bab 3 latar belakang teori 3.1. kestabilan lereng secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua...

34
3-1 BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Masalah kestabilan lereng di dalam suatu pekerjaan yang melibatkan kegiatan penggalian maupun penimbunan merupakan masalah penting, karena ini menyangkut masalah keselamatan manusia, peralatan dan bangunan yang berada di sekitar lereng tersebut. Dalam pekerjaan penambangan dengan cara tambang terbuka, lereng yang tidak mantap akan dapat mengganggu kelancaran produksi. Di alam, tanah maupun batuan umumnya berada dalam keadaan setimbang (equilibrium), artinya keadaan distribusi tegangan pada tanah atau batuan tersebut dalam keadaan mantap. Apabila terhadap tanah atau batuan tersebut dikenakan suatu kegiatan seperti pengangkutan, penurunan, penggalian, penimbunan, erosi atau aktivitas lain yang menyebabkan terganggunya kesetimbangan, tanah atau batuan tersebut akan berusaha untuk mencapai kesetimbangan baru dengan cara pengurangan beban terutama dalam bentuk terjadinya longsoran. Untuk menganalisis kestabilan lereng perlu terlebih dahulu diketahui sistim tegangan yang bekerja pada tanah atau batuan serta sifat fisik dan mekanik dari tanah atau batuan tersebut. Tegangan di dalam massa batuan dalam keadaan alamiahnya adalah tegangan vertikal, tegangan horizontal, dan tekanan air pori. Sedangkan sifat mekanik yang mempengaruhi kestabilan suatu lereng adalah kohesi, sudut geser dalam, dan bobot isi.

Upload: ngokhuong

Post on 23-Mar-2018

224 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-1

BAB 3

LATAR BELAKANG TEORI

3.1. Kestabilan Lereng

Masalah kestabilan lereng di dalam suatu pekerjaan yang melibatkan kegiatan

penggalian maupun penimbunan merupakan masalah penting, karena ini menyangkut

masalah keselamatan manusia, peralatan dan bangunan yang berada di sekitar lereng

tersebut. Dalam pekerjaan penambangan dengan cara tambang terbuka, lereng yang

tidak mantap akan dapat mengganggu kelancaran produksi.

Di alam, tanah maupun batuan umumnya berada dalam keadaan setimbang

(equilibrium), artinya keadaan distribusi tegangan pada tanah atau batuan tersebut

dalam keadaan mantap. Apabila terhadap tanah atau batuan tersebut dikenakan suatu

kegiatan seperti pengangkutan, penurunan, penggalian, penimbunan, erosi atau

aktivitas lain yang menyebabkan terganggunya kesetimbangan, tanah atau batuan

tersebut akan berusaha untuk mencapai kesetimbangan baru dengan cara

pengurangan beban terutama dalam bentuk terjadinya longsoran.

Untuk menganalisis kestabilan lereng perlu terlebih dahulu diketahui sistim tegangan

yang bekerja pada tanah atau batuan serta sifat fisik dan mekanik dari tanah atau

batuan tersebut. Tegangan di dalam massa batuan dalam keadaan alamiahnya adalah

tegangan vertikal, tegangan horizontal, dan tekanan air pori. Sedangkan sifat

mekanik yang mempengaruhi kestabilan suatu lereng adalah kohesi, sudut geser

dalam, dan bobot isi.

Page 2: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-2

Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang

membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya yang menahan massa

batuan tersebut (gaya penahan). Suatu lereng akan longsor jika gaya penggeraknya

lebih besar dari gaya penahannya. Secara matematis, kestabilan suatu lereng dapat

dinyatakan dalam bentuk faktor keamanan (Fk), dimana:

penggerak Gayapenahan Gaya

=Fk ..……................................................................................(3.1)

Fk > 1, lereng dianggap stabil Fk = 1, lereng dalam keadaan setimbang tetapi akan segera longsor jika mendapat

sedikit gangguan. Fk < 1, lereng dianggap tidak stabil.

Berikut adalah faktor kemanan yang direkomendasikan oleh Direktorat Jendral

Pertambangan Umum Indonesia yang dijadikan acuan dalam keputusan dalam

penentuan geometri lereng

Tabel. III.1.Faktor Keamanan yang Direkomendasikan oleh DirJen Pertambangan Umum Indonesia

Resiko Kondisi Beban Parameter

Maksimum Minimum Teliti Kurang teliti Teliti Kurang Teliti

Tinggi Dengan gempa 1.50 1.75 1.35 1.50 Tanpa gempa 1.80 2.00 1.60 1.80

Menengah Dengan gempa 1.30 1.60 1.20 1.40 Tanpa gempa 1.50 1.80 1.35 1.50

Rendah Dengan gempa 1.10 1.25 1.00 1.10 Tanpa gempa 1.25 1.40 1.10 1.20

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk menganalisis kestabilan suatu lereng

adalah:

1. Penyebaran Batuan

Hal ini disebabkan karena sifat fisik dan mekanik suatu jenis batuan akan berbeda

dengan jenis batuan yang lainnya sehingga kekuatannyapun akan berbeda pula.

Page 3: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-3

2. Relief Permukaan Bumi

Daerah yang curam mengakibatkan pengikisan yang lebih intensif dibandingkan

daerah yang landai. Karena erosi yang intensif, banyak dijumpai singkapan yang

menyebabkan pelapukan yang lebih cepat. Batuan yang lapuk mempunyai kekuatan

yang lebih rendah sehingga kestabilan lereng menjadi berkurang.

3. Struktur Geologi

Struktur geologi adalah merupakan bidang lemah yang berkembang di dalam massa

batuan dan dapat menurunkan kestabilan suatu lereng.

4. Iklim

Berpengaruh terhadap kestabilan lereng karena mempengaruhi perubahan

temperatur. Perubahan temperatur yang cepat sekali berubah dalam waktu yang

singkat akan mempercepat proses pelapukan batuan.

5. Geometri Lereng

Geometri lereng meliputi tinggi lereng dan sudut kemiringan lereng. Lereng dengan

ketinggian yang lebih tinggi mempunyai kestabilan yang lebih kecil dibandingkan

lereng yang lebih rendah. Demikian juga untuk lereng dengan sudut lereng yang

lebih besar mempunyai kestabilan yang lebih kecil dibandingkan lereng dengan

sudut lereng lebih kecil. Kandungan air tanah juga akan mempengaruhi kestabilan

suatu lereng. Lereng dengan muka air tanah yang lebih tinggi akan mempunyai

kestabilan yang lebih kecil dibandingkan lereng dengan muka air tanah yang lebih

rendah.

Page 4: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-4

6. Gaya Luar

Gaya luar seperti getaran yang ditimbulkan oleh peledakan ataupun kendaraan akan

dapat mempengaruhi kestabilan suatu lereng.

3.2. Jenis-Jenis Longsoran

Terzaghi dan Peck (1967) menyatakan bahwa longsoran dapat terjadi pada hampir

setiap kemungkinan, perlahan-lahan ataupun secara tiba-tiba dan dengan atau tanpa

adanya suatu peringatan yang nyata

Berdasarkan kedudukan bidang lemah pada batuan, longsoran yang sering terjadi

adalah longsoran busur (circular failure) yaitu longsoran yang berbentuk busur

biasanya terbentuk pada material yang umumnya homogen sedangkan pada material

dengan heterogenitas kompleks sering terjadi longsoran bidang(plane failure),

longsoran baji (wedge failure) dan juga longsoran toppling. (lihat Gambar 3.1)

Longsoran pada tanah diasumsikan terjadi pada suatu massa tanah yang homogen

dan kontinu, sehingga bentuk/geometri dari longsoran tersebut berupa busur

lingkaran atau paling tidak mendekati/dapat dianggap sebagai busur lingkaran.

Dalam hal ini parameter-parameter sifat fisik maupun sifat mekanik tanah dianggap

sama dan merata di semua bagian tubuh tanah tersebut. Sedangkan pada batuan

keras, untuk batuan yang utuh (intact) sifatnya juga homogen dan kontinyu seperti

pada tanah, tetapi karena batuan utuh tersebut sangat kuat maka umumnya tidak ada

masalah mengenai kemantapan lerengnya. Masalah kemantapan lereng akan muncul

apabila batuan keras tersebut mempunyai bidang-bidang lemah (discontinuities).

Page 5: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-5

Gambar 3.1. Hubungan Bidang Diskontinuitas dan Jenis Longsoran (Hoek dan Bray, 1980)

3.2.1. Longsoran Busur

3.2.1.1. Kondisi Umum Longsoran Busur

Beberapa metode yang dikembangkan dalam menganalisis suatu kestabilan lereng

diantaranya adalah metode grafis, metode kesetimbangan batas dan juga metode

finite element.

Page 6: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-6

Salah satu metode yang kini banyak diterapkan pada suatu analisis kestabilan lereng

adalah metode kesetimbangan batas yang secara umum mensyaratkan pembagian

massa tanah menjadi beberapa irisan. Arah-arah gaya yang bekerja pada setiap irisan

selanjutnya diasumsikan. Asumsi inilah yang membedakan satu metode dengan

metode lainnya. Selain itu, metode ini memerlukan pendefinisian permukaan longsor

yang digunakan untuk perhitungan faktor keamanan minimum.

3.2.1.2. Analisis Longsoran Busur (Bishop Simplified)

Metode Bishop Simplified menggunakan prinsip metode irisan dalam menguraikan

massa tanah untuk menentukan faktor keamanan. Metode ini mengabaikan gaya

geser antar irisan dan kemudian mengasumsikan bahwa gaya normal atau horizontal

cukup untuk mendefinisikan gaya- gaya antar irisan. Gaya normal di dasar tiap irisan

ditentukan dengan menjumlahkan gaya- gaya dalam arah vertikal. Dengan

mensubtitusikan kriteria longsoran, maka gaya-gaya yang bekerja pada irisan dapat

dilihat pada Gambar 3.2.

Pada metode Bishop, besarnya P (gaya normal pada dasar irisan) diperoleh dengan

menguraikan gaya-gaya yang bekerja pada irisan dalam arah gaya berat (W) atau

semua resultan gaya pada batas vertikal irisan bekerja dalam arah horizontal, untuk

menghitung besarnya faktor keamanan dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Page 7: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-7

Gambar 3.2. Gaya-gaya yang bekerja pada irisisan dengan Bishop Simplified Keterangan:

S : kekuatan geser efektif

s : kekuatan geser yang ada

c’ : kohesi efektif

P’ : gaya normal efektif pada dasar irisan

'φ : sudut geser dalam efektif

μ’ : tegangan air pori

F : Faktor keamanan

l : panjang dasar irisan

w : berat irisan

b : lebar irisan

R : radius lingkaran bidang gelincir

Xn,Xn+1 : gaya-gaya vertikal pada batas irisan

En,En+1 : gaya-gaya horisontal pada batas irisan

x

b R

w

l

s

α

φ

B A

P

C

S= C’+P’ tan φ’ S = sl P

Xn+1 xn

En+1 P’

En

s

w

i α X=Xn+1

w

α

P’tan φ’ F

C’l f

S

P

E=En+1

u

Page 8: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-8

Faktor keamanan dihitung dengan perhitungan di bawah ini:

P cos α + S sin α = W + Xn - Xn+1

Bila P’ = P-μ1, maka :

(P-ul) cos α + ul cos α + (P-ul) )(sin'sintan1+−+=+ nn XXW

Flc

Fααφ

(P-ul) cos α + (P-ul) −−−+= + Fsinl'c)XXW(sin

Ftan

nnααφ

1 u l cos α

(P-ul) (cos α + )cossin'()()sintan1 αααφ u

FclXXW

F nn −−−+= +

Jika Xn-Xn-1 dianggap sama dengan nol, maka :

]sin'tancos

)cos]sin'([)(

αφα

αα

F

uF

clWulP

+

+−=− …. ............................................................... (3.2)

Nilai Faktor Keamanan (F) dapat dicari dengan rumus sebagai berikut :

∑∑ +

−−+=

]tan'.tan1[cos

'tan]sin1'cos1[1'

sin.1

F

FcW

cW

Fαφα

φααμ

α ...................................... (3.3)

Jika 1 = αcos

b maka :

∑∑ ⎪⎭

⎪⎬

⎪⎩

⎪⎨

+−+=

F

SecbWbCWSin

F αφαφμ

α tan.tan1)'tan)('1 ….. ........................... (3.4)

Nilai F pada persamaan 3.4 terdapat pada sisi kiri dan kanan, karena itu untuk

menghitung besarnya nilai F harus digunakan cara yaitu diambil nilai F sembarang

Page 9: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-9

sebagai percobaan, kemudian nilai F yang diperoleh dimasukkan lagi pada ruas

kanan dan seterusnya sampai didapat F ruas kanan sama dengan ruas kiri (iterasi).

3.2.2. Longsoran Bidang

3.2.2.1. Kondisi Umum Longsoran Bidang

Longsoran bidang bila dibandingkan dengan jenis longsoran yang lain merupakan

longsoran yang relatif jarang terjadi. Namun bila kondisi yang menunjang terjadinya

longsoran bidang ada, maka longsoran yang terjadi mungkin akan lebih besar secara

volume daripada longsoran lainnya.

Longsoran bidang akan terjadi bila seluruh kondisi di bawah ini terpenuhi:

1. Bidang gelincir mempunyai arah jurus (strike) sejajar atau hampir sejajar

dengan arah jurus muka lereng dengan perbedaan maksimal 20o.

2. Kemiringan bidang gelincir harus lebih kecil daripada kemiringan muka

lereng (ψp < ψf)

3. Kemiringan bidang gelincir harus lebih besar daripada sudut geser dalam (ψp

> φ).

4. Harus terdapat bidang bebas (release) yang menjadi pembatas di kiri dan

kanan blok yang menggelincir.

Pada analisis kestabilan lereng, dipakai analisis 2 dimensi dimana dipertimbangkan

unit ketebalan yang arahnya tegak lurus dengan garis muka lereng. Bidang gelincir

direpresentasikan sebagai garis dengan kemiringan tertentu dan blok yang

Page 10: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-10

menggelincir dapat direpresentasikan dengan suatu luasan pada penampang vertikal

yang tegak lurus dengan arah jurus lereng (Gambar 3.3).

Gambar 3.3. Kondisi umum longsoran bidang (Hoek dan Bray, 1980)

3.2.2.2. Analisis Longsoran Bidang

Dalam analisis longsoran bidang perlu diperhatikan posisi rekahan tarik, apakah di

belakang crest lereng atau di muka lereng (Gambar 3.4). Sedangkan asumsi-asumsi

yang digunakan dalam analisis ini adalah:

Page 11: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-11

1. Bidang gelincir dan rekahan tarik mempunyai arah jurus sejajar dengan arah

jurus lereng.

2. Rekahan tarik adalah bidang vertikal dan terisi air sedalam zw.

3. Air membasahi bidang gelincir melewati bagian bawah bidang rekahan tarik

dan merembes sampai di jejaknya pada muka lereng.

4. Gaya W (berat blok yang menggelincir), U (gaya angkat air), dan V (gaya

tekan air di dalam rekahan tarik) bekerja di titik pusat blok, sehingga

diasumsikan tidak ada momen penyebab rotasi.

5. Kuat geser (τ) dari bidang gelincir adalah τ = c + σ tanφ, dimana c=kohesi,

φ=sudut geser dalam, dan σ=tegangan normal.

6. Terdapat bidang release di kiri dan kanan blok sehingga tidak ada hambatan

pada blok yang menggelincir.

Persamaan untuk menghitung faktor keamanan pada longsoran bidang:

( )pp

pp

VWVUWcA

Fkψψ

φψψcossin

tansincos+

−−+= ………..............................................(3.5)

keterangan:

( )

( ) ( ) lerengmukaditarikrekahanHzHW

lerengcrestdibelakangtarikrekahanHzHW

zV

eczHzU

eczHA

fpp

fp

ww

pww

p

______1tancotcot1

______cotcot1

cos)(

cos)(

222

1

222

1

22

1

21

⎭⎬⎫

⎩⎨⎧ −⎟

⎠⎞⎜

⎝⎛ −=

⎭⎬⎫

⎩⎨⎧ −⎟

⎠⎞⎜

⎝⎛ −=

=

−=

−=

ψψψγ

ψψγ

γ

ψγ

ψ

Page 12: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-12

Gambar 3.4. Posisi rekahan tarik pada lereng batuan (Hoek dan Bray, 1980)

Bila lereng tersebut berada di daerah rawan gempa dan percepatan yang ditimbulkan

oleh gempa dapat dimodelkan menjadi gaya statis αW, maka perhitungan faktor

keamanan dapat dilakukan dengan memasukan pengaruh gempa sehingga persamaan

3.5. menjadi:

( )ppp

ppp

VWVUWcA

Fkψψαψ

φψψαψcos)cos(sin

tansin)sin(cos++

−−−+= ………………………...(3.6)

3.2.3. Longsoran Baji

3.2.3.1. Kondisi Umum Longsoran Baji

Longsoran baji terjadi jika terdapat 2 bidang lemah atau lebih berpotongan

sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng (Gambar 3.5).

Persyaratan lainnya yang harus dipenuhi untuk terjadinya longsoran baji adalah bila

sudut lereng lebih besar daripada sudut garis potong kedua bidang lemah tersebut (ψfi

> ψi), dan sudut garis potong kedua bidang lemah lebih besar daripada sudut geser

dalamnya.

Page 13: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-13

3.2.3.2. Analisis Longsoran Baji

Apabila ketahanan geser bidang gelincir dipengaruhi oleh kohesi dan dijumpai pula

adanya rembesan air di bidang-bidang lemah tersebut, maka penentuan faktor

keamanan harus mempertimbangkan kedua faktor tersebut. Dengan asumsi bahwa air

hanya masuk di sepanjang garis potong bidang lemah dengan muka atas lereng (garis

3 dan 4 pada Gambar 3.6) dan merembes keluar di sepanjang garis potong bidang

lemah dengan muka lereng (garis 1 dan 2 pada Gambar 3.6), serta baji berisifat

impermeable, maka persamaan yang digunakan untuk menentukan faktor keamanan

adalah:

Bw

Aw

BA YBXAYcXcH

Fk φγ

γφ

γγ

γtan)

2(tan)

2()(3

−+−++= ………………...(3.7)

keterangan:

cA dan cB = kohesi bidang lemah A dan B

φA dan φB = sudut geser dalam bidang lemah A dan B

γ = Bobot isi batuan

γw = Bobot isi air

H = Tinggi keseluruhan baji yang terbentuk (Gambar 3.5)

X = sinθ24/(sinθ45cosθ2.na)

Y = sinθ13/(sinθ35cosθ1.nb)

A = (cosψa-cosψbcosθna.nb)/(sinψ5sin2θna.nb)

B = (cosψb-cosψacosθna.nb)/(sinψ5sin2θna.nb)

ψa dan ψb = Dip bidang lemah A dan B

ψ5 = plunge dari garis potong kedua bidang lemah (garis nomor 5)

θ24 dll = Sudut-sudut yang diperoleh dengan menggunakan streonet seperti telihat

pada Gambar 3.7.

Page 14: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-14

Gambar 3.5. Geometri longsoran baji (Hoek dan Bray, 1980)

Gambar 3.6. Geometri baji untuk kemantapan lereng dengan memperhitungkan

kohesi dan air (Hoek dan Bray, 1980)

Page 15: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-15

Gambar 3.7. Stereoplot geometri baji untuk analisis kestabilan lereng (Hoek dan

Bray, 1980)

3.2.4. Longsoran Guling

3.2.4.1. Kondisi Umum Longsoran Guling

Longsoran guling terjadi apabila bidang-bidang lemah yang hadir di lereng

mempunyai kemiringan yang berlawanan dengan kemiringan lereng dimana struktur

bidang lemahnya berbentuk kolom.

3.2.4.2. Analisis Longsoran Guling

Analisis longsoran guling ini mengambil asumsi bahwa longsoran yang terjadi

mempunyai n buah blok yang berbentuk teratur dengan lebar Δx dan tinggi yn

(Gambar 3.8). Untuk keperluan analisis, penomoran blok dimulai dari bawah (toe) ke

atas. Sudut kemiringan lereng adalah θ dan kemiringan muka lereng adalah θu,

sedangkan dip dari bidang-bidang lemah adalah 90-α. Undak-undakan yang terjadi

akibat longsoran berbentuk teratur dan mempunyai kemiringan β. Konstanta a1, a2,

dan b selanjutnya dihitung dengan persamaan 3.8.

Page 16: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-16

a1 = Δx tan(θ-α)

a2 = Δx tan(α-θu)

b1 = Δx tan(β-α) …………………………………………………….…(3.8)

Tinggi blok ke-n (yn) dihitung dengan persamaan 3.9.

yn = n(a1 – b), (untuk blok dari crest ke bawah)

yn = yn-1 -a2 – b, (untuk blok di atas crest) ……………………………....(3.9)

Berdasarkan model pada Gambar 3.8, terdapat 3 kelompok blok dengan tingkat

kemantapan yang berbeda. yaitu:

- satu set blok yang akan tergelincir (di daerah toe),

- satu set blok yang mantap (di bagian atas),

- satu set blok yang akan terguling (di bagian tengah).

Dengan geometri yang berbeda, mungkin saja blok yang mantap dan yang akan

tergelincir berubah menjadi terguling semua.

Gambar 3.8. Model longsoran guling untuk analisis kesetimbangan batas (Hoek dan

Bray, 1980)

Page 17: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-17

Kondisi kesetimbangan gaya-gaya yang bekerja disetiap blok digambarkan pada

Gambar 3.9. Dari gambar tersebut terlihat bahwa gaya-gaya yang bekerja di dasar

blok ke-n adalah Rn dan Sn, sedangkan gaya-gaya yang bekerja interface dengan blok

terdekat adalah Pn, Qn, Pn-1, dan Qn-1. Konstanta Mn, Ln, dan Kn yang terdapat pada

Gambar 3.9. dihitung dengan persamaan 3.10.

- Untuk blok di bawah crest lereng : Mn = yn; Ln = yn-a1; Kn = 0

- Untuk blok tepat di crest lereng : Mn = yn – a2; Ln = yn-a1; Kn = 0

- Untuk blok di atas crest lereng : Mn = yn – a2; Ln = yn; Kn = 0 ………..…(3.10)

Sementara untuk gaya-gaya Qn, Qn-1, Rn, dan Sn dihitung dengan persamaan 3.11.

Qn = Pn tanφ

Qn-1 = Pn-1 tanφ

Rn = Wn cosα +(Pn – Pn-1) tanφ

Sn = Wn sinα +(Pn – Pn-1) tanφ .............................................................................(3.11)

dimana Wn = yn Δx

Gambar 3.9. Kondisi keseimbangan batas blok ke-n yang akan terguling dan

tergelincir (Hoek dan Bray, 1980)

Page 18: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-18

Sedangkan untuk gaya-gaya Pn dan Pn-1, perhitungannya dibedakan untuk blok yang

terguling dan blok yang tergelincir.

Untuk blok ke-n yang terguling, dicirikan dengan yn/Δx > cotα bila φ > α, maka :

Pn-1,t = {Pn(Mn-Δx tanφ) + (Wn/2) (yn sinα - Δx cosα)}/Ln .............................(3.12)

Pn = 0 (untuk blok teratas dari set blok yang terguling)

Pn = Pn-1,t (untuk blok terguling di bawahnya)

Untuk kontrol lebih lanjut bisa dilihat bahwa pada blok ini harga Rn > 0 dan |Sn| < Rn

tanφ.

Untuk blok ke-n yang tergelincir dicirikan dengan Sn = Rn tanφ, maka:

Pn-1,s = Pn – {Wn (tanφ cosα - sinα)}/(1 – tan2φ) ……………………………(3.13)

Pn = Pn-1,t (untuk blok teratas dari set blok yang tergelincir)

Pn = Pn-1,s (untuk blok tergelincir di bawahnya, disini akan terlihat Pn,t > Pn,s)

Perhitungan di atas dilakukan dengan mengambil φ > α, namun dengan

memperhatikan blok no. 1 (toe):

Page 19: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-19

- Jika Po > 0, maka lereng berada dalam kondisi tidak mantap untuk nilai φ

yang diasumsikan. Disarankan untuk mengulang perhitungan dengan

meningkatkan nilai φ.

- Jika Po < 0, maka disarankan untuk mengulang perhitungan dengan

menurunkan nilai φ karena hal ini tidak mungkin.

- Jika Po > 0 tetapi cukup kecil, maka lereng berada dalam kondisi seimbang

untuk nilai φ yang diasumsikan. Nilai φ dipakai sebagai sudut geser dalam

pada keadaan kemantapan batas.

Faktor keamanan lereng terhadap longsoran guling kemudian dihitung dengan

persamaan:

2

1

tantan

φφ

=Fk .......................................................................................................(3.14)

keterangan:

φ1 = sudut geser dalam sebenarnya di lapangan

φ2 = sudut geser dalam pada kemantapan batas

3.3. Klasifikasi Massa Batuan (Geomechanics Classification - RMR)

Bieniawski (1976) mempublikasikan suatu klasifikasi massa batuan yang disebut

Klasifikasi Geomekanika atau lebih dikenal dengan Rock Mass Rating (RMR).

Setelah bertahun-tahun, klasifikasi massa batuan ini telah mengalami penyesuaian

dikarenakan adanya penambahan data masukan sehingga Bieniawski membuat

perubahan nilai rating pada parameter yang digunakan untuk penilaian klasifikasi

massa batuan tersebut. Pada penelitian ini, klasifikasi massa batuan yang digunakan

Page 20: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-20

adalah klasifikasi massa batuan versi tahun 1989 (Bieniawski, 1989). 5 Parameter

utama dan 1 parameter kondisi yang digunakan dalam klasifikasi RMR yaitu:

1. Kuat tekan uniaxial batuan utuh.

2. Rock Quality Designatian (RQD).

3. Spasi bidang dikontinyu.

4. Kondisi bidang diskontinyu.

5. Kondisi air tanah.

6. Orientasi/arah bidang diskontinyu.

Pada penggunaan sistim klasifikasi ini, massa batuan dibagi kedalam daerah

struktural yang memiliki kesamaan sifat berdasarkan 6 parameter di atas dan

klasifikasi massa batuan untuk setiap daerah tersebut dibuat terpisah. Batas dari

daerah struktur tersebut biasanya disesuaikan dengan kenampakan perubahan

struktur geologi seperti patahan, perubahan kerapatan kekar, dan perubahan jenis

batuan.

Dalam klasifikasi massa batuan dengan Rock Mass Rating (RMR) system seperti

disajikan pada Tabel III.2., setiap parameter yang ditinjau mempunyai nilai rating

tersendiri. Nilai-nilai dari setiap parameter tersebut kemudian dijumlahkan untuk

memperoleh nilai RMR. Yang perlu mendapat perhatian pada penggunaan klasifikasi

massa batuan dengan sistim RMR ini adalah pada Bagian B yaitu pengaturan nilai

untuk orientasi bidang diskontinyu. Pada bagian tersebut penilaian rating dibagi ke

dalam 3 bagian yaitu: penilaian untuk terowongan, pondasi, dan lereng. Pada

penelitian ini, nilai rating yang digunakan adalah nilai rating untuk lereng.

Page 21: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-21

Tabel III.2. Rock Mass Rating System (After Bieniawski, 1989)

3.4. Aplikasi RMR untuk Kemantapan Lereng (SMR, Romana 1985)

Rock Mass Rating (RMR) diperkenalkan dan dikembangkan oleh Bieniawski (1973,

1984, 1989). RMR pertamakali dikembangkan untuk aplikasi pada terowongan dan

sangat baik untuk menggambarkan sifat massa batuan.

Page 22: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-22

Romana (1985) memperkenalkan suatu penyesuaian pada konsep RMR khusus untuk

lereng yang dikenal dengan Slope Mass Rating (SMR).

Slope Mass Rating (SMR) diperoleh dari nilai RMR yang dikoreksi oleh faktor-

faktor penyesuai yang tergantung kepada arah relative kekar dan lereng, dan metode

penggalian, yang diekpresikan dengan persamaan 3.15

4321 )( FxFxFFRMRSMR ++= ……………………………………..………….(3.15)

RMR berdasarkan proposal Bieniawski 1989 yang merupakan hasil penjumlahan 5

parameter yaitu: (i) kekuatan batuan utuh, (ii) RQD, (iii) spasi kekar, (iv) kondisi

kekar, dan (v) aliran air melalui bidang lemah.

Penyesuaian nilai kekar terdiri dari 4 faktor yaitu:

• F1 tergantung kepada kesejajaran antara arah jurus (strike) kekar dan muka

lereng. Nilainya berkisar antara 1.00 hingga 0.15. Nilai tersebut dapat pula

diekpresikan ke dalam rumus: F1 = (1 - sin A)2, dimana A adalah sudut antara

arah jurus kekar dan muka lereng.

• F2 mengacu kepada kemiringan kekar (dip joint) pada keruntuhan bidang

(planar). Nilainya berkisar antara 1.00 hingga 0.15, dan sesuai dengan rumus:

F2 = tan2Bj, dimana Bj adalah sudut kemiringan kekar. Untuk keruntuhan

guling (toppling) F2 = 1.

• F3 merupakan hubungan antara kemiringan lereng dan kemiringan kekar.

Nilai ini merupakan juga rating RMR untuk arah kekar.

• F4 merupakan faktor metode penggalian yang ditentukan secara empirik.

Page 23: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-23

Tabel III.3. Slope Mass Rating (Romana, 1985)

50 - 25

4

50 - 25 < 258 3

200 - 60 < 608 5

SLICKENSIDED WALS OR GOUGE <5mm, OR SEPARATION 1-5mm

CONTINUOUS

SOFT GOUGE >5mm, OR SEPARATION >5mm

CONTINUOUS

10 0DRIPPING (25-125 L/M) FLOWING (>125 L/M)

4 0

VERY UNFAVOURABLE

1.00

> 45o

1.00

< (-10o)-

-60

DEFICIENT BLASTING-8

CLASS VaDESCRIPTION VERY GOOD

STABILITY COMPLETELY STABLE

FAILURES NONE

SUPPORT NONE

PLANE FAILUREWEDGE FAILURE

TOPPLINGMASS FAILURE

RE-EXCAVATIONDRAINAGECONCRETE

REINFORCEMENTPROTECTIONNO SUPPORT

RE-EXCAVATION IMPORTANT/CORRECTIVE SYSTEMATIC OCCASIONAL

BIG PLANAR OR SOIL-LIKE PLANAR OR BIG WEDGES SOME JOINTS OR MANY WEDGES

SOME BLOCKES

COMPLETELY UNSTABLE UNSTABLE PARTIALLY STABLE STABLE

F3 VALUERELATIONSHIP

F4 ADJUSTING FACTOR FOR EXCAVATION METHOD

F4 VALUE

TOPPLING FAILURE - F2 VALUE

RELATIONSHIPPLANE FAILURE βj−βs=

TOPPLING FAILURE βj + βs=

F1 VALUERELATIONSHIP

| β j |=PLANE FAILURE - F2 VALUE

Table b SMR = RMRb + (F1 x F2 x F3) + F4 (ROMANA, 1985)

ADJUSTING FACTORS FOR JOINTS (F1, F2, F3, F4)PLANE FAILURE |αj−αs|=

TOPPLING FAILURE |αj−αs-180|=> 30o 30o - 20o 20o - 10o 10o - 5o <5o

RQD (%) ROCK QUALITY DESIGNATION

SPACING (mm) BETWEEN DISCONTINUITIES

CONDITION OF DISCONTONUITIES, ROUGNESS, PERSINTENCE SEPARATION, WEATHERING OF WALLS AND GOUGE

GROUNDWATER IN JOINTS (PORE PRESSURE RATIO)

15 10 8 0

F3 = BIENIAWSKI ADJUSMENT RATINGS FOR JOINTS ORIENTATION, 1976

F4 = EMPIRICAL VALUES FOR METHOD OF EXCAVATION

NATURAL SLOPE PRESPLITING SMOOTH BLASTING NORMAL BLASTING OR MECHANICAL

0 -6 -25 -50< 110o 110o - 120o >120o -> 10o 10o - 0o 0o 0o - (-10o)

< 20o 20o - 30o

1.00F2 = TAN2βj

0.15 0.40 0.70 0.85

0.40 0.70 0.85

30o - 35o 35o - 45o

15 10 7

F1 = (1 - SIN |αj−αs|)2

α j = DIP DIRECTION OF JOINT, αs = DIP DIRECTION OF SLOPE, βj = DIP OF JOINT, βs = DIP OF SLOPE

VERY FAVOURABLE FAVOURABLE FAIR UNFAVOURABLE

0.15

30 25 20COMPLETELY DRY (NONE) DAMP (<10 L/M) WET (10-25 L/M)

20 15 10

VERY ROUGH SURFACES, NO SEPARATION,

UNWEATHERED WALL ROCK, NOT CONTINUOUS

SLIGHTLY ROUGH, SEPARATION <1mm,

SLYGHTLY WEATHERED WALLS, NOT CONTINUOUS

SLIGHTLY ROUGH, SEPARATION <1mm,

HYGHLY WEATHERED WALLS

20 17 13

> 2000 2000 - 600 600 - 200

Table a RMRb = Basic RMR (Bieniawski, 1979)PARAMETER

UCS (Mpa) UNCONFINED COMPRESSIVE STRENGTH OF INTACT ROCK MATERIAL

Vb

INTERVAL

15 12 7

100 - 90

VERY BAD BAD

Table c DESCRIPTION OF SMR CLASSES

<250 250 - 100 100 - 50

FAIR GOOD

90 - 75 75 - 50

Table e SUGGESTED SUPPORT METHODS

SMR

Table d PROBABLE FAILURES ACCORDING SMR VALUESMAJOR NONE

NONENONE

< 2525-5 5-1 <1

2 00

IVb IVa IIIb IIIa IIb IIa IIIb IIIa

20 40 60 80 10010 30 50 70 90

VERY BIGMANY SOME VERY FEW NONE

15 55 75

MAJOR MINOR

65

POSSIBLE

RE-EXCAVATION WALLSSURFACE DRAINAGE, DEEP DRAINAGE

SHOTCRETE, DENTAL CONCRETE, RIBS, AND/OR BEAM S TOE WALLS

BOLTS ANCHORSTOE DITCH, TOE OR SLOPE FENCES NETS

SCALING NONE

Page 24: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-24

3.5. Kekuatan Massa Batuan

Dalam analisis desain suatu lereng, pondasi, dan terowongan, memperkirakan

kekuatan dan karakteristik deformasi suatu massa batuan adalah merupakan hal yang

sangat penting. Hal ini dikarenakan kekuatan batuan utuh yang didapatkan dari

pengujian laboratorium belum mencerminkan kekuatan massa batuan. Gambar 3.10.

memperlihatkan perbandingan kekuatan batuan utuh terhadap massa batuan. Untuk

itu diperlukan adanya rumusan yang menghubungan kekuatan batuan utuh dengan

kekuatan massa batuan. Hoek dan Brown (1980) memperkenalkan rumusan untuk

memperkirakan kekuatan massa batuan berdasarkan kepada hubungan antara blok

batuan dan kondisi permukaaan diantara blok batuan tersebut. Sejak diperkenalkan

pertama kali, rumusan ini telah mengalami modifikasi dengan menambahkan

beberapa parameter yang sebelumnya tidak dipertimbangkan pada rumusan tersebut.

Rumusan Hoek-Brown yang dipakai pada penelitian ini adalah kriteria keruntuhan

Hoek-Brown edisi 2002.

Gambar 3.10. Diagram idealisasi transisi dari batuan utuh ke massa batuan yang terkekarkan

(Hoek dan Brown, 1980)

Page 25: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-25

3.5.1. Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown (Edisi 2002)

Kriteria keruntuhan Hoek-Brown pertama kali dikembangkan untuk analisa

terowongan pada massa batuan terkekarkan didefinisikan dengan persamaan 3.16.

a

cibci sm ⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛++=

σσ

σσσ 331

''' .................................................................................(3.16)

σ’1 dan σ’3 adalah tegangan efektif maksimum dan minimum pada saat runtuh, mb

konstanta Hoek-Brown m untuk massa batuan, s dan a adalah konstanta yang

tergantung kepada karakteristik massa batuan, dan σci adalah nilai kuat tekan batuan

utuh. Untuk batuan utuh, nilai s dan a ditetapkan 1 dan 0.5 sehingga rumusan Hoek-

Brown untuk batuan utuh dihitung dengan persamaan 3.17.

5.0

331 1

''' ⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛++=

ciici mσσ

σσσ …………………………………………………..(3.17)

3.5.2. Geological Strength Index (GSI) dan Rock Mass Rating (RMR)

Kekuatan massa batuan terkekarkan tergantung kepada sifat/kekuatan batuan utuh

dan juga kepada bebas tidaknya blok-blok batuan yang menyusun massa batuan

untuk meluncur dan berotasi dibawah kondisi tegangan yang berbeda. Hal tersebut

dikontrol oleh bentuk geometri dari blok-blok batuan penyusun massa batuan

maupun kondisi permukaan bidang pemisah antar blok-blok batuan tersebut. Suatu

blok batuan yang menyudut dengan bidang permukaan kasar akan mempunyai

Page 26: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-26

kekuatan massa batuan yang lebih besar dibandingkan dengan dengan blok batuan

yang membundar dan bidang permukaanya terlapukan.

Geological Strength Index (GSI) diperkenalkan oleh Hoek (1995) dan Hoek, Kaiser,

dan Bawden (1995) ditujukan untuk memperkirakan berkurangnya kekuatan suatu

massa batuan yang disebabkan oleh kondisi geologi yang berbeda. Sistem GSI ini

dapat dilihat pada Table III.4.

Setelah nilai GSI diperoleh, parameter-parameter yang menggambarkan karakteritik

kekuatan massa batuan dapat dihitung dengan persamaan 3.18 hingga 3.20.

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

−−

=D

GSImm ib 1428100exp .....................................................................................(3.18)

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

−−

=D

GSIs39100exp ............................................................................................(3.19)

⎟⎠⎞⎜

⎝⎛ −+=

−− 32015/

61

21 eea GSI ..................................................................................(3.20)

D adalah faktor kerusakan (disturbance factor) yang tergantung kepada derajat

kerusakan massa batuan yang disebabkan oleh peledakan maupun pelepasan

tegangan. Untuk GSI>25, nilai GSI tersebut dapat diperkirakan dari nilai RMR89

dengan rumus GSI = RMR89 – 5, dimana nilai RMR89 ditetapkan untuk rating muka

Page 27: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-27

air tanah adalah 15 dan arah bidang diskontinyu adalah 0, sehingga rumusan di atas

dapat ditulis pula sebagai:

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

−−

=D

RMRmm ib 142895exp .....................................................................................(3.21)

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

−−

=D

RMRs39

95exp ............................................................................................(3.22)

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−+=

−−−3

2015

61

21 eea

RMR

..................................................................................(3.23)

Tegangan normal dan tegangan geser dihitung dengan persamaan yang

dipublikasikan oleh Balmer (2002):

1''

1''

.2

''2

'''

3

1

3

1

3131

+

−−

−+

=

σσσσ

σσσσσ

dddd

n ......................................................................(3.24)

( )1'/'

'/'''

31

3131 +

−=σσ

σσσστ

dddd

.................................................................................(3.25)

dimana, ( ) 1331 /'1'/' −++= a

cibb smamdd σσσσ .................................................(3.26)

3.5.3. Parameter Mohr-Coulomb

Parameter geoteknik yang banyak digunakan saat ini adalah berdasarkan kriteria

keruntuhan Mohr-Coulomb, sehingga perlu ditentukan kesetaraan nilai kohesi (c)

dan sudut geser dalam (φ) untuk setiap massa batuan. Hal ini dilakukan dengan cara

mencocokan kurva hasil perhitungan kriteria keruntuhan Hoek-Brown untuk

berbagai nilai tegangan principal minimum seperti dapat dilihat pada Gambar 3.11.

Page 28: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-28

Tabel III.4. Nilai GSI berdasarkan deskripsi kondisi geologi (Hoek,1995)

Page 29: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-29

Gambar 3.11. Hubungan antara Hoek-Brown dan Mohr-Coulomb

Nilai φ dan c dapat dihitung dengan persamaan 3.27 dan 3.28 berikut:

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡++++

+= −

−−

13

131

)'(6)2)(1(2)'(6

sin' anbb

anbb

msamaamsam

σσ

φ …………..………………….(3.27)

[ ]( )( )( ) ( ) ( )( ))21/()'(6121

'')1()21('

13

133

aamsamaa

msmasac

anbb

anbnbci

++++++

+−++=

σ

σσσ ....………...………(3.28)

keterangan: σ’3n=σ’3max/σci

σ’3max dicari dengan persamaan 3.29 dan 3.30:

94.0max3 '

47.0'

'−

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛=

Hcm

cm γσ

σσ

, untuk terowongan dimana H=kedalaman ..................(3.29)

91.0max3 '

72.0'

'−

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛=

Hcm

cm γσ

σσ

, untuk lereng dimana H=tinggi lereng …………..…...(3.30)

Page 30: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-30

σ’cm adalah kekuatan massa batuan global (global strength) yang dicari dengan

persamaan 3.31:

'sin1'cos'2'

φφσ

−=

ccm atau

( )( ))2)(1(2

4/)8(4.'

1

aasmsmasm a

bbbcicm ++

+−−+=

σσ …………(3.31)

Setelah semua parameter Mohr-Coulomb didapat, kriteria keruntuhan Mohr-

Coulomb dapat ditulis dengan persamaan 3.32 dan 3.33:

'tan' φστ nc += ………………………………………..……………………….(3.32)

dan

31 ''sin1'sin1

'sin1'cos'2' σ

φφ

φφσ

−+

+−

=c ………………………….………………………..(3.33)

3.5.4. Faktor Kerusakan (Disturbance Factor, D)

Mendesain suatu lereng pada suatu tambang terbuka dengan kriteria Hoek-Brown

dengan asumsi massa batuan insitu tidak terganggu (undisturb in-situ rock masses)

dimana D=0 adalah terlalu optimistic (Hoek 2002). Kerusakan massa batuan dapat

disebabkan oleh peledakan dan pelepasan tegangan (stress relief) akibat lepasnya

overburden. Oleh karena itu harus dipertimbangkan adanya faktor untuk

mempertimbangkan tingkat kerusakan massa batuan akibat proses tersebut di atas.

Untuk mengakomodasi hal tersebut, Hoek (2002) memperkenalkan faktor kerusakan

massa batuan (disturbance factor) D yang merupakan nilai tingkat kerusakan massa

batuan yang diakibatkan oleh peledakan maupun pelepasan tegangan. Pedoman

untuk menentukan besaran nilai D disajikan pada Tabel III.5.

Page 31: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-31

Tabel III.5. Pedoman untuk memperkirakan faktor kerusakan D (Hoek, 2002) Appearance of rock m ass Description of rock m ass Suggested

value of D

Excellent quality controlled blasting or excavation by Tunnel Boring Machine results in m inim al disturbance to the confined rock m ass surrounding a tunnel.

D = 0

Mechanical or hand excavation in poor quality rock m asses (no blasting) results in m inim al disturbance to the surrounding rock m ass. W here squeezing problem s result in significant floor heave, disturbance can be severe unless a tem porary invert, as shown in the photograph, is placed.

D = 0 D = 0.5

No invert

Very poor quality blasting in a hard rock tunnel results in severe local dam age, extending 2 or 3 m , in the surrounding rock m ass.

D = 0.8

Sm all scale blasting in civil engineering slopes results in m odest rock m ass dam age, particularly if controlled blasting is used as shown on the left hand side of the photograph. However, stress relief results in som e disturbance.

D = 0.7 Good blasting

D = 1.0 Poor blasting

Very large open pit m ine slopes suffer significant disturbance due to heavy production blasting and also due to stress relief from overburden rem oval. In som e softer rocks excavation can be carried out by ripping and dozing and the degree of dam age to the slopes is less.

D = 1.0 Production

blasting D = 0.7

Mechanical excavation

3.6. Karakteristik Geser Lapisan Pembawa Batubara

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa kestabilan lereng dapat berubah terhadap

waktu. Perubahan kestabilan lereng terhadap waktu tersebut terutama disebabkan

oleh proses pelapukan yang terjadi secara intensif di daerah tropis seperti di

Indonesia.

Page 32: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-32

Untuk mengetahui perubahan besaran parameter pembentuk lereng yang

mempengaruhi berubahnya kestabilan suatu lereng, studi karakteristik geser terhadap

lapisan pembawa batuabara seperti batulempung dan batulanau perlu dilakukan. Pada

studi tersebut, termasuk juga penentuan kekuatan jangka panjang dari lapisan

pembawa batubara tersebut.

3.6.1. Perilaku Terhadap Waktu (Time Dependent Behaviour)

Perilaku terhadap waktu dari suatu material dapat didekati dengan kombinasi dua

model rheologi, yaitu Hooke dan Newton. Melihat persamaan dasar perilaku

terhadap waktu, terlihat bahwa tidak ada persamaan umum yang cukup untuk

mendefinisikan sifat rheologi suatu material.

Sejauh ini, uji rayapan uniaksial di laboratorium merupakan metode yang banyak

digunakan untuk menentukan perilaku terhadap waktu dari suatu material. Goodman

(1989) mengklasifikasikan rayapan uniaksial menjadi 4 tahap, yaitu: regangan elastik

seketika (εo), rayapan primer (I), rayapan sekunder (II), dan rayapan tertier (III)

seperti dapat dilihat pada Gambar 3.12.

Gambar 3.12. Kurva Rayapan Uniaksial (Goodman, 1989)

Page 33: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-33

Regangan elastik seketika terjadi segera setelah tegangan diberikan pada contoh

batuan dan diikuti oleh rayapan primer. Pada tahap ini contoh akan kembali ke

keadaan semula jika tegangan yang bekerja dihilangkan (OQR). Rayapan sekunder

diindikasikan oleh regangan dengan kecepatan konstan dan ketika tegangan

dihentikan telah terjadi regangan permanen (TUV). Pada rayapan tersier, kecepatan

regangan elastik akan meningkat hingga contoh mengalami keruntuhan.

3.6.2. Model Rheologi

Rheologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari penomena aliran atau

perpindahan suatu material. Terdapat beberapa model rheologi yang dapat digunakan

untuk menggambarkan perilaku mekanik suatu material, dari model yang sederhana

hingga yang komplek. Tabel III.6. memperlihatkan model rheologi dan simbolnya

yang umumnya digunakan untuk analisis mekanik dan diasumsikan diterapkan untuk

penentuan kekuatan geser.

Tabel III.6. Model Rheologi

Page 34: BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya

3-34

3.6.3. Kekuatan Jangka Panjang

Tegangan yang dikenakan pada contoh batuan dalam uji rayapan biasanya lebih kecil

daripada tegangan yang dikenakan pada uji standar seperti uji tekan uniaksial, dan uji

geser langsung. Dengan memplot besarnya tegangan terhadap waktu keruntuhan,

kekuatan jangka panjang dari contoh batuan dapat diperkirakan seperti dapat dilihat

pada Gambar 3.13.

Uji rayapan dapat dilakukan berdasarkan pada beban tetap menerus (continuous

constant) ataupun beban banyak tahap (multistage loads). Pada beban tetap menerus

memerlukan banyak contoh batuan, sedangkan pada beban banyak tahap

memerlukan lebih sedikit contoh batuan walaupun beban yang diberikan telah

terpengaruh oleh beban sebelumnya.

Gambar 3.13. Penentuan Kekuatan Jangka Panjang