Download - BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang
disebabkan oleh kuman Salmonella typhi.1,2
Di Indonesia, saat ini penyakit demam tifoid masih merupakan penyakit
endemik, terutama di kota-kota besar yang padat penduduknya, seperti halnya di
negara-negara yang sedang berkembang lainnya. Hal ini berhubungan erat dengan
keadaan sanitasi, kebiasaan higiene yang tidak memuaskan dan tingkat pendidikan
yang rendah.3,4
Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-
undang No. 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini
merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak
orang, sehingga dapat menimbulkan wabah.1 Penderita anak biasanya berumur di
atas satu tahun. Sebagian besar penderita (80%) yang dirawat di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo Jakarta berumur di atas 5 tahun.5
Etiologi demam tifoid adalah kuman Salmonella typhi, basil gram negatif,
bergerak dengan rambut getar, dan tidak berspora.5 Ada dua sumber penularan
Salmonella typhi, yakni pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering adalah
pembawa. Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 kuman per gram
tinja. Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan
yang tercemar oleh pembawa merupakan sumber penularan yang paling sering.
Pembawa adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus
mengekskresi Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu
tahun.1
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejala yang
timbul amat bervariasi. Perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia,
tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu, gambaran
penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran
penyakit khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini menyebabkan bahwa
seorang ahli yang sangat berpengalaman pun dapat mengalami kesulitan untuk
membuat diagnosa klinis demam tifoid.1 Adapun gejala klinis yang umumnya
1
2
terjadi adalah demam 5 hari atau lebih, gangguan pencernaan, dan gangguan
kesadaran.6
Berikut dilaporkan sebuah kasus demam tifoid pada seorang anak
perempuan berumur 3 tahun yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Palembang BARI.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama lengkap : An. Q Jenis Kelamin : perempuan
Tempat tanggal lahir : Palembang, 20-01-10 Umur : 3 tahun
Nama Ayah :Tn.V Umur : 36
Pekerjaan Ayah : Buruh Pendidikan Ayah : SMA
Nama Ibu : Ny.T Umur : 32 th
Pekerjaan Ibu : Ibu rumah tangga Pendidikan Ibu : SMA
Alamat : Lr. Bakang kel. 9 ilir
Masuk RS tanggal : 01 maret 2013
Diagnosis Masuk : Observasi febris e.c demam tifoid
Tanggal : 15 september 2011 (Alloanamnesis dengan ibu pasien)
KELUHAN UTAMA : Demam naik turun sejak 6 hari SMRS
KELUHAN TAMBAHAN : Lemes
Riwayat penyakit sekarang
Sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit, sore hari (pukul 16.00) pasien
mengalami demam yang makin lama semakin tinggi, demam naik turun
terutama dirasakan pada sore dan malam hari. Oleh ibu pasien dibawa
berobat ke bidan, mendapat sirup obat dan puyer. Panas sempat turun tapi
saat subuh panas naik lagi. Sesak napas tidak ada, batuk tidak ada, pilek
tidak ada, BAB dan BAK normal.
Sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, keluhan panas dirasakan
semakin bertambah, panas naik turun, naik saat sore hari dan setelah pagi
hari panas turun. Keluhan disertai perasaan tidak enak diperut, muntah,
frekuensi muntah 1x, ¼ gelas belimbing, tidak menyemprot, isi apa yang
dimakan, penderita tidak nafsu makan, bibir kering, batuk kering, dan badan
terasa lemas. Demam tidak disertai adanya menggigil, kejang, penurunan
kesadaran, sakit kepala, Timbul bintik merah, mimisan, gusi berdarah, dan
pilek. BAB berdarah/hitam/cair/lendir tidak ada, nyeri perut yang hebat tidak
3
ada, nyeri saat kencing tidak ada. Pasien kemudian dibawa ke IGD RSUD
Palembang BARI.
R/ Batuk lama disertai keringat malam, berat badan turun disangkal
R/ Kontak dengan penderita batuk lama/ batuk berdahak disangkal
R/ Berpergian ke daerah endemis malaria disangkal
R/ Sakit dengan gejala yang sama sebelumnya disangkal
Riwayat penyakit pada keluarga yang ditularkan (sebutkan penyakitnya terutama
yang ada hubungan dengan penyakit sekarang)
1. Riwayat sakit yang sama seperti penderita disangkal
2. Riwayat sakit darah tinggi disangkal
3. Riwayat sakit kencing manis disangkal
4. Riwayat sakit paru dan jantung disangkal
Kesan : tidak terdapat riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan
penyakit sekarang
Riwayat keluarga diberikan oleh : ayah/ ibu/ kakek/ nenek/ saudara/ tetangga *)
ikhtisar keturunan : (gambar skema keluarga dan beri tanda keluarga yang
menderita penyakit sejenis. Untuk kelainan kongenital usahakan skema yang lebih
lengkap termasuk saudara sepupu dsb.)
4
Kesan : tidak ada riwayat penyakit yang diturunkan dalam keluarga
5
= laki-laki=perempuan=meninggal= pasien
9 Thn 7 tahun
36 thn
RIWAYAT PRIBADI
1. Riwayat kehamilan dan persalinan : (terangkan dengan jelas faktor risiko
berhubungan dengan peyakit/ kelainan yang didapat)
1. Riwayat kehamilan ibu pasien
Ibu G1P0A0 hamil anak pertama saat usia 23 tahun, Ibu
memeriksakan kehamilannya saat usia 1 bulan, selanjutnya ibu pasien
rutin memeriksakan kehamilannya ke bidan desa. Ibu tidak mengalami
mual dan muntah berlebihan saat hamil. Tidak ada riwayat trauma maupun
infeksi saat hamil. Ibu pasien tidak pernah mengkonsumsi jamu dan obat-
obatan kecuali yang diberikan bidan. Tekanan darah ibu dinyatakan
normal, berat badan ibu dinyatakan normal dan perkembangan kehamilan
dinyatakan normal.
2. Riwayat persalinan ibu pasien
Ibu melahirkan anak pertama dibantu oleh bidan. Umur kehamilan
±38 minggu, persalinan normal, presentasi kepala, bayi langsung menangis
kuat, warna kulit kemerahan. Berat badan lahir 2900 gram, tidak
ditemukan cacat bawaan saat lahir.
3. Riwayat paska lahir pasien
Bayi perempuan berat badan 2100 gram, setelah lahir langsung
menangis, gerak aktif, warna kulit kemerahan, tidak ada demam atau
kejang. ASI keluar pada hari ke-1, bayi langsung menetek pada ibu. Bayi
tidak kuning, tidak biru.
KESAN :Riwayat ANC baik, persalinan normal dan riwayat PNC baik
4. Riwayat makanan : (sejak lahir sampai sekarang, kualitas dan kuantitas)
0 - 6 bulan : ASI + susu formula
6 - 8 bulan : ASI + susu formula semaunya + bubur susu dengan tahu tempe,
ikan yg dihaluskan 2 kali sehari satu mangkok kecil
9 – 10 bulan : ASI + susu formula semaunya + nasi lembek + sayur + lauk
(tahu, tempe, ikan, daging), 2x sehari, satu mangkok
6
11 – 12 bulan : ASI + susu formula semaunya + nasi, sayur, lauk 2 kali satu
mangkuk kecil, di tambah buah
2 th – sekarang : sama seperti makanan keluarga, jarang makan sayur dan buah
Kesan : Pasien tidak mendapat ASI eksklusif, kuantitas makanan kurang &
kualitas makanan kurang, makanan tidak sesuai dengan usia.
5. Perkembangan dan kepandaian : uraian secara kronologis sejak lahir
sampai sekarang.
1. Motorik kasar
1. Tengkurap usia 3 bulan
2. Berjalan usia 12 bulan
1. Motorik halus
1. Memegang benda usia 5 bulan
2. Mulai mencoret-coret usia 1,5 tahun
1. Bahasa
3. Ucap kata usia 5 bulan
4. Berteriak usia 5 bulan
5. Berbicara baik usia 1,5 tahun
1. Personal sosial
1. Tersenyum usia 3 bulan
2. Berpartisipasi dalam permainan usia 7 bulan
Kesan : perkembangan dan pertumbuhan sesuai usia
3. Vaksinasi
Jenis I II III IV V VI
BCG 1 bulan - - - - -
DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan 18 bulan 6 tahun -
POLIO 0 hari 2 bulan 4 bulan 6 bulan 18 bulan -
CAMPAK 9 bulan - - - -
HEPATITIS B 0 hari 1 bulan 6 bulan - - -
Kesan : imunisasi dasar lengkap sesuai PPI sesuai dengan usia dan telah
mendapatkan ulangan.
7
4. Riwayat penyakit dahulu :
1. Riwayat demam serupa : disangkal
2. Riwayat berak cair & muntah : disangkal
3. Riwayat batuk pilek : disangkal
4. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat asma : disangkal
6. Riwayat kejang dengan demam : disangkal
7. Riwayat kejang tanpa demam : disangkal
KESAN : Tidak terdapat penyakit terdahulu sebelumnya.
8. Sosial, ekonomi, dan lingkungan:
1. Sosial Ekonomi
Ayah (36 tahun) bekerja sebagai buruh serabutan dengan
penghasilan Rp. 1.000.000,- tiap bulannya dan ibu (32 tahun) bekerja
sebagai ibu rumah tangga. Menurut ibu pasien, penghasilan keluarga
kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
2. Lingkungan
Pasien tinggal bersama kedua orangtuanya, seorang kakak laki-laki
dan keluarga dari kakak ibunya dengan 2 anak . Rumah terdiri dari 3
kamar tidur, ruang tamu, dapur dan 1 kamar mandi. WC menyatu dengan
kamar mandi. Atap terbuat dari genteng, dinding dari semen, lantai dari
semen, terdapat jendela 2. sumber air yang digunakan adalah air sumur
yang bening dan tidak berbau. Jarak septic tank dan sumur ±20 meter.
Tidak terdapat sungai dan pabrik di sekitar rumah dan sampah dibakar
setiap 3 hari.
Kesan : keadaan sosial ekonomi cukup & kondisi lingkungan cukup
9. Anamnesis sistem :
1. Serebrospinal : demam (+), kejang (-), penurunan kesadaran (-)
2. Kardiopulmoner : sianosis (-), keringat dingin (-)
3. Respiratorius : sesak nafas (-), batuk (+) kering, pilek (-)
8
4. Gastroitestinal : mual/muntah (+/+), BAB biasa, makan/minum
(↓/+)
5. Urogenital : BAK normal
6. Integumentum : bintik merah (-), ikterik (-)
7. Muskuloskeletal : kelainan bentuk (-) nyeri sendi (-)
Kesan : terdapat masalah pada sistem cerebrospinal, respiratorius, gastrointestinal
KESAN UMUM
Tanda utama : Compos mentis, tampak lemes
Hr : 112 kali permenit, isi dan tegangan cukup
Suhu badan : 37,8 C
Pernapasan : 24 kali permenit
Kesan : compos mentis
Status Gizi
Berat badan : 12 kg Tinggi badan : 90 cm
BB/U : 12/14x100% = 85 % gizi baik
TB/U : 90/93x100% = 96 % normal
BB/TB : 12/13x100% = 92 % gizi baik
Kesimpulan status gizi : baik
Kulit : petekie (-), ruam kulit (-), pucat (-), ikterik (-)
Kelenjar limfa : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Otot : eutrofi, nyeri otot (-)
Tulang : intak, deformitas (-)
Sendi : nyeri sendi (-), tanda radang (-), deformitas (-)
Kesan : kulit, kelenjar lime, otot, tulang dan sendi dalam batas normal
PEMERIKSAAN KHUSUS :
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak teraba massa abnormal
Thoraks : simetris, retraksi -/-, ketinggalan gerak -/-
Jantung :
a. Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
b. Palpasi : teraba kuat angkat
c. Perkusi : redup
9
batas jantung :
kanan atas : SIC II LPS dextra
kanan bawah : SIC IV LPS dextra
kiri atas : SIC II LPS sinistra
kiri bawah : SIC V LMC sinistra
d. Auskultasi : bunyi jantung I-II Intensitas regular, bising jantung (-)
Kesan : Leher, thoraks dan jantung dalam batas normal.
Paru-paru
Kanan DEPAN kiri
Simetris (+), retraksi -/- Inspeksi Simetris (+), retraksi -/-
Ketinggalan gerak (-),
fremitus (+) sama
Palpasi Ketinggalan gerak (-),
fremitus (+) sama
Sonor Perkusi Sonor
SDV +/+, wheezing (-/-),
Ronkhi (-/-)
Auskultasi SDV +/+, wheezing (-/-),
Ronkhi (-/-)
Kanan BELAKANG kiri
Simetris (+), retraksi -/- Inspeksi Simetris (+), retraksi -/-
Ketinggalan gerak (-),
fremitus (+) sama
Palpasi Ketinggalan gerak (-),
fremitus (+) sama
Sonor Perkusi Sonor
SDV +/+, wheezing (-/-),
Ronkhi (-/-)
Auskultasi SDV +/+, wheezing (-/-),
Ronkhi (-/-)
Kesan : Paru dalam batas normal.
Abdomen : - Inspeksi : simetris, distensi (-), sikatrik (-), darm countur (-),
darm steifung (-).
- Auskultasi : peristaltik (+) N , metallic sound (-).
- Perkusi : Timphany
- Palpasi : Lemas, distensi(-), massa (-), nyeri ulu hati (+),
turgor kulit masih baik.
Hati : Terdapat pembesaran 3 jari di bawah arcus costae
Limpa : tidak terdapat pembesaran
Anogenital : tidak ada kelainan
Kesan : Terdapat pembesaran hati (Hepatomegali).Nyeri tekan pada ulu hati
Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), Edema(-), CRT < 3”
10
STATUS NEUROLOGIS
tungkai lengan
kanan kiri kanan kiri
Gerakan : bebas bebas bebas bebas
Tonus : normal normal normal normal
Trofi : entrofi eutrofi eutrofi eutrofi
Clonus Tungkai : (-) (-) tidak dilakukan tidak dilakukan
Reflek fisiologis : Reflek patella (+) normal, archiles (+), normal, tricep (+) normal
Refleks patologis : Babinski (-), chaddock (-)
Meningeal Sign : Kaku kuduk (-), Brudzinski I (-), Brudzinski II (-), kernig (-)
Sensibilitas : Dalam batas normal
Kesan : status neurologi dalam batas normal
Kepala : normochepal, rambut warna hitam lurus, tidak mudah dicabut
Bentuk :mesochepal
Ubun-ubun : sudah menutup sempurna
Mata : Conjungtiva anemis (-), Skelera ikterik (-), pupil isokor, reflek
cahaya(+).
Hidung : Sekret (-/-), mukosa hipermis (-/-), mukosa hiperemis (-/-)
Epistaksis/ mimisan (-/-)
Telinga : Serumen (-/-), hiperemis (-/-)
Mulut : Rhagaden (+), typhoid tongue (+), sianosis (-), stomatitis (-), gusi
berdarah (-)
Pharing : hiperemis (-).
Gigi : 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6
Tidak terdapat casies dan calculus
6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6
Kesan : Kepala, mata, hidung, telinga, mulut, pharing dan gigi dalam batas normal.
11
Hb : 10,6 gr/dL
Leukosit : 3.900/ML
Hematokrit : 35 %
Trombosit : 116.000/ML
Basofil : 0
Eosinofil : 0
Batang : 3
Segmen : 48
Limfosit : 45
Monosit : 4
Kesan: di dapatkan leukopenia
Pemeriksaan widal
PEMERIKSAAN HASIL
S. Typhi-O 1/320
S.O Parathypi A 1/80
S.O Parathypi B 1/160
S.O Parathypi C 1/80
S. Typhi-H 1/80
S.H Parathypi A -
S.H Parathypi B 1/80
S.H Parathypi C 1/80
12
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Laboratorium
1.panas 6 hari, naik turun, disertai
muntah dan batuk berdahak
(+), nafsu makan menurun.
2.Tidak didapatkan tanda perdarahan
dan tanda dehidrasi.
3.Riwayat ANC baik, persalinan
Spontan, dan riwayat PNC baik
4.Kuantitas makanan cukup, kualitas
kurang, makanan tidak sesuai
usia
5.Perkembangan dan kepandaian baik
6.Tidak terdapat riwayat penyakit
keluarga/ lingkungan yang
ditularkan dan diturunkan.
7.Tidak terdapat RPD yang
berhubungan dengan RPS
Keadaan sosial ekonomi cukup &
kondisi lingkungan rumah kurang
1. Keadaan umum : Compos
Mentis,
2. Tidak terdapat tanda dehidrasi
dan perdarahan
3. Status neurologis dalam batas
normal
4. Meningeal sign (-)
5. Pemeriksaan paru dan jantung
dalam batas normal
6. Status gizi kurang menurut
CDC (BB//U, TB//U, BB//TB)
Caries (-), calculus (-)
Darah rutin
-Leukositopenia
-Widal (+)
Daftar masalah (aktif dan inaktif)
1. Aktif
1. Demam 6 hari naik turun
2. Muntah berisi sisa makanan, lendir (-)
3. Batuk (+) tidak berdahak jarang-jarang.
4. Lemas
5. Penurunan nafsu makan
2. Inaktif
Kondisi lingkungan cukup
13
Kemungkinan penyebab masalah :
1. Observasi febris H.6 e.c Demam tifoid
2. Tersangka ISK
3. ISPA
Rencana pengelolaan
NON MEDIKA MENTOSA
1. Perawatan
1. MRS perawatan isolasi (infeksi)
2. Tirah baring sampai 7 hari bebas panas, mobilisasi bertahap
3. Diet
4. Diet rendah serat, tidak menimbulkan gas, mudah dicerna
5. Bubur saring 7 hari bebas panas, bubur biasa 3 hari, kemudian makan
biasa
MEDIKAMENTOSA
6. IVFD D5 gtt x (makro)
7. Kloramfenikol 100mg/kgBB/hari 3 x 400 mg/hari selama 7 hari bebas
panas
8. Paracetamol syrup 10-15 mg/kgBB 3 x 1cth (120 mg)
1. Ambroxol 0,5 mg/kgBB7,5 mg
PROGNOSIS
Quo ad functionam : bonam
Quo ad vitam : bonam
Rencana Edukasi
1.Menjelaskan tentang penyakit pasien kepada pasien dan keluarganya.
2.Memperhatikan kebersihan makanan & minuman yang dikonsumsi
3.Mengatur pola makan
4.Memberi makanan yang bervariasi (gizi seimbang KH, protein, lemak)
5.Istirahat yang cukup
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. DEFINISI
Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah
penyakit infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala
demam selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan
kesadaran.
Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan
bakteriemia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi
bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa,
kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch.1
3.2. EPIDEMIOLOGI
Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di
negara maju dan yang sedang berkembang. Insiden sangat menurun di negara
maju. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. 96% kasus
demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh
Salmonella paratyphi. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada
umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun.2 Sebagian besar dari
penderita (80%) yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM berumur di
atas lima tahun.5
Diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan 500.000
kematian di seluruh dunia. Kebanyakan penyakit ini terjadi pada penduduk negara
dengan pendapatan yang rendah, terutama pada daerah Asia Tenggara, Afrika, dan
Amerika Latin.
Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid
bervariasi dari 10 sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian
demam tifoid turun dengan adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai
negara berkembang. Di negara maju perkiraan angka kejadian demam tifoid lebih
rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2 – 0,7 kasus per 100.000 penduduk di Eropa
Barat; Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai 14,5 kasus per 100.000
15
penduduk di Eropa Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih merupakan
penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Angka kejadian
demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000 penduduk per
tahun; atau kurang lebih sekitar 600.000 – 1,5 juta kasus setiap tahunnya. Diantara
penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan
kedua setelah gastroenteritis. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM sejak tahun
1992 – 1996 tercatat 550 kasus demam tifoid yang dirawat dengan angka
kematian antara 2,63 – 5,13%.6
Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit ini
sering merebak di daerah yang kebersihan lingkungan dan pribadi kurang
diperhatikan.7
3.3. ETIOLOGI
Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella
typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi
C. Jika penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan
dibanding dengan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama
sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya.
Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk
konfirmasi.8
Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus
Salmonella. Kuman Salmonella typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak
berspora, motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal
370C (150C-410C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang
mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,40C selama satu
jam dan 600C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama.
Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa,
namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa.9
Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku,
peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63 0C. Organisme ini
juga dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah kering,
pakaian, mampu bertahan disampah mentah selama 1 minggu, dan dapat bertahan
serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa merubah
16
warna dan bentuknya. Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami
Salmonella typhi melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang
penderita demam tifoid atau karier kronis.3
Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid
atau karier Salmonella typhi. Mungkin tidak ada orang Indonesia yang tidak
pernah menelan bakteri ini. Bila hanya sedikit tertelan, biasanya orang tidak
menderita demam tifoid. Namun bakteri yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh
menimbulkan suatu reaksi serologi Widal yang positif dan bermakna.10
Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu:
1. Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar)
- Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat
termolabil.
- Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman
dan melindungi O antigen terhadap fagositosis
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan
pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Ada 3 spesies utama yaitu :
- Salmonella typhosa (satu serotype)
- Salmonella choleraesius (satu serotype)
- Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotype)2
Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam
antigen tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella
typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multiple antibiotik.1
Dosis infeksius S. enterica serotipe typhi pada pasien bervariasi dari 1000
hingga 1 juta organisme. Strain Vi negatif dari Salmonella enterica serotipe typhi
ini kurang infeksius dan kurang virulen dibandingkan strain Vi positif. Untuk
dapat mencapai usus halus biasanya Salmonella typhi ini harus dapat bertahan
melalui sawar asam lambung dan kemudian melekat pada sel mukosa serta
melakukan invasi. Sel M sebagai sel epitel khusus yang melapisi sepanjang
17
lapisan Peyer ini merupakan tempat potensial Salmonella typhi untuk invasi dan
sebagai transpor menuju jaringan limfoid. Pasca penetrasi, bakteri ini menuju ke
dalam folikel limfoid intestinal dan nodus limfe mesenterik dan kemudian masuk
dalam sel retikuloendotelial dalam hati dan limpa. Pada keadaan ini terdapat
perubahan degeneratif, proliferatif, dan granulomatosa pada villi, kelenjar kript,
lamina propria usus halus, dan kelenjar limfe mesenterica.6
Organisme Salmonella typhi mampu bertahan hidup dan bermultiplikasi
dalam fagosit mononuklear folikel limfoid, hati, dan limpa. Faktor penting proses
ini mencakup jumlah bakteri, tingkat, tingkat virulensi dan respon tubuh. Bakteri
ini kemudian dilepaskan dari habitat intraseluler masuk aliran darah. Masa
inkubasi ini berkisar 7-14 hari. Pada fase bakteriemi, bakteri akan menyebar dan
tempat infeksi sekunder paling sering ialah hati, limpa, sumsum tulang, kandung
empedu, dan lapisan Peyer ileum terminal. Invasi kandung empedu terjadi
langsung dari asam empedu. Jumlah bakteri pada fase akut diperkirakan 1
bakteri /ml darah (sekitar 66 % dalam sel fagositik) dan sekitar 10 bakteri /ml
sumsum tulang. Walaupun Salmonella typhi menghasilkan endotoksin namun
angka mortalitas stadium ini < 1 %. Studi menunjukkan peningkatan kadar
proinflamasi dan sitokin anti inflamasi dalam sirkulasi pasien tifoid.1
3.4. PATOLOGI
Huckstep membagi patologi dalam plaque Peyeri dalam empat fase.
Keempat fase ini akan terjadi secara berurutan bila tidak segera diberikan
antibiotik yaitu :
Fase 1 : hiperplasia folikel limfoid
Fase 2 : nekrosis folikel limfoid selama seminggu kedua melibatkan mukosa
dan submukosa
Fase 3 : ulserasi pada aksis panjang bowel dengan kemungkinan perforasi dan
pendarahan
Fase 4 : penyembuhan terjadi pada minggu keempat dan tidak menyebabkan
terbentuknya struktur seperti pada tuberkulosis bowel.11
Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada
bagian traktus gastrointestinal lainnya juga dapat terlibat seperti yeyunum dan
18
kolon ascending. Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan
luas dibandingkan yeyunum. Jumlah folikel limfoid akan berkurang seiring
dengan pertambahan usia.11
3.5. PATOFISIOLOGI
Beberapa faktor yang ikut berperan penting dalam patofisiologi demam
tifoid berdasarkan penelitian terbaru ialah :
1. bacterial type III protein secretion system (TTSS)
2. lima gen virulensi (A< B< C< D< dan E) of Salmonella spp yang
mengkode Sips (Salmonella Invasion Proteins).
3. Reseptor Toll R2 and Toll R4 dijumpai pada permukaan makrofag yang
berperan penting dalam signalisasi yang diperantarai LPS dalam makrofag
4. Mekanisme pertahanan tubuh antara lumen intestinal dan organ dalam
5. Peranan fundamental sel endotelial pada deviasi inflamasi dari aliran darah
menuju jaringan yang terinfeksi bakteri.12
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut
bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman
sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang
bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang
dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat
melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2)
kondisi asam lambung.9
Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103-109
yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat
menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan
terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrektomi,
hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung.
Pada keadaan tersebut Salmonella typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.8
Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki
mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh
19
berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non
spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri
anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan
asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman
berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan
melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk
ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan
difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian Salmonella typhi
dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya
perlindungan oleh kapsul kuman. Melalui plak peyeri pada ileum distal bakteri
masuk ke dalam KGB mesenterium dan mencapai aliran darah melalui duktus
torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yang asimptomatis.9
Kemudian kuman akan masuk kedalam organ–organ system
retikuloendotelial (RES) terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut
akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Dari sini kuman akan masuk ke
dalam peredaran darah, sehingga terjadi bakteriemia kedua yang simptomatis
(menimbulkan gejala klinis). Disamping itu kuman yang ada didalam hepar akan
masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu kuman
tersebut bersama dengan asam empedu dikeluarkan dan masuk ke dalam usus
halus. Kemudian kuman akan menginvasi epitel usus kembali dan menimbulkan
tukak yang berbentuk lojong pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut
dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan dan perforasi usus yang menimbulkan
gejala peritonitis.1
Pada masa bakteriemia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan
kimianya sama dengan somatic antigen (lipopolisakarida). Endotoksin sangat
berperan membantu proses radang lokal dimana kuman ini berkembang biak
yaitu merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan
yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi
pusat termoregulator di hypothalamus yang mengakibatkan terjadinya demam.1
Sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.5
20
Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya
manifestasi klinis sebagai berikut: Makrofag pada penderita akan menghasilkan
substansi aktif yang disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat
menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang sistem imun, instabilitas vaskuler,
depresi sumsum tulang, dan panas.
Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh
makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah berdegenerasi
yang dikenal sebagai sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul.
Nodul ini sering didapatkan dalam usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa,
hati, sumsum tulang, dan organ-organ yang terinfeksi.
Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi
(minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta
bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk
bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat
menyebabkan perdarahan bahkan perforasi. Gambaran tersebut tidak didapatkan
pada kasus demam tifoid yang menyerang bayi maupun tifoid kongenital.2
Bagan Patofisiologi Demam Typhoid
21
KUMAN S. TYPHI
Makanan + Minuman
Usus halus
Folikel getah bening intestinum
Multiplikasi Sel PMN
Lambung mati
GEJALA KLINIK
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang
ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan
saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Demam pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang
ditandai dengan demam timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap
harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu
demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara
lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak,
maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari
dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus
demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut
atau delirium, atau penurunan kesadaran.1
Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat
ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri
kepala, batuk non produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya
bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri
kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati
dan limpa, serta gangguan status mental.1 Pada sebagian pasien lidah tampak
kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak
dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal
22
Aliran getah bening Mesenterika
Airan Darah(Bakteremia Primer)
RES Hati dan Limpa
Aliran Darah( Bakteremia Sekunder)
Hidup dan Berkembang Biak
MultiplikasiLokal Usus
dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah
dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu
seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri
abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium.
Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Roseola (bercak makulopapular) berwarna merah, ukuran
2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ekstremitas, dan punggung,
timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua, ditemukan pada 40-
80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi
dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.2
Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi
berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah
suhu badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan
kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang
cukup berat Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-
organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti.
Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil
bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas.5 Sepuluh persen dari
demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.6
Rifai dkk, melaporkan dalam penelitiannya di Rumah Sakit Karantina,
Jakarta, diare lebih sering ditemukan dari pada sembelit, masing-masing 39,47%
dan 15,79% pada anak. Gejala sakit kepala ditemukan pada 76,32% anak, nyeri
perut 60,5%, muntah 26,32%, mual 42,11%, gangguan kesadaran 34,21%,
gangguan mental berupa apatis ditemukan 31,58% dan delirium pada 2,63% anak.
Penulis lain melaporkan ditemukannya lidah khas tifoid.1
Anak usia sekolah dan remaja
Gejala awal demam, malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, dan nyeri
perut berkembang selama 2-3 hari, walaupun diare berkonsistensi mungkin ada
selama awal perjalanan penyakit, konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih
mencolok, mual muntah adalah jarang dan memberi kesan komplikasi terutama
23
jika terjadi pada minggu ke-2 atau ke-3. Batuk dan epistaksis mungkin ada.
Kelesuhan berat dapat terjadi pada beberapa anak. Demam yang terjadi secara
bertingkat menjadi tidak turun-turun dan tinggi dalam 1 minggu, sering mencapai
40 0C.8
Tanda-tanda fisik adalah bradikardi relatif, yang tidak seimbang dengan
tingginya demam. Hepatomegali, splenomegali, dan perut kembung dengan nyeri
difus, terjadi pada minggu ke-2 penyakit.8
Bayi dan Anak Muda (< 5 tahun)
Demam enterik relatif jarang pada kelompok umur ini. Demam ringan dan
malaise, salah interpretasi sebagai sindrom virus, ditemukan pada bayi dengan
demam tifoid terbukti secara biakan . Diare lebih lazim pada anak muda dengan
demam tifoid daripada orang dewasa, membawa pada diagnosis gastroenteritis
akut. Yang lain dapat datang dengan tanda-tanda dan gejala-gejala infeksi saluran
pernafasan bawah.
Neonatus
Disamping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur,
demam enterik selama kehamilan dapat ditularkan secara vertikal. Penyakit
neonatus biasanya mulai dalam 3 hari persalinan. Muntah, diare ,dan kembung
sering ada. Suhu bervariasi, tetapi dapat setinggi 40,5 0C. Dapat terjadi kejang-
kejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan mungkin
nyata.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering
mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare
atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai
penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.
24
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu
di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali
lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang dijumpai terdengar
ronki pada pemeriksaan paru.
3. Pemeriksaan penunjang
# Darah tepi perifer
1. Anemia
Pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau
perdarahan usus.
2. Leukopenia
Namun jarang kurang dari 3000/ul
3. Limfositosis relatif
4. Trombositopenia
Terutama pada demam tifoid berat.
# Pemeriksaan serologi
5. Serologi Widal
Kenaikan titer Salmonella typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer
fase akut ke fase konvalesens.
6. Kadar IgM dan IgG (Typhidot)
# Pemeriksaan biakan Salmonella
7. Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit.
8. Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.
# Pemeriksaan radiologik
9. Foto toraks
Apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.
10. Foto abdomen
Apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus
atau perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi
udara tak merata, tampak air fluid level, bayangan radiolusen di daerah
hepar, dan udara bebas pada abdomen.1
25
DIAGNOSIS BANDING
Sesuai dengan perjalanan penyakit tifoid, permulaan sakit harus dibedakan antara
lain :2
# Bronkitis
# Influensa
# Bronkopneumonia
Pada stadium selanjutnya :
# Demam paratifoid
# Malaria
# TBC milier
# Pielitis
# Meningitis
# Endokarditis bakterial
# Rickettsia
Pada stadium toksik :
# Leukemia
# Limfoma
# Penyakit Hodgkin
PEMERIKSAAN FISIK
Gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung
meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat
pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu II, penderita terus berada
dalam keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsur-angsur turun dan
normal kembali pada akhir minggu III.
2. Gangguan saluran cerna
Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah
(rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue)., ujung
dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung
(meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan.
Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan
tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda.
26
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam berupa
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopr, coma atau gelisah.
Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat
ditemukan gejala-gejala lain:
1. Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest
dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan
diameter 2-4 mm yang akan hilang dengan penekanan dan sukar didapat pada
orang yang bekulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri dalam
kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam.
2. Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang
biasanya ditemukan pada awal minggu ke II dan nadi mempunyai
karakteristik notch (dicrotic notch).5,13
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan
diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang
diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis dan serologis.
1. Pemeriksaan yang menyokong diagnosis.
1. Pemeriksaan darah tepi.
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada
permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.
Pemeriksaan darah tepi ini sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang
sederhana akan tetapi berguna untuk membuat diagnosis yang cepat.5
Pada 2 minggu pertama demam dijumpai leukopenia dengan neutropenia
dan limfositosis relatif. Leukopenia dapat dijumpai tetapi jarang hingga di
bawah 3000/ul. Trombositopenia juga dapat terjadi bahkan dapat berlangsung
27
beberapa minggu. Adanya leukositosis menunjukkan kemungkinan perforasi
usus atau supurasi. Pada penderita demam tifoid sering dijumpai anemia
normositik normokrom. Anemia normositik normokrom terjadi akibat
perdarahan usus atau supresi sumsum tulang. Pada 20% penderita demam
tifoid terjadi perdarahan intestinal tersamar.14
b. Pemeriksaan sumsum tulang
Dapat digunakan untuk menyokong diagnosis. Pemeriksaan ini tidak
termasuk pemeriksaan rutin yang sederhana. Terdapat gambaran sumsum
tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan sistem
eritropoesis, granulopoesis, dan trombopoesis berkurang.5
3. Pemeriksaan untuk membuat diagnosa
a. Pemeriksaan kultur
Diagnosis pasti dengan Salmonella typhii dapat diisolasi dari darah,
sumsum tulang, tinja, urin, dan cairan duodenum dengan cara dibiakkan dalam
media ( kultur). Pengetahuan mengenai patogenesis penyakit sangat penting
untuk menentukan waktu pengambilan spesimen yang optimal.
Salmonella typhi dapat diisolasi dari darah atau sumsum tulang pada 2
minggu pertama demam. Pada 90% penderita demam tifoid, kultur darah
positif pada minggu pertama demam dan pada saat penyakit kambuh. Setelah
minggu pertama, frekuensi Salmonella typhi yang dapat diisolasi dari darah
menurun. Pada akhir minggu ke 3 hanya dapat ditemukan pada 50% penderita,
setelah minggu ke 3 pada kurang dari 30% penderita. Sensitifitas kultur darah
menurun pada penderita yang mendapat pengobatan antibiotik. Kultur
sumsum tulang lebih sensitif bila dibandingkan dengan kultur darah dan tetap
positif walaupun setelah pemberian antibiotik dan tidak dipengaruhi waktu
pengambilan.2
Salmonella typhi lebih mudah diisolasi dari tinja antara minggu ke-3
sampai minggu ke-5. Pada minggu pertama hanya 50% Salmonella typhi
dapat diisolasi dari tinja. Frekuensi kultur tinja positif meningkat sampai
minggu ke-4 atau minggu ke-5. Kultur tinja positif setelah bulan ke-4
28
menunjukkan karier Salmonella typhi. Pada penderita karier Salmonella typhi
dapat dijumpai 1011 organisme per gram tinja. Salmonella typhi dapat diisolasi
dari urin setelah minggu ke-2 demam. Pada 25% penderita, kultur urin positif
pada minggu ke 2-3.
Kultur merupakan pemeriksaan baku emas, akan tetapi sensitifitasnya
rendah, yaitu berkisar antara 40-60%. Hasil positif memastikan diagnosis
demam tifoid sedangkan hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Hasil
negatif palsu dapat dijumpai bila jumlah kuman atau spesimen sedikit, waktu
pengambilan spesimen tidak tepat atau telah mendapat pengobatan dengan
antibiotik.15
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Widal
ialah pemeriksaan yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis
yang pasti. Kedua pemeriksaan perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap
minggu berikutnya. Pada biakan empedu, 80% pada minggu pertama dapat
ditemukan kuman di dalam darah penderita. Selanjutnya sering ditemukan
dalam urin dan feses dan akan tetap positif untuk waktu yang lama.5
b. Tes Widal
Pada awalnya pemeriksaan serologis standar dan rutin untuk diagnosis
demam tifoid adalah uji Widal yang telah digunakan sejak tahun 1896. Uji
serologi Widal memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O),
flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid.14
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum
penderita dicampur dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat
diagnosa dibutuhkan titer zat anti thd antigen O. Titer thd antigen O yang
bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif pada
pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat) mengindikasikan infeksi akut.
Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita.
Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat tetap
tinggi setalah mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Titer
thd antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya menunjukan virulensi dari
kuman.5
29
Pada umumnya peningkatan titer anti O terjadi pada minggu pertama
yaitu pada hari ke 6-8. Pada 50% penderita dijumpai peningkatan titer anti O
pada akhir minggu pertama dan 90% penderita pada minggu ke-4. Titer anti O
meningkat tajam, mencapai puncak antara minggu ke-3 dan ke-6. Kemudian
menurun perlahan-lahan dan menghilang dalam waktu 6-12 bulan.
Peningkatan titer anti H terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke 10-12
dan akan menetap selama beberapa tahun. Kurva peningkatan antibodi
bersilangan dengan kultur darah sebelum akhir minggu ke 2. Hal ini
menunjukkan bahwa kultur darah positif lebih banyak dijumpai sebelum
minggu ke-2, sedangkan anti Salmonella typhi positif setelah minggu ke-2.
Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat
imunisasi, anti H menetap selama beberapa tahun. Adanya demam oleh sebab
lain dapat menimbulkan reaksi anamnestik yang menyebabkan peningkatan
titer anti H. Peningkatan titer anti O lebih bermakna, tetapi pada beberapa
penderita hanya dijumpai peningkatan titer anti H. Pada individu sehat yang
tinggal di daerah endemik dijumpai peningkatan titer antibodi akibat terpapar
bakteri sehingga untuk menentukan peningkatan titer antibodi perlu diketahui
titer antibodi pada saat individu sehat.
Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif
palsu dapat disebabkan antibodi belum terbentuk karena spesimen diambil
terlalu dini atau antibodi tidak terbentuk akibat defek pembentukan antibodi
seperti pada penderita gizi buruk, agamaglobulinemia, imunodefisiensi atau
keganasan. Pengobatan antibiotik seperti kloramfenikol dan ampisilin,
terutama bila diberikan dini, akan menyebabkan titer antibodi tetap rendah atau
tidak terbentuk akibat berkurangnya stimulasi oleh antigen.15
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan
memakai uji Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan
waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Beberapa klinisi di
Indonesia berpendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa > 1/200 atau
terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella
30
typhi ( karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal
kurang dapat dipercaya sebab tidak spesifik, dapat positif palsu pada daerah
endemis, dan sebaliknya.14
Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena:
4. semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki
antigen O yang sama yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa
antigen O nomor 12 dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B ( yang
lebih dikenal sebagai paratyphi A dan paratyphi B).
5. semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella
typhi dan
6. titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau imunisasi.
Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna
pada pasien tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien
yang mempunyai antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya
onset penyakit. Sehingga keadaan ini menyulitkan untuk memperlihatkan
kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain uji Widal adalah antibodi tidak
muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi dan sering tidak ada
kaitannya dengan gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup besar (15% lebih)
tidak terjadi kenaikan titer O bermakna.16
Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya
pengaruh terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal kurang
baik karena serotype Salmonella lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop
Salmonella typhi bereaksi silang dengan enterobacteriaceae lain sehingga
memicu hasil positif palsu.17
Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan
konvalesen, untuk mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2 spesimen
dengan interval 7-10 hari, peningkatan titer anti O dan H minimal empat kali
menunjang diagnosis demam tifoid. Pada beberapa penderita tidak dijumpai
peningkatan titer antibodi karena spesimen diambil pada stadium lanjut, titer
antibodi yang tinggi pada daerah endemik atau respon antibodi tidak baik
sebagai akibat pemberian antibiotik yang terlalu dini. Akhir-akhir ini tes Widal
31
dilakukan satu kali pada fase akut. Penilaian hasil tes Widal pada satu
spesimen sangat sulit.15
Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal
sebagai alat penunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh
dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Hingga saat ini
pemeriksaan serologik Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point) 16
Tidak selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh
menderita tifus abdominalis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan untuk
menentukan kesembuhan penderita.
Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan berikut:
7. Titer O dan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal,karena infeksi basil
coli patogen dlm usus.
8. Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta.
9. Terdapatnya infeksi silang dgn rickettsia (Weil Felix).
10. Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basisl perora; atau pada
keadaan infeksi.5
Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan antibodi
Antibodi terhadap antigen O merupakan IgM yang mendominasi, muncul
pada awal penyakit dan menghilang lebih dini. Antibodi terhadap H baik IgM
maupun IgG muncul lebih lambat tetapi bertahan lebih lama. Biasanya antibodi O
muncul pada hari ke 6-8 sedangkan antibodi H pada hari 10-12 dari onset
penyakit.10
Mengingat tingkat sensitivitas dan spesifisitas tes Widal rendah maka
pemeriksaan serologis untuk diagnosis dini demam tifoid mulai beralih dari tes
Widal menuju pelacakan antibodi terhadap antigen Salmonella typhi yang lebih
spesifik seperti:
# Dot EIA ( Dot Enzyme Immunoabsorbent Assay ), pemeriksaan ELISA untuk
mendeteksi protein spesifik pada membran luar atau outer membrane protein
32
(OMP) dimana OMP dengan berat 50 kDa ternyata sangat spesifik pada serum
pasien tifoid. Sensitivitas Dot EIA mencapai 95-100% jauh lebih baik daripada
sensitivitas Widal yang hanya 60%. Pemeriksaan Dot EIA tidak ada reaksi silang
dengan salmonelosis non tifoid dibandingkan dengan Widal. Produk komersial
pemeriksaan ini dikenal sebagai Typhidot.13 Salah satu modifikasi Typhidot
dengan inaktivasi IgG dalam sampel serum untuk menyingkirkan kemungkinan
ikatan kompetitif dan memungkinkan akses antigen terhadap IgM spesifik,
dikenal sebagai Typhidot M.6 Dengan kata lain, Typhidot M hanya mendeteksi
antibodi IgM spesifik sedangkan Typhidot mendeteksi antibodi IgM dan IgG
terhadap antigen 50 kD Salmonella typhi. Pemeriksaan Typhidot membutuhkan
waktu 3 jam.18
# Polymerase Chain Reaction (PCR)
Untuk amplifikasi DNA dari teknik hibridisasi asam nukleat. Pada sistem
hibridisasi ini, sebuah molekul asam nukleat yang sudah diketahui spesifisitasnya
(DNA probe) digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya urutan asam nukleat
yang sepadan dari target DNA (kuman). Meskipun DNA probe memiliki
spesifisitas tinggi, pemeriksaan ini tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah
kuman dalam darah yang sangat rendah, misalnya 10-15 Salmonella typhi/ml
darah dari pasien demam tifoid. Oleh sebab itu target DNA telah dapat
diperbanyak terlebih dahulu sebelum dilakukan hibridisasi. Penggandaan target
DNA dilakukan dengan teknik PCR menggunakan enzim DNA polimerase. Cara
ini dapat melacak DNA Salmonella typhi sampai sekecil 1 pikogram namun usaha
untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
memuaskan.16
# IgM Dipstick test
Pemeriksaan ini didasarkan pada ikatan antibodi IgM spesifik Salmonella
typhi pada LPS antigen Salmonella typhi.
Tes Tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif sederhana
dan cepat. Hasil positif tes Tubex menunjukkan adanya infeksi Salmonella
walaupun tidak dapat menunjukkan Salmonella grup D mana yang menjadi faktor
kausatifnya. Infeksi Salmonella serotipe lainnya seperti Salmonella paratyphi A
memberikan hasil yang negatif. Oleh sebab itu, tes ini sangat akurat dalam
33
diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu singkat.10,18
KOMPLIKASI
Komplikasi typoid dapat terjadi pada :
1. Intestinal (usus halus) :
Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu:
1. Perdarahan (haemorrhage) usus.
Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena. Pada anak lebih
jarang. Dilaporkan di Surabaya terjadi pada hari ketujuh belas atau awal
minggu ke-3.
Insidennya berbeda-beda berkisar antara 0,8%-8,6%
Diagnosis dapat ditegakkan dengan:
1. Penurunan tekanan darah
2. Denyut nadi bertambah cepat dan kecil
3. Kulit pucat
4. Penurunan suhu tubuh
5. Mengeluh nyeri perut
6. Sangat iritabel
7. Darah tepi: sering diikuti peningkatan lekosit dalam waktu singkat
8. Perforasi usus
Timbul pada minggu ketiga atau setelah itu dan sering terjadi pada ileum
terminalis. Lebih jarang dibandingkan pada orang dewasa. Angka
kejadian antara 0,4-2,5%. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dalam rongga
peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara bebas (free
air sickle) diantara hati dan diafragma pada foto Rontgen abdomen yang
dibuat dalam posisi tegak.
9. Peritonitis
Pada umumnya tanda/gejala peritonitis sering didapatkan, penderita
nampak kesakitan di daerah perut yang mendadak, perut kembung,
dinding abdomen tegang ( defense musculair ), nyeri tekan, tekanan
34
darah menurun, suara bising usus melemah, pekak hati berkurang. Pada
pemeriksaan darah tepi didapatkan peningkatan lekosit dalam waktu
singkat.
2. Ekstraintestinal
Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis
(bakteriemia):
1. Liver, gallbladder, dan pancreas
Dapat terjadi mild jaundice pada enteric fever oleh karena terjadi
hepatitis typhosa, kolesistitis, kholangitis atau hemolisis. Dapat juga
terjadi pankreatitis.
2. Kardiorespiratory
Toxic myocarditis adalah penyebab kematian yna signifikan pada daerah
endemic. Hal tersebut terjadi pada pasien yang sangat parah sekali dan
ditandai oleh takikardia, nadi dan bunyi jantung yang lemah, hypotensi,
dan EKG yang abnomal. Bronkitis ringan sering terjadi,
broncopneumonia .
3. Nervous system
Berupa disorientasi, delirium, meningismus, meningitis (jarang),
encephalomyelitis.
4. Hematologi dan renal
Terjadi DIC yang subclinical pada typhoid fever yang mana merupakan
manifestasi sindrom uremia hemolitik, dan hemolisis. Glomerulonefritis,
pielonefritis, dan perinefritis.5,13
Bronkitis dan Bronkopneumonia
Bronkitis terjadi pada akhir minggu pertama dari perjalanan penyakit, pada
kasus yang berat bilamana disertai infeksi sekunder dapat terjadi
bronkopneumoni.
Angka kejadian bervariasi antara 2,5-7%.
35
Kolesistitis
Pada anak-anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhir minggu
kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas.
Bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang
karier.
Tifoid Ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa:
kesadaran menurun, kejang-kejang, muntah, demam tinggi dan pemeriksaaan
cairan otak masih dalam batas-batas normal.
Angka kejadian yang dilaporkan berkisar 0,3-9.1%.
Bila disertai kejang-kejang maka biasanya prognosa jelek dan bila sembuh
sering diikuti oleh gejala sisa sesuai dengan lokasi yang terkena.
Meningitis
Meningitis oleh karena Salmonella typhosa atau species salmonella yang
lain lebih sering didapatkan pada neonatus maupun bayi dibandingkan pada anak,
dengan gejala klinis sering tidak jelas sehingga diagnosis sering terhambat.
Ternyata penyebabnya adalah Salmonella Havana dan Salmonella
Oranenburg.
Gejala Klinis:
- Bayi tidak mau menetek
- Kejang
- Letargi
- Sianosis
- Panas
- Diare
- Kelainan neurologis seperti: opistotonus, fontanella cembung, refleks grasp
menurun, reflex mengisap menurun.
Komplikasi tifoid meningitis dapat berupa:
1. Efusi subdural
2. Ventrikulitis
3. Hidrosefalus
36
Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinisnya
tidak khas. Insidensnya terutama pada anak-anak umur 7 tahun ke atas serta sering
terjadi pada minggu kedua dan ketiga.
Diagnosis klinis berdasarkan: (menurut Keith, dkk 1978)
- Irama mendua
- Takikardi yang menetap
- Bunyi jantung melemah
- Bising sistolik di apex
- Pembesaran jantung
Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain: sinus takikardi, depresi segmen ST,
perubahan gelombang T; AV blok tingkat 1, arithmia, supraventrikulertakikardi.
Karier kronik
Tifoid karier adalah seseorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit
demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di dalam
ekskretnya. Mengingat karier sangat penting dalam hal penularan yang
tersembunyi, maka penemuan kasus sedini mungkin serta pengobatannya sangat
penting dalam hal menurunkan angka kematian.
Pada anak-anak jarang untuk menjadi karier dibandingkan dengan orang
dewasa.
Mengingat ekskresi Salmonella dapat terjadi intermitten maka paling
sedikit diperlukan 3-6 kali biakan sebelum hasilnya dapat dikatakan negatif.
Pengobatan karier merupakan masalah yang sulit, kadang-kadang dengan
pemberian obat-obatan antimikroba gagal karena Salmonella typhosa bersarang
dalam saluran empedu intrahepatik sehingga diperlukan pengobatan kombinasi
antara operasi dan obat-obatan.2
TATALAKSANA
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus
dianggap dan dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada
3 bagian yaitu:
1. perawatan
37
2. diet
3. obat
Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,
observasi serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi
tidak harus tirah baring sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa
lampau. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi
penderita. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi agar
tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi demam tifoid yang lain
termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat perhatian.
Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat
bervariasi dan tidak ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita
serta adanya komplikasi selama penyakitnya berjalan.
Diet
Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur
saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat
kekambuhan penderita. Banyak penderita tidak senang diet demikian, karena tidak
sesuai dengan selera dan ini mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita
semakin mundur dan masa penyembuhan ini menjadi makin lama.
Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai
dengan keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas
ternyata dapat diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan
baik kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan
makan yang rendah/bebas selulose, menghindari makan iritatif sifatnya. Pada
penderita dengan gangguan kesadaran maka pemasukan makanan harus lebih
diperhatikan.
Ternyata pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan
seperti dapat menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah
sakit sedikit diperpendek, dapat menekan penurunan kadar albumin dalam serum,
dapat mengurangi kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan.
38
Obat-obatan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian
menurun secara drastis(1-4%).
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain:
- Kloramfenikol
- Tiamfenikol
- Co trimoxazol
- Ampisilin
- Amoksisilin
- Seftriakson
- Sefiksim
Kloramfenikol
Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada
ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan
peptide tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Meskipun telah
dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap kloramfenikol di
berbagai daerah. Kloramfenikol tetap digunakan sebagai drug of choice pada
kasus demam tifoid, karena sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder (1947)
sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam
lebih cepat, di samping harganya murah dan terjangkau oleh penderita. Di lain
pihak kekurangan kloramfenikol ialah reaksi hipersentifitas, efek toksik pada
system hemopoetik (depresi sumsum tulang, anemia apastik), Grey Syndrome,
kolaps serta tidak bermanfaat untuk pengobatan karier. Dalam pemberian
kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis, dosis yang dianjurkan ialah 50-
100 mg/kg.bb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari serta
untuk neonatus sebaiknya dihindarkan, bila terpaksa dosis tidak boleh melebihi 25
mg/kgbb/hari.2,3
Tiamfenikol
Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan
kimianya hampir sama hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian
39
tiamfenikol demam turun setelah 5-6 hari, hanya komplikasi hematologi pada
penggunaan tiamfenikol lebih jarang dilaporkan, sedangkan strain salmonella
yang resisten terhadap tiamfenikol.
Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/kg.bb/hari.
Co Trimoxazole
Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak pendapat yang
kontroversial. Kelebihan co trimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus
yang resisten terhadap kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik,
kemungkinan timbulnya kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan
kloramfenikol.
Kelemahannya ialah terjadi skin rash (1-15%). Steven Johnson sindrome,
agranulositosis, tromositopenia, megaboblastik anemia, hemolisis eritrosit
terutama pada penderita defisiensi G6PD.
Dosis oral: 30-40 mg/kg.bb/hari dari sulfametoxazole dan 6-8
mg/kg.bb/hari, oral, selama 10 hari untuk trimetoprim, diberikan dalam 2 kali
pemberian.
Ampisilin dan Amoksisilin
Merupakan derivat penisilin yang digunakan pada pengobatan demam
tifoid, terutama pada kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, tetapi pernah
dilaporkan adanya Salmonella yang resisten terhadap ampisilin di Thailand.
Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan
dengan kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang
toksisitas.
Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3-18%), diare (11%).
Amoksisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan ampisilin,
tetapi penyerapan peroral lebih baik, sehingga kadar obat yang tecapai 2 kali lebih
tinggi, timbulnya kekambuhan lebih sedikit (2%-5%) dan karier (0-5%).
Dosis yang dianjurkan:
Ampisilin 100-200 mg/kg.bb/hari, oral atau IV selama 10 hari
Amoksisilin 100 mg/kg.bb/hari,
40
Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak
memberikan keuntungan yang lebih baik bila diberikan obat tunggal.
Seftriakson
Lebih aman dari Kloramfenikol. DOC jika terdapat resistensi terhadap
kloramfenicol. Seftriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik. Dosisnya 80
mg/kgbb/hari, IV atau IM, sekali sehari, 5 hari.
Sefiksim
10mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.
# Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan
perdarahan usus dan relaps. Tetapi pada kasus berat maka penggunaan
kortikosteroid secara bermakna menurunkan angka kematian. Diberikan pada
kasus berat dengan gangguan kesadaran. Dexametason 1-3 mg/kgbb/hari
intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik.2,3
# Antipiretik
Diberikan apabila demam > 39ºC, kecuali pada riwayat kejang demam
dapat diberikan lebih awal.
Lain-lain
Transfusi darah
Kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi usus.
Bedah
Konsultasi Bedah Anak apabila dijumpai komplikasi perforasi usus.
Monitoring
Evaluasi demam reda dengan memonitor suhu. Apabila pada hari 4-5
setelah pengobatan demam tidak reda, maka segera harus dievaluasi adakah
komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi Salmonella typhi terhadap antibiotik,
atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis.
41
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai
komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.3
PENCEGAHAN
Higiene perorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute oro fekal, maka pencegahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan
lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan
pengamanan pembuangan limbah feses, pemberantasan lalat, pengawasan
terhadap kebersihan penjual makanan.2,3
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi,
maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang
mereka konsumsi. Salmonella typhi dalam air akan mati apabila dipanaskan
setinggi 57°C beberapa menit atau dengan proses iodinasi/ klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57ºC beberapa menit dan secara
merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas
suatu negara atau suatu daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana
air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap
hygiene pribadi.3
Imunisasi
Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.
Beberapa vaksin telah ditemukan untuk mencegah demam tifoid, bentuknya
berupa vaksin demam tifoid oral, dan vaksin polisakarida parenteral.1
Vaksin Demam Tifoid Oral
Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen
yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus pembelahan
dalam usus dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak
seperti vaksin parenteral, respon imun pada vaksin ini termasuk sekretorik IgA.
Secara umum efektivitas vaksin oral sama dengan vaksin parenteral yang
42
diinaktivasi dengan pemanasan, namun vaksin oral mempunyai reaksi samping
lebih rendah. Vaksin tifoid oral dikenal dengan nama Ty-21a. Penyimpanannya
pada suhu 2ºC-8ºC. Kemasan dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau
lebih. Cara pemberian 1 kapsul vaksin dimakan setiap hari ke 1,3,5 satu jam
sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37°C. Kapsul ke 4 pada
hari ke 7, diberikan terutama bagi turis. Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh
dibuka karena kuman dapat mati oleh asam lambung. Vaksin tidak boleh
diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau anti malaria yang aktif
terhadap Salmonella. Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari
interferon mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu
setelah pemberian terakhir dari vaksin tifoid ini. Imunisasi ulangan diberikan
setiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus terekspos dengan infeksi
Salmonella sebaiknya diberikan 3-4 kapsul setiap beberapa tahun. Daya proteksi
vaksin ini hanya 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk
melakukan seleksi pada makanan dan minuman.
Vaksin Polisakarida Parenteral
Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5ml mengandung kuman Salmonella typhi,
polisakarida 0,025mg, fenol, dan larutan buffer yang mengandung natrium
klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat, dan pelarut untuk suntikan.
Penyimpanan pada suhu 2°C-8ºC, jangan dibekukan. Vaksin ini akan kadaluarsa
dalam jangka waktu 3 tahun. Pemberian secara intramuskuler atau subkutan pada
daerah deltoid atau paha. Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3 tahun. Reaksi
samping lokal dari vaksinasi ini berupa bengkak, nyeri, kemerahan di tempat
suntikan. Reaksi sistemik yang dapat timbul yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut tapi jarang dijumpai. Sangat jarang
terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit, dan urtikaria. Kontraindikasi
pemberian vaksin ini adalah pasien yang alergi terhadap bahan-bahan dalam
vaksin, saat demam, penyakit akut, penyakit kronik progresif. Daya proteksi 50-
80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk melakukan seleksi pada
makanan dan minuman.15
PROGNOSIS
43
Prognosis pasien Demam Tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,
angka mortalitasnya >10%, mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan
kemungkinan komplikasi dan waktu pemulihan.19
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi
≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier
pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik dapat terjadi
pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris
lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak
5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara, sedangkan 2%
yang lain akan menjadi karier kronis.7
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat
datang berobat dan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala
klinis yang berat seperti:
4. Hiperpireksia atau febris kontinua
5. Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium.
6. Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia.
7. Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).5
BAB IV
44
ANALISA KASUS
Demam typhoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang
ringan bahkan asimptomatis. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi, namun
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan
saluran pencernaan, (3) gangguan kesadaran. Pada kasus khas terdapat demam
remitten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat
pada malam hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan
demam, yang turun secara berangsur-angsur pada minggu ketiga.
Pada pasien ini di tegakkan diagnosa demam typhoid tanpa komplikasi.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis:
1. Pasien demam 6 hari yang remitten. Demam menjelang sore hari dan
demam turun pagi harinya sehingga pasien dapat bersekolah pada pagi
harinya (aktivitas pasien tidak terganggu)
2. Demam disertai dengan gangguan pencernaan berupa mual dan konstipasi
3. Pasien sering jajan makanan dan minumam di luar rumah, yang tidak jelas
kebersihannya
Pada pasien ini pemerikasaan fisiknya ditemukan :
1. Didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, keadaan umum yang
sedang, tanpa gangguan kesadaran
2. Pada lidah pasien ditemukan kotor pada tengahnya dan hiperemis pada
pinggirnya, tremor (-)
3. Hepatomegali 2 cm dibawah arcus costae, tepi tajam, permukaan licin,
konsistensi kenyal, dan nyeri tekan (+)
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa demam typhoid dibagi
dalam 3 kelompok, yaitu (1) isolasi kuman penyebab demam typhoid melalui
biakan kuman dari spesimen penderita seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja,
cairan duodenum dan rose spot, (2) uji serologis untuk mendeteksi antibodi
terhadap antigen, (3) pemeriksaan melacak DNA kuman S. Tyhpi.
Diagnosis demam typhoid dengan biakan kuman sebenarnya amat
diagnostik, namun identifikasi kuman memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah
45
positif pada 40-60% kasus yang diperiksa pada minggu pertama sakit, sedangkan
biakan feses atau urin akan positif setelah minggu pertama. Biakan dari sumsum
tulang akan positif pada penyakit stadium lanjut, dan merupakan pemeriksaan
yang paling sensitif. Biakan darah positif memastikan demam typhoid, tetapi
biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam typhoid. Hal ini disebabkan
karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa faktor, antara lain (1) jumlah
darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan media empedu, (3) waktu
pengambilan darah.
Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan kultur darah karena membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk mengetahui hasilnya dan pemeriksaan melacak
DNA tidak dilakukan karena biaya yang mahal dan fasilitas rumah sakit yang
terbatas.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan serologis dan didapatkan hasil positif
pada serologi Salmonella typhi O dan Salmonella paratyphi CO sebesar 1/320.
Walaupun uji serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam typhoid telah
luas digunakan namun manfaatnya masih menjadi perdebatan.
Penatalaksanaan penderita dengan demam typhoid, terutama pada pasien ini
dengan perawatan bed rest, pemberian diet yang lunak yang mudah dicerna
dengan kalori dan protein yang cukup dan rendah serat. Pemberiaan obat-obatan
diberikan antibiotik kloramfenikol sebesar 400 mg perkali pemberian 3 x sehari
sebagai pengobatan kausalnya. Selain itu diberikan antipiretik (paracetamol), dan
mukolitik (ambroxol) sebagai pengobatan simptomatis.
Untuk memastikan diagnosa dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
kultur darah atau urin atau feses.
Pasien diperbolehkan pulang setelah perawatan di rumah sakit karena tidak
ada keluhan dan ada perbaikan klinis. Namun pasien tetap dianjurkan untuk
istirahat dan mobilisasi bertahap, diet makanan lunak, dan melanjutkan antibiotik
sampai 7 hari bebas demam.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak
infeksi dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia:
h.367-75.
2. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.
3. Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1.
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4.
4. NN. Mengenal demam typhoid. Available from :
http://abughifari.blogspot.com/2008/11/mengenal-demam-typhoid.html
5. Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta :
Percetakan Infomedika, 2005: h.592-600.
6. NN. Demam typhoid. Available from :
http://cetrione.blogspot.com/2008/11/demam-typhoid.html
7. NN. Demam tifoid (typhoid fever). Available from :
http://www.jevuska.com/2008/05/10/demam-tifoid-typhoid-fever
8. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of
pediatrics, 18th ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.
9. Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2003: h.37-43.
10. Hartoyo E, Yunanto A, Budiarti L. UJi sensitivitas salmonella typhi terhadap
berbagai antibiotik di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin. Sari Pediatri.
September 2006;8(2):118-121.
11. Concise Reviews of Pediatrics Infectious Diseases. Management of Typhoid
Fever in Children. February 2002: p.157-159.
12. NN. Demam tifoid. Available from: http://www.medicastore.com
13. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current pediatrics
diagnosis & treatment., 18th ed. USA, 2007: p.279, 1184-5.
14. Hadinegoro SRS, Tumbelaka AR, Satari HI. Pengobatan Cefixime pada
Demam Tifoid Anak. Sari Pediatri. 2001;2(4):182-7.
47
15. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB. Pedoman
imunisasi di Indonesia, ed 2. Jakarta : Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2005: h.173-4.
16. Retnosari S, Tumbelaka AR. Pendekatan diagnostik serologik dan pelacak
antigen salmonella typhi. Sari Pediatri. 2000;2(2):90-5.
17. World Health Organization. Backgroud Document: The Diagnosis, Treatment
and Prevention of Typhoid Fever. Geneva: WHO, 2003. Available from:
http://www.who.int/vaccines-documents/
18. Zulkarnain I. Patogenesis demam tifoid. Jakarta : Pusat informasi &
penerbitan bagian ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2000: h.3-5.
19. Brusch JL, Garvey T. Penyakit tipus fever. Available from :
http://www.medscape.com/files/public/blank.htm
48