bab 4_minyak goreng

37
56 BAB 4 ANALISIS DAN HASIL PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perkembangan Ekspor - Impor dan Harga CPO 4.1.1 Ekspor Ekspor CPO Indonesia pada dekade terakhir meningkat dengan laju antara 7 – 8 % per tahun. Di samping dipengaruhi oleh harga di pasar internasional dan tingkat produksi, kinerja ekspor CPO Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, khususnya tingkat pajak ekspor. Dengan asumsi tingkat pajak ekspor adalah masih di bawah 5 %, maka ekspor CPO Indonesia diperkirakan akan tumbuh dengan laju 4 – 8 % per tahun pada periode 2000 - 2010 (Gambar 4.1). Pada periode 2000 - 2005, ekspor akan tumbuh dengan laju 5 % - 8 % per tahun sehingga volume ekspor pada periode tersebut sekitar 5,4 juta ton. Pada periode 2005 - 2010, volume ekspor meningkat dengan laju 4 % - 5 % per tahun yang membuat volume ekspor menjadi 6,79 juta ton pada tahun 2010.

Upload: rumaisha-itu-dyita

Post on 22-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

minyak goreng

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 4_minyak Goreng

56 

 

BAB 4

ANALISIS DAN HASIL PEMBAHASAN

4.1 Analisis Perkembangan Ekspor - Impor dan Harga

CPO

4.1.1 Ekspor

Ekspor CPO Indonesia pada dekade terakhir meningkat dengan laju antara

7 – 8 % per tahun. Di samping dipengaruhi oleh harga di pasar internasional dan

tingkat produksi, kinerja ekspor CPO Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh

kebijakan pemerintah, khususnya tingkat pajak ekspor. Dengan asumsi tingkat

pajak ekspor adalah masih di bawah 5 %, maka ekspor CPO Indonesia

diperkirakan akan tumbuh dengan laju 4 – 8 % per tahun pada periode 2000 -

2010 (Gambar 4.1). Pada periode 2000 - 2005, ekspor akan tumbuh dengan laju 5

% - 8 % per tahun sehingga volume ekspor pada periode tersebut sekitar 5,4 juta

ton. Pada periode 2005 - 2010, volume ekspor meningkat dengan laju 4 % - 5 %

per tahun yang membuat volume ekspor menjadi 6,79 juta ton pada tahun 2010.

Page 2: Bab 4_minyak Goreng

57 

 

 

 

Gambar 4.1 Proyeksi Ekspor CPO Indonesia Tahun 2000 - 2010

Berdasarkan sumber data ekspor Badan Pusat Statistik Nasional (BPSN) Tahun

2003 kecenderungan ekspor CPO Nasional meningkat antara lain ke India dengan

volume ekspor 1.402.783.354 kg, dengan nilai ekspor US$ 523.183.022, ke

Belanda dengan volume ekspor 377.424.630 kg dengan nilai ekspor US$

129.468.217 dan ke Malaysia volume ekspor 320.528.032 kg dengan nilai ekspor

US$ 124.869.906. Sebagai salah satu produsen utama minyak sawit dunia,

Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk terus berperan dalam pasar

dunia. Pada dekade 1980-an ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia hanya ke

Eropa Barat, tetapi beberapa tahun terakhir permintaan dari negara-negara lain

seperti China, India, Pakistan, Myanmar, Kenya, Tansania, dan Afrika Selatan

terus meningkat. Pada Tabel 4.1 menunjukkan perkembangan ekspor sawit di

Indonesia di beberapa mancanegara.

Page 3: Bab 4_minyak Goreng

58 

 

 

 

Tabel 4.1 Perkembangan Ekspor Minyak sawit (CPO) Indonesia ke Mancanegara

Periode 1997 - 2000

Sumber : BPS dan GAPKI dalam Kompas, 2001

Berikut ini adalah grafik trend ekspor minyak sawit ke beberapa negara disajikan

pada Gambar 4.2

Gambar 4.2 Grafik Perkembangan Ekspor CPO

Sumber : BPS dan GAPKI dalam Kompas, 2003

Page 4: Bab 4_minyak Goreng

59 

 

 

 

Tabel 4.2 Perkembangan Volume Ekspor dan Nilai Ekspor CPO dan Jenis CPO

Lainnya Tahun 1990 – 2007

 

Tahun 

Ekspor 

Minyak Sawit Minyak Inti Sawit 

Volume (Ton)  Nilai (ribu US$)  Volume (Ton)  Nilai (ribu US$) 

1990  815.580  203.570  158.303  44.182 

1991  1.167.689 335.481 136.322 42.754 

1992  1.030.272  356.494  222.541  109.841 

1993  1.632.012  582.629  275.225  110.188 

1994  1.631.203  717.811  340.504  177.583 

1995  1.265.024  747.414  399311.  187.267 

1996  1.671.957 825.415 341.318 235.168

1997  2.967.589  1.446.100  502.979  294.255 

1998  1.478.278  745.277  347.009  195.447 

1999  3.298.987  1.114.242  597.843  347.975 

2000  4.110.027  1.078.278  578.825  239.120 

2001  4.903.218 1.080.906 581.926 146.259

2002  6.333.708  2.092.404  73.846  256.234 

2003  6.386.410 2.892.130 74.869 289.000

2004  6.400.540  2.999.097  75.879  298.000 

2005  6.870.530  3.300.000  78.900  300.000 

2006  6.908.750  3.900.860  85.987  350.560 

2007  7.001.540  4.500.100  86.970  387.300 

Sumber : GAPKI (Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan, Departemen

Pertanian (2008) )

Page 5: Bab 4_minyak Goreng

60 

 

 

 

Secara historis pertumbuhan produksi minyak sawit dunia selama dua dasawarsa

terakhir ini mengalami kenaikan sekitar 7,3 % pertahun. Perkembangan minyak

sawit dunia ini sangat dipengaruhi oleh produksi minyak sawit Negara Malaysia

dan Indonesia yang memberikan kontribusi sebesar 80 % dari produksi dunia.

Berdasarkan data oil word diperkirakan produksi CPO lima tahun ke depan akan

meningkat tapi lebih kecil dibandingkan dengan konsumsi masyarakat dunia.

Sehingga kondisi seperti ini akan membawa kondisi investasi menjadi baik.

Tingkat produksi CPO dunia masih dikuasi oleh Malaysia dengan pengusaan 50

% market dunia, sedangkan Indonesia berada pada tingkat kedua dengan 30 %

penguasaan market dunia.

4.1.2 Impor

Indonesia adalah negara net-exporter minyak sawit, tetapi dalam keadaan

mendesak Indonesia juga mengimpor minyak sawit. Negara tujuan utama ekspor

minyak sawit Indonesia adalah Eropa Barat, India, Pakistan, Cina dan Jepang.

Produk yang diekspor adalah minyak olahan tahap awal seperti RBD palm oil,

CPO dan beberapa produk oleokimia.

Page 6: Bab 4_minyak Goreng

61 

 

 

 

Tabel 4.3 Perkembangan Volume Impor dan Nilai Impor CPO dan Jenis CPO

Lainnya Tahun 1990 – 2007

 

Tahun 

Impor 

Minyak Sawit Minyak Inti Sawit 

Volume (Ton) Nilai (ribu US$) Volume (Ton)  Nilai (ribu US$)

1990  26.183 7.662 530 304 

1991  37.874  13.891  17.493  7.803 

1992  308.743  113.511  17.222  12.097 

1993  151.939 63.671 3.327 1.944 

1994  123.637  55.715  13.917  7.988 

1995  49.785 48.113 4.239 3.277 

1996  107.553  61.173  3.132  2.735 

1997  91.680  55.456  3.159  3.011 

1998  17.618  8.459  554  526 

1999  1.648  543  1.209  1.004 

2000  4.350 4.020 3.638 2.404 

2001  141  60  4.974  2.464 

2002  9.499 3.267 2.362 1.478 

2003  10.050  5.327  3.336  2.786 

2004  11.800  5.455  4.657  3.456 

2005  12.345  6.287  5.674  4.576 

2006  14.387  8.967  8.879  6.432 

2007  13.769 7.456 7.098 5.372 

Sumber : GAPKI (Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan, Departemen

Pertanian (2008) )

Page 7: Bab 4_minyak Goreng

62 

 

 

 

Jika dilihat tabel diatas dapat dilihat bahwa volume impor yang dilakukan

fluktuasi mengikuti kebutuhan pasar.

4.1.3 Harga

Perkembangan harga minyak sawit (CPO) di pasar domestik dan internasional

sejak tahun 1988 sampai dengan 2007 menunjukkan kecenderungan yang menaik.

Tabel 4.4 Perkembangan Harga Minyak CPO Tahun 1988 – 2007

Tahun  Harga Lokal

(Rp / kg) 

Harga Ekspor 

(US $ / ton) 

Tahun Harga Lokal 

(Rp / kg) 

Harga Ekspor 

(US $ / ton) 

1988  502  463 1998 1.424 678 

1989  552  524  1999  3.943  438 

1990  531  280 2001 2.979 310 

1991  655  333  2002  2.412  276 

1992  728  291  2003  2.840  449 

1993  728  407 2004 3.250 450 

1994  694  525  2005  3.229  490 

1995  988  525 2006 3.357 500 

1996  1.275  532  2007  4.550  550 

1997  1.148  545  2008  4.800  600 

Pergerakan harga minyak sawit di pasar internasional ditransmisikan ke pasar

domestik (border price dan whole sale price) melalui mekanisme pasar. Secara

umum pergerakan harga minyak sawit domestik searah dengan perkembangan

harga minyak sawit di pasar internasional. Selain itu, harga minyak sawit juga

Page 8: Bab 4_minyak Goreng

63 

 

 

 

mempunyai fluktuasi musiman (Gambar 4.3). Dalam semester 1 ,harga pada bulan

Januari biasanya adalah paling tinggi kemudian turun melandai dalam Februari

sampai Mei. Dalam semester 2, penurunan harga yang paling tajam terjadi pada

Mei-Juli/Agustus dan naik sampai dengan bulan Januari.

Gambar 4.3 Pola Harga CPO

Hingga tahun 2008, harga minyak sawit di pasar Rotterdam diperkirakan akan

mengalami kenaikan walaupun secara riil akan mengalami sedikit penurunan

karena adanya kenaikan inflasi. Pada tahun 2004, harga minyak sawit di

Rotterdam sekitar US$ 0.56/kg dan pada tahun 2008 mencapai US$ 0.68/kg

(Gambar 4.5). Kenaikan harga ini diperkirakan tidak terlepas dari berkembangnya

Page 9: Bab 4_minyak Goreng

64 

 

 

 

pasar minyak sawit, terutama di negara-negara berkembang. Dengan kata lain,

minyak sawit masih mempunyai prospek kedepan.

4.2 Neraca Minyak Kelapa Sawit Untuk Penggunaan

Domestik

Hingga saat ini, konsumsi minyak sawit domestik diperkirakan sekitar

50%- 60% dari produksi dan penggunaannya sebagian besar untuk pangan (80%-

85%) sedangkan untuk industri oleokimia relatif masih kecil (15%-20%). Menurut

perkiraan, pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri adalah sekitar 11,5

%/tahun. Pertumbuhan konsumsi untuk oleopangan adalah 12%, lebih besar

dibandingkan pertumbuhan konsumsi untuk oleokimia (10%). Dengan perkiraan

tersebut, maka neraca minyak kelapa sawit Indonesia dalam lima tahun terakhir

bergerak dari surplus ke arah keseimbangan, identik dengan neraca dunia

(Tabel 4.5).

Page 10: Bab 4_minyak Goreng

65 

 

 

 

Tabel 4.5 Neraca Minyak Sawit Indonesia dan Dunia, 1998-2007.

No Uraian 1998 1999 2000 20001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1 Stok Awal Indonesia 510 700 860 750 975 1,050 1,102 1,200 1,840 2,050 Dunia 3,203 2,688 3,701 4,015 4,098 5,060 5,500 6,780 6,980 7,8272 Produksi Indonesia 5,640 6,250 6,950 8,030 9,020 10,082 12,098 14,987 15,000 16,987 Dunia 17,154 20,625 21,874 23,921 25,033 26,897 27,909 30,009 32,432 35,7683 Ekspor Indonesia 2,002 3,319 4,140 4,940 6,380 7,890 8,779 10,876 12,997 14,876 Dunia 11,417 14,172 15,217 17,688 19,545 20,987 22,345 26,787 30,987 33,7684 Impor Indonesia 18 2 0 0 9 8 7 5 7 8 Dunia 11,528 13,939 15,215 17,569 19,300 20,563 22,465 23,645 24,554 27,8395 Konsumsi Indonesia 2,832 2,895 2,927 2,857 2,933 3,456 4.343 5,343 5.342 5,873 Dunia 17,663 19,493 21,589 23,742 24,952 25,478 26,437 27,895 28,987 30,087 6 Stok Akhir Indonesia 700 860 750 975 700 890 900 935 970 1,050 Dunia 2,688 3,701 4,015 4,098 3,935 4,987 5,876 5,987 6,023 6,344

7 (Stok Awal + produksi+

impor)-(Stok Akhir+ kon

sumsi+ekspor) atau

penawaran - permintaan

Indonesia 634 -122 -7 8 -8 -1,096 -815 -962 -2,462 -2,754 Dunia 117 -114 -31 -24 0 1,068 1,216 -235 -2,031 785

Page 11: Bab 4_minyak Goreng

66 

 

 

 

4.3 Tinjauan Kritis Terhadap PP 35 Tahun 2005

Tujuan pengenaan PE untuk barang ekspor tertentu, seperti CPO dan

produk turunannya (Pasal 2 ayat 2) adalah untuk (i) menjamin terpenuhinya

kebutuhan dalam negeri, (ii) melindungi kelestarian sumber daya alam, (iii)

mengantisipasi pengaruh kenaikan harga yang cukup drastis dari barang ekspor

tertentu, dan (iv) menjaga stabilitas harga barang tertentu di dalam negeri.

Mencermati tujuan di atas, maka sesungguhnya dimensi manfaat dan keadilan dari

PP ini patut dipertanyakan. Dari uraian tentang PE di atas, maka penetapan tujuan

PE ini semata-mata hanya memperhatikan kepentingan pembeli domestik dan

kepentingan negara (pemerintah) yang dilihat secara parsial. Kepentingan

produsen, yaitu perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit, penyedia jasa

bisnis dan pemasok input CPO dan produk turunannya terabaikan. Tidak ada

pernyataan dalam tujuan yang relevan dengan kepentingan produsen, penyedia

jasa bisnis dan pemasok input. Sedangkan kepentingan pelestarian sumber daya

alam malahan mendapatkan perhatian khusus yang dinyatakan sebagai tujuan

kedua. Dalam CPO dan produk-produk turunannya, tujuan pertama, ketiga dan

keempat merupakan pernyataan yang bias ke industri hilir kelapa sawit sehingga

industri hilir dapat memperoleh CPO dan produk turunannya dengan harga rendah

(terjangkau) dan stabil. PE menjadi instrumen proteksi terselubung bagi industri

hilir kelapa sawit. Sejalan dengan tujuan tersebut, negara dapat mengumpulkan

penerimaan negara bukan pajak. Perolehan penerimaan negara ini tidak

dinyatakan sebagai tujuan pengenaan PE. Dengan perhitungan sederhana,

akumulasi PNBP dari kelapa sawit sejak pertengahan 1998 hingga akhir tahun

2003 mencapai sekitar Rp. 6,85 Trilyun. Kedua tujuan ini secara otomatis sangat

Page 12: Bab 4_minyak Goreng

67 

 

 

 

mungkin dicapai dengan penetapan formula penerimaan ekspor dengan komponen

yang terdiri dari volume ekspor, harga ekspor atau harga patokan ekspor, tarif PE

dan nilai kurs Rupiah. Tujuan kedua melindungi kelestarian sumber daya alam

dapat dikatakan terlalu ambigious untuk kasus PE pada produk-produk kelapa

sawit. Dalam pemahaman pecinta lingkungan, pertumbuhan yang pesat dari

produk-produk kelapa sawit akan mendorong ekspansi pembangunan perkebunan

kelapa sawit. Ekspansi ini akan mengeksploitasi sumber daya alam sehingga

apabila tidak dikendalikan akan mengganggu kelestarian lingkungan. Protes yang

sering muncul berkaitan dengan kelapa sawit dan sumber daya alam adalah karena

kelapa sawit ditanam dengan mengkonversi hutan. Untuk hal ini pembangunan

perkebunan kelapa sawit diklaim sebagai pembangunan yang tidak

memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam konteks pencapaian tujuan, lantas

bagaimana PE dapat melindungi kelestarian sumber daya alam? Pencantuman

tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam sekaligus dapat diartikan

sebagai pembenaran atas adanya masalah kelestarian sumber daya alam dalam

kaitannya dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Masih dalam konteks

tujuan, pertanyaan lain adalah bagaimana PE mengakomodasi kepentingan

produsen yaitu perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit, penyedia jasa

bisnis dan pemasok input CPO dan produk turunannya? Produsen menanggung

beban PE dan tidak ada pernyataan tujuan yang melindungi kepentingan produsen.

Sebagai suatu kebijakan public selayaknya memperhatikan dampaknya terhadap

seluruh stakeholders. Dengan memahami uraian di atas, maka dapat dinyatakan

bahwa tujuan pengenaan PE pada CPO dan produk-produk turunannya sesuai PP

No.35 Tahun 2005 belum menerapkan dengan baik nilai manfaat dan rasa

Page 13: Bab 4_minyak Goreng

68 

 

 

 

keadilan bagi stakeholders terutama produsen CPO termasuk petani dan pelaku

jasa bisnis berkaitan dengan perdagangan CPO dan produk-produk turunannya.

Tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam juga masih belum jelas

kepastian hukumnya tentang bagaimana mencapainya.

Tarif PE, HPE dan Nilai Kurs Berpotensi Sebagai Sumber Distrorsi

Dalam kasus CPO dan produk-produk turunannya, sesuai dengan PP No. 35 tahun

2005 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 09/PMK.011/2008, tarif PE ditetapkan

secara advalorem. Jumlah pungutan ekspor dihitung berdasarkan rumus: Tarif PE

x Jumlah ekspor x Harga Patokan Ekspor (HPE) x Nilai Kurs. Tarif atas PE CPO

dan produk-produk turunannya ditetapkan paling tinggi 60%. Besarnya tarif PE

dan nilai kurs ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Besarnya HPE ditetapkan oleh

Menteri Perdagangan. Sedangkan Menteri Teknis terkait, seperti Menteri

Pertanian dan Menteri Perindustrian, hanya memberi pertimbangan dan/atau usul

atas penetapan besarnya tarif dan HPE. Formulasi di atas pada dasarnya tidak

merubah ketentuan PE yang berlaku sebelumnya. Sebagai ilustrasi dapat

disampaikan data perkembangan pengenaan PE untuk CPO dari bulan Juli 1998

hingga Juni 2008 (Tabel 4.6).

Saat ini, ketentuan Menteri yang sudah diterbitkan baru tarif PE, yaitu 15% untuk

tandan buah segar dan inti (biji) kelapa sawit dan CPO, dan 10% untuk crude

olein (RBD Olein), Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBD PO) dan

Refined Bleached Deodorized Olein (RBD Olein). Nilai kurs ditetapkan Menteri

Page 14: Bab 4_minyak Goreng

69 

 

 

 

Keuangan pada saat pembayaran PE dilakukan. Besarnya HPE masih belum

ditentukan oleh Menteri Perdagangan. Menurut Menteri Perdagangan, sesuai

aturan yang berlaku selama ini, kalau belum ada penetapan HPE yang baru, maka

HPE yang lama masih berlaku. Seharusnya, sesuai PP No. 35 Tahun 2005 dan

Peraturan Menteri Keuangan No. 09/PMK.011/2008, HPE CPO dan produk

turunannya merujuk pada harga internasional, yaitu harga di Rotterdam yang saat

ini berkisar US$ 1,082 per ton.

Tabel 4.6 Tarif PE, HPE, dan Nilai Kurs dari CPO dan Produk Turunannya.

Tahun PE (%) HPE (US$/ton)

Harga (US$/ton)

Nilai Kurs

(Rp/US$)

Juli 98-feb 99 60 610 650 14550

Feb 99- juni 99 40 535 535 8850

Juni 99-juli 99 30 365 440 8171

Juli 99 – sept 99 10 260 312 6873

Sept 99 – feb 01 5 190 335 8250

Feb 01-juni 02 3 160 175 9598

Juni 2002-Mar 2005

3 160 429 9750

Jan 07 1.5 458 477 7.580

Juni 07 6.5 500 586 7.987

Des 07 10 784 960 8.018

Jan 08 10 869 990 9,476

Feb 08 10 944 1.020 9,226

Maret 08-April 2008

20 1.158 1.200 9,236

mei 08 – juni 08 15 1.082 1.158 9.300

Page 15: Bab 4_minyak Goreng

70 

 

 

 

Belum ditetapkannya PE untuk CPO dan produk-produk turunannya tidak terlepas

dari penetapan besarnya nilai tarif PE dan HPE. Permasalahannya berkisar pada

pilihan antara (i) tarif PE turun dari 15% menjadi katakanlah 10% dengan HPE

disesuaikan dengan harga pasar di Rotterdam atau (ii) tarif PE tetap 15% dengan

HPE juga tetap US$ 1.082 per ton. Saat ini tarif PE CPO telah ditetapkan 15%,

sehingga perdebatan antara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia

(GAPKI) dan pemerintah tinggal pada besarnya HPE. Jika harga net ekspor CPO

Indonesia ex Kuala Lumpur berdasarkan nilai absolut PE pada bulan September

2008 sebesar USD 944 (PE 10%), menghasilkan HPE sebesar USD 786/MT atau

sebesar Rp.7.862/kg (Tabel 4.20). Tarif PE CPO yang saat ini telah ditetapkan

pemerintah sebesar 15% menyebabkan harga ekspor turun menjadi Rp. 7.321/kg.

Hal ini sangat mempengaruhi perhitungan profit loss analysis. Jika PE sebesar

10% dari HPE ex Kuala Lumpur maka keuntungan yang diperoleh sebesar Rp.

512/kg sedangkan

Page 16: Bab 4_minyak Goreng

71 

 

 

 

Tabel 4.7 Perhitungan Profit Loss Analysis Dengan Menggunakan Harga CPO

Ekspor dan TenderKPB Ex Kuala Lumpur, Malaysia, Oktober 2007.

No Transaction info Nilai satuan Nilai PE = 15%

Nilai Nilai PE = 10% per unit per unit

A Penerimaaan 1 Jumlah MT 10,230 10,2302 Harga USD 1,100 1,1003 Nilai USD 11,253,000 11,253,000

B Biaya

1 Pajak Ekspor

162.30 per MT (USD) 1,660,329

108.20 1,106,886

2 Bongkar Muat

200.00 per MT (USD) 2,046,000

200.00 2,046,000

3 Surveyor USD 3,000 3,0004 L/C Ekspor - USD 0 - 0

5 Pelabuhan

3,000,000.00 Rp 3,000,000

3,000,000.00 3,000,000

6 Asuransi

0.18 % (USD) 20,255 0.18 20,255

7 Penyusutan

0.30 % (USD) 33,759 0.30 33,7598 Total Biaya (USD) 3,763,343 3,209,9009 Total Biaya Rp 3,000,000 3,000,000

10 Grand Total Biaya 3,763,643 3,210,200

C Nilai Tukar Rp

10,000.00 D Harga Ekspor Total Nilai Ekspor USD 11,253,000 11,253,000 Total Biaya Ekspor USD 3,763,643 3,210,200 Nilai Ekspor Total USD 7,489,357 8,042,800 Harga Ekspor Total USD/MT 732 786 Dalam Rp (Asli) Rp/kg 7,321 7,862E Harga CPO Lokal tender KPB Price incl PPN Rp 8,500 8,500 PPN 10% Rp 850 850

tender price exc PPN Rp 7,650 7,650

transportasi local Rp 300 300 nett tender price Rp 7,350 7,350 FOB inc PPN Rp 8,200 8,200

F Profit and Loss Analysis

hargaekspor bersih 7,321 7,862 harga dalam negeri 7,350 7,350

profit (loss) Rp/ kg 29.03 512 total profit in Rp 296,934,000.00 5,237,496,000 penerimaan negara 10.230 MT 16,603,290,000 11,068,860,000 700.000 MT 1,136,100,000,000 757,400,000,000

Page 17: Bab 4_minyak Goreng

72 

 

 

 

bila PE sebesar 15% maka terdapat kerugian jika melakukan ekspor karena harga

lokal lebih tinggi. Kerugian tersebut mencapai Rp. 29.03/kg. Dengan jumlah

ekspor sebesar 10.230 MT CPO maka total keuntungan ekspor yang dapat ditarik

dengan memberlakukan PE sebesar 10% adalah Rp. 5.237.496.000,00. Sedangkan

bila PE sebesar 15% maka total kerugian dapat mencapai Rp. 296.934.000,00.

Total penerimaan negara dari PE sebesar 10% untuk skala ekspor 10.230 MT

mencapai Rp. 11,068,860,000, sedangkan untuk peningkatan PE menjadi 15%

maka total penerimaan negara mencapai Rp. 16,603,290,000. Apabila besaran

ekspor dihitung berdasarkan ekspor CPO Indonesia ke Rotterdam Belanda sebesar

700.000 MT maka akan menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 757 milyar untuk

PE 10% dan Rp. 1,1 Triliyun untuk PE 15%.

Analisa Akan Penerimaan Negara per MT Berdasarkan Harga Pokok Ekspor

1,5% 3% 6% 10% 15%

30%40%

60%

0

20,000,000,000

40,000,000,000

60,000,000,000

80,000,000,000

Harga Pokok Ekspor

Pene

rim

aan

Neg

ara

per M

T

1,5%3%6%10%15%30%40%60%

 

Gambar 4.4 Analisa Akan Penerimaan Negara per MT Berdasarkan Harga

Pokok Ekspor

Jika dilihat dari gambar 4.4 diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dengan

semakin naiknya Harga Pokok Ekspor maka penerimaan negara per MT akan

Page 18: Bab 4_minyak Goreng

73 

 

 

 

semakin meningkat pula. Pemerintah sangat fokus mengenai hal ini. Tapi

pemerintah tidak terlalu memikirkan hal lainnya seperti pada gambar dibawah ini

Perbandingan Antara Harga Pokok Ekspor dengan Total Profit in Rp

1,5% 3% 6%10%

15%

30%40%

60%57,500,000,00050,000,000,00042,500,000,00035,000,000,00027,500,000,00020,000,000,00012,500,000,000

5,000,000,0002,500,000,000

10,000,000,00017,500,000,00025,000,000,000

Harga Pokok Ekspor

Tota

l Pro

fit

1,5%

3%

6%

10%

15%30%

40%

60%

Gambar 4.5 Perbandingan Antara Harga Pokok Ekspor dngan Total Profit

in Rp

Jika dilihat dari gambar menunjukkan bahwa semakin besar HPE maka total profit

untuk industri minyak CPO ini justru akan mengalami kerugian. Dalam hal ini

seharusnya menjadi pusat perhatian pemerintah dalam memajukan industri CPO

diIndonesia ini. Apalagi industri ini memiliki masa depan yang cukup cerah.

Dari permasalahan penetapan PE dan HPE di atas, hal penting yang perlu

diperhatikan adalah norma apa yang dapat digunakan sebagai acuan dalam

menentukan besarnya tarif PE dan HPE CPO dan produk turunannya. Untuk tariff

PE CPO, penentuan besarnya seyogyanya dengan mempertimbangkan (i) sifatnya

hanya pungutan, bukan pajak, (ii) tarif yang tinggi berpotensi mengguncang pasar

Page 19: Bab 4_minyak Goreng

74 

 

 

 

CPO internasional yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasar CPO

domestik (iii) disesuaikan dengan kebutuhan untuk program dan kegiatan

pengembangan industri perkelapasawitan nasional dan target PNBP. Butir (iii) ini

sekaligus dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan HPE disamping

memperhitungkan kepentingan pelaku jasa bisnis dan keuntungan perusahaan dan

petani kelapa sawit. Untuk itu, kajian dan simulasi penetapan tarif PE dan HPE

sangat diperlukan. Mencermati analisis PP No. 35 Tahun 2005 dan Peraturan

Menteri Keuangan No. 09/PMK.011/2008 tentang PE, khususnya Pasal 2 dan 3

maka dapat disimpulkan bahwa PP tersebut masih perlu disempurnakan pada

aspek-aspek : (i) memberi perhatian terhadap manfaat pengenaan PE bagi

pengembangan industri kelapa sawit nasional, (ii) menciptakan keadilan dengan

memperhatikan kepentingan stakeholders, terutama petani secara proporsional,

dan (iii) memberi kepastian hukum dalam pelaksanaannya melalui perbaikan daya

penegakan dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dan implementasi penegakan

hukum apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dimaksud. SK

Menteri dan pertimbangan Departemen Teknis terkait hendaknya menjadi bahan

pertimbangan dalam implementasi PP No. 35 Tahun 2005, bukannya menjadi

sumber diskresi dari PP tersebut.

Analisis Dampak Penerapan PE CPO (PP No 35/2005 dan Peraturan Menteri

Keuangan No. 09/PMK.011/2008)

Ada tiga analisis dampak yang dilakukan yaitu : (1) dampak terhadap Produk

Domestik Bruto; (2) dampak terhadap agribisnis kelapa sawit; dan (3) dampak

Page 20: Bab 4_minyak Goreng

75 

 

 

 

terhadap pendapatan petani. Ada tiga skenario kebijakan PE (pungutan ekspor)

CPO yaitu :

a. PE sebesar 10 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,

b. PE sebesar 15 persen dari harga CPO dunia yang berlaku,

c. PE sebesar 15 persen dari HPE (harga patokan ekspor) dimana HPE

berada sekitar 2/3 dari harga dunia atau setara dengan PE sebesar 10

persen dari harga CPO dunia yang berlaku.

Saat ini pemerintah telah menetapkan PE atas CPO sebesar 15 persen dari HPE

CPO. Namun besaran HPE atas CPO belum ditetapkan. Ada dua kemungkinan

yang akan terjadi berkaitan dengan PE CPO yaitu:

(1) pemerintah menetapkan besaran HPE sebesar 2/3 dari harga CPO

dunia yang berlaku yang berarti setara dengan PE sebesar 10 persen

dari harga CPO dunia yang berlaku;

(2) pemerintah merevisi besaran PE dari 15 persen menjadi 10 persen,

tetapi HPE ditetapkan sebesar harga CPO dunia yang berlaku.

(1) Produk Domestik Bruto

Pungutan Ekspor atas CPO menyebabkan, harga ekspor untuk CPO yang diterima

produsen menurun (disinsentif) yang selanjutnya berdampak pada konstraksi

kegiatan industri sawit maupun usahatani kelapa sawit. Namun demikian, PE atas

CPO menyebabkan harga CPO untuk industri hilir dalam negeri menurun

sehingga menciptakan insentif bagi industri tersebut. Dampak selanjutnya adalah

ekspansi kegiatan industri hilir CPO dalam mengeri. Selain itu, PE atas CPO akan

meningkatkan penerimaan PNBP negara sebagai dana pembangunan untuk

meningkatkan kegiatan ekonomi nasional. Dampak kontraksi dan ekspansi dari

Page 21: Bab 4_minyak Goreng

76 

 

 

 

penerapan PE tersebut secara umum akan tercermin dari PDB. Apabila PDB

meningkat mengidentifikasikan bahwa PE tersebut berdampak positif terhadap

perkembangan ekonomi nasional, tetapi sebaliknya jika PDB menurun. Dari Tabel

4.6 tersebut terlihat bahwa penerapan PE akan menyebakan penurunan PDB

disemua skenario. Dampak penerapan PE 15 persen terhadap penurunan PDB

lebih besar dibanding PE 10 persen. Ini mengindikasikan bahwa peningkatan PE

ternyata tidak mampu mengakselerasi kegiatan industri hilir dalam negeri yang

menciptakan nilai tambah lebih besar untuk mengkompensasi kehilangan nilai

tambah akibat konstraksi dari penerapan PE pada kegiatan agribisnis kelapa sawit.

Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah tidak menerapkan PE terlalu tinggi

dibanding yang berlaku sekarang.

Daya Saing CPO Indonesia vs Malaysia

Sebuah negara mempunyai keunggulan komparatif terhadap suatu produk jika

mampu menghasilkan produk yang lebih baik dengan harga yang lebih murah

(Simeh, 2004). Pengenaan PE akan meningkatkan harga ekspor CPO Indonesia di

pasar dunia, sementara harga ekspor CPO Malaysia tetap akibatnya daya saing

CPO Indonesia menurun terhadap CPO Malaysia. Hal ini tercermin dari

meningkatnya volume ekspor CPO Malaysia sementara volome ekspor CPO

Indonesia mengalami penurunan pada semua skenario. Makin tinggi Pengenaan

PE atas CPO Indonesia, makin tinggi pula volume ekspor CPO Malaysia. Oleh

karena itu, disarankan agar tingkat PE atas CPO Indonesia tidak terlalu besar agar

pangsa pasar CPO Indonesia tidak direbut oleh CPO dari Malaysia. Indonesia saat

ini merupakan negara pengekspor minyak sawit kedua terbesar di dunia setelah

Page 22: Bab 4_minyak Goreng

77 

 

 

 

Malaysia. Malaysia memegang peranan penting dalam perdagangan minyak sawit

pada akhir tahun 1960-an saat Indonesia dan Nigeria mengalami stagnasi

produksi. Pada tahun 1969 pangsa ekspor minyak sawit Malaysia mencapai

sekitar 43.48 persen dari ekspor minyak sawit dunia dan pada tahun 2002 pangsa

ekspor Malaysia tumbuh menjadi 57,28 persen. Pada periode yang sama, pangsa

ekspor minyak sawit Indonesia sekitar 20.49 persen dan 32,64 persen. Sisanya

dikuasai oleh beberapa negara, seperti Papua Nugini dan Pantai Gading (Tabel

4.8). Amerika Serikat, Belanda dan Pakistan secara tradisional merupakan negara

pengimpor utama minyak sawit. Pada tahun 1969 ketiga Negara mengimpor

sekitar 11 persen dari impor minyak sawit dunia. Pada tahun 2002, pangsa impor

ketiga negara meningkat menjadi sekitar 13.35 persen (Tabel 4.9). Perubahan

pangsa impor ketiga negara tersebut terjadi karena adanya peningkatan impor oleh

Pakistan yang cukup nyata. Saat ini ketiga pengimpor minyak sawit tersebut

berperan cukup penting bagi Indonesia.

Tabel 4.8 Ekspor (ton) dan Pangsa Ekspor (%) Minyak Sawit Dunia, 1969 – 2008.

Tahun Indonesia Malaysia

Dunia Ton % Ton % 1969 179.133 20.49 380.000 43.48 874.000 1974 281.221 16.52 900.000 52.88 1.702.000 1979 351.280 11.85 1.900.000 64.08 2.965.000 1984 127.938 12.85 2.978.000 66.30 4.492.000 1989 781.844 10.39 5.213.000 69.28 7.525.000 1994 1.631.203 14.80 6.895.200 62.58 11.019.0001999 3.298.987 23.25 9.234.700 65.09 14.186.500 2000 4.110.027 26.99 9.280.000 60.95 15.226.100 2001 4.939.700 27.92 10.732.700 60.67 17.688.100 2002 6.379.500 32.64 11.195.400 57.28 19.544.900 2003 7.456.000 33.65 12.879.900 59.33 22.345.987 2004 8.396.472 34.89 14.567.879 60.33 23.879.984 2005 9.567.000 35.98 13.678.986 58.99 24.870.987 2006 10.350.000 45.98 14.123.654 61.98 25.894.987

Page 23: Bab 4_minyak Goreng

78 

 

 

 

2007 11.280.000 56.76 14.456.789 63.98 28.908.979 2008 12.300.000 64.55 15.990.085 64.98 30.098.678

Sumber :GAPKI dan Oil World (berbagai terbitan), diolah.

Tabel 4.9 Impor (ton) dan Pangsa Impor (%) Minyak Sawit Dunia, 1969 – 2008.

Tahun

AS Pakistan Belanda

Dunia Ton % Ton % Ton %

1969 61.000 5.95 42.097 4.10 1.000 0.10 1.025.687

1974 200.000 8.94 38.872 1.96 90.000 4.43 2.031.872

1979 145.000 4.37 60.478 1.82 192.000 5.78 3.319.478

1984 148.000 3.10 24.546 0.51 400.000 8.37 4.777.268

1989 108.000 1.40 169.383 2.20 538.000 6.98 7.711.830

1994 149.000 1.25 434.100 3.64 1.114.000 9.34 11.925.304

1999 142.900 1.02 784.400 5.37 1.051.800 7.54 13.944.000

2000 165.100 1.08 775.500 5.09 1.107.100 7.27 15.234.300

2001 171.100 0.97 985.500 5.60 1.325.000 7.54 17.569.300

2002 219.000 1.13 1.061.400 5.49 1.300.000 6.73 19.299.700

2003 350.000 2.56 1.123.400 6.78 1.350.000 7.86 20.897.000

2004 468.000 3.45 1.654.789 7.85 1.465.000 8.76 21.564.890

2005 567.000 4.87 1.876.500 8.78 1.786.000 9.45 22.376.980

2006 678.500 5.67 2.005.000 9.83 1.897.540 9.87 23.456.897

2007 879.000 7.98 2.367.890 10.98 2.500.000 10.78 25.879.980

2008 1.008.789 9.87 2.987.900 12.23 2.890.000 12.89 27.987.970

Sumber : GAPKI dan Oil World (berbagai terbitan), diolah.

Pada ketiga pasar tersebut, Malaysia merupakan pesaing utama Indonesia dan

umumnya CPO asal Malaysia lebih kompetitif karena antara lain, mutu yang lebih

baik dan adanya kemudahan-kemudahan yang didapat Malaysia dari negara

pengimpor dan tidak diperoleh Indonesia. Namun, perkembangan ekspor minyak

sawit Malaysia diperkirakan akan tertahan oleh adanya keterbatasan sumber daya

lahan dan tingginya tingkat upah pekerja. Sedangkan Indonesia masih mempunyai

Page 24: Bab 4_minyak Goreng

79 

 

 

 

potensi untuk berkembang karena dukungan biaya produksi murah dan lahan

potensial yang masih tersedia. Namun Indonesia juga menghadapi kendala dalam

pengembangan ekspor karena tingkat konsumsi domestik tinggi. Sementara itu,

Malaysia pun tidak berdiam diri dan terus meningkatkan produktivitas tenaga

kerjanya, sehingga mereka mengembangkan dengan sungguh-sungguh industri

produk turunan CPO yang bernilai lebih tinggi. Berdasarkan data produksi tahun

1999 – 2004, terlihat jelas bahwa Malaysia masih menempati peringkat pertama di

dunia untuk produksi CPO. Pada tahun 1999 produksi CPO Malaysia sekitar 10,6

juta ton, sedangkan Indonesia hanya 6 juta ton (56,6 %). Pada tahun 2004

Produksi CPO Malaysia meningkat menjadi 14 juta ton, sedangkan Indonesia

sebesar 11,4 juta ton (81,4%). Peningkatan produksi CPO Indonesia lebih besar

disebabkan oleh peningkatan luas areal penanaman kelapa sawit. Sedangkan

produksi negara lainnya, seperti Colombia, Ivory Coast dan Thailand masih jauh

di bawah tingkat produksi Indonesia maupun Malaysia (Tabel 4.10).

Tabel 4.10 Produksi CPO Negara Pesaing 2001 – 2008 (000 ton).

No Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1 Colombia 548 528 527 632 478 450 423 400 2 Ecuador 240 245 - - - - - - 3 Indonesia 7.900 9.200 10.300 11.430 11.540 12.400 13.600 15.1004 Ivory Coast 247 280 - 790 560 580 620 760 5 Malaysia 11.804 11.908 13.354 13.974 14.100 14.300 14.500 14.8006 Nigeria 770 775 785 - - - - - 7 Pilipina 55 56 - - - - - - 8 Thailand 600 600 640 670 560 680 730 820 9 NegaraLainnya 1.661 1.693 2.276 2.493 2.560 2.630 2.720 2.840 Total 23.825 25.285 27.882 37.109 29.798 31.040 32.593 34.720

Sumber : GAPKI dan Oil World (2008).

Page 25: Bab 4_minyak Goreng

80 

 

 

 

(2) Agribisnis Kelapa Sawit

Hasil analisis dampak pengenaan PE terhadap kinerja agribisnis kelapa sawit

dapat dirangkum sebagai berikut :

• Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 15 persen dari harga CPO

dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 10 persen, maka produksi CPO

Indonesia mengalami penurunan karena luas tanaman yang menghasilkan

menurun, volume ekspor menurun lebih besar dibanding kenaikan

konsumsi domestik. Penurunan luas tanaman yang menghasilkan terjadi

pada perkebunan negara dan swasta, sedangkan perkebunan rakyat tidak

terjadi. Penurunan luas tanaman yang menghasilkan pada perkebunan

negara dan swasta sebagai respon penurunan harga Tandan. Dampak dari

penurunan luas tanaman yang menghasilkan tersebut menyebabkan

penyerapan tenaga kerja pada usahatani kelapa sawit menurun. Penurunan

volume ekspor akan berdampak pada penurunan penerimanan devisa

negara dari ekspor CPO. Walaupun terjadi peningkatan penerimaan negara

dari PE, namun secara keseluruhan PDB nasional mengalami penurunan.

• Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 15 persen dari harga CPO

dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 0 persen, arah dampaknya sama

dengan pemberlakuan PE 10 persen, tapi dampaknya lebih besar pada PE

15 persen.

• Kesimpulan yang bisa diambil dari hasil analisis tersebut adalah bahwa

pengenaan PE berdampak pada penurunan luas tanaman menghasilkan

yang selanjutnya berdampak pada penurunan kesempatan kerja, dan

penurunan produksi CPO. Tambahan penerimaan pemerintah dari PE

Page 26: Bab 4_minyak Goreng

81 

 

 

 

ternyata tidak mampu menaikkan pertumbuhan PDB justru sebaliknya,

sehingga penerapan PE kurang menguntungkan dilihat dari aspek kinerja

ekonomi makro. Apabila pemerintah tetap menerapkan kebijakan PE CPO

maka disarakan untuk menerapkan PE sebesar 15 persen dengan HPE 2/3

dari harga CPO dunia yang berlaku.

(3) Pendapatan Petani

Harga Tandan Buah Segar (TBS) pada saat PE 10% adalah sebesar Rp. 1,450/kg

(Tabel 4.11). Kenaikan PE menjadi 15% menyebabkan harga TBS semakin

rendah. Ditambah lagi dengan adanya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM)

yang rata-rata mencapai 107% juga sangat mempengaruhi turunnya harga TBS.

Kedua hal tersebut menyebabkan harga TBS turun menjadi Rp 1,439.15/kg.

Penurunan harga TBS menyebabkan keuntungan petani menurun dari Rp. 800/kg

menjadi Rp. 634.15/kg, atau turun sebesar 57%. Jika diasumsikan 1 KK petani

kelapa sawit memiliki lahan rata-rata 2 ha dengan produktivitas 15 ton

TBS/ha/tahun maka keuntungan per KK menurun dari sekitar Rp. 6,8 juta menjadi

hanya Rp. 2,9 juta. Diperkirakan kalau tarif ekspor tetap 15% sementara HPE

mengikuti harga CPO dunia di Rotterdam yang terus tinggi seperti pada Juni

mencapai US$ 1,082 per ton, maka pungutan ekspor yang menjadi beban eksportir

naik cukup tinggi menjadi US$ 732 per ton atau kalau dirupiahkan sebesar

Rp7,321 per kg. Karena beban PE dapat dialihkan ke petani, maka beban

pungutan ekspor yang besar itu sebagian diantaranya akan dibebankan pengusaha

kepada petani. Diperkirakan dengan pungutan ekspor sebesar Rp7,321 per kg

Page 27: Bab 4_minyak Goreng

82 

 

 

 

CPO, maka harga tandan buah segar (TBS) di petani kemungkinan dikurangi

Rp1500-Rp2000 per kg.

Hitungan ini diperoleh dari asumsi untuk mendapatkan 1 kg CPO jumlah TBSnya

harus 5 kg (asumsi: rendemen minyak dalam TBS 20%). Selanjutnya, kalau harga

TBS di petani saat ini sebesar Rp 650 per kg, maka harga beli pasti berkurang.

Jika tarif ekspor hanya 10% dan HPE disesuaikan dengan harga jual CPO di

Rotterdam, maka pungutan ekspor masih tetap rendah yakni US$ 732 per ton,

sehingga tidak berpengaruh pada pendapatan petani.

Tabel 4.11 Pengaruh Kenaikkan Kenaikan BBM dan PE Terhadap Biaya Produksi TBS, 2008.

Prospek Dan Potensi Pengembangan Kelapa Sawit

Prospek

Harga. Hingga tahun 2008, harga minyak sawit di pasar Rotterdam diperkirakan

akan mengalami kenaikan walaupun secara riil akan mengalami sedikit penurunan

karena adanya kenaikan inflasi. Pada tahun 2004, harga minyak sawit di

Uraian

Biaya Produksi /

Kg TBS

Pengaruh Kenaikkan BBM

Pengaruh Kenaikkan PE & BBM

% Rp Biaya Pemupukan 150 30 195 195 Biaya Pemeliharaan 200 20 240 240 Biaya Panen 150 20 180 180 Biaya Transport TBS 100 40 140 140 Biaya Administrasi / iuran 50 50 50

Total Biaya 650 805 805 Harga Jual TBS 1,450 1,450 1,439.15 Keuntungan Petani 800 645 634.15 Pendapatan per KK plasma 18,632,500 18,632,500 18,631,060.85 Biaya Produksi per KK plasma 12,790,000 15,688,000 15,688,000 Keuntungan per KK plasma 6,842,500 2,952,500 2,943,060.85 Penuruna n Keuntungan (%) 56% 57%

Page 28: Bab 4_minyak Goreng

83 

 

 

 

Rotterdam sekitar US$ 0.56/kg dan pada tahun 2008 mencapai US$ 0.68/kg

(Gambar 4.6). Kenaikan harga ini diperkirakan tidak terlepas dari berkembangnya

pasar minyak sawit, terutama di negara-negara berkembang. Dengan kata lain,

minyak sawit masih mempunyai prospek kedepan.

Gambar 4.6 Harga Riil dan Nominal CPO di Rotterdam (US$/kg)

Ekspor. Meskipun hingga tahun 2008 ekspor CPO Indonesia meningkat dengan

laju 5.22% per tahun, Malaysia masih tetap unggul dibandingkan Indonesia.

Ekspor Indonesia dan Malaysia pada tahun 2004 masing-masing 4.57 juta dan 5.6

juta ton menjadi 5.61 juta dan 8.78 juta ton pada tahun 2008 (Gambar 4.7). Dalam

periode di tersebut, Indonesia akan menguasai 33.32%,

sedangkan Malaysia menguasai 56.90% dari total ekspor dunia.

Page 29: Bab 4_minyak Goreng

84 

 

 

 

Gambar 4.7 Ekspor Minyak Sawit Indonesia, Malaysia dan Dunia (ton). Gambar di atas juga mengisyaratkan bahwa hanya dengan pertumbuhan minimal

17.69% per tahun, ekspor Indonesia baru dapat menyamai ekspor Malaysia.

Pertumbuhan tersebut dapat dicapai jika Indonesia mengalami peningkatan

produktivitas menjadi rata-rata sekitar 5.51 ton CPO/ha/tahun hingga tahun 2008.

Dengan kondisi pertanaman yang ada, Indonesia masih memiliki kemungkinan

untuk meningkatkan produktivitas dan produksi.

Pengembangan Produk. Pengembangan produk kelapa sawit diperoleh dari

produk utama, yaitu minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit, dan produk

sampingan yang berasal dari limbah. Beberapa produk yang dihasilkan dari

pengembangan minyak sawit diantaranya adalah minyak goreng, produk-produk

oleokimia, seperti fatty acid, fatty alkohol, glycerine, metalic soap, stearic acid,

methyl ester, dan stearin. Perkembangan industri oleokimia dasar merangsang

pertumbuhan industri barang konsumen seperti deterjen, sabun dan kosmetika.

Sedangkan produk-produk yang dihasilkan dari pemanfaatan limbah diantaranya

adalah pupuk organik, kompos dan kalium serta serat yang berasal dari tandan

kosong kelapa sawit, arang aktif dari tempurung buah, pulp kertas yang berasal

Page 30: Bab 4_minyak Goreng

85 

 

 

 

dari batang dan tandan sawit, perabot dan papan partikel dari batang, dan pakan

ternak dari batang dan pelepah, serta pupuk organik dari limbah cair dari proses

produksi minyak sawit.

Potensi

Kesesuaian dan ketersediaan lahan. Pengembangan tanaman kelapa sawit telah

dilakukan secara luas di Indonesia baik di kawasan barat maupun di kawasan

timur Indonesia. Potensi lahan yang tersedia untuk pengembangan kelapa sawit

umumnya cukup bervariasi, yaitu lahan berpotensi tinggi, lahan berpotensi

sedang, dan lahan yang berpotensi rendah (Tabel 4.12). Lahan berpotensi tinggi

adalah lahan yang memiliki Kelas Kesesuaian Lahan (KKL) untuk kelapa sawit

tergolong sesuai (>75%) dan sesuai bersyarat (<25%). Lahan berpotensi sedang

memiliki KKL tergolong sesuai (25-50%) dan sesuai bersyarat (50-75%),

sementara lahan berpotensi rendah memiliki KKL tergolong sesuai bersyarat (50-

75%) dan tidak sesuai (25-50%). Penyebaran areal yang berpotensi untuk

pengembangan kelapa sawit tersebut umumnya terdapat di propinsi Riau,

Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Irian Jaya, Sumatera

Utara, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Page 31: Bab 4_minyak Goreng

86 

 

 

 

Tabel 4.12 Potensi dan Kesesuaian Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit.

4.4 Kebijakan – kebijakan dan strategi yang diambil PT.

KALPATARU INVESTAMA dalam menyikapi fluktuasi

harga minyak CPO

Dalam perekonomian suatu negara, kebijakan perdagangan internasional berperan

sangat penting. Kebijakan perdagangan tersebut pada umumnya diutamakan untuk

perluasan pasar internasional dan proteksi bagi pembeli domestik (industri atau

rumah tangga). Namun tidak tertutup kemungkinan, kebijakan perdagangan

tersebut ditujukan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah melalui

pajak/pungutan dan terkait dengan kebijakan luar negeri suatu negara atau alasan-

alasan politik. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah tentang penerapan PE

untuk CPO dan produk turunannya lebih diutamakan untuk meningkatkan

penerimaan pemerintah dan proteksi bagi industri dalam negeri penghasil produk

Page 32: Bab 4_minyak Goreng

87 

 

 

 

turunan CPO, seperti industri minyak goreng dan oleokimia. Dengan penerapan

PE ini tentunya sangat mempengaruhi harga minyak CPO. Oleh karena itu PT.

KALPATARU INVESTAMA menerapkan beberapa kebijakan.

Ada beberapa kebijakan yang diambil PT. KALPATARU INVESTAMA dalam

menghadapi fluktuasi minyak CPO ini adalah :

• Arah Kebijakan Jangka Panjang 2025

Peluang untuk pengembangan agribisnis kelapa sawit masih cukup terbuka

bagi Indonesia, terutama karena ketersediaan sumberdaya alam/lahan,

tenaga kerja, teknologi maupun tenaga ahli. Dengan posisi sebagai

produsen terbesar kedua saat ini dan menuju produsen utama di dunia pada

masa depan, Indonesia perlu memanfaatkan peluang ini dengan sebaik-

baiknya, mulai dari perencanaan sampai dengan upaya menjaga agar tetap

bertahan pada posisi sebagai a country leader. Disamping itu, tuntutan

akan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan perlu juga menjadi

pertimbangan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka visi yang

dikembangkan dalam pembangunan kelapa sawit adalah "Pembangunan

Sistem dan Usaha Agribisnis Kelapa Sawit yang Berdaya Saing,

Berkerakyatan, Berkelanjutan dan Terdesentralisasi".

Page 33: Bab 4_minyak Goreng

88 

 

 

 

• Kebijakan Jangka Menengah

Agar diperoleh manfaat yang optimal dalam pembangunan agribisnis

kelapa sawit nasional, maka kebijakan pengembangan agribisnis kelapa

sawit nasional pada periode 2008-2013 adalah sebagai berikut:

1. Kebijakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kelapa Sawit.

Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas

tanaman serta mutu kelapa sawit secara bertahap, baik yang

dihasilkan oleh petani pekebun maupun perkebunan besar.

Penerapan kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu kelapa

sawit dapat ditempuh melalui program: peremajaan kelapa sawit,

pengembangan industri benih yang berbasis teknologi dan pasar,

peningkatan pengawasan dan pengujian mutu benih, perlindungan

plasma nutfah kelapa sawit, pengembangan dan pemantapan

kelembagaan petani.

2. Pengembangan Industri Hilir dan Peningkatan Nilai Tambah

Kelapa Sawit.

Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor kelapa sawit Indonesia

tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tapi dalam bentuk hasil

olahan,sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri dan

penciptaan lapangan kerja baru. Penerapan kebijakan

pengembangan industri hilir ini ditempuh antara lain melalui:

Fasilitasi pendirian PKS terpadu dengan refinery skala 5 -

10 ton TBS/jam di areal yang belum terkait dengan unit

pengolahan dan pendirian pabrik Minyak Goreng Sawit

Page 34: Bab 4_minyak Goreng

89 

 

 

 

(MGS) skala kecil di sentra produksi CPO yang belum ada

pabrik MGS.

Pengembangan industri hilir kelapa sawit di sentra-sentra

produksi.

Peningkatan kerjasama dibidang promosi, penelitian dan

pengembangan serta pengembangan SDM dengan negara

penghasil CPO.

Fasilitasi pengembangan biodiesel. Pengembangan market

riset dan market intelijen untuk memperkuat daya saing

3. Kebijakan Industri Minyak Goreng/Makan Terpadu.

Kebijakan ini diperlukan mengingat rawannya pasar minyak

goreng di Indonesia dan besarnya biaya ekonomi dan sosial akibat

kelangkaan bahan pangan ini di dalam negeri dan goyahnya posisi

Indonesia sebagai pemasok CPO terpercaya di pasar dunia.

Kebijakan ini diharapkan arah pengembangan komoditas penghasil

minyak goreng yang jelas dan unsur-unsur pendukungnya.

4. Dukungan Penyediaan Dana.

Kebijakan ini dimaksudkan untuk tersedianya berbagai

kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai untuk

pengembangan kelapa sawit, baik yang berasal dari lembaga

perbankan maupun non bank. Disamping itu perlu segera

dihidupkan kembali dana yang berasal dari komoditi kelapa sawit

untuk pengembangan agribisnis kelapa sawit (semacam dana cess).

Page 35: Bab 4_minyak Goreng

90 

 

 

 

C. Strategi

Sesuai dengan tujuan pembangunan pertanian, tujuan dan sasaran

pengembangan agribisnis kelapa sawit, maka strategi pengembangan

agribisnis kelapa sawit dijabarkan sebagai berikut (Tabel 4.13).

Tabel 4.13 Strategi Pengembangan PT. KALPATRU INVESTAMA

Page 36: Bab 4_minyak Goreng

91 

 

 

 

4.5 Hasil Analisis dan Pembahasan

Hasil analisis dampak pengenaan PE terhadap kinerja agribisnis kelapa sawit

dapat dirangkum sebagai berikut :

a) Dalam menetapkan kebijakan PE untuk produk CPO berikut produk

turunannya, pemerintah harus juga dapat mempertimbangkan faktor-faktor

yang berpengaruh atas penerimaan PE tersebut seperti halnya nilai

presentase PE yang akan ditetapkan, nilai kurs rupiah terhadap US dollar

dan harga pasaran CPO (Rotterdam) pada saat PE tersebut ditetapkan. Hal

ini dimaksudkan agar pemerintah dapat menekan tindakan-tindakan para

spekulan / pihak trader yang ingin mengambil keuntungan pada kondisi

tertentu seperti penimbunan CPO, penyelundupan dan sebagainya

sehingga keseimbangan pasar CPO dalam negeri dapat terjaga.

b) Dalam memberlakukan PE CPO, pemerintah juga harus memperhatikan

faktor kesejahteraan petani kelapa sawit melalui program kebun plasma /

kebun rakyat, yaitu pemerintah harus memperhitungkan pendapatan yang

didapat dari PE CPO terhadap pemberian fasilitas / kemudahan kepada

para petani kebun plasma seperti dengan memberikan kredit bunga murah

terhadap mereka, subsidi pupuk, fasilitas transportasi jalan, infrastruktur

dan lain-lain sehingga program ekonomi daerah dapat berjalan dengan

baik dan pemerataan / penekanan tingkat kesenjangan social antara

pemilik kebun plasma dan kebun inti dapat teratasi. Pemerintah juga harus

memperhatikan proses penjualan tandan buah segar (TBS) petani plasma

ke pabrik-pabrik pengolahan, agar harga jual yang didapatkan oleh mereka

Page 37: Bab 4_minyak Goreng

92 

 

 

 

adalah harga jual yang optimal pada saat itu. Dengan demikian

kesejahteraan petani plasma dapat ditingkatkan. Aspek lain yang didapat

apabila pemerintah konsisten dengan kebijakkan ini adalah bahwa

pemerintah dapat menekan tingkat urbanisasi penduduk, ekonomi dapat

berjalan dengan baik, PAD daerah tersebut akan meningkat, tingkat

pengangguran dapat ditekan dan juga pembelajaran kepada petani untuk

dapat menjadi petani yang profesional