bab i batita fixs sel
DESCRIPTION
ffTRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang
penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan
pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Masalah
gizi disamping merupakan sindroma kemiskinan yang erat
kaitannya dengan masalah ketahanan pangan di tingkat
rumah tangga, juga menyangkut aspek pengetahuan dan
perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat (Depkes,
2000).
Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat
kesehatan dan umur harapan hidup yang merupakan salah
satu unsur utama dalam penentuan keberhasilan
pembangunan negara yang dikenal dengan istilah Human
Development Index. Kurang gizi menyebabkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental,
mengurangi tingkat kecerdasan, kreatifitas dan produktifitas
penduduk (Arisman, 2009).
Status gizi pada dasarnya adalah keaadaan
keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gzi yang
diperlukan tubuh untuk tumbuh kembang terutama untuk
anak batita, aktifitas, pemeliharaan kesehatan, penyembuhan
bagi mereka yang menderita sakit dan proses biologis lainnya
dia dalam tubuh (Depkes, 2008). Masa batita merupakan
proses dimana seorang anak mengalami pertumbuhan badan
yang cukup pesat sehingga memerlukan perhatian dan kasih
sayang dari orang tua dan lingkungannya. Di samping itu
batita juga membutuhkan zat-zat gizi yang seimbang agar
statusnya baik, serta proses pertumbuhannya tidak
terhambat (Santoso & Ranti 2004).
Anak batita termasuk kelompok umur yang paling sering
menderita akibat kekurangan gizi yang disebabkan oleh :
Pertama kondisi anak batita adalah periode transisi dari
makanan bayi ke makanan orang dewasa. Kedua, anak batita
seringkali tidak begitu diperhatikan dan pengurusannya
sering diserahkan kepada orang lain seperti saudara dan
lainnya terutama jika ibu mempunyai anak kecil. Ketiga anak
batita belum mampu mengurus dirinya dengan baik dalam
hal makanan sedangkan kebutuhannya tidak dapat begitu
diperhatikan lagi oleh kedua orangtuanya, sehingga
kebutuhannya tidak dapat terpenuhi (Santoso & Ranti 2004).
Di negara berkembang, angka kesakitan dan kematian
pada anak umur 1-4 tahun banyak dipengaruhi oleh keadaan
gizi. Pengaruh keadaan gizi pada umur tersebut lebih besar
daripada umur kurang dari satu tahun. Dengan demikian,
angka kesakitan dan kematian pda periode tersebut dapat
disajikan informasi yang berguna mengenai keadaan kurang
gizi di masyarakat (Supariasa, 2002).
Status gizi pada batita dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik
penyebab langsung maupun penyebab tidak langsung. Penyebab langsung
adalah asupan makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita batita,
sedangkan penyebab tidak langsung meliputi ketersediaan pangan dalam
keluarga, pola asuh anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan
lingkungan. Ketiga faktor penyebab tidak langsung tersebut berkaitan dengan
tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga
(Adisasmito,2007)
Menurut hasil kinerja dua tahun Kementerian Kesehatan RI tahun 2009-
2011, persentase gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia pada tahun 2010
yaitu 17,9% dan 4.9%. Sedangkan target tahun 2014 (Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014), yaitu menurunkan prevalensi
gizi kurang menjadi 15% dan prevalensi gizi buruk menjadi 3.5% (Kemenkes
RI, 2011).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, terdapat
19,6% balita kekurangan gizi yang terdiri dari 5,7% balita dengan gizi buruk
dan 13,9% berstatus gizi kurang. Sebesar 4,5% balita dengan gizi lebih. Jika
dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan
tahun 2010 (17,9 %), prevalensi kekurangan gizi pada balita tahun 2013
terlihat meningkat. Balita kekurangan gizi tahun 2010 terdiri dari 13,0%
balita berstatus gizi kurang dan 4,9% berstatus gizi buruk. Perubahan
terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4% tahun 2007, 4,9% pada
tahun 2010, dan 5,7% tahun 2013.
Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi
kekurangan gizi pada balita antara 20,0-29,0%, dan dianggap prevalensi
sangat tinggi bila ≥30 persen (WHO, 2010). Pada tahun 2013, Provinsi
Lampung tercatat prevalensi kekurangan gizi pada anak balita sebesar 19,1%,
yang berarti masalah kekurangan gizi pada balita di Indonesia masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi
(Kemenkes RI, 2013).
Tercatat Povinsi lampung masih menghadapi gizi akut dan kronis pada
batita. Gizi akut tercermin dari prevalensi ditandai dengan prevalensi gizi
buruk dan gizi kurang (BB/U)lebih dari 10% yaitu sebesar (18,7%) yang
mengalami peningkatan dari 5,3% dari tahun 2010. Sementara gizi kronis
tercermin dari prevalensi balita pendek (TB/U), diatas prevalensi nasional
(37,2 %) yaitu (42,6 %). Sama halnya dengan prevalensi status gizi (BB/U)
dibandingkan dengan tahun 2010 prevalensi status gizi (TB/U) juga terjadi
peningkatan 6,3% dari 36,3% (Kemenkes RI, 2013)
Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek
sebesar 30 – 39 % dan serius bila prevalensi pendek ≥40% (WHO 2010).
Sebanyak 13 provinsi termasuk kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi
termasuk kategori serius termasuk Provinsi Lampung. (Kemenkes RI, 2013)
Oleh karena itu, untuk mengetahui status gizi balita di
Kabupaten Lampung Selatan, maka dilakukanlah survey data
dasar di Kabupaten Lampung Selatan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Keadaan Status Gizi balita di Kecamatan Natar Kabupaten
Lampung Selatan?
2. Bagaimana keadaan status gizi Ibu Hamil di Kecamatan Natar Kabupaten
Lampung Selatan?
3. Apa saja faktor – faktor yang mempengaruhi Status Gizi Balita dan Ibu
Hamil di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan Status Gizi Balita
dan Ibu Hamil di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui Status Gizi Batita di Kecamatan Natar Kabupaten
Lampung Selatan
b. Mengetahui asupan Zat Gizi (Kalori, Protein dan Lemak) pada Batita di
Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan
c. Mengetahui riwayat kejadian penyakit infeksi pada batita di Kecamatan
Natar Kabupaten Lampung Selatan
d. Mengetahui pola asuh ibu terhadap batita di Kecamatan Natar
Kabupaten Lampung Selatan
e. Mengetahui tingkat ketersediaan pangan di Kecamatan Natar
Kabupaten Lampung Selatan
f. Mengetahui gambaran sanitasi dan air bersih /pelayanan kesehatan
dasar di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan
g. Mengetahui tingkat gambaran sosial ekonomi keluarga ( pendidikan ibu
, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga) batita di Kecamatan Natar
Kabupaten Lampung Selatan
h. Mengetahui tingkat pengetahuan Ibu tentang Gizi Batita di Kecamatan
Natar Kabupaten Lampung Selatan
i. Mengetahui keberagaman makanan batita di Kecamatan Natar
Kabupaten Lampung Selatan
j. Mengetahui frekuensi penimbangan batita ke Posyandu di Kecamatan
Natar Kabupaten Lampung Selatan
k. Mengetahui pemberian Vitamin A pada Batita di Kecamatan Natar
Kabupaten Lampung Selatan
l. Mengetahui penggunaan Garam Beryodium pada keluarga Batita di
Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan
m. Mengetahui pemberian ASI Eksklusif pada Batita di Kecamatan Natar
Kabupaten Lampung Selatan
n. Mengetahui praktik KADARZI pada keluarga batita di Kecamatan
Natar Kabupaten Lampung Selatan
o. Mengetahui hubungan asupan zat gizi (Kalori, Protein dan Lemak)
dengan status gizi balita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung
Selatan
p. Mengetahui hubungan kejadian penyakit infeksi dengan status gizi
batita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan
q. Mengetahui hubungan pola asuh dengan status gizi batita di Kecamatan
Natar Kabupaten Lampung Selatan
r. Mengetahui hubungan ketersediaan pangan dengan status gizi batita di
Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan
s. Mengetahui hubungan pengetahuan Ibu dengan status gizi batita di
Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan
t. Mengetahui hubungan keberagaman makanan dengan status gizi batita
di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan
u. Mengetahui hubungan frekuensi penimbangan batita ke POSYANDU
dengan status gizi balita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung
Selatan
v. Mengetahui hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi
batita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan
w. Mengetahui hubungan praktik KADARZI dengan status gizi batita di
Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan
D. Hipotesis
1. Ada hubungan asupan energi dengan status gizi batita di
Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan tahun 2014
2. Ada hubungan asupan proteindengan status gizi batita di
Kecamatan Natar Kabupaten Lampung SelatanTahun 2014
3. Ada hubungan asupan lemak dengan status gizi batita di
Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2014
4. Ada hubungan penyakit infeksi dengan status gizi batita di
Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2014
5. Ada hubungan pola asuh balita dengan status gizi batita
di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung SelatanTahun 2014
6. Ada hubungan ketersediaan pangan dengan status gizi
batita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan Tahun
2014
7. Ada hubungan pengetahuan gizi ibu batita dengan status
gizi batita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan
Tahun 2014
8. Ada hubungan pemberian ASI eksklusif dengan status gizi
batita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan Tahun
2014
9. Ada hubungan frekuensi penimbangan batita dengan
status gizi batita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung
Selatan Tahun 2014
10. Ada hubungan pemberian keberagaman makanan dengan
status gizi batita di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung
Selatan Tahun 2014
11. Ada hubungan praktik kadarzi dengan status gizi batita di
KecamatanNatar Kabupaten Lampung SelatanTahun 2014
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung
Selatan
Sebagai salah satu bahan acuan dan petimbangan untuk
menentukan kebijakan serta langkah-langkah strategis
dalam penanggulangan masalah gizi pada batita di
Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan.
2. Bagi Instansi Pendidikan
Sebagai bahan pustaka untuk menambah informasi
tentang ilmu gizi terutama mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi batita.
3. Bagi Tempat Penelitian
Sebagai bahan penyuluhan yang dapat menambah
informasi dan pengetahuan warga di Kabupaten Lampung
Selatan terkait pentingnya menjaga kesehatan sehingga
terhindar dari berbagai masalah kesehatan terutama
masalah gizi .
4. Bagi Peneliti
Sebagai sarana pembelajaran dalam melakukan
penelitian, sekaligus mempraktikkan ilmu yang telah
didapat serta dapat mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi batita secara jelas.
5. Bagi Peneliti Lain
Sebagai bahan referensi dalam mengembangkan
penelitian yang lebih lanjut.
F. Ruang Lingkup
Survey pengambilan data dasar mengenai faktor-faktor
yang berhubungan dengan status gizi batita di Kabupaten
Lampung Selatan yang dilaksanakan di Kecamatan Natar
selama 16 hari (13-28 Oktober 2014) dengan mengambil
variabel yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
batita (asupan zat gizi, riwayat penyakit infeksi, pola asuh,
sanitasi dan persediaan air bersih, ketersediaan pangan,
sosial ekonomi, tingkat pengetahuan, pemberian ASI
eksklusif, frekuensi penimbangan, pemberian vitamin A,
penggunaan garam beryodium, keberagaman makanan, dan
praktik kadarzi)
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Status Gizi pada Batita
Status gizi adalah keadaan kesehatan individu individu atau kelompok-
kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-
zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampakfisiknya
diukur secara antropometri (Suhardjo, 2003).
Status gizi batita erat hubungannya dengan pertumbuhan anak, oleh
karena itu perlu suatu ukuran/alat untuk mengetahui adanya kekurangan gizi
dini, monitoring penyembuhan kurang gizi dan efektifitas suatu program
pencegahan.Pertumbuhan anak adalah indikator dinamik yang mengukur
pertambahan berat dan tinggi/panjang anak.Dari indikator ini dapat diikuti
dari waktu ke waktu kapan terjadinya penyimpangan (penurunan)
pertambahan berat atau tinggi badan (Soekirman, 2000).
Menurut Arsad (2006) status gizi batita adalah keadaan kesehatan anak
batita yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain
yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur
secara antropometri. Status gizi adalah keadaan kesehatan yang diakibatkan
oleh adanya interaksi antara makanan, tubuh dan lingkungan hidup manusia.
Status gizi diukur dengan cara yaitu (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
Berdasarkan Departemen Kesehatan (2011) penentuan status gizi anak
batita dilakukan secara klinis dan antropometri, sehingga dapat diketahui
tingkat status gizi batita tersebut.
B. Masalah Gizi pada Batita
Berg (2001) berbicara mengenai gizi berarti membicarakan tentang
makanan dalam hubungannya dengan kesehatan dan proses dimana
organisme menggunakan makanan untuk pemeliharaan kehidupan,
pertumbuhan, bekerjanya anggota dan jaringan tubuh secara normal dan
produksi tenaga.
Membahas mengenai masalah gizi, dapat digolongkan kepada tiga bagian
sebagai berikut :
1. Gizi kurang, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang timbul karena
tidak cukup makan dan dengan demikian konsumsi energi kurang selama
jangka waktu tertentu, ditandai dengan berat badan yang menurun.
2. Gizi lebih, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang disebabkan
kebanyakan makan serta mengkonsumsi energi lebih banyak daripada
yang diperlukan tubuh untuk jangka waktu yang panjang, kegemukan
merupakan tanda pertama yang biasa dilihat.
3. Gizi buruk, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang disebabkan oleh
makanan yang sangat kurang dalam satu atau lebih zat es ensial dalam
waktu lama, biasanya diikuti dengan tanda-tanda klinis khusus seperti
marasmus, kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor (Depkes, 2004).
Bila prevalensi kurus (wasting) < -2SD diatas 10 % menunjukan suatu
daerah tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan
langsung dengan angka kesakitan. Indeks Antropometri yang sering dipakai
adalah :BB/U (berat badan menurut umur) menggambarkan ada atau tidak
adanya kurang gizi (malnutrisi), tidak bisa menjelaskan apakah akut atau
kronis. TB/U (tinggi badan menurut umur) menggambarkan ada atau tidak
adanya malnutrisi kronik. BB/TB (berat badan menurut tinggi badan)
menggambarkan ada atau tidak adanya malnutrisi akut (Depkes, 2004).
Menurut Suprariasa (2002) berpendapat bahwa berat badan dan tinggi
badan adalah salah satu parameter penting untuk menentukan status kesehatan
manusia, khususnya yang berhubungan dengan status gizi. Penggunaan
indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi untuk
melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh .
Menurut Arsad (2006) ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi
pada kelompok masyarakat, salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh
manusia yang dikenal dengan antropometri, dalam pemakaiannya untuk
penilaian status gizi antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang
dikaitkan dengan variabel lain, variabel tersebut adalah sebagai berikut :
umur, berat badan dan tinggi badan.
Menurut Suprariasa (2002) berat badan merupakan salah satu ukuran
yang memberikan gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat
badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena penyakit
infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun. Berat badan ini
dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (berat badan menurut umur) atau
melakukan penilaian dengam melihat perubahan berat badan pada saat
pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan gambaran
keadaan kini. Berat badan paling banyak digunakan karena hanya
memerlukan satu pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur,
tetapi kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi
dari waktu ke waktu .
Menurut Supariasa (2002) indeks BB/U digunakan sebagai salah satu
indikator status gizi dan karena sifatnya berat badan yang labil maka indeks
BB/U lebih menggambarkan status gizi saat ini. Sebagai indikator status gizi
BB/U mempunyai kelebihan dan kelemahan, adapun kelebihannya adalah:
Dapat lebih mudah dan lebih cepat di mengerti oleh masyarakat umum,
sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek, dan dapat
mendeteksi kegemukan.
Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat
dari keadaan kurus kering dan kecil pendek.Tinggi badan sangat baik untuk
melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat
badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa batita.Tinggi badan dinyatakan
dalam bentuk indeks TB/U (tinggi badan menurut umur), atau juga indeks
BB/TB (berat badan menurut tinggi badan) jarang dilakukan karena
perubahan tinggi badan yang lambat dan biasanya hanya dilakukan setahun
sekali.Keadaan indeks ini pada umumnya memberikan gambaran keadaan
lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun
(Depkes, 2004).
C. Gizi Buruk pada Batita
Pengertian Gizi buruk (severe malnutrition) menurut Ikatan Dokter Anak
Indonesia (2008) adalah suatu istilah tehnis yang umumnya dipakai oleh
kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran, gizi buruk adalah bentuk terparah
dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.
Menurut Depatemen Kesehatan (2008) gizi buruk adalah keadaan
kekurangan gizi menahun yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi
dan protein dari makanan sehari-hari. Kekurangan gizi tingkat berat pada
anak batita berdasarkan pada indeks berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis seperti marasmus,
kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor, klasifikasi gizi buruk berdasarkan
gambaran klinisnya antara lain, sebagai berikut : Marasmus adalah keadaan
gizi buruk yang ditandai dengan badan tampak sangat kurus, iga gambang,
perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput. Gambaran klinis
marasmus berasal dari masukan kalori/asupan kalori yang tidak cukup
dikarenakan diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat
seperti pola asuh yang tidak baik, atau karena kelainan metabolik/malformasi
congenital.Malnutrisi berat pada bayi sering ada di daerah dengan makanan
tidak cukup atau dengan hygiene yang jelek (Behrman, 2000).
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Makan dan Status Gizi Anak
Batita
Faktor penyebab kurang gizi, pertama makanan dan penyakit infeksi
yang mungkin diderita anak. Kedua, ketahanan pangan di keluarga, pola
pengasuhan anak,pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Semakin
tinggi pendidikan,pengetahuan, dan keterampilan, terdapat kemungkinan
semakin baik ketahananpangan keluarga, pola pengasuhan anak, dan keluarga
memanfaatkan pelayanankesehatan yang ada. Ketidak terjangkauan
pelayanan kesehatan (karena jauh, tidakmampu membayar), dapat berdampak
juga pada status gizi anak (Adisasmito, 2007).
Banyak faktor sosial ekonomi yang sukar untuk dinilai secara
kuantitatif,khususnya pendapatan dan kepemilikan. Tingkat pendidikan
termasuk dalam faktor sosial ekonomi karena tingkat pendidikan
berhubungan dengan status gizi yaitu dengan meningkatkan pendidikan
kemungkinan akan dapat meningkatkanpendapatan sehingga meningkatkan
daya beli makanan untuk mencukupi kebutuhangizi keluarga ( Achadi, 2007).
1. Umur
Orang tua muda, terutama ibu, cenderung kurang pengetahuan dan
pengalamandalam merawat anak sehingga mereka umumnya merawat
anak didasarkan padapengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor
usia muda juga cenderungmenjadikan seorang ibu akan lebih
memperhatikan kepentingannya sendiri daripadakepentingan anaknya,
sehingga kuantitas dan kualitas perawatan kurang terpenuhi.Sebaliknya,
ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima perannya
dengansepenuh hati (Hurlock dalam Gabriel, 2008).
2. Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang
ataumasyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya
dalam perilakudan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam kesehatan
dan gizi. Seseorang yangmempunyai tingkat pendidikan formal yang
tinggi dapat mempunyai pengetahuangizi yang tinggi pula (Atmarita &
Fallah, 2004).
Makin tinggi pendidikan, pengetahuan, keterampilan terdapat
kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik
pula pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang ada demikian juga sebaliknya (Depkes RI,
2004).Seseorang yang hanya tamat sekolah dasar belum tentu kurang
mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi
dibandingkan orang lain yang pendidikannya tinggi. Karena sekalipun
pendidikannya rendah jika orang tersebutrajin mendengarkan penyuluhan
gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebihbaik. Hanya saja
tetap harus dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut pula
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami
pengetahuangizi yang mereka peroleh (Depkes RI, 2004).
Disamping itu tingkat pendidikan juga mempunyai hubungan yang
eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri,
kreatif dan berkesinambungan. Latar belakang pendidikan seseorang
berhubungan dengan tingkat pengetahuan, jika tingkat pengetahuan gizi
ibu baik maka diharapkan status gizi ibu dan batitanya juga baik. Sebab
dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau
kemampuan meningkatkan pengetahuan gizi masyarakat (Kusumawati,
2004)
3. Pekerjaan Ibu
Pekerjaan orang tua turut menentukan kecukupan gizi dalam sebuah
keluarga.Pekerjaan berhubungan dengan jumlah gaji yang diterima.
Semakin tinggi kedudukansecara otomatis akan semakin tinggi
penghasilan yang diterima, dan semakin besarpula jumlah uang yang
dibelanjakan untuk memenuhi kecukupan gizi dalam keluarga
(Sediaoetama, 2008).
Orang tua yang bekerja terutama ibu akan mempunyai waktu yang
lebihsedikit untuk memperhatikan dan mengasuh anaknya. Pada
umumnya di daerah pedesaaan anak yang orangtuanya bekerja
akandiasuh oleh kakaknya atau sanaksaudaranya sehingga pengawasan
terhadap makanan dan kesehatan anak tidak sebaikorang tua tidak
bekerja (Sediaoetama, 2008).
4. Jumlah Anggota Keluarga
Anggota keluarga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal
disuatu keluarga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun
sementara tidak ada anggota keluarga yang telah bepergian 6 bulan atau
lebih, dan anggota keluargayang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi
bertujuan pindah atau akan meninggalkanrumah 6 bulan atau lebih, tidak
dianggap anggota keluarga. Orang yang telah tinggal di suatu keluarga 6
bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di suatu keluarga kurangdari 6
bulan tetapi berniat menetap di keluarga tersebut, dianggap sebagai
anggota keluarga (BPS, 2004).
Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan.
Suhardjo (2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara
besar keluarga dankurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah
anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan
meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi
pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersediauntuk suatu
keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya
setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup
untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.
5. Pendapatan Keluarga
Tingkat pendapatan adalah rata-rata pendapatan per bulan keluarga
yangdihitung dari total pengeluaran makanan dan non makanan
kemudian dibagi dengan jumlah anggota keluarga.Dari data pendapatan
per kapita dikelompokkan lagi berdasarkan batas garis kemiskinan untuk
daerah pedesaan (BPS, 2009).
Tingkat pendapatan keluarga menunjukkan sebanyak 88 keluarga
(75,2%) dengan tingkat pendapatan tinggi ≤ Rp.1.250.000, dan sebanyak
29 keluarga (24,8%) dengan tingkat pendapatan rendah. Rata-rata
pekerjaan kepala keluarga adalah wiraswasta (Sarah, 2006)
6. Pengetahuan Gizi Ibu
Menyusun dan menilai hidangan merupakan pengetahuan dan
keterampilandasar yang diperlukan oleh semua orang, terutama mereka
yang bertanggung jawabatas pengurusan dan penyediaan makanan, baik
bagi keluarga maupun bagi berbagai institusi seperti asrama, wisma, dan
sebagainya yang harus menyediakan makananbagi sejumlah atau
sekelompok orang.Seorang ibu rumah tangga yang bukan ahli gizi, juga
harus dapat menyusun dan menilai hidangan yang akan disajikan kepada
anggota keluarganya. Susunan hidangan yang bagaimanakah yang
memenuhi syarat gizi, agar mereka yang akan mengkonsumsinya tertarik
dan mendapat kesehatan baik serta dapat mempertahankan kesehatan
tersebut (Sediaoetama, 2008).
Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur
pentingyang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi
tentang gizi yang dimiliki menjadilebih baik.Sering masalah gizi timbul
karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai
.Makin tinggi pendidikan, pengetahuan, keterampilan terdapat
kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik
pula pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang ada demikianjuga sebaliknya (Depkes, 2004).
Menurut Departemen Gizi dan KesehatanMasyarakat FKM UI (2007),
bahwa seseorang dengan pendidikan rendah pun akan mampu menyusun
makanan yang memenuhi persyaratan gizi, kalau orang tersebut rajin
mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi.
7. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan :
a. Antropometri
1) BB/U (Berat Badan menurut Umur)
Indeks antropometri dengan BB/U mempunyai kelebihan
diantaranya lebih mudah dan lebih cepat dimengerti masyarakat
umum, baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis, berat
badan dapat berfluktuasi, sangat sensitif terhadap perubahan kecil
dan dapat mendeteksi kegemukan (Supariasa, 2002). Untuk
pengkategorian status gizi berdasarkan BB/U dapat dilihat di
bawah ini.
Tabel 1. Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U
Indeks Kategori status gizi
Ambang Batas
(z-score)
Berat Badan menurut Umur
(BB/U) Anak
Umur 0-60 bulan
Gizi Buruk
Gizi Kurang
Gizi Baik
Gizi Lebih
<-3 SD
-3 SD Sampai Dengan -2 SD
-2 SD Sampai Dengan 2 SD
>2 SD
Sumber : Kemenkes 2011
2) TB/U (Tinggi Badan menurut Umur)
Tinggi badan merupakan antropometri yang mengambarkan
keadaan pertumbuhan skletal. Pada keadaan normal, tinggi badan
tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Keuntungan indeks
TB/U diantaranya adalah baik untuk menilai status gizi masa
lampau, pengukur panjang badan dapat dibuat sendiri, murah dan
mudah dibawa (Supariasa, 2001). Untuk pengkategorian status
gizi berdasarkan TB/U dapat dilihat di bawah ini.
Tabel 2. Status Gizi berdasarkan Indeks PB/U
Indeks Kategori status gizi
Ambang Batas
(z-score)
Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Anak Umur
0-60 bulan
Sangat Pendek
Pendek
Normal
Tinggi
<-3 SD
-3 SD Sampai Dengan -2 SD
-2 SD Sampai Dengan 2 SD
>2 SD
Sumber : Kemenkes 2011
3) BB/TB (Berat Badan menurut Tinggi Badan)
Dalam keadaan normal berat badan akan searah dengan
pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu, keuntungan
dari indeks BB/TB adalah tidak memerlukan data umur dan dapat
membedakan proporsi badan (gemuk, normal dan kurus)
(Supariasa, 2001). Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan
BB/TB dapat dilihat di bawah ini.
Tabel 3. Status Gizi berdasarkan Indeks BB/PB atau BB/TB
Indeks Kategori status gizi
Ambang Batas
(z-score)
BB menurut PB Badan
(BB/PB) Atau BB
Sangat Kurus
Kurus
<-3 SD
-3 SD Sampai Dengan -2
menurut
TB (BB/TB) Anak
Umur 0-60 bulan
Normal
Gemuk
SD
-2 SD Sampai Dengan 2 SD
>2 SD
Sumber : Kemenkes 2011
b. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang didasarkan atas perubahan-
perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat
gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringna epitel (supervicial epithelial
tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-
organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid
(Supariasa, 2002)
c. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen
yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam
jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan anatara lain: darah,
urin, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot.
Digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi
keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi (Supariasa, 2002).
d. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status
gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan
melihat perubahan struktur dari jaringan (Supariasa, 2002)
8. Pola asuh
Orang tua memepunyai peran bermacam-macam salah satunya adalah
mendidik anak. Menurut Edward (2006) menyatakan bahwa pola asuh
merupakan interaksi anak dan orang tua mendidik , membimbing , dan
mendisilpinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai
dengan norma yang ada dalam masyarakat . pada dasarnya pola asuh dapat
diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak.
Pengasuhan pada anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua
dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari
mencukupi kebutuhan makan , mendorong keberhasilan dan
melindungi ,maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum
yang diterima oleh masyarakat.
Pola asuh merupakan faktor yang erat kaitannya dengan pertumbuhan dan
perkembangan anak batita. Masa anak usia batita adalah masa di mana
anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah
yang cukup memadai. Kekurangan gizi pada masa ini dapat menyebabkan
gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial dan intelektual
yang sifatnya menetap dan dibawa terus sampai dewasa. Masa anak usia
12-59 bulan (batita) adalah masa anak-anak yang masih tergantung pada
perawatan dan pengasuhan ibunya. Oleh karena itu pengasuh kesehatan
dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangat penting untuk
perkembangan anak (Santoso, 2005).
a. Jenis-Jenis Pola Asuh
Tipe pola asuh terdiri dari dua dimensi perilaku yaitu Directive
Behaviordan Supportive Behavior.
1) Directive Behavior melibatkan komunikasi searah dimana
orangtua menguraikan peran anak dan memberitahu anak apa
yang harusmereka lakukan, di mana, kapan, dan bagaimana
melakukan suatu tugas.
2) Supportive Behavior melibatkan komunikasi dua arah di mana
orang tuamendengarkan anak, memberikan dorongan,
membesarkan hati, memberikanteguran positif dan membantu
mengarahkan perilaku anak. Anak yang disiplin dirimemiliki
keteraturan diri berdasarkan nilai agama, nilai budaya, aturan-
aturan pergaulan, pandangan hidup, dan sikap hidup yang
bermakna bagi dirinya sendiri,masyarakat, bangsa dan Negara.
Artinya, tanggung jawab orangtua adalahmengupayakan agar
anak berdisiplin diri untuk melaksanakan hubungan denganTuhan
yang menciptakannya, dirinya sendiri, sesama manusia, dan
lingkunganalam dan mahkluk hidup lainnya berdasarkan nilai
moral.Orang tua yang mampu berprilaku seperti diatas, berarti
mereka telah mencerminkan nilai-nilai moral danbertanggung
jawab untuk mengupayakannya (Shochib, 2010).
Masing-masing orangtua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri
dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh latar belakang pendidikan orangtua, mata pencarian, keadaan
sosial ekonomi, adat istiadat dan sebagainya. Dengan kata lain,
pola asuh orangtua petani tidak sama dengan pola asuh pedagang.
Demikian pola asuh orangtua yang berpendidikan rendah dengan
pola asuh orangtua yang berpendidikan
tinggi.Dalam pelaksanaannya memang orangtua
menggunakan berbagai pola asuh sesuai dengan
situasi baik secara demokrasi, permisif, otoriter dan
penelantar (Prasetya, 2003).
9. Perhatian / Dukungan Ibu terhadap Anak dalam Praktek Pemberian
Makanan
Semua orangtua harus memberikan hak anak untuk tumbuh. Semua
anak harus memperoleh yang terbaik agar dapat tumbuh sesuai dengan apa
yang mungkin dicapainya dan sesuai dengan kemampuan tubuhnya. Untuk
itu perlu perhatian/dukungan orangtua. Untuk tumbuh dengan baik tidak
cukup dengan memberinya makan, asal memilih menu makanan dan asal
menyuapi anak nasi. Akan tetapi anak membutuhkan sikap orangtuanya
dalam memberi makan. Semasa bayi, anak hanya menelan apa saja yang
diberikan ibunya. Sekalipun yang ditelannya itu tidak cukup dan kurang
bergizi. Demikian pula sampai anak sudah mulai disapih. Anak tidak tahu
mana makanan terbaik dan mana makanan yang boleh dimakan. Anak
masih membutuhkan bimbingan seorang ibu dalam memilih makanan agar
pertumbuhan tidak terganggu. Bentuk perhatian/dukungan ibu terhadap
anak meliputi perhatian ketika makan, mandi dan sakit (Nadesul, 2004).
Wanita yang berstatus sebagai ibu rumah tangga memiliki peran
ganda dalam keluarga, terutama jika memiliki aktivitas di luar rumah
seperti bekerja ataupun melakukan aktivitas lain dalam kegiatan sosial.
Wanita yang bekerja di luar rumah biasanya dalam hal menyusun menu
tidak terlalu memperhatikan keadaan gizinya, tetapi cenderung
menekankan dalam jumlah atau banyaknya makanan (Sunarti, 2004).
10. Konsumsi energi dan protein
Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan.yang
dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumahtangga)
pada waktu tertentu. Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan pokok
yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber
energi dan zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang
lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan
zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat
badan, iklim dan aktivitas fisik (Almatsier, 2003).
Frekuensi makan dapat menunjukkan tingkat kecukupan konsumsi gizi.
Semakin tinggi frekuensi makan, maka semakin besar kemungkinan
terpenuhinya kecukupan gizi. Frekuensi makan pada seseorang dengan
kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan
kondisi ekonomi lemah. Hal ini disebabkan orang dengan kondisi ekonomi
yang lemah memiliki daya beli yang rendah sehingga tidak dapat
mengkonsumsi makanan dengan frekuensi yang cukup. Ketiadaan pangan
dapat mengakibatkan berkurangnya asupan seseorang (Arisman 2009).
Kekurangan energi protein (KEP) merupakan kurang gizi yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan
sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Supariasa,
2002). Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada
pemeriksaan hanya nampak kurus. Namun gejala klinis KEP berat secara
garis besar dapat dibedakan menjadi 3 yaitu Marasmus,Kwasiorkor, atau
Marasmic-Kwasiorkor.
a. Tanda-tanda Marasmus:
Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit, wajahnya
seperti orang tua kulit keriput, jaringan lemak subkitis sangat sedikit,
rewel, cengeng sering diare kronik atau sebaliknya konstipasi susah
buang air. Tekanan darah, detak jantung dan pernapasan berkurang
(Supariasa, 2002).
b. Tanda-tanda Kwasiorkor :
Terjadi oedema, umumnya seluruh tubuh terutama pada punggung
kaki.Wajah membulat dan sembab, pandangan mata sayu.Rambut tipis
kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa
sakit, rontok.Perubahan status mental, apatis dan rewel.Pembesaran hati
Otot mengecil (hipotrofi) lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri
atau duduk. Kelainan kulit berupa bercakmerah muda yang luas dan
berubah menjadi coklat kehitaman dan terkelupas, sering disertai
penyakit infeksi, umumnya akut, anemia dan diare (Supariasa, 2002)
11. Konsumsi pangan anak batita
Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah
pangan.yang dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau
rumahtangga) pada waktu tertentu. Konsumsi merupakan salah satu
kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu
sebagai sumber energi dan zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam
jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan.
Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor
seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik
(Almatsier 2003).
Frekuensi makan dapat menunjukkan tingkat kecukupan konsumsi
gizi. Semakin tinggi frekuensi makan, maka semakin besar kemungkinan
terpenuhinya kecukupan gizi. Frekuensi makan pada seseorang dengan
kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan
kondisi ekonomi lemah. Hal ini disebabkan orang dengan kondisi ekonomi
yang lemah memiliki daya beli yang rendah sehingga tidak dapat
mengkonsumsi makanan dengan frekuensi yang cukup. Ketiadaan pangan
dapat mengakibatkan berkurangnya asupan seseorang (Arisman 2009).
Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi
rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat
pengetahuan terhadap penyediaan bahan makanan terutama makanan
bergizi yang sangat dibutuhkan bagi anak-anak dan keluarganya.
Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi
lainya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan,
perumahan dan tempat tinggal (Suhardjo, 2003).
Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini
bisa dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang
tepat. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar
seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga
dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo, 2003)
Secara biologis ibu adalah sumber hidup anak. Tingkat pendidikan ibu
banyak menentukan sikap dan tindak-tanduk menghadapi berbagai
masalah, misal memberikan ASI eksklusif, Makanan pendamping ASI
yang cukup gizi, memintakan vaksinasi untuk anaknya, memberikan oralit
waktu diare, atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak dari ibu yang
mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup
serta tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan
atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan anak maupun salah satu
penjelasannya (Kardjati, 2003).
12. KADARZI
a. Pengertian Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)
Keluarga sadar gizi (Kadarzi) adalalah suatu keluarga yang mampu
mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya.
Suatu keluarga disebut Kadarzi apabila telah berperilaku gizi yang
baik yang dicirikan minimal dengan menimbang berat badan secara
teratur, memberikan air susu ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir
sampai umur 6 bulan (ASI eksklusif), makan beraneka ragam,
menggunakan garam beryodium, minum suplemen gizi (kapsul
vitamin A dosis tinggi) (Depkes RI, 2007).
Dalam hal ini, keluarga merupakan tatanan masyarakat terkecil dan
paling inti dengan beranggotakan bapak, ibu, dan anak-anak. Di
sinilah tata cara nilai, norma, kepedulian dan kasih sayang terbina
sejak dini. Dalam keluarga, sumber daya dimiliki dan dimanfaatkan
untuk memenuhi berbagai kebutuhan termasuk kebutuhan fisik yang
paling dasar yaitu makan dan minum.Ditingkat keluarga juga
dilakukan pengambilan keputusan tentang makanan, gizi dan
kesehatan dilaksanakan.Masalah yang terjadi ditingkat keluarga
seperti gizi kurang, gizi buruk, anemia dan sebagainya, sangat erat
kaitannya dengan perilaku keluarga yang bersangkutan selain akar
masalah adalah kemiskinan.Pemahaman Kadarzi oleh semua yang
bertujuan mewujudkan keluarga sehat, cerdas dan mandiri sangat
diperlukan untuk menjadikan bangsa sehat dan negara kuat
(Syahartini, 2006).
a. Pembinaan Keluarga Sadar Gizi
Pembinaan keluarga sadar gizi adalah melakukan berbagai upaya
untuk meningkatkan kemampuan keluarga, agar terwujud keluarga
yang sadar gizi.Upaya meningkatkan kemampuan keluarga itu
dilakukan dengan penyuluhan, demo, diskusi dan pelatihan (Depkes
RI, 2004).
b. Tujuan Pembinaan Keluarga Sadar Gizi
Tujuan Pembinaan Keluarga Sadar gizi (KADARZI) adalah
1) Menimbang batita ke posyandu secara berkala.
2) Mampu mengenali tanda-tanda sederhana keadaan kelainan gizi
(gizi kurang dan gizi lebih).
3) Mampu menerapkan susunan hidangan yang baik dan benar,
sesuai dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS).
4) Mampu mencegah dan mengatasi kejadian atau mencari rujukan,
manakala terjadi kelainan gizi di dalam keluarga.
5) Menghasilkan makanan melalui pekarangan (Depkes RI, 2004).
c. Sasaran Pembinaan Keluarga Sadar Gizi
Sasaran pembinaan Kadarzi adalah semua keluarga di wilayah kerja
puskesmas. Namun perhatian utama pembinaan ditujukan kepada
keluarga yang memiliki kelainan gizi, keluarga pra-sejahtera dan
keluarga sejahtera tahap I. Dengan adanya pembinaan kadarzi maka
diharapkan agar :
1) 80% batita ditimbang setiap bulan
2) 80% bayi 0-6 bulan diberi ASI saja (ASI eksklusif)
3) 90% keluarga menggunakan garam beryodium
4) 80% keluarga makan beraneka ragam sesuai kebutuhan
5) Semua batita gizi buruk dirawat sesuai standar tata laksana gizi
buruk
6) Semua anak 6-24 bulan GAKIN mendapat MP-ASI
7) 80% batita (5-59 bulan) dan ibu nifas mendapat kapsul vitamin A
sesuai anjuran
8) 80% ibu hamil mendapat TTD minimal 90 tablet selama
kehamilannya (Depkes , 2007)
d. Strategi untuk mencapai sasaran keluarga sadar gizi (Kadarzi).
Strategi untuk mencapai sasaran kadarzi adalah :
1) Meningkatkan fungsi dan peranan posyandu sebagai wahana
masyarakat dalam memantau dan mencegah secara dini gangguan
pertumbuhan batita.
2) Menyelenggarakan pendidikan/promosi gizi secara sistematis
melalui advokasi, sosialisasi, dan pendampingan keluarga.
3) Menggalang kerja sama dengan lintas sektor dan kemitraan
dengan swasta dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta
pihak lainnya dalam mobilisasi sumber daya untuk penyediaan
pangan.
4) Mengupayakan terpenuhinya kebutuhan suplemen gizi terutama
zat gizi mikro dan MP-ASI bagi batita dalam keluarga di bawah
garis miskin.
5) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas puskesmas
dan jaringannya dalam pengelolaan dan tatalaksana pelayanan
gizi.
6) Mengupayakan dukungan sarana dan prasarana pelayanan untuk
meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan gizi di puskesmas
dan jaringannya (Depkes RI, 2007).
e. Indikator Keluarga Sadar Gizi
Indikator keluarga sadar gizi digunakan untuk mengukur tingkat sadar
gizi keluarga. Menurut Depkes (2007), ada 5 indikator kadarzi yang
meliputi : penimbangan berat badan secara teratur, memberikan ASI
saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI Eksklusif),
makan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium, memberikan
suplemen gizi (kapsul vitamin A pada batita) sesuai anjuran.
1) Memantau pertumbuhan batita dengan menimbang Berat
Badan batitanya secara teratur
Menurut Soekirman (2000) status gizi batita erat hubungannya
dengan pertumbuhan anak, oleh karena itu perlu suatu ukuran/
alat untuk mengetahui adanya kekurangan gizi dini, monitoring
penyembuhan kurang gizi dan efektivitas suatu program
pencegahan. Sejak tahun 1980-an pemantauan berat badan anak
batita telah dilakukan dihampir semua desa di Indonesia melalui
posyandu. Dengan meningkatkan mutu penimbangan dan
pencatatannya, maka melalui posyandu dimungkinkan untuk
memantau status gizi setiap anak batita di wilayahnya
(Soekirman, 2000).
Pemantauan pertumbuhan batita yang dilakukan dengan
menimbang selain di posyandu bisa juga dilakukan di rumah atau
tempat lain setiap bulan dengan menggunakan alat penimbang
badan. Dapat dipantau dengan melihat catatan penimbangan batita
pada KMS selama 6 bulan terakhir yaitu bila bayi berusia > 6 bulan
ditimbang 4 kali atau lebih berturut-turut dinilai baik dan jika
kurang dari 4 kali dianggap belum baik.Bila bayi 4-5 bulan
ditimbang 3 kali atau lebih dinilai baik dan jika kurang dari 3 kali
dinilai belum baik. Bila bayi berusia 2-3 bulan ditimbang 2 kali
atau lebih berturut-turut dinilai baik dan jika kurang dinilai belum
baik, dan pada bayi yang masih berumur 0-1 bulan, baik jika
pernah ditimbang dan belum baik jika tidak pernah ditimbang
(Depkes RI, 2007).
2) Memberikan ASI Eksklusif
ASI Eksklusif merupakan makanan terbaik bagi bayi.Pemberian
ASI Eksklusif adalah menyusui bayi secara murni. Bayi hanya
diberi ASI saja tanpacairan lain seperti susu, jeruk, madu, air teh,
air putih, dan tanpa tambahanmakanan padat seperti pisang,
pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim (Danuatmojo,
2004).
ASI sangat baik diberikan kepada bayi segera setelah dia lahir
karena ASI merupakan gizi terbaik bagi bayi dengan komposisi
zat-zat gizi didalamnya secara optimal mampu menjamin
pertumbuhan tubuh bayi. Kualitas zat gizi ASI jugaterbaik karena
mudah diserap dicerna oleh usus bayi.Pemberian
makananpadat/tambahan yang terlalu dini dapat mengganggu
pemberian ASI Eksklusifserta meningkatkan angka kesakitan
pada bayi.Tidak ditemukan bukti yangmenyokong bahwa
pemberian makanan tambahan sebelum 4 atau 6 bulan
lebihmenguntungkan. Bahkan sebaliknya, hal ini akan
mempunyai dampak negatifterhadap kesehatan bayi dan tidak ada
dampak positif untuk pertumbuhan danperkembangan (Roesli,
2008).
ASI yang juga merupakan makanan yang sempurna, seimbang,
bersihsehat.Dapat diberikan setiap saat dan mengandung zat
kekebalan serta dapatmenjalin hubungan kasih sayang antara ibu
dan bayi (Syahartini, 2006).Namun masih banyak ibu yang tidak
memberikan bayinya ASI Eksklusifdengan faktor penyebab
antara lain :
- Produksi ASI yang kurang atau tidak keluar sama sekali,
- Umur; dimana ibu yang berusia muda kurang mengetahui
manfaat pemberian ASI Eksklusif,
- Penghasilan keluarga; keluarga dengan penghasilan besar
menginginkan anak yang sehat sehingga mereka membeli dan
memberikan susu atau makanan lain kepada bayinya tanpa
mereka sadari bahwa ASI dapat mencukupi sampai berumur 6
bulan,
- Status kesehatan ibu; pikiran kacau dan emosi saat menyusui
mengakibatkan bayi cengeng,
- Kurang persiapan ibu saat menghadapi masa laktasi sehingga
ASI tidak keluar pada masa 1-3 hari setelah melahirkan,
sehingga pemberian ASI tidak lancar dan ibu memilih
memberi bayinya susu formula dengan sendirinya ASI
Eksklusif terabaikan (Fatimah, 2007).
3) Makan beranekaragam makanan
Makanan beragam artinya makanan yang bervariasi (tidak
monoton).Variasi berarti susunan hidangan itu berubah dari hari-
kehari.Jenis makanan ataumasakan yang tersusun menjadi
hidangan juga harus menunjukkan kombinasi,artinya dalam satu
kali hidangan, misalnya makan siang, susunan tersebut terdiri dari
masakan yang berlain-lainan. Untuk mencapai kondisi demikian
maka bahanmakanan yang dipergunakan dan juga jenis
masakannya atau cara memasaknyaharus selalu beraneka ragam
(Sediaoetama, 2008).
Menurut Depkes RI (2007), makan beraneka ragam makanan
adalahkeluarga mengonsumsi makanan pokok, lauk pauk, sayuran
dan buah setiap hari.Susunan makanan menurut Pedoman Umum
Gizi Seimbang (PUGS)Departemen Kesehatan RI yaitu:
a) Beragam, apabila dalam setiap kali makan hidangan terdiri
dari makanan pokok + lauk pauk, sayur, buah atau makanan
pokok + lauk pauk +sayur
b) Tidak Beragam, apabila dalam setiap kali makan hanya
terdiri dari 2 atau 1 jenis pangan.
4) Menggunakan garam berjodium dalam makanannya
Garam beryodium baik adalah garam yang mempunyai
kandungan yodiumdengan kadar yang cukup (>30 ppm kalium
yodat ). Garam beryodium sangat perludikonsumsi oleh keluarga
karena zat yodium diperlukan tubuh setiap hari.Gangguan akibat
kekurangan yodium (GAKY) menimbulkan penurunan
kecerdasan pada anak-anak, gangguan pertumbuhan dan
pembesaran kelenjar gondok (Depkes RI, 2005).
Untuk mengetahui garam yang digunakan oleh keluarga
mengandungyodium atau tidak secara umum dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu melihat adatidaknya label garam
beryodium atau melakukan test yodina. Disebut baik jikaberlabel
dan bila ditest dengan yodina berwaran ungu, tidak baik jika tidak
berlabeldan bila ditest dengan yodina warna tidak berubah
(Depkes RI, 2007).
5) Pemberian Kapsul Vitamin A Pada Batita
Telah lama dikenal persenyawaan dengan aktifitas vitamin A,
misalnya vitamin A1 yang terdapat dalam jaringan mamalia dan
ikan laut, vitamin A2 padaikan tawar. Vitamin A larut dalam
lemak, stabil terhadap suhu yang tinggi dantidak dapat diekstraksi
oleh air yang dipakai untuk merebus makanan. Akan
tetapivitamin A dapat dihancurkan oleh pengaruh oksidasi, cara
memasak bahanmakanan secara biasa tidak mempengaruhi
keadaan vitamin A.
Kekurangan vitamin A menyebabkan Xerofthalmia, kekurangan
tersebut tersebar luas danmerupakan penyakit gangguan gizi pada
manusia yang sangat penting.DiIndonesia penyakit tersebut
merupakan salah satu diantara 4 masalah gizi utama,prevalensi
tertinggi terdapat pada anak-anak dibawah 5 tahun (Pudjiadi,
2000).
Sering kali kebutuhan vitamin A tidak terpenuhi dengan makan
sehari-hari.Kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan pemberian
vitamin A dosis tinggi 100.000 SI(kapsul biru) untuk batita umur
6-11 bulan dan vitamin A dosis tinggi 200.000 SI(kapsul merah)
untuk batita umur 12-59 bulan. Pemberian vitamin A
dilakukansetiap bulan Februari dan Agustus dan dapat diperoleh
di posyandu maupun dipuskesmas (Depkes RI, 2007).
13. Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Sadar Gizi Keluarga
a. Pengetahuan dan Pendidikan Ibu
Pendidikan yang rendah belum tentu kurang mampu menyusun
makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan
seseorang yang pendidikannya lebih tinggi. Walaupun pendidikan
seorang ibu itu rendah akantetapi dia bisa mendapatkan pengetahuan
gizi dari luar formal seperti dari penyuluhan, diskusi, dll. Tetapi
memang perlu dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami
pengetahuan gizi yang mereka peroleh (Supariasa dkk, 2002).
b. Pendapatan Keluarga
Keluarga dengan pendapatan terbatas besar kemungkinan tidak
dapatmemenuhi kebutuhan makanannya, setidaknya keanekaragaman
bahan makanankurang bisa dijamin.Banyak sebab yang turut berperan
dalam menentukan besar kecilnya pendapatan keluarga.Pada keluarga
dimana hanya ayah yang mencarinafkah tertentu berbeda dengan
besarnya pendapatannya dengan keluarga yang mengandalkan sumber
keuangan dari ayah dan ibu serta pekerjaan sampingan yangbisa di
usahakan sendiri dirumah (Supariasa dkk, 2002).
Keterbatasan kesempatan kerja yang bisa segera menghasilkan uang,
biasanya untuk pekerjaan diluar usaha tani, juga sangat mempengaruhi
besar kecilnya pendapatan keluarga. Kemampuan keluarga untuk
membeli bahan makanan dalam jumlah yang mencukupi juga amat
dipengaruhi oleh harga bahan makanan. Bahan makanan yang mahal
harganya biasanya jarang,atau bahkan tidak pernah di beli.
Tingkat pendapatan keluarga sangat mempengaruhi tercukupi atau
tidaknya kebutuhan primer, sekunder, serta perhatian dan kasih sayang
yang akan diperoleh anak. Hal tersebut tentu berkaitan erat dengan
jumlah saudara dan pendidikan orang tua. Pendapatan Keluarga
mencakup data sosial seperti keadaan penduduk suatu masyarakat,
keadaan keluarga, pendidikan, keadaan perumahan. Data ekonomi
meliputi pekerjaan, pendapatan, kekayaan, pengetahuan dan harga
makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim (Supariasa
dkk, 2002).
E. Kerangka Teori
KURANG GIZI
Makan Tidak Seimbang Penyakit Infeksi
Dampak
Kurang Pendidikan, Pengetahuan, dan Keterampilan
Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan
Gambar 1.Kerangka Teori Faktor Masalah Gizi menurut UNICEF 1998.
F. Kerangka Konsep
Tidak CukupPersediaan Pangan
Krisis ekonomi, politik dan sosial
Pola Asuh Anak Tidak Memadai
Sanitasi dan Air Bersih/PelayananKesehatan DasarTidak Memadai
Penyebablangsung
PenyebabTdk langsung
Kurang Pemberdayaan Wanitadan keluarga, kurang pemanfaatan
Sumberdaya Masyarakat
Asuapan Zat Gizi :-Asupan energi-Asupan Protein-Asupan Lemak-Konsumsi tablet Kapsul vit A
Sanitasi
Pola Asuh
Riwayat Penyakit
Pengetahuan
Status Gizi BatitaKetersediaan
Gambar 2. Kerangka Konsep yang mempengaruhi status gizi batita
BAB IIIMETODE
A. Ruang Lingkup Penelitian
Survey pengambilan data dasar mengenai faktor-faktor yang
berhubungan dengan status gizi batita di Kabupaten Lampung Selatan
dilaksanakan di Kecamatan Natar selama 7 Hari dengan mengambil variabel
yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi batita (asupan zat gizi,
riwayat penyakit infeksi, pola asuh, sanitasi dan persediaan air bersih,
ketersediaan pangan, sosial ekonomi, tingkat pengetahuan, pemberian ASI
ekslusif, frekuensi penimbangan, pemberian vitamin A, penggunaan garam
beryodium, keberagaman makanan dan praktek KADARZI).
B. Rancangan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini metode yang digunakan yaitu metode analitik
dengan pendekatan Cross Sectional. Cross Sectional merupakan penelitian
non experimental dalam rangka mempelajari dinamika kolerasi antara faktor-
faktor resiko yang berupa penyakit atau status kesehatan tertentu yang
diobservasi pada saat yang sama (Praktiknya, 2010).
C. Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh batita yang berada di Kecamatan Natar
Kabpaten Lampung Selatan
D. Sampel
1. Besar Sampel
Sampel batita dalam penelitian ini berdasarkan jumlah yang ada. Untuk
penelitan ini menggunakan rumus
n = Z2P x Q
d2
Z = Tingkat kepercayaan 95% (1,96)
d = error yang diteliti 5-10%
P = prevalensi Gizi buruk/ Gizi kurang 18,8%
Q = 1-P (0,903)
Besar Sampel :
n = (1,96)20,188x 0,903
0,0352
= (3,8416) 0,1697640,001225
= (3,8416) 135,582857
= 532,379903
Tolerasi 10% =532,379903+53,2379903
=585,617893
Kuota = 585,617893/86
= 6,8
Jadi sampel penelitian adalah 7 batita yang didata dan dilakukan
pengukuran dengan rumus :
2. Teknik Pengambilan Sampel
Pada penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan
teknik klaster (Cluster Random Sampling). Suatu klaster adalah suatu
kelompok dari subjek atau kesatuan analisis yang berdekatan satu dengan
yang lain secara geografi (Hastono, 2007).
E. Pengumpulan Data
1. Jenis-jenis data
a. Data Primer
Data penelitian diperoleh sendiri melalui proses wawancara observasi,
kuesioner dan pengukuran fisik
b. Data Sekunder
Data penelitian diperoleh dari sumber kedua, dokumen Badan Pusat
Statistik (BPS) atau dokumen lembaga atau institusi tertentu
2. Cara pengumpulan Data
a. Kuesioner
b. Observasi
c. Wawancara
3. Alat/Istrumen yang digunakan
a. Kuesioner
b. Lembar Food Recall
c. Microtoise
d. Infantometer
e. Meterline
f. Dacin, sarung
g. Timbangan digital
h. Pita LILA
i. Software FP2
j. TKPI dan Kalkulator
4. Petugas Pengumpul Data
Petugas pengumpul data adalah mahasiswa/i Jurusan Gizi Poltekkes
Kemenkes Tanjungkarang Semester 5.
F. Pengolahan Data
Tahapan pengolahan data, yaitu :
1. Editing
Editing merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir
atau kuesioner apakah jawaban yang ada di kuesioner sudah :
a. Lengkap: semua pertanyaan sudah terisi jawabannya.
b. Jelas : jawaban pertanyaan, apakah tulisannya cukup jelas terbaca
c. Relevan : jawaban yang tertulis apakah relevan dengan pertanyaan
d. Konsisten : apakah antara beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan
isi jawaban konsisten
2. Coding
Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data
berbentuk angka/bilangan. Coding digunakan untuk mempermudah pada
saat juga mempercepat pada saat entry data
3. Processing
Pemrosesan data yang dilakukan dengan cara meng-entry data dari
kuesioner ke paket program komputer. Pemrosesan dilakukan agar data
yang sudah di-entry dapat dianalisis.
4. Cleaning
Cleaning atau pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan
kembali data yang sudah di-entry dapat dianalisis (Hastono, 2007)
G. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis ini dilakukan secara deskriptif dengan distribusi frekuensi
variabel untuk kategori masing-masing variabel yang diteliti, baik
variabel terikat maupun variabel bebas.
2. Analisis Bivariat
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa bivariat
yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan
(Notoatmodjo,2010). Analisis yang dilakukan untuk menganalisa
hubungan masig-masing variabel terikat dengan variabel bebas
menggunakan uji statistic chi square, uji signifikasi antara data yang
diobservasi dengan data yang diharapkan dilakukan dalam batas
kepercayaan 95% (α= 0,05) yang artinya apabila diperoleh nilai P < 0,05
berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel bebas dengan
variabel yang terikan dan bila nilai P>0,05 berrti tidak ada hubungan yang
signifikan.
Bila pada perhitungan uji Chi Square ditemukan jumlah nilai
harapan kurang dari 5 sebanyak lebih dari 20% jumlah seluruh sel, maka
dilakukan uji Fisher Exact. Analisis uji statistic yang digunakan pada
penelitian ini yaitu menggunakan Chi Square yang dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara variabel tidak terikat dan variabel terikat
dengan uji statistik menggunakan perangkat lunak Komputer. Dipilihnya
uji Chi square sebagai uji analisis penelitian karena data yang akan
diperoleh merupakan data yang berbentuk kategorik, maka dari itu untk
mengetahui hubungan antara data kategorik dengan data kategorik
digunakanlah uji Chi Square.
BAB IV
Hasil Dan Pembahasan
4.1. Gambaran Umum Desa Penengahan
4.1.1 Letak geografis
Desa Sidosari merupakan desa yang berada di Kecamatan Natar
KabupatenLampung Selatan. Batas wilayah Desa Sidosari adalah sebagai
berikut :
a) Sebelah Utara : Desa Muara Putih
b) Sebelah Selatan : Desa Hajimena
c) Sebelah Barat : Desa Natar
d) Sebelah Timur : Kota Bandar Lampung
4.1.2 Demografi/Kependudukan
Desa Sidosari memiliki 6 dusun, yaitu Sinar Banten, Sidosari,
Sindang Liwa, Bangun Rejo, Simbaringin, Kampung Baru dengan 18 RT
serta 1048 kepala keluarga (KK). Berdasarkan profil Desa Sidosari jumlah
penduduk di Desa Sidosari adalah 4181 jiwa yang terdiri dari 2172 orang
berjenis kelamin laki-laki dan 2009 orang berjenis kelamin perempuan ,
yang terdiri dari 518 anak balita dengan penggolongan usia 0-6 tahun, 374
anak-anak dengan pengolongan usia 7-12 tahun, 269 anak remaja dengan
penggolongan usia 13-15 tahun, 620 orang tenaga kerja dengan
penggolongan usia 20-26 tahun, 2307 orang menurut tingkat pendidikan,
dan 2386 orang jumlah penduduk menurut mata pencaharian.
Pendudukan desa Penengahan seluruhnys beragama Islam dengan
jumlah 4118 orang. Desa ini memiliki Lembaga Pemerintahan dengan
jumlah pensiun PNS/TNI/POLRI desa sebanyak 5 orang,dan Badan
Perwakilan Desa yaitu sebanyak 34 orang.
Tabel 1
Distribusi Penduduk Berdasarkan Penggolongan Usia
Golongan Usia (tahun) Jumlah (orang)
0-6 518
7-12 374
13-15 269
20-26 620
27-40 968
Total 2749
4.1.3. Mata Pencaharian
Masyarakat desa Sidosari memiliki mata pencaharian
sebagai karyawan, buruh tani, buruh, pensiun PNS/TNI/POLRI,
pengrajin, petani, pemulung, jasa.
Berikut ini adalah tabel data jumlah orang dengan mata
pencaharian yang telah disebutkan diatas :
Tabel 2
Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Jenis Mata Pencaharian Jumlah (orang)
Petani 767
Buruh tani 1584
Pensiun PNS/TNI/POLRI 5
Karyawan 28
Jasa 2
Total 2386
4.1.4. Lembaga Kemasyarakatan
Lembaga kemasyarakatan yang terdapat di desa Sidosari
adalah Lembaga Perempuan (PKK), Dasa Wisma, dan Krang
Taruna.
Tabel 4
Distribusi Lembaga Kemasyarakatan Desa
Lembaga kemasyarakatan Jumlah lembaga
(buah)
Organisasi Perempuan (PKK) 6
Dasa Wisma 23
Organisasi Karang Taruna 1
Total 30
4.1.5. Sarana Pendidikan
Sarana pendidikan desa Sidosari terdapat 2 SD/sederajat
dan 1 lembaga pendidikan keagamaan.
Tabel 7
Sarana Pendidikan
Sarana Pendidikan Jumlah
SD/sederajat 2
Lembaga Keagamaan 1
4.1.9.Sarana Transportasi
Bidang sarana transportasi umum di desa Sidosari terdapat
2 jenis sarana dengan jumlah sarana terdapat 16 buah
4.1.10 Sarana Ibadah
Sarana ibadah terdapat 8 masjid dan 5
mushola/langgar/surau dan 1 Wihara
Tabel 8
Sarana Ibadah
Sarana Ibadah Jumlah
Masjid 8
Mushola/langgar/surau 5
Wihara 1
4.1.11.Sarana Olahraga
Terdapat 2 ssssjenis olahraga desa Sidosari ada 1 lapangan
sepak bola, 3 lapangan bulu tangkis, 4 meja pingpong, dan 3
lapangan voli.
Tabel 9
Sarana Olahraga
Sarana Olaharaga Jumlah
Lapangan sepak bola 1
Lapangan bulu tangkis 3
Meja pingpong 4
Lapangan voli 3
4.1.12. Sarana Kesehatan
Sarana dan prasarana kesehatan desa Penengahan terdapat 1
puskesmas pembantu, 4 posyandu, 1 dukun terlatih, dan 1 orang
bidan.
Tabel 10
Sarana dan Prasarana Kesehatan
Sarana dan Prasarana Kesehatan Jumlah
Puskesmas pembantu (Pustu) 1
Posyandu 4
Dukun terlatih 2
Bidan 1
4.1.13. Hasil Pertanian
Hasil pertanian makanan pokok masyarakat desa
Penengahan dalam 1 tahun yaitu jagung sebanyak 10,5 ton yang
dipanen 1 kali dalam 1 tahun, dan padi 2450 ton yang dipanen 2
kali dalam 1 tahun.
Hasil panen sayuran, buah, bumbu dan rempah-rempah
dalam satu tahun yaitu kacang panjang 0,375 ton yang dipanen 1
kali dalam 1 tahun, buncis 0,125 ton yang dipanen 1 kali dalam 1
tahun, terong 3 ton yang dipanen 1 kali dalam 1 tahun, pisang 60
ton yang dipanen 1 kali dalam 1 tahun, coklat 375 ton yang
dipanen 1 kali dalam 1 tahun, dan lada 9,8 ton yang dipanen 1 kali
dalam 1 tahun.
Tabel 11
Hasil Pertanian
Hasil
pertanian
Satuan Frekuensi panen
/tahun
Hasil produksi/
panen
Hasil
produksi/tahun
Jagung Ton 10,5 10,5 10,5
Padi Ton 2450 1225 2450
Kacang
panjang
Ton 0,375 0,375 0,375
Buncis Ton 0,125 0,125 0,125
Terong Ton 3 3 3
Pisang Ton 60 60 60
Coklat Ton 375 375 375
Lada Ton 9,8 9,8 9,8
4.1.14. Hasil Peternakan
Hasil produksi peternakan penduduk desa Penengahan
dalam 1 tahun yaitu sapi 12 ekor, kerbau 42 ekor, ayam 300 ekor,
bebek 117 ekor, dan kambing 70 ekor.
Tabel 12
Hasil Peternakan Penduduk Desa Penengahan
Hasil Peternakan Satuan Hasil produksi
Sapi Ekor 12
Kerbau Ekor 42
Ayam Ekor 30
Bebek Ekor 117
Kambing Ekor 70
4.2. Analisis Univariat
4.2.1. Usia Ayah
Tabel 1
Distribusi Usia Ayah
Kategori N %
20-30 tahun 40 40
>30 tahun 60 60
Total 100 100
Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui bahwa
usia kepala keluarga di desa penengahan adalah sebagai berikut:
untuk kelompok usia 20-30 tahun sebesar 40% dan kelompok usia
lebih dari 30 tahun sebesar 60%. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa rata-rata kepala keluarga di desa tersebut
berusia diatas 30 tahun dengan perbandingan 3:2.
4.2.2. Usia Ibu
Tabel 2
Distribusi Usia Ibu
Kategori N %
<20 tahun 2 2
20-30 tahun 66 66
>30 tahun 32 32
Total 100 100
Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui bahwa
usia ibu di desa penengahan adalah sebagai berikut: untuk
kelompok kurang dari 20 tahun sebesar 2%, kelompok usia 20-30
tahun sebesar 66% dan kelompok usia lebih dari 30 tahun sebesar
32%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rata-rata ibu di
desa tersebut berusia antara20- 30 tahun dengan persentase 66%.
4.2.3. Pendidikan Ayah
Table 3
Distribusi Pendidikan Ayah
Kategori N %
Tidak tamat SD 4 4
Dasar (SD dan SMP) 60 60
Menengah (SMA) 30 30
Tinggi (>SMA) 6 6
Total 100 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden
di desa penengahan untuk kategori pendidikan setiap kepala
keluarga di desa tersebut adalah sebagai berikut: tidak sekolah
sebesar 4%, pendidikan dasar (pendidikan SD dan SMP) 60%,
menengah (SMA) 30%, dan dengan pendidikan tinggi (>SMA)
sebesar 6%. Jadi dapat disimpulkan bahwa rata-rata pendidikan
kepala keluarga di desa penengahan berpendidikan dasar
(pendididkan SD dan SMP) sebanyak 60 orang dengan persentase
yaitu sebesar 60%.
4.2.4 . Pendidikan Ibu
Table 4
Distribusi Pendidikan Ibu
Kategori N %
Tidak sekolah 6 6
Dasar (SD dan SMP) 67 67
Menengah (SMA) 23 23
Tinggi (>SMA) 4 4
Total 100 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden
di desa penengahan untuk kategori pendidikan ibu di desa tersebut
adalah sebagai berikut: tidak sekolah sebesar 6%, pendidikan dasar
(pendidikan SD dan SMP) 67%, menengah (SMA) 23%, dan
dengan pendidikan tinggi (>SMA) sebesar 4%. Jadi dapat
disimpulkan bahwa rata-rata pendidikan ibu di desa penengahan
berpendidikan dasar (pendididkan SD dan SMP) sebanyak 67
orang dengan persentase yaitu sebesar 67%.
4.2.5. Pekerjaan Ayah
Tabel 5
Distribusi Pekerjaan Ayah
Kategori N %
PNS 1 1
Wiraswasta 18 18
Buruh 6 6
Petani 73 73
Lainnya 2 2
Total 100 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden
di desa penengahan untuk kategori pekerjaan setiap kepala
keluarga di desa tersebut adalah sebagai berikut: PNS sebesar 1%,
buruh 6%, tani 73%, wiraswasta 18%, dan pekrjaan lainnya 2%.
Jadi dapat di simpulkan bahwa pekerjaan rata-rata kepala rumah
tangga di desa penengahan yaitu sebanyak 73 orang bekerja
sebagai petani dengan persentase sebesar 73%.
4.2.6. Pekerjaan Ibu
Tabel 6
Distribusi Pekerjaan Ibu
Kategori N %
Ibu rumah tangga 73 73
Wiraswasta 6 6
Petani 18 18
Lainnya 3 3
Total 100 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden
di desa penengahan untuk kategori pekerjaan setiap ibu di desa
tersebut adalah sebagai berikut: ibu rumah tangga sebesar 73%,
petani 18%, wiraswasta 6%, dan lainnya 3%. Jadi dapat di
simpulkan bahwa pekerjaan rata-rata ibu di desa penengahan
yaitu73 orang sebagai ibu rumah tangga dengan persentase sebesar
73%.
4.2.7.Lantai Rumah
Tabel 7
Distribusi Keadaan Lantai Rumah
Kategori N %
Keramik 6 6
Semen 54 54
Kayu 5 5
Tanah 24 24
Lainnya 11 11
Total 100 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden
di desa penengahan untuk kategori keadaan fisik lantai rumah di
desa tersebut adalah sebagai berikut: lantai keramik sebesar 6%,
lantai semen 54%, lanta kayu 5%, lantai tanah 24%, dan lainnya
11%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tiap rumah
didesa penengahan rata-rata berlantai semen dengan persentase
54%.
4.2.8. Dinding Rumah
Tabel 8
Distribusi Keadaan Dinding Rumah
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden di desa
penengahan untuk kategori keadaan fisik dinding rumah di desa tersebut adalah
sebagai berikut : dinding tembok sebesar35%, dinding batuu bata 30%, dinding
kayu 11%, dinding bamboo 18%, dan lainnya 5%. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tiap rumah didesa penengahan rata-rata berdinding tembok
yaitu sebesar 35%.
4.2.9. Atap Rumah
Tabel 9
Distribusi Keadaan Atap Rumah
Kategori N %
Genteng 98 98
Seng 1 1
Kategori N %
Tembok 35 35
Batu bata 30 30
Kayu 11 11
Bambu 18 18
Lainnya 6 6
Total 100 100
Rumbia 1 1
Total 100 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden di desa
penengahan untuk kategori keadaan fisik atap rumah di desa tersebut
adalah sebagai berikut: rumah yang memiliki atap genteng sebesar 98%
dan rumah yang memiliki atap rumbia dan seng masing-masing 1% .
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tiap rumah didesa penengahan
rata-rata beratap genteng dengan persentase 98%.
4.2.10. Ventilasi
Tabel 10
Distribusi Keadaan Ventilasi Rumah
Kategori N %
Baik 25 25
Cukup 48 48
Kurang 27 27
Total 100 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 100 responden di desa
penengahan untuk kategori ventilasi rumah di desa tersebut adalah sebagai
berikut: kategori ventilasi baik sebesar 25%,ventilasi cukup sebesar 48%,
ventilasi kurang sebesar 27%.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
tiap rumah didesa penengahan rata-rata telah memiliki ventilasi yang baik.
4.2.11. Pencahayaan
Tabel 11
Distribusi Pencahayaan Rumah
Kategori N %
Terang 70 70
Gelap 30 30
Total 100 100
Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui bahwa sistem
pencahayaan untuk setiap rumah di desa penengahan adalah sebagai
berikut: untuk pencahayaan terang sebesar 70%, pencahayaan gelap
sebesar 30%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rata-rata rumah
penduduk di desa penengahan telah memiliki sistem pencahayaan yang
cukup terang yaitu sebesar 70%
4.2.12. Sumber Air Bersih
Tabel 12
Distribusi Air Bersih
Kategori N %
PAM 0 0
Sumur bor 14 14
Sumur gali Semen 72 72
Sumur gali tanah 14 14
Sungai 0 0
Total 100 100
Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui bahwa sistem
air bersih untuk setiap rumah di desa penengahan adalah sebagai berikut:
untuk rumah dengan yang memiliki sumur bor sebesar 14%, sumur gali
semen sebesar 72%, sumur gali tanah sebesar 14%. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa rata-rata rumah pendududk di desa penengahan
memiliki sumur gali semen dengan persentasi sebesar 72%.
4.2.13. Jarak Jamban
Tabel 13
Distribusi Jarak Jamban
Kategori N %
< 10 meter 46 46
10 meter atau lebih 54 54
Total 100 100
Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui bahwa jarak
jamban untuk setiap rumah di desa penengahan adalah sebagai berikut:
untuk jarak jamban kurang dari 10 meter sebesar 46% dan dengan jarak
lebih dari 10 meter sebesar 54%. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa penduduk yang jarak jambannya lebih dari 10 meter dari sumber air
bersih lebih besar dari penduduk yang jarak jambannya kurang dari 10
meter dengan perbandingan 27:23
4.2.14. Sistem Pembuangan sampah
Tabel 14
Distribusi Pembuangan Sampah
Kategori n %
Dibakar 74 74
Ditimbun 23 23
Lainnya 3 3
Total 100 100
Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui bahwa sistem
pembuangan sampah setiap rumah di desa penengahan adalah sebagai
berikut: sampah di bakar sebesar 74%, ditimbun 23%, dan lainnya 3%.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penduduk di desa penengahan
telah menggunakan sistem pembuangan sampah dengan cara di bakar yaitu
sebesar 74%.
4.2.15. Status Gizi (Indeks TB/U) Balita
Tabel 15
Distribusi Status Gizi (Indeks TB/U) Balita
Kategori n %
Sangat tinggi 4 4
Normal 62 62
Pendek 16 16
Sangat pendek 18 18
Total 100 100
Berdasarkan data diatas dari 100 responden balita yang diukur menurut
indeks TB/U dengan 4 kategori, memiliki persentase sebagai berikut:
sangat tinggi sebesar 4%, normal 62%, pendek 16%, dan sangat pendek
18%. Sehingga dapat disimpulkan rata-rata balita di desa penengahan yang
berstatus gizi normal berdasarkan indeks TB/U telah mencapai angka
diatas 50%.
Berdasarkan data RISKESDAS 2007 persentase nasional, masalah pendek
dan sangat pendek pada balita secara nasional masih serius yaitu sebesar
36,8% sedangkan di Lampung mencapai 40%. Hal ini menunjukan bahwa
balita di desa Penengahan memiliki status gizi pendek dan sangat pendek
lebih rendah dibandingkan dengan kondisi nasional maupun kondisi di
Lampung.
4.2.16. Status Gizi (Indeks BB/U) Balita
Tabel 16
Distribusi Status Gizi (Indeks BB/U) Balita
Kategori N %
Berat badan lebih 2 2
Normal 84 84
Berat Badan Kurang 8 8
Berat Badan Sangat Kurang 6 6
Total 100 100
Berdasarkan data diatas dari 100 responden balita yang diukur menurut
indeks BB/U dengan 5 kategori, memiliki persentase sebagai berikut: berat
badan lebih sebesar 2%, normal 84%, pendek 16%, berat badan kurang
8%, dan berat badan sangat kurang 6%. Sehingga dapat disimpulkan rata-
rata balita di desa penengahan yang berstatus gizi normal berdasarkan
indeks BB/U telah mencapai angka diatas 50% yaitu sebesar 84%.
Berdasarkan data RISKESDAS 2007 persentase nasional, masalah berat
badan kurang dan sangat kurang pada balita secara umum di Lampung
mencapai prevalensi 16,5%(mencapai target nasional perbaikan gizi 20%).
Hal ini menunjukan bahwa balita di desa Penengahan memiliki status gizi
menurut indeks BB/U untuk berat badan kurang dan berat badan sangat
kurang lebih rendah dibandingkan dengan kondisi nasional maupun
kondisi di Lampung yaitu sebesar 14%.
4.2.17 Status Gizi (Indeks BB/TB) Balita
Tabel 17
Distribusi Status Gizi (Indeks BB/TB) Balita
Kategori N %
BB sangat lebih 3 3
BB lebih 7 7
Normal 83 83
BB kurang 5 5
BB sangat kurang 2 2
Total 100 100
Berdasarkan data diatas dari 100 responden balita yang diukur menurut
indeks BB/TB dengan 5 kategori, memiliki persentase sebagai berikut:
berat badan sangat lebih sebesar 3%, berat badan lebih 7%, normal 83%,
berat badan kurang 5%, dan berat badan sangat kurang 2%. Sehingga
dapat disimpulkan rata-rata balita di desa penengahan yang berstatus gizi
normal berdasarkan indeks BB/TB telah mencapai angka diatas 50% yaitu
sebesar 83%.
Berdasarkan data RISKESDAS 2007 persentase nasional, masalah berat
badan kurang dan sangat kurang pada balita secara umum di Lampung
mencapai prevalensi 13,6%, sedangkan prevalensi nasional 10% sehingga
masih dianggap serius. Hal ini menunjukan bahwa balita di desa
Penengahan memiliki status gizi menurut indeks BB/TB untuk berat badan
kurang dan berat badan sangat kurang lebih rendah dibandingkan dengan
kondisi nasional maupun kondisi di Lampung yaitu sebesar 7%.
4.2.18 Status Gizi (Indeks IMT/U) Balita
Tabel 18
Distribusi Status Gizi (Indeks IMT/U) Balita
Kategori N %
Sangat gemuk 2 2
Gemuk 8 8
Resiko gemuk 16 16
Normal 66 66
Kurus 5 5
Sangat kurus 3 3
Total 100 100
Berdasarkan data diatas dari 100 responden balita yang diukur menurut
indeks BB/U dengan 6 kategori, memiliki persentase sebagai berikut:
sangat gemuk 2%, gemuk 8%, resiko gemuk 16%, normal 66%, berat
badan kurus 5%, dan berat badan sangat kurus 3%,Sehingga dapat
disimpulkan rata-rata balita di desa penengahan yang berstatus gizi baik
berdasarkan indeks IMT/U telah mencapai angka diatas 50% yaitu sebesar
66%.
4.2.19 Jumlah Anggota Rumah Tangga
Tabel 19
Distribusi Jumlah Anggota Rumah Tangga
Kategori N %
Keluarga kecil 48 48
Keluarga besar 52 52
Total 100 100
Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui terdapat
keluarga kecil sebesar 48% dan keluarga besar 52% dengan perbandingan
12:13.
4.2.20. Pendapatan Keluarga
Tabel 20
Distribusi Pendapatan Keluarga
Kategori N %
<umr Rp. 678000 55 55
>umr Rp. 678000 45 45
Total 100 100
Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui bahwa
pendapatan keluarga di desa penengahan diatas UMR sebesar 45% dan
dibawah UMR sebesar 55% angka ini menunjukan perbandingan yang
tidak signifikan yaitu 9:11 dengan selisih sebesar 10%.
4.2.21 Asupan % Angka Kecukupan Gizi (AKG) Energi Balita
Tabel 21
Distribusi Asupan % Angka Kecukupan Gizi (AKG) Energi Balita
Kategori N %
<80% AKG 52 52
>=80% AKG 48 48
Total 100 100
Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui asupan makan
untuk balita menurut angka kecukupan gizi (AKG) energi yaitu balita
dengan asupan energy kurang dari 80% sebesar 52% sedangkan balita
yang memperoleh asupan energy lebih dari 80% terdapat sebesar 48%
dengan demikian diperoleh perbandingan 13:12.
4.2.22 Asupan % Angka Kecukupan Gizi (AKG) Protein Balita
Tabel 22
Distribusi Asupan % Angka Kecukupan Gizi (AKG) Protein Balita
Kategori n %
<80% AKG 26 26
>=80% AKG 74 74
Total 100 100
Berdasarkan data di atas dari 100 responden dapat diketahui asupan makan
balita menurut angka kecukupan gizi (AKG), asupan protein balita yaitu
sebagai berikut: balita dengan asupan protein kurang dari 80% sebesar
26% sedangkan balita yang memperoleh asupan protein lebih dari 80%
terdapat sebesar 74% dengan demikian diperoleh perbandingan 13:37.
4.2.23. Pemberian ASI (Air Susu Ibu) Eksklusif
Tabel 23
Distribusi Pemberian ASI Eksklusif
Asi Eksklusif n %
Ya 36 36
Tidak 57 57
Tidak tahu 7 7
Total 100 100
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Balita di desa penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel 44 balita
(44%) berjenis kelamin laki-laki dan 56 balita (56%) berjenis kelamin
perempuan.
2. Balita di desa penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel diketahui
bahwa balita yang berusia 0-6 bulan sebanyak 14 balita (14%), berusia 7-
12 bulan sebanyak 19 balita, berusia 13-36 bulan sebanyak 41 balita dan
yang berusia 37-59 bulan sebanyak 26 balita.
3. Balita di desa penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel diketahui
bahwa status gizi balita menurut indeks BB/U yang berkategori kurang
sebanyak 8 balita (8%) dan kategori sangat kurang 6 balita (6%).
4. Balita di desa penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel diketahui
bahwa status gizi balita menurut indeks TB/U yang berkategori sangat
tinggi sebanyak 4 balita (4%), pendek sebanyak 16 balita (16%), dan
berkategori sangat pendek 18 balita (18%).
5. Balita di desa penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel diketahui
bahwa status gizi balita menurut indeks BB/TB yang berkategori berat
badan sangat lebih sebanyak 3 balita (3%), berkategori kurang 5 balita
(5%), dan berkategori sangat kurang sebanyak 2 orang (2%).
6. Balita di desa penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel diketahui
bahwa status gizi balita menurut indeks IMT/U yang berkategori sangat
gemuk 2 balita (2%), gemuk 8 balita ( 8%), resiko gemuk 16 balita (16%),
normal 66 balita (66%), berat badan kurus 5 balita (5%), dan berat badan
sangat kurus 3balita (3%).
7. Balita di desa penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel diketahui
bahwa konsumsi energi yang berkategori kurang sebanyak 52 balita (52%)
dan berkategori lebih sebanyak 48 balita(48%).
8. Balita di desa Penengahan dari 100 balita yang menjadi sampel diketahui
bahwa konsumsi protein yang berkategori kurang sebanyak 26 balita
(26%) dan berkategori lebih sebanyak 74 balita (74%).
9. Pekerjaan ayah balitayang menjadi sampel di desa Penengahan,
berdasarkan data yang diperoleh sebanyak 1orang (1%) bekerja sebagai
PNS, buruh 6 orang (6%), petani 73 orang (73%), wiraswasta 18 orang
(18%) dan pekerjaan lainnya sebanyak 2 orang (2%).
10. Pekerjaan ibu balita yang menjadi sampel di desa Penengahan,
berdasarkan data yang diperoleh sebanyak 73 orang sebagai ibu rumah
tangga (73%), petani 18 orang (18%), wiraswasta sebanyak 6 orang (6%)
dan lainnya 3 orang (3%).
11. Usia ayah balita yang menjadi sampel di desa Penengahan, berdasarkan
data yang diperoleh sebanyak 40 orang (40%) berusia antara 20 sampai
dengan 30 tahun dan 60 (60%) orang berusia diatas 30 tahun.
12. Usia ibu balita yang menjadi sampel di desa Penengahan, berdasarkan data
yang diperoleh sebanyak 2 orang (2%) berusia kurang dari 20 tahun,
berusia antara 20 sampai dengan 30 tahun sebanyak 66 orang (66%), dan
32 orang (32%) berusia diatas 30 tahun.
13. Pendidikan ayah balita yang menjadi sampel di desa Penengahan,
berdasarkan data yang diperoleh sebanyak 4orang (4%) tidak tamat SD, 60
orang (60%) berpendidikan dasar (SD dan SMP), 30 orang (30%)
berpendidikan menengah (SMA), dan 6 orang (6%) berpendidikan tinggi
(>SMA).
14. Pendidikan ibu balita yang menjadi sampel di desa Penengahan,
berdasarkan data yang diperoleh sebanyak 6 orang (6%) tidak tamat SD,
67 orang (67%) berpendidikan dasar (SD dan SMP), 23 orang (23%)
berpendidikan menengah (SMA), dan 4 orang (4%) berpendidikan tinggi
(>SMA).
15. Pendapatan keluarga balita yang menjadi sampel di desa Penengahan
untuk kategori pendapatan keluarga dibawah UMR terdapat 55 keluarga
(55%) dan diatas UMR terdapat 45 keluarga (45%).
16. Jumlah anggota keluarga di desa Penengahan untuk kategori keluarga kecil
terdapat 48 keluarga (48%) dan kategori keluarga besar 52 keluarga
(52%).
17. Keluarga balita di desa Penengahan yang memiliki ventilasi udara untuk
kategori baik sebanyak 25 rumah (25%), kategori cukup 48 rumah (48% ),
dan kategori kurang sebanyak 27 rumah (27%).
18. Keluarga balita di desa Penengahan yang memiliki pencahayaan untuk
kategori terang
sebanyak 70 rumah (70%) dan kategori gelap sebanyak 30 rumah (30%).
19. Keluarga balita di desa Penengahan yang memiliki sumber air bersih yang
menggunakan sumur bor sebanyak 14 rumah (14%), sumur gali semen
sebanyak 72 rumah (72%), sumur gali tanah sebanyak 14 rumah (14%)
dan yang menggunakan sumber air bersih berasal dari PAM dan sungai
tidak ada.
20. Keluarga balita di desa Penengahan yang ditinjau dari keadaan fisik lantai
rumahnya untuk kategori lantai keramik sebanyak 6 rumah (6%), semen
sebanyak 54 rumah (54%), kayu sebanyak 5 rumah (5%), tanah sebanyak
24 rumah (24%) dan untuk kategori lainnya sebanyak 11 rumah (11%).
21. Keluarga balita di desa Penengahan yang ditinjau dari keadaan fisik
dinding rumahnya untuk kategori dinding tembok sebanyak 35 rumah
(35%), batu bata sebanyak 30 rumah (30%), kayu sebanyak 18 rumah
(18%), bambu sebanyak 11rumah (11%) dan untuk kategori lainnya
sebanyak 6 rumah (6%).
22. Keluarga balita di desa Penengahan yang ditinjau dari keadaan fisik atap
rumahnya untuk kategori atap genting sebanyak 98 rumah (98%), atap
seng sebanyak 1 rumah (1%), dan atap rumbia sebanyak 1rumah (1%) .
23. Keluarga balita di desa Penengahan yang memiliki system pembuangan
sampah dengan cara di bakar sebanyak 74 rumah (74%), ditimbun
sebanyak 23 rumah (23%) dan dengan cara yang lainnya sebanyak 3
rumah (3%).
24. Keluarga balita di desa Penengahan yang memiliki jarak jamban kurang
dari 10 mater dari sumber air bersih sebanyak 46 rumah (46%) dan yang
berjarak lebih dari 10 meter dari sumber air bersih sebanyak 54 rumah
(54%).
25. Berdasarkan data yang telah diperoleh dapat diketahui bahwa ibu balita di
desa Penengahan yang tidak memberikan ASI eksklusif sebanyak 57 orang
(57%) , yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 36 orang (36%) dan
terdapat 7 orang yang belum tahu (usia bayi belum mencapai 6 bulan).
Berdasarkan data diatas yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 36 orang (36%), yang tidak memberikan ASI Eksklusif sebanyak 57 orang (57%), dan yang belum diketahui (usia balita belum mencapai 6 bulan) sebanyak 7 orang (7%). Berdasarkan standar nasional dalam penelitian Amiruddin Ridwan dan kawan-kawan 2006 pemberian ASI Eksklusif yang telah ditetapkan yaitu sebesar 80 %, hal ini menunjukkan bahwa pemberian ASI Eksklusif di desa Penengahan lebih rendah dari standar nasional.