bab i-3

Upload: mohammad-areza

Post on 13-Oct-2015

72 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dsds

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit yang ditandai dengan metabolisme glukosa yang abnormal dan berisiko untuk perkembangan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Hiperglikemia yang terjadi pada diabetes melitus menyebabkan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular yang irreversible, termasuk retinopati, neuropati, ateroskerosis dan penyakit serebrovaskular.Keadaan hiperglikemia yang kronis menyebabkan terjadinya glikasi (ikatan antara glukosa dengan gugus amin NH2 residu lisin) dari protein darah dan lemak. Glikasi menyebabkan perubahan kimiawi dari protein, dan makromolekul lainnya yang berperan dalam patogenesis komplikasi diabetes. Produk akhir glikasi yaitu advanced glycation end products (AGEs) adalah kumpulan molekul yang dibentuk dari reaksi nonenzimatik gula tereduksi dengan asam amino dari protein, lipid dan asam nukleat. Produk awal dari reaksi ini disebut Schiff base, yang secara spontan akan membentuk produk Amadori yang pada diabetes dikenal dengan hemoglobin A1c (HbA1c).Glikasi meningkat pada berbagai macam protein pada pasien dengan diabetes mellitus, dan beberapa protein terglikasi diketahui terlibat dalam komplikasi diabetes kronis. HbA1c merupakan gold standard sebagai indikator dari diabetes. Menurut Diabetes Control and Complications Trial (DCCT), U.K. Prospective Diabetes Study (UKPDS) dan Kumamoto, menunjukkan bahwa pengaturan kontrol HbA1C menurunkan risiko dari berkembangnya komplikasi dari diabetes. Albumin terglikasi baru-baru ini digunakan sebagai indikator klinis untuk kontrol diabetes dikarenakan usianya yang sebentar dalam darah. Persepsi dari albumin terglikasi berbeda dengan HbA1c dikarenakan perbedaan dari usia dalam darah dan target glikasi yaitu hemoglobin dengan serum protein. BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Reaksi AmadoriHiperglikemia kronik bertanggung jawab terhadap glikasi non-enzimatik protein sebagai hasil dari ikatan kovalen glukosa terhadap asam amino. Glikasi endogen terutama terjadi dalam darah dan melibatkan sebagian kecil absorbsi glukosa. Glikasi merupakan tahap pertama dalam produksi molekul ini dan melibatkan komplek seri reaksi tubuh yang sangat lambat, yang disebut sebagai reaksi Amadori, reaksi dasar Schiff, dan reaksi Maillard, yang akhirnya membentuk advanced glycation end-product (AGEs). Reaksi Amadori merupakan non-enzimatik pathway yang menghubungkan reduksi karbohidrat dengan grup reaktif amino, mengawali terbentuknya produk Amadori dan AGEs. Seri reaksi komplek terjadi setelah diawali reaksi karbonil amin. Reaksi ini umumnya mengikuti tahap-tahap berikut: (1) Kondensasi non-enzimatik dari -hydroxy-aldehydes dengan amine bebas yang cocok dari grup protein atau asam nukleat unutk membentuk glycosamin (tahap reversible).(2) Penyusunan kembali glycosamin menjadi ketosamin, juga dikenal sebagai Amadori-rearrangement product (ARP)(3) Degradasi dan dehidrasi ARP ke dalam amino atau carbonyl intermediate (4) Reaksi carbonyl intermediate dengan grup amino lain dan selanjutnya disusun kembali untuk membentuk AGEs.

Perubahan struktural dan lokasi glikasi albumin.Glikasi albumin berpengaruh kuat terhadap fungsi fisiologis normalnya, seperti ikatan afinitas obat dan hormon, aktifitas esterase-like, efek antioksidan. Label Tritium digunakan untuk mengidentifikasi lokasi glikasi albumin, dan dasar lokasi glikasi albumin teloah didapatkan bertempat di Lys-525 pada individu normal. Garlick dkk menunjukkan bahwa jumlah Lys-525 pada 48% dari keseluruhan glycated albumin (GA) pada individu normal, sedangkan Iberg dkk melaporkan dasar posisi glikasi Lys-525 bertanggung jawab terhadap 33% dari seluruh GA pasien dengan kadar glukosa darah tak stabil. Kisugi dkk melaporkan adanya penambahan tempat glikasi selama periode control glikemik yang buruk. Nilai GA juga mengalami penurunan yang cepat setelah treatment sesuai jumlah lokasi glikasi dan AGE-related fluoresen. Perubahan jumlah dan rasio tempat ikatan utama sebagai respon terhadap berbagai derajat hiperglikemia mencerminkan perubahan structural atau fungsi albumin mengikuti glikasi.Tempat ikatan berubah dengan adanya glikasi protein, efek interaksi obat Modifikasi protein dapat mengubah fungsi biologisnya, termasuk interaksi obat. Glikasi dapat mempengaruhi ikatan obat terhadap protein pada pasien diabetes. Secara klinis hal ini penting untuk menentukan bagaimana glikasi mempengaruhi ikatan protein normal terhadap obat hipoglikemik oral (OHO) selama hiperglikemia, yang dapat menguatkan efek terapeutiknya. Afinitas ikatan OHO terhadap glicated albumin serum lebih rendah dibandingkan terhadap albumin. Afinitas ikatan OHO dari yang terkuat hingga terlemah adalah sebagai berikut:Glibenclamid, acetohexamid,tolbutamid, gliklazid, dan metformin. Hal ini menunjukkan dengan peningkatan sedikit saja fraksi bebas (ikatan non protein) dari OHO dapat mengakibatkan hipoglikemi yang berat. Albumin merupakan suatu mayor binding protein (66,5kD), memiliki dua tempat ikatan mayor untuk obat yaitu Sudlow site I dan II. Sudlow site I terdapat di sub domain IIA albumin dan terikat pada beberapa obat seperti warfarin, azapropazon, phenylbutazon, dan salisilat. Sudlow site II bertempat di subdomain IIIA albumin dan terikat terhadap ibuprofen, fenoprofen, ketoprofen, benzodiazepine dan L-tryptophan. Sudlow site I dan II mengikat generasi pertama sulfonylurea seperti acetohexamid, dan tolbutamid. Pengukuran glicated albumin

Glycated albumin sebagai marker control glikemik dan perbandingannya dengan indeks glikemik lain.GA, fructosamin, dan umumnya HbA1c, merupakan glycated protein non-enzimatik yang digunakan sebagai monitor status glikemik pasien diabetes. Pertimbangan khusus diperlukan dalam pengukurannya pada pasien CKD.2.2. Definisi HbA1cHbA1c terbentuk dari protein dalam sel darh merah atau disebut juga hemoglobin yang bereaksi dengan glukosa sehingga disebut hemoglobin terglikasi. Ketika kadar glukosa dalam darah tinggi (hiperglikemi), molekul-molekul glukosa dalam darah semakin banyak yang berikatan dengan hemoglobin dan menyebabkan peningkatan dari HbA1c. Usia HbA1c mengikuti usia dari sel darah merah yaitu 120 hari. Nilai normal dari HbA1c adalah 4-5,9%.HbA1c diproduksi melalui reaksi non-enzimatik dari amin primer bebas (residu valin terminal) pada rantai beta molekul hemoglobin dengan karbonil grup glukosa. HbA1c digunakan secara luas sebagai marker control glikemik dan memiliki prognostic yang tinggi untuk komplikasi diabetes jangka lama. Melalui perbaikan dan standarisasi pengukuran HbA1c, pengukuran ini direkomendasikan untuk diagnosis DM. Berdasarkan umur rata-rata eritrosit dalam darah yaitu sekitar 120 hari, HbA1c mencerminkan konsentrasi glukosa darah perifer selama periode 2-3 bulan. Bagaimanapun, status glikemik yang terbaru sangat mempengaruhi kadar HbA1c, sehingga HbA1c tidak menunjukkan rata-rata konsentrasi glukosa selama periode tersebut. Oleh karena itu, HbA1c tidak dapat menunjukkan status glikemik yang sesungguhnya pada pasien dengan konsentrasi glukosa yang sangat fluktuatif.Kadar HbA1c dipengaruhi oleh berbagai factor yang mengubah survival sel darah merah, se[perti anemia defisiensi besi, anemia hemolitik, anemia penyakit ginjal dan berbagai hemoglobinopati.Pada pasien diabetes dengan end-stage renal disease (ESRD), HbA1c bukan merupakan marker yang tepat untuk status glikemik. Pengukuran HbA1c menjadi underestimated dan tidak akurat menunjukkan kondisi glikemik jangka lama pada CKD stadium lanjut dan pasien yang menjalani dialysis. Hal ini dipengaruhi oleh antara lain umur eritrosit (reduksi 20-50% dari normal), penggunaan terapi besi dan atau eritropoitin human rekombinan, uremia, dan kebuthan transfuse darah berulang. Terapi besi dan atau eritropoitin akan segera diikuti turunnya kadar HbA1c tanpa perubahan status glikemik yang berarti, yang lebih disebabkan stimulasi eritropoisis dengan peningkatan rasio eritrosit muda terhadap eritrosit tua, sehingga didapatkan reduksi proporsi glicated hemoglobin. Terlebih lagi, didapatkan suatu bentuk hemoglobin, carbamylated hemoglobin, yang terbentuk pada kondisi uremik, dapat tercampur pada pengukuran HbA1c sehingga menghasilkan overestimasi nilai HbA1c.2.3. Definisi Albumin TerglikasiAlbumin terglikasi atau disebut juga fruktosamin adalah reaksi glikasi yang terjadi antara glukosa dengan albumin yang merupakan protein dasar dalam darah, diikuti dengan isomerisasi melalui penataan ulang oleh amadori. Secara biologis fruktosamin dikenali dengan fruktosamin-3-kinase, yang dapat memancing degradasi AGE. Usia albumin dalam darah antara 14-21 hari. Dengan kadar normal 200mol-258mol.

2.3.1. Fructosamine Fruktosamin merupakan alternative indeks glikemik yang memiliki waktu paruh yang lebih pendek dibandingkan HbA1c sehingga merefleksikan status glikemik yang lebih singkat (1-3 minggu). Fruktosamin terutama berasal dari glikasi non-enzimatik albumin (~ 90%) seperti protein lainnya. Fruktosamin merupakan istilah umum yang menunjukkan seluruh protein serum glicated dalam, termasuk GA. Pengukuran konsentrasi fruktosamin serum biasanya digunakan untuk nilai total protein atau albumin tetapi hal ini masih controversial. Meskipun fruktosamin tidak dipengaruhi gangguan metabolisme hemoglobin, tetapi fruktosamin dipengaruhi turnover protein seperti disproteinemia. Adanya substansi berat molekul rendah (seperti urea dan asam urat) juga mempengaruhi konsentrasi fruktosamin. Lamb dkk melaporkan terdapat peningkatan konsentrasi fruktosamin serum pada pasien yang menjalani HD. Kadar fruktosamin terkoreksi-albumin dilaporkan memiliki korelasi yang lebih baik dibandingkan HbA1c untuk status glikemik pasien uremik yang menjalani HD ataupun PD. Peningkatan kadar fruktosamin dapat digunakan sebagai predictor mortalitas kardiovaskular pada pasien uremik tanpa diabetes, tetapi peran prognostic fruktosamin dalam pasien HD belum diketahui.2.3.2. Glycated AlbuminGA merupakan ketoamin yang dibentuk dari oksidasi non-enzimatik albumin oleh glukosa. Beberapa fakta menunjukkan GA sebagai control glikemik yang lebih baik dibandingkan HbA1c pada pasien diabetes yang menjalani dialysis. Seperti fruktosamin, GA mencerminkan status glikemik selama sekitar 2-3 minggu. Sebagai tambahan, GA tidak dipengaruhi konsentrasi albumin dan penghitungan kadar GA merupakan rasio konsentrasi GA terhadap total albumin serum. Meskipun kadar GA serum terutama dipengaruhi glukosa, juga dipengaruhi oleh perubahan metabolism serum albumin. Sehingga, peningkatan kadar GA juga dapat ditemukan pada kondisi yang menyebabkan terjadinya pemanjangan waktu hidup albumin seperti sirosis hepatis dan hipotiroidism. Sebaliknya, hormone tiroid yang berlebih meningkatkan katabolisme albumin dan menghasilkan penurunan kadar GA yang signifikan pada pasien dengan tirotoksikosis. Proteinuria juga dapat menurunkan kadar GA pada pasien CKD dengan diabetes, terutama pada batas nefrotik. Pada DM nefropati (stage II dan IV) dan overt proteinuria, kadar GA memiliki hubungan yang lebih lemah terhadap kadar glukosa plasma sebagai hasil dari peningkatan turnover dalam metabolism albumin.GA diketahui memiliki korelasi yang lebih baik terhadap status glikemik dibandingkan HbA1c pada pasien dengan CKD lanjut, disebabkan tidak dipengaruhinya oleh waktu hidup sel darah merah atau pun treatmen eritropoitin. Perubahan kadar GA yang cepat sebagai respon terhadap konsentrasi glukosa memberikan manfaat pada pasien diabetes dengan kadar glukosa yang berfluktuasi, seperti pada hiperglikemia postprandial, variasi glukosa yang besar ataupun perubahn status glikemik yang mendadak pada waktu singkat. GA dapat merupakan marker index glikemik yang lebih berguna dibandingkan HbA1c, terutama pada kondisi hemoglobinopati, anemia defisiensi besi, dan kehamilan.Sebagai tambahan cerminan kadar glukosa darah, GA juga dapat menggantikan marker komplikasi vascular. GA dihubungkan dengan kalsifikasi vascular pada pasein diabetes yang menjalani hemodialisis. Peningkatan kadar GA juga dihubungkan dengan penurunan fungsi imun, peningkatan stress oksidatif, gangguan hemostasis kolesterol, kelemahan fungsi endotel, dan respon proinflamasi, yang memungkinkan GA memiliki peran dalam pathogenesis aterosklerosis. Sesungguhnya hubungan yang isgnifikan antara peningkatan serum GA dan stenosis arteri koroner telah lebih dulu dilaporkan.2.3. 3. Manfaat Albumin Terglikasi1.KontrolAlbumin terglikasi digunakan sebagai indikasi dari gula darah selama 2-3 minggu, semakin tinggi kadar albumin terglikasi menandakan glikemik kontrol yang buruk. Sebagai respon dari terapi insulin, kadar dari albumin terglikasi dengan cepat berubah sesuai dengan terapi, hal ini dikarenakan insulin berikatan dengan albumin.2.Sebagai penggganti pemeriksaan HbA1CDalam beberapa pemeriksaan ditemukan adanya false result, karena adanya kelainan dari sel darah merah penderita dm.

2.4. Konversi kadar GA dan HbA1cDengan adanya kemajuan dalam pengukuran GA dan keuntungan HbA1c di bawah kondisi spesifik, GA mulai meningkat digunakan pada diabetes klinis. Meskipun HbA1c dan serum GA secara proporsional berubah dengan konsentrasi plasma glukosa dan yang lainnya, ketidaksesuaian diantara nilai ini masih merupakan pembahasan untuk aplikasi klinis. Tahara dkk, melakukan analisa konversi antara HbA1c dan kadar GA, dan menemukan bahwa peningkatan 1% HbA1c sesuai dengan peningkatan 4% kadar GA. Persamaan regresi linear yang digunakan untuk menentukan konversi ini adalh: HbA1c = 1,73 + 0,245 GA. Hal ini penting sebagai standar factor konversi untuk nilai atau konsentrasi glukosa plasma untuk aplikasi yang lebih luas GA sebagai indeks glikemik pada pasien diabetes di masa datang.

BAB IIIKESIMPULAN

Kadar beberapa glycated protein meningkat pada pasien diabetes dan telah diduga beberapa protein ini terlibat dalam perkembangan komplikasi diabetes kronik.Berdasarkan penelitian the Diabetes Control and Complications Trial (DCCT), kadar hemoglobin A1c (HbA1c)