bab i pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16945/1/t2_752016208_bab i.pdftanah dalam...

12
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masyarakat Dayak Bakati di dusun Pengapit seringkali disebutkan dengan orang Dayak Bakati di Sungai Kajang. Dusun Pengapit merupakan bagian dari wilayah Desa Madak, Kecamatan Subah Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Orang Dayak Bakati disebutkan demikian karena kata Kati (artinya: tidak) yang frekuensi penyebutannya paling banyak didengar dan mendapat tambahan awalan ‘ba’ sehingga disebut Bakati. 1 Tentang asal-usul Dayak Bakati di Sungai Kajang dapat dirunut dari pencatatan data dan juga tradisi lisan. Wilayah dusun Pengapit desa Madak termasuk dalam daftar salah satu wilayah relatif terpencil yang mendapat perhatian untuk pemerataan pembangunan dari Pemerintah. Salah satu cara pemerintah untuk memajukan perekenomian di wilayah terpencil ini yaitu kehadiran proyek di wilayah pedalaman Kalimantan Barat. Di Kalimantan Barat tedapat dua sumber utama bagi pembangunan daerah sesuai dengan keadaan alam dan kondisi geografinya yaitu hutan dan perkebunan. 2 Berdasarkan catatan Dinas Kehutanan dan Provinsi Dati I di Kalimantan Barat tahun 1990 ada 75 perusahaan HPH yang terdaftar dan beroperasi di daerah Kalimantan Barat sejak tahun 1968. 3 1 John Bamba, Mozaik Dayak di Kalimantan Barat (Pontianak: Institut Dayakologi, 2007), 21. 2 Paulus Florus dan Stepanus Djuweng, Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi (Pontianak: Institut Dayakologi, 2010), 220. 3 Florus, Kebudayaan Dayak, 224

Upload: dokhue

Post on 09-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16945/1/T2_752016208_BAB I.pdfTanah dalam pengertian filosofis ialah sebagai suatu tempat dimana segala peristiwa berlangsung

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Masyarakat Dayak Bakati di dusun Pengapit seringkali disebutkan dengan

orang Dayak Bakati di Sungai Kajang. Dusun Pengapit merupakan bagian dari

wilayah Desa Madak, Kecamatan Subah Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Orang

Dayak Bakati disebutkan demikian karena kata Kati (artinya: tidak) yang frekuensi

penyebutannya paling banyak didengar dan mendapat tambahan awalan ‘ba’ sehingga disebut

Bakati.1 Tentang asal-usul Dayak Bakati di Sungai Kajang dapat dirunut dari pencatatan data

dan juga tradisi lisan.

Wilayah dusun Pengapit desa Madak termasuk dalam daftar salah satu wilayah

relatif terpencil yang mendapat perhatian untuk pemerataan pembangunan dari

Pemerintah. Salah satu cara pemerintah untuk memajukan perekenomian di wilayah

terpencil ini yaitu kehadiran proyek di wilayah pedalaman Kalimantan Barat. Di

Kalimantan Barat tedapat dua sumber utama bagi pembangunan daerah sesuai dengan

keadaan alam dan kondisi geografinya yaitu hutan dan perkebunan.2 Berdasarkan

catatan Dinas Kehutanan dan Provinsi Dati I di Kalimantan Barat tahun 1990 ada 75

perusahaan HPH yang terdaftar dan beroperasi di daerah Kalimantan Barat sejak

tahun 1968. 3

1 John Bamba, Mozaik Dayak di Kalimantan Barat (Pontianak: Institut Dayakologi, 2007), 21.

2 Paulus Florus dan Stepanus Djuweng, Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi

(Pontianak: Institut Dayakologi, 2010), 220.

3 Florus, Kebudayaan Dayak, 224

Page 2: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16945/1/T2_752016208_BAB I.pdfTanah dalam pengertian filosofis ialah sebagai suatu tempat dimana segala peristiwa berlangsung

Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat masuk dalam urutan kedua

terbesar setelah Sumatera.4 Perluasan perkebunan kelapa sawit dinilai positif untuk

mendukung percepatan laju perekonomian suatu daerah sebagaimana yang dilansir

dalam berita berikut ini:5

Dalam Sinar Harapan.CO, 15-8-2015, jurnalis Aju melaporkan

pernyataan Ketua Gabungan pengusaha Kelapa Sawit Indonesia

Provinsi Kalimantan Barat yang mengatakan bahwa kalangan pelaku

usaha menargetkan luas areal kebun kelapa sawit di Provinsi

Kalimantan Barat secara bertahap hingga 5,02 juta hektar. Luas areal

saat itu (Agustus 2015) sekitar 1,3 juta hektare. Disebutkan juga

dengan luas 1,3 juta hektare kebun kelapa sawit mampu menyerap

101.883 tenaga kerja. Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit

dapat dipandang sebagai tulang punggung perekonomian daerah.

Pada saat ini saja telah ada Dua Puluh Dua perusahaan sawit di Kalimantan

Barat dengan luas keseluruhan lahan yang dipakai untuk perkebunan kelapa sawit

ialah 1.312.517 Ha (64 persen dari total lahan yang ada) dari total area perkebunan di

Kalbar seluas 2.050.152 Ha, dengan total produksi CPO tahun 2014 mencapai

1.174.499 ton.6 Dalam perkembangan data Bapeda tahun 2000 menjelaskan bahwa

perkebunan kelapa sawit telah merampas 330.000 Ha tanah rakyat oleh 84

perusahaan.7 Sementara data tahun 2001 disebutkan perkebunan kelapa sawit telah

tumbuh sangat cepat hingga hampir seluruh pelosok Kalimantan Barat telah ditanami

sawit. Hadirnya perusahaan kelapa sawit di Sungai Kajang marak cerita penjualan

4 Kalimantan Barat ‘Surga’ Perkebunan Kelapa Sawit,

http://economy.okezone.com/read/2016/03/29/320/1348459/kalimantan-barat-surga-perkebunan-sawit

(diakses pada 11 November 2016)

5 Leo Sutrisno, Kelapa Sawit, www.pontianakpost.co.id/kelapa-sawit (diakses pada 4 April 2017)

6 Andry Saragih, Daftar Nama Perusahaan Sawit di Kalimantan Barat,

http://andrysrgh.blogspot.co.id/2015/03/daftar-nama-perusahaan-perkebunan.html (diakses pada 11

November 2016)

7 Anton P Widjaja, Menolak Takluk: Panduan Aktivis Rakyat (Pontianak: Institut Dayakologi,

2008) , 42.

Page 3: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16945/1/T2_752016208_BAB I.pdfTanah dalam pengertian filosofis ialah sebagai suatu tempat dimana segala peristiwa berlangsung

tanah yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang. Penjualan

tanah ini merupakan pola baru dalam hidup masyarakat Dayak Bakati yang dahulu

tidak mengenal sistem jual beli tanah. Proses jual beli tanah yang mereka lakukan

adalah menyerahkan tanah sebagai Hak Guna Usaha kepada perusahaan.

Kehadiran perusahaan kelapa sawit membawa perubahan ekologi, sosial dan

budaya bagi masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang. Dahulu mata pencaharian

masyarakat adalah bertani atau berladang tetapi kini sebagian besar mata pencaharian

mereka adalah buruh kelapa sawit. Beberapa tahun belakangan ini marak terdengar

penjualan tanah bahkan sampai terjadi sengketa. Ketika terjadi penjualan tanah secara

otomatis mereka bukan lagi ‘tuan’ atau pemilik sepenuhnya atas tanah tersebut.

Dahulu mereka adalah pemilik tanah namun kini mereka menjadi pekerja ‘upahan’

atas tanah yang telah mereka jual. Perubahan sosial budaya jelas terjadi dalam

kehidupan masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang.

Konsep tanah dalam masyarakat Dayak Bekati bukanlah sembarang materi

yang dapat dialihkan atau dijual dengan mudah. Menurut Dayak Bakati tanah dalam

arti fisik berarti tanah sebagaimana diartikan dalam kamus, yaitu permukaan kulit

bumi yang berada paling atas. Tanah dalam pengertian filosofis ialah sebagai suatu

tempat dimana segala peristiwa berlangsung secara terus menerus dari awal sampai

akhir. Dalam peristiwa tersebut terimplikasi segala peristiwa baik dalam arti magis

maupun dalam realitas keseharian yang secara langsung maupun tidak langsung

mempengaruhi tatanan masyarakat adat ini.8 Dalam tradisi Dayak Bakati ketika tanah

yang mereka pakai untuk berladang tidak boleh dipergunakan terus menerus. Tanah

8 Bider.., http://bukitbawakng.blogspot.co.id/2008/11/kearifan-dayak-bakati-dalam-

pengelolaan_11.html

Page 4: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16945/1/T2_752016208_BAB I.pdfTanah dalam pengertian filosofis ialah sebagai suatu tempat dimana segala peristiwa berlangsung

tersebut harus diistirahatkan selama 10 sampai 20 tahun. Kearifan lokal masyarakat

Dayak Bakati melihat tanah bukan sebagai bagian komoditas tetapi sebagai bagian

dari kehidupan. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan

menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu,

objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.9 Kearifan lokal masyarakat

Dayak Bakati terhadap tanah mempengaruhi kelestarian dari alam di Kalimantan

Barat.

Pesatnya perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat merupakan bagian dari

pengaruh globalisasi. Globalisasi dalam pandangan umum diartikan sebagai

konsekuensi perkembangan cepat teknologi yang merangsang laju pertumbuhan

ekonomi ke tingkat tak terperikan.10 Saat globalisasi mengukur keberhasilan dan

kemajuan dari ekonomi maka akan menemukan benturan dengan masyarakat di

pedalaman yang tidak mengukur demikian. Bagi ekonom tanah akan dilihat sebagai

aspek komoditas dan dipakai untuk memenuhi kepentingan nalar industrialis.11 Bagi

masyarakat adat dengan kearifan lokal melihat tanah bukan sebagai komoditas tetapi

sebagai bagian kehidupan dan memiliki aspek sosial-religius.12

Pengaruh globalisasi ini juga membawa dampak bagi wilayah-wilayah di

Kalimantan Barat yang awal mulanya adalah masyarakat tradisional dan kemudian

beradaptasi dengan modernisasi. Ketika yang tradisional ini bertemu dengan

9 Yustinus Wilhelmus, Local Wisdom Suku Dayak Tergeser Akibat Modernisasi ,”

Kompasiana, 16 April 2012 www.kompasiana.com (diakses tanggal 12 Oktober 2016)

10 Ali Sugihardhanto, Globalisasi Perspektif Sosialis (Jakarta: Penerbit Cubuc, 2001), 157.

11 Dominggus Elcid Li, “Tanah Ulayat, Kapitalisme Global dan Sikap Gereja”, Zakaria

Ngelow (ed) Teologi Tanah (Makassar: Yayasan Oase Intim, 2015), 232.

12 Masri Singarimbun, “Hak Ulayat Masyarakat Dayak”, Paulus Florus (ed) Kebudayaan

Dayak Aktualisasi dan Transformasi (Pontianak: Institut Dayakologi, 2010), 48.

Page 5: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16945/1/T2_752016208_BAB I.pdfTanah dalam pengertian filosofis ialah sebagai suatu tempat dimana segala peristiwa berlangsung

modernisasi ada gap yang tampak dalam kehidupan keseharian masyarakat. Gap itu

terjadi ketika mereka mulai mengabaikan nilai kearifan lokal demi tuntutan kebutuhan

hidup modern. Modernisasi juga membuat mereka ‘melek’ akan teknologi. Hal inilah

yang dimaksudkan oleh Anthony Giddens seorang sosiolog bahwa di satu sisi

globalisasi itu melemahkan kebudayaan lokal namun di sisi lain membantu

membangkitkannya.13

Berbicara tentang kearifan lokal dan globalisasi menempatkan kedua hal ini

seumpama dua kutub yang berlawanan. Dalam beberapa jurnal atau tulisan mengenai

globalisasi dan kearifan lokal seringkali perjumpaan globalisasi dengan nilai kearifan

lokal memposisikan globalisasi sebagai superior “raksasa” yang menyingkirkan nilai

kearifan lokal. Dalam beberapa jurnal dengan pemikiran post modernisme berusaha

untuk memaparkan persoalan yang muncul di masyarakat lokal Indonesia (suku suku

di daerah) dapat diatasi dengan kesadaran untuk kembali pada nilai kearifan lokal.

Sebagaimana ketiga jurnal berikut ini yang menjadi komparasi atas pokok pikiran

tentang kearifan lokal. Ketiga jurnal itu ialah:

1. Pewarisan Nilai-Nilai Kearifan Lokal untuk Memproteksi Masyarakat Bali dari

Dampak Negatif Globalisasi14

2. Local Wisdom dan Perilaku Ekologis Masyarakat Dayak Benuaq15

13 Ahmad Kusuma Djaya, Teori-Teori Modernitas dan Globalisasi: Melihat Modernitas Cair,

Neoliberalisme Serta Berbagai Bentuk Modernitas Mutakhir (Bantul: Kreasi Wacana, 2012), 93

14 Ni Putu Suwardani, Pewarisan Nilai-Nilai Kearifan Lokal untuk Memproteksi Masyarakat

Bali dari Dampak Negatif Globalisasi dalam Jurnal Kajian Bali,

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kajianbali/article/view/16775 (diakses pada 18 Januari 2017).

15 Hetti Rahmawati, Local Wisdom dan Perilaku Ekologis Masyarakat Dayak Benuaq dalam

Jurnal Ilmiah Psikologi, https://doi.org/10.23917/indigenous.v13i1.2325

Page 6: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16945/1/T2_752016208_BAB I.pdfTanah dalam pengertian filosofis ialah sebagai suatu tempat dimana segala peristiwa berlangsung

3. Local Wisdom dan Globalisasi (menyikapi Globalisasi terhadap komunitas

Pattuvam Panchayat di India)16

Berdasarkan jurnal yang berjudul “Pewarisan Nilai –Nilai Kearifan Lokal

untuk Memproteksi Masyarakat Bali dari Dampak Negatif, peneliti melihat dampak

negatif dari Globalisasi yang telah mengubah perilaku orang Bali. Menurut Ni Putu

Suwardani, perubahan ini seperti dua sisi mata uang yang memiliki sisi positif dan sisi

negatif. Sisi positifnya, masyarakat Bali menjadi pulau yang sangat modern karena

perkembangan teknologi yang turut mempermudah kehidupan masyarakat Bali. Sisi

negatifnya pengaruh teknologi juga membahayakan generasi muda dengan nilai-nilai

sekuler yang pragmatis, positivis, individualis dan sikap hedonis masyarakat Bali.

Hal ini berakibat terjadinya pertentangan antara nilai lokal masyarakat Bali yang

sebelumnya bercorak kolektif, komunal dan ritualistik kemudian berubah menjadi

individualistis dan asosial. Semua ini bisa terjadi karena pengaruh globalisasi, yang

sedemikian membuka ruang dan percepatan informasi budaya asing yang dinilai lebih

praktis dan modern bagi generasi muda. Dengan terpaan konsumerisme dan

materialistis yang terjadi di lingkungan modern masyarakat Bali dikhawatirkan kelak

merubah karakter manusia Bali yang sesungguhnya. Menurut Ni Putu Suwardani

dibutuhkan kesadaran melalui pendidikan akan nilai-nilai kearifan lokal Bali dari

generasi tua dan juga pendidik formal kepada generasi muda Bali. Agar masyarakat

Bali tetap mampu mempertahankan identitasnya tanpa harus terseret arus globalisasi

maka salah satu caranya adalah memiliki ketahanan budaya lokal yang tinggi.

16 Retnowati, Globalisasi dan Kearifan Lokal (Menyikapi Globalisasi, Refleksi Terhadap

Komunitas Pattuvam Panchayat di India dalam Jurnal Waskita, ejournal.uksw.edu

Page 7: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16945/1/T2_752016208_BAB I.pdfTanah dalam pengertian filosofis ialah sebagai suatu tempat dimana segala peristiwa berlangsung

Sementara itu, Hetti Rismawati dalam tulisan Jurnalnya yang berjudul Local

Wisdom dan Perilaku Ekologis Masyarakat Dayak Benuaq memperlihatkan bahwa

globalisasi membawa pengaruh rusaknya hutan dan menurunnya kualitas hidup

manusia. Eksploitasi ini merusak wajah asli kehidupan masyarakat lokal Dayak

Benuaq di sekitar hutan bertahun-tahun yang lampau. Bagi masyarakat Dayak Benuaq

tanah, hutan dan tumbuhan adalah bagian siklus hidup mereka yang memiliki nilai

transendental. Mereka tidak dapat memperlakukan alam dengan seenaknya bahkan

ada ritual atau tata cara untuk memakai lahan dan hasil hutan seperti pohon (contoh

ritual mekanyahu untuk izin menebang pohon ulin). Nilai transendental dalam muatan

pemahaman kearifan lokal ini yang tergerus karena mulai adanya pendatang atau

masyarakat yang tidak lagi mengenal budaya leluhur masyarakat Dayak Benuaq.

Mereka yang ingin memanfaatkan atau mengeksploitasi hutan akhirnya menjadi

perusak alam dan tidak lagi menghargai nilai kearifan lokal yang dianut masyarakat

Dayak. Menurut peneliti nilai kearifan lokal dinilai mampu untuk menjaga kelestarian

hutan. Namun demikian ini perlu dilakukan dalam bentuk kerjasama yang baik antara

pemerintah dengan pranata adat yang ada di sekitar wilayah hutan Kalimantan.

Dalam konteks yang berbeda dari Indonesia pun ternyata globalisasi juga

membawa pengaruh negatif sebagaimana yang terjadi di India. Bagi Retnowati dalam

pengamatannya terhadap gerakan Pattuvam Pachayat di India, berpendapat perlunya

suatu gerakan untuk mengatasi arus globalisasi tidak cukup hanya pendidikan

penyadaran. Mengapa? Hal ini dikarenakan globalisasi memang tidak dapat

dihindarkan sebagaimana masalah bukan untuk dihindari tetapi untuk diselesaikan.

Dalam artikel ini, Retnowati sepakat dengan pendapat Roland Robertson dalam

tesisnya yang berjudul Glokalisasi bahwa globalisasi adalah peluang yang memberi

Page 8: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16945/1/T2_752016208_BAB I.pdfTanah dalam pengertian filosofis ialah sebagai suatu tempat dimana segala peristiwa berlangsung

ruang bagi yang partikular, yang berbeda untuk memiliki semangat dalam

meningkatkan diri, memperbaharui keadaan dalam menemukan tradisi dan identitas

komunal.17 Ini artinya di satu sisi globalisasi harus diakui membawa masalah tetapi di

sisi lain juga dapat menjadi peluang untuk menumbuhkembangkan, meningkatkan

nilai lokal dan menemukan identitas komunal. Gerakan nyata sebagaimana Pattuvam

Pachayat di India menerapkan nilai lokal lewat kelompok yang secara terorganisir

untuk menggemakan dan mempraktekkan nilai kearifan lokal.

Berdasarkan ketiga pemikiran di atas, penulis mencoba melihat keterhubungan

antara nilai kearifan lokal dalam arus globalisasi dan dampaknya bagi kehidupan

masyarakat Dayak Bakati. Bahwa arus globalisasi adalah sesuatu yang sulit untuk

dihindarkan sebagaimana realitas sosial yang menunjukkan bahwa kehidupan terus

mengalami perubahan.

Di satu sisi globalisasi membawa dampak positif seperti halnya kemajuan

teknologi dan membuat masyarakat Dayak menjadi ‘melek’ informasi. Globalisasi

membuat mereka juga ingin mengikuti pola hidup modernisme yang cirinya adalah

menetapkan standar yang sama demi kepentingan pasar. Contohnya: rumah yang baik

dan nyaman itu adalah rumah yang permanen dan tembok beton. Masyarakat Dayak

Bakati di Sungai Kajang mengukur kemampuan finansial dilihat dari kendaraan yang

dimiliki ( motor/ mobil). Globalisasi seakan menawarkan sebuah kebebasan yang

memberikan ruang bagi setiap orang untuk berkompetisi dalam memenuhi kebutuhan

hidup mereka.18

17 Retnowati, Agama dan Globalisasi: Refleksi Teori – Teori Globalisasi dan Relevansinya

Terhadap Persoalan – Persoalan Sosial, Gereja dan Masyarakat ( Salatiga: Fakultas Teologi UKSW

Salatiga, 2015), 37

18 Retnowati, Agama dan Globalisasi…,7.

Page 9: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16945/1/T2_752016208_BAB I.pdfTanah dalam pengertian filosofis ialah sebagai suatu tempat dimana segala peristiwa berlangsung

Konsep dan teori yang digunakan untuk mengkaji masyarakat Dayak Bakati

dalam perkembangan Globalisasi ialah konsep glokalisasi dari Roland Robertson.

Fenomena budaya masyarakat Dayak Bakati yang tetap dengan identitasnya sebagai

komunitas Dayak tetapi tidak menerapkan nilai kearifan lokal. Mereka memaknai

dirinya sebagai bagian dari modernisasi yang tidak lagi menerapkan kearifan lokal

tetapi memilih sikap konsumtif. Teori glokalisasi menjelaskan bahwa globalisasi

adalah bagian dari modernisasi yang sulit untuk dihindarkan dan bagaimana di tengah

tarik-menarik yang kuat ini tetap memberi ruang bagi yang partikular 19 Ruang yang

partikular salah satunya adalah nilai kearifan lokal yang semakin diperkuat untuk

lebih mempersiapkan masyarakat dari pengaruh negatif globalisasi. Di antara dua

ketegangan yaitu kearifan lokal dan globalisasi maka glokalisasi mencoba untuk

membangun kesadaran dan mempersiapkan masyarakat Dayak Bakati dari pengaruh

negatif globalisasi.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan yang telah disebutkan di atas maka masalah yang akan

dirumuskan dalam penulisan tesis ini ialah :

1. Bagaimana mereka memaknai kearifan lokal tentang tanah yang ada?

2. Apakah yang mendorong mereka untuk turut dalam penjualan tanah?

3. Apakah kearifan lokal masih relevan di era globalisasi bagi masyarakat Dayak

Bakati di Sungai Kajang?

19 Retnowati, Agama dan Globalisasi..,35.

Page 10: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16945/1/T2_752016208_BAB I.pdfTanah dalam pengertian filosofis ialah sebagai suatu tempat dimana segala peristiwa berlangsung

3. Pembatasan Masalah

Tesis ini akan memaparkan konteks masyarakat Dayak Bakati di dusun Sungai

Kajang. Sungai Kajang adalah nama kampung di dusun Pengapit yang berada di desa

Madak, kecamatan Subah, kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Kabupaten Sambas

merupakan kota kabupaten yang terletak pada bagian utara dari Kalimantan Barat. Jarak

tempuh dari kota Pontianak (kota propinsi) menuju kabupaten Sambas ialah 256 km dan jarak

dari Sambas ke dusun Sungai Kajang ialah 23 km. Kearifan lokal yang dimaksudkan dalam

penulisan ini pun dibatasi tentang kearifan lokal masyarakat Dayak Bakati terhadap tanah.

4. Tujuan Penelitian

Mengacu pada masalah penelitian yang digambarkan di atas, maka tujuan

penelitian ini difokuskan pada:

1. Menjelaskan makna dari kearifan lokal tentang tanah yang ada di

masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang.

2. Menjelaskan dan menganalisa penjualan tanah yang terjadi di Sungai

Kajang.

3. Menjelaskan dan menganalisa kearifan lokal dan relevansinya akibat

pengaruh globalisasi di Sungai Kajang.

5. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat Dayak Bakati semakin sadar

untuk menerapkan nilai kearifan lokal. Masyarakat Dayak Bekati sadar akan ancaman

kepunahan eksistensi mereka dan dampak negatif globalisasi. Harapannya adalah

mereka tidak menjadi konsumtif semata dalam kehidupan modern tetapi lebih

edukatif.

Page 11: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16945/1/T2_752016208_BAB I.pdfTanah dalam pengertian filosofis ialah sebagai suatu tempat dimana segala peristiwa berlangsung

6. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Lokasi penelitian adalah

Kampung Sungai Kajang di Desa Madak, Kecamatan Subah Kalimantan Barat.

Teori- teori akan diperoleh melalui tinjauan pustaka, observasi perilaku masyarakat

Dayak Bekati dan wawancara terhadap tokoh adat masyarakat Dayak Bakati.

7. Sistematika Penulisan

Tulisan penelitian ini akan dikemas dengan sistematika sebagai berikut: Bab I:

Penulis akan memaparkan konteks penelitian, studi yang sebelumnya pernah

dilakukan, kerangka berpikir, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan; Bab II: berisi pendekatan

teoretis pandangan globalisasi dalam pertemuan yang lokal dengan global; Bab III:

penulis akan memaparkan gambaran umum profil masyarakat Dayak Bakati di Sungai

Kajang; Bab IV: penulis akan memaparkan hasil analisa atau temuan terhadap

persoalan yang terjadi; Bab V: penulis akan memaparkan kesimpulan dan saran/

rekomendasi baik kepada masyarakat dan pemerintah setempat dan kepada Gereja

sebagai institusi. Sehingga dapat memberi masukan atau upaya penyadaran terhadap

masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang, dusun Pengapit, desa Madak,

Kalimantan Barat.

Page 12: BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16945/1/T2_752016208_BAB I.pdfTanah dalam pengertian filosofis ialah sebagai suatu tempat dimana segala peristiwa berlangsung