bab i

75
BAB I PENDAHULUAN Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. 1,2 Di Indonesia, saat ini penyakit demam tifoid masih merupakan penyakit endemik, terutama di kota-kota besar yang padat penduduknya, seperti halnya di negara-negara yang sedang berkembang lainnya. Hal ini berhubungan erat dengan keadaan sanitasi, kebiasaan higiene yang tidak memuaskan dan tingkat pendidikan yang rendah. 3,4 Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. 1 Penderita anak biasanya berumur di atas satu tahun. Sebagian besar penderita (80%) yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta berumur di atas 5 tahun. 5 Etiologi demam tifoid adalah kuman Salmonella typhi, basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, dan tidak berspora. 5 Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yakni pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering adalah pembawa. Orang-orang tersebut mengekskresi 10 9 sampai 10 11 kuman per gram tinja. Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan 1

Upload: nevimirusdin

Post on 09-Dec-2014

30 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang

disebabkan oleh kuman Salmonella typhi.1,2

Di Indonesia, saat ini penyakit demam tifoid masih merupakan penyakit

endemik, terutama di kota-kota besar yang padat penduduknya, seperti halnya di

negara-negara yang sedang berkembang lainnya. Hal ini berhubungan erat dengan

keadaan sanitasi, kebiasaan higiene yang tidak memuaskan dan tingkat pendidikan

yang rendah.3,4

Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-

undang No. 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini

merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak

orang, sehingga dapat menimbulkan wabah.1 Penderita anak biasanya berumur di

atas satu tahun. Sebagian besar penderita (80%) yang dirawat di Rumah Sakit

Cipto Mangunkusumo Jakarta berumur di atas 5 tahun.5

Etiologi demam tifoid adalah kuman Salmonella typhi, basil gram negatif,

bergerak dengan rambut getar, dan tidak berspora.5 Ada dua sumber penularan

Salmonella typhi, yakni pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering adalah

pembawa. Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 kuman per gram

tinja. Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan

yang tercemar oleh pembawa merupakan sumber penularan yang paling sering.

Pembawa adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus

mengekskresi Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu

tahun.1

Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejala yang

timbul amat bervariasi. Perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia,

tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu, gambaran

penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran

penyakit khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini menyebabkan bahwa

seorang ahli yang sangat berpengalaman pun dapat mengalami kesulitan untuk

membuat diagnosa klinis demam tifoid.1 Adapun gejala klinis yang umumnya

1

2

Page 2: BAB I

terjadi adalah demam 5 hari atau lebih, gangguan pencernaan, dan gangguan

kesadaran.6

Berikut dilaporkan sebuah kasus demam tifoid pada seorang anak

perempuan berumur 3 tahun yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD

Palembang BARI.

2

Page 3: BAB I

BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama lengkap : An. Q Jenis Kelamin : perempuan

Tempat tanggal lahir : Palembang, 20-01-10 Umur : 3 tahun

Nama Ayah :Tn.V Umur : 36

Pekerjaan Ayah : Buruh Pendidikan Ayah : SMA

Nama Ibu : Ny.T Umur : 32 th

Pekerjaan Ibu : Ibu rumah tangga Pendidikan Ibu : SMA

Alamat : Lr. Bakang kel. 9 ilir

Masuk RS tanggal : 01 maret 2013

Diagnosis Masuk : Observasi febris e.c demam tifoid

Tanggal : 15 september 2011 (Alloanamnesis dengan ibu pasien)

KELUHAN UTAMA : Demam naik turun sejak 6 hari SMRS

KELUHAN TAMBAHAN : Lemes

Riwayat penyakit sekarang

Sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit, sore hari (pukul 16.00) pasien

mengalami demam yang makin lama semakin tinggi, demam naik turun

terutama dirasakan pada sore dan malam hari. Oleh ibu pasien dibawa

berobat ke bidan, mendapat sirup obat dan puyer. Panas sempat turun tapi

saat subuh panas naik lagi. Sesak napas tidak ada, batuk tidak ada, pilek

tidak ada, BAB dan BAK normal.

Sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, keluhan panas dirasakan

semakin bertambah, panas naik turun, naik saat sore hari dan setelah pagi

hari panas turun. Keluhan disertai perasaan tidak enak diperut, muntah,

frekuensi muntah 1x, ¼ gelas belimbing, tidak menyemprot, isi apa yang

dimakan, penderita tidak nafsu makan, bibir kering, batuk kering, dan badan

terasa lemas. Demam tidak disertai adanya menggigil, kejang, penurunan

kesadaran, sakit kepala, Timbul bintik merah, mimisan, gusi berdarah, dan

pilek. BAB berdarah/hitam/cair/lendir tidak ada, nyeri perut yang hebat tidak

3

Page 4: BAB I

ada, nyeri saat kencing tidak ada. Pasien kemudian dibawa ke IGD RSUD

Palembang BARI.

R/ Batuk lama disertai keringat malam, berat badan turun disangkal

R/ Kontak dengan penderita batuk lama/ batuk berdahak disangkal

R/ Berpergian ke daerah endemis malaria disangkal

R/ Sakit dengan gejala yang sama sebelumnya disangkal

Riwayat penyakit pada keluarga yang ditularkan (sebutkan penyakitnya terutama

yang ada hubungan dengan penyakit sekarang)

1. Riwayat sakit yang sama seperti penderita disangkal

2. Riwayat sakit darah tinggi disangkal

3. Riwayat sakit kencing manis disangkal

4. Riwayat sakit paru dan jantung disangkal

Kesan : tidak terdapat riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan

penyakit sekarang

Riwayat keluarga diberikan oleh : ayah/ ibu/ kakek/ nenek/ saudara/ tetangga *)

ikhtisar keturunan : (gambar skema keluarga dan beri tanda keluarga yang

menderita penyakit sejenis. Untuk kelainan kongenital usahakan skema yang lebih

lengkap termasuk saudara sepupu dsb.)

4

Page 5: BAB I

Kesan : tidak ada riwayat penyakit yang diturunkan dalam keluarga

5

= laki-laki=perempuan=meninggal= pasien

9 Thn 7 tahun

36 thn

Page 6: BAB I

RIWAYAT PRIBADI

1. Riwayat kehamilan dan persalinan : (terangkan dengan jelas faktor risiko

berhubungan dengan peyakit/ kelainan yang didapat)

1. Riwayat kehamilan ibu pasien

Ibu G1P0A0 hamil anak pertama saat usia 23 tahun, Ibu

memeriksakan kehamilannya saat usia 1 bulan, selanjutnya ibu pasien

rutin memeriksakan kehamilannya ke bidan desa. Ibu tidak mengalami

mual dan muntah berlebihan saat hamil. Tidak ada riwayat trauma maupun

infeksi saat hamil. Ibu pasien tidak pernah mengkonsumsi jamu dan obat-

obatan kecuali yang diberikan bidan. Tekanan darah ibu dinyatakan

normal, berat badan ibu dinyatakan normal dan perkembangan kehamilan

dinyatakan normal.

2. Riwayat persalinan ibu pasien

Ibu melahirkan anak pertama dibantu oleh bidan. Umur kehamilan

±38 minggu, persalinan normal, presentasi kepala, bayi langsung menangis

kuat, warna kulit kemerahan. Berat badan lahir 2900 gram, tidak

ditemukan cacat bawaan saat lahir.

3. Riwayat paska lahir pasien

Bayi perempuan berat badan 2100 gram, setelah lahir langsung

menangis, gerak aktif, warna kulit kemerahan, tidak ada demam atau

kejang. ASI keluar pada hari ke-1, bayi langsung menetek pada ibu. Bayi

tidak kuning, tidak biru.

KESAN :Riwayat ANC baik, persalinan normal dan riwayat PNC baik

4. Riwayat makanan : (sejak lahir sampai sekarang, kualitas dan kuantitas)

0 - 6 bulan : ASI + susu formula

6 - 8 bulan : ASI + susu formula semaunya + bubur susu dengan tahu tempe,

ikan yg dihaluskan 2 kali sehari satu mangkok kecil

9 – 10 bulan : ASI + susu formula semaunya + nasi lembek + sayur + lauk

(tahu, tempe, ikan, daging), 2x sehari, satu mangkok

6

Page 7: BAB I

11 – 12 bulan : ASI + susu formula semaunya + nasi, sayur, lauk 2 kali satu

mangkuk kecil, di tambah buah

2 th – sekarang : sama seperti makanan keluarga, jarang makan sayur dan buah

Kesan : Pasien tidak mendapat ASI eksklusif, kuantitas makanan kurang &

kualitas makanan kurang, makanan tidak sesuai dengan usia.

5. Perkembangan dan kepandaian : uraian secara kronologis sejak lahir

sampai sekarang.

1. Motorik kasar

1. Tengkurap usia 3 bulan

2. Berjalan usia 12 bulan

1. Motorik halus

1. Memegang benda usia 5 bulan

2. Mulai mencoret-coret usia 1,5 tahun

1. Bahasa

3. Ucap kata usia 5 bulan

4. Berteriak usia 5 bulan

5. Berbicara baik usia 1,5 tahun

1. Personal sosial

1. Tersenyum usia 3 bulan

2. Berpartisipasi dalam permainan usia 7 bulan

Kesan : perkembangan dan pertumbuhan sesuai usia

3. Vaksinasi

Jenis I II III IV V VI

BCG 1 bulan - - - - -

DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan 18 bulan 6 tahun -

POLIO 0 hari 2 bulan 4 bulan 6 bulan 18 bulan -

CAMPAK 9 bulan - - - -

HEPATITIS B 0 hari 1 bulan 6 bulan - - -

Kesan : imunisasi dasar lengkap sesuai PPI sesuai dengan usia dan telah

mendapatkan ulangan.

7

Page 8: BAB I

4. Riwayat penyakit dahulu :

1. Riwayat demam serupa : disangkal

2. Riwayat berak cair & muntah : disangkal

3. Riwayat batuk pilek : disangkal

4. Riwayat alergi : disangkal

5. Riwayat asma : disangkal

6. Riwayat kejang dengan demam : disangkal

7. Riwayat kejang tanpa demam : disangkal

KESAN : Tidak terdapat penyakit terdahulu sebelumnya.

8. Sosial, ekonomi, dan lingkungan:

1. Sosial Ekonomi

Ayah (36 tahun) bekerja sebagai buruh serabutan dengan

penghasilan Rp. 1.000.000,- tiap bulannya dan ibu (32 tahun) bekerja

sebagai ibu rumah tangga. Menurut ibu pasien, penghasilan keluarga

kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

2. Lingkungan

Pasien tinggal bersama kedua orangtuanya, seorang kakak laki-laki

dan keluarga dari kakak ibunya dengan 2 anak . Rumah terdiri dari 3

kamar tidur, ruang tamu, dapur dan 1 kamar mandi. WC menyatu dengan

kamar mandi. Atap terbuat dari genteng, dinding dari semen, lantai dari

semen, terdapat jendela 2. sumber air yang digunakan adalah air sumur

yang bening dan tidak berbau. Jarak septic tank dan sumur ±20 meter.

Tidak terdapat sungai dan pabrik di sekitar rumah dan sampah dibakar

setiap 3 hari.

Kesan : keadaan sosial ekonomi cukup & kondisi lingkungan cukup

9. Anamnesis sistem :

1. Serebrospinal : demam (+), kejang (-), penurunan kesadaran (-)

2. Kardiopulmoner : sianosis (-), keringat dingin (-)

3. Respiratorius : sesak nafas (-), batuk (+) kering, pilek (-)

8

Page 9: BAB I

4. Gastroitestinal : mual/muntah (+/+), BAB biasa, makan/minum

(↓/+)

5. Urogenital : BAK normal

6. Integumentum : bintik merah (-), ikterik (-)

7. Muskuloskeletal : kelainan bentuk (-) nyeri sendi (-)

Kesan : terdapat masalah pada sistem cerebrospinal, respiratorius, gastrointestinal

KESAN UMUM

Tanda utama : Compos mentis, tampak lemes

Hr : 112 kali permenit, isi dan tegangan cukup

Suhu badan : 37,8 C

Pernapasan : 24 kali permenit

Kesan : compos mentis

Status Gizi

Berat badan : 12 kg Tinggi badan : 90 cm

BB/U : 12/14x100% = 85 % gizi baik

TB/U : 90/93x100% = 96 % normal

BB/TB : 12/13x100% = 92 % gizi baik

Kesimpulan status gizi : baik

Kulit : petekie (-), ruam kulit (-), pucat (-), ikterik (-)

Kelenjar limfa : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Otot : eutrofi, nyeri otot (-)

Tulang : intak, deformitas (-)

Sendi : nyeri sendi (-), tanda radang (-), deformitas (-)

Kesan : kulit, kelenjar lime, otot, tulang dan sendi dalam batas normal

PEMERIKSAAN KHUSUS :

Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak teraba massa abnormal

Thoraks : simetris, retraksi -/-, ketinggalan gerak -/-

Jantung :

a. Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

b. Palpasi : teraba kuat angkat

c. Perkusi : redup

9

Page 10: BAB I

batas jantung :

kanan atas : SIC II LPS dextra

kanan bawah : SIC IV LPS dextra

kiri atas : SIC II LPS sinistra

kiri bawah : SIC V LMC sinistra

d. Auskultasi : bunyi jantung I-II Intensitas regular, bising jantung (-)

Kesan : Leher, thoraks dan jantung dalam batas normal.

Paru-paru

Kanan DEPAN kiri

Simetris (+), retraksi -/- Inspeksi Simetris (+), retraksi -/-

Ketinggalan gerak (-),

fremitus (+) sama

Palpasi Ketinggalan gerak (-),

fremitus (+) sama

Sonor Perkusi Sonor

SDV +/+, wheezing (-/-),

Ronkhi (-/-)

Auskultasi SDV +/+, wheezing (-/-),

Ronkhi (-/-)

Kanan BELAKANG kiri

Simetris (+), retraksi -/- Inspeksi Simetris (+), retraksi -/-

Ketinggalan gerak (-),

fremitus (+) sama

Palpasi Ketinggalan gerak (-),

fremitus (+) sama

Sonor Perkusi Sonor

SDV +/+, wheezing (-/-),

Ronkhi (-/-)

Auskultasi SDV +/+, wheezing (-/-),

Ronkhi (-/-)

Kesan : Paru dalam batas normal.

Abdomen : - Inspeksi : simetris, distensi (-), sikatrik (-), darm countur (-),

darm steifung (-).

- Auskultasi : peristaltik (+) N , metallic sound (-).

- Perkusi : Timphany

- Palpasi : Lemas, distensi(-), massa (-), nyeri ulu hati (+),

turgor kulit masih baik.

Hati : Terdapat pembesaran 3 jari di bawah arcus costae

Limpa : tidak terdapat pembesaran

Anogenital : tidak ada kelainan

Kesan : Terdapat pembesaran hati (Hepatomegali).Nyeri tekan pada ulu hati

Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), Edema(-), CRT < 3”

10

Page 11: BAB I

STATUS NEUROLOGIS

tungkai lengan

kanan kiri kanan kiri

Gerakan : bebas bebas bebas bebas

Tonus : normal normal normal normal

Trofi : entrofi eutrofi eutrofi eutrofi

Clonus Tungkai : (-) (-) tidak dilakukan tidak dilakukan

Reflek fisiologis : Reflek patella (+) normal, archiles (+), normal, tricep (+) normal

Refleks patologis : Babinski (-), chaddock (-)

Meningeal Sign : Kaku kuduk (-), Brudzinski I (-), Brudzinski II (-), kernig (-)

Sensibilitas : Dalam batas normal

Kesan : status neurologi dalam batas normal

Kepala : normochepal, rambut warna hitam lurus, tidak mudah dicabut

Bentuk :mesochepal

Ubun-ubun : sudah menutup sempurna

Mata : Conjungtiva anemis (-), Skelera ikterik (-), pupil isokor, reflek

cahaya(+).

Hidung : Sekret (-/-), mukosa hipermis (-/-), mukosa hiperemis (-/-)

Epistaksis/ mimisan (-/-)

Telinga : Serumen (-/-), hiperemis (-/-)

Mulut : Rhagaden (+), typhoid tongue (+), sianosis (-), stomatitis (-), gusi

berdarah (-)

Pharing : hiperemis (-).

Gigi : 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6

Tidak terdapat casies dan calculus

6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6

Kesan : Kepala, mata, hidung, telinga, mulut, pharing dan gigi dalam batas normal.

11

Page 12: BAB I

Hb : 10,6 gr/dL

Leukosit : 3.900/ML

Hematokrit : 35 %

Trombosit : 116.000/ML

Basofil : 0

Eosinofil : 0

Batang : 3

Segmen : 48

Limfosit : 45

Monosit : 4

Kesan: di dapatkan leukopenia

Pemeriksaan widal

PEMERIKSAAN HASIL

S. Typhi-O 1/320

S.O Parathypi A 1/80

S.O Parathypi B 1/160

S.O Parathypi C 1/80

S. Typhi-H 1/80

S.H Parathypi A -

S.H Parathypi B 1/80

S.H Parathypi C 1/80

12

Page 13: BAB I

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Laboratorium

1.panas 6 hari, naik turun, disertai

muntah dan batuk berdahak

(+), nafsu makan menurun.

2.Tidak didapatkan tanda perdarahan

dan tanda dehidrasi.

3.Riwayat ANC baik, persalinan

Spontan, dan riwayat PNC baik

4.Kuantitas makanan cukup, kualitas

kurang, makanan tidak sesuai

usia

5.Perkembangan dan kepandaian baik

6.Tidak terdapat riwayat penyakit

keluarga/ lingkungan yang

ditularkan dan diturunkan.

7.Tidak terdapat RPD yang

berhubungan dengan RPS

Keadaan sosial ekonomi cukup &

kondisi lingkungan rumah kurang

1. Keadaan umum : Compos

Mentis,

2. Tidak terdapat tanda dehidrasi

dan perdarahan

3. Status neurologis dalam batas

normal

4. Meningeal sign (-)

5. Pemeriksaan paru dan jantung

dalam batas normal

6. Status gizi kurang menurut

CDC (BB//U, TB//U, BB//TB)

Caries (-), calculus (-)

Darah rutin

-Leukositopenia

-Widal (+)

Daftar masalah (aktif dan inaktif)

1. Aktif

1. Demam 6 hari naik turun

2. Muntah berisi sisa makanan, lendir (-)

3. Batuk (+) tidak berdahak jarang-jarang.

4. Lemas

5. Penurunan nafsu makan

2. Inaktif

Kondisi lingkungan cukup

13

Page 14: BAB I

Kemungkinan penyebab masalah :

1. Observasi febris H.6 e.c Demam tifoid

2. Tersangka ISK

3. ISPA

Rencana pengelolaan

NON MEDIKA MENTOSA

1. Perawatan

1. MRS perawatan isolasi (infeksi)

2. Tirah baring sampai 7 hari bebas panas, mobilisasi bertahap

3. Diet

4. Diet rendah serat, tidak menimbulkan gas, mudah dicerna

5. Bubur saring 7 hari bebas panas, bubur biasa 3 hari, kemudian makan

biasa

MEDIKAMENTOSA

6. IVFD D5 gtt x (makro)

7. Kloramfenikol 100mg/kgBB/hari 3 x 400 mg/hari selama 7 hari bebas

panas

8. Paracetamol syrup 10-15 mg/kgBB 3 x 1cth (120 mg)

1. Ambroxol 0,5 mg/kgBB7,5 mg

PROGNOSIS

Quo ad functionam : bonam

Quo ad vitam : bonam

Rencana Edukasi

1.Menjelaskan tentang penyakit pasien kepada pasien dan keluarganya.

2.Memperhatikan kebersihan makanan & minuman yang dikonsumsi

3.Mengatur pola makan

4.Memberi makanan yang bervariasi (gizi seimbang KH, protein, lemak)

5.Istirahat yang cukup

14

Page 15: BAB I

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. DEFINISI

Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah

penyakit infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala

demam selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan

kesadaran.

Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan

bakteriemia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi

bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa,

kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch.1

3.2. EPIDEMIOLOGI

Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di

negara maju dan yang sedang berkembang. Insiden sangat menurun di negara

maju. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. 96% kasus

demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh

Salmonella paratyphi. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada

umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun.2 Sebagian besar dari

penderita (80%) yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM berumur di

atas lima tahun.5

Diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan 500.000

kematian di seluruh dunia. Kebanyakan penyakit ini terjadi pada penduduk negara

dengan pendapatan yang rendah, terutama pada daerah Asia Tenggara, Afrika, dan

Amerika Latin.

Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid

bervariasi dari 10 sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian

demam tifoid turun dengan adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai

negara berkembang. Di negara maju perkiraan angka kejadian demam tifoid lebih

rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2 – 0,7 kasus per 100.000 penduduk di Eropa

Barat; Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai 14,5 kasus per 100.000

15

Page 16: BAB I

penduduk di Eropa Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih merupakan

penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Angka kejadian

demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000 penduduk per

tahun; atau kurang lebih sekitar 600.000 – 1,5 juta kasus setiap tahunnya. Diantara

penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan

kedua setelah gastroenteritis. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM sejak tahun

1992 – 1996 tercatat 550 kasus demam tifoid yang dirawat dengan angka

kematian antara 2,63 – 5,13%.6

Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit ini

sering merebak di daerah yang kebersihan lingkungan dan pribadi kurang

diperhatikan.7

3.3. ETIOLOGI

Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella

typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi

C. Jika penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan

dibanding dengan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama

sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya.

Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk

konfirmasi.8

Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus

Salmonella. Kuman Salmonella typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak

berspora, motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal

370C (150C-410C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang

mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,40C selama satu

jam dan 600C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama.

Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa,

namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa.9

Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku,

peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63 0C. Organisme ini

juga dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah kering,

pakaian, mampu bertahan disampah mentah selama 1 minggu, dan dapat bertahan

serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa merubah

16

Page 17: BAB I

warna dan bentuknya. Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami

Salmonella typhi melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang

penderita demam tifoid atau karier kronis.3

Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid

atau karier Salmonella typhi. Mungkin tidak ada orang Indonesia yang tidak

pernah menelan bakteri ini. Bila hanya sedikit tertelan, biasanya orang tidak

menderita demam tifoid. Namun bakteri yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh

menimbulkan suatu reaksi serologi Widal yang positif dan bermakna.10

Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu:

1. Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar)

- Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat

termolabil.

- Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman

dan melindungi O antigen terhadap fagositosis

Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan

pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.

Ada 3 spesies utama yaitu :

- Salmonella typhosa (satu serotype)

- Salmonella choleraesius (satu serotype)

- Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotype)2

Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam

antigen tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang

membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella

typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multiple antibiotik.1

Dosis infeksius S. enterica serotipe typhi pada pasien bervariasi dari 1000

hingga 1 juta organisme. Strain Vi negatif dari Salmonella enterica serotipe typhi

ini kurang infeksius dan kurang virulen dibandingkan strain Vi positif. Untuk

dapat mencapai usus halus biasanya Salmonella typhi ini harus dapat bertahan

melalui sawar asam lambung dan kemudian melekat pada sel mukosa serta

melakukan invasi. Sel M sebagai sel epitel khusus yang melapisi sepanjang

17

Page 18: BAB I

lapisan Peyer ini merupakan tempat potensial Salmonella typhi untuk invasi dan

sebagai transpor menuju jaringan limfoid. Pasca penetrasi, bakteri ini menuju ke

dalam folikel limfoid intestinal dan nodus limfe mesenterik dan kemudian masuk

dalam sel retikuloendotelial dalam hati dan limpa. Pada keadaan ini terdapat

perubahan degeneratif, proliferatif, dan granulomatosa pada villi, kelenjar kript,

lamina propria usus halus, dan kelenjar limfe mesenterica.6

Organisme Salmonella typhi mampu bertahan hidup dan bermultiplikasi

dalam fagosit mononuklear folikel limfoid, hati, dan limpa. Faktor penting proses

ini mencakup jumlah bakteri, tingkat, tingkat virulensi dan respon tubuh. Bakteri

ini kemudian dilepaskan dari habitat intraseluler masuk aliran darah. Masa

inkubasi ini berkisar 7-14 hari. Pada fase bakteriemi, bakteri akan menyebar dan

tempat infeksi sekunder paling sering ialah hati, limpa, sumsum tulang, kandung

empedu, dan lapisan Peyer ileum terminal. Invasi kandung empedu terjadi

langsung dari asam empedu. Jumlah bakteri pada fase akut diperkirakan 1

bakteri /ml darah (sekitar 66 % dalam sel fagositik) dan sekitar 10 bakteri /ml

sumsum tulang. Walaupun Salmonella typhi menghasilkan endotoksin namun

angka mortalitas stadium ini < 1 %. Studi menunjukkan peningkatan kadar

proinflamasi dan sitokin anti inflamasi dalam sirkulasi pasien tifoid.1

3.4. PATOLOGI

Huckstep membagi patologi dalam plaque Peyeri dalam empat fase.

Keempat fase ini akan terjadi secara berurutan bila tidak segera diberikan

antibiotik yaitu :

Fase 1 : hiperplasia folikel limfoid

Fase 2 : nekrosis folikel limfoid selama seminggu kedua melibatkan mukosa

dan submukosa

Fase 3 : ulserasi pada aksis panjang bowel dengan kemungkinan perforasi dan

pendarahan

Fase 4 : penyembuhan terjadi pada minggu keempat dan tidak menyebabkan

terbentuknya struktur seperti pada tuberkulosis bowel.11

Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada

bagian traktus gastrointestinal lainnya juga dapat terlibat seperti yeyunum dan

18

Page 19: BAB I

kolon ascending. Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan

luas dibandingkan yeyunum. Jumlah folikel limfoid akan berkurang seiring

dengan pertambahan usia.11

3.5. PATOFISIOLOGI

Beberapa faktor yang ikut berperan penting dalam patofisiologi demam

tifoid berdasarkan penelitian terbaru ialah :

1. bacterial type III protein secretion system (TTSS)

2. lima gen virulensi (A< B< C< D< dan E) of Salmonella spp yang

mengkode Sips (Salmonella Invasion Proteins).

3. Reseptor Toll R2 and Toll R4 dijumpai pada permukaan makrofag yang

berperan penting dalam signalisasi yang diperantarai LPS dalam makrofag

4. Mekanisme pertahanan tubuh antara lumen intestinal dan organ dalam

5. Peranan fundamental sel endotelial pada deviasi inflamasi dari aliran darah

menuju jaringan yang terinfeksi bakteri.12

Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut

bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman

sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang

bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang

dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat

melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2)

kondisi asam lambung.9

Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103-109

yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat

menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan

terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrektomi,

hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung.

Pada keadaan tersebut Salmonella typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.8

Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki

mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh

19

Page 20: BAB I

berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non

spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri

anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan

asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman

berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan

melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk

ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan

difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian Salmonella typhi

dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya

perlindungan oleh kapsul kuman. Melalui plak peyeri pada ileum distal bakteri

masuk ke dalam KGB mesenterium dan mencapai aliran darah melalui duktus

torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yang asimptomatis.9

Kemudian kuman akan masuk kedalam organ–organ system

retikuloendotelial (RES) terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut

akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Dari sini kuman akan masuk ke

dalam peredaran darah, sehingga terjadi bakteriemia kedua yang simptomatis

(menimbulkan gejala klinis). Disamping itu kuman yang ada didalam hepar akan

masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu kuman

tersebut bersama dengan asam empedu dikeluarkan dan masuk ke dalam usus

halus. Kemudian kuman akan menginvasi epitel usus kembali dan menimbulkan

tukak yang berbentuk lojong pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut

dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan dan perforasi usus yang menimbulkan

gejala peritonitis.1

Pada masa bakteriemia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan

kimianya sama dengan somatic antigen (lipopolisakarida). Endotoksin sangat

berperan membantu proses radang lokal dimana kuman ini berkembang biak

yaitu merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan

yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi

pusat termoregulator di hypothalamus yang mengakibatkan terjadinya demam.1

Sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.5

20

Page 21: BAB I

Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya

manifestasi klinis sebagai berikut: Makrofag pada penderita akan menghasilkan

substansi aktif yang disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat

menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang sistem imun, instabilitas vaskuler,

depresi sumsum tulang, dan panas.

Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh

makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah berdegenerasi

yang dikenal sebagai sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul.

Nodul ini sering didapatkan dalam usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa,

hati, sumsum tulang, dan organ-organ yang terinfeksi.

Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi

(minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta

bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk

bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat

menyebabkan perdarahan bahkan perforasi. Gambaran tersebut tidak didapatkan

pada kasus demam tifoid yang menyerang bayi maupun tifoid kongenital.2

Bagan Patofisiologi Demam Typhoid

21

KUMAN S. TYPHI

Makanan + Minuman

Usus halus

Folikel getah bening intestinum

Multiplikasi Sel PMN

Lambung mati

Page 22: BAB I

GEJALA KLINIK

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang

ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun

gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan

saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.5

Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.

Demam pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang

ditandai dengan demam timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap

harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu

demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara

lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak,

maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari

dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus

demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut

atau delirium, atau penurunan kesadaran.1

Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat

ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri

kepala, batuk non produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya

bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri

kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati

dan limpa, serta gangguan status mental.1 Pada sebagian pasien lidah tampak

kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak

dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal

22

Aliran getah bening Mesenterika

Airan Darah(Bakteremia Primer)

RES Hati dan Limpa

Aliran Darah( Bakteremia Sekunder)

Hidup dan Berkembang Biak

MultiplikasiLokal Usus

Page 23: BAB I

dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah

dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu

seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri

abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium.

Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak

dibandingkan dewasa. Roseola (bercak makulopapular) berwarna merah, ukuran

2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ekstremitas, dan punggung,

timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua, ditemukan pada 40-

80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi

dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi

menetap sampai 1-2 bulan.2

Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi

berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah

suhu badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan

kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang

cukup berat Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-

organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti.

Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil

bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas.5 Sepuluh persen dari

demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.6

Rifai dkk, melaporkan dalam penelitiannya di Rumah Sakit Karantina,

Jakarta, diare lebih sering ditemukan dari pada sembelit, masing-masing 39,47%

dan 15,79% pada anak. Gejala sakit kepala ditemukan pada 76,32% anak, nyeri

perut 60,5%, muntah 26,32%, mual 42,11%, gangguan kesadaran 34,21%,

gangguan mental berupa apatis ditemukan 31,58% dan delirium pada 2,63% anak.

Penulis lain melaporkan ditemukannya lidah khas tifoid.1

Anak usia sekolah dan remaja

Gejala awal demam, malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, dan nyeri

perut berkembang selama 2-3 hari, walaupun diare berkonsistensi mungkin ada

selama awal perjalanan penyakit, konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih

mencolok, mual muntah adalah jarang dan memberi kesan komplikasi terutama

23

Page 24: BAB I

jika terjadi pada minggu ke-2 atau ke-3. Batuk dan epistaksis mungkin ada.

Kelesuhan berat dapat terjadi pada beberapa anak. Demam yang terjadi secara

bertingkat menjadi tidak turun-turun dan tinggi dalam 1 minggu, sering mencapai

40 0C.8

Tanda-tanda fisik adalah bradikardi relatif, yang tidak seimbang dengan

tingginya demam. Hepatomegali, splenomegali, dan perut kembung dengan nyeri

difus, terjadi pada minggu ke-2 penyakit.8

Bayi dan Anak Muda (< 5 tahun)

Demam enterik relatif jarang pada kelompok umur ini. Demam ringan dan

malaise, salah interpretasi sebagai sindrom virus, ditemukan pada bayi dengan

demam tifoid terbukti secara biakan . Diare lebih lazim pada anak muda dengan

demam tifoid daripada orang dewasa, membawa pada diagnosis gastroenteritis

akut. Yang lain dapat datang dengan tanda-tanda dan gejala-gejala infeksi saluran

pernafasan bawah.

Neonatus

Disamping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur,

demam enterik selama kehamilan dapat ditularkan secara vertikal. Penyakit

neonatus biasanya mulai dalam 3 hari persalinan. Muntah, diare ,dan kembung

sering ada. Suhu bervariasi, tetapi dapat setinggi 40,5 0C. Dapat terjadi kejang-

kejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan mungkin

nyata.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis

Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada

akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering

mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare

atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai

penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.

24

Page 25: BAB I

2. Pemeriksaan fisik

Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.

Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu

di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali

lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang dijumpai terdengar

ronki pada pemeriksaan paru.

3. Pemeriksaan penunjang

# Darah tepi perifer

1. Anemia

Pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau

perdarahan usus.

2. Leukopenia

Namun jarang kurang dari 3000/ul

3. Limfositosis relatif

4. Trombositopenia

Terutama pada demam tifoid berat.

# Pemeriksaan serologi

5. Serologi Widal

Kenaikan titer Salmonella typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer

fase akut ke fase konvalesens.

6. Kadar IgM dan IgG (Typhidot)

# Pemeriksaan biakan Salmonella

7. Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit.

8. Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.

# Pemeriksaan radiologik

9. Foto toraks

Apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.

10. Foto abdomen

Apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus

atau perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi

udara tak merata, tampak air fluid level, bayangan radiolusen di daerah

hepar, dan udara bebas pada abdomen.1

25

Page 26: BAB I

DIAGNOSIS BANDING

Sesuai dengan perjalanan penyakit tifoid, permulaan sakit harus dibedakan antara

lain :2

# Bronkitis

# Influensa

# Bronkopneumonia

Pada stadium selanjutnya :

# Demam paratifoid

# Malaria

# TBC milier

# Pielitis

# Meningitis

# Endokarditis bakterial

# Rickettsia

Pada stadium toksik :

# Leukemia

# Limfoma

# Penyakit Hodgkin

PEMERIKSAAN FISIK

Gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :

1. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris

remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung

meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat

pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu II, penderita terus berada

dalam keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsur-angsur turun dan

normal kembali pada akhir minggu III.

2. Gangguan saluran cerna

Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah

(rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue)., ujung

dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung

(meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan.

Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan

tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda.

26

Page 27: BAB I

3. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam berupa

apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopr, coma atau gelisah.

Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat

ditemukan gejala-gejala lain:

1. Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest

dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan

diameter 2-4 mm yang akan hilang dengan penekanan dan sukar didapat pada

orang yang bekulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri dalam

kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam.

2. Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang

biasanya ditemukan pada awal minggu ke II dan nadi mempunyai

karakteristik notch (dicrotic notch).5,13

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya

ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan

diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan

diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang

diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis dan serologis.

1. Pemeriksaan yang menyokong diagnosis.

1. Pemeriksaan darah tepi.

Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada

permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.

Pemeriksaan darah tepi ini sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang

sederhana akan tetapi berguna untuk membuat diagnosis yang cepat.5

Pada 2 minggu pertama demam dijumpai leukopenia dengan neutropenia

dan limfositosis relatif. Leukopenia dapat dijumpai tetapi jarang hingga di

bawah 3000/ul. Trombositopenia juga dapat terjadi bahkan dapat berlangsung

27

Page 28: BAB I

beberapa minggu. Adanya leukositosis menunjukkan kemungkinan perforasi

usus atau supurasi. Pada penderita demam tifoid sering dijumpai anemia

normositik normokrom. Anemia normositik normokrom terjadi akibat

perdarahan usus atau supresi sumsum tulang. Pada 20% penderita demam

tifoid terjadi perdarahan intestinal tersamar.14

b. Pemeriksaan sumsum tulang

Dapat digunakan untuk menyokong diagnosis. Pemeriksaan ini tidak

termasuk pemeriksaan rutin yang sederhana. Terdapat gambaran sumsum

tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan sistem

eritropoesis, granulopoesis, dan trombopoesis berkurang.5

3. Pemeriksaan untuk membuat diagnosa

a. Pemeriksaan kultur

Diagnosis pasti dengan Salmonella typhii dapat diisolasi dari darah,

sumsum tulang, tinja, urin, dan cairan duodenum dengan cara dibiakkan dalam

media ( kultur). Pengetahuan mengenai patogenesis penyakit sangat penting

untuk menentukan waktu pengambilan spesimen yang optimal.

Salmonella typhi dapat diisolasi dari darah atau sumsum tulang pada 2

minggu pertama demam. Pada 90% penderita demam tifoid, kultur darah

positif pada minggu pertama demam dan pada saat penyakit kambuh. Setelah

minggu pertama, frekuensi Salmonella typhi yang dapat diisolasi dari darah

menurun. Pada akhir minggu ke 3 hanya dapat ditemukan pada 50% penderita,

setelah minggu ke 3 pada kurang dari 30% penderita. Sensitifitas kultur darah

menurun pada penderita yang mendapat pengobatan antibiotik. Kultur

sumsum tulang lebih sensitif bila dibandingkan dengan kultur darah dan tetap

positif walaupun setelah pemberian antibiotik dan tidak dipengaruhi waktu

pengambilan.2

Salmonella typhi lebih mudah diisolasi dari tinja antara minggu ke-3

sampai minggu ke-5. Pada minggu pertama hanya 50% Salmonella typhi

dapat diisolasi dari tinja. Frekuensi kultur tinja positif meningkat sampai

minggu ke-4 atau minggu ke-5. Kultur tinja positif setelah bulan ke-4

28

Page 29: BAB I

menunjukkan karier Salmonella typhi. Pada penderita karier Salmonella typhi

dapat dijumpai 1011 organisme per gram tinja. Salmonella typhi dapat diisolasi

dari urin setelah minggu ke-2 demam. Pada 25% penderita, kultur urin positif

pada minggu ke 2-3.

Kultur merupakan pemeriksaan baku emas, akan tetapi sensitifitasnya

rendah, yaitu berkisar antara 40-60%. Hasil positif memastikan diagnosis

demam tifoid sedangkan hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Hasil

negatif palsu dapat dijumpai bila jumlah kuman atau spesimen sedikit, waktu

pengambilan spesimen tidak tepat atau telah mendapat pengobatan dengan

antibiotik.15

Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Widal

ialah pemeriksaan yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis

yang pasti. Kedua pemeriksaan perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap

minggu berikutnya. Pada biakan empedu, 80% pada minggu pertama dapat

ditemukan kuman di dalam darah penderita. Selanjutnya sering ditemukan

dalam urin dan feses dan akan tetap positif untuk waktu yang lama.5

b. Tes Widal

Pada awalnya pemeriksaan serologis standar dan rutin untuk diagnosis

demam tifoid adalah uji Widal yang telah digunakan sejak tahun 1896. Uji

serologi Widal memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O),

flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid.14

Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum

penderita dicampur dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat

diagnosa dibutuhkan titer zat anti thd antigen O. Titer thd antigen O yang

bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif pada

pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat) mengindikasikan infeksi akut.

Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita.

Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat tetap

tinggi setalah mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Titer

thd antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya menunjukan virulensi dari

kuman.5

29

Page 30: BAB I

Pada umumnya peningkatan titer anti O terjadi pada minggu pertama

yaitu pada hari ke 6-8. Pada 50% penderita dijumpai peningkatan titer anti O

pada akhir minggu pertama dan 90% penderita pada minggu ke-4. Titer anti O

meningkat tajam, mencapai puncak antara minggu ke-3 dan ke-6. Kemudian

menurun perlahan-lahan dan menghilang dalam waktu 6-12 bulan.

Peningkatan titer anti H terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke 10-12

dan akan menetap selama beberapa tahun. Kurva peningkatan antibodi

bersilangan dengan kultur darah sebelum akhir minggu ke 2. Hal ini

menunjukkan bahwa kultur darah positif lebih banyak dijumpai sebelum

minggu ke-2, sedangkan anti Salmonella typhi positif setelah minggu ke-2.

Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat

imunisasi, anti H menetap selama beberapa tahun. Adanya demam oleh sebab

lain dapat menimbulkan reaksi anamnestik yang menyebabkan peningkatan

titer anti H. Peningkatan titer anti O lebih bermakna, tetapi pada beberapa

penderita hanya dijumpai peningkatan titer anti H. Pada individu sehat yang

tinggal di daerah endemik dijumpai peningkatan titer antibodi akibat terpapar

bakteri sehingga untuk menentukan peningkatan titer antibodi perlu diketahui

titer antibodi pada saat individu sehat.

Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif

palsu dapat disebabkan antibodi belum terbentuk karena spesimen diambil

terlalu dini atau antibodi tidak terbentuk akibat defek pembentukan antibodi

seperti pada penderita gizi buruk, agamaglobulinemia, imunodefisiensi atau

keganasan. Pengobatan antibiotik seperti kloramfenikol dan ampisilin,

terutama bila diberikan dini, akan menyebabkan titer antibodi tetap rendah atau

tidak terbentuk akibat berkurangnya stimulasi oleh antigen.15

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan

memakai uji Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan

waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Beberapa klinisi di

Indonesia berpendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa > 1/200 atau

terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.

Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella

30

Page 31: BAB I

typhi ( karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal

kurang dapat dipercaya sebab tidak spesifik, dapat positif palsu pada daerah

endemis, dan sebaliknya.14

Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena:

4. semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki

antigen O yang sama yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa

antigen O nomor 12 dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B ( yang

lebih dikenal sebagai paratyphi A dan paratyphi B).

5. semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella

typhi dan

6. titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau imunisasi.

Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna

pada pasien tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien

yang mempunyai antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya

onset penyakit. Sehingga keadaan ini menyulitkan untuk memperlihatkan

kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain uji Widal adalah antibodi tidak

muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi dan sering tidak ada

kaitannya dengan gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup besar (15% lebih)

tidak terjadi kenaikan titer O bermakna.16

Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya

pengaruh terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal kurang

baik karena serotype Salmonella lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop

Salmonella typhi bereaksi silang dengan enterobacteriaceae lain sehingga

memicu hasil positif palsu.17

Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan

konvalesen, untuk mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2 spesimen

dengan interval 7-10 hari, peningkatan titer anti O dan H minimal empat kali

menunjang diagnosis demam tifoid. Pada beberapa penderita tidak dijumpai

peningkatan titer antibodi karena spesimen diambil pada stadium lanjut, titer

antibodi yang tinggi pada daerah endemik atau respon antibodi tidak baik

sebagai akibat pemberian antibiotik yang terlalu dini. Akhir-akhir ini tes Widal

31

Page 32: BAB I

dilakukan satu kali pada fase akut. Penilaian hasil tes Widal pada satu

spesimen sangat sulit.15

Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal

sebagai alat penunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh

dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Hingga saat ini

pemeriksaan serologik Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada

kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point) 16

Tidak selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh

menderita tifus abdominalis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan untuk

menentukan kesembuhan penderita.

Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan berikut:

7. Titer O dan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal,karena infeksi basil

coli patogen dlm usus.

8. Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta.

9. Terdapatnya infeksi silang dgn rickettsia (Weil Felix).

10. Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basisl perora; atau pada

keadaan infeksi.5

Pemeriksaan Penunjang Lain

Pemeriksaan antibodi

Antibodi terhadap antigen O merupakan IgM yang mendominasi, muncul

pada awal penyakit dan menghilang lebih dini. Antibodi terhadap H baik IgM

maupun IgG muncul lebih lambat tetapi bertahan lebih lama. Biasanya antibodi O

muncul pada hari ke 6-8 sedangkan antibodi H pada hari 10-12 dari onset

penyakit.10

Mengingat tingkat sensitivitas dan spesifisitas tes Widal rendah maka

pemeriksaan serologis untuk diagnosis dini demam tifoid mulai beralih dari tes

Widal menuju pelacakan antibodi terhadap antigen Salmonella typhi yang lebih

spesifik seperti:

# Dot EIA ( Dot Enzyme Immunoabsorbent Assay ), pemeriksaan ELISA untuk

mendeteksi protein spesifik pada membran luar atau outer membrane protein

32

Page 33: BAB I

(OMP) dimana OMP dengan berat 50 kDa ternyata sangat spesifik pada serum

pasien tifoid. Sensitivitas Dot EIA mencapai 95-100% jauh lebih baik daripada

sensitivitas Widal yang hanya 60%. Pemeriksaan Dot EIA tidak ada reaksi silang

dengan salmonelosis non tifoid dibandingkan dengan Widal. Produk komersial

pemeriksaan ini dikenal sebagai Typhidot.13 Salah satu modifikasi Typhidot

dengan inaktivasi IgG dalam sampel serum untuk menyingkirkan kemungkinan

ikatan kompetitif dan memungkinkan akses antigen terhadap IgM spesifik,

dikenal sebagai Typhidot M.6 Dengan kata lain, Typhidot M hanya mendeteksi

antibodi IgM spesifik sedangkan Typhidot mendeteksi antibodi IgM dan IgG

terhadap antigen 50 kD Salmonella typhi. Pemeriksaan Typhidot membutuhkan

waktu 3 jam.18

# Polymerase Chain Reaction (PCR)

Untuk amplifikasi DNA dari teknik hibridisasi asam nukleat. Pada sistem

hibridisasi ini, sebuah molekul asam nukleat yang sudah diketahui spesifisitasnya

(DNA probe) digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya urutan asam nukleat

yang sepadan dari target DNA (kuman). Meskipun DNA probe memiliki

spesifisitas tinggi, pemeriksaan ini tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah

kuman dalam darah yang sangat rendah, misalnya 10-15 Salmonella typhi/ml

darah dari pasien demam tifoid. Oleh sebab itu target DNA telah dapat

diperbanyak terlebih dahulu sebelum dilakukan hibridisasi. Penggandaan target

DNA dilakukan dengan teknik PCR menggunakan enzim DNA polimerase. Cara

ini dapat melacak DNA Salmonella typhi sampai sekecil 1 pikogram namun usaha

untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang

memuaskan.16

# IgM Dipstick test

Pemeriksaan ini didasarkan pada ikatan antibodi IgM spesifik Salmonella

typhi pada LPS antigen Salmonella typhi.

Tes Tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif sederhana

dan cepat. Hasil positif tes Tubex menunjukkan adanya infeksi Salmonella

walaupun tidak dapat menunjukkan Salmonella grup D mana yang menjadi faktor

kausatifnya. Infeksi Salmonella serotipe lainnya seperti Salmonella paratyphi A

memberikan hasil yang negatif. Oleh sebab itu, tes ini sangat akurat dalam

33

Page 34: BAB I

diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak

mendeteksi antibodi IgG dalam waktu singkat.10,18

KOMPLIKASI

Komplikasi typoid dapat terjadi pada :

1. Intestinal (usus halus) :

Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu:

1. Perdarahan (haemorrhage) usus.

Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena. Pada anak lebih

jarang. Dilaporkan di Surabaya terjadi pada hari ketujuh belas atau awal

minggu ke-3.

Insidennya berbeda-beda berkisar antara 0,8%-8,6%

Diagnosis dapat ditegakkan dengan:

1. Penurunan tekanan darah

2. Denyut nadi bertambah cepat dan kecil

3. Kulit pucat

4. Penurunan suhu tubuh

5. Mengeluh nyeri perut

6. Sangat iritabel

7. Darah tepi: sering diikuti peningkatan lekosit dalam waktu singkat

8. Perforasi usus

Timbul pada minggu ketiga atau setelah itu dan sering terjadi pada ileum

terminalis. Lebih jarang dibandingkan pada orang dewasa. Angka

kejadian antara 0,4-2,5%. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa

peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dalam rongga

peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara bebas (free

air sickle) diantara hati dan diafragma pada foto Rontgen abdomen yang

dibuat dalam posisi tegak.

9. Peritonitis

Pada umumnya tanda/gejala peritonitis sering didapatkan, penderita

nampak kesakitan di daerah perut yang mendadak, perut kembung,

dinding abdomen tegang ( defense musculair ), nyeri tekan, tekanan

34

Page 35: BAB I

darah menurun, suara bising usus melemah, pekak hati berkurang. Pada

pemeriksaan darah tepi didapatkan peningkatan lekosit dalam waktu

singkat.

2. Ekstraintestinal

Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis

(bakteriemia):

1. Liver, gallbladder, dan pancreas

Dapat terjadi mild jaundice pada enteric fever oleh karena terjadi

hepatitis typhosa, kolesistitis, kholangitis atau hemolisis. Dapat juga

terjadi pankreatitis.

2. Kardiorespiratory

Toxic myocarditis adalah penyebab kematian yna signifikan pada daerah

endemic. Hal tersebut terjadi pada pasien yang sangat parah sekali dan

ditandai oleh takikardia, nadi dan bunyi jantung yang lemah, hypotensi,

dan EKG yang abnomal. Bronkitis ringan sering terjadi,

broncopneumonia .

3. Nervous system

Berupa disorientasi, delirium, meningismus, meningitis (jarang),

encephalomyelitis.

4. Hematologi dan renal

Terjadi DIC yang subclinical pada typhoid fever yang mana merupakan

manifestasi sindrom uremia hemolitik, dan hemolisis. Glomerulonefritis,

pielonefritis, dan perinefritis.5,13

Bronkitis dan Bronkopneumonia

Bronkitis terjadi pada akhir minggu pertama dari perjalanan penyakit, pada

kasus yang berat bilamana disertai infeksi sekunder dapat terjadi

bronkopneumoni.

Angka kejadian bervariasi antara 2,5-7%.

35

Page 36: BAB I

Kolesistitis

Pada anak-anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhir minggu

kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas.

Bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang

karier.

Tifoid Ensefalopati

Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa:

kesadaran menurun, kejang-kejang, muntah, demam tinggi dan pemeriksaaan

cairan otak masih dalam batas-batas normal.

Angka kejadian yang dilaporkan berkisar 0,3-9.1%.

Bila disertai kejang-kejang maka biasanya prognosa jelek dan bila sembuh

sering diikuti oleh gejala sisa sesuai dengan lokasi yang terkena.

Meningitis

Meningitis oleh karena Salmonella typhosa atau species salmonella yang

lain lebih sering didapatkan pada neonatus maupun bayi dibandingkan pada anak,

dengan gejala klinis sering tidak jelas sehingga diagnosis sering terhambat.

Ternyata penyebabnya adalah Salmonella Havana dan Salmonella

Oranenburg.

Gejala Klinis:

- Bayi tidak mau menetek

- Kejang

- Letargi

- Sianosis

- Panas

- Diare

- Kelainan neurologis seperti: opistotonus, fontanella cembung, refleks grasp

menurun, reflex mengisap menurun.

Komplikasi tifoid meningitis dapat berupa:

1. Efusi subdural

2. Ventrikulitis

3. Hidrosefalus

36

Page 37: BAB I

Miokarditis

Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinisnya

tidak khas. Insidensnya terutama pada anak-anak umur 7 tahun ke atas serta sering

terjadi pada minggu kedua dan ketiga.

Diagnosis klinis berdasarkan: (menurut Keith, dkk 1978)

- Irama mendua

- Takikardi yang menetap

- Bunyi jantung melemah

- Bising sistolik di apex

- Pembesaran jantung

Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain: sinus takikardi, depresi segmen ST,

perubahan gelombang T; AV blok tingkat 1, arithmia, supraventrikulertakikardi.

Karier kronik

Tifoid karier adalah seseorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit

demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di dalam

ekskretnya. Mengingat karier sangat penting dalam hal penularan yang

tersembunyi, maka penemuan kasus sedini mungkin serta pengobatannya sangat

penting dalam hal menurunkan angka kematian.

Pada anak-anak jarang untuk menjadi karier dibandingkan dengan orang

dewasa.

Mengingat ekskresi Salmonella dapat terjadi intermitten maka paling

sedikit diperlukan 3-6 kali biakan sebelum hasilnya dapat dikatakan negatif.

Pengobatan karier merupakan masalah yang sulit, kadang-kadang dengan

pemberian obat-obatan antimikroba gagal karena Salmonella typhosa bersarang

dalam saluran empedu intrahepatik sehingga diperlukan pengobatan kombinasi

antara operasi dan obat-obatan.2

TATALAKSANA

Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus

dianggap dan dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada

3 bagian yaitu:

1. perawatan

37

Page 38: BAB I

2. diet

3. obat

Perawatan

Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,

observasi serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi

tidak harus tirah baring sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa

lampau. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi

penderita. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi agar

tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi demam tifoid yang lain

termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat perhatian.

Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat

bervariasi dan tidak ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita

serta adanya komplikasi selama penyakitnya berjalan.

Diet

Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur

saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat

kekambuhan penderita. Banyak penderita tidak senang diet demikian, karena tidak

sesuai dengan selera dan ini mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita

semakin mundur dan masa penyembuhan ini menjadi makin lama.

Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai

dengan keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas

ternyata dapat diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan

baik kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan

makan yang rendah/bebas selulose, menghindari makan iritatif sifatnya. Pada

penderita dengan gangguan kesadaran maka pemasukan makanan harus lebih

diperhatikan.

Ternyata pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan

seperti dapat menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah

sakit sedikit diperpendek, dapat menekan penurunan kadar albumin dalam serum,

dapat mengurangi kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan.

38

Page 39: BAB I

Obat-obatan

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian

menurun secara drastis(1-4%).

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain:

- Kloramfenikol

- Tiamfenikol

- Co trimoxazol

- Ampisilin

- Amoksisilin

- Seftriakson

- Sefiksim

Kloramfenikol

Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada

ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan

peptide tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Meskipun telah

dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap kloramfenikol di

berbagai daerah. Kloramfenikol tetap digunakan sebagai drug of choice pada

kasus demam tifoid, karena sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder (1947)

sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam

lebih cepat, di samping harganya murah dan terjangkau oleh penderita. Di lain

pihak kekurangan kloramfenikol ialah reaksi hipersentifitas, efek toksik pada

system hemopoetik (depresi sumsum tulang, anemia apastik), Grey Syndrome,

kolaps serta tidak bermanfaat untuk pengobatan karier. Dalam pemberian

kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis, dosis yang dianjurkan ialah 50-

100 mg/kg.bb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari serta

untuk neonatus sebaiknya dihindarkan, bila terpaksa dosis tidak boleh melebihi 25

mg/kgbb/hari.2,3

Tiamfenikol

Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan

kimianya hampir sama hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian

39

Page 40: BAB I

tiamfenikol demam turun setelah 5-6 hari, hanya komplikasi hematologi pada

penggunaan tiamfenikol lebih jarang dilaporkan, sedangkan strain salmonella

yang resisten terhadap tiamfenikol.

Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/kg.bb/hari.

Co Trimoxazole

Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak pendapat yang

kontroversial. Kelebihan co trimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus

yang resisten terhadap kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik,

kemungkinan timbulnya kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan

kloramfenikol.

Kelemahannya ialah terjadi skin rash (1-15%). Steven Johnson sindrome,

agranulositosis, tromositopenia, megaboblastik anemia, hemolisis eritrosit

terutama pada penderita defisiensi G6PD.

Dosis oral: 30-40 mg/kg.bb/hari dari sulfametoxazole dan 6-8

mg/kg.bb/hari, oral, selama 10 hari untuk trimetoprim, diberikan dalam 2 kali

pemberian.

Ampisilin dan Amoksisilin

Merupakan derivat penisilin yang digunakan pada pengobatan demam

tifoid, terutama pada kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, tetapi pernah

dilaporkan adanya Salmonella yang resisten terhadap ampisilin di Thailand.

Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan

dengan kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang

toksisitas.

Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3-18%), diare (11%).

Amoksisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan ampisilin,

tetapi penyerapan peroral lebih baik, sehingga kadar obat yang tecapai 2 kali lebih

tinggi, timbulnya kekambuhan lebih sedikit (2%-5%) dan karier (0-5%).

Dosis yang dianjurkan:

Ampisilin 100-200 mg/kg.bb/hari, oral atau IV selama 10 hari

Amoksisilin 100 mg/kg.bb/hari,

40

Page 41: BAB I

Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak

memberikan keuntungan yang lebih baik bila diberikan obat tunggal.

Seftriakson

Lebih aman dari Kloramfenikol. DOC jika terdapat resistensi terhadap

kloramfenicol. Seftriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik. Dosisnya 80

mg/kgbb/hari, IV atau IM, sekali sehari, 5 hari.

Sefiksim

10mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.

# Kortikosteroid

Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan

perdarahan usus dan relaps. Tetapi pada kasus berat maka penggunaan

kortikosteroid secara bermakna menurunkan angka kematian. Diberikan pada

kasus berat dengan gangguan kesadaran. Dexametason 1-3 mg/kgbb/hari

intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik.2,3

# Antipiretik

Diberikan apabila demam > 39ºC, kecuali pada riwayat kejang demam

dapat diberikan lebih awal.

Lain-lain

Transfusi darah

Kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi usus.

Bedah

Konsultasi Bedah Anak apabila dijumpai komplikasi perforasi usus.

Monitoring

Evaluasi demam reda dengan memonitor suhu. Apabila pada hari 4-5

setelah pengobatan demam tidak reda, maka segera harus dievaluasi adakah

komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi Salmonella typhi terhadap antibiotik,

atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis.

41

Page 42: BAB I

Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa

antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai

komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.3

PENCEGAHAN

Higiene perorangan dan lingkungan

Demam tifoid ditularkan melalui rute oro fekal, maka pencegahan utama

memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan

lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan

pengamanan pembuangan limbah feses, pemberantasan lalat, pengawasan

terhadap kebersihan penjual makanan.2,3

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi,

maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang

mereka konsumsi. Salmonella typhi dalam air akan mati apabila dipanaskan

setinggi 57°C beberapa menit atau dengan proses iodinasi/ klorinasi.

Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57ºC beberapa menit dan secara

merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas

suatu negara atau suatu daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana

air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap

hygiene pribadi.3

Imunisasi

Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.

Beberapa vaksin telah ditemukan untuk mencegah demam tifoid, bentuknya

berupa vaksin demam tifoid oral, dan vaksin polisakarida parenteral.1

Vaksin Demam Tifoid Oral

Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen

yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus pembelahan

dalam usus dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak

seperti vaksin parenteral, respon imun pada vaksin ini termasuk sekretorik IgA.

Secara umum efektivitas vaksin oral sama dengan vaksin parenteral yang

42

Page 43: BAB I

diinaktivasi dengan pemanasan, namun vaksin oral mempunyai reaksi samping

lebih rendah. Vaksin tifoid oral dikenal dengan nama Ty-21a. Penyimpanannya

pada suhu 2ºC-8ºC. Kemasan dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau

lebih. Cara pemberian 1 kapsul vaksin dimakan setiap hari ke 1,3,5 satu jam

sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37°C. Kapsul ke 4 pada

hari ke 7, diberikan terutama bagi turis. Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh

dibuka karena kuman dapat mati oleh asam lambung. Vaksin tidak boleh

diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau anti malaria yang aktif

terhadap Salmonella. Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari

interferon mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu

setelah pemberian terakhir dari vaksin tifoid ini. Imunisasi ulangan diberikan

setiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus terekspos dengan infeksi

Salmonella sebaiknya diberikan 3-4 kapsul setiap beberapa tahun. Daya proteksi

vaksin ini hanya 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk

melakukan seleksi pada makanan dan minuman.

Vaksin Polisakarida Parenteral

Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5ml mengandung kuman Salmonella typhi,

polisakarida 0,025mg, fenol, dan larutan buffer yang mengandung natrium

klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat, dan pelarut untuk suntikan.

Penyimpanan pada suhu 2°C-8ºC, jangan dibekukan. Vaksin ini akan kadaluarsa

dalam jangka waktu 3 tahun. Pemberian secara intramuskuler atau subkutan pada

daerah deltoid atau paha. Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3 tahun. Reaksi

samping lokal dari vaksinasi ini berupa bengkak, nyeri, kemerahan di tempat

suntikan. Reaksi sistemik yang dapat timbul yaitu demam, nyeri kepala, pusing,

nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut tapi jarang dijumpai. Sangat jarang

terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit, dan urtikaria. Kontraindikasi

pemberian vaksin ini adalah pasien yang alergi terhadap bahan-bahan dalam

vaksin, saat demam, penyakit akut, penyakit kronik progresif. Daya proteksi 50-

80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk melakukan seleksi pada

makanan dan minuman.15

PROGNOSIS

43

Page 44: BAB I

Prognosis pasien Demam Tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan

kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan

terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,

angka mortalitasnya >10%, mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya

karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan

kemungkinan komplikasi dan waktu pemulihan.19

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi

≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier

pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik dapat terjadi

pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris

lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak

5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara, sedangkan 2%

yang lain akan menjadi karier kronis.7

Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat

datang berobat dan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala

klinis yang berat seperti:

4. Hiperpireksia atau febris kontinua

5. Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium.

6. Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia.

7. Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).5

BAB IV

44

Page 45: BAB I

ANALISA KASUS

Demam typhoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang

ringan bahkan asimptomatis. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi, namun

gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan

saluran pencernaan, (3) gangguan kesadaran. Pada kasus khas terdapat demam

remitten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat

pada malam hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan

demam, yang turun secara berangsur-angsur pada minggu ketiga.

Pada pasien ini di tegakkan diagnosa demam typhoid tanpa komplikasi.

Diagnosa ditegakkan berdasarkan :

Anamnesis:

1. Pasien demam 6 hari yang remitten. Demam menjelang sore hari dan

demam turun pagi harinya sehingga pasien dapat bersekolah pada pagi

harinya (aktivitas pasien tidak terganggu)

2. Demam disertai dengan gangguan pencernaan berupa mual dan konstipasi

3. Pasien sering jajan makanan dan minumam di luar rumah, yang tidak jelas

kebersihannya

Pada pasien ini pemerikasaan fisiknya ditemukan :

1. Didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, keadaan umum yang

sedang, tanpa gangguan kesadaran

2. Pada lidah pasien ditemukan kotor pada tengahnya dan hiperemis pada

pinggirnya, tremor (-)

3. Hepatomegali 2 cm dibawah arcus costae, tepi tajam, permukaan licin,

konsistensi kenyal, dan nyeri tekan (+)

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa demam typhoid dibagi

dalam 3 kelompok, yaitu (1) isolasi kuman penyebab demam typhoid melalui

biakan kuman dari spesimen penderita seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja,

cairan duodenum dan rose spot, (2) uji serologis untuk mendeteksi antibodi

terhadap antigen, (3) pemeriksaan melacak DNA kuman S. Tyhpi.

Diagnosis demam typhoid dengan biakan kuman sebenarnya amat

diagnostik, namun identifikasi kuman memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah

45

Page 46: BAB I

positif pada 40-60% kasus yang diperiksa pada minggu pertama sakit, sedangkan

biakan feses atau urin akan positif setelah minggu pertama. Biakan dari sumsum

tulang akan positif pada penyakit stadium lanjut, dan merupakan pemeriksaan

yang paling sensitif. Biakan darah positif memastikan demam typhoid, tetapi

biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam typhoid. Hal ini disebabkan

karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa faktor, antara lain (1) jumlah

darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan media empedu, (3) waktu

pengambilan darah.

Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan kultur darah karena membutuhkan

waktu yang cukup lama untuk mengetahui hasilnya dan pemeriksaan melacak

DNA tidak dilakukan karena biaya yang mahal dan fasilitas rumah sakit yang

terbatas.

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan serologis dan didapatkan hasil positif

pada serologi Salmonella typhi O dan Salmonella paratyphi CO sebesar 1/320.

Walaupun uji serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam typhoid telah

luas digunakan namun manfaatnya masih menjadi perdebatan.

Penatalaksanaan penderita dengan demam typhoid, terutama pada pasien ini

dengan perawatan bed rest, pemberian diet yang lunak yang mudah dicerna

dengan kalori dan protein yang cukup dan rendah serat. Pemberiaan obat-obatan

diberikan antibiotik kloramfenikol sebesar 400 mg perkali pemberian 3 x sehari

sebagai pengobatan kausalnya. Selain itu diberikan antipiretik (paracetamol), dan

mukolitik (ambroxol) sebagai pengobatan simptomatis.

Untuk memastikan diagnosa dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan

kultur darah atau urin atau feses.

Pasien diperbolehkan pulang setelah perawatan di rumah sakit karena tidak

ada keluhan dan ada perbaikan klinis. Namun pasien tetap dianjurkan untuk

istirahat dan mobilisasi bertahap, diet makanan lunak, dan melanjutkan antibiotik

sampai 7 hari bebas demam.

46

Page 47: BAB I

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak

infeksi dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia:

h.367-75.

2. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.

3. Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1.

Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4.

4. NN. Mengenal demam typhoid. Available from :

http://abughifari.blogspot.com/2008/11/mengenal-demam-typhoid.html

5. Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta :

Percetakan Infomedika, 2005: h.592-600.

6. NN. Demam typhoid. Available from :

http://cetrione.blogspot.com/2008/11/demam-typhoid.html

7. NN. Demam tifoid (typhoid fever). Available from :

http://www.jevuska.com/2008/05/10/demam-tifoid-typhoid-fever

8. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of

pediatrics, 18th ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.

9. Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2003: h.37-43.

10. Hartoyo E, Yunanto A, Budiarti L. UJi sensitivitas salmonella typhi terhadap

berbagai antibiotik di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin. Sari Pediatri.

September 2006;8(2):118-121.

11. Concise Reviews of Pediatrics Infectious Diseases. Management of Typhoid

Fever in Children. February 2002: p.157-159.

12. NN. Demam tifoid. Available from: http://www.medicastore.com

13. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current pediatrics

diagnosis & treatment., 18th ed. USA, 2007: p.279, 1184-5.

14. Hadinegoro SRS, Tumbelaka AR, Satari HI. Pengobatan Cefixime pada

Demam Tifoid Anak. Sari Pediatri. 2001;2(4):182-7.

47

Page 48: BAB I

15. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB. Pedoman

imunisasi di Indonesia, ed 2. Jakarta : Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan

Dokter Anak Indonesia, 2005: h.173-4.

16. Retnosari S, Tumbelaka AR. Pendekatan diagnostik serologik dan pelacak

antigen salmonella typhi. Sari Pediatri. 2000;2(2):90-5.

17. World Health Organization. Backgroud Document: The Diagnosis, Treatment

and Prevention of Typhoid Fever. Geneva: WHO, 2003. Available from:

http://www.who.int/vaccines-documents/

18. Zulkarnain I. Patogenesis demam tifoid. Jakarta : Pusat informasi &

penerbitan bagian ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 2000: h.3-5.

19. Brusch JL, Garvey T. Penyakit tipus fever. Available from :

http://www.medscape.com/files/public/blank.htm

48