bab i pendahuluan 1.1 latar belakangeprints.umm.ac.id/45704/2/bab 1.pdf · 2019-04-04 · 1 bab i...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lansia (lanjut usia) yaitu seseorang yang telah berusia 60 tahun ke atas atau paling
rendah berusia 60 tahun (Hurlock 1999, dalam Akbar, 2016), lansia adalah suatu proses
dalam kehidupan yang biasanya ditandai perubahan-perubahan kearah penurunan,
seperti menurunnya fungsi organ tubuh. Selain mengalami penurunan fisik, lansia juga
menghadapi masalah seperti penurunan psikologis yaitu munculnya kecemasan dalam
menghadapi kematian pada lansia tersebut.
Dampak meningkatnya jumlah lansia menimbulkan masalah terutama dari segi
kesehatan dan kesejahteraan pada lansia lainnya. Masalah tersebut bila tidak segera
ditangani akan berkembang menjadi masalah yang kompleks dari segi fisik, mental dan
sosial yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan lansia (Sutikno, 2011).
Seseorang jika dihadapkan pada suatu keadaan yang cenderung menimbulkan tertekan,
stress, dan depresi maka mereka akan berusaha mendekatkan diri kepada sang pencipta
dengan melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhan spiritual seperti ritual keagamaan,
penyembahan untuk mengatasi perasaannya (Jain & Prema 2006, dalam Taqwa 2016).
Lansia cenderung mengalami penurunan-penurunan fungsi fisiologis dan fungsi
kognitif sehingga membuat lansia khawatir, ketakutan dan stres akan keadaan mereka.
Dalam hal ini kecemasan dapat diatasi salah satunya dengan keyakinan beragama, agama
dapat memenuhi beberapa kebutuhan psikologis yang penting pada usia lanjut dalam hal
menghadapi kematian menemukan dan mempertahankan perasaan berharga dan
2
pentingnya dalam kehidupan dan menerima kekurangan dimasa tua, untuk meningkatkan
nilai keagamaan salah satu caranya adalah dengan meningkatkan praktek ibadah. Salah
satu cara yang dapat meningkatkan praktek ibadahnya itu dengan berbagai bimbingan
spiritual (Safrilsyah 2011, dalam Ikbal 2015).
Menurut Hawari, (2013) kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai
perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak
mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA, masih baik),
kepribadian masih utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/splitting of personality),
perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal.
Kecemasan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor, diantaranya faktor-faktor
internal dan faktor-faktor eksternal (Achiryani, 2008) yaitu faktor-faktor internal yang
meliputi umur, pengalaman, tingkat pendidikan, sedangkan faktor eksternal lingkungan,
keluarga, dan spiritual para lansia. Perasaan cemas pada para lansia dapat dilakukan
beberapa pendekatan yaitu mendekatkan diri kepada keluarga, teman sebaya dan
mendekatkan diri kepada agama. Pendekatan diri kepada agama adalah salah satu bentuk
koping menghadapi kecemasan akan kematian.
Menurut Karomah, (2015) kematian merupakan proses berpisahnya jiwa dan raga
yang akan dialami oleh setiap orang tanpa diketahui kapan dan dimana kematian itu akan
datang. Raga atau badan merupakan benda yang akan hilang ketika seseorang meninggal,
sedangkan jiwa adalah rohani yang akan bersifat abadi saat kematian datang. Lansia
merupakan tahap yang paling dekat dengan kematian dibandingkan dengan golongan
usia sebelumnya karena tahapan ini merupakan tahapan paling akhir dari kehidupan di
dunia. Walaupun kesadaran tentang datangnya kematian telah muncul, presepsi tentang
3
kematian akan berbeda pada setiap orang atau kelompok orang. Bagi beberapa orang,
bertambahnya usia cenderung menjadikan seseorang semakin sadar akan datangnya
kematian dan akan menyebabkan seseorang mempersiapkan diri untuk menghadapi
kematian. Tetapi bagi sebagian orang kematian merupakan sesuatu yang sangat
menakutkan, sehingga sebagian besar lansiaakan mengalami ketakutan, kecemasan,
kebingungan dan frustasi akan datangnya kematian.
Spiritualitas merupakan kualitas dasar manusia yang dialami oleh setiap orang
dari semua keyakinan dan bahkan oleh orang-orang yang tidak berkeyakinan tanpa
memandang ras, warna, asal negara, jenis kelamin, usia, atau disabilitas. Spiritualitas
mencakup hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan alam harmonis, hubungan
dengan orang lain, dan hubungan dengan ketuhanan (Hamid, 2009).
Aspek spiritual pada lansia telah menjadi bagian dalam dimensi pada manusia
yang telah matang. Kebutuhan spiritual yang sudah terpenuhi pada masa ini membuat
para lansia mampu mengartikan persoalan-persoalan yang positif tentang tujuan
keberadaan di dunia ini, mengembangkan dalam mengartikan penderitaan dan meyakini
hikmah dari suatu kejadian maupun penderitaan, menjalin hubungan positif dan dinamis
melalui keyakinan, rasa percaya diri dan cinta. Para lansia juga telah mampu membina
integritas personal agar merasa dirinya berharga, merasakan kehidupan terarah melalui
harapan, serta mampu dalam pengembangan hubungan antara manusia yang positif dan
tidak lupa akan rasa syukur kepada TuhanNya (Achiriyani, 2008).
Aspek agama menjadi bentuk koping dalam menghadapi kecemasan bagi para
kelompok lansia. Spiritual yaitu hubungan antara individu dengan agama maupun Tuhan
pencipta alam semesta ini. Dalam kegiatan spiritual, kondisi pada lansia meliputi dua hal
4
yang diantaranya yaitu mengenai ibadah dan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Dalam
hal ini spiritual mempunyai peranan penting dalam kehidupan, seseorang yang
mensyukuri nikmat akan lebih ikhlas dalam menghadapi kehidupan, akan tetapi belum
tentu juga bagi yang tidak mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan YME (Affandi,
2008).
Menurut Burkhardt, (1993) dalam Syam, (2010), aspek kesehatan spiritual
meliputi hubungan orang lain, hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan alam
sekitar, dan hubungan dengan Tuhan yang dicerminkan lewat agama. Pada lansia
kesehatan spiritual merupakan sesuatu yang memberikan kedamaian dan penerimaan
tentang diri dan hal tersebut sering didasarkan pada hubungan yang langgeng dengan
maha Agung. Spiritual menimbulkan rasa percaya diri dan optimisme, merupakan dua hal
yang amat esensial bagi penyembuhan suatu penyakit, disamping pemberian obat dan
tindakan medis. Saat rasa percaya diri dan optimisme muncul pada lansia, hal ini
membuat lansia merasa lebih tenang (Hawari 1997, dalam Ikbal, 2015). Dalam keadaan
tenang hipotalamus akan merangsang kelenjar pituitary anterior untuk menurunkan
produksi ACTH (Adeno Cortico Tropin Hormon). Hormon ini yang akan merangsang
kortek adrenal untuk menurunkan sekresi kortisol. Kortisol ini yang akan menkan sistem
imun tubuh sehingga mengurangi tingkat kecemasan (Budianto 2010 dalam Ikbal , 2015).
Data-data dalam Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah para lansia di
indonesia akan terus meningkat, sedangkan menurut proyeksi WHO pada 1995, pada
tahun 2050 yang dibandingkan dengan tahun 1990 menyatakan pertumbuhan jumlah
penduduk lansia di Indonesia akan mengalami pertumbuhan lansia terbesar di Asia, yaitu
sebesar 414%, Thailand 337%, India 242%, dan China 220%. Jumlah lansia Indonesia,
5
menurut BPS (Badan Pusat Statistik) menyatakan bahwa pada tahun 2004 dengan jumlah
sebesar 16.522.311 lansia, tahun 2006 dengan jumlah sebesar 17.478.282 lansia, dan pada
tahun 2008 dengan jumlah sebesar 19.502.355 lansia (8,55% dari total penduduk
Indonesia yaitu 228.018.900), pada tahun 2020 jumlah lansia diperkirakan sekitar 28 juta
jiwa.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada 11 April 2018 di UPT
Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar didapatkan data jumlah lansia 55 orang
diantaranya laki-laki dengan jumlah 11 lansia sedangkan perempuan berjumlah 41 lansia.
Melalui observasi terhadap 7 lansia yang diambil secara acak dengan cara mengunjungi
tiap ruangan lansia, ruangan lansia terdiri dari 6 ruangan.
Hasil wawancara kepada 7 lansia penghuni UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha
Blitar didapatkan hasil 5 lansia diantaranya menyatakan belum siap jika sewaktu-waktu
ajal menjemput dirinya, karena para klien disana kebanyakan ingin lebih memperkokoh
keimanannya dan berkumpul bersama keluarganya sampai tutup usia. Sedangkan 2 lansia
menyatakan siap jika suatu saat nanti ajal menjemputnya, dikarenakan mereka sudah
pasrah dengan keadaan yang sekarang dijalaninya.
Hal inilah yang menjadi fokus pikiran para lansia di UPT Pelayanan Sosial Tresna
Werdha Blitar, responden yang ditemukan hampir semua lansia mengalami kecemasan
dalam menghadapi kematian dan terapi yang digunakan pada umumnya dalam asuhan
keperawatan yaitu terapi farmakologi dan relaksasi. Sehingga dapat diketahui juga bahwa
kecemasan dapat ditekan dengan pendekatan spiritual (Ikbal, 2015). Hal inilah yang
menarik perhatian peneliti melakukan penelitian tentang bagaimana Hubungan Antara
6
Tingkat Spiritual Dengan Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia Di UPT
Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar.
Berdasarkan paparan masalah, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul
Hubungan Antara Tingkat Spiritual Dengan Kecemasan Menghadapi Kematian Pada
Lansia di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana tingkat spiritual lansia di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar?
2. Bagaimana tingkat kecemasan lansia di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar?
3. Bagaimana hubungan antara tingkat spiritual terhadap kecemasan menghadapi
kematian pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan tingkat spiritual terhadap kecemasan menghadapi
kematian pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi tingkat spiritual pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha
Blitar.
2. Mengidentifikasi tingkat kecemasan di dalam menghadapi kematian pada lansia di
UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar.
7
3. Menganalisis hubungan antara tingkat spiritual terhadap kecemasan menghadapi
kematian pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan dalam bentuk
penelitian dengan tujuan mengetahui tingkat spiritual yang dihubungkan dengan
kecemasan menghadapi kematian pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha
Blitar.
1.4.2 Manfaat Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, referensi dalam
bidang keperawatan dan digunakan untuk pengembangan penelitian selanjutnya
mengenai tingkat spiritual yang dihubungkan dengan kecemasan menghadapi kematian
pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar.
1.4.3 Manfaat Bagi Masyarakat
Sebagai bahan informasi dan masukan terutama keluarga maupun lansia bersama
kelompoknya yang mengalami kecemasan dalam menghadapi kematian, untuk lebih
memperdalam religiutas pada lansia baik jasmani maupun rohani lebih dekat kepada yang
Maha Kuasa.
8
1.5 Keaslian Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, beberapa penelitian berikut dijadikan sebagai
bagian bahan referensi dan pedoman dalam melakukan pengkajian teori, sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Ningrum (2016) dengan judul “Hubungan Tingkat
Spiritualitas Dengan Tingkat Stres Pada Lansia di Desa Ngargomulyo Magelang”
bertujuan meneliti tingkat spiritual pada lansia di Desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun
Kabupaten Magelang. Sampel penelitian sebanyak 82 lansia diambil secara studi Cross
Sectional. Analisis yang digunakan adalah Spearman Rank. Data demografi responden pada
penelitian ini, dari data umum 82 responden berusia >65 tahun yaitu sebanyak 66 lansia
(80,5%). Responden usia 60-65 tahun sebanyak 12 lansia (14,6%) dan responden yang
paling sedikit yaitu lansia pada usia 55-60 tahun yaitu sebanyak 2 orang (4,9%).
Karakteristik responden yang berusia usia >65 tahun masuk dalam kategori lansia
dengan kategori usia tua (elderly) dan sangant tua (very old). Berdasarkan jenis kelamin
didapatkan 82 responden terdapat 52,4% yang diantaranya laki – laki, dan 74,6%
perempuan. Hasil penelitian yang diteliti oleh peneliti terdapat hubungan yang signifikan
antara tingkat spiritualitas dengan tingkat stres pada lansia di Desa Ngargomulyo
Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang dengan nilai signifikansi 0,000. Hubungan dari
kedua variabel dengan nilai hubungan yang kuat dengan korelasi -0,815. Pola hubungan
dari kedua variabel adalah negatif yang berarti semakin tinggi tingkat spiritualitas maka
tingkat stres yang dialami akan semakin rendah.
Adapun perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningrum (2016),
dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah variabel independen tingkat spiritual
menghadapi kematian pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar dimana
9
penelitian ini menggunakan spearman rank. Responden peneliti sebanyak 55 responden
dengan menggunakan teknik Purposive Sampling.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni (2014) dengan judul “Pemenuhan
Kebutuhan Spiritual Berhubungan Dengan Status Kecemasan Menghadapi Masa
Pensiun Pada Pegawai Negeri Sipil” bertujuan untuk memberikan perhatian khusus
bersama lembaga kesehatan setempat untuk lebih meningkatkan peran persiapan dalam
menghadapi pensiun, seperti memberikan pelatihan dan memfasilitasi pelatihan untuk
meningkatkan kualitas spiritual, pelatihan ESQ spiritual bagi para para PNS yang akan
pensiun. Sampel penelitian ini adalah sebanyak 55 responden dengan menggunakan
simple random sampling. Alat analisis yang digunakan adalah Korelasi Kendal Tau.
Menunjukkan bahwa nilai korelasi antar variabel pemenuhan kebutuhan spiritual dengan
kecemasan didapatkan signifikansi sebesar p=0,042 (p<0,05).
Hal ini menunjukkan hipotesis yang menyatakan ada hubungan negatif antara
variabel pemenuhan kebutuhan spiritual dengan kecemasan menghadapi masa pensiun di
Kabupaten Sleman diterima. Dari Tabel 4.4 (63,6%) PNS mengalami kecemasan dalam
kategori sedang dan (98,2%) terpenuhi pemenuhan kebutuhan spiritualnya. Dari hasil
penelitian yang telah dilakukan Anggreni, bahwa terdapat hubungan negatif antara
tingkat religious dengan kecemasan karena masih ada beberapa faktor-faktor lain yang
masihmempengaruhi seperti faktor pengalaman yang tidak menyenangkan dan factor
kepasrahan jiwa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan ada
hubungan signifikan antara variabel pemenuhan kebutuhan spiritual dengan tingkat
kecemasan dalam menghadapi masa pensiun di Kabupaten Sleman dengan signifikansi
p=0,042.2). Bagi Badan Kepegawaian Daerah, sebaiknya memberikan perhatian khusus
10
bersama lembaga kesehatan setempat untuk lebih meningkatkan peran persiapan dalam
menghadapi pensiun, seperti memberikan pelatihan dan memfasilitasi pelatihan untuk
meningkatkan kualitas spiritual, pelatihan ESQ spiritual bagi para para PNS yang akan
pensiun.
Adapun perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni (2014),
dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah variabel independen tingkat spiritual
menghadapi kematian pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar dimana
penelitian ini menggunakan spearman rank. Responden peneliti sebanyak 55 responden
dengan menggunakan teknik Purposive Sampling.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Gultom (2016) dengan judul “Hubungan Aktivitas
Spiritual Dengan Tingkat Depresi Pada Lansia Di Balai Penyantunan Lansia Senja Cerah
Kota Manado” yang bertujuan untuk menganalisa hubungan aktivitas spiritual dengan
tingkat depresi pada lansia di Balai Penyantunan Lansia Senja Cerah Manado. Sampel
penelitian ini adalah sebanyak 50 responden dengan menggunakan pendekatan purposive
sampling. Uji statistik yang digunakan adalah Chi Square. Hasil analisis menunjukkan
bahwa Dari hasil penelitian yang dilakukan di BPLU Senja Cerah Manado dapat di Tarik
Kesimpulan terdapat responden dengan kategori aktivitas spiritual tinggi pada lansia di
BPLU Senja Cerah Manado. Lansia di BPLU Senja Cerah Manado memiliki tingkat
depresi ringan. Adanya hubungan aktivitas spiritual dengan tingkat depresi pada lansia di
BPLU Senja Cerah Manado.
Adapun perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syam (2010), dengan
penelitian yang dilakukan peneliti adalah variabel independen tingkat spiritual
menghadapi kematian pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar dimana