bab i falsafah dan paradigma
TRANSCRIPT
BAB II
FALSAFAH DAN PARADIGMA PENYULUHAN
2.1 Definisi Penyuluhan
Berikut adalah definisi mengenai penyuluhan menurut beberapa ahli, yaitu :
1. Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan
mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi,
permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha,
pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan (UU
No 16 Th 2006 Ttg Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan)
2. Extension may be defined as the science of making people innovative for sustainable improvement in their
quality of live. (Ray, 1998)
3. Penyuluhan Pertanian adalah pemberdayaan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku
agribisnis melalui kegiatan pendidikan non formal di bidang pertanian agar mereka mampu menolong
dirinya sendiri baik di bidang ekonomi, social maupun politik sehingga peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan mereka dapat dicapai. (Deptan, 2002)
4. Penyuluhan pertanian ialah suatu cara atau usaha pendidikan yang bersifat non formal untuk para petani
dan keluarganya di pedesaan (Samsudin, 1987)
5. Penyuluhan Pertanian adalah Sistem Pemberda-yaan Petani dan Keluarganya Melalui Kegiatan
Pembelajaran yang Bertujuan agar Para Petani dan Keluarganya Mampu secara Mandiri
Mengorganisasikan Dirinya dan Masyarakatnya untuk Bisa Hidup Lebih Sejahtera. (Margono Slamet)
Dapat disimpulkan:
Pengertian penyuluhan pertanian adalah proses pendidikan dengan sistem pendidikan nonformal untuk
mengubah perilaku orang dewasa agar memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang lebih baik,
sehingga sasaran dapat memilih dan mengambil keputusan dari berbagai alternatif pengetahuan yang
ada untuk menyelesaikan permasalahan dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya.
Konsep-konsep penting terkait dengan penyuluhan adalah: proses pendidikan (dengan sistem
pendidikan nonformal dan pendidikan orang dewasa), proses perubahan (menuju perilaku yang lebih
baik, sesuai yang diinginkan), dan proses pemberdayaan (memiliki pengetahuan dan kemampuan
baru).
2.2 Falsafah Penyuluhan
Falsafah penyuluhan pertanian merupakan landasan atau dasar-dasar pemikiran dalam
penyuluhan, sebagai pengarah dan pedoman dalam memberikan kegiatan penyuluhan dengan benar.
Menurut Kelsey dan Hearne (1955) menyatakan bahwa falsafah penyuluhan harus berpijak kepada
pentingnya pengembangan individu di dalam perjalanan pertumbuhan masyarakat dan bangsanya. Karena
itu, ia mengemukakan bahwa: falsafah penyuluhan adalah: bekerja bersama masyarakat untuk
membantunya agar mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia (helping people to help
themselves).
Dari pendapat tersebut, terkandung pengertian bahwa:
1. Penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat, dan bukannya bekerja untuk masyarakat (Adicondro,
1990). Kehadiran penyuluh bukan sebagai penentu atau pemaksa, tetapi ia harus mampu menciptakan
suasana dialogis dengan masyarakat dan mampu menumbuhkan, mengge-rakkan, serta memelihara
partisipasi masyarakat.
2. Penyuluhan tidak boleh menciptakan ketergantungan, tetapi harus mampu mendorong semakin terciptanya
krea-tivitas dan kemandirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa, swadaya,
swadana, dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan guna tercapainya tujuan, harapan, dan
keinginan-keinginan masyarakat sasarannya.
3. Penyuluhan yang dilaksanakan, harus selalu mengacu kepada terwujudnya kesejahteraan ekonomi
masyarakat dan peningkatan harkatnya sebagai manusia.Dari kalangan pakar Indonesia, tercatat:
Mengacu kepada pemahaman tentang penyuluhan sebagai proses pendidikan, di Indonesia dikenal adanya
falsa-fah pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro yang berbunyi:
Ing ngarso sung tulodo, mampu memberikan contoh atau taladan bagi masyarakat sasarannya;
Ing madyo mangun karso, mampu menumbuhkan inisyatif dan mendorong kreativitas, serta
semangat dan motivasi untuk selalu belajar dan mencoba;
Tut wuri handayani, mau menghargai dan mengikuti ke-inginan-keinginan serta upaya yang
dilakukan masyarakat petaninya, sepanjang tidak menyimpang/meninggalkan acuan yang ada,
demi tercapainya tujuan perbaikan kese-jahteraan hidupnya.
Masih bertolak dari pemahaman penyuluhan merupa-kan salah satu sistem pendidikan, Mudjiyo
(1989) mengingatkan untuk mengaitkan falsafah penyuluhan dengan pendidikan yang memiliki falsafah :
1. Idealisme yang berarti bahwa penyuluhan pertanian harus mampu menumbuhkan cita-cita yang melandasi
untuk selalu berfikir kreatif dan dina-mis.
2. Realisme yang berarti bahwa penyuluhan pertanian harus selalu mengacu kepada kenyataan-kenyataan
yang ada dan dapat ditemui di lapang atau harus selalu disesuaikan dengan keada-an yang dihadapi.
3. Pragmatisme yang berarti bahwa penyuluhan harus melakukan hal-hal terbaik yang dapat dilakukan, dan
bukannya mengajar kondisi terbaik yang sulit direalisir.
Selanjutnya karena penyuluhan pada dasarnya harus merupakan bagian integral dan sekaligus
sarana pelancar atau bahkan penentu kegiatan pembangunan, Margono Slamet (1989) menekankan
perlunya falsafah penyuluhan yang harus berakar pada falsafah negara Pancasila, terutama yang berka-itan
dengan sila-sila: Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Artinya, jika petani (sebagai sasaran utama penyuluhan pertanian) diminta untuk bekerja lebih
keras guna meningkatkan produk-sinya. Seluruh bangsa Indonesia juga harus mau mengangkat harkat
kaum taninya demi kemanusiaan dan keadilan sosial, yang berlandaskan pada kepercayaan kepada Yang
Maha Esa, menghargai prinsip demokrasi, serta demi tercapainya persa-tuan bangsa Indonesia.
Dalam pengertian di atas, perlu dipahami bahwa, petani bukanlah orang bodoh dan karena itu
tidaklah pantas untuk tetap dibiarkan atau bahkan dibuat hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Petani
haruslah dilihat seba-gai manusia biasa yang memiliki potensi untuk mengem-bangkan kemampuannya dan
memiliki keinginan dan harapan untuk terlepas dari kemiskinan dan penderitaan yang tidak mereka
kehendaki.
Karena itu, pelaksanaan penyuluhan pertanian harus mampu tidak saja mengem-bangkan potensi
petani tetapi juga harus mau memberikan peluang kepada kekuatannya sendiri untuk mengembang-kan
potensinya supaya terlepas dari kemiskinan dan kebodohan. Dengan demikian, penyuluhan pertanian harus
didukung oleh kegiatan lain yang dapat menjadikan petani (yang selama ini bodoh dan miskin itu) sebagai
petani-petani tangguh. Petani tangguh bukanlah petani yang dengan penuh kesabaran sanggup tahan hidup
dalam kebodohan dan penderitaan, tetapi petani yang terus menerus mampu mengem bangkan potensi yang
dimilikinya untuk dengan kreatif berswakarsa dan berswadayaa dalam meningkatkan produkti-vitas dan
pendapatannya demi perbaikan kesejahteraan keluar-ga dan masyarakatnya.
2.3 Paradigma Penyuluhan
Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian
Mengingat adanya begitu banyak perubahan yang telah dan sedang terjadi di ling-kungan
pertanian, baik pada tingkat individu petani, tingkat lokal, tingkat daerah, nasional, regional maupun
internasional, maka pelaksanaan penyuluhan pertanian perlu dilandasi oleh pemikiran-pemikiran yang
mendalam tentang situasi baru dan tantangan masa depan yang dihadapi oleh penyuluhan pertanian.
Paradigma baru ini memang perlu, bukan untuk mengubah prinsip-prinsip penyuluhan tetapi untuk
mampu merespon tantangan-tantangan baru yang muncul dari situasi baru itu. Paradigma baru itu
adalah sebagai berikut.
1. Jasa informasi.
Bertani adalah profesi para petani, dalam keadaan bagaimanapun petani akan tetap bertani (kecuali dia
pindah profesi) dan selalu berusaha dapat bertani dengan lebih baik dari sebelumnya. Untuk itu yang
mereka perlukan adalah informasi baru tentang segala hal yang berkaitan dengan usahataninya. Apakah itu
informasi baru tentang teknologi budidaya pertanian, tentang sarana-sarana produksi, permintaan pasar,
harga pasar, cuaca, serangan dan ancaman hama dan penyakit, berbagai alternatif usahatani lain, dan lain
sebagainya.
Dengan mendapatkan informasi-informasi yang relevan dengan usahataninya itu para petani akan
meningkat kemampuan dan kemungkinannya untuk membuat keputusan-keputusan yang lebih baik dan
yang lebih menguntungkan bagi dirinya sendiri dan tidak tergantung pada keputusan orang atau fihak lain.
Informasi adalah bahan mentah untuk menjadi pengetahuan, dan pengetahuan itu sangat diperlukan untuk
bisa mempertahankan hidupnya, apalagi untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
2. Lokalitas.
Akibat dari adanya desentralisasi dan kemudian otonomi daerah, penyuluhan pertanian harus lebih
memusatkan perhatian pada kebutuhan pertanian dan petani di daerah kerjanya masing-masing. Ekosistem
daerah kerjanya harus dikuasai dengan baik secara rinci, ciri-ciri lahan dan iklim di daerahnya harus
dikuasai dengan baik, informasi-informasi yang disediakan haruslah yang sesuai dengan kondisi daerahnya,
teknologi yang dianjurkan haruslah teknologi yang sudah dicoba dan berhasil baik di daerah yang bersang-
kutan, pokoknya semua informasi dan anjuran harus yang benar-benar sesuai dengan kondisi daerah dan
ini diketahui karena sudah melalui ujicoba setempat. Sebenarnya prinsip lokalitas ini dalam penyuluhan
bukanlah prinsip baru, tetapi di masa lalu tak dapat dilaksanakan dengan baik karena prasarananya tidak
mendukung. Mudah-mudahan dalam era otoda ini kondisinya lebih memungkin-kan.
3. Berorientasi agribisnis.
Usahatani adalah bisnis, karena semua petani melakukan usahatani dengan motif mendapatkan
keuntungan. Kebutuhan keluarga petani pada saat ini telah sangat berkembang dibandingkan beberapa
tahun sebelumnya. Hampir semua kebutuhan perlu dibeli ataupun dibayar dengan uang. Kebutuhan
keluarga ini akan terus berkembang seiring dengan meningkatnya taraf kehidupan mereka, se-hingga para
petani memerlukan pendapatan yang semakin banyak dari usaha-taninya. Untuk mendapatkan itu para
petani perlu mengadopsi prinsip-prinsip agribisnis agar mereka memperoleh pendapatan yang lebih besar
dari hasil usahataninya. Penyuluhan dimasa lalu lebih menekankan perlunya meningkatkan produksi
usahatani, dan kurang memperhatikan pendapatan atau keuntungan . Oleh karena itu di masa depan
penyuluhan pertanian harus berorientasi agribisnis, memperhatikan dan memperhitungkan dengan baik
masalah pendapatan dan keuntungan itu.
4. Pendekatan Kelompok .
Materi-materi penyuluhan pertanian seperti dibahas pada butir-butir di atas disajikan kepada para
petani tidak dengan pendekatan individual, tetapi melalui pendekatan kelompok, kecuali untuk kasus-kasus
tertentu yang memang memer-lukan pendekatan individual. Pendekatan kelompok ini disarankan bukan
hanya karena pendekatan ini lebih efisien, tetapi karena pendekatan itu mempunyai konsekuensi
dibentuknya kelompok-kelompok tani, dan terjadinya interaksi antar petani dalam wadah kelompok-
kelompok itu.
5. Fokus pada kepentingan petani.
Kepentingan petani harus selalu menjadi titik pusat perhatian penyuluh-an pertanian. Kalaupun
ada kepentingan-kepentingan lainnya, tetap kepentingan petani adalah yang pertama, yang kedua juga
kepentingan petani, juga yang ketiga. Baru sesudah itu difikirkan kepentingan fihak lain. Di masa-masa lalu
kepentingan petani selalu dikalahkan oleh kepentingan nasional, yang berakhir dengan kurang
diperhatikannya kepentingan petani. Menjadikan petani sebagai ”tumbal” pembangunan nasional itu perlu
dihentikan. Eksploitasi petani sebagai fihak yang lemah untuk kepentingan fihak lain harus dihentikan
antara lain dengan memberdayakan mereka menjadi fihak yang lebih kuat. Penyuluhan pertanian di masa
depan harus jelas-jelas berfihak kepada petani, dan bukan kepada lainnya. Dalam agribisnis penyuluh harus
berfihak pada petani, bukan pada pengusaha.
6. Pendekatan humanistik-egaliter.
Agar berhasil baik penyuluhan pertanian harus disajikan kepada petani dengan menempatkan
petani dalam kedudukan yang sejajar dengan penyuluhnya, dan diperlakukan secara humanistik dalam arti
mereka dihadapi sebagai manusia yang memiliki kepentingan, kebutuhan, pendapat, pengalaman,
kemampuan, harga diri, dan martabat. Mereka harus dihargai sebagaimana layaknya orang lain yang sejajar
dengan diri penyuluh, atau bahkan yang berkedudukan lebih tinggi dari penyuluh yang bersangkutan. Kalau
para petani tidak diperlakukan semacam itu, kecenderungannya mereka tidak akan memberi respon yang
positif terhadap materi penyuluhan yang dibawakan oleh para penyuluh. Dengan pendekatan yang
humanistik-egaliter semacam itu akan tumbuh sikap saling menghargai antara penyuluh dan petani, dan
akibat selanjutnya ialah kepentingan-kepentingan petani akan mendapatkan perhatian utama dari para
penyuluh dan petani akan menghar-gai usaha-usaha penyuluh..
7. Profesionalisme
Penyuluhan pertanian di masa depan harus dapat dilaksanakan secara profesional dalam arti
penyuluhan itu tepat dan benar secara teknis, sosial, budaya dan politik serta efektif karena direncanakan,
dilaksanakan dan didukung oleh tenaga-tenaga ahli dan terampil yang telah disiapkan secara baik dalam
suatu sistem penyuluhan pertanian yang baik pula. Penyuluhan yang profesional itu juga didukung oleh
faktor-faktor pendukung yang tepat dan memadai, seperti peralatan dan fasilitas lainnya, informasi, data,
dan tenaga-tenaga ahli yang relevan.
8. Akuntabilitas
Akuntabilitas atau pertanggung-jawaban, maksudnya setiap hal yang dila-kukan dalam rangka
penyuluhan pertanian harus difikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, agar
proses dan hasilnya dapat dipertang-gung-jawabkan. Sistem pertanggung-jawaban itu harus ada dan
mengandung konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi penyuluh-penyuluh yang bersangkutan, apakah itu
berupa konsekuensi positif (penghargaan) ataupun negatif (hukuman). Prinsip akuntabilitas ini diperlukan
untuk menjadi penyeimbang prinsip otonomi penyuluhan yang sudah disarankan sebelumnya. Akuntabilitas
ini jaga merupakan unsur yang tak terpisahkan dari profesionalisme, dan merupakan kelanjutan dari
evaluasi.
9. Memuaskan Petani
Apapun yang dilakukan dalam penyuluhan pertanian haruslah membuah-kan rasa puas pada para
petani yang bersangkutan dan bukan sebaliknya kekece-waan. Petani akan merasa puas bila penyuluhan itu
memenuhi sebagian ataupun semua kebutuhan dan harapan petani. Ini berarti kegiatan penyuluhan haruslah
di-rencanakan untuk memenuhi salah satu atau beberapa kebutuhan dan harapan petani. Sebagian besar
prinsip yang telah dikemukakan di atas sebenarnya bisa diartikan untuk memuaskan petani juga, tetapi
rangkuman dari semua prinsip itu haruslah tetap bernuansa memuaskan petani. Karena itulah prinsip
memuaskan petani itu dikemukakan di sini sebagai prinsip tersendiri.