bab i latar belakang masalah -...
TRANSCRIPT
xvii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Acquired Immune Deficiency Syndome (AIDS) adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang
disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Penyakit ini
dicirikan dengan timbulnya berbagai penyakit infeksi bakteri, jamur, parasit, dan
virus yang bersiat oportunistik atau keganasan seperti sarkoma kaposi dan
limfoma primer di otak (Mansjoer et al., 2000). AIDS merupakan tahap akhir dari
infeksi HIV (Djoerban, 2000).
Jumlah infeksi HIV/AIDS terus bertambah di seluruh dunia, kasusnya terus
meningkat sampai 100 kali lipat sejak pertama kali ditemukan dan menyebar
paling sedikit 166 negara di dunia. United Nations Programme on HIV/AIDS
(UNAIDS) mencatat pada tahun 2012 sebanyak 38,8 juta jiwa di dunia hidup
dengan HIV/AIDS (Figueroa et al., 2008).
Infeksi HIV di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang memerlukan
perhatian dan pertambahan jumlah penderita HIV/AIDS semakin meroket. Infeksi
HIV/AIDS di Indonesia bagaikan fenomena gunung es, di mana kasus yang
terdeteksi oleh pusat layanan kesehatan hanyalah sebagian kecil dari kasus yang
sebenarnya ada di masyarakat (Mahardining, 2010). Indonesia berada pada urutan
ke-68 negara dengan penderita HIV/AIDS terbanyak di dunia dengan jumlah
2
penderita sebanyak 610.000 jiwa (UNAIDS, 2013). Data tersebut berbeda dengan
Laporan Situasi Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia tahun 2013 oleh
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan yang
melaporkan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV mencapai
127.416 jiwa, sedangkan penderita AIDS mencapai 52.348 jiwa (Spiritia, 2013).
Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS di wilayah
DIY mencapai 2442 per Desember 2013, meningkat dari bulan Juni 2013, yaitu
2168 penderita. Penularan HIV/AIDS paling banyak terjadi dengan faktor resiko
pasangan heteroseksual sebanyak 1317 jiwa, lebih dari separuh dari total
penderita HIV/AIDS. Faktor resiko lain meliputi pasangan homoseksual, narkoba
suntik, perinatal, pasangan biseksual, transfusi darah, dan faktor lain yang tidak
diketahui (KPA, 2013).
Penggunaan antiretroviral (ARV) pada pasien dengan hasil tes HIV positif
merupakan upaya untuk memperpanjang umur harapan hidup orang dengan
HIV/AIDS (ODHA). ARV bekerja melawan infeksi dengan cara memperlambat
reproduksi HIV dalam tubuh. Umumnya ARV efektif digunakan dalam bentuk
kombinasi, bukan untuk menyembuhkan, tetapi untuk memperpanjang hidup
ODHA, membuat mereka lebih sehat, dan lebih produktif dengan mengurangi
viremia dan meningkatkan jumlah sel-sel CD4. Terapi ARV selalu digunakan
dalam bentuk kombinasi, oleh karena itu disebut Highly Active Antiretroviral
Therapy (HAART). Sampai saat ini sudah ada pertama dan kedua (Yuniar et al.,
2013).
3
Kepatuhan Penggunaan antiretroviral (ARV) merupakan salah satu faktor
yang dapat memperpanjang umur harapan hidup ODHA secara bermakna (Yuniar
et al., 2013). Penggunaan obat ARV diperlukan tingkat kepatuhan tinggi untuk
mendapatkan keberhasilan terapi dan mencegah resistensi yang terjadi
(Bachmann, 2006 cit. Mahardining, 2010). Berdasarkan penelitian pada tahun
2004, di Amerika Serikat dan Eropa didapatkan 10% dari infeksi baru HIV/AIDS
menunjukkan resistensi terhadap ARV (Depkes RI, 2006). Data WHO tahun 2006
menunjukkan bahwa kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka panjang
terutama HIV/AIDS di negara maju hanya sebesar 50%, sedangkan di negara
berkembang, jumlah tersebut bahkan lebih rendah. Adanya ketidakpatuhan
terhadap terapi ARV dapat memberikan efek resistensi obat sehingga obat tidak
dapat berfungsi atau gagal (Ramiah dan Reich, 2005).
Resistensi terhadap ARV mengharuskan ODHA untuk mengganti terapi
dengan ARV lain yang masih berada dalam satu lini atau golongan. Jika terjadi
ketidakcocokan ARV yang dapat disebabkan berbagai hal, maka ODHA harus
berganti regimen terapi. Saat ini Indonesia sudah menyediakan dua regimen
terapi, yaitu ARV lini pertama dan lini kedua. Pada terapi ARV lini kedua.
Kepatuhan merupakan kunci utama untuk menghindari terjadinya resistensi ARV
lini kedua, sebab belum tersedia ARV lini ketiga di Indonesia.
Berbagai kendala dialami ODHA dalam mengakses ARV, di antaranya
keterbatasan pelayanan kesehatan seperti lokasi rumah sakit rujukan yang berada
di perkotaan, serta pemeriksaan darah dan konseling secara rutin yang
memerlukan biaya. Selain itu pemakaian jangka panjang menyebabkan timbulnya
4
rasa bosan, kekurang disiplinan dan kekhawatiran akan timbulnya efek samping.
Faktor lainnya adalah perilaku ODHA yang pola hidupnya tidak teratur, serta
menghadapi stigma dan diskriminasi merupakan faktor lain yang menghambat
penggunaan ARV (Hadisetyono, 2007).
Ketidakpatuhan terhadap ARV bukan hanya masalah medis, tetapi juga
dipengaruhi oleh sosial budaya masyarakat setempat. Perspektif sosial dapat
membantu pemahaman bahwa kesehatan dan pelayanan kesehatan tidak semata-
mata sebagai isu medis, tetapi juga merupakan isu sosial. Ketika pendekatan
sosial dan pendekatan medis dilakukan bersama, maka penekanan-nya tidak hanya
pada proses sosial terjadinya suatu penyakit dan sakit, tetapi juga pada intervensi
di dalam struktur sosial dan budaya untuk mencegah atau bahkan mengobati
penyakit tersebut (Conrad, 1985).
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini akan dilakukan dengan metode
kualitatif dengan tujuan mengetahui kepatuhan pasien HIV/AIDS yang
menggunakan antiretoviral lini kedua di DIY dan menganalisis faktor yang
menjadi penghambat dan pendukung perilaku kepatuhan pada pasien tersebut
berdasarkan HBM (Health Belief Model).
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam menggunakan obat
antiretroviral lini kedua?
2. Apa sajakah yang menjadi faktor penghambat dan pendukung terhadap
kepatuhan penggunaan obat antiretroviral lini kedua?
5
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kepatuhan pasien HIV/AIDS di DIY dalam menggunakan obat
antiretroviral lini kedua.
2. Mengetahui faktor penghambat dan pendukung terhadap kepatuhan
penggunaan obat antiretroviral lini kedua.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi pemerintah: dapat memberikan gambaran mengenai kepatuhan
penggunaan obat dan faktor-faktor yang memepengaruhinya yang dijadikan
sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait
pelayanan kesehatan bagi ODHA khususnya dan pasien lain pada umumnya.
2. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan evaluasi bagi LSM untuk terus meningkatkan kinerjanya dalam
mendampingi ODHA selama menjalani terapi.
3. Bagi peneliti (Farmasis) : hasil penelitian ini dapat menggali permasalahan-
permasalahan terkait penggunaan penggunaan obat pada ODHA sehingga
farmasis dapat menyiapkan lengkah-langkah untuk membantu meningkatkan
kepatuhan pasien.
4. Bagi pasien dan masyarakat: naskah penelitian ini merupakan salah satu
sumber informasi mengenai HIV/AIDS dengan harapan dapat meningkatkan
pengetahuan masyarakat mengenai HIV/AIDS, dapat meningkatkan kepatuhan
6
penggunaan obat bagi ODHA, dan dapat berperan dalam peningkatan kualitas
kesehatan masyarakat.
E. Tinjauan Pustaka
1. HIV/AIDS
a. Definisi HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang
menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia sehingga mengganggu
fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem
kekebalan yang terus menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi
kekebalan tubuh (KPA, 2013). HIV adalah anggota dari famili lentivirus
dari retrovirus. Ketika dilihat di bawah mikroskop elektron, HIV berbentuk
partikel bulat dengan diameter kira-kira 110 nm. Virus ini mempunyai dua
salinan dari sebuah genom RNA. Dua spesies dari HIV yang telah diketahui
adalah HIV-1 dan HIV-2. Isolat dari HIV-1 yang telah diidentifikasi dan
diklasifikasi menjadi tiga golongan Philogenetikutama yaitu M (main), N
(neither M nor O), dan O (outlier). Golongan M yang bertanggungjawab
atas epidemic HIV global. Infeksi dari famili lentivirus ini ditandai dengan
sifat latennya yang lama, masa inkubasi yang lama, replikasi virus yang
persisten dan keterlibaan dari susunan saraf pusat (SSP). Ciri khas untuk
jenis retrovirus yaitu: dikelilingi oelh membran lipid, mempunyai
kemampuan variasi genetik yang tinggi, mempunayi cara yang unik untuk
replikasi seta menginfeksi seluruh jenis vertebrata (Depkes RI, 2006).
7
AIDS menggambarkan berbagai gejala dan infeksi terkait dengan
menurunnya sistem kekebalan tubuh. Tingkat HIV dalam tubuh dan
timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV
telah berkembang menjadi AIDS (Anonim, 2008). HIV-1 (Human
Immunodefficiency Virus ) merupakan retrovirus penyebab utama AIDS
pada manusia. HIV-2 juga dikenal dapat menyeababkan AIDS walaupun
prevalensi sangat jauh lebih sedikit daripada HIV-1. Kedua retrovirus ini
ditularkan terutama lewat kontak seksual dan kontak dengan darah atau
produk darah yang terkontaminasi. Secara global prevalensi dan insiden dari
penyakit ini terus berkembang dan pengobatan yang ada saat ini belum
mampu menghapus HIV (Anderson et al., 2009 cit. Dipiro et al., 2009).
b. Terapi HIV/AIDS
Pengobatan HIV dan AIDS pada dasarnya meliputi aspek medis klinis,
psikologis dan aspek sosial yang meliputi pengobatan supportive
(dukungan), pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik dan
pengobatan antiretroviral. ARV merupakan singkatan dari antiretroviral,
yaitu obat yang dapat menghentikan reproduksi HIV didalam tubuh. Bila
pengobatan tersebut bekerja secara efektif, maka kerusakan kekebalan tubuh
dapat ditunda bertahun–tahun dan dalam rentang waktu yang cukup lama
sehingga orang yang terinfeksi HIV dapat mencegah AIDS. Dengan
semakin meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV tersebut, ARV memiliki
peran penting dalam menciptakan masyarakat sehat melalui strategi
8
penanggulangan AIDS yang memadukan upaya pencegahan dengan upaya
perawatan, dukungan serta pengobatan (KPA, 2013).
Hingga saat ini, ARV masih merupakan cara paling efektif serta mampu
menurunkan angka kematian dan berdampak pada peningkatan kualitas
hidup orang terinfeksi HIV sekaligus meningkatkan harapan masyarakat
untuk hidup lebih sehat. Sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah
diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan seperti diabetes, asma
atau darah tinggi dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang pembunuh
yang menakutkan (KPA, 2013).
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan
jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya.
Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi
syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara
memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
1) Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai
terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.
2) Tersedia pemeriksaan CD4
a) Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350
sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.
b) Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu
hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
(Depkes RI, 2011)
9
1) Antiretroviral Lini Pertama
Pilihan kombinasi antiretroviral yang direkomendasikan oleh
Departemen Kesehatan RI dalam Pedoman Nasional Tata Laksana
Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral tahun 2011 adalah:
a) AZT + 3TC + NVP
b) AZT + 3TC + EFV
c) TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
d) TDF + 3TC (atau FTC) + AFV
Tabel I. Tabel Kombinasi Antiretroviral Lini Pertama untuk Populasi Khusus
(Depkes RI, 2011)
Populasi target Pilihan yang
direkomendasikan Catatan
Dewasa dan Anak AZT atau TDF +
3TC (atau FTC) +
EFV atau NVP
Merupakan pilihan panduan
yang sesuai untuk sebagian
pasien
Gunakan FDC jika tersedia
Perempuan Hamil AZT + 3TC + EFV
atau NVP
Tidak boleh menggunakan
AFV pada trimester pertama
TDF merupakan pilihan
Ko-Infeksi HIV/TB AZT atau TDF +
3TC (FTC) + EFV
Mulai terapi ARV segera
setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara 2 minggu
hingga 8 minggu)
Gunakan NVP atau triple
NRTI bila EFV tidak dapat
digunakan
Ko-Infeksi HIV/Hepatitis B
kronik aktif
TDF + 3TC (FTC) +
EFV atau NVP
Pertimbangkan pemeriksaan
HbsAg terutama bila TDF
merupakan panduan lini
pertama. Diperlukan
penggunaan 2 ARV yang
memiliki aktivitas anti-HBV
2) Antiretroviral Lini Kedua
Rekomendasi paduan lini kedua adalah 2 NRTI + boosted-PI. Boosted
PI adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang sudah
ditambahi (boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan ditulis
10
dengan kode ..../r (misal LPV/r = Lopinavir/ritonavir). Penambahan
(booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk mengurangi dosis
dari obat PI-nya karena jika tanpa ritonavir maka dosis yang diperlukan
menjadi tinggi sekali (Depkes RI, 2011).
Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis
oleh pemerintah adalah TDF atau AZT + 3TC + LPV/r. Apabila pada
lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3TC
atau FTC) sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. Apabila pada
lini pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai
dasar NRTI sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua (Depkes RI,
2011).
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara
matang dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung
seumur hidupnya. Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam
keadaan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk
memberikan Kotrimoksasol (1x960mg sebagai pencegahan infeksi
oportunistik (IO)) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan
untuk mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat dan menyingkirkan
kemungkinan efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol dan obat
ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang
sama dengan efek samping kotrimoksasol (Depkes RI, 2011).
11
2. Kepatuhan
Menurut Gatchel et al.,(1989), kepatuhan adalah melakukan seperti apa
yang disarankan oleh dokter atau mengikuti saran untuk mengadopsi tingkah
laku tertentu yang berkaitan dengan kesehatan. Meminum obat saat disarankan
untuk meminum obat dan tidak menghentikannya sebelum disarankan
demikian, mengikuti anjuran makan yang diberikan, berhenti merokok, hal-hal
seperti inilah yang merupakan contoh kepatuhan pada saran yang diberikan
oleh dokter. Morisky et al.,(1986) menjelaskan kepatuhan sebagai sejauh mana
pasien mengikuti instruksi, baik suruhan maupun larangan, yang diberikan oleh
dokter mereka atau penyedia layanan kesehatan lainnya. Jadi definisi
kepatuhan adalah sejauh mana pasien mengikuti instruksi seperti mengadopsi
tingkah laku tertentu yang terkait dengan kesehatan sesuai dengan apa saja
yang disarankan oleh dokter atau penyedia kesehatan.
Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan dimana
pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya
karena mematuhi perintah dokter. Hal ini penting karena diharapkan akan lebih
meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat. Adherence atau kepatuhan harus
selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan.
Dalam hubungan dengan terapi ARV pada ODHA, bahwa “kepatuhan”
lebih dimaksudkan sebagai proses kerjasama antara klien dengan penyedia
layanan. Pasien dikondisikan untuk berperan lebih aktif mengikuti pengobatan
dan berkomitmen untuk mengikuti pengobatan yang diberikan sebaik mungkin.
12
Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidak-patuhan pasien
mengkonsumsi ARV (Depkes RI, 2011).
Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat kepatuhan
terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai
tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak
boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika pasien sering lupa
minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien serta
komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan membantu pasien
untuk patuh minum obat (Depkes RI, 2011).
Menurut Smet (1994) dalam Lokollo (2011), faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan adalah:
a. Faktor Komunikasi
Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter mempengaruhi
tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang,
ketidakpuasan aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasan
terhadap obat yang diberikan.
b. Pengetahuan
Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama
sekali penting dalam pemberian antibiotik. Karena sering kali pasien
mengehentikan obat tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat
obat itu habis.
13
c. Fasilitas kesehatan
Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting di mana memberikan
penyuluhan terhadap penderita diharapkan penderita menerima penjelasan
dari tenaga kesehatan yang meliputi: jumlah tenaga kesehatan, gedung serba
guna untuk penyuluhan dan lain-lain.
3. Teori Health Belief Model (HBM)
Teori Health Belief Model (HBM) pada awalnya dikembangkan pada
tahun 1950-an oleh sekelompok psikolog sosial di Pelayanan Kesehatan
Masyarakat Amerika Serikat, dalam usaha untuk menjelaskan kegagalan secara
luas partisipasi masyarakat dalam program pencegahan atau deteksi penyakit.
Kemudian, model diperluas untuk melihat respon masyarakat terhadap gejala-
gejala penyakit dan bagaimana perilaku mereka terhadap penyakit yang
didiagnosa, terutama berhubungan dengan pemenuhan penanganan medis.
Oleh karena itu, lebih dari tiga dekade, model ini telah menjadi salah satu
model yang paling berpengaruh dan secara luas menggunakan pendekatan
psikososial untuk menjelaskan hubungan antara perilaku dengan kesehatan
(Gochman, 1997 cit. Lokollo, 2009)
Model kepercayaan adalah suatu bentuk penjabaran dari model sosio-
psikologis. Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa problem-
problem kesehatan ditandai oelh kegagalan-kegagalan orang atau masyarakat
untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang
diselenggarakan oleh provider. Kegagalah ini akhirnya memunculkan teori
14
yang menjelaskan pencegahan penyakit yang kemudian dikembangkan menjadi
model kepercayaan kesehatan (Health Belief Model) (Notoatmodjo, 2003).
HBM digunakan untuk menjelaskan perubahan dan pemeliharaan dari
perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, serta sebagai sebuah kerangka
pedoman dari intervensi perilaku kesehatan. HBM menggambarkan,
membandingkan, dan menganalisa dengan menggunakan sebuah aturan yang
luas dari beraneka ragam teknik analitik.
Analisis terhadap berbagai factor yang mempengaruhi partisipasi
masyarakat pada program tersebut kemudian dikembangkan sebagai model
perilaku. Health Belief Model didasarkan atas 3 faktor esensial:
1. Kesiapan individu untuk mengubah perilaku dalam rangka menghindari
suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan
2. Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya
mengubah perilaku
3. Perilaku itu sendiri.
Ketiga faktor di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berhubungan
dengan kepribadian dan lingkungan individu, serta pengalaman berhubungan
dengan sarana & petugas kesehatan.
15
Gambar 1. Komponen Health Belief Model (HBM) (Glanz et al., 2008)
Konsep utama dari teori HBM adalah bahwa perilaku sehat ditentukan
oleh kepercayaan individu atau persepsi tentang penyakit dan sarana yang
tersedia untuk menghindari terjadinya suatu penyakit (Solihat, 2009).
a. Perceived Severity
Merupakan persepsi subjektif dari individu terhadap seberapa parah
konsekuensi fisik dan sosial yang akan dideritanya. Persepsi terhadap
keseriusan dampak terbentuk dari informasi medis dan pengetahuan
individu, namun juga dapat terbentuk dari keeprcayaan individu tentang
kesulitan dari sebuah penyakit tercipta atau mempengaruhi hidup mereka
secara umum (Hayden, 2009).
Umur
Jenis Kelamin
Etnis
Kepribadian
Sosioekonomi
Pengetahuan
Faktor
Pemodifikasi
Kepercayaan
Individu
Tindakan
Perceived
Succeptibility
dan Perceived
Severity
Perceived Benefit
Perceived Barrier
Self Efficacy
Perceived
Threat
Perilaku
Individu
Cues to
Action
16
b. Perceived Susceptibility
Persepsi kerentanan mengacu pada keyakinan seseorang tentang
kemungkinan untuk menderita suatu penyakit atau kondisi tertentu (Glanz et
al., 2008). Ketika seseorang percaya bahwa mereka beresiko terhadap
sebuah penyakit, mereka akan lebih sering melakukan sesuatu untuk
mencegah terjadinya penyakit tersebut. Namun, sebaliknya ketika seorang
percaya bahwa mereka tidak beresiko atau memiliki resiko susceptibility
yang rendah, maka perilaku tidak sehat cenderung dihasilkan (Hayden,
2009).
Ketika persepsi tentang kemudahan menderita penyakit (susceptibility)
dikombinasikan dengan keseriusan yang dirasakan (severity), akan
menghasilkan penerimaan ancaman (threat) (Glanz et al., 2008). Hal ini
mengacu pada sejauh mana seorang berfikir penyakit atau kesakitan betul-
betul merupakan ancaman pada dirinya. Jika ancaman yang dirasakan
mengaku pada suatu penyakit yang serius dan resikonya dirasakan secara
langsung, maka sering kali hal tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan
perilaku (Hayden, 2009).
c. Perceived Benefit
Pembentukan persepsi terhadap manfaat yang akan diperoleh merupakan
opini individu itu sendiri terhadap manfaat dari perilaku baru dalam
menurunkan resiko atas penyakit yang diderita. Orang-orang cenderung
untuk menjalankan perilaku sehat ketika mereka percaya bahwa perilaku
tersebut akan menurunkan resiko berkembangnya penyakit (Hayden, 2009).
17
d. Perceived Barrier
Hambatan mengacu pada karakteristik dari pengukuran sebuah tindakan
seperti merepotkan, mahal, tidak menyenangkan, menyakitkan, atau tidak
menyehatkan. Karakteristik ini dapat menyebabkan individu menjauh dari
tindakan yang diinginkan untuk dilaksanakan (Solihat, 2009). Akibat negatif
yang diarasakan atas perilaku tertentu dapat berperan sebagai penghambat
dalam menjalankan perilaku tersebut. Seseorang akan mempertimbangkan
manfaat dan hambatan yang dirasakan dalam menjalankan peprilaku
tertentu (Glanz et al., 2008).
Dari seluruh aspek, hambatan yang dirasakan merupakan penentu dari
perubahan perilaku (Janz & Becker, 1984). Gabungan tingkat kerentanan
dan keparahan yang dirasakan akan memberikan kekuatan untuk melakukan
tindakan tertentu dan persepsi manfaat akan menjadi pendorong untuk
melakukan suatu tindakan (Rosenstock, 1974 dalam Glanz et al., 2008)
e. Cues to action
Pemicu timbulnya perilaku adalah kejadian, orang, atau barang yang
membuat sesorang merubah perilaku mereka. Contohnya, anggota keluarga
yang mengalami suatu penyakit, laporan media massa, kampanye media
massa, saran dari orang lain, poster-poster, dan label peringatan yang ada
pada sebuah produk (Hayden, 2009). Hochbaum (1958) dalam Glanz et al,
(2008) menjelaskan bahwa kesiapan individu untuk melakukan suatu
tindakan (yang didasari oleh asumsi kerentanan dan keseriusan penyakit)
18
hanya dapat dilaksanakan jika ada pengaruh potensial yang datang dari luar
individu.
f. Self efficacy
Self efficacy adalah kepercayaan seseorang pada kemampuannya dalam
melakukan susuatu hal (Bandura, 1977 cit. Hayden, 2009). Seseorang
biasanya tidak melakukan suatu tindakan kecuali dia merasa bahwa dirinya
mamapu melakukan tindakan tersebut. Jika seseorang percaya bahwa
sebuah perilaku baru bermanfaat untuk mereka, namun mereka merasa tidak
mampu untuk melaksanakannya, maka perilaku tersebut tidak akan dicoba
untuk dilaksanakan (Hayden, 2009).
HBM juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi beberapa faktor
prioritas penting yang berdampak terhadap pengambilan keputusan secara
rasional dalam situasi yang tidak menentu serta teori ini berpusat pada perilaku
kesehatan individu (Maulana, 2009).
4. LSM Victory Plus
Victory Plus adalah salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
bergerak dalam penanganan dini HIV dan AIDS. LSM ini adalah kelompok
penggagas dukungan sebaya dan pemberdayaan ODHA yang berdiri sejak
tahun 2004 (Anonim, 2014).
Victory Plus mempunyai impian untuk mencapai kualitas hidup
ODHA dan orang hidup dengan HIV/AIDS (OHIDHA) yang lebih baik dan
sebagai wadah pemberdayaan ODHA dan OHIDHA yang bebas dari stigma
dan diskriminasi. Dalam mencapai visi tersebut maka Victory Plus harus
19
menjalankan misi dengan melakukan pemberdayaan ODHA dan OHIDHA
serta mendorong keterlibatan ODHA dan OHIDHA dalam penanggulangan
HIV dan AIDS (Anonim, 2014)
LSM Victory Plus memiliki berbagai program kerja utama, yaitu
pemeberdayaan ODHA melalui kelompok dukungan sebaya, pendampingan
ODHA dan OHIDA di rumah maupun rumah sakit, peningkatan penghasilah
ODHA, sosialisasi tentang HIV/AIDS, dan pelatihan atau training yang
meliputi pelatihan public speaking, pelatihan pendidik pengobatan, dan
pelatihan pembentukan KDS (Anonim, 2014).
F. Keterangan Empiris
Keterangan empiris yang diharapkan dari penelitian ini adalah kepatuhan
penggunaan antiretroviral lini kedua pada pasien HIV/AIDS, serta faktor
pendukung dan penghambat kepatuhan penggunaan obat tersebut.
20