bab i - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95702/potongan/s2-2016... ·...

25
BAB I Pendahuluan 1.1 Latar belakang Diskursus gerakan politik Islam telah lama menjadi perdebatan oleh sejumlah cendekiawan. Para sarjana menjabarkan isu ini dengan sangat serius dalam berbagai bentuk kajian seperti halnya dari segi sisi historis, teologi, politik, dan kultur (Dabashi, 1989; Fuller & Lesser, 1995; Hefner, 2005; Hodgson, 2002; Jindan, 1979; Springer, Regens, & Edger, 2009; Springer et al., 2009; Wahid (ed), 2009). Mereka berargumentasi untuk mempertanyakan mengenai Islam yang benar dengan tujuan menguatkan atau melemahkan masing-masing argumen yang saling bertentangan. Dinamika wacana ini berselancar di seluruh jagat. Tidak hanya berkutat di Negara- negara Islam seperti Arab Saudi dan Negara-negara Timur Tengah lain, gagasan politik Islam juga muncul di Negara, yang secara ideologis, tidak memancangkan agama sebagai basis utama layaknya Indonesia. Di Indonesia, diskurus ini juga muncul. Banyak kalangan mencoba berkontribusi dalam hal ini. Menjadi populasi muslim terbesar di dunia (Woodward, 2010), kontestasi kepentingan politik juga bergemuruh di sini. Syaifudin Jurdi (2008) mengelaborasikan pemikirannya dalam buku bertajuk Pemikiran Politik Islam Indonesia. Jurdi (2008, 343-348) menyatakan bahwa dalam sejarah Indonesia, terdapat banyak macam pergerakan islam yang bermunculan di nusantara. Setelah

Upload: phunghuong

Post on 03-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar belakang

Diskursus gerakan politik Islam telah lama menjadi perdebatan oleh sejumlah

cendekiawan. Para sarjana menjabarkan isu ini dengan sangat serius dalam berbagai

bentuk kajian seperti halnya dari segi sisi historis, teologi, politik, dan kultur

(Dabashi, 1989; Fuller & Lesser, 1995; Hefner, 2005; Hodgson, 2002; Jindan, 1979;

Springer, Regens, & Edger, 2009; Springer et al., 2009; Wahid (ed), 2009). Mereka

berargumentasi untuk mempertanyakan mengenai Islam yang benar dengan tujuan

menguatkan atau melemahkan masing-masing argumen yang saling bertentangan.

Dinamika wacana ini berselancar di seluruh jagat. Tidak hanya berkutat di Negara-

negara Islam seperti Arab Saudi dan Negara-negara Timur Tengah lain, gagasan

politik Islam juga muncul di Negara, yang secara ideologis, tidak memancangkan

agama sebagai basis utama layaknya Indonesia.

Di Indonesia, diskurus ini juga muncul. Banyak kalangan mencoba

berkontribusi dalam hal ini. Menjadi populasi muslim terbesar di dunia (Woodward,

2010), kontestasi kepentingan politik juga bergemuruh di sini. Syaifudin Jurdi (2008)

mengelaborasikan pemikirannya dalam buku bertajuk Pemikiran Politik Islam

Indonesia. Jurdi (2008, 343-348) menyatakan bahwa dalam sejarah Indonesia,

terdapat banyak macam pergerakan islam yang bermunculan di nusantara. Setelah

2

keruntuhan rezim Suharto, gerakan Islam yang sempat dibungkam selama beberapa

dekade mengemuka dan berpretensi memperlihatkan diri dengan berbagai macam

cara. Untuk sekadar menyebut macam-macam pergerakan tersebut adalah, antara lain,

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Laskar Jihad (LK), Front

Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

Bangkitanya gairah gerakan Islam pasca orde baru tidak bisa dilepaskan dari

sejarah politik bangsa yang, menurut Syaifuddin Jurdi, telah melemahkan isu dan

wacana tentang Islam. Hegemoni politik tersebut, setidaknya, berlaku sejak

Demokrasi Terpimpin (1959) yang kemudian diteruskan oleh rezim berkuasa pada

1967. Imbasnya adalah terjadi politik hegemoni negara terhadap Islam. Meskipun,

pada dekade 1970-an diskursus intelektual mengenai Islam dan negara kembali

menghangat, akan tetapi tidak sesemarak pada dekade-dekade sebelumnya (Jurdi,

2006).

Antagonisme negara terhadap Islam semakin mengencang tatkala Orde Baru di

bawah kepemimpinan Soeharto berkuasa. Pada saat itu, pemerintah menaruh curiga

terhadap organisasi Islam yang berpretensi mendirikan negara Islam. Situasi ini

berlanjut hingga tahun 1980-an. Pada saat itu, umat Islam mulai akomodatif terhadap

terhadap gagasan asas tunggal yang dijadikan haluan dalam kehidupan sosial dan

politik. Diskriminasi yang diterapkan pemerintah Orde Baru terhadap Islam membuat

polarisasi di dalam tubuh umat Islam ke dalam berbagai bentuk perjuangan. Ada yang

berjuang dalam bidang kultural yang meliputi pendidikan, dakwah, kesehatan, dan

lain sebagainya. Begitu pun tak luput juga perjuangan struktural yang

termanifestasikan dalam bentuk produk hukum dan kebijakan publik (Jurdi, 2006).

3

Sebagai akibat dari sikap represif yang ditujukan kepada umat Islam selama

beberapa dekade tersebut menimbulkan euforia pada umat Islam ketika kekuasan

Soeharto runtuh pada 1998. Runtuhnya kekuasan Soeharto pada 1998 membuka

kesempatan bagi berkembangnya gerakan Islam di Indonesia (Muhtadi, 2009).

Menurut Moch Nur Ichwan (2014: 101) tumbangnya rezim Soeharto membuka

peluang transformasi politik yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Hizbut at-Tahrir—yang merupakan hulu dari lahirnya HTI—sangat serius

memperjuangkan gagasan khilafah. Bagi organisasi transnasional ini, khilafah disebut

sebagai sistem politik yang telah pernah ada sejak era kepemimpinan Nabi

Muhammad sampai pada keruntuhannya pada tahun 1924. Atas klaim sepihak ini,

Ainur Rofiq mengajukan kritik sejarah yang dapat harus dipertimbangkan.

Dalam menyebarkan gagasannya, HTI menggunakan berbagai media. Salah

satunya adalah dengan menggunakan laman hizbut-tahrir.or.id sebagai media

penyebar ideologi dan gagasan mereka. Sebagai organisasi yang memiliki konsentrasi

dalam diskursus khilafah, HTI sangat diperhitungkan. Deklarasi khilafah yang

dikumandangkan oleh Abu Bakar al-Baghdady tidak mendapatkan respons positif dari

HTI. Sebagaimana dijelaskan di pembukaan tulisan ini, HTI menolak klaim

kekhalifahan yang diproklamirkan oleh Abu Bakar al-Baghdady. Namun, di saat yang

bersamaan pula, HTI masih terus mempropagandakan gagasan khilafah di sejumlah

penerbitannya.

Dalam penelitian ini dikhususkan untuk mengkaji konstruksi wacana

kontemporer terkait gagasan khilafah yang dibangun di laman hizbut-tahrir.or.id.

Wacana kontemporer dipilih untuk mengetahui dan melacak bagaimana HTI

4

membingkai dan merespons isu-isu kontemporer, yang mana menjadi tema dalam

rangka menyokong gagasan khilafah. Hal tersebut akan menunjukkan pada bidang

apa saja HTI memiliki konsentrasi sehingga akan menampilkan gambaran mengenai

isu kontemporer apa saja yang dijadikan sebagai propaganda untuk mendukung

gagasan utama HTI.

Yeni Ratnayuningsih dalam Islam, Media, and Social Responcibility in the

Muslim World (2013: 583) menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir media

internet memerankan fungsi sigfinikan dalam lapisan masyarakat. Hal tersebut

ditandai dengan menjamurnya berbagai budaya populer yang mempengaruhi budaya

anak muda, yang mana termasuk di dalamnya adalah di dunia Islam. Diskursus dunia

Islam pun bermunculan dari beragam variasi pemikiran.

Di Indonesia, pengguna internet mengalami pertumbuhan yang sangat

signifikan. Menurut Kementrian Komunikasi dan Informatika (http://kominfo/go.id),

pengguna internet di Indonesia mencapai angka 82 juta pengguna1. Dengan pengguna

sebanyak itu menegaskan pengaruh kuat atas informasi yang terdapat di internet.

Seturut dengan itu, menurut Imamah (2014: 16) pada tahun 2008 banyak

bermunculan media Islam, termasuk media Islam militan. Disebutkan bahwa dalam

1http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3980/Kemkominfo%3A+Pengguna+Internet

+di+Indonesia+Capai+82+Juta/0/berita_satker#.Vqc_0Z7GpDY diakses pada 10/11/2015 Angka tersebut seolah mengamini hipotesa Don Topscott mengenai The Net Generation,

sebuah zaman di mana orang-orang memiliki akses terhadap internet sejak dari kecil, sehingga memiliki intimitas dan cara penggunaan yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh generasi sebelumnya. Orang-orang dengan label The Net Generation mengakses dunia internet dengan intensitas dan produktivitas yang sama sekali berbeda. Mereka melakukan berbagai macam aktivitas dalam satu waktu; satu hal yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu (Tapscott, 2009).

5

catatan Alexa Global2 terdapat sepuluh laman terpopuler dalam lingkup media Islam

Indonesia yang dihitung dalam pemeringkatan global. Mereka antara lain dakwatuna

(12.423), arrahmah.com (16.268), islampos.com (17.743) voa-islam (18.693),

eramuslim.com (30.754), bersamadakwah.com (37.523), fimadani.com (52.391),

hidayatullah.com (60.568), islamedia.web.id (83.899), dan akhwatmuslimah.com

(85.654).

Dibandingkan dengan media-media Islam lain yang tidak secara tegas

mendeklarasikan diri sebagai penyokong utama gagasan khilafah, pemilihan hizbut-

tahrir.or.id menjadi urgen mengingat laman ini merupakan laman resmi dari

organisasi Hizbut Tahrir Indonesia. Dengan demikian, melakukan penelitian atas

laman ini terkait khilafah ini menjadi sangat representatif untuk mengetahui seberapa

jauh pandangan dan pemikiran yang tercermin dari gerakan Islam transnasional

tersebut. Perhatian yang mendalam terhadap isu khilafah ini tercermin dalam rubrikasi

―Seputar Khilafah‖. Dalam rubrik ini dimuat berbagai argumen, opini, serta impian-

impian mengenai khilafah. Hal ini menjadi penguat bahwa situs terkait memang

memiliki perhatian khusus terhadap isu ini, karena memang di samping gerakan

Hizbut Tahrir diniatkan untuk mendirikan kekhilafahan.

Hizbut-tahrir.or.id merupakan portal yang menyediakan beragam tulisan yang

mempropagandakan berdirinya khilafah. Hizbut-tahrir.or.id mendapatkan peringkat

ke-1845 dalam pemeringkatan se-Indonesia berdasarkan pemeringkatan sesuai data

2 Alexa merupakan laman yang mengalisis lalu-lintas dan menyediakan lalu-lintas

dan memperingkat status laman. Ditemukan oleh perusahaan independen pada 1996, alexa.com akhirnya diakuisisi oleh Amazon pada 1999. Alexa mengalisis lalu-lintas laman sesuai dengan kunjungan yang didapatkan dari laman tertentu. Untuk informasi lebih lanjut bisa mengunjungi https://en.wikipedia.org/wiki/Alexa_Internet. Diakses pada 2/11/2015.

6

yang peneliti rujuk dari alexa.com. Dalam skala global, hizbut-tahrir.or.id menempati

posisi 126.987 dan memiliki site-link sebanyak 551 buah.

Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini ingin memperlihatkan dan

memfokuskan diri pada wacana kontemporer yang digunakan dalam laman hizbut-

tahrir.or.id terkait dengan gagasan khilafah. Wacana kontemporer menjadi urgen

mengingat bahwa wacana-wacana tersebut digunakan untuk melihat konsistensi HTI

merespons isu-isu terkini. Dengan mengetahui kesinambungan isu yang diusung akan

terlihat bagaimana peta politik yang menjadi sarana HTI dalam menyokong gagasan

khilafahnya.

1.2 Rumusan Masalah

2. Tema apa yang digunakan dalam membangun wacana khilafah terkait wacana

kontemporer pada hizbut-tahrir.or.id?

3. Metode apa yang digunakan dalam membangun wacana khilafah pada hizbut-

tahrir.or.id?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui konstruksi wacana khilafah dalam laman hizbut-tahrir.or.id. Penelitian ini

juga bermaksud mengetahui argumentasi dan legetimasi serta preferensi apa yang

dibangun, utamanya jika dihubungkan dengan konteks Indonesia. Disamping itu juga

untuk mengetahui apa saja yang imajinasi-imajinasi yang dipropagandakan oleh

hizbut-tahrir.or.id seputar khilafah. Penelitian ini berkontribusi mengetahui rekam

jejak ideologi yang disebarkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), lewat medianya,

7

sehingga didapatkan gambaran mengenai preferensi politiknya. Dalam lingkup

akademik, penelitian ini akan melengkapi sejumlah literatur bacaan yang terdahulu

terkait Islam politik di Indonesia, terkhusus kaitannya dengan wacana khilafah yang

terus dipropagandakan oleh HTI dan, semoga, dapat memberikan sumbangan

terhadap penelitian-penelitian terkait.

1.4 Kajian Pustaka

Dalam kajian pustaka ini, peneliti memperlihatkan sejumlah literatur yang

berkaitan dengan kajian. Sehingga akan memperlihatkan perbedaan konteks penelitian

yang dilakukan. Untuk tujuan itu, peneliti akan membaginya ke dalam dua kategori.

Pertama, literatur yang membahas mengenai doktrin khilafah. Dan kedua, mengenai

gagasan Hizbut Tahrir Indonesia.

Pada kategori pertama, terdapat beberapa rujukan literatur yang membahas

mengenai doktrin khilafah. Yunasril Ali menulis Kekhalifahan dan Tanggung Jawab

Global (2008). Tulisan dalam rangka merespons atas tulisan Nurkholish Madjid

berjudul ―Kalam Kekhalifahan Manusia dan Reformasi Bumi: Suatu Percobaan

Pendekatan Sistematis terhadap Konsep Antropologi Islam‖ ini mengurai terlebih

dulu makna yang terkandung dalam kata khalifah secara leksikal. Menurutnya Ali

kata khalifah merupakan derivasi dari kata dasar khalf, yang artinya di belakang. Oleh

karena itu, khalifah berarti ―yang datang belakangan‖.

Buku yang secara khusus membahas khilafah adalah buku berjudul

Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila (2014). Buku yang dieditori oleh

Komaruddin Hidayat ini memuat beragam perspektif dari berbagi akademisi. Haidar

8

Bagir, misalnya, lewat tulisan berjudul Islam dan Kepemimpinan Politik Antara

Otoritas dan Demokrasi menyatakan bahwa persoalan yang tak ada habisnya adalah

persoalan hubungan Islam dan kepemimpinan politik. Sejak Nabi Muhammad hingga

wafatnya, Islam selalu bersentuhan dengan hal-ihwal politik. Menurut Bagir, politik

menjadi suatu pusat dalam rangka meraih tujuan-tujuan. Manusia, sebagai entitas

Negara, harus bekerja sama untuk mengorganisasikan diri dan mengatur dan

memecahkan persoalan bersama. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam suatu

asosiasi manusia dibutuhkan suatu kepemimpinan yang dapat menjalankan roda

kehidupan dengan baik.

Sementara itu, Fuad Jabali, dosen di Fakultas Adab dan Humaniora UIN

Syarif Hidayatullah lewat tulisan Khilafah: Antara Suku dan Agama (2014) mengurai

sengkarut khilafah kaitannya dengan persoalan suku dan agama. Jabali menjelaskan

bahwa khilafah sebagai sistem politik kesukuan yang kental sempat mengendur ketika

Nabi Muhammad menyodorkan tawaran konsepsi dengan detribalisasi. Namun,

sayangnya, semangat kesukuan kembali menguat pasca wafatnya Nabi. Bahkan,

berdirinya khilafah setelah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali melambangkan

sukuisme yang tinggi. Sementara itu, Nadirsyah Hosen dalam tulisan berjudul

Khilafah Islam, Fiktif! (2014) dengan tegas menyebut mendirikan khilafah tidak

wajib. Bahkan dosen senior di University of Wolonggong ini menyamakan khilafah

dengan apa yang ada di sekitar kita. Implementasi dari pemikiran ini kemudian

menyiratkan bahwa dalam suatu perkumpulan manusia mesti harus ada yang didaulat

menjadi pemimpin.

9

Beberapa literatur di atas memberikan pemahaman mengenai diskursus

khilafah dalam berbagai bentuk analisa. Sedangkan, untuk kategori kedua akan

diperlihatkan sejumlah literatur yang membahas mengenai penetrasi gerakan HTI

dalam mempropagandakan gagasan khilafah.

Syamsul Rizal, dalam makalah berjudul Indoctrinating Muslim Youth: Seeking

Certainly Through An-Nabhanism memaparkan cara-cara yang ditempuh oleh HTI

dalam menanamkan pahamnya kepada pemuda. Di antara cara-cara tersebut adalah

halqa. Dijelaskan bahwa metode ini ditujukan bagi anggota baru di bawah bimbingan

supervisor yang telah berpengalaman. Sistem ini digunakan untuk membedakan

dengan proses yang didapatkan di sekolah ataupun universitas. Tujuan dari halqa ini

tidak sekadar dijadikan tempat untuk mendidik anggota tersebut, melainkan lebih dari

itu yakni meningkatkan apa yang telah mereka pelajari dalam kehidupan keseharian.

Melalui The Image of the Other as Enemy: Radical Discourse in Indonesia

(2006), Mohammad Iqbal Ahnaf menjelaskan problem yang dihadapi oleh dua

organisasi Islam; Majelis Mujahidin Indonesia dan Hisbut Tahrir Indonesia. Iqbal

mengawali tinjauannya dengan mengalisis kacamata pandang yang digunakan oleh

keduanya dalam menilai orang yang memiliki kepercayaan yang berbeda alias non-

Muslim. (Ahnaf, 2006) . Kajian tentang HTI yang lain juga datang dari Iqbal Ahnaf

yang berjudul From Revolution to„ Refolution‟ A Study of Hizb al Tahrir, Its Changes

and Trajectories in the Democratic Context of Indonesia. Di sini, Iqbal Ahnaf

memperlihatkan telah terjadi pergeseran strategi yang dilakukan HTI dalam

mempromosikan gagasannya. Stategi tersebut adalah dengan melawan demokrasi di

negara demokrasi.

10

Buku Proyek Khilafah HTI: Perspektif Kritis (2015) mempertanyakan ulang

gagasan khilafah, baik secara historis maupun kekinian. Yang membedakan buku ini

dengan buku-buku sejenis adalah bahwa buku ini ditulis oleh seseorang yang pernah

berkecimpung sebagai aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurutnya, gagasan

Negara Islam yang diperjuangkan HTI tidak hanya memaksakan nalar berpikir. Buku

ini mempertanyakan eksistensi HTI di Indonesia dengan titik tekan kepada konsepsi

ideologi HTI. Uraian Ainur Rofiq sangat teoritis dan secara umum memotret ideologi

HTI.

Penelitian mengenai HTI yang berbasis daerah ditulis oleh Syamsul Arifin.

Penelitian ini dilakukan di Malang. Disertasi yang kemudian dibukukan dengan judul

Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizbut al-

Tahrir Indonesia (Arifin, 2005) tersebut berkesimpulan Hizbut Tahrir termasuk dalam

kategori kelompok fundamentalistik. Kesimpulan tersebut didasarkan pada beberapa

alasan. Pertama, gerakan ini memiliki orientasi politik yang ditujukan untuk

menggantikan sistem politik sekuler. Ideologi yang digunakan di Indonesia, termasuk

di dalamnya ideologi Pancasila tidak tepat sasaran sehingga menimbulkan dampak

krisis fundamental dan multidimensional. Kedua, berbekal sejarah, menurut Hizbut

Tahrir, Islam pernah mengalami masa kegemilangan selama 1300 tahun sebagai

konsekuensi logis dari penerapan Islam sebagai ideologi (mabda‟).

Penelitian lain datang dari Paul Danier Boyer. Thesis penelitian berjudul Bad

Ideology Leads to Bad Behaviour: Why Muslim Reformers Must Present an

Authoritative, Comprehensive, and Compelling Counter-Narrative to Islamism

menyajikan hasil penelitiannya atas laman http://english.hizbut-tahrir.org. Tesis ini

11

menganalisis ideologi dan retorika kunci para intelektual Islam yang terdapat dalam

laman tersebut di atas. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa ideologi dan

retorika yang digunakan dalam laman tersebut berpotensi menjadi pelatuk akan

terjadinya penggunaan kekerasan atau setidaknya berkontribusi atas aksi-aksi

kekerasan. Penelitian ini juga menyatakan bahwa retorika dan ideologi yang

ditampilkan dalam laman terkait dapat mempengaruhi pemahaman pembaca (Boyer,

2011).

Sementara itu, penelitian yang mengkomparasikan dua kategori di atas

tercermin dari buku Mandaville, P. G. Transnational Muslim politics: reimagining the

umma (2001) dan Burhanuddin Muhtadi The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia

(2009). Gagasan mengenai ―Imagined Ummah‖, awalnya, telah dipergunakan terlebih

dahulu, namun dalam ruang lingkup pembahasan yang sangat luas. Dalam artian tidak

fokus mengalisa gagasan organisasi tertentu. Sementara Muhtadi, melakukan hal

sama, akan tetapi lebih menspesifikkan untuk kasus HTI.

Berbeda dengan berbagai literatur di atas, utamanya karya Mandaville dan

Muhtadi, penelitian ini menelisik ―The Imagined Ummah‖ menggunakan analisis

wacana. Sehingga dapat diungkap penggunaan bahasa mereka dalam

mempropagandakan restorasi khilafah.

Berbagai kajian tersebut di atas memperlihatkan berbagai kajian yang

membahas mengenai gagasan khilafah dengan bermacam perspektif. Di samping itu

juga membahas secara spesifik mengenai organisasi-organisasi yang mendukung

gagasan khilafah tetap ada. Pada penelitian ini bagaimana isu kontemporer digunakan

oleh HTI untuk melegitimasi argumentasi mengenai khilafah. Mengingat bahwa

12

dalam penelitian ini menitikberatkan pada konstruksi wacana khilafah yang

dipropagandakan melalui laman hitbut-tahrir.or.id, maka akan sangat penting untuk

mengetahui beberapa kajian yang terkait dengan beberapa hal yang disebutkan di atas.

Untuk menjelaskan perbedaan penelitian dengan penelitian, buku, dan artikel jurnal

yang telah terbit sebelumnya, akan diperlihatkan.

1.5 Kerangka teori

Ada dua konsep utama yang digunakan sebagai alat analisa dan sekaligus

perpektif dalam tesis ini yakni kajian mengenai reimajinasi ummah dan komunitas

terbayangkan (Imagined Community) dan Dua teori ini urgen untuk mendukung

analisis temuan atas konstruksi wacana yang dibangun terkait khilafah di laman

hizbut-tahrir.or.id. Yang pertama digunakan untuk membangun argumen tentang

imajinasi yang terbayangkan mengenai berdirinya khilafah. Yang kedua diniatkan

untuk menitikberatkan pada seberapa penting wacana khilafah didengungkan sebagai

imbas dari perhatian yang berkecukupan terkait isu tersebut.

1.5.1 Ummah

Dalam Islam dikenal terminologi ummah yang menjadi perbincangan dan

sekaligus perdebatan banyak pemikir. Terminologi ini sangat bersinggungan dengan

riwayat masa lalu Islam. Menurut Ejaz Akram (2007: 383) kata ummah disebut

sebanyak 62 kali di dalam al-Qur‘an dengan intensi komunitas agama. Ternyata, di

dalam al-Qur‘an, penyebutan kata ummah memiliki perkembangan kronologi

mengenai konsep ummah; dari yang semula dipahami sebagai kata umum kemudian

digunakan secara khusus untuk agama-agama abrahamik seperti Yahudi, Kristen, dan

Islam. Namun, adakalanya, penggunaan kata ummah juga dikhususkan bagi

13

komunitas Islam, yakni pada masa Nabi Muhammad tinggal di Madinah (Akram,

2007).

Kata ―Ummah‖ merupakan identitas sosial yang unik dalam Islam. Terma ini

dikhususkan bagi komunitas Islam yang mana beranggotakan orang-orang Islam (van

Nieuwenhuijze, 1959). Penelitian ini sendiri menitikberatkan pada konstruksi

pemaknaan dan penjabaran kata ummah yang termanifestasikan dalam kerangka pikir

khilafah. Menurut Ajez Akram (2007), dalam Al-Qur‘an, kata ummah muncul

sebanyak 62 kali dengan intensinya sebagai komunitas keagamaan. Dalam

kronologisnya, kata ummah juga digunakan oleh bangsa Yahudi, Kristen, selanjutnya

untuk kaum Islam. Pada saatnya, Al-Qur‘an menggunakan kata ummah yang hanya

ditujukan bagi komunitas kecil kaum Islam. Terkhusus lagi pada periode kehidupan

Nabi Muhammad di Madinah, sehingga intensi penggunaan kata ummah terkesan

eksklusif.

Menurut Elizabeth Pooley (2015: 32), konsep ummah muncul dari gagasan

bahwa muslim merupakan satu kelompok global yang terkoneksi (globally connected

group). Satu ayat Al-Qur‘an yang menjadi rujukan atas gagasan tersebut lahir dari

ayat 3: 110 yang berbunyi: ―Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk

manusia, menyuruh yang makruf, dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada

Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara

merkea ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.‖

Dalam perjalanannya, terjadi evolusi makna kata ummah yang tidak hanya

tertuju pada umat Islam. Ajez Akram mencatat (2007: 386) kata ummah dalam

piagam Madinah menyertakan umat Yahudi dan yang lainnya di mana mereka hidup

14

secara harmonis bersama dengan umat Islam. Sama dengan argumentasi Ajez Akram,

Ali Bulac berargumentasi bahwa piagam madinah merupakan suatu konsensus yang

terjadi antara Nabi Muhammad, orang-orang Yahudi, dan orang-orang musyrik yang

memberikan otoritas kepada kaum muslim menguasai kota Arab, namun di saat yang

bersamaan juga melindungi hak-hak mereka (Pohan, 2014).

Konsep negara Islam sendiri datang belakangan, yakni menyambut

berakhirnya kerajaan Ottoman dan utamanya dalam rangka menyambut gagasan

Maududi dan sejumlah ikhwan al-muslimin. Meski memiliki jejak historisitas, terma

ummah datang belakangan. Tepatnya ketika para nasionalis Arab memulai

menggunakan terma ummah untuk mendeskripsikan semua Arab atau al-ummah al-

arabiyya. Penyebutan ummah tersebut tidak secara figuratif dipersonalisasikan kepada

konsep lama yang hanya secara spesifik ditujukan kepada komunitas tertentu, yang

dalam hal ini adalah Islam (Ayubi, 1991).

Sebagai sebuah ideologi, gagasan tentang ummah tentu mempengaruhi orang-

orang yang memiliki persinggungan dengan wacana ini. Ideologi, menurut Graham C.

Kinloch dalam Ideology and the Social Science (1981), ialah basis argumentasi yang

digunakan oleh golongan tertentu yang muncul dari pandangan dunia untuk

menjustifikasi suatu perilaku dan tindakan. Maka, ketika sekelompok orang

melakukan suatu tindakan tertentu, kekerasan misalnya, bisa disinyalir merupakan

imbas dari pemahaman atas ideologi yang dijadikan landasan berpikir. Pada titik ini,

jika paradigma sosial atau pandangan agama dijadikan sebagai ideologi, akan muncul

dua karakteristik. Pertama, akan terjadi formulasisasi ideologi yang dimaksudkan agar

mencapai suatu tujuan. Kedua, penggunaan ideologi digunakan agar dapat menggapai

15

tujuan politik. Dengan sederhana bisa dikatakan bahwa ideologi diposisikan sebagai

pendorong atau sebagai ―simbol senjata politik‖. Sebagai sistem simbol, ideologi

memerankan peran signifikan terhadap tindakan sosial tertentu. Pada taraf yang lebih

akut, ideologi menegasikan segala bentuk perbedaan, termasuk dalam perkara

epistiomologi. Penafsiran terhadap sesuatu, tak pelak, sangat dipengaruhi oleh

ideologi tertentu (Purnomo, 2009).

1.5.2 Imagined Community

Pembicaraan mengenai ―komunitas terbayangkan‖ atau lebih dikenal dengan

sebutan Imagined Communities tidak bisa dilepaskan dari narasi yang dibangun oleh

Benedict Anderson. Yang perlu digarisbawahi dalam penelitian ini adalah bahwa

penelitian ini menggunakan teori ―Komunitas Terbayangkan‖ bukan dalam kerangka

memahami nasionalisme. Akan tetapi sebagai sebuah gambaran mengenai suatu cita-

cita yang diharapkan oleh suatu komunitas tertentu sehingga lahir apa yang sering

disebut dengan Imagined Community. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa

kerangka pikir yang dibangun oleh Benedict Anderson dalam menteorisasiakan

―Komunitas Terbayangkan‖ tidak bisa dilepaskan dari asal-muasal pemahamannya

dan penjabarannya mengenai nasionalisme (Anderson, 1991).

Untuk memudahkan dalam memahami berbagai istilah dan penggunaannya, di

sini akan dibahas mengenai terma bangsa (nation) yang dipopulerkan oleh Benedict

Anderson (Imagined Communities,1991). Kebanyakan orang berpikir dan

berkesimpulan bahwa bangsa yang dijabarkan Anderson adalah satu perkara yang

memang terbayangkan dan tidak pernah terwujud sebelumnya. Padahal, terdapat

kompleksitas tersendiri ketika membicarakan konsepsi bangsa (nation) itu.

16

Dalam kerangka yang sama, sebagaimana dijabarkan Anderson (1991: 6),

bahwa defenisi bangsa adalah ―an imagined political community—and imagined as

both inherently limited and sovereign‖. Imajinasi yang dimaksud adalah bahwa

anggota-anggota yang tergabung di dalamnya tidak akan pernah mengetahui satu

dengan yang lain, bertemu, dan apalagi mendengar satu dengan yang lain. Imajinasi

tersebut kemudian membawa pada apa yang Ernest Gelner jelaskan: ―he assimilates

„invention‟ to „fabrication‟ and „falsity‟, rather than to „imagining‟ and „creation‟‖.

Mengenai hal ini, Anderson menjelaskan:

(In fact, communities larger than primordial villages of face to face

contact (and perhaps even these) are imagined. Communities are to be

distinguished, not by their falsity/genuineness, but by the style in which

they are imagined. (Anderson, 1991)

Dari penjelasan tersebut terlihat jelas bahwa komunitas terbayangkan

(Imagined Commutiy) merupakan seperangkat impian, cita-cita yang diimajinasikan

akan terwujud di masa yang akan datang. Berbekal imajinasi-imajinasi, suatu

komunitas menjadi seolah-olah ada dan akan terwujud.

Lebih lanjut, Anderson menjelaskan, setidaknya, terdapat tiga model imajinasi

bangsa. Pertama, sebuah bangsa diimajinasikan sebagai ―yang berbatas‖ (limited). Hal

itu dikarenakan meski memiliki jutaan umat manusia, namun tetap memiliki batasan.

Kedua, sebuah bangsa diimajinasikan sebagai suatu bentuk kekuasaan (sovereign)

dikarenakan lahirnya konsep ini bersamaan dengan era Pencerahan dan Revolusi.

Ketiga, sebuah bangsa diimajinasikan sebagai suatu komunitas (community) karena

meskipun terdapat ketimpangan namun masih dipersatukan dengan apa yang disebut

dengan ―horizontal comradeship‖ (persekawanan antarsesama) (Anderson, 1991: 7).

17

Yang harus dipahami adalah bahwa terdapat perbedaan mendasar untuk

memahami pengertian nation dan state. Apa yang dijelaskan oleh Benedict Anderson

dengan istilah ―imagined community‖, bagi Mandaville, bisa memperjelas pengertian

apa yang sebenarnya dimaksudkan dalam terma tersebut. Terma ―imagination‖ yang

digunakan Anderson tidak lantas membuat menjadikan nation (bangsa) sepenuhnya

sebagai isapan jempol atau tidak nyata. Akan tetapi, yang diharapkan oleh Anderson

dengan terma nation adalah bagaimana orang-orang menyadari dirinya menjadi

bagian dari—apa yang disebut dengan—a social collective (Mandaville, 2001).

Penjelasan seperti di atas diperlukan untuk memberikan batasan mengenai apa yang

kerap disebut sebagai bangsa, nation; nasionalisme, nationalism. Sehingga tidak

terjadi perdebatan untuk memahami konsep yang akan diulas selanjutnya.

Lebih jelasnya, Mandaville menjelaskan:

Indeed, if we examine the various sociohistorical contexts in which

nations have been elaborated, we find many in which the act of

creating a nation is as much about saying who one is not, as it is about

saying who one is. It is therefore an inherently political process in the

sense that it constructs boundaries of inclusion and exclusion.

Furthermore, the nation exists in more than just space, it also endures

in time. It is a life-world which requires reproduction in order to

survive. Insofar as the nation is a discursive formation (as opposed to

a corporeal construct) it requires reiteration in order to sustain itself.

The nation is a story of identity, memory and belonging which needs to

be told and told again. It is this dimension of the nation which leads

Homi Bhabha to speak of its „narration‟. The nation is hence a living

thing: the reification of culture (language, morality, memory,

experience, „forms of life‟) into an exclusive community (Mandaville,

2001).

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pengertian bangsa (nation)

merupakan satu proses politik yang mengonstruksi tentang inklusi dan eksklusi.

Terma ini menembus ruang dan waktu, oleh karenanya membutuhkan segala macam

18

pendukung untuk bisa tetap berkembang. Bangsa merupakan sejarah tentang identitas

dan memori yang harus terus dinarasikan ulang oleh satu kelompok tertentu (an

exclusive community).

Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti tidak memfokuskan untuk mengurai

apa dan menelisik batasan nasionalisme. Namun, peneliti meminjam defenisi

komunitas terbayangkan untuk digunakan menganalisa dalam wacana ummah atau

khilafah. Teori ―Komunitas Terbayangkan‖ ini peneliti gunakan untuk menganalisis

tulisan-tulisan yang ada di laman hibut-tahrir.or.id, utamanya yang terdapat dalam

rubrik ―Seputar Khilafah‖.

1.6 Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan kerangka teori analisis wacana untuk mengkaji

website hizbut-tarhrir.or.id. Karena medan kajiannya adalah bahasa, maka diperlukan

pengertian dan sekaligus pembatasan agar memudahkan dalam identifikasi penelitian

ini. Menurut James Paul Gee (2006: 1), fungsi utama bahasa adalah sebagai alat

komunikasi. Setingkat level di atas itu, yakni dalam penggunaannya oleh manusia,

fungsi bahasa memerankan setidaknya dua hal: (a) untuk mendukung performa

aktivitas dan identitas sosial dan (b) untuk mendukung afiliasi manusia dengan

budaya, kelompok sosial, dan institusi. Di samping itu, bahasa selalu berpretensi

bernuansa ‗politik‘. Dalam kaitannya bahasa dan politik, James Paul Gee (2006: 2)

menjelaskan sebagai berikut:

―Politics is part and parcel of using language. But this does not meant

that analysing language is just an infitation to pontificate about our

political view. Far from exonerating us from looking at the empirical

details of language and social action, an interest in politics demands

19

that we engage with such details. Politics, in terms of social relations

where social goods are at stake, has its lifeblood on such details. It is

there that “social goods‟ are created, sustained, distributed,

redistributed. It is there that people are harmed and helped.

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa analisis bahasa tidak hanya

memperlihatkan satu pandangan politik. Maka dari itu, diperlukan pemahaman sangat

mendetail untuk bersinggungan suatu wacana karena apa yang sering disebut sebagai

―social goods‖ merupakan hal yang diciptakan, diwacanakan, dan didistribusikan.

Pada titik ini akan diketahui bagaimana satu konstruksi wacana terbentuk. Pada

akhirnya, dengan memperhatikan detail bahasa yang digunakan akan memandu untuk

mengetahui ke arah mana aktivitas sosial, identitas sosial, dan arah politik yang dituju

dibanding sekadar digunakan sebagai bahasa pemberi dan penyampai informasi.

Sebagai jembatan yang menghantarkan tidak sekadar informasi, bahasa—

dengan begitu—tidak terlepas dari diskursus kebenaran (truth). Hal itu dikarenakan

hubungan bahasa dan politik yang dijelaskan di atas secara langsung meliputi

aktivitas sosial, identitas sosial, dan preferensi politik yang secara implisit terkandung

dalam bahasa yang digunakan. James Paul Lee mendefinisikan truth dengan “is a

matter of taking, negotiating, and contesting perspectives created in and trough

language” (Gee, 2006). Dengan demikian, sangat jelas posisi bahasa dalam

mengonstruksi suatu wacana mengingat ‗kebenaran‘ merupakan suatu hal yang sangat

negosiatif.

Kaitannya dengan hal tersebut, bahasa yang ditransformasikan memerlukan

media untuk mentransformasikan gagasan kepada khalayak umum. Terkait dengan hal

tersebut, Aris Badara menjelaskan (2014: 5) surat kabar memiliki kekuatan signifikan

dalam mempengaruhi wacana yang dinarasikan. Surat kabar bisa menentukan sesuatu

20

menjadi seperti apa di hadapan khalayak pembaca. Terkadang, dalam penulisan

terdapat proses marginalisasi yang tidak dirasakan oleh pembaca.

Berger dan kawan-kawan (Badara, 2014: 8) menyatakan bahwa proses

konstruksi realitas dimulai saat objektifikasi mulai dijalankan oleh sang konstruktor

atas suatu kenyataan. Dari konstruksi yang dibangun, maka akan muncul perpsepsi

yang dikemudian diinternalisasikan. Dalam proses internalisasi tersebut, alat paling

vital yang dapat menentukan wacana tidak lain adalah kata-kata suatu konsep atau

bahasa. Keberadaan bahasa tidak hanya berhenti pada sebagai alat untuk

menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atas suatu wacana yang

kemudian diterima oleh masyarakat.

Di samping itu, menurut DeFleur sebagaimana dikutip oleh Badara (2014: 9)

media mempunyai banyak cara untuk membentuk bahasa dan makna. Tidak hanya

berhenti di sana, kekuatan bahasa bahkan digambarkan oleh Badara dengan

―mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya; memperluas makna;

dari istilah-istilah yang ada; mengganti makna lama sebuah istilah dan makna baru;

memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa”.

Dalam taraf tertentu, penyebaran wacana yang dilakukan secara masif bisa

mengonstruksi realitas, utamanya dalam hal makna dan citra atas wacana yang

dibangun. Kekuatan bahasa dapat mengonstruksi realitas. Bahkan, bahasa tidak hanya

menjadi cermin atas suatu realitas, akan juga menciptakan realitas baru (Badara,

2014: 9).

Dalam memproduksi wacana, ada tiga hal yang dilakukan oleh para pekerja

media. Menurut Panuti Sujiman dan Aart van Zoest, tiga hal tersebut antara lain,

21

pertama; pemilihan simbol. Simbol yang dipilih akan membentuk suatu makna

tertentu. Dalam teori semiotika, teks dinilai menyimpan berbagai makna mulai dari

penggunaan kata, istilah, frasa, dan foto yang digunakan dalam publikasi. Kedua,

stategi pembingkaian (framing). Metode ini merupakan suatu strategi menyusun

realitas sehingga melahirkan satu wacana tertentu. Pembingkaian (framing) dalam

media didasarkan pada kepentingan ideologi internal media yang bisa

merepresentasikan media tertentu. Ketiga, kesediaan memberi tempat untuk

memproduksi wacana tertentu. Dengan tempat khusus yang disediakan media yang

membahas masalah tertentu dapat tercermin intensi media tersebut terhadap suatu isu

yang coba dipropagandakan. Sebagai pembentuk makna, interpretasi media terhadap

isu-isu tertentu dapat mempengaruhi bahkan mengubah persepsi orang mengenai

realitas yang dibahas (Badara, 2014).

Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai ketiga tindakan

yang dilakukan media dalam memproduksi suatu wacana, dalam hal ini wacana

khilafah dalam laman hizbut-tahrir.or.id akan dilakukan kajian satu persatu yakni

bagaimana penggunanaan simbol digunakan dalam produksi wacana khilafah,

bagaimana strategi pembingkaian yang dilakukan oleh hizbut-tahrir.or.id, serta

kesediaan tempat yang disiapkan.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan analisa wacana yang

diperkenalkan oleh Teun A. van Dijk. Model analisis wacana Teun A. van Dijk adalah

―kognisi sosial‖. Teun A. van Dijk melihat struktur sosial, dominasi, dan kelompok

kekuasaan untuk memahami suatu teks (Eriyanto, 2012: 221-224).

22

Untuk memahami suatu teks, Teun A. van Dijk memerinci struktur teks ke

dalam beberapa bagian, yang meliputi tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik,

dan retoris. Adapun bagan model analisis van Dijk (Eriyanto, 2012: 228) adalah

sebagai berikut:

Struktur wacana Hal yang diamati Elemen

Struktur makro Tematik

Tema/topik yang menonjol

Topik

Superstruktur Skematik

Bagaimana bagian dan

urutan teks dibuat

Alur (skema)

Struktur mikro Semantik

Makna yang ditekankan

dalam teks

Latar, detail, maksud,

praanggapan

Struktur mikro Sintaksis

Penggunaan kalimat

(bentuk dan susunan) dari

teks

Bentuk kalimat, koherensi,

kata ganti

Struktur mikro Stilistik

Pilihan kata dalam teks

Leksikon

Struktur mikro Retoris

Bagaimana penekanan

dilakukan, termasuk

caranya

Grafis, metafora

1.6.1 Sumber Data

Dalam penentuan laman objek kajian, yakni hizbut-tahrir.or.id, peneliti

menggunakan sejumlah kriteria, utamanya jika dikaitkan dengan tema yang diangkat

dengan mempertimbangkan sejumlah hal-hal teknis yang tidak dapat dinegasikan

urgensinya. Tumbuhnya media islam berkembang pesat.

Dalam penentuan laman hizbut-tahrir.or.id sebagai objek penelitian, peneliti

mempertimbangan berbagai hal berikut ini. Pertama, media ini merupakan media

yang memiliki perhatian khusus terhadap isu khilafah. Sebagai media yang digunakan

23

oleh Hizbut Tahrir Indonesia, suara mengenai khilafah sangat terdengar nyaring dari

berbagai tulisan yang dipublikasikan di laman terkait. Kedua, kontinuitas merupakan

satu elemen penting dalam mempertimbangkan kajian ini. Dengan kontinuitas yang

dilakukan oleh hizbut-tahrir.or.id dalam mempropagandakan wacana-wacana seputar

khilafah sangat terlihat bagaimana mereka sangat berhasrat dan terlihat jelas

preferensi politik yang mereka tampilkan lewat tulisan-tulisan yang dipublikasikan.

Dalam hal rubrikasi, hizbut-tahrir.or.id terlihat tidak begitu banyak

menampilkan rubrikasi dalam laman tersebut. Dalam tampilan laman antara lain

rubrik ―Kantor Jubir‖, ―Berita‖ yang memiliki turunan rubrik menjadi dua,yakni

―dalam negeri‖ dan ―luar negeri‖, ―Media‖ yang memuat tiga turunan ―Al-Waie‖,

―Al-Islam‖, dan ―HTI Channel‖. Di samping itu terdapat juga rubrik ―Muslimah‖,

―Seputar Syariah‖, dan ―Seputar Khilafah‖. Satu rubrik lain yaitu ―Tentang Hizbut

Tahrir‖.

Adapun tampilan laman hizbut-tahrir.or.id adalah sebagaimana tersaji di

bawah ini:

24

Figure 1 tampilan laman hizbut-tahrir.or.id

Untuk membatasi kajian agar spesifik, peneliti memfokuskan pada rubrik

―Seputar Khilafah‖. Dengan menggunakan kritik analisis wacana dalam menggali

data, penelitian ini menitikberatkan pada kajian khilafah yang terdapat dalam rubrik

―Seputar Khilafah‖ sehingga akan mendapatkan fokus kajian yang spesifik sehingga

tidak melebar ke isu-isu lain. Penelitian ini tidak akan mengalisis konten yang

terdapat di sana selain teks. Video dan gambar tidak akan menjadi bahan kajian

karena hanya akan memperlebar objek kajian. Sementara itu, objek kajian yang

diteliti adalah teks yang ditampilkan seputar khilafah.

1.6.2 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bagian. Bab

pertama berisi tentang latar belakang, pertanyaan penelitian, kajian pustaka: diskursus

25

khilafah, hizbut tahrir indonesia, kerangka teori, metodologi penelitian, dan cara

pengkoleksian data, serta sistematika kepenulisan.

Bab kedua menitikberatkan pada pembahasan kerangka teori yang membahas

imajinasi ummah atau khilafah dan diskursus pemikiran politik Islam di Indonesia.

Penjelasan mengenai ini urgen untuk mengetahui genealogi pemikiran yang berjalan

di Indonesia sehingga melahirkan gerakan Islam transnasional semacam Hizbut Tahrir

Indonesia. Penjabaran mengenai ini diharapkan dapat menuntun penelitian kepada

pemahaman yang menyeluruh atas fenomena wacana khilafah dewasa ini.

Bab ketiga merupakan bagian penting dari penelitian ini yang akan

menjabarkan secara gamblang konstruksi wacana mengenai khilafah yang terdapat di

laman hizbut-tahrir.or.id. Di bagian ini akan diperlihatkan bagaimana konstruksi

wacana khilafah dipersepsikan dan diupayakan sedemikian rupa.

Bab keempat merupakan bab yang akan mengalisis konstruksi wacana yang

ada di bab sebelumnya untuk kemudian mengkritisi wacana khilafah dalam konteks

ke-Indonesia-an. Bagian ini sekaligus menjadi tempat untuk memperlihatkan

relevansi wacana khilafah di tengah masyarakat yang pluras, apa saja rintangannya,

dan apakah wacana terkait masih tepat untuk dipropagandakan di tengah percaturan

wacana yang ada. Bab kelima berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan sedikit

catatan atas hasil temuan dalam penelitian ini.