bab i latar belakang masalah -...

21
xvii

Upload: doantuyen

Post on 11-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

xvii

Page 2: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Acquired Immune Deficiency Syndome (AIDS) adalah kumpulan gejala

penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang

disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Penyakit ini

dicirikan dengan timbulnya berbagai penyakit infeksi bakteri, jamur, parasit, dan

virus yang bersiat oportunistik atau keganasan seperti sarkoma kaposi dan

limfoma primer di otak (Mansjoer et al., 2000). AIDS merupakan tahap akhir dari

infeksi HIV (Djoerban, 2000).

Jumlah infeksi HIV/AIDS terus bertambah di seluruh dunia, kasusnya terus

meningkat sampai 100 kali lipat sejak pertama kali ditemukan dan menyebar

paling sedikit 166 negara di dunia. United Nations Programme on HIV/AIDS

(UNAIDS) mencatat pada tahun 2012 sebanyak 38,8 juta jiwa di dunia hidup

dengan HIV/AIDS (Figueroa et al., 2008).

Infeksi HIV di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang memerlukan

perhatian dan pertambahan jumlah penderita HIV/AIDS semakin meroket. Infeksi

HIV/AIDS di Indonesia bagaikan fenomena gunung es, di mana kasus yang

terdeteksi oleh pusat layanan kesehatan hanyalah sebagian kecil dari kasus yang

sebenarnya ada di masyarakat (Mahardining, 2010). Indonesia berada pada urutan

ke-68 negara dengan penderita HIV/AIDS terbanyak di dunia dengan jumlah

Page 3: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

2

penderita sebanyak 610.000 jiwa (UNAIDS, 2013). Data tersebut berbeda dengan

Laporan Situasi Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia tahun 2013 oleh

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan yang

melaporkan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV mencapai

127.416 jiwa, sedangkan penderita AIDS mencapai 52.348 jiwa (Spiritia, 2013).

Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS di wilayah

DIY mencapai 2442 per Desember 2013, meningkat dari bulan Juni 2013, yaitu

2168 penderita. Penularan HIV/AIDS paling banyak terjadi dengan faktor resiko

pasangan heteroseksual sebanyak 1317 jiwa, lebih dari separuh dari total

penderita HIV/AIDS. Faktor resiko lain meliputi pasangan homoseksual, narkoba

suntik, perinatal, pasangan biseksual, transfusi darah, dan faktor lain yang tidak

diketahui (KPA, 2013).

Penggunaan antiretroviral (ARV) pada pasien dengan hasil tes HIV positif

merupakan upaya untuk memperpanjang umur harapan hidup orang dengan

HIV/AIDS (ODHA). ARV bekerja melawan infeksi dengan cara memperlambat

reproduksi HIV dalam tubuh. Umumnya ARV efektif digunakan dalam bentuk

kombinasi, bukan untuk menyembuhkan, tetapi untuk memperpanjang hidup

ODHA, membuat mereka lebih sehat, dan lebih produktif dengan mengurangi

viremia dan meningkatkan jumlah sel-sel CD4. Terapi ARV selalu digunakan

dalam bentuk kombinasi, oleh karena itu disebut Highly Active Antiretroviral

Therapy (HAART). Sampai saat ini sudah ada pertama dan kedua (Yuniar et al.,

2013).

Page 4: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

3

Kepatuhan Penggunaan antiretroviral (ARV) merupakan salah satu faktor

yang dapat memperpanjang umur harapan hidup ODHA secara bermakna (Yuniar

et al., 2013). Penggunaan obat ARV diperlukan tingkat kepatuhan tinggi untuk

mendapatkan keberhasilan terapi dan mencegah resistensi yang terjadi

(Bachmann, 2006 cit. Mahardining, 2010). Berdasarkan penelitian pada tahun

2004, di Amerika Serikat dan Eropa didapatkan 10% dari infeksi baru HIV/AIDS

menunjukkan resistensi terhadap ARV (Depkes RI, 2006). Data WHO tahun 2006

menunjukkan bahwa kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka panjang

terutama HIV/AIDS di negara maju hanya sebesar 50%, sedangkan di negara

berkembang, jumlah tersebut bahkan lebih rendah. Adanya ketidakpatuhan

terhadap terapi ARV dapat memberikan efek resistensi obat sehingga obat tidak

dapat berfungsi atau gagal (Ramiah dan Reich, 2005).

Resistensi terhadap ARV mengharuskan ODHA untuk mengganti terapi

dengan ARV lain yang masih berada dalam satu lini atau golongan. Jika terjadi

ketidakcocokan ARV yang dapat disebabkan berbagai hal, maka ODHA harus

berganti regimen terapi. Saat ini Indonesia sudah menyediakan dua regimen

terapi, yaitu ARV lini pertama dan lini kedua. Pada terapi ARV lini kedua.

Kepatuhan merupakan kunci utama untuk menghindari terjadinya resistensi ARV

lini kedua, sebab belum tersedia ARV lini ketiga di Indonesia.

Berbagai kendala dialami ODHA dalam mengakses ARV, di antaranya

keterbatasan pelayanan kesehatan seperti lokasi rumah sakit rujukan yang berada

di perkotaan, serta pemeriksaan darah dan konseling secara rutin yang

memerlukan biaya. Selain itu pemakaian jangka panjang menyebabkan timbulnya

Page 5: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

4

rasa bosan, kekurang disiplinan dan kekhawatiran akan timbulnya efek samping.

Faktor lainnya adalah perilaku ODHA yang pola hidupnya tidak teratur, serta

menghadapi stigma dan diskriminasi merupakan faktor lain yang menghambat

penggunaan ARV (Hadisetyono, 2007).

Ketidakpatuhan terhadap ARV bukan hanya masalah medis, tetapi juga

dipengaruhi oleh sosial budaya masyarakat setempat. Perspektif sosial dapat

membantu pemahaman bahwa kesehatan dan pelayanan kesehatan tidak semata-

mata sebagai isu medis, tetapi juga merupakan isu sosial. Ketika pendekatan

sosial dan pendekatan medis dilakukan bersama, maka penekanan-nya tidak hanya

pada proses sosial terjadinya suatu penyakit dan sakit, tetapi juga pada intervensi

di dalam struktur sosial dan budaya untuk mencegah atau bahkan mengobati

penyakit tersebut (Conrad, 1985).

Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini akan dilakukan dengan metode

kualitatif dengan tujuan mengetahui kepatuhan pasien HIV/AIDS yang

menggunakan antiretoviral lini kedua di DIY dan menganalisis faktor yang

menjadi penghambat dan pendukung perilaku kepatuhan pada pasien tersebut

berdasarkan HBM (Health Belief Model).

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam menggunakan obat

antiretroviral lini kedua?

2. Apa sajakah yang menjadi faktor penghambat dan pendukung terhadap

kepatuhan penggunaan obat antiretroviral lini kedua?

Page 6: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

5

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kepatuhan pasien HIV/AIDS di DIY dalam menggunakan obat

antiretroviral lini kedua.

2. Mengetahui faktor penghambat dan pendukung terhadap kepatuhan

penggunaan obat antiretroviral lini kedua.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi pemerintah: dapat memberikan gambaran mengenai kepatuhan

penggunaan obat dan faktor-faktor yang memepengaruhinya yang dijadikan

sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait

pelayanan kesehatan bagi ODHA khususnya dan pasien lain pada umumnya.

2. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): penelitian ini dapat dijadikan

sebagai bahan evaluasi bagi LSM untuk terus meningkatkan kinerjanya dalam

mendampingi ODHA selama menjalani terapi.

3. Bagi peneliti (Farmasis) : hasil penelitian ini dapat menggali permasalahan-

permasalahan terkait penggunaan penggunaan obat pada ODHA sehingga

farmasis dapat menyiapkan lengkah-langkah untuk membantu meningkatkan

kepatuhan pasien.

4. Bagi pasien dan masyarakat: naskah penelitian ini merupakan salah satu

sumber informasi mengenai HIV/AIDS dengan harapan dapat meningkatkan

pengetahuan masyarakat mengenai HIV/AIDS, dapat meningkatkan kepatuhan

Page 7: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

6

penggunaan obat bagi ODHA, dan dapat berperan dalam peningkatan kualitas

kesehatan masyarakat.

E. Tinjauan Pustaka

1. HIV/AIDS

a. Definisi HIV/AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang

menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia sehingga mengganggu

fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem

kekebalan yang terus menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi

kekebalan tubuh (KPA, 2013). HIV adalah anggota dari famili lentivirus

dari retrovirus. Ketika dilihat di bawah mikroskop elektron, HIV berbentuk

partikel bulat dengan diameter kira-kira 110 nm. Virus ini mempunyai dua

salinan dari sebuah genom RNA. Dua spesies dari HIV yang telah diketahui

adalah HIV-1 dan HIV-2. Isolat dari HIV-1 yang telah diidentifikasi dan

diklasifikasi menjadi tiga golongan Philogenetikutama yaitu M (main), N

(neither M nor O), dan O (outlier). Golongan M yang bertanggungjawab

atas epidemic HIV global. Infeksi dari famili lentivirus ini ditandai dengan

sifat latennya yang lama, masa inkubasi yang lama, replikasi virus yang

persisten dan keterlibaan dari susunan saraf pusat (SSP). Ciri khas untuk

jenis retrovirus yaitu: dikelilingi oelh membran lipid, mempunyai

kemampuan variasi genetik yang tinggi, mempunayi cara yang unik untuk

replikasi seta menginfeksi seluruh jenis vertebrata (Depkes RI, 2006).

Page 8: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

7

AIDS menggambarkan berbagai gejala dan infeksi terkait dengan

menurunnya sistem kekebalan tubuh. Tingkat HIV dalam tubuh dan

timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV

telah berkembang menjadi AIDS (Anonim, 2008). HIV-1 (Human

Immunodefficiency Virus ) merupakan retrovirus penyebab utama AIDS

pada manusia. HIV-2 juga dikenal dapat menyeababkan AIDS walaupun

prevalensi sangat jauh lebih sedikit daripada HIV-1. Kedua retrovirus ini

ditularkan terutama lewat kontak seksual dan kontak dengan darah atau

produk darah yang terkontaminasi. Secara global prevalensi dan insiden dari

penyakit ini terus berkembang dan pengobatan yang ada saat ini belum

mampu menghapus HIV (Anderson et al., 2009 cit. Dipiro et al., 2009).

b. Terapi HIV/AIDS

Pengobatan HIV dan AIDS pada dasarnya meliputi aspek medis klinis,

psikologis dan aspek sosial yang meliputi pengobatan supportive

(dukungan), pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik dan

pengobatan antiretroviral. ARV merupakan singkatan dari antiretroviral,

yaitu obat yang dapat menghentikan reproduksi HIV didalam tubuh. Bila

pengobatan tersebut bekerja secara efektif, maka kerusakan kekebalan tubuh

dapat ditunda bertahun–tahun dan dalam rentang waktu yang cukup lama

sehingga orang yang terinfeksi HIV dapat mencegah AIDS. Dengan

semakin meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV tersebut, ARV memiliki

peran penting dalam menciptakan masyarakat sehat melalui strategi

Page 9: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

8

penanggulangan AIDS yang memadukan upaya pencegahan dengan upaya

perawatan, dukungan serta pengobatan (KPA, 2013).

Hingga saat ini, ARV masih merupakan cara paling efektif serta mampu

menurunkan angka kematian dan berdampak pada peningkatan kualitas

hidup orang terinfeksi HIV sekaligus meningkatkan harapan masyarakat

untuk hidup lebih sehat. Sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah

diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan seperti diabetes, asma

atau darah tinggi dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang pembunuh

yang menakutkan (KPA, 2013).

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan

jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya.

Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi

syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara

memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.

1) Tidak tersedia pemeriksaan CD4

Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai

terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.

2) Tersedia pemeriksaan CD4

a) Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350

sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.

b) Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu

hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

(Depkes RI, 2011)

Page 10: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

9

1) Antiretroviral Lini Pertama

Pilihan kombinasi antiretroviral yang direkomendasikan oleh

Departemen Kesehatan RI dalam Pedoman Nasional Tata Laksana

Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral tahun 2011 adalah:

a) AZT + 3TC + NVP

b) AZT + 3TC + EFV

c) TDF + 3TC (atau FTC) + NVP

d) TDF + 3TC (atau FTC) + AFV

Tabel I. Tabel Kombinasi Antiretroviral Lini Pertama untuk Populasi Khusus

(Depkes RI, 2011)

Populasi target Pilihan yang

direkomendasikan Catatan

Dewasa dan Anak AZT atau TDF +

3TC (atau FTC) +

EFV atau NVP

Merupakan pilihan panduan

yang sesuai untuk sebagian

pasien

Gunakan FDC jika tersedia

Perempuan Hamil AZT + 3TC + EFV

atau NVP

Tidak boleh menggunakan

AFV pada trimester pertama

TDF merupakan pilihan

Ko-Infeksi HIV/TB AZT atau TDF +

3TC (FTC) + EFV

Mulai terapi ARV segera

setelah terapi TB dapat

ditoleransi (antara 2 minggu

hingga 8 minggu)

Gunakan NVP atau triple

NRTI bila EFV tidak dapat

digunakan

Ko-Infeksi HIV/Hepatitis B

kronik aktif

TDF + 3TC (FTC) +

EFV atau NVP

Pertimbangkan pemeriksaan

HbsAg terutama bila TDF

merupakan panduan lini

pertama. Diperlukan

penggunaan 2 ARV yang

memiliki aktivitas anti-HBV

2) Antiretroviral Lini Kedua

Rekomendasi paduan lini kedua adalah 2 NRTI + boosted-PI. Boosted

PI adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang sudah

ditambahi (boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan ditulis

Page 11: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

10

dengan kode ..../r (misal LPV/r = Lopinavir/ritonavir). Penambahan

(booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk mengurangi dosis

dari obat PI-nya karena jika tanpa ritonavir maka dosis yang diperlukan

menjadi tinggi sekali (Depkes RI, 2011).

Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis

oleh pemerintah adalah TDF atau AZT + 3TC + LPV/r. Apabila pada

lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3TC

atau FTC) sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. Apabila pada

lini pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai

dasar NRTI sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua (Depkes RI,

2011).

Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara

matang dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung

seumur hidupnya. Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam

keadaan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk

memberikan Kotrimoksasol (1x960mg sebagai pencegahan infeksi

oportunistik (IO)) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan

untuk mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat dan menyingkirkan

kemungkinan efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol dan obat

ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang

sama dengan efek samping kotrimoksasol (Depkes RI, 2011).

Page 12: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

11

2. Kepatuhan

Menurut Gatchel et al.,(1989), kepatuhan adalah melakukan seperti apa

yang disarankan oleh dokter atau mengikuti saran untuk mengadopsi tingkah

laku tertentu yang berkaitan dengan kesehatan. Meminum obat saat disarankan

untuk meminum obat dan tidak menghentikannya sebelum disarankan

demikian, mengikuti anjuran makan yang diberikan, berhenti merokok, hal-hal

seperti inilah yang merupakan contoh kepatuhan pada saran yang diberikan

oleh dokter. Morisky et al.,(1986) menjelaskan kepatuhan sebagai sejauh mana

pasien mengikuti instruksi, baik suruhan maupun larangan, yang diberikan oleh

dokter mereka atau penyedia layanan kesehatan lainnya. Jadi definisi

kepatuhan adalah sejauh mana pasien mengikuti instruksi seperti mengadopsi

tingkah laku tertentu yang terkait dengan kesehatan sesuai dengan apa saja

yang disarankan oleh dokter atau penyedia kesehatan.

Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan dimana

pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya

karena mematuhi perintah dokter. Hal ini penting karena diharapkan akan lebih

meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat. Adherence atau kepatuhan harus

selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan.

Dalam hubungan dengan terapi ARV pada ODHA, bahwa “kepatuhan”

lebih dimaksudkan sebagai proses kerjasama antara klien dengan penyedia

layanan. Pasien dikondisikan untuk berperan lebih aktif mengikuti pengobatan

dan berkomitmen untuk mengikuti pengobatan yang diberikan sebaik mungkin.

Page 13: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

12

Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidak-patuhan pasien

mengkonsumsi ARV (Depkes RI, 2011).

Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat kepatuhan

terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai

tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak

boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika pasien sering lupa

minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien serta

komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan membantu pasien

untuk patuh minum obat (Depkes RI, 2011).

Menurut Smet (1994) dalam Lokollo (2011), faktor-faktor yang

mempengaruhi kepatuhan adalah:

a. Faktor Komunikasi

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter mempengaruhi

tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang,

ketidakpuasan aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasan

terhadap obat yang diberikan.

b. Pengetahuan

Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama

sekali penting dalam pemberian antibiotik. Karena sering kali pasien

mengehentikan obat tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat

obat itu habis.

Page 14: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

13

c. Fasilitas kesehatan

Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting di mana memberikan

penyuluhan terhadap penderita diharapkan penderita menerima penjelasan

dari tenaga kesehatan yang meliputi: jumlah tenaga kesehatan, gedung serba

guna untuk penyuluhan dan lain-lain.

3. Teori Health Belief Model (HBM)

Teori Health Belief Model (HBM) pada awalnya dikembangkan pada

tahun 1950-an oleh sekelompok psikolog sosial di Pelayanan Kesehatan

Masyarakat Amerika Serikat, dalam usaha untuk menjelaskan kegagalan secara

luas partisipasi masyarakat dalam program pencegahan atau deteksi penyakit.

Kemudian, model diperluas untuk melihat respon masyarakat terhadap gejala-

gejala penyakit dan bagaimana perilaku mereka terhadap penyakit yang

didiagnosa, terutama berhubungan dengan pemenuhan penanganan medis.

Oleh karena itu, lebih dari tiga dekade, model ini telah menjadi salah satu

model yang paling berpengaruh dan secara luas menggunakan pendekatan

psikososial untuk menjelaskan hubungan antara perilaku dengan kesehatan

(Gochman, 1997 cit. Lokollo, 2009)

Model kepercayaan adalah suatu bentuk penjabaran dari model sosio-

psikologis. Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa problem-

problem kesehatan ditandai oelh kegagalan-kegagalan orang atau masyarakat

untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang

diselenggarakan oleh provider. Kegagalah ini akhirnya memunculkan teori

Page 15: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

14

yang menjelaskan pencegahan penyakit yang kemudian dikembangkan menjadi

model kepercayaan kesehatan (Health Belief Model) (Notoatmodjo, 2003).

HBM digunakan untuk menjelaskan perubahan dan pemeliharaan dari

perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, serta sebagai sebuah kerangka

pedoman dari intervensi perilaku kesehatan. HBM menggambarkan,

membandingkan, dan menganalisa dengan menggunakan sebuah aturan yang

luas dari beraneka ragam teknik analitik.

Analisis terhadap berbagai factor yang mempengaruhi partisipasi

masyarakat pada program tersebut kemudian dikembangkan sebagai model

perilaku. Health Belief Model didasarkan atas 3 faktor esensial:

1. Kesiapan individu untuk mengubah perilaku dalam rangka menghindari

suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan

2. Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya

mengubah perilaku

3. Perilaku itu sendiri.

Ketiga faktor di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berhubungan

dengan kepribadian dan lingkungan individu, serta pengalaman berhubungan

dengan sarana & petugas kesehatan.

Page 16: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

15

Gambar 1. Komponen Health Belief Model (HBM) (Glanz et al., 2008)

Konsep utama dari teori HBM adalah bahwa perilaku sehat ditentukan

oleh kepercayaan individu atau persepsi tentang penyakit dan sarana yang

tersedia untuk menghindari terjadinya suatu penyakit (Solihat, 2009).

a. Perceived Severity

Merupakan persepsi subjektif dari individu terhadap seberapa parah

konsekuensi fisik dan sosial yang akan dideritanya. Persepsi terhadap

keseriusan dampak terbentuk dari informasi medis dan pengetahuan

individu, namun juga dapat terbentuk dari keeprcayaan individu tentang

kesulitan dari sebuah penyakit tercipta atau mempengaruhi hidup mereka

secara umum (Hayden, 2009).

Umur

Jenis Kelamin

Etnis

Kepribadian

Sosioekonomi

Pengetahuan

Faktor

Pemodifikasi

Kepercayaan

Individu

Tindakan

Perceived

Succeptibility

dan Perceived

Severity

Perceived Benefit

Perceived Barrier

Self Efficacy

Perceived

Threat

Perilaku

Individu

Cues to

Action

Page 17: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

16

b. Perceived Susceptibility

Persepsi kerentanan mengacu pada keyakinan seseorang tentang

kemungkinan untuk menderita suatu penyakit atau kondisi tertentu (Glanz et

al., 2008). Ketika seseorang percaya bahwa mereka beresiko terhadap

sebuah penyakit, mereka akan lebih sering melakukan sesuatu untuk

mencegah terjadinya penyakit tersebut. Namun, sebaliknya ketika seorang

percaya bahwa mereka tidak beresiko atau memiliki resiko susceptibility

yang rendah, maka perilaku tidak sehat cenderung dihasilkan (Hayden,

2009).

Ketika persepsi tentang kemudahan menderita penyakit (susceptibility)

dikombinasikan dengan keseriusan yang dirasakan (severity), akan

menghasilkan penerimaan ancaman (threat) (Glanz et al., 2008). Hal ini

mengacu pada sejauh mana seorang berfikir penyakit atau kesakitan betul-

betul merupakan ancaman pada dirinya. Jika ancaman yang dirasakan

mengaku pada suatu penyakit yang serius dan resikonya dirasakan secara

langsung, maka sering kali hal tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan

perilaku (Hayden, 2009).

c. Perceived Benefit

Pembentukan persepsi terhadap manfaat yang akan diperoleh merupakan

opini individu itu sendiri terhadap manfaat dari perilaku baru dalam

menurunkan resiko atas penyakit yang diderita. Orang-orang cenderung

untuk menjalankan perilaku sehat ketika mereka percaya bahwa perilaku

tersebut akan menurunkan resiko berkembangnya penyakit (Hayden, 2009).

Page 18: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

17

d. Perceived Barrier

Hambatan mengacu pada karakteristik dari pengukuran sebuah tindakan

seperti merepotkan, mahal, tidak menyenangkan, menyakitkan, atau tidak

menyehatkan. Karakteristik ini dapat menyebabkan individu menjauh dari

tindakan yang diinginkan untuk dilaksanakan (Solihat, 2009). Akibat negatif

yang diarasakan atas perilaku tertentu dapat berperan sebagai penghambat

dalam menjalankan perilaku tersebut. Seseorang akan mempertimbangkan

manfaat dan hambatan yang dirasakan dalam menjalankan peprilaku

tertentu (Glanz et al., 2008).

Dari seluruh aspek, hambatan yang dirasakan merupakan penentu dari

perubahan perilaku (Janz & Becker, 1984). Gabungan tingkat kerentanan

dan keparahan yang dirasakan akan memberikan kekuatan untuk melakukan

tindakan tertentu dan persepsi manfaat akan menjadi pendorong untuk

melakukan suatu tindakan (Rosenstock, 1974 dalam Glanz et al., 2008)

e. Cues to action

Pemicu timbulnya perilaku adalah kejadian, orang, atau barang yang

membuat sesorang merubah perilaku mereka. Contohnya, anggota keluarga

yang mengalami suatu penyakit, laporan media massa, kampanye media

massa, saran dari orang lain, poster-poster, dan label peringatan yang ada

pada sebuah produk (Hayden, 2009). Hochbaum (1958) dalam Glanz et al,

(2008) menjelaskan bahwa kesiapan individu untuk melakukan suatu

tindakan (yang didasari oleh asumsi kerentanan dan keseriusan penyakit)

Page 19: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

18

hanya dapat dilaksanakan jika ada pengaruh potensial yang datang dari luar

individu.

f. Self efficacy

Self efficacy adalah kepercayaan seseorang pada kemampuannya dalam

melakukan susuatu hal (Bandura, 1977 cit. Hayden, 2009). Seseorang

biasanya tidak melakukan suatu tindakan kecuali dia merasa bahwa dirinya

mamapu melakukan tindakan tersebut. Jika seseorang percaya bahwa

sebuah perilaku baru bermanfaat untuk mereka, namun mereka merasa tidak

mampu untuk melaksanakannya, maka perilaku tersebut tidak akan dicoba

untuk dilaksanakan (Hayden, 2009).

HBM juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi beberapa faktor

prioritas penting yang berdampak terhadap pengambilan keputusan secara

rasional dalam situasi yang tidak menentu serta teori ini berpusat pada perilaku

kesehatan individu (Maulana, 2009).

4. LSM Victory Plus

Victory Plus adalah salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang

bergerak dalam penanganan dini HIV dan AIDS. LSM ini adalah kelompok

penggagas dukungan sebaya dan pemberdayaan ODHA yang berdiri sejak

tahun 2004 (Anonim, 2014).

Victory Plus mempunyai impian untuk mencapai kualitas hidup

ODHA dan orang hidup dengan HIV/AIDS (OHIDHA) yang lebih baik dan

sebagai wadah pemberdayaan ODHA dan OHIDHA yang bebas dari stigma

dan diskriminasi. Dalam mencapai visi tersebut maka Victory Plus harus

Page 20: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

19

menjalankan misi dengan melakukan pemberdayaan ODHA dan OHIDHA

serta mendorong keterlibatan ODHA dan OHIDHA dalam penanggulangan

HIV dan AIDS (Anonim, 2014)

LSM Victory Plus memiliki berbagai program kerja utama, yaitu

pemeberdayaan ODHA melalui kelompok dukungan sebaya, pendampingan

ODHA dan OHIDA di rumah maupun rumah sakit, peningkatan penghasilah

ODHA, sosialisasi tentang HIV/AIDS, dan pelatihan atau training yang

meliputi pelatihan public speaking, pelatihan pendidik pengobatan, dan

pelatihan pembentukan KDS (Anonim, 2014).

F. Keterangan Empiris

Keterangan empiris yang diharapkan dari penelitian ini adalah kepatuhan

penggunaan antiretroviral lini kedua pada pasien HIV/AIDS, serta faktor

pendukung dan penghambat kepatuhan penggunaan obat tersebut.

Page 21: BAB I Latar Belakang Masalah - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72600/potongan/S1-2014...Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS

20