bab 3 kajian teori1.doc

Upload: haris-setiadi

Post on 08-Jan-2016

230 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Penyusunan Studi Kelayakan Pembangunan Jalan dan Jembatan Antar PulauKabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau

3.1. PERANCANGAN KOTA2.1.1 Pengertian Umum Perancangan KotaPerancangan merupakan suatu proses dan hasil pengorganisasian pengintegrasian seluruh komponan lingkungan (alam dan buatan) dalam kaitannya dengan tanggapan indrawi manusia terhadap kualitas lingkungan fisik kota, baik alami maupun binaan sebagai upaya penciptaan lingkungan fisik kota yang lebih manusiawi dan nyaman untuk ditempati meningkatkan sense of plan nilai estetis serta keindahan perwjahan kota (Branch, 1994.200). Urban design pada dasarnya adalah perancangan fisik dan ruang dari lingkungan suatu kawasan, termasuk didalamnya aturan pengendaliannya.2.1.2 Pendekatan Perancangan Kota (Urban Design)Perancangan kota (urban design) telah berkembang terlebih dahulu di negaranegara Eropa Barat dan Amerika. Perkembangan tersebut ditandai dengan beragamnya definisi dan substansi mengenai urban design yang berkembang hingga saat ini.

Urban design dalam prosesnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu "sadar diri" dan "tidak sadar diri". Urban design yang "sadar diri" adalah yang diciptakan oleh orangorang yang menganggap diri mereka sebagai designer dan menggunakan keahlian desain mereka untuk menciptakan suatu lingkungan yang nyaman. Sedangkan urban design yang "tidak sadar diri" adalah yang diciptakan oleh orangorang yang tidak menganggap dirinya sebagai seorang desainer, tetapi mereka mempunyai peranan dalam mempengaruhi bentuk lingkungan perkotaan (Catanese, 1986).

Pengertian urban design dapat ditinjau dari segi profesi maupun dari segi disiplin keilmuan. Dari segi profesi, Beckly menjelaskan bahwa urban design merupakan suatu jembatan antara profesi perencana kota dengan arsitektur dengan perhatian utama pada bentuk fisik kota (Catanese, 1986).

Berdasarkan disiplin keilmuan, urban design merupakan bagian dari proses perencanaan yang berhubungan dengan kualitas lingkungan fisik kota (Shirvani, 1985). Lebih jauh lagi Shirvani mengatakan bahwa urban design merupakan kelanjutan dari urban planning, sebab bagaimanapun hasil perencanaan kota belum "selesai" atau belum dapat dilaksanakan. Dari pengertian di atas maka urban design memiliki tekanan pada penataan lingkungan fisik kota.

Pendekatan perancangan kota menurut John Lang terdiri dari dua pendekatan, yaitu:a. Elemen Substantif (Substantive Elements)Merupakan elemen yang bersifat fisik maupun non fisik yang membentuk kualitas lingkungan. Lingkungan tersebut dapat bersifat sosiogenik maupun biogenik.

Lingkungan yang Bersifat Sosiogenik

Ketentuan rancang kota harus dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan fisiologis, perlindungan, rasa aman, adanya hubungan sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. Disamping itu juga harus memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat kognitif (tata nilai yang berlaku dalam masyarakat) dan estetis. Dalam kaitannya dengan elemen sosiogenik ada tiga hal penting yang perlu disoroti yaitu aspek kultural masyarakat, tata nilai umum, dan aspek perilaku (behavioural) .

Lingkungan yang Bersifat Biogenik

Suatu rancang kota harus dapat mempertahankan kelangsungan dan keseimbangan ekologis.

b. Elemen Prosedural (Procedural Elements)

Adalah elemen yang memuat proses rancang kota yang melibatkan berbagai pelaku dan kebijakan yang berlaku.

3.2. Elemen-elemen Perancangan Kota (Urban Design)

Elemen Urban Design atau elemen perancangan kota terdiri dari pola penggunaan lahan (land use), bentuk dan massa bangunan (building form and massing), sirkulasi dan parkir (circulation and parking), ruang terbuka kota (open space), fasilitas pejalan kaki (pedestrian ways), pendukung aktivitas (activity support), elemen penandaan (signage), dan preservasi (preservation). Elemen-elemen tersebut disusun dengan berbagai kriteria untuk menciptakan kawasan kota yang ideal (Shirvani, 1985).2.1.3 Penggunaan Lahan (Land Use)

Penggunaan lahan diperoleh dari hasil RUTRK dan RDTRK, yang akan mengarahkan penggunaan lahan pada suatu lokasi atau site. Penggunaan lahan tersebut dapat secara horisontal maupun vertikal. Dalam hal ini termasuk dalam penggunaan lahan pada elemen perancangan kota, antara lain adalah:

Tipe penggunaaan dalam suatu area

Spesifikasi fungsi dan ketekaitan antar fungsi dengan pusat kota.

Ketinggian bangunan

Skala fungsi

Tata guna lahan merupakan elemen kunci dalam perancangan kota (urban design), karena berdasarkan tata guna lahan dilakukan pengembangan dan pembangunan kawasan kota. Tata guna lahan adalah hasil perencanaan kota dalam bentuk dua dimensi. Dari tata guna lahan tersebut dilakukan proses lanjutan yaitu perancangan kota.

2.1.4 Bentuk dan Massa Bangunan (Building Form and Massing)Pada bentuk dan massa bangunan, menurut The Urban Design Plan of Fransisco (1970) berkaitan dengan tinggi dan besaran bangunan, penampilan bangunan dan konfigurasi. Tinggi dan besaran bangunan berkaitan erat dengan FAR. Penampilan dan konfigurasi bangunan meliputi warna bangunan, materi, skala, proporsi, harmoni, tekstur, dan bentuk penampilan (faade form).

Bentuk dan massa bangunan merupakan tahap lanjutan dari pola penggunaan lahan, yaitu tahap yang memberikan pertimbangan tiga dimensi dalam perancangan fisik kota. Aspek ini sangat berkaitan dengan ketinggian dan besar (volume bangunan). Penataan secara vertikal (tiga dimensi) dalam ruang kota akan membentuk konfigurasi dan wajah bangunan (Shirvani, 1985).

Berkaitan dengan bentuk dan massa bangunan, berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:

Skala yang mempengaruhi pandangan, sirkulasi, struktur dan ukuran lingkungan.

Pembentukan ruang kota yang merupakan elemen utama perancangan fisik akan mempengaruhi bentuk kota, skala dan rasa enclosure, serta jenis ruang kota.

Pembentukan massa bangunan meliputi struktur bangunan, permukaan tanah dan penempatan obyek dalam ruang.

2.1.5 Sirkulasi dan Parkir (Circulation dan Parking)Sirkulasi yang dimaksud disini adalah sirkulasi untuk kendaraan, baik bermotor maupun tidak bermotor. Sirkulasi tersebut meliputi pencapaian, besaran, kapasitas, dan arah sirkulasi. Parkir dalam hal ini dibedakan menjadi parkir individu dan umum. Untuk sirkulasi dan parkir sangat berpengaruh pada visual kota, besaran bangunan, aktivitas dan hidup-nya kota.

Sirkulasi merupakan elemen penting bagi pembentukan struktur lingkungan kota karena sirkulasi dapat membagi, mengarahkan dan mengontrol pola aktivitas (Shirvani, 1985). Pola sirkulasi dapat pula menjadi dasar utama perancangan sebagaimana teori jaringan (Linkage Theory).Dalam skala mikro kawasan dan ruang unsur-unsur sirkulasi meliputi pencapaian terhadap suatu obyek, bentuk jalan masuk (gerbang), konfigurasi bentuk (tahapan visual) jalan, hubungan antara ruang dengan jalan serta bentuk ruang sirkulasi (D.K Ching, 1985). Unsur-unsur sirkulasi harus dipertimbangkan dalam penataan kawasan.

Parkir sebagai bagian dari sirkulasi memiliki pengaruh pada lingkungan kota yaitu mendukung aktivitas komersial di pusat kota dan memberi dampak visual pada bentuk fisik dan struktur kota.

2.1.6 Ruang Terbuka (Open Space)Pengertian ruang terbuka sendiri ada bermacam-macam. Dalam perancangan kota, ruang terbuka didefinisikan sebagai lansekap (lanscape), jalan dan pedestrian ways (hardscape), taman dan rekreasi terbuka.

Ruang terbuka kota adalah kawasan yang tidak terbangun atau yang secara dominan lahannya tidak terbangun pada area kota dan memiliki fungsi untuk taman dan rekreasi, konservasi tanah dan sumber-sumber alam, serta tujuan pendidikan dan perlindungan nilai-nilai sejarah (Green, 1962: xiv-20).

Ruang terbuka dapat berupa lansekap (ruang terbuka hijau dan alami) maupun hardscape (ruang terbuka terbangun). Ruang terbuka memiliki banyak fungsi yang essensial bagi pembentukan lingkungan kota yang manusiawi. Di samping itu, ruang terbuka sangat berpotensi bagi pemenuhan kebutuhan public space seperti taman dan ruang rekreasi.

Ruang-ruang terbuka pada perancangan kota-kota masa lalu selalu dipergunakan sebagai elemen orientasi dan landmark kota yang memiliki nilai-nilai spiritual, sosial dan estetis. Pada saat itu nilai-nilai tersebut bergeser menjadi nilai sosial, estetis dan ekonomi. Karena itu keberadaan ruang terbuka kota mutlak dipertimbangkan dalam perencanaan kota.

Ruang terbuka yang ada di lokasi studi sebagian besar adalah hardscape (jalan dan pedestrian ways) dengan vegetasi di sisi kanan dan kiri jalan yang terkesan seadanya, sedangkan ruang terbuka yang berbentuk softscape (taman) tidak ditemui.

2.1.7 Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways)

Pedestrian ways sengaja dipisahkan dengan sirkulasi dan parkir, mengingat pedestrian ways mempunyai skala tersendiri yakni skala pejalan kaki. Skala pejalan kaki berbeda dengan skala kendaraan, karena skala pejalan kaki akan menjadikan lingkungan kota menjadi lebih detail meliputi pola aktivitas (retail), persyaratan lingkungan (udara, kebisingan, dan lain sebagainya) dan keamanan sirkulasi terhadap kendaraan. Pedestrian ways berkaitan dengan:

Aktivitas yang mendukung

Street furniture

Transportasi umum

Dalam pembangunan fisik kota hingga saat ini fasilitas untuk pejalan kaki masih sering dilalaikan (Shirvani, 1995). Padahal jalur pejalan kaki ini merupakan salah satu bagian yang essensial dalam perancangan kota. Jalur pedestrian ini tidak hanya bagian dari program keindahan melainkan juga mendukung kegiatan perdagangan (retail) dan meningkatkan vitalitas kota.

Hal yang perlu mendapat perhatian dalan perancangan jalur pedestrian adalah interaksi antara pejalan kaki dengan jalur kendaraan tetap terakomodasi, disamping pertimbangan kesesuaian fungsi dengan kebutuhan, kenyamanan fisik dan psikologis.

A. Jarak berjalan kaki

Panjang atau jarak orang untuk berjalan kaki umumnya berbeda-beda tergantung kebiasaan manusia yang melakukannya, disamping adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.

Menurut Unterman (1984), ada empat faktor yang mempengaruhi panjang/jarak orang untuk berjalan kaki, yaitu:a) Waktu

Berjalan kaki pada waktu-waktu tertentu mempengaruhi panjang/jarak berjalan yang mampu ditempuh. Misalnya berjalan kaki pada waktu rekreasi mempunyai jarak yang relatif, sedangkan waktu berbelanja kadang dapat dilakukan selama 2 jam dengan jarak sampai 2 mil tanpa disadari sepenuhnya oleh si pejalan kaki.

b) Kenyamanan

Kenyamanan orang untuk berjalan kaki dipengaruhi oleh faktor cuaca dan jenis aktivitas. Iklim yang jelek akan mengurangi keinginan orang untuk berjalan kaki. Jarak tempuh orang berjalan kaki di Indonesia 400 meter (Kompas, 4 April 1989), sedang untuk aktivitas berbelanja membawa barang, berjalan kaki diharapkan tidak lebih dari 300 meter.

c) Ketersediaan kendaraan bermotor

Kesinambungan penyediaan moda angkutan kendaraan bermotor baik umum maupun pribadi sebagai moda penghantar sebelum atau sesudah berjalan kaki. Ketersediaan fasilitas kendaraan angkutan umum yang memadai akan mendorong orang untuk berjalan lebih jauh dibanding dengan apabila tidak tersedia fasilitas transportasi lainnya, seperti jaringan jalan yang baik, kemudahan parkir dan lokasi penyebaran serta pola penggunaan lahan campuran (mixed use) dan sebagainya.

d) Pola tata guna lahan

Pada daerah dengan penggunaan lahan campuran (mixed use) seperti yang banyak ditemui di pusat kota, perjalanan dengan berjalan kaki dapat dilakukan lebih cepat dibanding perjalanan dengan kendaraan bermotor karena dengan kendaraan bermotor sulit untuk berhenti setiap saat.B. Prasarana pejalan kaki

Macam fasilitas untuk menampung pejalan kaki dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a) Jalur pejalan kaki yang dibuat terpisah dari jalur kendaraan umum, biasanya terletak bersebelahan atau berdekatan. Pejalan kaki melakukan kegiatan berjalan kaki sebagai sarana angkutan yang akan menghubungkan tempat tujuan. Diperlukan fasilitas yang akan terhadap bahaya kendaraan bermotor dan mempunyai permukaan rata, berupa trotoar dan terletak di tepi jalan raya.

b) Jalur pejalan kaki yang digunakan sebagai jalur menyeberang untuk mengatasi dan menghindari konflik dengan moda angkutan lain, yaitu: lajur penyeberangan jalan, jembatan penyerang, atau jalur penyeberangan bawah tanah. Untuk itu diperlukan fasilitas yang berupa: zebra cross, skyway, dan subway.

c) Jalur pejalan kaki yang bersifat rekreatif dan mengisi wkatu luang, yang terpisah sama sekali dari jalur kendaraan bermotor dan biasanya dapat dinikmati secara santai, tanpa terganggu kendaraan bermotor. Pejalan kaki dapat berenti dan beristirahan pada bangku-bangku yang disediakan, fasilitas ini berupa plasa pada taman-taman kota.

d) Jalur pejalan kaki yang digunakan untuk berbagai aktivitas, untuk berjualan, duduk santai, dan berjalan-jalan sambil melihat etalase pertokoan yang biasanya disebut mall.Tabel III.1

Karakteristik Jalur Pedestrian berdasarkan Fungsinya

NoNama Jalur PedestrianFungsi/KegunaanKarakteristik

1TrotoarBerjalan kaki di pinggir jalan kendaraan Arah jelas

Lokasi di tepi jalan bebas hambatan

Permukaan rata (maks. 5%), lebar 1,5 2 meter

2Jalur penyebarangan (zebra cross)Menghindari konflik dengan kendaraan Menyilang di atas jalan, dilengkpai traffic light

Lebar 2 4 meter

Frekuensinya tertentu

3PlasaKegiatan santai dan rekreatif Bebas kendaraan

Space lapang

Lebar bervariasi

Ada fasilitas pendukung

4MallTempat berjalan kaki di kawasan perbelanjaan Terpisah dari jalur kendaraan

Di pertokoan

Plasa kecil

Lebar bervariasi

Ada fasilitas pendukung

5SubwayTempat berjalan kaki yang menghubungkan antar banguan di bawah tanah Berupa terowongan bawah tanah

Di lengkapi pengkondisian udara dan penerangan

Bebas lalu lintas kendaraan

6SkywayTempat berjalan kaki yang menghubungkan bangunan di atas tanah Berupa jembatan penyeberangan antar bangunan

Sirkulasi pejalan kaki menerus

Bebas lalu lintas kendaraan.

Sumber: Teori Perancangan Urban, ITB, 1991.

C. Faktor Pendorong Berjalan Kaki

Penyediaan moda jalan kaki yang menyenangkan, aman dan nyaman akan menarik orang-orang untuk menggunakan moda ini sesuai dengan tujuan perjalanan yang dipilihnya. Orang yang cenderung berjalan kaki merasa lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah daripada mengendarai kendaraan (Untermann, 1984: 23).

Aktivitas berjalan kaki membutuhkan persyaratan, antara lain:

a) Aman, mudah/leluasa bergerak dengan cukup terlindung dari lalu lintas kendaraan bermotor.

b) Menyenangkan, dengan rute-rute yang pendek dan jelas, serta bebas hambatan dan kelambatan waktu yang diakibatkan kepadatan pejalan kaki.

c) Mudah dilakukan ke segala arah, tanpa kesulitasn, hambatan dan gangguan yang disebabkan ruang yang sempit, permukaan lantai naik turun dan sebagainya.

d) Daya tarik pada tempat-tempat tertentu diberikan elemen yang dapat menimbulkan daya tarik seperti elemen estetika, lampu-lampu penerangan jalan, lansekap/taman dan lain-lain.

D. Standar-standar Kenyamanan Berjalan Kaki

Standar digunakan untuk mengetahui dimensi ideal suatu elemen jalan yang akan digunakan oleh manusia, sehingga pengguna dapat menikmati elemen-elemen tersebut secara nyaman, aman serta mempunyai kaidah seni yang tinggi. 1. Standar Kenyamanan

Standar kenyamanan yaitu kenyamanan orang dalam berjalan kaki yang banyak dipengaruhi oleh faktor cuaca (suhu udara dan hujan) dan jenis kegiatannya. Kenyamanan yang diharapkan dapat menjadikan aktivitas manusia meningkat, serta menimbulkan suasana yang tidak terlalu panas, maka perlu adanya penutup atau benda yang digunakan untuk pembayangan dengan memberikan tanaman atau cantilever pada suatu bangunan agar sinar matahari tidak secara langsung mengenai obyek di bawahnya.

a. Pohon sebagai penyejuk lingkungan, dapat dilihat pada proses respirasi sebuah pohon.

b. Pohon peneduh sebagai pelunak iklim sekitarnya, maksudnya dapat memberikan aspek kesejukan dan kenyamanan.

c. Pohon peneduh sebagai barier, dapat memberikan kontribusi penyerapan suara dari kebisingan suara kendaraan bermotor, sehingga suara tersebut dapat dieliminir.

d. Pohon peneduh sebagai fungsi estetika ( penghias/estetika yang dapat dicapai melalui pertimbangan: penentuan jenis pohon dan perletakan pohon.

2. Standar Dimensional

a. Kenyamanan secara fisik: secara psikologis pejalan kaki merasa nyaman dan aman dan dapat dilihat dari desain jalur pejalan kaki memiliki lebar minimum 2,5-4 meter. Berdasarkan elemen pendukung, pada trotoar bisanya diberi fasilitas lain sebagai elemen pendukung (Standar Perencanaan Tapak, De Chiara) antara lain adalah: lampu penerangan, adapun jenis lampu penerangan antara lain:

Lampu penerangan dengan sorot rendah: ketinggian di bawah pandangan mata, sorot lamp yang mengarah untuk tujuan tertentu, dan biasanya hanya untuk penerangan bagian bawah.

Lampu untuk pejalan kaki: ketinggian 1 1,5 meter, dapat digunakan untuk berbagai kepentingan.

Lampu penerangan umum: ketinggian rata-rata 2 3 meter, digunakan untuk daerah rekreasi, kawasan komersial, perumahan dan area industri.

Lampu penerangan parkir: ketinggian rata-rata 3 5 meter, digunakan untuk keamanan area parkir.

Lampu dengan tiang tinggi: ketinggian rata-rata 6 10 meter, sebagai penerangan dengan radius luas.

Selain lampu penerangan, pada jalur pejalan kaki akan lebih nyaman apabila terdapat sitting group atau tempat duduk pada lokasi tertentu, rambu lalu lintas yang jelas, pohon peneduh yang cukup, dan street furniture lain yang melengkapi fasilitas pada jalur pejalan kaki, seperti: telepon umum, tempat sampah, dan halte bus.

Berbagai elemen pendukung jalan (street furniture) tersebut biasanya didesain pada jalur pejalan kaki, namun harus diperhatikan peletakannya agar tidak mengganggu aktivitas berjalan kaki, sehingga diperlukan desain, ukuran, dan karakter yang mencirikan kota yang bersangkutan.

b. Kenyamanan dari aspek bahan/material : untuk mewujudkan kenyamanan ini maka ada beberapa faktor yang harus diperhatikan khususnya pada trotoar yaitu permukaan suatu trotoar; permukaan harus bersifat stabil, relatif datar, dan tidak terlampau licin; permukaan trotoar mempunyai pola pewarnaan indah dan tekstur yang baik; permukaan trotoar tidak boleh ada genangan air dan mempunyai kemiringan ideal antara 5%.

c. Kenyamanan secara psikologis: kenyamanan secara psikologis ini menyangkut perasaan seseorang atas segala bentuk kenikmatan yang mempengaruhi jiwa dari elemen-elemen pendukung di suatu ruang. Dan perasaan itu akan timbul jika keberadaan elemen-elemen itu mampu memenuhi kebutuhan pejalan kaki diantaranya: Public Space, Public Domain, Conector Chanel, serta transit place (Lynch, 1984).2.1.8 Pendukung Aktivitas (Activity Support)

Activity support adalah segala bentuk penggunaan dan aktivitas yang mengisi ruang kota. Jenis-jenis aktivitas pengisi ruang kota dipengaruhi oleh karakteristik kegiatan masyarakat yang mendominasi ruang kota tersebut. Aktivitas-aktivitas tersebut antara lain perdagangan dan jasa, pemerintahan, permukiman, perkantoran, pendidikan, transportasi, rekreasi, budaya, dan lain sebagainya.

Activity support dalam Place Theory pada dasarnya adalah kegiatan penunjang yang menghubungkan dua atau lebih kegiatan yang ada di kota, bentuk kegiatannya dan ruang umum pendukung yang menunjang aktivitas masyarakat antara lain seperti penjualan, hiburan, dan penjualan fasilitas lainnya yang terbentuk dari fungsi kawasan. Kegiatan dari ruang umum pada suatu kawasan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling berinteraksi. Pendukung kegiatan karena adanya fasilitas ruang umum kota yang menunjang akan keberadaan ruang umum kota.

Pendukung kegiatan atau activity support adalah keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang umum kota dengan seluruh kegiatan yang menyangkut penggunaan ruang kota yang menunjang keberadaan ruang-ruang umum kota (Soemarsono, 1991). Terpusatnya kegiatan di suatu kota merupakan suatu sistem yang saling terkait. Kegiatan yang dominan memerlukan dukungan kegiatan lainnya. Urban space sebagai pendukung kegiatan (acitivity support) dalam wilayah urban yaitu dalam bentuk plaza, jalur pedestrian, area parkir, dll (Astuti, 1991).

Aktivitas secara umum dibedakan menjadi dua aktivitas di dalam dan luar bangunan (Mulyani, 1996). Aktivitas dan perkembangan kota mempunyai pengaruh terhadap lingkungan fisik. Makin maju perekonomian suatu kota maka akan makin banyak infrastruktur yang dibangun, sehingga berpengaruh terhadap fisik dan visual kota, yang terbentuk oleh fasilitas-fasilitas ekonomi kota. Venturi dalam Frey (1999) menyebutkan bahwa kota saat ini terbentuk bukan hanya oleh way of life, tetapi juga komunikasi dan teknologi transportasi serta kekuatan pasar. Semuanya ikut bertanggung jawab terhadap karakteristik dan arsitektur kota. Today the city is more than over shaped by economics forces, kekuatan pasar atau ekonomi turut menentukan bentuk kota.

Aktivitas komersial akan memperkuat ruang-ruang umum kota, karena saling melengkapi satu sama lain. Bentuk lokasi dan karakter koridor komersial akan menarik fungsi-fungsi dan aktivitas yang khas. Sebaliknya suatu aktivitas cenderung dialokasikan pada tempat yang paling mampu menyesuaikan keperluan-keperluannya. Saling ketergantungan antara ruang dan fungsi merupakan elemen penting dalam urban design. Untuk mendukung aktivitas bukan hanya menyediakan plaza dan jalan pedestrian saja, tetapi juga mempertimbangkan elemen fungsional kota yang membangkitkan aktivitas.

Activity support termasuk di dalamnya adalah semua fungsi dan kegiatan yang memperkuat ruang-ruang publik kota, antara aktivitas dan ruang-ruang fisik selalu saling melengkapi. Bentuk, lokasi, dan karakter suatu tempat spesifik akan menarik atau berpengaruh terhadap fungsi, penggunaan ruang dan aktivitas yang juga spesifik. Sebaliknya suatu kegiatan cenderung memperhatikan lokasi yang layak dan baik, akan mendukung kegiatan itu sendiri. Oleh karena itu dalam mendesain lingkungan kota yang baik tergantung dari seberapa besar aktivitas penggunaan lahan tersebut. Saling ketergantungan antara ruang dengan penggunaannya merupakan elemen penting dari perancangan kota. Pendukung kegiatan tidak hanya menyediakan jalur pedestrian atau plaza tapi juga mempertimbangkan fungsi utama dan penggunaan elemen-elemen kota yang dapat menggerakkan aktivitas. Termasuk pusat perbelanjaan, taman rekreasi, pusat perkantoran, perpustakaan umum, dll (Shirvani, 1985).

Bentuk pendukung kegiatan, yaitu :

Ruang terbuka, bentuk fisiknya dapat berupa taman rekreasi, taman kota, plaza-plaza, taman budaya, kawasan pedagang kaki lima, jalur pedestrian, kumpulan pedagang kecil, penjual barang-barang seni atau antik yang merupakan kelompok hiburan tradisional atau lokal.

Bangunan diperuntukkan bagi kepentingan umum atau ruang tertutup adalah kelompok pertokoan eceran (grosir), pusat pemerintahan, pusat jasa, kantor, departement store dan perpustakaan umum.

Fungsi utama pendukung kegiatan adalah :

Menghubungkan dua atau lebih pusat-pusat kegiatan umum

Menggerakkan fungsi kegiatan utama kota menjadi lebih hidup, menerus dan ramai.

Sedangkan tujuannya adalah :

Menciptakan kehidupan kota yang sempurna atau lebih baik

Mudah mengakomodasikan kebutuhan atau barang keperluan sehari-hari kepada warga atau masyarakat kota

Memberikan pengalaman-pengalaman yang memperkaya perbendaharaan si pemakai (urban experience) memberikan peluang tumbuh dan berkembangnya budaya urban melalui lingkungan binaan yang baik dan bersifat mendidik.

2.1.9 Penandaan (Signage)

Dalam kehidupan kota saat ini iklan atau advertensi merebak mengisi ruang visual kota melalui papan iklan, spanduk, baliho, umbul-umbul dan lain sebagainya. Hal ini sangat mempengaruhi visualisasi kota, baik secara makro maupun mikro dan skala kendaraan maupun pejalan kaki.

Elemen penandaan merupakan elemen yang memberi warna dan menggambarkan dinamisasi kehidupan kota. Tanda dapat berupa petunjuk yang dapat berkomunikasi langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect). Komunikasi langsung dapat menunjukkan lokasi, identitas bisnis dan jasa pelayanan. Sedangkan komunikasi tidak langsung dapat membentuk citra dan karakter tanda dan kawasan.

Secara fungsional tanda dapat berupa tanda pengenal (papan reklame, nama jalan, dan sebagainya) maupun tanda lalu lintas (traffic sign). Kedua jenis tanda ini akan bertambah secara cepat di pusat-pusat kota dan pusat kegiatan masyarakat lainnya. Tanpa adanya penataan dan pengendalian, maka keberadaan tanda-tanda ini akan menurunkan kualitas visual ruang kota dan mengesankan kesemrawutan. Demikian pula perancangan bentuk dan penataan elemen penunjuk yang kurang tepat menghasilkan kegagalan identitas suatu obyek.

2.1.10 Preservasi (Preservation)

Preservasi yang dimaksudkan dalam perancangan kota adalah perlindungan terhadap lingkungan tempat tinggal (permukiman) yang ada dan urban place (alun-alun, plasa, area perbelanjaan) yang ada dan mempunyai ciri khas, seperti halnya perlindungan terhadap bangunan bersejarah. Manfaat dari preservasi tersebut antara lain adalah:

Peningkatan nilai lahan

Peningkatan nilai lingkungan

Menghindarkan dari pengalihan bentuk dan fungsi karena aspek komersial

Peningkatan pendapatan dari pajak dan retribusi

Untuk itu perlu perlindungan dengan peraturan yang memadai, antara lain adalah:

Standar design

Perijinan yang menyangkut arsitektur bangunan

Review jenis preservasi (restorasi, rehabilitasi, demolisi)

Prosedur untuk perlindungan terhadap tetenger (landmark)Preservasi tidak hanya perlu untuk bangunan dan lokasi bersejarah saja, tetapi juga penting untuk semua struktur (bangunan) dan tempat yang ada, baik temporer maupun permanen. Dalam konteks urban design, preservasi bertujuan untuk melindungi lingkungan dan ruang-ruang kota (Shirvani, 1985).

Beberapa manfaat preservasi terhadap obyek bersejarah antara lain adalah sebagai berikut:

Secara kultural dapat menjadi sumber sejarah, media pendidikan, unsur untuk memperkaya estetika dan meningkatkan sense of attachment.

Secara ekonomi dapat meningkatkan nilai kepemilikan, menumbuhkan perekonomian dan pajak komersial serta meningkatkan nilai pajak.

Untuk perencanaan sosial dapat memberi kontribusi bagi restorasi masyarakat untuk membangun lingkungan.

Preservasi sebagai elemen perancangan kota diperkukan untuk memberikan aspek kelestarian dan daya tahan elemen yang lain selama proses perkembangan kawasan, sehingga sampai kapan elemen fisik harus dipertahankan dinyatakan dalam aspek preservasi ini.3.3. Teori Pendekatan Rancang Kota

Salah satu metode untuk menganalisis bentuk kota secara tekstural, adalah melalui interpretasi terhadap artikulasi bentuk kawasan kota. Melalui cara analisis ruang dua dimensi terhadap struktur ruang kota (yang memiliki rongga atau void), termasuk pola keruangan spasial. Dan analisa tiga dimensional mencakup konfigurasi bentuk tatanan massa bangunan (berbentuk pejal atau solid), suatu komposisi spasial rongga (void) dan bentuk pejal (solid) disebut solid-void.Komposisi tatanan bentuk elemen-elemen kota (urban fabric) pada suatu tempat terkait dengan sistem penghubung tempat (linkage sistem) suatu kawasan. Suatu sistem penghubung yang memuat hubungan antara massa-massa bangunan, hubungan massa bangunan dengan ruang terbuka (open space) dan hubungan ruang terbuka di luar bangunan dengan ruang di dalam bangunan.

Gambar 3.1

Tiga Teori Pendekatan Rancang Kota

Begitu juga pada tempat-tempat yang memiliki karakteristik dan keunikan elemen, identitas tempat (place) dan memiliki karakteristik kehidupan budaya, serta masyarakat kota telah menganggap tempat tersebut sangat bermakna (meaning of places).

Berbagai hal tersebut telah diungkap oleh Roger Trancik dalam teori desain kota dalam bukunya Finding Lost Space untuk mengidentifikasi tekstur kota dan keteraturan konfigurasi bentuk massa bangunan dengan ruang terbuka secara funsional maupun tipologikal bentuk kota dilihat secara figurative, disebut Figure Ground (Plan) Theory.Untuk menganalisa tekstur kawasan kota melalui bentuk massa bangunan yang pejal (solid) sebagai figure digambar blok hitam (black), sedang ruang-ruang terbuka sebagai ground rongga atau void diilustrasikan dengan warna putih (white), maka teori ini seringkali disebut sebagai teori black and white.

Teori Figure Ground dapat digunakan sebagai dasar :

Membentuk ruang luar yang mempunyai hirarki. Struktur jalan dan plasa meupakan suatu susunan, serta bangunan yang ada mengikuti pola tersebut.

Merencanakan kota agar lebih terintegrasi, karena terdapat struktur jalan dan ruang terbuka yang mempengaruhi orientasi bangunan.

Mengupayakan agar terbentuk ruang yang teratur

Ada 6 type pola solid voids, yaitu (Trancik dalam Budiharjo, 1998) :

Grid

Angular

Curvilinear

Radial concentric

Axial

Organic

Gambar 3.2

Pola Solid-Void KawasanLinkage Theory berasal dari hubungan yang berbentuk garis dari elemen-elemen satu ke elemen lainnya. Bentuk elemen ini berupa jalan-jalan, pedestrian, ruang terbuka yang berbentuk garis. Sistem pergerakan garis ini tidak hanya membentuk ruang luar tetapi juga membentuk struktur kota.

Menurut Fumihiko Maki, linkage adalah suatu perekat yang paling berhasil dalam menyatukan bentuk kota (urban form) di mana massa-massa bangunan yang berbicara dalam linkage membentuk artikulasi. Sirkulasi yang terjadi memberi image atau citra pada kota tersebut.

Ada 3 bentuk utama dari teori linkage :

Composition form Mega form Group formGambar 3.3

Tiga Bentuk Teori Linkage

Teori linkage dapat menggambarkan daerah yang terus serta dapat menampakkan potensi dan fungsi daerah dan dapat meningkatkan nilai-nilai ekonomis pada sepanjang pola linier tersebut. Linkage membentuk organisasi ruang dan hubungan spasial.

Theory of place dalam perancangan kota secara arsitektural (khususnya rancangan spasial) merupakan upaya pemahaman makna terhadap tempat (meaning of place) suatu kawasan. Tempat-tempat tertentu (place) diperlukan manusia untuk berinteraksi sosial dan secara budaya (cultural) warga kota memerlukan tempat-tempat tertentu untuk mengembangkan kehidupannya.

Bentuk-bentuk bangunan dan elemen-elemen (focal point) tidak hanya sebagai bentuk-bentuk enclosure, tetapi merupakan bentuk-bentuk yang cocok bagi potensi masyarakat, sehingga masyarakat dapat menerima nilai-nilai sosio cultural tesebut.

Pemahaman secara arsitektur kota, sebuah place merupakan ruang (space) yang memiliki suatu ciri khas, kekhasan, keunikan tertentu dan memiliki karakter suatu arti kekuatan, keunggulan terhadap lingkungan alami, dan budaya setempat.3.4. Sistem Transportasi

Kebutuhan transportasi sebagai hasil interaksi antara aktivitas sosial dan ekonomi yang tersebar didalam ruang atau tata guna lahan. Penyebaran aktivitas dan pola interaksi yang demikian komplek menimbulkan permasalahan yang sangat beragam dan banyak faktor penentu yang harus dipertimbangkan (Button, 1993:123). Transportasi untuk orang atau barang umumnya tidak dilakukan hanya untuk keinginan itu saja, tetapi untuk mencapai tujuan lainnya. Dengan demikian kebutuhan transportasi dapat disebut sebagai kebutuhan ikutan (derived demand) yang berasal dari kebutuhan untuk semua komoditi atau pelayanan ( Morlok Edward K, 1985:87).

Secara sederhana transportasi dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan yang dikatakan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan untuk memindahkan barang atau orang dari suatu tempat asal ke tempat tujuan tanpa mengalami kerusakan dan tepat waktu. Produk dari transportasi adalah jasa angkutan yang dihasilkan dari proses pemindahan tadi dan dengan menggunakan transportasi dapat menciptakan suatu barang atau komoditi berguna menurut tempat (place utility) dan berguna menurut waktu (time utility). Jadi dengan transportasi suatu barang dan komoditi dapat difanfaatkan pada waktu dibutuhkan.Menurut (Tamin, 1997:22-29), sistem transportasi secara makro terdiri dari beberapa sistem mikro, yaitu; (a) sistem kegiatan; (b) sistem jaringan; (c) sistem pergerakan; dan (d) sistem kelembagaan. Masing-masing sistem tersebut saling terkait satu sama lainnya. Sistem transportasi makro tersebut terlihat pada Gambar 2.3.

Sistem Kelembagaan

Sumber : Tamin 1997 ; 28Gambar 3.4Sistem Transportasi Makro

Dari Gambar 2.4 tersebut, dapat dijelaskan bahwa interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan mengahasilkan suatu pergerakan manusia dan / atau barang dalam bentuk pergerakan kendaraan. Perubahan pada sistem kegiatan akan mempengaruhi sistem jaringan melalui suatu perubahan pada tingkat pelayanan sistem pergerakan. Perubahan pada sistem jaringan akan mempengaruhi sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksessibilitas dari sistem pergerakan tersebut. Sistem pergerakan memegang peranan yang penting dalam mengakomodasikan permintaan akan pergerakan yang dengan sendirinya akan mempengaruhi sistem kegiatan dan jaringan yang ada. Keseluruhan sistem tersebut diatur dalam suatu sistem kelembagaan.

3.4.1 Kaitan Sistem Transportasi dengan Aspek Perancangan Kota

Menurut teori morfologi kota, pembentukan kota kota berawal dari komunitas komunitas desa yang mandiri. Semua kebutuhan masyarakat desa terpenuhi melalui usaha produksi pertanian yang dilakukan dikawasan desa itu sendiri.

Pada awal pertumbuhannya, suatu wilayah urban membutuhkan sistem transportasi karena adanya sistem spesialisasi dalam produksi pertanian. Dengan adanya urbanisasi dalam skala besar, menyebabkan kebutuhan bahan makanan untuk daerah urban itu harus dipenuhi oleh daerah lain disekitarnya.

Sebelum dikenal alat alat transportasi bermesin, transportasi darat merupakan masalah yang sulit dan sangat lambat, sementara itu sungai, danau dan laut juga berkembang menjadi alat transportasi alamiah yang baik. Wilayah urban dipinggir jalan air tersebut lebih potensial berkembang karena tingkat keterjangkauannya yang lebih besar dari pada lokasi wilayah urban yang jauh dari jalan air.

Karena pentingnya transportasi air dalam mensuplai kebutuhan suatu kota, sampai sekarang sebagian besar kota kota utama di dunia berlokasi di jalan air. Lokasi lain diluar jalur air baru berkembang kemudian sebagai daerah urban, setelah jalan rel, jalan raya, terowongan dan pesawat terbang dapat mensuplai kebutuhan penduduk daerah tersebut dapat dipenuhi.

Ketika daerah urban masih belum luas, penduduk membuat jalan jalan setapak yang sederhana dan masih terlalu kasar bila itu diartikan sebagai sarana transportasi. Dengan tumbuhnya kota, jalan jalan setapak tersebut berubah menjadi besar/baik sesuai dengan kebutuhannya yang meningkat akan bahan dan pelayanan angkutan untuk buruh buruh yang keluar dari komunitas komunitas yang ada. Ketika kota tumbuh cukup besar, suatu pendekatan dalam fungsi fungsi sirkulasi internal dari orang dan barang dapat berpengaruh terhadap perkembangan daerah urban.

Dasar pemikiran pusat pusat perbelanjaan ini adalah sederhana : suatu kumpulan toko toko dengan parkir diluar jalan ( off-street parking ). Maka dapat dikatakan tempat tempat parkir secara nyata tumbuh pada masa masa ini. Kedudukan parkir didalam hirarki perancangan urban, menurut Christopher Alexander ( A New Theory of Urban Design, 1985 : 75 ) .

Tempat parkir adalah elemen terakhir didalam hirarki, dan penempatannya harus sedemikian rupa sehingga bangunan bangunan mengelilinginya dan dampaknya terhadap lingkungan dapat dikurangi sebanyak mungkin.

Maka menurut Christhoper, parkir adalah merupakan elemen terakhir diantara lima sub aturan dari aturan dasar ruang positif urban (Alexander, C., 1985 : 75, 30). Selain itu hubungan parkir dengan transpostasi terlihat erat. Yakni selain parkir sebagai tempat pemberhentian dan tempat penyimpanan sementara kendaraan/moda bermotor, temuan antara moda, dapat pula merupakan alat pengurangan volume kepadatan lalu lintas. Dapat dilihat hubungan parkir dengan tempat tujuan pengendara mobil, yang pada umumnya melalui jalan pedestrian (ruang pejalan kaki). Yakni sebagai tempat peralihan dari orang berkendaraan menjadi berjalan kaki.

Dengan demikian, pengertian parkir dari aspek aspek tersebut diatas adalah :

Parkir merupakan salah satu diantara delapan elemen perancangan urban dan salah satu diantara tiga elemen urban terpenting menurut versi Shirvani.

Parkir adalah elemen perancangan urban dengan hirarki perancangan yang terakhir diantara lima sub aturan dalam aturan dasar ruang positif urban versi Christoper Alexander.

Parkir mempunyai hubungan erat dengan transportasi, dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara, tempat pemberhentian tempat temuan antar dan tempat pergantian moda bermotor. Dalam hubungan dengan transportasi, parkir ikut menentukan bentuk struktur kota.

Parkir mempunyai hubungan erat dengan pedestrian, sebagai tempat peralihan dari kondisi bermoda ke kondisi berjalan kaki sebelum menuju tempat tujuan akhir.

Parkir merupakan perantara diantara transportasi dengan pedestrian.

Parkir merupakan bagian dari sistem linkage kota.

Maka dilihat hubungan antara parkir, transportasi dan pedestrian ways, parkir adalah merupakan perantara bagi orang yang mempergunakan sarana transportasi menuju ketempat tujuan akhirnya.

Dari beberapa pengertian umum tersebut diatas yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari linkage system, maka kedudukan bahasan penelitian ini terhadap aspek perancangan kota secara keseluruhan sebagai berikut :

Sumber : Teori Perancangan Urban, 1991 dan Analisa Peneliti, 2009

Gambar 3.5Kaitan Linkage System dengan Aspek Perancangan Kota

3.4.2 Pengertian Jaringan JalanMenurut Undang-undang No. 13 tahun 1980 tentang jalan, jalan merupakan suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun yang meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalulintas. Bangunan pelengkap jalan adalah bangunan yang tidak dapat dipisahkan dari jalan seperti jembatan, lintas atas (over pass), lintas bawah (under pass) dan lain-lain. Sedangkan perlengkapan jalan antara lain rambu-rambu dan marka jalan , pagar pengaman lalulintas, pagar damija dan sebagainya.

Klasifikasi jalan berdasarkan peranan, yang membagi ruas jalan menurut peranannya dalam sistem jaringan jalan sistem primer, berdasarkan PP No. 26 tahun 1985 adalah:

1. Jalan Arteri Primer

Adalah ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu lainnya yang berdampingan, serta ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua (pasal 4 ayat2).

2. Jalan Kolektor Primer

Adalah ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua lainnya serta kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga yang berada dibawah pengaruhnya, (pasal 4 ayat 3).

3. Jalan Lokal Primer

Adalah ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang kesatu dengan persil, kota jenjang kedua dengan persil serta ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang dibawahnya sampai dengan persil (pasal 4 ayat 4).

Jaringan jalan terdiri dari ruas-ruas jalan yang menghubungkan satu dengan yang lain pada titik pertemuan yang merupakan simpul-simpul transportasi yang dapat memberikan alternatif pilihan bagi pengguna jalan. Jaringan jalan berdasarkan sistem (pelayanan penghubung) terbagi menurut (Miro, 1997:28):

1. Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan yang menghubungkan kota/ wilayah di tingkat nasional.

2. Sistem jaringan jalan sekunder adalah sistem jaringan jalan yang menghubungkan zona-zona, kawasan-kawasan (titik simpul didalam kota).

Sedangkan berdasarkan peranannya, jaringan jalan dapat dibagi atas menurut Miro, 1997:28:

1. Jalan Arteri adalah jalan yang melayani angkutan jarak jauh dengan kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah masuk (accces road) dibatasi secara efisien.

2. Jalan Kolektor adalah jalan yang melayani angkutan jarak sedang dengan kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk masih dibatasi.

3. Jalan Lokal adalah jalan yang melayani angkutan jarak dekat (angkutan setempat) dengan kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

3.5. Keterkaitan Pola Jaringan Jalan Dengan Perkembangan Fisik Kota

Sebagai salah satu elemen pembentuk kota, jaringan jalan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan penggunaan lahan, hubungan tersebut dicerminkan dari adanya perkembangan fisik kota dan jaringan jalan bukan hanya sebagai tempat menjalarnya perkembangan kota tetapi juga berpengaruh terhadap rencana dan fungsi elemen-elemen struktur kota. 3.5.1. Sistim Guna Lahan Dengan Transportasi

Sistim transportasi perkotaan terdiri dari berbagai aktivitas seperti bekerja, sekolah, olahraga, belanja, dan bertamu yang berlangsung di atas bidang tanah (kantor, pabrik, pertokoan, rumah, dan lain-lain). Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia melakukan perjalanan di antara guna lahan tersebut dengan menggunakan sistim jaringan transportasi. Hal ini menimbulkan pergerakan orang, kendaraan, dan barang. Pergerakan tersebut mengakibatkan berbagai macam interaksi menurut (Tamin, 2000:30).

Pembangunan suatu areal lahan akan menyebabkan timbulnya lalu lintas yang akan mempengaruhi yang baik akan mempengaruhi pola pemanfaatan lahan. Interaksi antara tata guna lahan dengan transportasi tersebut dipengaruhi oleh peraturan dan kebijakan. Dalam jangka panjang, pembangunan prasarana transportasi ataupun penyediaan sarana transportasi dengan teknologi modern akan mempengaruhi bentuk dan pola tata guna lahan sebagai akibat tingkat aksesibilitas yang meningkat menurut (Tamin, 2000:503).

Perencanaan transportasi dibutuhkan sebagai konsekuensi dari pertumbuhan kondisi lalu lintas dan perluasan wilayah. Pertumbuhan wilayah kota perlu direncanakan jika diketahui atau diharapkan bahwa penduduk di suatu tempat akan bertambah dan berkembang pesat dan juga jika tingkat pertumbuhan penduduk meningkat, karena hal ini mengakibatkan meningkatnya jumlah kendaraan dan perumahan. Kemudian kondisi lalu lintas perlu ditinjau kembali, apabila kepadatan dan kemacetan di jalan meningkat serta sistim pergerakan dalam suatu wilayah tidak ekonomis lagi. Pada waktunya perluasan kota perlu dikendalikan, bila diperkirakan sistem transportasi sudah tidak mampu lagi mendukung perluasan kota tersebut.

Pada umumnya perkembangan kegiatan komersial terjadi dipusat-pusat bisnis yang padat lalu lintasnya, sedangkan untuk industri, permukiman dan jasa pelayanan seperti pertokoan, pompa bensin, restoran dan lain-lain terjadi di pinggir kota sepanjang jalan jalan utama yang menuju kota, sedangkan perubahan pemanfaatan lahan pada jalan-jalan utama menuju kota yang pada mulanya lapangan atau perumahan berubah menjadi pusat perdagangan, pertokoan, perkantoran, dan lain-lain dalam skala yang lebih luas (Srihono, 2001:3).

Pada pemanfaatan lahan skala kecil sampai sedang sepanjang jalan arteri, masalah yang ditimbulkan pemanfaatan lahan terhadap transportasi lebih banyak pada dampak langsung aktivitas pengguna lahan terhadap lalu lintas, pada jalan arteri di tepi kota, rendahnya kecepatan kendaraan selain diakibatkan oleh banyaknya simpang (akses), juga disebabkan oleh naik turunnya penumpang kendaraan umum, pejalan kaki yang menyeberang jalan, bongkar muat barang, dan kendaraan yang keluar masuk lahan. Sedangkan pada pemanfaatan lahan dengan skala yang lebih besar, masalah yang ditimbulkan lebih banyak pada dampak dari jumlah lalu lintas kendaraan yang dibangkitkan terhadap kapasitas jaringan jalan (rasio V/C). Lalu lintas yang dibangkitkan (generated traffic) dalam satu kurun waktu ditentukan oleh besaran aktivitas pemanfaatan lahan yang dikaitkan dengan besaran fisik, misalnya luas lantai, jumlah tempat duduk pada restoran, dan lain-lain. Lalu lintas yang dibangkitkan pada jam-jam sibuk perlu ditinjau dalam kaitannya dengan kapasitas jaringan jalan dan persimpangan yang berdekatan, pergerakan kendaraan keluar masuk lahan sangat mempengaruhi kecepatan kendaraan menerus, terutama pada jalan arteri dua jalur tanpa jalur lambat, karena kendaraan yang harus menunggu untuk masuk/keluar lahan menutupi lajur jalan dan menghalangi pergerakan pada jalur yang bersangkutan. Kondisi demikian juga terjadi pada jalan akses yang tidak memadai di komplek perumahan.

Dampak lain dari pemanfaatan lahan sepanjang jalan arteri yang juga perlu mendapat perhatian adalah penyeberangan pejalan kaki. Jenis dan pemanfaatan lahan tertentu pada kedua sisi jalan arteri dapat menimbulkan terjadinya penyeberangan pejalan kaki yang dalam jumlah besar mempengaruhi kelancaran lalu lintas maupun keamanan penyeberang jalan. Pada jalan arteri dua jalur tanpa jalur lambat dimana pemanfaatan lahan di sepanjang jalan bersifat sebagai tempat asal tujuan penumpang kendaraan umum, kendaraan umum yang berarti sewaktu-waktu akan menutupi lajur jalan dan menghalangi pergerakan kendaraan lain. Banyak unit-unit pemanfaatan lahan yang tidak menyediakan area parkir dan bongkar muat barang yang memadai, yang berakibat dilakukannya kegiatan-kegiatan tersebut di tepi jalan arteri.

Perubahan guna lahan akan menyebabkan meningkatnya bangkitan pergerakan, kebutuhan transportasi dan fasilitasnya. Peningkatan ini akan menyebabkan meningkatnya tingkat aksesibilitas yang nantinya akan menyebabkan naiknya nilai lahan suatu kawasan, peningkatan nilai lahan pada akhirnya akan menyebabkan tumbuhnya aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan kondisi kawasan, sehingga memicu perkembangan intensitas bangunan yang tinggi pada guna lahan tersebut. Bila akses transportasi ke suatu ruang kegiatan (persil lahan) di perbaiki, maka ruang kegiatan tersebut akan lebih menarik dan biasanya menjadi lebih berkembang. Dengan berkembangnya ruang kegiatan akan meningkat pula kebutuhan akan transportasi. Peningkatan ini kemudian menyebabkan kelebihan beban pada transportasi yang harus ditanggulangi. Siklus ini akan terulang lagi jika aksesbilitas diperbaiki (Tamin, 2000:503). 3.5.2. Interaksi Tata Guna Lahan Transportasi

Interaksi guna lahan dan transportasi merupakan intereaksi yang sangat dinamis dan komplek. Intereaksi ini melibatkan berbagai aspek kegiatan serta berbagai kepentingan. Perubahan guna lahan akan selalu mempengaruhi perkembangan transportasi dan sebaliknya. Didalam kaitan ini, Black menyatakan bahwa pola perubahan dan besaran pergerakan serta pemilihan moda pergerakan merupakan fungsi dari adanya pola perubahan guna lahan di atasnya. Sedangkan setiap perubahan guna lahan dipastikan akan membutuhkan peningkatan yang diberikan oleh sistim transportasi dari kawasan yang bersangkutan (Black, 1981:99) .

Untuk menjelaskan bagaimana interaksi itu terjadi, Mejer menunjukan kerangka sistim interaksi guna lahan dan transportasi. Perkembangan guna lahan akan membangkitkan arus pergerakan, selain itu perubahan tersebut akan mempengaruhi pula pola persebaran pola permintaan pergerakan. Sebagai konsekwensi dari perubahan tersebut adalah adanya kebutuhan sistim jaringan serta sarana transportasi. Sebaiknya konsekwensi dari adanya peningkatan penyediaan sistim jaringan serta sarana transporasi akan membangkitkan arus pergerakan baru, (Meyer dan Meler, 1984:63).

3.5.3. AksesibilitasKonsep dasar dari interaksi atau hubungan antara tata guna lahan dan transportasi adalah aksesibilitas (Peter, 1975:307). Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistim pengaturan tata guna lahan secara geografis dengan sistim jaringan transportasi yang menghubungkannya. Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah atau susahnya lokasi tersebut dicapai melalui sistim jaringan transportasi (Black dalam Tamin, 2000:32). Gerak manusia kota dalam kegiatannya adalah dari rumah ke tempat bekerja, ke sekolah, ke pasar, ke toko, ke tempat hiburan, kemudahan bagi penduduk untuk menjembatani jarak antara berbagai pusat kegiatan disebut tingkatan daya jangkau atau aksesibilitas (Jayadinata, 1992:156).

Interaksi seperti dikemukakan tersebut menunjukan bahwa pekerjanya sistim interaksi guna lahan dan transportasi sangat dinamis dan melibatkan unsur-unsur lain sebagai pembentuk watak setiap komponen seperti pada komponen guna lahan terliput adanya unsur kependudukan, sosial ekonomi, ekonomi wilayah, harga lahan dan sebagainya. Selain itu komponen sistim transportasi terliput adanya unsur kemajuan teknologi, keterbatasan sistem jaringan , sistem operasi dan lain sebagainya. Implikasi dari perubahan atau perkembangan sistem aktivitas adalah meningkatkan kebutuhan prasarana dan sarana dalam bentuk pemenuhan kebutuhan aksesibilitas, peningkatan aksesibilitas ini selanjutnya akan memicu berbagai perubahan guna lahan. Proses perubahan yang saling mempengaruhi ini akan berlangsung secara dinamis.

Apabila tata guna lahan saling berdekatan dan hubungan transportasi antar tata guna lahan tersebut mempunyai kondisi baik, maka aksesibilitas tinggi, sebaiknya, jika aktivitas tersebut saling terpisah jauh, dan hubungan transportasi jelek, maka aksesibilitas rendah. Sedangkan kombinasi antar keduanya mempunyai aksesibilitas menengah.

Guna lahan dapat mengidentifikasi kegiatan perkotaan disetiap zona yang bersangkutan . Setiap zona dapat dicirikan dengan tiga ukuran , yaitu jenis kegiatan, intensitas penggunaan, dan aksesibilitas antar guna lahan (Warpani, 1990 :74-77). Secara terperinci, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Jenis kegiatan

Jenis kegiatan dapat ditelaah dari dua aspek, yaitu yang umum menyangkut penggunaannya (komersial, permukiman) dan yang khusus sejumlah ciri yang lebih spesifik (daya dukung lingkungan, luas, fungsi). Setiap jenis kegiatan menuntut karateristik sistem transportasi tertentu, sesuai dengan bangkitan yang ditimbulkan.

2. Intensitas guna lahan

Ukuran intensitas guna lahan dapat ditunjukkan oleh kepadatan bangunan dan dinyatakan dengan nisbah luas lantai perunit luas tanah. Ukuran ini secara khusus belum dapat mencerminkan intensitas pada kegiatan yang bersangkutan . Data ini bersama-sama dengan jenis kegiatan menjelaskan tentang besarnya perjalanan dari setiap zona.

3. Hubungan antar guna lahan

Ukuran ini berkaitan dengan daya hubung antar zona yang terdiri dari jenis kegiatan tertentu. Untuk mengukur tingkat aksesibilitas dapat dikaitkan antara pola jaringan pergangkutan kota dengan potensi guna lahan yang bersangkutan .

Kebijakan mengenai tata ruang sangat erat kaitannya dengan kebijakan transportasi,.ruang merupakan kegiatan yang ditempatkan atas lahan kota, sedangkan transportasi merupakan sistem jaringan yang secara fisik menghubungkan satu ruang kegiatan dengan ruang kegiatan lainnya.

Bila akses transportasi kesuatu ruang kegiatan (persil lahan) diperbaiki, ruang kegiatan tersebut akan menjadi lebih menarik, dan biasanya menjadi lebih berkembang. Dengan berkembangnya ruang kegiatan tersebut, meningkat pula kebutuhan akan transportasi. Peningkatan ini kemudian menyebabkan kelebihan beban pada transportasi yang harus ditanggulangi, dan siklus akan terulang kembali bila aksesibilitas diperbaiki.

Meyer dalam bukunya urban transpotation planning , menyimpulkan bahwa sistem interaksi guna lahan dan transportasi tidak pernah mencapai keseimbangan, misalnya populasi sebagai salah satu sub sistem selalu berkembang setiap saat mengakibatkan sub sistem lainnya akan berubah untuk mengantisipasi kondisi, yang pasti adalah sistem tersebut akan selalu menuju keseimbangan.3.6. DASAR HUKUM DAN PERATURAN TERKAIT

3.6.1. Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan JalanBerdasar pada Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ememiliki tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan moda transportasi lainnya, menjangkau scluruh pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas sebagai pendorong, penggerak dan penunjang pembangunan nasional dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Pengelolaan dalam lalu lintas dan angkutan jalan termasuk di dalamnya antara lain:

a. Prasarana

Jaringan transportasi jalan yang diklasifikasikan berdasar pada kelas jalan dan penggunaan jalan.

b. Terminal

Terminal ditujukan untuk menunjang kelancaran mobilitas orang maupun arus barang dan untuk Terlaksananya keterpaduan intra dan antar moda secara lancar terminal.

c. Fasilitas Parkir Untuk Umum

Dengan pengaturan nya memperhatikan kebutuhan dan ketertian umum.

d. Kendaraan

Kendaraan tersebut diharapkan dapat memperhatikan persyaatan tenis dan laik kendaraan bermotor yang lolos pada pengujian kendaraan bermotor, keberadaan bengkel umum kendaraan bermotor, pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan serta persyaratan kendaraan tidak bermotor.

e. Pengemudi

Pengemudi disini diharapkan telah memenuhi persyaratan yang dibutuhkan mulai dari surat izin mengemudi dan bagi setiap pengemudi telah lulus ujian mengemudi.

f. Lalu Lintas

Bagian dari lalu lintas meliputi tata cara berlalu lintas, penggunaan jalan selain untuk kegiatan lalu lintas, pejalan kaki, kecelakaan lalu lintas dan asuransi.

g. Angkutan

Angkutan ini meliputi angkutan orang, angkutan barang dan angkutan dengan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi.

3.6.2. Undang-undang RI Nomor 26 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang

Berdasar pada peraturan pemerintah No 26 tahun 2007 , sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) merupakan pedoman untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional; penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional; pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional; mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah provinsi, serta keserasian antar sektor; penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; penataan ruang kawasan strategis nasional; dan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

a. Salah satu wilayah strategis yang tertuang dalan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional khususnya yang ada di Kabupaten Karimun sebagaimana dimaksud terdiri atas :Kawasan perbatasan laut Republik Indonesia termasuk 2 pulau kecil terdepan yang terdapat di Kabupaten Karimun meliputi Pulau Iyu Kecil/Tokong Hiu Kecil dan Karimun Kecil/Karimun Anak.b. Kawasan Batam, Bintan dan Karimun, sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. 3.6.3. Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan

Penyelenggaraan jalan berdasarkan pada asas kemanfaatan, keamanan dan keselamatan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan, keadilan, transparansi dan akuntabilitas, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, serta kebersamaan dan kemitraan.

Tujuan dari penyelenggaraan jalan yaitu :

a. Mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan jalan

b. Mewujudkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan.

c. Mewujudkan peran penyelenggara jalan secara optimal dalam pemberian layanan kepada masyarakat;

d. Mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat;

e. Mewujudkan sistem jaringan jalan yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mendukung terselenggaranya sistem transportasi yang terpadu; dan

f. Mewujudkan pengusahaan jalan tol yang transparan dan terbuka

Lingkup pengaturan dalam Undang Undang ini mencangkup penyelenggaraan :

a. Jalan Umum yang meliputi pengaturan , pembinaan, pembangunan dan pengawasan

b. Jalan Tol yang meliputi pengaturan , pembinaan, pengusahaan dan pengawasan

c. Jalan Khusus.

Dalam Undang-undang ini diatur mengenai klasifikasi jalan yang baik berdasar pada kelas jalan, jenis jalan maupun status Jalan. Didalam nya diatur pula klasifikasi wewenang pemerintah kabupaten/ kota dalam penyelenggaraan jalan serta mekanisme pengaturannya.

Pengaturan jalan umum sebagaimana dimaksud meliputi :

a. Pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya;

b. Perumusan kebijakan perencanaan;

c. Pengendalian penyelenggaraan jalan secara makro; dan Penetapan norma, standar, kriteria, dan pedoman pengaturan jalan.

Sedangkan untuk pengaturan jalan nasional meliputi :

a. Penetapan fungsi jalan untuk ruas jalan arteri dan jalan kolektor yang menghubungkan antar ibukota provinsi dalam sistem jaringan jalan primer;

b. Penetapan status jalan nasional; dan

c. Penyusunan perencanaan umum jaringan jalan nasional.

Untuk pengaturan jalan provinsi meliputi :

a. Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan provinsi berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan;

b. Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan provinsi dengan memperhatikan keserasian antarwilayah provinsi;

c. Penetapan fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder dan jalan kolektor yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten, antaribukota kabupaten, jalan lokal, dan jalan lingkungan dalam sistem jaringan jalan primer;

d. Penetapan status jalan provinsi; dan

e. Penyusunan perencanaan jaringan jalan provinsi.

Pengaturan jalan kabupaten dan jalan desa sebagaimana dimaksud meliputi:

a. Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan dengan memperhatikan keserasian antardaerah dan antarkawasan;

b. Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa;

c. Penetapan status jalan kabupaten dan jalan desa; dan

d. Penyusunan perencanaan jaringan jalan kabupaten dan jalan desa.

Pengaturan jalan kota sebagaimana dimaksud meliputi:

a. Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan kota berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan dengan memperhatikan keserasian antardaerah dan antarkawasan;

b. Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan kota;

c. Penetapan status jalan kota; dan

d. Penyusunan perencanaan jaringan jalan kota.

Pembinaan jalan secara umum dan jalan nasional, meliputi :

a. Pengembangan sistem bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan di bidang jalan;

b. Pemberian bimbingan, penyuluhan, dan pelatihan para aparatur di bidang jalan;

c. Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan dan yang terkait;

d. Pemberian fasilitas penyelesaian sengketa antarprovinsi dalam penyelenggaraan jalan;

e. Penyusunan dan penetapan norma, standar, kriteria, dan pedoman pembinaan jalan.

Pembangunan jalan umum, meliputi pembangunan jalan secara umum, pembangunan jalan nasional, pembangunan jalan provinsi, pembangunan jalan kabupaten dan jalan desa, serta pembangunan jalan kota., seperti berikut:

a. Pengoperasian jalan umum dilakukan setelah dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi secara teknis dan administratif;

b. Penyelenggara jalan wajib memrioritaskan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan jalan secara berkala untuk mempertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan;

c. Pembiayaan pembangunan jalan umum menjadi tanggung jawab Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing;

d. dalam hal pemerintah daerah belum mampu membiayai pembangunan jalanyang menjadi tanggung jawabnya secara keseluruhan, Pemerintah dapat membantu sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

e. Sebagian wewenang Pemerintah di bidang pembangunan jalan nasional mencakup perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan pemeliharaannya dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

f. Pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk kriteria, persyaratan,standar, prosedur dan manual; penyusunan rencana umum jalan nasional, dan pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan memperhatikan masukan dari masyarakat.

3.6.4. Undang Undang Nomor 17 Tahun 2008 Mengenai Pelayaran

Pelayaran diselenggarakan berdasar pada beberapa azas mulai dari azas manfaat, azas usaha bersama dan kekeluargaan , azas persaingan sehat, azasadil dan merata tanpa diskriminasi, azas keseimbangan keserasian dan keselarasan, azas kepentingan umum, azas keterpaduan, azas tegaknya hukum, azas kemandirian, azas berwawasan lingkungan hidup, azas kedaulatan negara dan azas kebangsaan.

Pelayaran ini diselenggarakan dnegan tujuan :

a) Memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi angkutan di perairan dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional;

b) Membina jiwa kebaharian;

c) Menjunjung kedaulatan negara;

d) Menciptakan daya saing dengan mengembangkan industri angkutan perairan nasional;

e) Menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional;

f) Memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara; dan

g) Meningkatkan ketahanan nasional.

Undang undang ini berlaku untuk:

a) Semua kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim di perairan Indonesia;

b) Semua kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia; dan

c) Semua kapal berbendera Indonesia yang berada di luar perairan Indonesia.

Undang undang ini mengatur mengenai jenis angkutan yang terdiri dari :

A. Angkutan Laut

Meliputi angkutan laut dalam negeri, angkutan luar negeri, angkutan laut khusus dan angkutan laut pelayaran rakyat.

B. Angkutan sungai dan Danau

C. Angkutan Penyeberangan

Termasuk dalamnya mengenai perizinan dan usaha jasa yang terkait dengan angkutan di perairan.

Sistem jaringan

Sistem kegiatan

Sistem Pergerakan

KAJIAN TEORI

SIGNAGE DAN STREET FURNITURE

PRESERVASI DAN KONVSERVASI

BUILDING FORM

AND MASSING

ACTIVITY SUPPORT

PEDESTRIAN WAYS

SIRKULASI

PARKIR

LAND

USE

OPEN SPACE (PUBLIK)

LINKAGE

SYSTEM

PAGE LAPORAN PENDAHULUAN3 - 8