bab-3__20081123043639__968__2

13
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia BAB III ISU DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN Pada bagian ini dipaparkan berbagai isu dan permasalahan yang dihadapi kawasan perbatasan, baik perbatasan darat maupun laut. Agar penyelesaian masalah dapat lebih terarah dan tepat sasaran, maka permasalahan yang ada dikelompokkan menjadi 6 (enam) aspek, yaitu kebijakan, ekonomi dan sosial budaya, pertahanan dan keamanan, pengelolaan sumber daya alam, kelembagaan dan kewenangan pengelolaan, serta kerjasama antarnegara. 3.1. Kebijakan Pembangunan 3.1.1. Kebijakan di masa lalu yang belum berpihak kepada kawasan-kawasan tertinggal dan terisolir Selama beberapa puluh tahun kebelakang masalah perbatasan masih belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir dan tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan. Buku Pertama Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan 18

Upload: remuslupinn

Post on 17-Feb-2015

37 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Bagus

TRANSCRIPT

Page 1: bab-3__20081123043639__968__2

Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia

BAB IIIISU DAN PERMASALAHAN

PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN

Pada bagian ini dipaparkan berbagai isu dan permasalahan yang

dihadapi kawasan perbatasan, baik perbatasan darat maupun laut.

Agar penyelesaian masalah dapat lebih terarah dan tepat sasaran,

maka permasalahan yang ada dikelompokkan menjadi 6 (enam) aspek,

yaitu kebijakan, ekonomi dan sosial budaya, pertahanan dan

keamanan, pengelolaan sumber daya alam, kelembagaan dan

kewenangan pengelolaan, serta kerjasama antarnegara.

3.1. Kebijakan Pembangunan

3.1.1. Kebijakan di masa lalu yang belum berpihak kepada kawasan-kawasan tertinggal dan terisolir

Selama beberapa puluh tahun kebelakang masalah perbatasan

masih belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini

tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan

kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-wilayah yang

padat penduduk, aksesnya mudah, dan potensial, sedangkan kebijakan

pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir dan tertinggal

seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan.

3.1.2. Belum adanya kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan perbatasan

GBHN 1999–2004 telah mengamanatkan arah kebijakan

pengembangan daerah perbatasan yaitu “meningkatkan

pembangunan di seluruh daerah, terutama di Kawasan Timur

Indonesia, daerah perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan

berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah”.

Demikian pula dalam Program Pembangunan Nasional

(Propenas) 2000–2004 dinyatakan “program pengembangan daerah Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan

18

Page 2: bab-3__20081123043639__968__2

Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia

perbatasan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan

kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan

potensi kawasan perbatasan, dan memantapkan ketertiban dan

keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain”. Sasarannya

adalah terwujudnya peningkatan kehidupan sosial-ekonomi dan

ketahanan sosial masyarakat, terkelolanya potensi wilayah, dan

ketertiban serta keamanan kawasan perbatasan.

Sekalipun demikian, sejauh ini belum tersusun suatu kebijakan

nasional yang memuat arah, pendekatan, dan strategi pengembangan

kawasan perbatasan yang bersifat menyeluruh dan mengintegrasikan

fungsi dan peran seluruh stakeholders kawasan perbatasan, baik di

pusat maupun daerah, secara menyeluruh dan terpadu. Hal ini

mengakibatkan penanganan kawasan perbatasan terkesan terabaikan

dan bersifat parsial.

3.2. Ekonomi dan Sosial Budaya

3.2.1. Adanya paradigma ’kawasan perbatasan sebagai halaman belakang’

Paradigma pengelolaan kawasan perbatasan di masa lampau

sebagai ”halaman belakang” wilayah NKRI membawa implikasi

terhadap kondisi kawasan perbatasan saat ini yang tersolir dan

tertinggal dari sisi sosial dan ekonomi. Munculnya paradigma ini,

disebabkan oleh sistem politik dimasa lampau yang sentralistik dan

sangat menekankan stabilitas keamanan. Disamping itu secara

historis, hubungan Indonesia dengan beberapa negara tetangga

pernah dilanda konflik, serta seringkali terjadinya pemberontakan-

pemberontakan di dalam negeri.

Konsekuensinya, persepsi penanganan kawasan perbatasan

lebih didominasi pandangan untuk mengamankan perbatasan dari

potensi ancaman dari luar (external threat) dan cenderung

memposisikan kawasan perbatasan sebagai sabuk keamanan (security Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan

19

Page 3: bab-3__20081123043639__968__2

Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia

belt). Hal ini telah mengakibatkan kurangnya pengelolaan kawasan

perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan melalui optimalisasi

potensi sumberdaya alam, terutama yang dilakukan oleh investor

swasta.

3.2.2. Terjadinya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga

Kehidupan masyarakat di kawasan perbatasan yang miskin

infrastruktur dan tidak memiliki aksesibilitas yang baik, pada umumnya

sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi di negara tetangga.

Kawasan perbatasan di Kalimantan dan Sulawesi Utara misalnya,

kehidupan sosial ekonomi masyarakat, pada umumnya berkiblat ke

wilayah negara tetangga. Hal ini disebabkan adanya infrastruktur yang

lebih baik atau pengaruh sosial ekonomi yang lebih kuat dari wilayah

negara tetangga. Secara jangka panjang, adanya kesenjangan

pembangunan dengan negara tetangga tersebut berpotensi untuk

mengundang kerawanan di bidang politik.

3.2.3. Sarana dan prasarana masih minim.

Ketersediaan prasarana dan sarana, baik sarana dan

prasarana wilayah maupun fasilitas sosial ekonomi masih jauh dari

memadai. Jaringan jalan dan angkutan perhubungan darat maupun

laut masih sangat terbatas, yang menyebabkan sulit berkembangnya

kawasan perbatasan, karena tidak memiliki keterkaitan sosial maupun

ekonomi dengan wilayah lain. Kondisi prasarana dan sarana

komunikasi seperti pemancar atau transmisi radio dan televisi serta

sarana telepon di kawasan perbatasan umumnya masih relatif minim.

Terbatasnya sarana komunikasi dan informasi menyebabkan

masyarakat perbatasan lebih mengetahui informasi tentang negara

tetangga daripada informasi dan wawasan tentang Indonesia.

Ketersediaan sarana dasar sosial dan ekonomi seperti pusat kesehatan

Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan

20

Page 4: bab-3__20081123043639__968__2

Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia

masyarakat, sekolah, dan pasar juga sangat terbatas. Hal ini

menyebabkan kawasan perbatasan sulit untuk berkembang dan

bersaing dengan wilayah negara tetangga.

3.2.4. Tingginya angka kemiskinan dan jumlah keluarga pra-sejahtera.

Kemiskinan menjadi permasalahan yang terjadi di setiap

kawasan perbatasan baik laut maupun darat. Hal ini dapat dilihat dari

tingginya jumlah keluarga prasejahtera di kawasan perbatasan serta

kesenjangan sosial ekonomi dengan masyarakat di wilayah perbatasan

negara tetangga. Hal ini disebabkan oleh akumulasi berbagai faktor,

seperti rendahnya mutu sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur

pendukung, rendahnya produktifitas masyarakat dan belum

optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan perbatasan.

Implikasi lebih lanjut dari kondisi kemiskinan masyarakat di kawasan

perbatasan mendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan-kegiatan

ekonomi ilegal guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini selain

melanggar hukum dan potensial menimbulkan kerawanan dan

ketertiban juga sangat merugikan negara. Selain kegiatan ekonomi

ilegal, kegiatan ilegal lain yang terkait dengan aspek politik, ekonomi

dan keamanan juga terjadi di kawasan perbatasan laut seperti

penyelundupan senjata, amunisi dan bahan peledak. Kegiatan ilegal ini

terorganisir dengan baik sehingga perlu koordinasi dan kerjasama

bilateral yang baik untuk menuntaskannya.

3.2.5. Terisolasinya kawasan perbatasan akibat rendahnya aksesibilitas menuju kawasan perbatasan.

Kawasan perbatasan masih mengalami kesulitan aksesibilitas

baik darat, laut, maupun udara menuju pusat-pusat pertumbuhan. Di

wilayah Kalimantan dan Papua, sulitnya aksesibilitas memunculkan

kecenderungan masyarakat untuk berinteraksi dengan masyarakat di

wilayah Serawak dan PNG. Minimnya asksebilitas dari dan keluar

kawasan perbatasan wilayah merupakan salah satu faktor yang turut

mendorong orientasi masyarakat yang cenderung berkiblat aktivitas Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan

21

Page 5: bab-3__20081123043639__968__2

Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia

sosial ekonominya ke negara tetangga yang secara jangka panjang

dikhawatirkan akan memunculkan degradasi nasionalisme masyarakat

perbatasan.

3.2.6. Rendahnya kualitas SDM

Sebagai dampak dari minimnya sarana dan prasarana dibidang

pendidikan dan kesehatan, kualitas SDM masyarakat di sebagian besar

kawasan perbatasan masih rendah. Masyarakat belum memperoleh

pelayanan kesehatan dan pendidikan sebagaimana mestinya akibat

jauhnya jarak dari permukiman dengan fasilitas yang ada. Optimalisasi

potensi sumber daya alam dan pengembangan ekonomi di kawasan

perbatasan akan sulit dilakukan. Rendahnya tingkat pendidikan,

keterampilan, serta kesehatan masyarakat merupakan salah satu

faktor utama yang menghambat pengembangan ekonomi kawasan

perbatasan untuk dapat bersaing dengan wilayah negara tetangga.

3.2.7. Adanya aktivitas pelintas batas tradisional

Adanya kesamaan budaya, adat dan keturunan (suku yang

sama) di beberapa kawasan perbatasan seperti di Kalimantan (Dayak

dan Melayu) dan Papua, menyebabkan adanya kegiatan pelintas batas

tradisional yang ilegal dan sulit dicegah. Persamaan budaya dan adat

masyarakat dan kegiatan pelintas batas tradisional ini merupakan isu

sekaligus masalah perbatasan antarnegara yang telah ada sejak lama

dan kini muncul kembali seiring dengan penanganan kawasan

perbatasan darat di beberapa daerah seperti Papua dan Kalimantan

serta Timor Leste. Kegiatan lintas batas ini telah berlangsung lama

namun sampai saat ini belum dapat diatasi oleh kedua pihak (negara).

3.2.8. Adanya tanah adat/ulayat masyarakat

Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan

22

Page 6: bab-3__20081123043639__968__2

Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia

Di beberapa kawasan perbatasan terdapat tanah adat/ulayat

yang berada di dua wilayah negara. Tanah ulayat ini sebagian menjadi

ladang penghidupan yang diolah sehari-hari oleh masyarakat

perbatasan, sehingga pelintasan batas antarnegara menjadi hal yang

biasa dilakukan setiap hari. Keberadaan tanah ulayat yang terbagi dua

oleh garis perbatasan, secara astronomis memerlukan pengaturan

tersendiri serta dapat menjadi permasalahan di kemudian hari jika

tidak ditangani secara serius.

3.3. Pertahanan dan Keamanan

3.3.1. Belum disepakatinya garis-garis batas dengan negara tetangga secara menyeluruh

Beberapa segmen garis batas baik di darat maupun di laut belum disepakati secara

menyeluruh oleh negara-negara yang berbatasan dengan wilayah NKRI. Permasalahan yang sering

muncul di perbatasan darat adalah pemindahan patok-patok batas yang implikasinya menyebabkan

kerugian bagi negara secara ekonomi dan lingkungan. Namun secara umum, titik koordinat batas

negara di darat pada umumnya sudah disepakati. Permasalahan batas yang perlu diprioritaskan

penangannya saat ini adalah perbatasan laut, dimana garis batas laut, terutama Batas Landas

Kontinen (BLK) dan batas Zona Ekonomi Ekskluisf (ZEE), sebagian besar belum disepakati

bersama negara-negara tetangga. Belum jelas dan tegasnya batas laut antara Indonesia dan

beberapa negara negara tertentu serta ketidaktahuan masyarakat, khususnya nelayan, terhadap

batas negara di laut menyebabkan terjadinya pelanggaran batas oleh para nelayan Indonesia

maupun nelayan asing.

3.3.2. Terbatasnya jumlah aparat serta sarana dan prasarana

Masalah-masalah pelanggaran hukum, penciptaan ketertiban dan penegakan hukum di

perbatasan perlu diantisipasi dan ditangani secara seksama. Luasnya wilayah, serta minimnya

prasarana dan sarana telah menyebabkan belum optimalnya aktivitas aparat keamanan dan

kepolisian. Pertahanan dan keamanan negara di kawasan perbatasan saat ini perlu ditangani

melalui penyediaan jumlah personil aparat keamanan dan kepolisian serta prasarana dan sarana

pertahanan dan keamanan yang memadai.

3.3.3. Terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal dan pelanggaran hukum

Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan

23

Page 7: bab-3__20081123043639__968__2

Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia

Sebagai konsekuensi terbatasnya prasarana, sarana dan sumberdaya manusia di bidang

pertahanan dan keamanan, misalnya aparat kepolisian dan TNI-AL beserta kapal patrolinya, telah

menyebabkan lemahnya pengawasan di sepanjang garis perbatasan di darat maupun perairan di

sekitar pulau-pulau terluar. Disamping itu, lemahnya penegakan hukum akibat adanya kolusi

antara aparat dengan para pelanggar hukum, menyebabkan semakin maraknya pelanggaran hukum

di kawasan perbatasan. Sebagai contoh, di kawasan perbatasan darat, berbagai praktek

pelanggaran hukum seperti aktivitas pencurian kayu (illegal logging), penyelundupan barang, dan

‘penjualan manusia’ (trafficking person), serta permasalahan identitas kewarganegaraan ganda

masih sering terjadi. Demikian pula di kawasan perbatasan laut, sering terjadi pembajakan dan

perompakan, penyelundupan senjata, penyelundupan manusia (seperti tenaga kerja, bayi, dan

wanita), maupun pencurian ikan.

3.3.4. Terbatasnya jumlah sarana dan prasarana perbatasan (PLB, PPLB, dan fasilitas CIQS)

Keberadaan Pos Lintas Batas (PLB) dan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) beserta

fasilitas Bea Cukai, Imigrasi, Karantina, dan Keamanan (CIQS) sebagai gerbang yang mengatur

arus keluar masuk orang dan barang di kawasan perbatasan sangat penting. Sebagai pintu gerbang

negara, sarana dan prasarana ini diharapkan dapat mengatur hubungan sosial dan ekonomi antara

masyarakat Indonesia dengan masyarakat di wilayah negara tetangganya. Disamping itu adanya

sarana dan prasarana perbatasan akan mengurangi keluar-masuknya barang-barang illegal. Namun

demian, jumlah sarana dan prasarana PLB, PPLB, dan CIQS di kawasan perbatasan masih minim.

3.4. Pengelolaan Sumber Daya Alam

3.4.1. Pemanfaatan potensi Sumber Daya Alam belum optimal

Potensi sumberdaya alam yang berada kawasan perbatasan, baik di wilayah darat maupun

laut cukup besar, namun sejauh ini upaya pengelolaannya belum dilakukan secara optimal. Potensi

sumberdaya alam yang memungkinkan dikelola di sepanjang kawasan perbatasan, antara lain

sumber daya kehutanan, pertambangan, perkebunan, pariwisata, dan perikanan. Selain itu, devisa

negara yang dapat digali dari kawasan perbatasan dapat diperoleh dari kegiatan perdagangan

antarnegara.

3.4.2. Terjadinya eksploitasi pemanfaatan Sumber Daya Alam yang tak terkendali dan berkelanjutan.

Upaya optimalisasi potensi sumber daya alam harus memperhatikan daya dukung

lingkungan, sehingga tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun

sosial. Di sebagian besar kawasan perbatasan, upaya pemanfaatan SDA dilakukan secara ilegal

Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan

24

Page 8: bab-3__20081123043639__968__2

Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia

dan tak terkendali, sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan

hidup. Berbagai dampak lingkungan seperti polusi asap lintas batas (hedge pollution), banjir,

longsor, tenggelamnya pulau kecil, dan sebagainya pada umumnya disebabkan oleh kegiatan-

kegiatan illegal, seperti penebangan liar di kawasan hutan dan pengerukan pasir di pulau-pulau

kecil yang tidak terkendali. Hal ini cukup sulit ditangani, karena keterbatasan pengawasan

pemerintah di kawasan perbatasan dan belum ditegakkannya supremasi hukum secara adil dan

tegas.

3.5. Kelembagaan dan Kewenangan Pengelolaan

3.5.1. Belum adanya kelembagaan yang mengelola kawasan perbatasan secara integral dan terpadu.

Pengelolaan kawasan perbatasan belum dilakukan secara terpadu dengan

mengintegrasikan seluruh sektor terkait. Sampai saat ini, permasalahan beberapa kawasan

perbatasan masih ditangani secara ad hoc, sementara (temporer) dan parsial serta lebih didominasi

oleh pendekatan keamanan (security) melalui beberapa kepanitiaan (committee), sehingga belum

memberikan hasil yang optimal. Komite-komite kerjasama penanganan masalah perbatasan yang

ada saat ini antara lain General Border Comitee (GBC) RI – Malaysia, Joint Border Committee

(JBC) RI – Papua New Guinea; dan Joint Border Committee RI-UNMISET (Timor Leste).

Pengelolaan perbatasan negara secara terpadu sangat strategis dan mendesak untuk

dilakukan, karena menyangkut dengan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu

hal yang turut memberikan kontribusi terhadap belum optimalnya pengelolaan dan penanganan

permasalahan perbatasan saat ini adalah belum adanya suatu lembaga yang secara khusus

mengelola keseluruhan aspek pengelolaan perbatasan, baik di tingkat nasional maupun di daerah.

3.5.2. Belum jelasnya kewenangan dalam pengelolaan kawasan perbatasan

Sesuai UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, pengaturan tentang

pengembangan kawasan perbatasan secara hukum berada dibawah tanggung jawab Pemerintah

Daerah Kabupaten. Kewenangan pemerintah pusat hanya ada pada pintu-pintu perbatasan (border

gate) yang meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian, karantina, serta keamanan dan pertahanan

(CIQS).

Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan

25

Page 9: bab-3__20081123043639__968__2

Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia

Dengan demikian Pemerintah Daerah dapat mengembangkan kawasan perbatasan

selain di pintu-pintu masuk tersebut, tanpa menunggu pelimpahan kewenangan dari Pemerintah

Pusat. Namun demikian dalam pelaksanaannya pemerintah daerah belum melaksanakan

kewenangannya tersebut. Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor : (1) Belum memadainya

kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan mengingat penangannya

bersifat lintas administrasi wilayah pemerintahan dan lintas sektoral, sehingga masih memerlukan

koordinasi dari institusi yang secara hirarkis lebih tinggi; (2) Belum tersosialisasikannya peraturan

dan perundang-undangan mengenai pengelolaan kawasan perbatasan, (3) Terbatasnya anggaran

pembangunan pemerintah daerah; (4) Masih adanya tarik menarik kewenangan pusat-daerah,

misalnya dalam pengelolaan kawasan konservasi seperti hutan lindung dan taman nasional sebagai

international inheritance yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat (Departemen

Kehutanan).

3.6. Kerjasama Antarnegara

3.6.1. Belum optimalnya keterkaitan pengelolaan perbatasan dengan kerjasama sub regional, maupun regional.

Kerjasama-kerjasama bilateral, sub regional, maupun regional memberikan suatu

peluang besar bagi pengembangan kawasan perbatasan. Kerjasama regional dan sub-regional yang

ada saat ini seperti ASEAN, Indonesia Malaysia Singapura–Growth Triangle (IMS-GT), Indonesia

Malaysia Thailand–Growth Triangle (IMT-GT), Australia Indonesia Development Area (AIDA),

maupun Brunei Indonesia Malaysia Phillipines – East Asian Growth Area pada umumnya meliputi

provinsi-provinsi di wilayah perbatasan di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan

kerjasama perdagangan dan investasi. Namun demikian, tampaknya bentuk-bentuk kerjasama ini

belum memiliki keterkaitan dengan pembangunan kawasaan perbatasan yang tertinggal dan

terisolir.

Hal ini sebenarnya sangat penting, karena berkembangnya kawasan perbatasan akan

mendukung pertumbuhan ekonomi di kawasan secara keseluruhan.

3.6.2. Belum optimalnya kerjasama antarnegara dalam penanggulangan pelanggaran hukum di perbatasan

Kerjasama antarnegara untuk menanggulangi pelanggaran hukum di kawasan

perbatasan seperti illegal logging, illegal fishing, penyelundupan kayu, pelanggaran batas negara,

dan berbagai jenis pelanggaran lainnya belum dilaksanakan secara optimal. Di beberapa daerah

kepulauan, misalnya Kepulauan Riau, di Sangihe dan Talaud, perairan Kalimantan Timur, Papua

dan NTB dan NTT, masih banyak nelayan asing terutama dari Thailand dan Filipina yang

Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan

26

Page 10: bab-3__20081123043639__968__2

Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia

melakukan kegiatan penangkapan tanpa ijin karena ketidaktahuan batas laut antara kedua negara.

Pembicaraan bilateral untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terkait dengan negara

tetangga perlu dilakukan, mengingat sumberdaya yang telah dicuri selama ini merugikan negara

dalam jumlah besar.

Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan

27