bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep spiritual 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/45704/3/bab 2.pdf ·...

30
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Spiritual 2.1.1 Pengertian Spiritual Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), spiritual artinya adalah yang berhubungan dengan sifat kejiwaan (rohani dan batin). Spiritual merupakan kebangkitan atau pencerahan dalam diri untuk mencapai tujuan dan makna dalam hidup serta bagian paling pokok dari masalah kesehatan dan kesejahteraan seseorang (Hasan 2006, dalam Pustakasari, 2014). Spiritual adalah kebutuhan dasar dan pencapaian tertinggi seorang manusia dalam kehidupannya tanpa memandang suku atau asal-usul. Kebutuhan dasar tersebut meliputi: kebutuhan fisiologis, keamanan dan keselamatan, cinta kasih, dihargai dan aktualitas diri. Aktualitas diri merupakan sebuah tahapan spiritual seseorang, dimana berlimpah dengan kreativitas, intuisi, keceriaan, sukacita, kasih sayang, kedamaian, toleransi, kerendahatian serta memiliki tujuan hidup yang jelas (Prijosaksono 2003, dalam Astaria, 2010). Spiritual merupakan keyakinan dalam hubungannya dengan Tuhan YME maupun Maha Pencipta (Hamid 1999, dalam Astaria, 2010). Spiritual juga bias disebut sesuatu yang dirasakan diri sendiri dan hubungan dengan orang sekitar, yang terwujud dalam sikap mengasihi orang lain, baik dan ramah kepada orang lain, menghormati setiap orang agar orang disekitar merasa senang. Spiritual adalah semua yang mencakup kehidupan, tidak hanya doa maupun mengenal dan mengakui TuhanNya (Nelson 2002 dalam Astaria, 2010).

Upload: nguyenhanh

Post on 05-Aug-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Spiritual

2.1.1 Pengertian Spiritual

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), spiritual artinya adalah yang

berhubungan dengan sifat kejiwaan (rohani dan batin). Spiritual merupakan kebangkitan

atau pencerahan dalam diri untuk mencapai tujuan dan makna dalam hidup serta bagian

paling pokok dari masalah kesehatan dan kesejahteraan seseorang (Hasan 2006, dalam

Pustakasari, 2014).

Spiritual adalah kebutuhan dasar dan pencapaian tertinggi seorang manusia dalam

kehidupannya tanpa memandang suku atau asal-usul. Kebutuhan dasar tersebut meliputi:

kebutuhan fisiologis, keamanan dan keselamatan, cinta kasih, dihargai dan aktualitas diri.

Aktualitas diri merupakan sebuah tahapan spiritual seseorang, dimana berlimpah dengan

kreativitas, intuisi, keceriaan, sukacita, kasih sayang, kedamaian, toleransi, kerendahatian

serta memiliki tujuan hidup yang jelas (Prijosaksono 2003, dalam Astaria, 2010).

Spiritual merupakan keyakinan dalam hubungannya dengan Tuhan YME

maupun Maha Pencipta (Hamid 1999, dalam Astaria, 2010). Spiritual juga bias disebut

sesuatu yang dirasakan diri sendiri dan hubungan dengan orang sekitar, yang terwujud

dalam sikap mengasihi orang lain, baik dan ramah kepada orang lain, menghormati setiap

orang agar orang disekitar merasa senang. Spiritual adalah semua yang mencakup

kehidupan, tidak hanya doa maupun mengenal dan mengakui TuhanNya (Nelson 2002

dalam Astaria, 2010).

13

Menurut Meckley, et al., (1992) dalam Astaria, (2010) spiritual suatu multi

dimensi yaitu dimensi eksitensi dan deminsi agama. Dimensi eksitensi yaitu fokus dalam

tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama yaitu dominan fokus pada

hubungan seseorang dengan TuhanNya. Spiritual sebagai konsep dua dimensi yaitu

dimensi vertical dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal berperan sebagai hubungan

dengan Tuhan yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal

berperan dalam hubungan diri sendiri dengan orang lain.

2.1.2 Dimensi Spiritual

Menurut Ginanjar, (2004) dalam Rani, (2011) mengatakan dimensi spiritualitas

ada 3 macam yaitu tanggung jawab, pemaaf, dan pengasih sedangkan dimensi spiritual itu

sendiri merupakan kekuatan dalam diri untuk tertimbulnya rasa kedamaian dan

kebahagiaan pada diri seseorang. Berikut definisi dimensi spiritualitas menurut Ginanjar,

2004 (dalam Rani, 2011), yaitu:

1. Tanggung jawab

Tanggung jawab yaitu kemampuan dalam menyelesaikan semua tugas sebagai

wujud ihsan kepada Al-Wakil. Sedangkan bertanggung adalah sikap dan kewajiban yang

mana dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, Negara dan Tuhan.

2. Pemaaf

Pemaaf merupakan sikap menerima maaf dalam mengikhlaskan masalah sebagai

wujud ihsan pada Al-Ghafar atau orang yang rela memberi maaf kepada orang lain tanpa

sedikit ada rasa benci dan keinginan untuk membalas semua kesalahan-kesalahan yang

pernah mereka perbuat.

14

3. Pengasih

Pengasih merupakan unsur dorongan dalam menyayangi sesama manusia sebagai

wujud ihsan pada Ar-Rahman atau sebagai perwujudan rasa kasih sayang yang

diwujudkan dalam perlakuan dan sikap diri sendiri maupun ke sesama.

2.1.3 Tingkat Spiritual

Menurut Hasan, (2006) dalam Rani, (2011), tingkat spiritualitas manusia ada

tujuh tingkatan dari yang bersifat egoistik maupun yang suci secara spiritual, yang dinilai

bukan oleh manusia, namun langsung oleh Allah SWT, yaitu:

1. Nafs Ammarah

Pada tahap ini, orang yang nafsunya didominasi godaan yang mengarah pada

kejahatan. Pada tahap ini orang yang tidak dapat mengontrol dirinya dan tidak memiliki

moralitas atau rasa kasih. Dendam, kemarahan, ketamakan, gairah seksual, dan iri hati

adalah sifat seseorang yang muncul pada tahap ini. Pada tahap ini kesadaran dan akal

manusia dikalahkan oleh hawa nafsu.

2. Nafs Lawwamah

Orang yang berada pada tahap ini mulai memiliki kesadaran terhadap perilaku-

perilakunya dan dapat membedakan yang baik maupun benar, dan menyesali kesalahan-

kesalahannya. Akan tetapi masih belum ada kemampuan untuk mengubah gaya

hidupnya. Sebagai langkah awal, mencoba untuk mengikuti kewajiban agamanya, seperti

sholat, berpuasa, membayar zakat dan mencoba berperilaku baik. Nafsu manusia selalu

mengajak hal-hal dalam kejahatan maupun perilaku keji. Pada tahap ini, ada tiga hal yang

15

dapat menjadi bahaya, yaitu kemunafikan, kesombongan dan kemarahan. Mereka tidak

akan bisa bebas dari godaan setiap kali beraktifitas.

3. Nafs Mulhiman (The Inspireda Self)

Pada tahap ini, seseorang akan merasakan ketulusan dalam beribadah yang benar-

benar termotivasi dari cinta dan kasih sayang, serta adanya pengabdian dan nilai-nilai

moral. Tahap ini merupakan dari awal praktik sufisme seseorang, meskipun seseorang

belum tentu terbebas dari keinginan maupun ego pada tahap ini, namun pada tahap ini

motivasi dan pengalaman spiritual terdahulu dapat mengurangi untuk pertama kalinya.

Pada tahap ini adalah kelembutan, kasih sayang, kreativitas dan perilaku tindakan moral

merupakan perilaku yang umum. Secara keseluruhan orang yang berada pada tahap ini,

memiliki emosi yang matang dan menghargai serta dihargai orang.

4. Nafs Muthma’innah

Pada tahap ini, seseorang merasakan kedamaian dalam hidupnya serta pergolakan

pada tahap awal telah lewat. Kebutuhan dan ikatan lama sudah tidak dibutuhkan oleh

seseorang. Pada tahap ini kepentingan seseorang mulai lenyap membuat lebih dekat

dengan TuhanNya. Pada tingkat ini seseorang akan membuat pikirannya terbuka,

bersyukur, dapat dipercaya, dan penuh kasih sayang. Ketika seseorang menerima segala

kesulitan maupun cobaan dihadapi dengan kesabaran dan ketakwaan, maupun ketika

seseorang mendapatkan sebuah kenikmatan dapat dikatakan seseorang telah mencapai

tingkat jiwa yang tenang. Dari segi perkembangan tahap ini memasuki dalam periode

transisi. Seseorang sudah mulai dapat melepaskan semua belenggu dalam dirinya

sebelumnya dan telah mulai melakukan integrasi kembali pada semua aspek universal

kehidupan.

16

Seseorang telah merasakan kedamaian, kebahagiaan, kegembiraan dalam

beragama seperti diberi surga di atas dunia. Setiap kata-kata yang diucapkan bersumber

pada Al-Qur’an dan Hadist maupun kata-kata suci lainnya. Ibadah dan pengabdiannya

menghasilkan pada perkembangan spiritualnya.

5. Nafs Radhiyah

Pada tahap ini seseorang tidak hanya tenang dengan dirinya sendiri, namun juga

tetap bahagia dan tegar melewati keadaan sulit, musibah atau cobaan dalam

kehidupannya. Menyadari kesulitan yang datang dari Allah untuk memperkuat dan

memperkokoh imannya. Keadaan bahagia itu sendiri tidak bersifat hedonistik atau

materalistik, dan berbeda dengan hal yang biasa dialami seseorang yang berorientasi pada

hal yang sifatnya duniawi, pemenuhan kesenangan (pleasure principle) dan penghindaran

rasa sakit (paint principle). Ketika seseorang sampai pada tingkat mencintai dan bersyukur

kepada Allah berarti seseorang tersebut telah mencapai tahap perkembangan spiritual ini.

Namun hanya sedikit orang yang dapat mencapai tahap spiritual ini.

6. Nafs Mardhiyah

Pada tahap ini, ketika seseorang mengalami kesulitan akan merasakan

kebahagiaan, musibah atau cobaan dalam kehidupannya. Menyadari akan segala kesulitan

yang diberikan dari Allah untuk memperkuat imannya. Keadaan bahagia itu sendiri tidak

bersifat hedonistik atau materalistik, dan berbeda dengan hal yang biasa dialami oleh

seseorang yang berbeda dengan hal yang biasa dialami seseorang yang berorientasi pada

hal yang sifatnya duniawi, pemenuhan kesenangan (pleasure principle) dan penghindaran

rasa sakit (paint principle). Ketika seseorang sampai pada tingkat mencintai dan bersyukur

kepada Allah berarti seseorang tersebut telah mencapai tahap perkembangan spiritual ini.

17

Namun sedikit orang yang dapat mencapai tahap ini. dalam segala kejadian

maupun cobaan adalah atas tindakan Allah yang mencintai mereka dalam setiap situasi.

Ketakwaan, kepasrahan, kesabaran, kesyukuran, dan cinta kepada Allah SWT adalah

cobaan dari Allah untuk menanggapinya dengan cepat ketika hamba-Nya kembali

kepada-Nya.

7. Nafs Safiyah

Seseorang yang telah mencapai tahap akhir ini telah mengalami transedensi diri

yang utuh. Tidak ada nafas yang tersisa, hanya penyatuan dengan Allah. Pada tahap ini

seseorang telah menyadari Kebenaran, “Tidak Ada Tuhan Selain Allah”, dan hanya

keilahian yang ada, dan setiap indera manusia atau keterpisahan adalah ilusi semata.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, dalam mengembangkan spiritual

seseorang untuk menempuh tahap-tahap perkembangan yaitu dengan suatu cara, sarana

atau siasat yang berdasarkan ajaran Islam.

2.1.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Spiritual

Menurut Taylor et al., (1997) dalam Astaria, (2010), ada beberapa faktor penting

yang dapat mempengaruhi spiritual seseorang, yaitu:

1. Tahap perkembangan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan empat agama yang

berbeda ditemukan bahwa mereka memiliki konsep spiritualitas yang berbeda menurut

usia, jenis kelamin, agama dan kepribadian anak.

18

2. Keluarga

Peran orang tua sangat penting dalam perkembangan spiritualitas seorang anak

karena orang tua sebagai role model. Keluarga juga sebagai orang terdekat di lingkungan

dan pengalaman pertama anak dalam mengerti dan menyimpulkan kehidupan di dunia,

maka pada umumnya pengalaman pertama anak selalu berhubungan dengan orang tua

ataupun saudaranya.

3. Latar belakang etnik budaya

Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial

budaya. Hal yang perlu diperhatikan adalah apapun tradisi agama atau system keagamaan

yang dianut individu, tetap saja pengalaman spiritual tiap individu berbeda dan

mengandung hal unik.

4. Pengalaman hidup sebelumnya

Pengalaman hidup baik positif maupun negatif dapat mempengaruhi spiritualitas

seseorang. Selain itu juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara

spiritual kejadian atau pengalaman tersebut. Peristiwa dalam kehidupan sering dianggap

sebagai suatu ujian. Pada saat ini, kebutuhan spiritual akan meningkat yang memerlukan

kedalaman spiritual dan kemampuan koping untuk memenuhinya.

5. Krisis dan perubahan

Krisis dan perubahan dapat memperkuat kedalaman spiritual seseorang. Krisis

sering dialami ketika individu dihadapkan dengan hal sulit. Apabila klien mengalami

krisis, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk melakukan kegiatan spiritual

menjadi lebih tinggi.

19

6. Terpisah dari ikatan spiritual

Individu yang biasa melakukan kegiatan spiritual ataupun tidak dapat berkumpul

dengan orang terdekat biasanya akan mengalami terjadinya perubahan fungsi spiritual.

2.1.5 Indikator Tingkat Spiritual

Indikator spiritual menurut Burkhandt, (1993) dalam Nilamastuti, (2016)

meliputi:

1. Hubungan dengan diri sendiri

Hubungan diri sendiri merupakan kekuatan yang timbul dari diri seseorang untuk

membantu menyadari makna dan tujuan hidup, seperti meninjau pengalaman hidup

sebagai pengalaman positif, kepuasan hidup, optimis terhadap masa depan, dan tujuan

hidup yang jelas.

2. Hubungan dengan orang lain

Hubungan dengan orang lain terdapat hubungan harmonis dan tidak harmonis.

Keadaan harmonis sendiri meliputi pembagian waktu, pengetahuan dan sumber,

mengasuh anak, mengasuh orang tua dan mengasuh orang-orang yang sakit, serta

meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak harmonis yaitu konflik

dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain lahir dari kebutuhan akan keadilan dan

kebaikan, menghargai kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan kesepian,

keinginan dihargai dan diperhatikan, dan lain sebagainya. Dengan demikian apabila

seseorang mengalami kekurangan ataupun mengalami stres, maka orang lain dapat

memberi bantuan psikologis dan sosial.

20

3. Hubungan dengan alam

Harmoni merupakan gambaran hubungan seseorang dengan alam yang meliputi

pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan

alam serta melindungi alam tersebut.

4. Hubungan dengan Tuhan

Hubungan dengan Tuhan meliputi agama dan luar agama. Keadaan ini

menyangkut sembahyang dan berdoa, keikutsertaan dalam kegiatan ibadah, perlengkapan

keagamaan, serta bersatu dengan alam. Disimpulkan bahwa ketika seseorang telah

terpenuhi kebutuhan spiritualnya, apabila sudah mampu merumuskan arti personal yang

positif tentang tujuan keberadaannya di dunia atau pada kehidupan, mengembangkan arti

suatu penderitaan serta meyakini hikmah dari satu kejadian atau penderitaan, menjalin

hubungan yang positif maupun dinamis, membina integritas personal dan merasa diri

sendiri berharga, merasakan kehidupan yang terarah dan melakukan hubungan antar

manusia yang positif.

2.1.6 Pengukuran Tingkat Spiritual

Alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat spiritual pada individu

adalah Daily Spiritual Experience Scale (DSES), untuk mengukur pengalaman spiritual yang

biasa dilakukan setiap hari. DSES terdiri dari 15 item, termasuk konstruksi seperti rasa

takut, rasa syukur, pengampunan, rasa persatuan dengan transenden, cinta kasih, dan

keinginan untuk kedekatan dengan Allah. Prosedur ini adalah untuk menghasilkan model

dua faktor: Faktor 1 ditetapkan sebagai hubungan vertikal (Tuhan atau Transenden),

yang terdiri dari 12 item (misalnya, Pertemuan pada agama atau spiritualitas). Faktor 2

21

dicirikan sebagai hubungan horizontal (manusia atau orang lain), yang terdiri dari tiga

item (misalnya, Saya merasa peduli tanpa pamrih pada orang lain). Skala diukur pada 6

jenis skala Likert: 6 = berkali-kali sehari, 5 = setiap hari, 4 = hampir setiap hari, 3 =

beberapa hari, 2 = sekali-sekali, dan 1 = tidak pernah atau hampir tidak pernah, dengan

skor: Rendah = 15-39, Sedang = 40-64, Tinggi = 65-90 (Underwood, 2002 dalam

Nilamastuti, 2016).

Kriteria tersebut menjelaskan apabila seseorang merasakan pengalaman spiritual

dengan skala seringkali (>1 kali/hari) dalam kehidupan sehari-harinya maka tingkat

spiritualitasnya tinggi dan juga begitu sebaliknya. Pengalaman spiritualitas yang dirasakan

seseorang setiap hari (1 kali/hari) dan hampir setiap hari (5-6 kali/minggu) maka sudah

jelas tingkat spiritualitasnya akan tinggi, jika pengalaman spiritualitas yang dirasaka

seseorang kadang-kadang (3-4 kali/minggu ) dan jarang ( 1 – 2 kali/minggu ) maka

tingkat spiritualitas dari seseorang tersebut sedang. Apabila seseorang mengalami

pengalaman spiritualitas hampir tidak pernah (< 1 kali/minggu) makan tingkat

spiritualitasnya rendah (Permatasari, 2017).

2.2 Konsep Kecemasan

2.2.1 Pengertian Kecemasan

Menurut Corey, (2003) dalam Kurniawati, (2008) menyatakan bahwa kecemasan

merupakan suatu keadaan tegang yang memotivasi kita untuk melakukan sesuatu.

Sedangkan Atkinson, 1991 (dalam Kurniawati, 2008) mengemukakan bahwa kecemasan

merupakan bentuk dari emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan istilah-

22

istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang kadang-kadang dialami

dalam tingkat yang berbeda.

Kecemasan merupakan ketakutan yang tidak bisa diidentifikasi dengan satu sebab

khusus dan dalam banyak peristiwa mampu mempengaruhi wilayah-wilayah penting

dalam kehidupan seseorang (Kartini Kartono, 2003 dalam Pamungkas Dkk, 2013).

Wilayah-wilayah penting fisik, kognitif, afektif, dan psikomotorik. Secara keseluruhan

kecemasan yang tidak segera tereduksi akan mempengaruhi aktivitas individu serta

berkurangnya produktivitias.

Kecemasan adalah suatu kondisi emosi yang tidak menyenangkan dimana

individu merasa tidak nyaman, tegang, gelisah, dan bingung. Perasaan cemas yang dialami

dapat mengganggu individu dalam kegiatan sehari-hari. Salah satu bentuk kecemasan

menurut Nugraheni, 2005 (dalam Akbar, 2016) adalah the anxiety of fate and death atau ontic

anxiety yaitu kecemasan akan nasib dan kematian. Kematian merupakan suatu kenyataan

yang akan datang kapan saja dan terhadap semua makhluk yang ada di dunia ini tanpa

kecuali dan tak satu makhluk pun mampu menolaknya.

2.2.2 Faktor-faktor Penyebab Kecemasan

Ramaiah, (2003) dalam Kurniawati, (2008) menyebutkan bahwa ada empat faktor

utama yang mempengaruhi perkembangan pola dasar yang menunjukkan reaksi rasa

cemas, yaitu:

1. Lingkungan

Lingkungan mempengaruhi cara berpikir tentang diri sendiri dan orang lain. Hal

ini bisa disebabkan pengalaman seseorang dengan keluarga, dengan sahabat, dengan

23

rekan sekerja, dan lain-lain. Kecemasan akan timbul jika seseorang merasa tidak aman

terhadap lingkungannya.

2. Emosi yang ditekan

Kecemasan bisa terjadi jika seseorang tidak mampu menemukan alan keluar

untuk perasaan dalam hubungan personal. Terutama jika seseorang menekan rasa marah

atau frustrasi dalam jangka waktu yang lama sekali.

3. Sebab-sebab fisik

Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan

timbulnya kecemasan. Selama ditimpa kondisi-kondisi ini, perubahan-perubahan

perasaan lazim muncul, dan ini dapat menyebabkan timbulnya kecemasan.

4. Keturunan

Sekalipun gangguan emosi ada yang ditemukan dalam keluarga-keluarga tertentu,

ini bukan merupakan penyebab penting dari kecemasan.

2.2.3 Jenis-jenis Kecemasan

Menurut Budiraharjo, (1997) dalam Kurniawati, (2008), mengkategorikan

kecemasan menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Kecemasan Realitas (reality anxiety)

Kecemasan realitas (reality anxiety) adalah kecemasan terhadap bahaya-bahaya

yang datang dari luar, seperti kecemasan terhadap kegagalan perkawinan yang dialami

seseorang saat akan menikah.

Menurut Koeswara (1991:45) menyatakan bahwa, kecemasan realitas berlawanan

dengan kecemasan neurotik. Kecemasan realitas merupakan reaksi terhadap persepsi

24

bahaya eksternal, terhadap cidera yang diramalkan dan diketahui sebelumnya. Kecemasan

realitas merupakan wujud dari insting perlindungan diri.

2. Kecemasan Neurotik (Neurotic Anxiety)

Kecemasan Neurotik (Neurotic Anxiety) adalah kecemasan terhadap hal-hal yang

ada dalam bayangan seseorang karena pengalamannya. Misalkan seorang anak yang

merasa takut mencuri lagi karena pernah dikurung ibunya di tempat gelap.

Menurut Koeswara (1991:45) menyatakan bahwa, Kecemasan neurotik yaitu

kecemasan atau tidak terkendalinya naluri-naluri primitif oleh ego yang nantinya bisa

mendatangkan hukuman. Orang yang menderita kecemasan neurotik selalu

mengantisipasi hal-hal yang terburuk dari semua akibat yang mungkin ada, mengartikan

semua kesempatan yang muncul sebagai suatu pertanda buruk dan menganggap suatu

ketidakpastian sebagai hal yang buruk.

3. Kecemasan Moral (Moral Anxiety)

Kecemasan Moral (Moral Anxiety) adalah kecemasan yang muncul pada saat

seseorang melanggar nilai moral di masyarakat atau keluarga. Misalkan, seorang anak

merasa cemas setelah berbohong kepada ibunya.

Kartono (1981:117) menyatakan bahwa, kecemasan dibagi dalam dalam dua

kategori, yaitu:

a. Neurotis

Erat kaitannya dengan mekanisme pertahanan diri yang negatif. Faktor

penyebabnya adalah adanya perasaan beresalah dan berdosa serta mengalami konflik

emosional yang serius dan kronis berkesinambungan, frustrasi dan ketegangan batin.

25

b. Psikotis

Karena adanya perasaan bahwa hidupnya terancam dan kacau balau, adanya

kebingungan yang hebat disebabkan oleh depersonalisasi dan disorganisasi psikis.

Kecemasan digambarkan sebagai state anxiety atau trait anxiety menurut para ilmuan

(Spielberger, 1972 dalam Clerq, 1994) dapat dijabarkan sebagai berikut:

State anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu, yang

dirasakan sebagai suatu ancaman. Trait anxiety menunjuk pada ciri atau sifat seseorang

yang cukup stabil yang mengarahkan seseorang untuk menginterpretasikan suatu

keadaan sebagai ancaman yang disebut dengan anxiety proneness (kecenderungan akan

kecemasan). Orang tersebut cenderung untuk merasakan berbagai macam keadaan

sebagai keadaan yang membahayakan atau mengancam, dan cenderung untuk

menanggapi dengan reaksi kecemasan.

Berdasarkan teori-teori diatas, maka dapat disimpulkan bahwa macam-macam

kecemasan meliputi state & trait anxiety, sedangkan kecemasan dalam kaitan dengan

gangguan mental yaitu kecemasan neurotis dan psikotis, berdasarkan sumbernya yaitu

kecemasan realitas, neurotik, dan kecemasan moral.

2.2.4 Tingkat Kecemasan

Tingkat kecemasan menurut Stuart dan Sundeen, (1998) dalam Kurniawati,

(2008) dapat diuraikan sebagai berikut:

26

1. Kecemasan Ringan

Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan

seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat

memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.

2. Kecemasan Sedang

Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan

mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif

namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.

3. Kecemasan Berat

Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk

memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spsesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal

lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut

memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.

4. Tingkat panik dari kecemasan

Berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Panik melibatkan

disorganisasi kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktivitas motorikdengan

menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang

menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional.

2.2.5 Cara mengatasi kecemasan

Ramaiah, 2003 (dalam Kurniawati, 2008) memaparkan beberapa pendekatan

untuk mengatasi kecemasan. Pendekatan-pendekatan ini mencakup:

27

1. Psikoterapi

Istilah ini digunakan untuk banyak sekali metode pengobatan gangguan kejiwaan

dan emosi, lebih banyak dengan teknik-teknik psikologi daripada melalui obat-obatan

atau pengobatan fisik. Ada dua jenis utama psikoterapi untuk mengatasi keadaan

kecemasan. Keadaan ini mencakup psikoterapi wawasan dalam dan psikoterapi

pendukung.

2. Terapi relaksasi

Teknik-teknik relaksasi dapat membantu menenangkan pikiran seseorang yang

mengalami kecemasan jika seseorang tersebut bersedia menerima anjuran dari dokter dan

menerapkannya.

3. Meditasi

Meditasi transcendental atau bentuk-bentuk sederhana lain dari meditasi yang tidak

berhubungan dengan ritus-ritus atau praktek keagamaan, mungkin sekali dapat

digunakan untuk mengurangi gejala-gejala kecemasan. Berbagai studi penelitian di dunia

menunjukkan bahwa meditasi membantu menjaga tingkat optimum fungsi tubuh yang

tidak kita kuasai (seperti jumlah denyut jantung dalam semenit, pernafasan, pencernaan

makanan, dan sebagaianya).

4. Obat-obatan

Obat-obatan yang digunakan biasanya adalah obat penenang atau antidepresan

untuk mengurangi gejala-gejala kecemasan ini. Obat penenang ialah obat untuk

menenangkan saraf atau rasa cemas tanpa berpengaruh pada kesadaran. Obat anti depresan

ialah obat yang menghilangkan depresi dengan menjaga keseimbangan bahan-bahan

kimia dalam system saraf.

28

2.2.6 Indikator Kecemasan

Templer, (1970) dalam Mumpuni, (2014) berpendapat bahwa terdapat keluhan

dan gejala umum dalam kecemasan dibagi menjadi 5 macam-macam indikator, yaitu:

1. Death Anxiety Secara Umum

Dalam indikator ini berjumlah 3 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat

pada item dengan nomor soal: 1, 5, dan 7.

2. Ketakutan Akan Sakit

Dalam indikator ini berjumlah 4 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat

pada item dengan nomor soal: 4, 6, 9, dan 11.

3. Pemikiran Mengenai Kematian

Dalam indikator ini berjumlah 3 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat

pada item dengan nomor soal: 3, 10, dan 14.

4. Bergantinya Waktu Dan Kehidupan yang singkat

Dalam indikator ini berjumlah 3 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat

pada item dengan nomor soal: 2, 8, dan 12.

5. Ketakutan Akan Masa Depan

Dalam indikator ini berjumlah 2 pernyataan yang dikategorikan dan terdapat

pada item dengan nomor soal: 13 dan 15.

Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat 5 indikator

kecemasan, yaitu death anxiety secara umum, ketakutan akan sakit, pemikiran mengenai

kematian, bergantinya waktu dan kehidupan yang singkat, dan ketakutan akan masa

depan.

29

2.2.7 Pengukuran Kecemasan

Penilaian untuk menentukan tingkat kecemasan pada lansia dapat menggunakan

alat ukur SDA (Scale Of Death Anxiety) yang telah dikemukakan oleh Templer, (1970)

dalam Saleem, (2015) yang berjudul Journal Death Anxiety Scale; Translation And Validation

In Patient With Cardiovascular Desease. Dalam Scale Of Death Anxiety, pengukuran

kecemasan di sajikan melalui lima sub komponen terdiri dari yaitu death anxiety secara

umum, ketakutan akan sakit, pemikiran mengenai kematian, bergantinya waktu dan

kehidupan yang singkat, dan ketakutan akan masa depan. SDA (Scale Of Death Anxiety)

terdiri dari 5 tanda dan gejala kecemasan yang terdiri dari: 3 pernyataan death anxiety

secara umum (pernyataan nomor 1, 5, dan 7), 4 gejala pernyataan ketakutan akan sakit

(pernyataan nomor 4, 6, 9, dan 11), 3 pernyataan pemikiran mengenai kematian

(pernyataan nomor 3, 10, 14), 3 pernyataan mengenai bergantinya waktu dan kehidupan

yang singkat (pernyataan nomor 2, 8, 12), dan 2 pernyataan ketakutan akan masa depan

(13 dan 15).

Menurut Saleem, (2015) skoring tingkat kecemasan menyatakan kepada individu

seberapa sering mengalami masing-masing gejala selama 1 minggu terakhir. Penilaian

menggunakan tipe skala likert 3 kriteria dengan rentang nilai 1-2 (sangat tidak setuju),

nilai 3-4 (setuju) dan nilai 5 (sangat setuju), adapun cara penilaiannya sebagai berikut:

- Nilai 1 = Sangat Tidak Setuju (STS)

- Nilai 3 = Netral (N)

- Nilai 5 = Sangat Setuju (SS)

30

Selanjutnya nilai masing-masing dari 15 pernyataan SDA (Scale Of Death Anxiety)

tersebut diklasifikasikan dalam rentang skor dari 0 sampai 75. Semakin tinggi skor

mengindikasinya semakin tinggi level kecemasan, yang dikategorikan sebagai berikuti:

- Skore <15-35 = kecemasan rendah

- Skore 36-55 = kecemasan sedang

- Skore 56-75 = kecemasan tinggi

2.2.8 Konsep Kematian Pada Lansia

Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya,

Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kecemasan yang tersering pada

lansia adalah tentang kematiannya. Orang mungkin menghadapi pikiran kematian dengan

rasa putus asa dan kecemasan, bukan dengan ketenangan hati dan rasa integritas. Pada

orang lansia biasanya memiliki kecenderungan penyakit kronis (menahun/berlangsung

beberapa tahun) dan progresif (makin berat) sampai penderitanya mengalami kematian.

Kondisi ini dialami secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.

Kecemasan merupakan respon emosional terhadap penilaian tersebut. Kapasitas dalam

cemas diperlukan untuk bertahan hidup, akan tetapi tingkat kecemasan yang parah tidak

searah dengan kehidupan (Stuart & Sundeen 2000 dalam Febrianita, 2017).

Kecemasan khususnya pada lansia semakin hari cenderung semakin meningkat

karena banyakanya faktor dari dalam tubuh lansia yang dapat mempengaruhi kecemasan

misalnya penurunan fungsi organ. Lansia yang berada di panti dapat mengalami

peningkatan kecemasan karena faktor lingkungan dan sosial dalam kehidupan sehari-hari

di panti (Junaidi & Noor, 2010).

31

2.3 Konsep Lansia

2.3.1 Pengertian Lansia

Lansia dalam ilmu psikologi yang dikenal dengan istilah lain seperti Old Age atau

Elderly. Lansia adalah istilah yang dipergunakan untuk menunjuk pada orang- orang yang

sudah menjadi tua. Dalam Psikologi Perkembangan masa tua atau lansia merupakan

suatu harapan terakhir dari rentang kehidupan manusia yang secara teoritis dimulai ketika

seseorang memasuki usia 60 tahun sampai dengan meninggal (Hurlock 1992, dalam

Rahmah, 2015).

Lansia adalah tahap dimana terjadi penuaan dan penurunan, yang penurunannya

lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan daripada tahap usia bayi. Penuaan merupakan

perubahan kumulatif pada makhluk hidup. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan

perubahan degenerative pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf

dan jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan yang terbatas, mereka lebih rentan

terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan dewasa

lainnya (Hasan, 2006 dalam Rahmah, 2015).

Lansia (lanjut usia) merupakan seseorang yang karena usianya mengalami

perubahan biologis, fisis, kejiwaan dan sosial (UU No. 23 Tahun 1992 tentang

kesehatan). Pengertian dan pengelolaan lansia menurut Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang lansia sebagai berikut, yaitu:

1. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas.

2. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan.

3. Dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.

32

4. Lansia tak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga

hidupnya tergantung pada bantuan orang lain.

Menurut WHO (World Health Organizier), lansia meliputi dari usia pertengahan

yaitu: usia 46-59 tahun, usia lanjut (Elderly) yakni antara usia 60 -74 tahun, Tua (Old) yaitu

antara 75- 90 tahun, dan usia sangat tua (Very old) yaitu usia diatas 90 tahun (Setiabudhi

1999, dalam Rahmah ST, 2015), sedangkan menurut DepKes RI tahun 1999, umur lansia

terbagi 3 yaitu:

1. Usia pra senelis atau Virilitas adalah seseorang yang berusia 45-49 tahun.

2. Usia lanjut adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

3. Usia lanjut resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau

dengan masalah kesehatan.

2.3.2 Batasan Penduduk Lansia

Menurut Notoadmodjo, (2007) dalam Karomah, (2016) batasan penduduk lansia

dapat dilihat dari aspek-aspek biologi, ekonomi, sosial dan batasan umur, yaitu:

1. Aspek biologi

Penduduk lansia ditinjau dari aspek biologi adalah penduduk yang telah

menjalani proses penuaan. Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan

tahap-tahap menurunnya berbagai fungsi organ tubuh yang ditandai dengan semakin

rentannya tubuh terhadap serangan berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian

misalnya pada sistem kardiovaskuler pembuluh darah, pernafasaan, pencernaan,

endokrin dan lain sebagainya (Hawari, 2007). Hal ini disebabkan seiring meningkatnya

usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta sistem organ

33

(Notoatmodjo, 2007). Perubahan biologis yang terjadi antara lain adalah kekuatan fisik

berkurang, merasa cepat capek, dan stamina menurun, sikap tubuh yang semula tegap

menjadi bungkuk, kulit mengerut dan menjadi keriput, rambut memutih dan

pertumbuhan berkurang, gigi mulai tanggal satu persatu, perubahan pada mata,

berkurangnya pendengaran, daya cium dan melemahnya indera perasa serta terjadinya

pengapuran pada tulang (Bustan, 2000).

2. Aspek ekonomi

Posisi ekonomi secara keseluruhan dari pra lansia menunjukkkan peningkatan

yang signifikan sejak tahun 1970. Namun, lansia memiliki status ekonomi yang lebih

rendah dari orang-orang dewasa dibawah usia 65 tahun (McKenzie, 2006). Penduduk

yang tergolong lansia dipandang sebagai beban daripada potensi sumber daya bagi

pembangunan. Lansia dianggap warga yang tidak produktif dan perlu ditopang oleh

generasi yang lebih muda. Bagi lansia yang masih bekerja, produktivitasnya sudah

menurun dan pendapatannya lebih rendah dibandingkan pekerja usia produktif. Akan

tetapi, tidak semua penduduk yang termasuk dalam kelompok lansia ini memiliki kualitas

dan produktivitas rendah (Notoatmodjo, 2007).

3. Aspek sosial

Penduduk lansia merupakan kelompok tersendiri. Di negara barat, penduduk

lansia menduduki strata sosial dibawah kaum muda.Pada masyarakat tradisional di Asia

seperti Indonesia, penduduk lansia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus

dihormati oleh masyarakat yang usianya lebih muda (Notoatmodjo, 2007). Perubahan

status sosial usia lanjut pasti akan membawa akibat bagi yang bersangkutan dan perlu

dihadapi dengan persiapan yang baik dalam menghadapi perubahan tersebut. Aspek

34

sosial tidak dapat diabaikan dan sebaiknya diketahui oleh lansia sedini mungkin sehingga

dapat mempersiapkan diri sebaik mungkin (Depkes RI, 2000).

4. Aspek umur

Pendekatan umur atau usia adalah yang paling memungkinkan untuk

mendefinisikan penduduk lansia. Berdasarkan atas Undang-undang No. 13 tahun 1998

dalam Notoatmodjo (2007) batasan usia lanjut adalah 60 tahun. Namun Departemen

Kesehatan RI (2000) membuat pengelompokkan masa lansia seperti dibawah ini:

a. Kelompok usiaprasenilis/virilitas, adalah kelompok yang berusia 45-59 tahun.

b. Kelompok usia lanjut adalah kelompok yang berusia 60 tahun atau lebih.

c. Kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi adalah kelompok yang berusia 70 tahun

atau lebih, atau kelompok yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.

Sedangkan menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO) usia lanjut meliputi:

a. Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45 – 59 tahun.

b. Usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60-74 tahun.

c. Usia lanjut tua (old) adalah kelompok usia anatara 75-90 tahun.

d. Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia diatas 90 tahun.

2.3.3 Hak Dan Kewajiban Lansia

Lansia merupakan warga Negara yang memiliki hak yang sama dengan Negara

lainnya. Disebutkan dalam UU nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia

menyatakan bahwa lansia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara.

35

Sesuai dengan UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia,

sebagaimana penjelasan pada pasal 5 ayat 2 bahwa, sebagai penghormatan dan

penghargaan kepada lansia diberikan hak untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang

meliputi:

1. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual.

2. Pelayanan kesehatan.

3. Pelayanan kesempatan kerja.

4. Pelayanan pendidikan dan pelatihan.

5. Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum.

6. Kemudahan dalam layanan dan bantuan hokum.

7. Perlindungan sosial.

8. Bantuan sosial.

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 selain hak lansia memiliki

kewajiban yang telah disebutkan dalam dimana lansia mempunyai kewajiban yang sama

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan peran dan

fungsinya, lansia berkewajiban untuk, yaitu:

1. Membimbing dan memberi nasihat secara arif dan bijaksana berdasarkanpengetahuan

dan pengalamannya, terutama di lngkungan keluarganya dalam rangka menjaga

martabat dan meningkatkan kesejahteraannya.

2. Mengamankan dan mentransformasikan ilmu pengetahuan, keahlian, keterampilan,

kemampuan, dan pengalaman yang dimilikinya kepada generasi penerus.

3. Memberikan keteladanan dalam segala aspek kehidupan kepada generasi penerus.

36

2.4 Konsep kehilangan Dan berduka

2.4.1 Pengertian Kehilangan Dan Berduka

Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu yang

sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit dihindari (Stuart,

2005 dalam Yusuf, 2014), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang yang dicintai, dan

kesempatan. Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respons emosional normal

dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah. Seorang individu harus

diberikan kesempatan untuk menemukan koping yang efektif dalam melalui proses

berduka, sehingga mampu menerima kenyataan kehilangan yang menyebabkan berduka

dan merupakan bagian dari proses kehidupan. Kehilangan dapat terjadi terhadap objek

yang bersifat aktual, dipersepsikan, atau sesuatu yang diantisipasi. Jika diperhatikan dari

objek yang hilang, dapat merupakan objek eksternal, orang yang berarti, lingkungan,

aspek diri, atau aspek kehidupan. Berbagai hal yang mungkin dirasakan hilang ketika

seseorang mengalami sakit apalagi sakit kronis antara lain sebagai berikut.

Berduka merupakan respons terhadap kehilangan. Berduka dikarakteristikkan

sebagai berikut.

1. Berduka menunjukkan suatu reaksi syok dan ketidakyakinan.

2. Berduka menunjukkan perasaan sedih dan hampa bila mengingat kembali kejadian

kehilangan.

3. Berduka menunjukkan perasaan tidak nyaman, sering disertai dengan menangis,

keluhan sesak pada dada, tercekik, dan nafas pendek.

4. Mengenang orang yang telah pergi secara terus-menerus.

5. Mengalami perasaan berduka.

37

6. Mudah tersinggung dan marah.

2.4.2 Tahapan Proses Kehilangan Dan Berduka

Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang, yaitu:

1. Fase akut

Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas tiga

proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta restitusi.

a. Syok dan tidak percaya Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak

dapat menerima pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya memang

dibutuhkan untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan secara

perlahan untuk menerima kenyataan kematian.

b. Perkembangan kesadaran Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan

orang lain, perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara,

dan menangis untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang dalam.

c. Restitusi Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga

membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.

2. Fase jangka panjang

a. Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.

b. Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang tersembunyi dan

termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada beberapa individu berkembang

menjadi keinginan bunuh diri, sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan

menolak makan dan menggunakan alkohol.

38

Menurut Schulz (1978) dalam Yusuf, (2014), proses berduka meliputi tiga

tahapan, yaitu fase awal, pertengahan, dan pemulihan.

1. Fase awal

Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya,

perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut berlangsung selama

beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan berduka berlebihan.

Selanjutnya, individu merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan menangis dan

ketakutan. Fase ini akan berlangsung selama beberapa minggu.

2. Fase pertengahan

Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku

obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang

terjadi.

3. Fase pemulihan

Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan

untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada fase

ini individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.

2.4.3 Bentuk Kehilangan

1. Kehilangan orang bermakna, misalnya seseorang yang dicintai meninggal atau

dipenjara.

2. Kehilangan kesehatan bio-psiko-sosial, misalnya menderita suatu penyakit, amputasi

bagian tubuh, kehilangan pendapatan, kehilangan perasaan tentang diri, kehilangan

pekerjaan, kehilangan kedudukan, dan kehilangan kemampuan seksual.

39

3. Kehilangan milik pribadi, misalnya benda yang berharga, uang, atau perhiasan.

2.5 Konsep Hubungan Tingkat Spiritual Terhadap Kecemasan Menghadapi

Kematian Pada Lansia

Spiritual sangat mempengaruhi tingkat kecemasan menghadapi kematian, apabila

spiritualnya baik sesuai dengan nilai agama dan adat istiadat maka tingkat kecemasan

menghadapi kematian akan rendah. Hal ini didukung oleh pendapat Afandy (2008) yang

menyatakan bahwa spiritualitas memiliki pengaruh terhadap kecemasan menghadapi

kematian. Semakin baik spiritualitasnya maka semakin rendah tingkat kecemasan

menghadapi kematian (Nasution, 2009).

Dalam spiritualitas, yang penting adalah membangun kebaikan antara manusia

dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Lebih jauh, spiritualitas sangat penting

karena dapat mempengaruhi tingkat kecemasan menghadapi kematian yang akan

dihadapi sewaktu-waktu bagi lansia yang merupakan tahap akhir siklus hidup manusia.

Penyebab sumber tingkat kecemasan menghadapi kematian adalah kurangnya lansia

mendekatkan diri kepada Tuhan dan membatasi pergaulan dengan individu lain dan lebih

mementingkan mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Oleh karena itu

penelitian tentang tingkat kecemasan menghadapi kematian akan bermanfaat bagi

keluarga dengan lansia dan lansia itu sendiri untuk meningkatkan spiritualitas dengan

cara mendekatkan diri kepada Tuhan dan bergaul dengan individu lain (Nasution, 2009).

Koefisien nilai π hitung memiliki arah positif yang berarti bahwa semakin baik

spiritualitas lansia, maka tingkat kecemasan menghadapi kematian lansia di UPT

Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar akan semakin rendah. Spiritualitas akan

40

berpengaruh terhadap tingkat kecemasan menghadapi kematian, spiritualitas yang baik

akan menjadikan tingkat kecemasan menghadapi kematian akan semakin rendah. Karena

memiliki kepercayaan dan kepasrahan kepada Allah bahwa hidup dan matiku hanya

untuk Allah sehingga berdampak pada kesiapan lansia menghadapi kematian yang datang

sewaktu-waktu. Tetapi untuk lansia yang tingkat kecemasan menghadapi kematian berat

akan berdampak pada rasa belum siap, cemas, atau depresi untuk menghadapi kematian

yang sewaktu-waktu akan datang. Kesadaran akan kematian datang seiring dengan

bertambahnya usia seseorang.

Bertambahnya usia merupakan proses menua yang paling krusial berada pada

tahap lansia. Lanjut usia dipandang sebagai masa di mana seseorang mengalami

degenerasi biologi disertai penderitaan dengan berbagai penyakit, yang mana hal tersebut

akan memunculkan suatu kesadaran dalam diri lansia mengenai kematian. Kesadaran

akan kematian menciptakan perasaan takut dan cemas pada diri lansia. Orang yang cemas

memiliki perbedaan pada kecakapan psikologi dan spiritual mereka (Khavari, 2009).

Banyak orang takut dan menyangkal akan datangnya kematian. Ketakutan akan

datangnya kematian yang dialami lansia lebih ditekankan pada ketakutan akan

ketidakpastian penyebab kematian, kehidupan setelah kematian dan bagaimana

kematiannya tersebut terjadi (Zohar dan Marshlml, 2010).

Selain itu menurut Setyawan (2013) faktor yang mempengaruhi seberapa baik

seseorang mengatasi perasaan atau memahami bahwa mereka akan menghadapi kematian

adalah fisolofi atau kepercayaan dan kemampuannya dalam mengatasi masalah, yang

mana hal itu merupakan salah satu indikator seseorang yang memiliki spiritualitas tinggi.

Suatu pemahaman akan kematian yang cerdas secara spiritualitas mampu memandang

41

seluruh konteks keberadaan yang lebih luas dan menganggap kematian tidak lain dari

suat bagian dari proses yang berkelanjutan (Zohar dan Marshlml, 2010).

Lansia yang spiritualitasnya tinggi menganggap kematian bukanlah akhir dari

kehidupan dan bukanlah suat ancaman baginya, akan tetapi kematian adalah suat

pendorong bagi dirinya untuk menjalani hidup lebih baik (Afandy, 2008). Dengan adanya

kematian manusia merasa memiliki batas untuk mengaktualisasikan dirinya, sehingga

muncul rasa ingin segera memenuhi kebutuhan akan harga dirinya sebelum kematian

dating (Hidayat, 2008). Kematian lebih diterima secara positif, karena lansia yang

memiliki spiritualitas tinggi mampu menyikapi dan menanggapi penderitaan yang

menimpa secara positif, selain itu kematian dianggap hanyalah salah satu proses

kehidupan yang harus dilalui untuk menuju kehidupan yang selanjutnya (Hawari, 2011).

Lansia yang mampu memiliki spiritualitas tinggi mampu menghadapi kenyataan

akan kematian dan tetap berperan aktif dalam menjalankan tanggung jawab di kehidupan

ini. Lansia pasrah terhadap ketentuan akan kematian, akan tetapi kepasrahan tersebut

tersebut tetap diiringi dengan usaha pemanfaatan kehidupan untuk menjadi lebih baik

menjelang kematian (Kusumawati, 2010). Selain itu lansia mampu merumuskan arti dan

tujuan keberadaannya di dunia yang sementara ini. Mampu membina integritas personal

serta mampu mengembangkan hubungan antara manusia yang positif, sehingga dengan

adanya hubungan tersebut lansia dapat terbuka dan bertukar pikiran dengan lansia yang

lain mengenai pengalaman hidup atau permasalahan yang dihadapi (Nasution, 2009).