bab i pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6808/1/t1_ 312008079_bab i.pdfbab i...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)
merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur
pada Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana pokok pada
Pasal 10 KUHP terdiri atas: (1) pidana mati, (2) pidana penjara, (3) pidana
kurungan, (4) pidana denda, (5) pidana tutupan. Pidana seumur hidup diatur
tersendiri dalam Pasal 12 ayat 1 KUHP yang berbunyi: ’’ Pidana penjara ialah
seumur hidup atau selama waktu tertentu’’. Sifat dari pidana seumur hidup ini
adalah pasti (definite sentence) yang berarti terpidana akan menjalani hukuman
atau pidana sepanjang hidupnya. Menurut Roeslan Saleh, karena sifatnya yang
pasti itu orang menjadi keberatan terhadap pidana seumur hidup. Sebab dengan
putusan yang demikian terpidana tidak akan mempunyai harapan lagi kembali ke
dalam masyarakat.1 Dalam kenyataannya peluang bagi narapidana seumur hidup
untuk kembali ke masyarakat sangat kecil. Dalam menerapkan suatu pemidanaan
khususnya penerapan pidana seumur hidup perlu diorientasikan pada pencapaian
tujuan pemidanaan baik dari aspek perlindungan masyarakat maupun aspek 1 Tongat. Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia,: Penerbitan Universitas Muhamadiyah Malang, Malang, 2004, hlm 37.
2
individu. Pemidanaan diharapkan mampu mengakomodasi kepentingan
masyarakat tetapi juga memberikan perhatian yang cukup bagi individu dalam hal
ini khususnya narapidana seumur hidup, karena seperti diketahui bahwa pidana
seumur hidup merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan seseorang.
Penjatuhan sanksi pidana termasuk pidana seumur hidup ini perlu melihat
tujuan pemidanaan yang hendak dicapai. Tujuan pemidanaan berangkat adari 3
(tiga) teori tujuan pemidanaan yang ada yaitu (1) teori retributive atau absolute,
teori ini memandang bahwa pidana mutlak diberikan kepada para pelaku tindak
pidana sebagai bentuk pengimbalan atau pembalasan, (2) teori teleologis, teori ini
menekankan ada aspek kemanfaatan, suatu pidana dianggap sah apabila dapat
memberikan manfaat yang lebih baik, (3) teori retributivisme teleologis atau
gabungan, teori ini memadukan dua unsure dari teori sebelumnya, yaitu pidana
dijatuhkan tidak semata-mata sebagai sarana pembalasan tetapi harus memberikan
kemanfaatan. Selama ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara
formal merumuskan tujuan pemidanaan, sehingga tujuan pemidanaan yang ada
sifatnya lebih teoritis.
3
Tujuan pemidanaan secara formal baru dapat dilihat pada Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) atau sering disebut dengan istilah
Konsep. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Konsep) yang
digunakan dalam penulisan ini adalah RKUHP Tahun 2005. Pasal 54 ayat 1
Konsep menyebutkan bahwa tujuan pemidanaan antara lain:
(a).Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dan pengayoman masyarakat,
(b).Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna,
(c).Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan,
(d).Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Sedangkan Pasal 54 ayat 2 Konsep juga menyebutkan bahwa pemidanaan
tidak dimaksudkan menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Perumusan tujuan pemidanaan secara eksplisit dalam Konsep, menunjukkan
adanya perkembangan pada sistem pemidanaan di Indonesia. Pemidanaan saat ini
berorientasi pada upaya pembinaan narapidana sesuai dengan sistem
pemasyarakatan. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan
Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara
pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata
peradilan pidana.2 Pemasyarakatan bertujuan sebagai sarana pembinaan untuk
menyiapkan terpidana agar nantinya dapat kembali kedalam lingkungan
masyarakat. Sistem pemasyarakatan ini menghendaki kembalinya terpidana ke
2 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
4
dalam masyarakat dan hidup secara wajar sebagai warga masyarakat yang baik
dan bertanggungjawab.3 Hak untuk dapat kembali ke masyarakat dapat diperoleh
salah satunya melalui kebijakan remisi bagi narapidana termasuk narapidana
seumur hidup yaitu dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara. Dalam
penulisan ini, sebagai bahan analisis kebijakan remisi bagi narapidana seumur
hidup akan merujuk pada narapidana seumur hidup dalam lingkup Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Semarang. Penulisan ini juga bertujuan untuk mengkaji
ketentuan dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M-03.PS.04
Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Remisi Bagi Narapidana
Yang Menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara
Sementara khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane
Semarang tahun 2012.
Penulis memilih Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane Semarang
karena bagi Penulis Lembaga Pemasyarakatan tersebut memiliki narapidana yang
sedang menjalani pidana seumur hidup, serta lokasi Lembaga Pemasyarakatan
yang terjangkau dari lokasi Penulis melakukan penelitian. Melalui analisis
kebijakan remisi terkait pidana seumur hidup khususnya di Lembaga
Pemasyarakatan Kedung Pane Semarang, maka dapat memberikan gambaran
tentang bagaimana penerapan remisi dalam ketentuan perundang-undangan yang
ada sebagai salah satu upaya penunjang tujuan pemasyarakatan melalui proses
resosialisasi bagi narapidana. 3 Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
5
Jika ditinjau dari pokok –pokok tujuan pemidanaan yang ada dan tujuan
pemasyarakatan yang berlaku saat ini, akankah pidana seumur hidup ini dapat
berjalan sesuai dengan tujuan pemidanaan dan pemasyarakatan?. Seperti
diketahui bahwa pidana seumur hidup dijatuhkan untuk waktu yang tidak dapat
diketahui, artinya seseorang yang dikenai pidana seumur hidup harus menjalani
pidana sepanjang hidupnya. Jika melihat kenyataan yang demikian, pidana
seumur hidup sejatinya tidak mencerminkan penghormatan atas hak dan martabat
seseorang sekalipun dia adalah pelaku kejahatan.
Bagaimanapun juga seorang pelaku tindak pidana adalah manusia yang patut
untuk dihormati hak-hak asasinya sebagai manusia secara utuh. Selain itu jumlah
narapidana seumur hidup yang melebihi kapasitas dalam sebuah Lembaga
Pemasyarakatan, juga dapat mengganggu proses pembinaan yang ada, sebab ada
kecenderungan narapidana seumur hidup ini memandang apriori terhadap
penerapan pidana seumur hidup karena bagi mereka, sekalipun menjalani
pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan pada akhirnya mereka juga tidak
akan kembali ke tengah-tengah masyarakat.
6
Topik yang diangkat oleh penulis sebagai karya tulis ilmiah ini belum pernah
ada yang menulis, tetapi ada penulis lain yang mengangkat topik tentang pidana
seumur hidup yaitu :
1. Syachdin,S.H. dengan judul Kedudukan Pidana Seumur Hidup Dalam Sistim
Hukum Pidana Nasional. Rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana formulasi pidana seumur hidup dalam hukum pidana positif saat
ini?
b. Bagaimana formulasi pidana seumur hidup dalam hukum pidana nasional
yang akan datang?
Berdasarkan uraian dalam alasan pemilihan judul diatas, maka penulis tertarik
mengangkat judul “ RELEVANSI ANCAMAN PIDANA SEUMUR HIDUP
DARI PERSPEKTIF TUJUAN PEMIDANAAN DAN
PEMASYARAKATAN”.
7
B. Latar Belakang Masalah
Pidana seumur hidup dirumuskan sebagai salah satu jenis pidana pokok dalam
hukum positif yang berlaku. Pidana seumur hidup ini merupakan pidana perampasan
kemerdekaan seseorang atas suatu tindak pidana tertentu. Dikatakan sebagai pidana
perampasan kemerdekaan karena seseorang yang dipidana seumur hidup harus
menjalani pidananya di sebuah lembaga pemasyarakatan selama sisa hidupnya. Hal
inilah yang kemudian menjadikan posisi pidana seumur hidup sebagai pidana kedua
terberat setelah pidana mati.
Akibat dari pidana ini adalah seseorang harus kehilangan kesempatanya untuk
dapat berpartisipasi dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat. Pada hakikatnya
sebuah penjatuhan pidana seyogianya dapat memberikan efek jera sekaligus
pendidikan dan pembinaan bagi para pelaku tindak pidana. Hal ini yang kemudian
mendorong pemikiran bahwa penjatuhan pidana khususnya pidana seumur hidup
harus memiliki tujuan pemidanaan yang jelas sebagai upaya mencapai rasa keadilan
baik bagi korban maupun pelaku tindak pidana.
Adapun tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana seumur hidup dapat
dilihat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai induk dari
peraturan pidana lainnya. Bentuk tindak pidana dalam KUHP yang dapat diancam
pidana seumur hidup dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
8
Bentuk atau kelompok tindak pidana dalam KUHP yang diancam dengan pidana
seumur hidup adalah sebagai berikut: 4
Tabel 1.1 Kelompok Jenis Tindak Pidana
dalam KUHP Yang Diancam Dengan PSH
No Kelompok jenis tindak pidana Pasal yang mengatur dalam KUHP 1. Tindak pidana terhadap
keamanan negara 104, 106, 107 (2), 108 (2), 111 (2), 124 (2), 124 (3)
2. Tindak pidana terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara
140 (3)
3. Tindak Pidana membahayakan kepentingan umum
187 ke-3, 198 ke-2, 200 ke- 3, 2002 (2), 204 (2)
4. Tindak Pidana Terhadap Nyawa 339, 340 5. Tindak Pidana Pencurian
disertai kekerasan atau ancaman kekerasan
365(4)
6. Tindak Pidana Pemerasan dan Pengancaman
368 (2)
7. Tindak Pidana Pelayaran 444 8. Tindak Pidana Penerbangan 479 f sub b, 479 k (1), (2)
479 (1), (2)
Sumber: Tongat. Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia,.Penerbitan Universitas Muhamadiyah Malang, Malang, 2004.hlm 81
Dari tabel diatas secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa dari 21
(dua puluh satu) kelompok tindak pidana yang dimasukkan kedalam kejahatan
pada Buku Kedua KUHP, 8 (delapan) kelompok tindak pidana diantaranya
diancam dengan pidana seumur hidup. Berikut ini dapat dilihat jenis sanksi
pidana yang pada umumnya dicantumkan dalam perumusan delik menurut pola
4 Tongat. Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia,.Penerbitan Universitas Muhamadiyah Malang, Malang, 2004, Op.cit hlm.81.
9
KUHP yaitu pidana pokok, dengan menggunakan 9 (Sembilan) bentuk
perumusan,5 yaitu:
a. Diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara waktu tertentu
b. Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara waktu tertentu c. Diancam dengan pidana penjara waktu tertentu d. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan e. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau denda f. Diancam dengan pidana penjara atau denda g. Diancam dengan pidana kurungan h. Diancam dengan pidana kurungan atau denda i. Diancam dengan pidana denda
Berdasarkan 9 (Sembilan) bentuk perumusan tersebut dapat diidentifikasikan
hal-hal sebagai berikut: Pertama, KUHP hanya menganut dua sistem perumusan,
yaitu tunggal dan alternatif. Kedua, sanksi pidana yang dirumuskan secara
tunggal, hanya pidana penjara, kurungan atau denda. Tidak ada pidana mati atau
penjara seumur hidup yang diancam secara tunggal. Ketiga, perumusan alternatif
dimulai dari pidana pokok terberat sampai yang paling ringan.6 Berbeda halnya
dengan sistem perumusan pidana diluar KUHP yang cenderung lebih banyak
menggunakan beragam bentuk perumusan ancaman pidana.
5 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System& Implementasinya, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta,2003.hlm.189-190.
6 Ibid.
10
Pembuat undang-undang menggunakan 11 (sebelas) bentuk perumusan ancaman
pidana diantaranya sebagai berikut:
a. Diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara tertentu b. Diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara tertentu
dan/atau pidana denda c. Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu dan/atau
pidana denda d. Diancam dengan pidana penjara e. Diancam dengan pidana penjara dan denda f. Diancam dengan pidana penjara atau denda g. Diancam pidana penjara dan/atau denda h. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau denda i. Diancam pidana dengan pidana kurungan dan denda j. Diancam dengan pidana kurungan atau denda k. Diancam dengan pidana kurungan dan/atau denda
Dari 11 (sebelas) bentuk perumusan diatas terlihat, khususnya untuk pidana
penjara, pembuat undang-undang menempuh 4 (empat) sistem perumusan yaitu:
(1). Sistem perumusan tunggal atau sistem imperatif
(2). Sistem perumusan alternatif
(3). Sistem perumusan kumulatif
(4). Sistem perumusan kumulatif-alternatif.
Dari keempat sistem perumusan tersebut, yang paling banyak digunakan
adalah sistem kumulatif-alternatif yang memuat ancaman pidana “penjara
dan/atau denda. Apabila diperbandingkan dengan sistem KUHP, tampaknya ada
kebijakan pembuat undang-undang di luar KUHP untuk cenderung mengurangi
penggunaan sistem perumusan pidana secara tunggal. Kebijakan pidana seumur
hidup dalam perundang-undangan pidana di Indonesia menandakan bahwa hal
tersebut cenderung mengabaikan aspek perlindungan terhadap individu. Hal ini
11
dikarenakan narapidana seumur hidup akan sulit untuk melakukan proses
resososialisasi dan kembali ke masyarakat. Adanya sanksi pidana berupa pidana
penjara sebagai salah satu bentuk perwujudan dari adanya politik kriminal, harus
dapat menunjang tujuan pemidanaan yang ada. Perlu diperhatikan bahwa di dalam
penerapanya, narapidana seumur hidup adalah tetap manusia yang perlu dihormati
hak dan martabatnya. Narapidana ini harus tetap memperoleh hak yang sama
dengan narapidana lainnya. Salah satu hak narapidana yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan adalah hak memperoleh remisi. Hak memperoleh
remisi bagi narapidana salah satunya diatur dalam Pasal 14 huruf i Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Narapidana seumur hidup dimungkinkan mendapatkan remisi yaitu dari pidana
seumur hidup menjadi pidana penjara sementara yang diberikan oleh Negara
melalui Menteri Hukum dan HAM. Pemberian remisi dimaksudkan agar nantinya
terpidana dapat kembali ke masyarakat dan menjadi warga Negara yang baik dan
bertanggunngjawab. Pemberian remisi pada narapidana seumur hidup
menunjukkan bahwa Negara sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
dan hak-hak bagi terpidana tanpa terkecuali. Apabila dilihat dari konsep
pemasyarakatan, pada hakikatnya pidana penjara yang merupakan “perampasan
kemerdekaan” seseorang itu hanya bersifat sementara sebagai sarana memulihkan
integritas terpidana agar mampu melakukan readaptasi sosial.
12
Sehubungan dengan itu Mulder pernah menyatakan bahwa pidana perampasan
kemerdekaan mengandung suatu cirri khas, yaitu bahwa dia adalah sementara.
Terpidana akhirnya tetap diantara kita”.7 Sejalan dengan konsep pemasyarakatan,
tujuan pemidanaan pada Rancangan KUHP Tahun 2005 seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, juga menghendaki adanya pencapaian tujuan yaitu
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna. Dari pemikiran yang demikian, maka secara teoritis
sebenarnya tidak ada tempat untuk pidana seumur hidup. Pidana seumur hidup
hanya dapat diterima secara eksepsional, sekedar untuk ciri simbolik akan sangat
tercelanya perbuatan yang bersangkutan dan sebagai tanda peringatan bahwa yang
bersangkutan dapat dikenakan maksimum pidana penjara dalam waktu tertentu
yang cukup lama jadi tidak untuk benar-benar diterapkan secara harafiah.8
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penulis memfokuskan penulisan berkenaan
dengan masalah diatas dengan merumuskan permasalahan sebagai berikut:
Apakah pidana seumur hidup sesuai dengan tujuan pemidanaan dan
pemasyarakatan dalam hukum pidana saat ini?
7 Ibid.
8 Tongat, Pidana Seumur Hidup dalam Sistem hukum Pidana di Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang, 2001 hal 35
13
D. Tujuan Penelitan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengungkap dan menganalisis pidana seumur hidup terkait dengan tujuan
pemidanaan dan pemasyarakatan dalam hukum pidana
2. Mengkaji kebijakan penerapan pidana seumur hidup berkaitan dengan
ketentuan remisi
E. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
(legal research). Penelitian bertujuan untuk mengkaji penerapan kaidah-
kaidah atau norma-norma hukum dengan mendasarkan pada pandangan dalam
suatu peraturan perundang-undangan dalam memandang Relevansi Pidana
Seumur Hidup dari Perspektif Tujuan Pemidanaan dan Pemasyarakatan.
b. Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu
cara meneliti bahan pustaka dalam ilmu, yang dimaksud disini adalah
14
pengumpulan data yang didasarkan dengan membaca hasil penelitian hukum,
penelitian pustaka, dan pendapat para ahli hukum.9
c. Bahan Hukum
1) Bahan Hukum Primer
Dalam penelitian ini digunakan bahan hukum primer yaitu bahan-bahan
hukum yang mengikat, yang ada kaitanya dengan permasalahan diatas terdiri
dari:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
3. Peraturan Perundang-undangan lainya yang terkait dengan penelitian
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer
seperti kapustakaan, pendapat para sarjana, dan bahan hukum sekunder
lainnya yang terkait dengan penelitian
F. Manfaat Penelitian
1). Manfaat Teoritis
Diharapkan dapat memberikan masukan dalam khasanah ilmu pengetahuan
dan wawasan bagi aparat penegak hukum di Indonesia tentang pentingnya
9 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Manajemen , PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta 1996 ), h1m. 116-117
15
mewujudkan pelaksanaan proses pemasyarakatan agar dapat mencapai tujuan
pemasyarakatan yang diharapkan.
2). Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam
menyusun dan membangun pemikiran tentang penerapan pidana seumur hidup
terkait dengan pentingnya tujuan pemidanaan dan pemasyarakatan yang akan
dicapai.
G. Unit Amatan
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
(2) Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi
(3) Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M-
03.PS.01.04 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Remisi Bagi
Narapidana yang Menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi
Pidana Penjara Sementara.
(4) Pendapat para ahli hukum tentang Tujuan Pemidanaan dan
Pemasyarakatan
(5) Daftar narapidana seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I
Kedung Pane Semarang.
16
H. Unit Analisis
Penelitian ini akan menganalisis relevansi pidana seumur hidup dari
perspektif tujuan pemidanaan dan pemasyarakatan dalam peraturan hukum
positif yang berlaku di Indonesia. Tujuan pemasyarakatan dalam penulisan
merujuk pada kebijakan remisi dalam peraturan perundang-undangan terkait
remisi sebagai upaya mencapai tujuan pemasyarakatan khususnya di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Kedung Pane Semarang