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan dalam penelitian ini tahun 2017 sampai dengan
2018. Pada Tabel 1.1 menunjukkan jadwal dan tahap pelaksanaan penelitian.
Tabel 1.1 Jadwal dan Tahap Pelaksanaan Penelitian
NO JENIS
KEGIATAN
WAKTU PENELITIAN
September-
Oktober November Desember Januari Februari
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Penyusunan
UP
2 Seminar UP
3 Studi
Kepustakaan
4
Pengolahan
dan Analisis
Data
5 Penyusunan
Laporan
6 Sidang