bab-3__20081123043639__968__2
DESCRIPTION
BagusTRANSCRIPT
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
BAB IIIISU DAN PERMASALAHAN
PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
Pada bagian ini dipaparkan berbagai isu dan permasalahan yang
dihadapi kawasan perbatasan, baik perbatasan darat maupun laut.
Agar penyelesaian masalah dapat lebih terarah dan tepat sasaran,
maka permasalahan yang ada dikelompokkan menjadi 6 (enam) aspek,
yaitu kebijakan, ekonomi dan sosial budaya, pertahanan dan
keamanan, pengelolaan sumber daya alam, kelembagaan dan
kewenangan pengelolaan, serta kerjasama antarnegara.
3.1. Kebijakan Pembangunan
3.1.1. Kebijakan di masa lalu yang belum berpihak kepada kawasan-kawasan tertinggal dan terisolir
Selama beberapa puluh tahun kebelakang masalah perbatasan
masih belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini
tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan
kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-wilayah yang
padat penduduk, aksesnya mudah, dan potensial, sedangkan kebijakan
pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir dan tertinggal
seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan.
3.1.2. Belum adanya kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan perbatasan
GBHN 1999–2004 telah mengamanatkan arah kebijakan
pengembangan daerah perbatasan yaitu “meningkatkan
pembangunan di seluruh daerah, terutama di Kawasan Timur
Indonesia, daerah perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan
berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah”.
Demikian pula dalam Program Pembangunan Nasional
(Propenas) 2000–2004 dinyatakan “program pengembangan daerah Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
18
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
perbatasan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan
potensi kawasan perbatasan, dan memantapkan ketertiban dan
keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain”. Sasarannya
adalah terwujudnya peningkatan kehidupan sosial-ekonomi dan
ketahanan sosial masyarakat, terkelolanya potensi wilayah, dan
ketertiban serta keamanan kawasan perbatasan.
Sekalipun demikian, sejauh ini belum tersusun suatu kebijakan
nasional yang memuat arah, pendekatan, dan strategi pengembangan
kawasan perbatasan yang bersifat menyeluruh dan mengintegrasikan
fungsi dan peran seluruh stakeholders kawasan perbatasan, baik di
pusat maupun daerah, secara menyeluruh dan terpadu. Hal ini
mengakibatkan penanganan kawasan perbatasan terkesan terabaikan
dan bersifat parsial.
3.2. Ekonomi dan Sosial Budaya
3.2.1. Adanya paradigma ’kawasan perbatasan sebagai halaman belakang’
Paradigma pengelolaan kawasan perbatasan di masa lampau
sebagai ”halaman belakang” wilayah NKRI membawa implikasi
terhadap kondisi kawasan perbatasan saat ini yang tersolir dan
tertinggal dari sisi sosial dan ekonomi. Munculnya paradigma ini,
disebabkan oleh sistem politik dimasa lampau yang sentralistik dan
sangat menekankan stabilitas keamanan. Disamping itu secara
historis, hubungan Indonesia dengan beberapa negara tetangga
pernah dilanda konflik, serta seringkali terjadinya pemberontakan-
pemberontakan di dalam negeri.
Konsekuensinya, persepsi penanganan kawasan perbatasan
lebih didominasi pandangan untuk mengamankan perbatasan dari
potensi ancaman dari luar (external threat) dan cenderung
memposisikan kawasan perbatasan sebagai sabuk keamanan (security Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
19
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
belt). Hal ini telah mengakibatkan kurangnya pengelolaan kawasan
perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan melalui optimalisasi
potensi sumberdaya alam, terutama yang dilakukan oleh investor
swasta.
3.2.2. Terjadinya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga
Kehidupan masyarakat di kawasan perbatasan yang miskin
infrastruktur dan tidak memiliki aksesibilitas yang baik, pada umumnya
sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi di negara tetangga.
Kawasan perbatasan di Kalimantan dan Sulawesi Utara misalnya,
kehidupan sosial ekonomi masyarakat, pada umumnya berkiblat ke
wilayah negara tetangga. Hal ini disebabkan adanya infrastruktur yang
lebih baik atau pengaruh sosial ekonomi yang lebih kuat dari wilayah
negara tetangga. Secara jangka panjang, adanya kesenjangan
pembangunan dengan negara tetangga tersebut berpotensi untuk
mengundang kerawanan di bidang politik.
3.2.3. Sarana dan prasarana masih minim.
Ketersediaan prasarana dan sarana, baik sarana dan
prasarana wilayah maupun fasilitas sosial ekonomi masih jauh dari
memadai. Jaringan jalan dan angkutan perhubungan darat maupun
laut masih sangat terbatas, yang menyebabkan sulit berkembangnya
kawasan perbatasan, karena tidak memiliki keterkaitan sosial maupun
ekonomi dengan wilayah lain. Kondisi prasarana dan sarana
komunikasi seperti pemancar atau transmisi radio dan televisi serta
sarana telepon di kawasan perbatasan umumnya masih relatif minim.
Terbatasnya sarana komunikasi dan informasi menyebabkan
masyarakat perbatasan lebih mengetahui informasi tentang negara
tetangga daripada informasi dan wawasan tentang Indonesia.
Ketersediaan sarana dasar sosial dan ekonomi seperti pusat kesehatan
Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
20
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
masyarakat, sekolah, dan pasar juga sangat terbatas. Hal ini
menyebabkan kawasan perbatasan sulit untuk berkembang dan
bersaing dengan wilayah negara tetangga.
3.2.4. Tingginya angka kemiskinan dan jumlah keluarga pra-sejahtera.
Kemiskinan menjadi permasalahan yang terjadi di setiap
kawasan perbatasan baik laut maupun darat. Hal ini dapat dilihat dari
tingginya jumlah keluarga prasejahtera di kawasan perbatasan serta
kesenjangan sosial ekonomi dengan masyarakat di wilayah perbatasan
negara tetangga. Hal ini disebabkan oleh akumulasi berbagai faktor,
seperti rendahnya mutu sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur
pendukung, rendahnya produktifitas masyarakat dan belum
optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan perbatasan.
Implikasi lebih lanjut dari kondisi kemiskinan masyarakat di kawasan
perbatasan mendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan-kegiatan
ekonomi ilegal guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini selain
melanggar hukum dan potensial menimbulkan kerawanan dan
ketertiban juga sangat merugikan negara. Selain kegiatan ekonomi
ilegal, kegiatan ilegal lain yang terkait dengan aspek politik, ekonomi
dan keamanan juga terjadi di kawasan perbatasan laut seperti
penyelundupan senjata, amunisi dan bahan peledak. Kegiatan ilegal ini
terorganisir dengan baik sehingga perlu koordinasi dan kerjasama
bilateral yang baik untuk menuntaskannya.
3.2.5. Terisolasinya kawasan perbatasan akibat rendahnya aksesibilitas menuju kawasan perbatasan.
Kawasan perbatasan masih mengalami kesulitan aksesibilitas
baik darat, laut, maupun udara menuju pusat-pusat pertumbuhan. Di
wilayah Kalimantan dan Papua, sulitnya aksesibilitas memunculkan
kecenderungan masyarakat untuk berinteraksi dengan masyarakat di
wilayah Serawak dan PNG. Minimnya asksebilitas dari dan keluar
kawasan perbatasan wilayah merupakan salah satu faktor yang turut
mendorong orientasi masyarakat yang cenderung berkiblat aktivitas Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
21
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
sosial ekonominya ke negara tetangga yang secara jangka panjang
dikhawatirkan akan memunculkan degradasi nasionalisme masyarakat
perbatasan.
3.2.6. Rendahnya kualitas SDM
Sebagai dampak dari minimnya sarana dan prasarana dibidang
pendidikan dan kesehatan, kualitas SDM masyarakat di sebagian besar
kawasan perbatasan masih rendah. Masyarakat belum memperoleh
pelayanan kesehatan dan pendidikan sebagaimana mestinya akibat
jauhnya jarak dari permukiman dengan fasilitas yang ada. Optimalisasi
potensi sumber daya alam dan pengembangan ekonomi di kawasan
perbatasan akan sulit dilakukan. Rendahnya tingkat pendidikan,
keterampilan, serta kesehatan masyarakat merupakan salah satu
faktor utama yang menghambat pengembangan ekonomi kawasan
perbatasan untuk dapat bersaing dengan wilayah negara tetangga.
3.2.7. Adanya aktivitas pelintas batas tradisional
Adanya kesamaan budaya, adat dan keturunan (suku yang
sama) di beberapa kawasan perbatasan seperti di Kalimantan (Dayak
dan Melayu) dan Papua, menyebabkan adanya kegiatan pelintas batas
tradisional yang ilegal dan sulit dicegah. Persamaan budaya dan adat
masyarakat dan kegiatan pelintas batas tradisional ini merupakan isu
sekaligus masalah perbatasan antarnegara yang telah ada sejak lama
dan kini muncul kembali seiring dengan penanganan kawasan
perbatasan darat di beberapa daerah seperti Papua dan Kalimantan
serta Timor Leste. Kegiatan lintas batas ini telah berlangsung lama
namun sampai saat ini belum dapat diatasi oleh kedua pihak (negara).
3.2.8. Adanya tanah adat/ulayat masyarakat
Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
22
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
Di beberapa kawasan perbatasan terdapat tanah adat/ulayat
yang berada di dua wilayah negara. Tanah ulayat ini sebagian menjadi
ladang penghidupan yang diolah sehari-hari oleh masyarakat
perbatasan, sehingga pelintasan batas antarnegara menjadi hal yang
biasa dilakukan setiap hari. Keberadaan tanah ulayat yang terbagi dua
oleh garis perbatasan, secara astronomis memerlukan pengaturan
tersendiri serta dapat menjadi permasalahan di kemudian hari jika
tidak ditangani secara serius.
3.3. Pertahanan dan Keamanan
3.3.1. Belum disepakatinya garis-garis batas dengan negara tetangga secara menyeluruh
Beberapa segmen garis batas baik di darat maupun di laut belum disepakati secara
menyeluruh oleh negara-negara yang berbatasan dengan wilayah NKRI. Permasalahan yang sering
muncul di perbatasan darat adalah pemindahan patok-patok batas yang implikasinya menyebabkan
kerugian bagi negara secara ekonomi dan lingkungan. Namun secara umum, titik koordinat batas
negara di darat pada umumnya sudah disepakati. Permasalahan batas yang perlu diprioritaskan
penangannya saat ini adalah perbatasan laut, dimana garis batas laut, terutama Batas Landas
Kontinen (BLK) dan batas Zona Ekonomi Ekskluisf (ZEE), sebagian besar belum disepakati
bersama negara-negara tetangga. Belum jelas dan tegasnya batas laut antara Indonesia dan
beberapa negara negara tertentu serta ketidaktahuan masyarakat, khususnya nelayan, terhadap
batas negara di laut menyebabkan terjadinya pelanggaran batas oleh para nelayan Indonesia
maupun nelayan asing.
3.3.2. Terbatasnya jumlah aparat serta sarana dan prasarana
Masalah-masalah pelanggaran hukum, penciptaan ketertiban dan penegakan hukum di
perbatasan perlu diantisipasi dan ditangani secara seksama. Luasnya wilayah, serta minimnya
prasarana dan sarana telah menyebabkan belum optimalnya aktivitas aparat keamanan dan
kepolisian. Pertahanan dan keamanan negara di kawasan perbatasan saat ini perlu ditangani
melalui penyediaan jumlah personil aparat keamanan dan kepolisian serta prasarana dan sarana
pertahanan dan keamanan yang memadai.
3.3.3. Terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal dan pelanggaran hukum
Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
23
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
Sebagai konsekuensi terbatasnya prasarana, sarana dan sumberdaya manusia di bidang
pertahanan dan keamanan, misalnya aparat kepolisian dan TNI-AL beserta kapal patrolinya, telah
menyebabkan lemahnya pengawasan di sepanjang garis perbatasan di darat maupun perairan di
sekitar pulau-pulau terluar. Disamping itu, lemahnya penegakan hukum akibat adanya kolusi
antara aparat dengan para pelanggar hukum, menyebabkan semakin maraknya pelanggaran hukum
di kawasan perbatasan. Sebagai contoh, di kawasan perbatasan darat, berbagai praktek
pelanggaran hukum seperti aktivitas pencurian kayu (illegal logging), penyelundupan barang, dan
‘penjualan manusia’ (trafficking person), serta permasalahan identitas kewarganegaraan ganda
masih sering terjadi. Demikian pula di kawasan perbatasan laut, sering terjadi pembajakan dan
perompakan, penyelundupan senjata, penyelundupan manusia (seperti tenaga kerja, bayi, dan
wanita), maupun pencurian ikan.
3.3.4. Terbatasnya jumlah sarana dan prasarana perbatasan (PLB, PPLB, dan fasilitas CIQS)
Keberadaan Pos Lintas Batas (PLB) dan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) beserta
fasilitas Bea Cukai, Imigrasi, Karantina, dan Keamanan (CIQS) sebagai gerbang yang mengatur
arus keluar masuk orang dan barang di kawasan perbatasan sangat penting. Sebagai pintu gerbang
negara, sarana dan prasarana ini diharapkan dapat mengatur hubungan sosial dan ekonomi antara
masyarakat Indonesia dengan masyarakat di wilayah negara tetangganya. Disamping itu adanya
sarana dan prasarana perbatasan akan mengurangi keluar-masuknya barang-barang illegal. Namun
demian, jumlah sarana dan prasarana PLB, PPLB, dan CIQS di kawasan perbatasan masih minim.
3.4. Pengelolaan Sumber Daya Alam
3.4.1. Pemanfaatan potensi Sumber Daya Alam belum optimal
Potensi sumberdaya alam yang berada kawasan perbatasan, baik di wilayah darat maupun
laut cukup besar, namun sejauh ini upaya pengelolaannya belum dilakukan secara optimal. Potensi
sumberdaya alam yang memungkinkan dikelola di sepanjang kawasan perbatasan, antara lain
sumber daya kehutanan, pertambangan, perkebunan, pariwisata, dan perikanan. Selain itu, devisa
negara yang dapat digali dari kawasan perbatasan dapat diperoleh dari kegiatan perdagangan
antarnegara.
3.4.2. Terjadinya eksploitasi pemanfaatan Sumber Daya Alam yang tak terkendali dan berkelanjutan.
Upaya optimalisasi potensi sumber daya alam harus memperhatikan daya dukung
lingkungan, sehingga tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun
sosial. Di sebagian besar kawasan perbatasan, upaya pemanfaatan SDA dilakukan secara ilegal
Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
24
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
dan tak terkendali, sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan
hidup. Berbagai dampak lingkungan seperti polusi asap lintas batas (hedge pollution), banjir,
longsor, tenggelamnya pulau kecil, dan sebagainya pada umumnya disebabkan oleh kegiatan-
kegiatan illegal, seperti penebangan liar di kawasan hutan dan pengerukan pasir di pulau-pulau
kecil yang tidak terkendali. Hal ini cukup sulit ditangani, karena keterbatasan pengawasan
pemerintah di kawasan perbatasan dan belum ditegakkannya supremasi hukum secara adil dan
tegas.
3.5. Kelembagaan dan Kewenangan Pengelolaan
3.5.1. Belum adanya kelembagaan yang mengelola kawasan perbatasan secara integral dan terpadu.
Pengelolaan kawasan perbatasan belum dilakukan secara terpadu dengan
mengintegrasikan seluruh sektor terkait. Sampai saat ini, permasalahan beberapa kawasan
perbatasan masih ditangani secara ad hoc, sementara (temporer) dan parsial serta lebih didominasi
oleh pendekatan keamanan (security) melalui beberapa kepanitiaan (committee), sehingga belum
memberikan hasil yang optimal. Komite-komite kerjasama penanganan masalah perbatasan yang
ada saat ini antara lain General Border Comitee (GBC) RI – Malaysia, Joint Border Committee
(JBC) RI – Papua New Guinea; dan Joint Border Committee RI-UNMISET (Timor Leste).
Pengelolaan perbatasan negara secara terpadu sangat strategis dan mendesak untuk
dilakukan, karena menyangkut dengan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu
hal yang turut memberikan kontribusi terhadap belum optimalnya pengelolaan dan penanganan
permasalahan perbatasan saat ini adalah belum adanya suatu lembaga yang secara khusus
mengelola keseluruhan aspek pengelolaan perbatasan, baik di tingkat nasional maupun di daerah.
3.5.2. Belum jelasnya kewenangan dalam pengelolaan kawasan perbatasan
Sesuai UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, pengaturan tentang
pengembangan kawasan perbatasan secara hukum berada dibawah tanggung jawab Pemerintah
Daerah Kabupaten. Kewenangan pemerintah pusat hanya ada pada pintu-pintu perbatasan (border
gate) yang meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian, karantina, serta keamanan dan pertahanan
(CIQS).
Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
25
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
Dengan demikian Pemerintah Daerah dapat mengembangkan kawasan perbatasan
selain di pintu-pintu masuk tersebut, tanpa menunggu pelimpahan kewenangan dari Pemerintah
Pusat. Namun demikian dalam pelaksanaannya pemerintah daerah belum melaksanakan
kewenangannya tersebut. Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor : (1) Belum memadainya
kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan mengingat penangannya
bersifat lintas administrasi wilayah pemerintahan dan lintas sektoral, sehingga masih memerlukan
koordinasi dari institusi yang secara hirarkis lebih tinggi; (2) Belum tersosialisasikannya peraturan
dan perundang-undangan mengenai pengelolaan kawasan perbatasan, (3) Terbatasnya anggaran
pembangunan pemerintah daerah; (4) Masih adanya tarik menarik kewenangan pusat-daerah,
misalnya dalam pengelolaan kawasan konservasi seperti hutan lindung dan taman nasional sebagai
international inheritance yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat (Departemen
Kehutanan).
3.6. Kerjasama Antarnegara
3.6.1. Belum optimalnya keterkaitan pengelolaan perbatasan dengan kerjasama sub regional, maupun regional.
Kerjasama-kerjasama bilateral, sub regional, maupun regional memberikan suatu
peluang besar bagi pengembangan kawasan perbatasan. Kerjasama regional dan sub-regional yang
ada saat ini seperti ASEAN, Indonesia Malaysia Singapura–Growth Triangle (IMS-GT), Indonesia
Malaysia Thailand–Growth Triangle (IMT-GT), Australia Indonesia Development Area (AIDA),
maupun Brunei Indonesia Malaysia Phillipines – East Asian Growth Area pada umumnya meliputi
provinsi-provinsi di wilayah perbatasan di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan
kerjasama perdagangan dan investasi. Namun demikian, tampaknya bentuk-bentuk kerjasama ini
belum memiliki keterkaitan dengan pembangunan kawasaan perbatasan yang tertinggal dan
terisolir.
Hal ini sebenarnya sangat penting, karena berkembangnya kawasan perbatasan akan
mendukung pertumbuhan ekonomi di kawasan secara keseluruhan.
3.6.2. Belum optimalnya kerjasama antarnegara dalam penanggulangan pelanggaran hukum di perbatasan
Kerjasama antarnegara untuk menanggulangi pelanggaran hukum di kawasan
perbatasan seperti illegal logging, illegal fishing, penyelundupan kayu, pelanggaran batas negara,
dan berbagai jenis pelanggaran lainnya belum dilaksanakan secara optimal. Di beberapa daerah
kepulauan, misalnya Kepulauan Riau, di Sangihe dan Talaud, perairan Kalimantan Timur, Papua
dan NTB dan NTT, masih banyak nelayan asing terutama dari Thailand dan Filipina yang
Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
26
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
melakukan kegiatan penangkapan tanpa ijin karena ketidaktahuan batas laut antara kedua negara.
Pembicaraan bilateral untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terkait dengan negara
tetangga perlu dilakukan, mengingat sumberdaya yang telah dicuri selama ini merugikan negara
dalam jumlah besar.
Buku PertamaKebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
27