bab 2__10-63

Download Bab 2__10-63

If you can't read please download the document

Upload: angga-anugrah-pratama

Post on 28-Nov-2015

11 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kualitas Pelayanan 2.1.1 Definisi Kualitas Definisi kualitas berdasarkan sudut pandang tiga pakar kualitas tingkat internasional, yaitu mengacu pada pendapat Crosby, dkk (dalam Yamit, 2005, p7) antara lain : 1. Deming mendefinisikan kualitas adalah apapun yang menjadi kebutuhan dan keinginan konsumen. 2. Crosby mempersepsikan kualitas sebagai nihil cacat, kesempurnaan dan kesesuaian terhadap persyaratan. 3. Juran mendefinisikan kualitas sebagai kesesuaian terhadap spesifikasi, jika dilihat dari sudut pandang produsen. Sedangkan secara obyektif kualitas menurut Juran, (dalam Yamit, 1996, p337) adalah : suatu standar khusus dimana kemampuannya (availability), kinerja (performance), kendalannya (reliability), kemudahan pemeliharaan (maintainability) dan karakteristiknya dapat diukur. 9

Menurut Davis, (dalam Yamit, 2005, p8) membuat definisi kualitas yang lebih luas cakupannya, yaitu kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Pendekatan yang digunakan Davis ini menegaskan bahwa kualitas bukan hanya menekankan pada aspek hasil akhir, yaitu produk dan jasa tetapi juga menyangkut kualitas manusia, kualitas lingkungan. Sangatlah mustahil menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas tanpa melalui manusia dan proses yang berkualitas. Menurut Gaspersz (2002, p181) mendefinisikan kualitas adalah : Totalitas dari karakteristik suatu produk (barang dan atau jasa) yang menunjang kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang dispesifikasikan. Kualitas seringkali diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan atau kesesuaian terhadap persyaratan atau kebutuhan. Perusahaan jasa dan pelayanan lebih menekankan pada kualitas proses, karena konsumen biasanya terlibat langsung dalam proses tersebut. Sedangkan perusahaan yang menghasilkan produk lebih menekankan pada hasil, karena konsumen umumnya tidak terlibat secara langsung dalam prosesnya. Untuk itu diperlukan sistem manajemen kualitas yang dapat memberikan jaminan kepada pihak konsumen bahwa produk tersebut dihasilkan oleh proses yang berkualitas.

David Garvin, (dalam Yamit, 2005, p9) mengidentifikasikan lima pendekatan perspektif kualitas yang dapat digunakan oleh para praktisi bisnis, yaitu : 1. Transcendental Approach Kualitas dalam pendekatan ini adalah sesuatu yang dapat dirasakan, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalisasikan maupun diukur. Perspektif ini umumnya diterapkan dalam karya seni seperti musik, seni tari, seni drama dan seni rupa. Dimana untuk produk dan jasa pelayanan, perusahaan dapat mempromosikan dengan menggunakan pernyataan-pernyataan seperti kelembutan dan kehalusan kulit (sabun mandi), kecantikan wajah (kosmetik), pelayanan prima (bank) dan tempat berbelanja yang nyaman (mall). Definisi seperti ini sangat sulit untuk dijadikan sebagai dasar perencanaan dalam manajemen kualitas. 2. Product-based Approach Kualitas dalam pendekatan ini adalah suatu karakteristik atau atribut yang dapat diukur. Perbedaan kualitas mencerminkan adanya perbedaan atribut yang dimiliki produk secara objektif, tetapi pendekatan ini dapat menjelaskan perbedaan dalam selera dan preferensi individual. 3. User-based Approach Kualitas dalam pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang yang memandangnya, dan produk

yang paling memuaskan preferensi seseorang atau cocok dengan selera (fitnes for used) merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. Pandangan yang subjektif ini mengakibatkan konsumen yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi seseorang adalah kepuasan maksimum yang dapat dirasakannya. 4. Manufacturing-based Approach Kualitas dalam pendekatan ini adalah bersifat supply-based atau dari sudut pandang produsen yang mendefinisikan kualitas sebagai sesuatu yang sesuai dengan persyaratannya (conformance quality) dan prosedur. Pendekatan ini berfokus pada kesesuaian spesifikasi yang ditetapkan perusahaan secara internal. Oleh karena itu, yang menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, dan bukan konsumen yang menggunakannya. 5. Value-based Approach Kualitas dalam pendekatan ini adalah memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Kualitas didefinisikan sebagai affordable excellence , oleh karena itu kualitas dalam pandangan ini bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Produk yang paling bernilai adalah produk yang paling tepat dibeli. Meskipun sulit mendefinisikan kualitas dengan tepat dan tidak ada definisi kualitas yang dapat diterima secara universal, dari perspektif

David Garvin tersebut dapat bermanfaat dalam mengatasi konflikkonflik yang sering timbul diantara para manajer dalam departemen fungsional yang berbeda. Misalnya, departemen pemasaran lebih menekankan pada aspek keistimewaan, pelayanan, dan fokus pada pelanggan. Departemen perekayasaan lebih menekankan pada aspek spesifikasi dan pada pendekatan product-based. Sedangkan departemen produksi lebih menekankan pada aspek spesifikasi dan proses. Menghadapi konflik seperti ini sebaiknya pihak perusahaan menggunakan perpaduan antara beberapa perspektif kualitas dan secara aktif selalu melakukan perbaikan yang berkelanjutan atau melakukan perbaikan secara terus menerus. Menurut Purnama (2006, p15) menentukan kualitas produk harus dibedakan antara produk manufaktur atau barang (goods) dengan produk layanan (service) karena keduanya memilki banyak perbedaan. Menyediakan produk layanan (jasa) berbeda dengan menghasilkan produk manufaktur dalam beberapa cara. Perbedaan tersebut memiliki implikasi penting dalam manajemen kualitas. Perbedaan antara produk manufaktur dengan produk layanan adalah : 1. Kebutuhan konsumen dan standar kinerja sering kali sulit diidentifikasi dan diukur, sebab masing-masing konsumen mendefinisikan kualitas sesuai keinginan mereka dan berbeda satu sama lain.

2. Produksi layanan memerlukan tingkatan customization atau individual customer yang lebih tinggi dibanding manufaktur. Dalam manufaktur sasarannya adalah keseragaman. Dokter, ahli hukum, personal penjualan asuransi, dan pelayanan restoran, harus menyesuaikan layanan mereka terhadap konsumen individual. 3. Output sistem layanan tidak terwujud, sedangkan manufaktur berwujud. Kualitas produk manufaktur dapat diukur berdasar spesifikasi desain, sedangkan kualitas layanan pengukurannya subyektif menurut pandangan konsumen, dikaitkan dengan harapan dan pengalaman mereka. Produk manufaktur jika rusak dapat ditukar atau diganti, sedangkan produk layanan harus diikuti dengan permohononan maaf dan reparasi. 4. Produk layanan diproduksi dan dikonsumsi secara bersama sama, sedangkan produk manufaktur diproduksi sebelum dikonsumsi. Produk layanan tidak bisa disimpan atau diperiksa sebelum disampaikan kepada konsumen. 5. Konsumen seringkali terlibat dalam proses layanan dan hadir ketika layanan dibentuk, sedangkan produk manufaktur dibentuk diluar keterlibatan langsung dari konsumen. Misalnya konsuman restoran layanan cepat menempatkan ordernya sendiri atau mengambil makanan sendiri, membawa makanan sendiri kemeja, dan diharapakan membersihkan meja ketika setelah makan.

6. Layanan secara umum padat tenaga kerja, sedangkan manufaktur lebih banyak padat modal. Kualitas interaksi antara produsen dan konsumen merupakan faktor vital dalam penciptaan layanan. Misalnya kualitas layanan kesehatan tergantung interaksi pasien, perawat, dokter, dan petugas kesehatan lain. Di sini perilaku dan moral pekerja merupakan hal yang kritis dalam menyediakan kualitas layanan. 7. Banyak organisasi layanan harus menangani sangat banyak transaksi konsumen. Misalnya pada hari-hari tertentu, sebuah bank mungkin harus memproses jutaan transaksi nasabah pada berbagai kantor cabang dan mesin bank atau barangkali Perusahaan jasa kiriman harus menangani jutaan paket kiriman diseluruh dunia. Menurut Zeithaml, dkk, (dalam Yamit, 2005, p10) telah melakukan berbagai penelitian terhadap beberapa jenis jasa, dan berhasil mengidentifikasi lima dimensi karakteristik yang digunakan oleh para pelanggan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan. Kelima dimensi karakteristik kualitas pelayanan tersebut adalah : 1. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan dalam memberikan pelayanan dengan segera dan memuaskan serta sesuai dengan telah yang dijanjikan. 2. Responsiveness (daya tangkap), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.

3. Assurance (jaminan), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko ataupun keragu-raguan. 4. Empathy, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, dan perhatian dengan tulus terhadap kebutuhan pelanggan. 5. Tangibles (bukti langsung), yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi. Dimensi kualitas yang dikemukakan oleh Zeithaml, dkk tersebut berpengaruh pada harapan pelanggan dan kenyataan yang mereka terima. Jika kenyataannya pelanggan menerima pelayanan melebihi harapannya, maka pelanggan akan mengatakan pelayanannya berkualitas dan jika kenyataannya pelanggan menerima pelayanan kurang atau sama dari harapannya, maka pelanggan akan mengatakan pelayanannya tidak berkualitas atau tidak memuaskan. 2.1.2 Definisi Jasa Pelayanan Menurut Yamit, (2005, p21) meskipun terjadi beberapa perbedaan terhadap pengertian jasa pelayanan dan secara terus menerus perbedaan tersebut akan mengganggu, beberapa karakteristik jasa pelayanan berikut ini akan memberikan jawaban yang lebih mantap terhadap pengertian jasa pelayanan.

Karakteristik jasa pelayanan tersebut adalah : 1. Tidak dapat diraba (intangibility). Jasa adalah sesuatu yang sering kali tidak dapat disentuh atau tidak dapat diraba. Jasa mungkin berhubungan dengan sesuatu secara fisik, seperti pesawat udara, kursi dan meja dan peralatan makan direstoran, tempat tidur pasien di rumah sakit. Bagaimanapun juga pada kenyataannya konsumen membeli dan memerlukan sesuatu yang tidak dapat diraba. Hal ini banyak terdapat pada biro perjalanan atau biro travel dan tidak terdapat pada pesawat terbang maupun kursi, meja dan peralatan makan, bukan terletak pada tempat tidur di rumah sakit, tetapi lebih pada nilai. Oleh karena itu, jasa atau pelayanan yang terbaik menjadi penyebab khusus yang secara alami disediakan. 2. Tidak dapat disimpan (inability to inventory). Salah satu ciri khusus dari jasa adalah tidak dapat disimpan. Misalnya, ketika kita menginginkan jasa tukang potong rambut, maka apabila pemotongan rambut telah dilakukan tidak dapat sebagiannya disimpan untuk besok. Ketika kita menginap di hotel tidak dapat dilakukan untuk setengah malam dan setengahnya dilanjutkan lagi besok, jika hal ini dilakukan konsumen tetap dihitung menginap dua hari. 3. Produksi dan Konsumsi secara bersama (inacceparability). Jasa adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama dengan produksi. Misalnya, tempat praktek dokter, restoran, pengurusan asuransi mobil dan lain sebagainya.

4. Memasukinya lebih mudah. Mendirikan usaha dibidang jasa membutuhkan investasi yang lebih sedikit, mencari lokasi lebih mudah dan banyak tersedia, tidak membutuhkan teknologi tinggi. Untuk kebanyakan usaha jasa hambatan untuk memasukinya lebih rendah. 5. Sangat dipengaruhi oleh faktor dari luar. Jasa sangat dipengaruhi oleh faktor dari luar seperti: teknologi, peraturan pemerintah dan kenaikan harga energi. Sektor jasa keuangan merupakan contoh yang paling banyak dipengaruhi oleh peraturan dan perundangundangan pemerintah, dan teknologi komputer dengan kasus mellinium bug pada abad dua satu. Karakteristik jasa pelayanan tersebut di atas akan menentukan definisi kualitas jasa pelayanan dan model kualitas jasa pelayanan. Mendefinisikan kualitas jasa pelayanan membutuhkan pengetahuan dari beberapa disiplin ilmu seperti: pemasaran, psikologi, dan strategi bisnis. Olsen dan Wiyckoff (dalam Yamit, 2005, p22) melakukan pengamatan atas jasa pelayanan dan mendefinisikan jasa pelayanan adalah sekelompok manfaat yang berdaya guna baik secara eksplisit maupun inplisit atas kemudahan untuk mendapatkan barang maupun jasa pelayanan. Olsen dan Wyckoff (dalam Yamit, 2005, p22) juga memasukkan atribut yang dapat diraba (tangible) dan yang tidak dapat diraba (intangible). Definisi secara umum dari kualitas jasa pelayanan

ini adalah dapat dilihat dari perbandingan antara harapan konsumen dengan kinerja kualitas jasa pelayanan. Collier (dalam Yamit, 2005, p22) memiliki pandangan lain dari kualitas jasa pelayanan ini, yaitu lebih menekankan pada kata pelanggan, kualitas dan level atau tingkat. Pelayanan terbaik pada pelanggan (excellent) dan tingkat kualitas pelayanan merupakan cara terbaik yang konsisten untuk dapat mempertemukan harapan konsumen (standar pelayanan eksternal dan biaya) dan sistem kinerja cara pelayanan (standar pelayanan internal, biaya dan keuntungan). Bagi perusahaan yang bergerak di bidang jasa, memuaskan kebutuhan pelanggan berarti perusahaan harus memberikan pelayanan berkualitas (service quality) kepada pelanggan. Terdapat dua pendekatan pelayanan berkualitas yang populer digunakan kalangan bisnis Amerika dan kini telah menyebar ke berbagai negara di dunia. Pendekatan pertama dikemukakan oleh Karl (dalam Yamit, 2005, p23) yang mendasarkan pendekatan pada dua konsep pelayanan berkualitas, yaitu 1) service triangle dan 2) total quality service diterjemahkan sebagai layanan mutu terpadu oleh Soetjipto (dalam Yamit, 2005, p23). 1) Service Triangle Sevice triangle adalah suatu model interaktif manajemen pelayanan yang menghubungkan antara perusahaan dengan pelanggannya. Model tersebut terdiri dari tiga elemen dengan pelanggan sebagai

titik fokus Albrecht and Zemke, dalam Budi W.Soetjipto (yang dikutip dari Yamit, 2005, p23) yaitu : a. Strategi pelayanan (service strategy) Strategi pelayanan adalah strategi untuk memberikan pelayanan kepada pelanggan dengan kualitas sebaik mungkin sesuai standar yang telah ditetapkan perusahaan. Standar pelayanan ditetapkan sesuai keinginan dan harapan pelanggan sehingga tidak terjadi kesenjangan antara pelayanan yang diberikan dengan harapan pelanggan. Strategi pelayanan harus pula dirumuskan dan diimplementasikan seefektif mungkin sehingga mampu membuat pelayanan yang diberikan kepada pelanggan tampil beda dengan pesaingnya. Untuk merumuskan dan mengimplementasikan strategi pelayanan yang efektif, perusahaan harus fokus pada kepuasan pelanggan sehingga perusahaan mampu membuat pelanggan melakukan pembelian ulang bahkan mampu meraih pelanggan baru. b. Sumberdaya manusia yang memberikan pelayanan (service people) Orang yang berinteraksi secara langsung maupun tidak berinteraksi langsung dengan pelangan harus memberikan pelayanan kepada pelanggan secara tulus (empathy), responsif, ramah, fokus, dan menyadari bahwa kepuasan pelanggan adalah segalanya. Untuk itu perusahaan harus pula memperhatikan kebutuhan pelanggan internalnya (karyawan) dengan cara

menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, rasa aman dalam bekerja, penghasilan yang wajar, manusiawi, sistem penilaian kinerja yang mampu menumbuhkan motivasi. Tidak ada gunanya perusahaan membuat strategi pelayanan dan menerapkannya secara baik untuk memuaskan pelanggan eksternalnya, sementara pada saat yang sama perusahaan gagal memberikan kepuasan kepada pelanggan internalnya, demikian pula sebaliknya. c. Sistem pelayanan (service system) Sistem pelayanan adalah prosedur pelayanan kepada pelanggan yang melibatkan seluruh fasilitas fisik termasuk sumberdaya manusia yang dimiliki perusahaan. Sistem pelayanan harus dibuat secara sederhana, tidak berbelit-belit dan sesuai standar yang telah ditetapkan perusahaan. Untuk itu perusahaan harus mampu melakukan desain ulang sistem pelayanannya, jika pelayanan yang diberikan tidak memuaskan pelanggan. Desain ulang sistem pelayanan tidak berarti harus merubah total sistem pelayanan, tapi dapat dilakukan hanya bagian tertentu yang menjadi titik kritispenentu kualitas pelayanan. Misalnya, dengan memperpendek prosedur pelayanan atau karyawan diminta melakukan pekerjaan secara cepat dengan menciptakan one stop service.

2) Total Quality Service Pelayanan mutu terpadu adalah kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan berkualitas kepada orang yang berkepentingan dengan pelayanan (stakeholders), yaitu pelanggan, pegawai dan pemilik. Pendekatan kedua adalah conceptual model of service quality yang dikemukakan oleh tiga tiga orang akademisi Amerika dengan nama PBZ yang merupakan singkatan dari tiga nama penemunya, yaitu A. Parasuraman, Leonard L. Berry and Valerie A. Zaithaml. Pasa pada dasarnya memiliki tujuan yang hampir sama dengan pelayanan produk. Hampir semua perusahaan menawarkan manfaat dan penambahan nilai untuk kepuasan dan loyalitas pelanggan. Beberapa pendapat tentang pengertian jasa, yaitu menurut Stanton (1992, p220) jasa adalah semua kegiatan atau aktivitas yang dapat diidentifikasikan secara tersendiri yang pada hakikatnya bersifat tak bisa diraba (intangible) yang merupakan pemenuhan kebutuhan dan tidak harus terikat pada penjualan produk atau jasa lain. Kotler (2000, p486) merumuskan jasa sebagai setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan pada satu produk fisik.

Terdapat lima penentu mutu jasa. Menurut tingkat kepentingannya, jasa dapat dibedakan menjadi: (1) keandalan, yaitu kemampuan untuk memberikan jasa yang dijanjikan secara terpercaya , akurat dan memuaskan ; (2) daya tangkap, yakni kemauan (daya tanggap) untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa secara cepat; (3) kepastian, yaitu pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan perlindungan dan kepercayaan; (4) empati, yaitu kemauan untuk peduli dan memberi perhatian secara individu kepada pelanggan; dan (5) bukti fisik, yaitu penampilan fasilitas fisik, peralatan, pegawai, dan materi komunikasi (Parasuraman, et.al. dalam Kotler, 2008, p455). 2.1.3 Definisi Kualitas Jasa Pelayanan Kualitas jasa pelayanan sangat dipengaruhi oleh harapan konsumen. Harapan konsumen dapat bervariasi dari konsumen satu dengan konsumen lain walaupun pelayanan yang diberikan konsisten. Kualitas mungkin dapat dilihat sebagai suatu kelemahan kalau konsumen mempunyai harapan yang terlalu tinggi, walaupun dengan suatu pelayanan yang baik. Menurut Wyckof dalam Lovelock (yang dikutip dari Nursya bani, 2006, p19) memberikan pengertian kualitas layanan sebagai tingkat kesempurnaan tersebut untuk memenuhi keinginan konsumen, sedangkan menurut Parasuraman, et al. Kualitas layanan merupakan perbandingan antara layanan yang dirasakan

(persepsi) konsumen dengan kualitas layanan yang diharapkan konsumen. Jika kualitas layanan yang dirasakan sama atau melebihi kualitas layanan yang diharapkan, maka layanan dikatakan berkualitas dan memuaskan. Menurut Gronroos (dalam Purnama, 2006, p20) menyatakan kualitas layanan meliputi : 1. Kualitas fungsi, yang menekankan bagaimana layanan dilaksanakan, terdiri dari : dimensi kontak dengan konsumen, sikap dan perilaku, hubungan internal, penampilan, kemudahan akses, dan service mindedness. 2. Kualitas teknis dengan kualitas output yang dirasakan konsumen, meliputi harga, ketepatan waktu, kecepatan layanan, dan estetika output. 3. Reputasi perusahaan, yang dicerminkan oleh citra perusahaan dan reputasi di mata konsumen. Dari definisi-definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan pelayanan yang dapat memenuhi keinginan konsumen/pelanggan yang diberikan oleh suatu organisasi. Kualitas pelayanan diukur dengan lima indikator pelayanan (keandalan, daya tanggap, kepastian, empati, dan bukti fisik).

2.1.4 Gap ( kesenjangan ) Kualitas Layanan Menurut Nursya bani Purnama ( 2006, p33 ) Harapan konsumen terhadap kualitas layanan sangat dipengaruhi oleh informasi yang mereka peroleh. Dari sudut pandang konsumen, sumber informasi bisa berasal dari internal maupun eksternal. Sumber informasi internal misalnya pengalaman pembelian masa lalu, pengamatan atau percobaan pembelian. Sumber informasi eksternal merupakan informasi dari luar konsumen, misalnya dari konsumen lain melalui informasi getok tular ( dari mulut ke mulut ) atau informasi dari pemasar melalui promosi yang disampaikan dengan media tertentu. Harapan konsumen terhadap terhadap layanan yang dijabarkan kedalam lima dimensi kualitas layanan harus bisa dipahami oleh perusahaan dan diupayakan untuk bisa diwujudkan. Tentunya hal ini merupakan tugas berat bagi perusahaan, sehingga dalam kenyataannya sering muncul keluhan yang dilontarkan konsumen karena layanan yang diterima tidak sesuai dengan layanan yang mereka harapkan. Hal inilah yang disebut dengan gap ( kesenjangan ).

kualitas pelayanan sebagaimana yang disajikan dalam gambar berikut ini : CONSUMER Komunikasi dari mulut ke mulut Kebutuhan pribadi Kebutuhan pribadi Persepsi konsumen Terhadap pelayanan Gap 5 PERUSAHAAN Gap 1 Cara pelayanan Desain pelayanan dan standar pelayanan Persepsi perusahaan atas Gap 3 Gap 2 Gap 4 Komunikasi perusahaan dengan konsumen Harapan konsumen terhadap pelayanan harapan konsumen Gambar 2.1 Model Kualitas Pelayanan

Gap 1 Gap antara harapan konsumen dengan persepsi manajemen, yang disebabkan oleh kesalahan manajemen dalam memahami harapan konsumen. Misalnya sebuah bank memberikan layanan dengan tempat yang nyaman dan peralatan yang canggih, namun ternyata nasabah berharap mendapat layanan dengan persyaratan mudah dan cepat. Gap 2 Gap antara persepsi manajemen atas harapan konsumen dengan spesifikasi kualitas layanan, yang disebabkan oleh kesalahan manajemen dalam menterjemahkan harapan konsumen ke dalam tolok ukur atau standar kualitas layanan. Misalnya petugas teller bank diinstruksikan melayani nasabah dengan cepat, namun tidak ada standar waktu pemberian layanan. Gap 3 Gap antara spesifikasi kualitas layanan dengan layanan yang diberikan, yangdisebabkan oleh ketidakmampuan sumber daya manusia ( SDM ) perusahaan dalam memenuhi standar kualitas layanan yang telah ditetapkan. Misalnya petugas teller bank diinstruksikan untuk melayani nasabah dengan cepat, namun disisi lain juaga harus mendengarkan keluhan nasabah, sehingga standar waktu layanan yang telah ditetapkan seringkali harus dilanggar.

Gap 4 Gap antara layanan yang diberikan dengan komunikasi eksternal yang disebabkan ketidakmampuan perusahaan untuk memenuhi janji yang telah dikomunikasikan secara eksternal. Misalnya sebuah bank dalam promosinya menjanjikan layanan kredit yang cepat dengan persyaratan yang mudah, namun dalam kenyataannya para nasabah harus melengkapi beberapa persyaratan yang rumit. Gap 5 Gap antara harapan konsumen dengan layanan yang diterima ( dirasakan ) konsumen yang disebabkan tidak terpenuhinya harapan konsumen. Gap 5 merupakan gap yang disebabkan oleh gap 1, 2, 3, dan 4. Zeithaml dan Bitner ( dalam Nursya bani Purnama , 2006,p35 ) menyebutkan bahwa gap yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor (lihat tabel 2.1) Tabel 2.1 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Gap Kualitas Layanan Gap Faktor Penyebab Gap 1 1. Orientasi riset pemasaran tidak seimbang 2. Kurang komunikasi keatas 3. Fokus yang kurang mencukupi Gap 2 1. Tidak ada standar yang berorientasi kepada konsumen 2. Kepemimpinan yang tidak memadai 3. Desain layanan yang tidak baik Gap 3 1. Penyimpanan kebijakan sumber daya manusia 2. Kegagalan menyesuaikan permintaan dan penawaran

3. Konsumen tidak memainkan peran Gap 4 1. Manajemen harapan konsumen yang tidak akurat 2. Janji yang berlebihan 3. Komunikasi horizontal ( perusahaan-konsumen ) tidak memadai. 2.1.5 Langkah-langkah untuk Mengurangi Gap Kualitas Layanan Idealnya kualitas layanan yang diterima oleh konsumen sama dengan kualitas layanan yang mereka harapkan. Oleh karena itu agar konsumen puas terhadap layanan yang diberikan perusahaan, maka menjadi keharusan bagi perusahaan untuk menghilangkan gap yang terjadi. Namun jika upaya menghilangkan gap sulit dilakukan, paling tidak perusahaan harus berupaya mengurangi gap seminimal mungkin. Berry (dalam Nursya bani Purnama, 2006,p36 ) memberikan kerangka komprehensif dan runtut untuk menghilangkan gap 1 hingga gap 4. Terdapat empat langkah untuk menghilangkan gap kualitas layanan, yaitu : 1. Menumbuhkan kepemimpinan yang efektif Kepemimpinan merupakan pengerak utama perbaikan layanan. Tanpa layanan yang efektif, kepemimpinan tanpa visi dan arah yang jelas, serta tanpa bimbingan manajemen puncak, upaya pemberian layanan yang berkualitas tidak bisa diciptakan. Untuk mengembangkan kepemimpinan yang efektif, empat cara berikut bisa ditempuh, yaitu :

a. Mendorong kelancaran proses pembelajaran di kalangan top manajemen b. Promosi orang yang tepat pada jabatan eksekutif puncak c. Mendorong peran individu d. Mengembangkan budaya saling percaya 2. Membangun sistem informasi layanan Sistem informasi layanan yang efektif akan mengakomodasikan keinginan dan harapan konsumen, mengidentifikasi kekurangan yang diberikan perusahaan, memandu alokasi sumber daya perusahaan untuk kepentingan peningkatan kualitas layanan dan memungkinkan perusahaan mamantau layanan pesaing. 3. Merumuskan strategi layanan Strategi layanan adalah strategi untuk memberikan layanan dengan kualitas sebaik mungkin kepada konsumen. Strategi layanan harus menjadi pedoman bagi pekerja sehingga pelaksanaan pekerjaan harus mengacu tujuan yang ditetapkan. 4. Implementasi strategi layanan Strategi layanan dapat diimplementasikan dengan efektif jika syaratsyarat berikut ini dipenuhi : a. Struktur organisasi yang memungkinkan berkembangnya budaya perusahaan dengan titik berat pada perbaikan berkelanjutan, menjadi pedoman bagi perbaikan kualitas layanan, peningkatan kemampuan teknis sumber daya yang mendukung perbaikan

kualitas layanan, serta memeberikan solusi terhadap setiap persoalan yang menyangkut kualitas layanan. b. Teknologi yang applicable untuk memperbaiki sumber daya, metode kerja, dan sistem informasi yang mendukung upaya perbaikan kualitas layanan. c. Sumber daya manusia yang memiliki sikap, perilaku, pengetahuan, dan kemampuan yang mendukung efektivitas realisasi strategi layanan. 2.2 Citra 2.2.1 Definisi Citra Dalam membicarakan citra, maka biasanya bisa menyangkut citra produk, perusahaan, merek, partai, lembaga, orang atau apa saja yang terbetuk dalam pikiran maupun benak seseorang. Dalam Simamora (2004, p124) dijelaskan bahwa ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam mengukur citra. Pertama adalah merefleksikan cira di benak konsumen menurut mereka sendiri. Pendekatan ini disebut pendekatan tidak terstruktur (unstructure approach) karena memang konsumen bebas menjelaskan citra suatu objek di pikiran dan benak mereka. Cara yang kedua adalah peneliti menyajikan dimensi yang jelas, kemudian responden berespons terhadap dimensi-dimensi yang dinyatakan itu. Ini disebut pendekatan terstruktur (stuctured approach).

Citra didefinisikan sebagai kesan yang diperoleh sesuai pengetahuan dan pengalaman seseorang tentang sesuatu. Citra dibentuk berdasarkan impresi, berdasar pengalaman yang dialami seseorang terhadap sesuatu untuk mengambil keputusan (Buchari, p317). Sedangkan menurut Lawrence yang dikutip Sutojo (2004, p1), citra adalah pancaran atau reproduksi jati diri atau bentuk orang perorangan, benda atau organisasi. 2.2.2 Terbentuknya Sebuah Citra Soleh Soemirat (2002) mengemukakan bahwa untuk mengetahui citra seseorang terhadap suatu obyek dapat diketahui dari sikapnya terhadap obyek tersebut. Sementara itu semua sikap bersumber pada informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi proses pembentukan citra. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang. Singkatnya citra suatu objek lahir dari pengetahuan dan sikap orang terhadap objek tersebut dan pengetahuan serta sikap tersebut dipengaruhi oleh informasi yang diterima. Kottler (2008) mengemukakan dua teori pembentukan citra : a. Memberlakukan bahwa citra adalah sebagian besar objectdetermined, yaitu bahwa orang-orang dengan mudah merasakan realitas objek itu. Jika suatu panti perawatan berlokasi di tepi danau

dan dikelilingi oleh pepohonan yang indah. Akan membuat kesan orang-orang sebagai panti perawatan yang indah. Beberapa individu mungkin menggambarkan buruk, namun hal ini disebabkan oleh kurangnya pengalaman nyata mereka dengan objek tersebut. Pandangan object determined ini akan citra mengasumsikan bahwa : 1. Orang-orang cenderung memiliki pengalaman langsung dengan bojek-objek itu. 2. Orang memperoleh data inderawi yang handal dari objek tersebut. 3. Orang-orang cenderung memproses data inderawi itu dalam suatu cara tersendiri meskipun memiliki latar belakang dan kepribadian yang berbeda-beda. b. Teori yang lain memberlakukan bahwa citra adalah sebagian besar person determined. Mereka yang memegang pendangan ini beragumentasi bahwa : 1. Orang-orang memiliki tingkat-tingkat kontak dengan objek tersebut, yang berbeda. 2. Orang-orang yangada dihadapan objek itu akan dengan selektif merasakan aspek-aspek yang berbda dari objek tersebut. 3. Orang-orang memiliki cara tersendiri pemrosesan data inderawi, menimbulkan distorsi selektif.

Untuk alasan-alasan ini, orang-orang mungkin mempunyai citracitra yang sangat berbeda dari suatu objek yang sama. Itu berarti terdapat hubungan yang lemah antara citra dengan objek aktualnya. Suatu citra dipengaruhi baik oleh ciri-ciri objektif objek tersebut dan ciri-ciri subjektif dari yang merasakannya. 2.2.3 Faktor Penunjang Keberhasilan Citra Keberhasilan perusahaan membangun citra dipengaruhi oleh berbagai macam faktor menurut Sutojo (2004, p45), dari sekian banyak faktor tersebut lima diantaranya besar pengaruhnya. Kelima faktor tersebut adalah sebagai berikut : 1. Citra dibangun berdasarkan orientasi terhadap manfaat yang dibutuhkan dan diinginkan kelompok sasaran. Contohnya : Perusahaan boleh saja mempromosikan citra apapun tentang diri dan produknya. Walaupun demikian akhirnya kelompok sasaran jual yang akan menentukan apakah citra itu nyata atau hanya pepesan kosong belaka. 2. Manfaat yang ditonjolkan cukup realistis. Citra perusahaan yang ditonjolkan kepada kelompok sasaran hendaknya realistis sehingga mudah dipercaya. Kelompok sasaran cenderung bersikap sinis atau negatif terhadap penonjolan citra perusahaan yang tidak realistis.

3. Citra yang ditonjolkan sesuai dengan kemampuan perusahaan. Oleh karena itu manfaat yang dibutuhkan dan diinginkan segmen-segmen kelompok sasaran dari perusahaan atau produk beraneka warna. Idealnya perusahaan yang ingin menarik beberapa segmen sekaligus menonjolkan lebih dari saru jenis citra. 4. Mudah dimengerti kelompok sasaran Kelompok sasaran tidak mempunyai banyak waktu untuk memahami arti berbagai macam citra yang ditonjolkan oleh banyak perusahaan. Oleh karena itu setiap perusahaan yang ingin menonjolkan citranya wajib berusaha agar citra itu mudah dipahami kelompok sasaran mereka. Salah satu cara memudahkan kelompok sasaran memahami citra yang ditonjolkan adalah membuat ilustrasi citra yang ditampilkan sesingkat dan sesederhana mungkin. 5. Citra adalah sarana, bukan tujuan usaha Faktor penting lainnya yang wajib disadari para pengusaha adalah citra perusahaan atau produk/jasa yang mereka bangun adalah sarana untuk mencapai tujuan usaha, dan bukan tujuan usaha itu sendiri.

2.2.4 Citra Perusahaan Citra Perusahaan (Corporate image) adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan. Citra perusahaan ini terbentuk oleh banyak hal natara lain sejarah perusahaan, keberhasilan dibidang keuangan, keberhasilan ekspor, hubungan industri yang baik, reputasi sebagai pencipta tenaga kerja, tanggung jawab sosial, komitmen terhadap riset, dsb. Citra yang positif jelas akan menunjang dibidang keuangan. Menurut Lawrence L.Steinmetz yang dikutip Sutojo (2004,p1) bagi perusahaan, citra juga dapat diartikan sebagai persepsi masyarakat terhadap jati diri perusahaan. Lawrence mengemukakan persepsi seseorang terhadap perusahaan didasari atas apa yang mereka ketahui atau mereka kira tentang perusahaan yang bersangkutan. Citra perusahaan dibangun dan dikembangkan di dalam benak pelanggan melalui sarana komunikasi dan pengalaman pelanggan (Andreasen, 1998, p11). Mengembangkan citra yang kuat membutuhkan kreativitas dan kerja keras. Citra tidak dapat ditanam dalam pikiran pelanggan dalam waktu semalam dan disebarkan melalui satu media saja. Sebaliknya citra itu harus dismpaikan melalui tiap sarana komunikasi yangtersedia dan disebarkan terus-menerus. Citra mempunyai dampak pada persepsi konsumen dan komunikasi dan operasi organisasi dalam berbagai hal (Sutisna, 2001). Terdapat empat manfaat dari citra, antara lain :

1. Citra menceritakan harapan bersama dengan kampanye pemasar eksternak seperti iklan, penjualan pribadi, dan komunikasi dari mulut ke mulut. Citra berdampak pada adanya pengharapan. 2. Citra sebagai penyaring mempengaruhi persepsi pada kegiatan perusahan, kualitas teknis dan khususnya fungsional dilihat dari melalui saringan itu. Jika citra baik, maka citra menjadi pelindung. 3. Citra adalah fungsi dari pengalaman dan juga harapan konsumen. 4. Citra mempunyai pengaruh penting pada manajemen. Dengan kata lain citra mempunyai dampak internal. Menurut LeBlanc dan Nguyen (1998,p45) terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi citra perusahaan pada perusahaan jasa : 1. Identitas perusahaan (Corporate Identity) Dalam bukunya the company image, Elanor Selame mengatakan identitas perusahaan adalah apa yang senyatanya ada pada atau ditampilkan oleh perusahaan. Identitas merupakan pernyataan singkat perusahaan kepada masyarakat tentang apa dan siapa mereka itu. Identitas perusahaan dapat membedakan perusahaan yang satu dengan yang lain. James R Gregory menyatakan identitas perusahaan terdiri dari dua elemen pokok, yaitu nama dan logo (Sutojo, 2004, p14). Menurut Sutojo (2004, p18) identitas merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan pembentukan citra perusahaan di masyarakat. Identitas

perusahaan yang baik dan kuat merupakan pra-syarat membangun citra baik perusahaan dikemudian hari. 2. Reputasi (Reputation) Menurut LeBlanc dan Nguyen (1998, p47) di dalam International journal of service industry management, reputasi adalah hal-hal yang telah dilakukan oleh perusahaan. Menurut Shirley Harrison (1998,p71) reputasi adalah hal yang telah dilakukan perusahaan dan diyakini publik sasaran berdasarkan pengalaman sendiri maupun pihak lain seperti kinerja transaksi sebuah bank. Charles Frombun (Frombun dan Van Riel, 2003) mendefinisikan reputasi perusahaan sebagai gabungan antara tindakan masa lalu perusahaan. 3. Lingkungan fisik (Physical Environment) Menurut LeBlanc dan Nguyen (1998, p47), lingkungan fisik dimana pelayanan dihasilkan dan dikonsumsi sangatlah mempengaruhi persepsi konsumen terhadap citra perusahaan. 4. Karyawan (Contact Personnel) Performa karyawan dan interaksi karyawan melalui sikap mereka yang berlangsung pada saat pelayanan diberikan mempengaruhi hasil dari evaluasi pelayanan.Bitner et al. (1990), yang dikutip oleh LeBlanc dan Nguyen (1998, p47), interaksi karyawan menjadi salah satu hal penting dalam citra perusahaan.

Citra itu sendiri dapat berperingkat baik, sedang atau buruk. Citra buruk dapat melahirkan dampak negatif bagi operasi bisnis perusahaan. Ia juga melemahkan kemampuan perusahaan bersaing. Citra perusahaan yang baik dan kuat mempunyai manfaat-manfaat seperti berikut : 1. Daya saing jangka menengah dan panjang yang mantap 2. Menjadi perisai selama masa krisis 3. Menjadi daya tarik eksekutif handal 4. Penghematan efektifitas strategi pemasaran 5. Penghematan biaya operasional. 2.3 Kepuasan Pelanggan 2.3.1 Definisi Kepuasan Pelanggan Kepuasan bisa diartikan sebagai upaya pemenuhan sesuatu atau membuat sesuatu memadai (Tjiptono, 2005, p195). Sedangkan Kotler (2003, p61) mendefinisikan kepuasan sebagai perasaan senang atau kecewa seseorang yang dialami setelah membandingkan antara persepsi kinerja atau hasil suatu produk dengan harapan-harapannya. Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat disimpulkan, yaitu adanya perbandingan antara harapan dan kinerja/hasil yang dirasakan pelanggan. Harapan pelanggan dibentuk dan didasarkan oleh beberapa

faktor, di antaranya pengalaman berbelanja di masa lampau, opini teman dan kerabat, serta informasi dan janji-janji perusahaan dan para pesaing. Kepuasan merupakan sebuah fungsi persepsi terhadap suatu produk atau jasa dan pengharapannya terhadap performance produk atau jsa tersebut. Kotler (2000, p36) menyebutkan bahwa : Satisfaction is a person s feelings of pleasure or disappointment resulting from comparing a product s perceived perfomance (or outcome) in relation to his or her expectations . Lebih jauh Assael (1994, p426) menyebutkan bahwa A satisfied customer is yout best sales person. Satisfied customer influence friends and relative to buy, dissatisfied customers inhibitsales . Kepuasan pada pelanggan pada indusri jasa dipengaruhi oleh kinerja karyawannya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Jati Pantja (2005) yaitu kinerja karyawan berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan pelanggan. Selanjutnya, kepuasan pelanggan berpengaruh secara signifikan terhadap kepercayaan pelanggan dan kemudian kepercayaan pelanggan berpengaruh secara signifikan terhadap kesetiaan pelanggan. Kotler (2000) menyebutkan bahwa apabila pelayanan berada dibawah standar, maka pelanggan akan kehilangan kepuasannya, sebaliknya kepuasan akan mencapai titik optimalnya apabila apa yang didapatkannya sebanding atau lebih besar dari harapannya. Sementara itu Kotler & Amstrong (1994) mengatakan bahwa mengukur kepuasan

konsumen bukan pekerjaan mudah, hal ini disebabkan karena, pertama belum adanya tolak ukur kepuasan yang diberikan sebuah produk atau jasa pada individu atau yang diberikan oleh aktivitas pemasaran, kedua kepuasan yang diperoleh individu dari produk atau jasa yang baik harus diimbangi oleh yang jelek, ketiga kepuasan yang dialami sewaktu mengkonsumsi barang atau jasa tertentu, tergantung pada jumlah pemilik lain terhadap barang atau jasa tersebut. Pengukuran kepuasan pelanggan, Kotler (2000, p38) menyebut sebagai Tools for tracking and measuring customer satisfaction dan Tjiptono (1997, p34) dapat didefinisikan kedalam 4 metode sebagai berikut yang salah satunya adalah survei kepuasan pelanggan. Metode ini dilakukan oleh perusahaan dengan melakukan survei terhadap pelangganya untuk mengukur kepuasannya terhadap produk asa yang telah diterimanya. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan umpan balik dari pelanggan, selanjutnya dapat dijadikan dasar pemikiran bagi perusahaan untuk menentukan program perusahaan di masa mendatang. Kotler (1995), menyebutkan survei adalah salah satu metode yang paling banyak dilakukan oleh perusahaan untuk mengukur kepuasan pelanggan. Teknik pengukuran kepuasan dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain :

a. Responden diberikan kuesioner yang diisi dengan pertanyaanpertanyaan mengenai hal-hal yang diberikan dan berapa besat penilaiannya terhadap jasa tersebut. b. Responden diminta memberikan saran atau pendapat sehubungan dengan pelayanan jasa yang diberikan perusahaan kepadanya. c. Dengan membuat ranking atas pelayanan jasa yang diberikan beserta saran dan komentar atas pelayanan tersebut (metode importance analysis). d. Secara langsung dengan memberikan pernyataan : sangat puas, puas, cukup puas, hampir puas tidak puas dan sangat tidak puas. Kotler (2008) menyebutkan bahwa, perusahaan yang ingin unggul dalam pasar harus mengamati harapan pelanggannya, kinerja perusahaan serta kepuasan pelanggan. Kepuasan merupakan sebuah fungsi persepsi terhadap suatu produk atau jasa dan pengharapannya terhadap performance produk atau jasa tersebut. Perubahan lingkungan baik internal maupun eksternal terutama dengan berkembangnya teknologi transportasi telah melahirkan paradigma baru dalam jasa trasnportasi. Persaingan telah memotivasi manajemen untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan dengan mengacu pada reorientasi management (management of change). Daniels (2001, p465) menyebutkan bahwa Companies should consider different ways to pruduce the same product .

Kepuasan pelanggan merupakan faktor terpenting dalam berbagai kegiatan bisnis. Kepuasan pelanggan adalah tanggapan konsumen terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan yang sebelumnya dengan kinerja produk/jasa yang dirasakan. Menurut Willie dalam Tjiptono (1997, p24) mendefinisikan bahwa kepuasan pelanggan sebagai suatu tanggapan emosional pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi suatu produk atau jasa . Sedangkan menurut Gerso Ricard (2000, p3) menyatakan bahwa Kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan bahwa harapannya telah terpenuhi atau terlampaui. Kesimpulan yang dapat diambil dari definisi-definisi di atas adalah bahwa pada dasarnya pengertian kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara harapan dengan hasil dari kinerja yang dirasakan. Kotler (2004, p10) yang menyatakan bahwa kepuasan pelanggan yaitu tingkatan dimana anggapan kinerja (perceived performance) produk akan sesuai dengan harapan seorang pelanggan. Bila kinerja produk jauh lebih rendah dibandingkan harapan pelanggan, pembelinya tidak puas. Sebaliknya bila kinerja sesuai dengan harapan atau melebihi harapan, pembelinya merasa puas atau merasa puas atau merasa amat gembira. Seiring dengan pendapat diatas Purnomo (2003, p195) mengartikan kepuasan pelanggan sebagai Perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang diharapkan , maksudnya bahwa kepuasan

pelanggan tercipta jika pelanggan merasakan output atau hasil pekerjaan sesuai dengan harapan, atau bahkan melebihi harapan pelanggan. Definisi kepuasan pelanggan juga dipaparkan oleh Tse dan Wilson (dalam Nasution, 2004, p104) bahwa kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian atau diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaian. Artinya bahwa pelanggan akan merasa puas bila hasilnya sesuai dengan yang diharapkan dan sebaliknya pelanggan akan merasa tidak puas bila hasilnya tidak sesuai dengan harapan, sebagai contoh seorang pelanggan puas dengan kinerja sebuah bank maka pelanggan tersebut tidak akan terus menabung maka sebaliknya bila tidak puas maka akan menutup rekening di bank tersebut dan pindah ke bank yang lain. Sesuai dengan pendapat Kuswadi (2004, p6) kepuasan pelanggan yaitu perbedaan antara harapan pelanggan dan persepsi pelanggan terhadap apa yang diberikan perusahaan. Menurut Amir (2005, p13) kepuasan pelanggan adalah sejauh mana manfaat sebuah produk dirasakan (perceived) sesuai dengan apa yang diharapkan pelanggan. Kemudian secara sederhana kepuasan pelanggan adalah sebuah produk atau jasa yang dapat memenuhi atau melampaui harapan pelanggan, bisanya pelanggan merasa puas

(Gerson, 2002, p5), contohnya seorang pelanggan akan selalu membeli di toko A karena memenuhi semua kebutuhan atau harapannya. Dari berbagai pendapat yang dilontarkan para ahli bisa disimpulkan definisi kepuasan pelanggan adalah respon dari perilaku yang ditunjukkan oleh pelanggan dengan membandingkan antara kinerja atau hasil yang dirasakan dengan harapan. Apabila hasil yang dirasakan dibawah harapan, maka pelanggan akan kecewa, kurang puas bahkan tidak puas, namun sebaliknya bila sesuai dengan harapan, pelanggan akan puas dan bila kinerja melebihi harapan, pelanggan akan sangat puas. 2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pelanggan Menurut Zheithaml and Bitner (2003, p87) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan, antara lain: 1. Fitur produk dan jasa. Kepuasan pelanggan terhadap produk atau jasa secara signifikan dipengaruhi oleh evaluasi pelanggan terhadap fitur produk atau jasa. Untuk jasa perbankan, fitur yang penting meliputi karyawan yang sangat membantu dan sopan, ruang transaksi yang nyaman, sarana pelayanan yang menyenangkan, dan sebagainya. Dalam melakukan studi kepuasan, banyak perusahaan menggunakan kelompok fokus untuk menentukan fitur dan atribut penting dari jasa dan kemudian mengukur persepsi pelanggan terhadap fitur tersebut. Penelitian juga menunjukkan bahwa

pelanggan jasa akan membuat trade-off antara fitur jasa yang berbeda (misalnya, tingkat harga dengan kualitas, atau dengan keramahan karyawan), tergantung pada tipe jasa yang dievaluasi dan tingkat kekritisan jasa. 2. Emosi pelanggan. Emosi juga dapat mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap produk atau jasa. Emosi ini dapat stabil, seperti keadaan pikiran atau perasaan atau kepuasan hidup. Pikiran atau perasaan pelanggan (good mood atau bad mood) dapat mempengaruhi respon pelanggan terhadap jasa. Emosispesifik juga dapat disebabkan oleh pengalaman konsumsi, yang mempengaruhi kepuasan pelanggan terhadap jasa. Emosi positif seperti perasaan bahagia, senang, gembira akan meningkatkan kepuasan pelanggan. Sebaliknya, emosi negatif seperti kesedihan, duka, penyesalan dan kemarahan dapat menurunkan tingkat kepuasan. 3. Atribusi untuk keberhasilan atau kegagalan jasa. Atribusi penyebab yang dirasakan dari suatu peristiwa mempengaruhi persepsi dari kepuasan. Ketika pelanggan dikejutkan dengan hasil (jasa lebih baik atau lebih buruk dari yang diharapkan), pelanggan cenderung untuk melihat alasan, dan penilaian mereka terhadap alasan dapat mempengaruhi kepuasan. Misalnya, ketika nasabah gagal menarik uang dari ATM maka ia akan mencari alasan mengapa ATM tidak dapat berfungsi. Apabila tidak berfungsinya

ATM disebabkan oleh matinya aliran listrik PLN maka hal ini tidak akan mempengaruhi kepuasannya terhadap bank tertentu. 4. Persepsi terhadap kewajaran dan keadilan (equity and fairness). Kepuasan pelanggan juga dipengaruhi oleh persepsi pelanggan terhadap kewajaran dan keadilan. Pelanggan bertanya pada diri mereka: Apakah saya diperlakukan secara baik dibandingkan dengan pelanggan lain? Apakah pelanggan lain mendapat pelayanan yang lebih baik, harga yang lebih baik, atau kualitas jasa yang lebih baik? Apakah saya membayar dengan harga yang wajar untuk jasa yang saya beli? Dugaan mengenai equity dan fairness adalah penting bagi persepsi kepuasan pelanggan terhadap produk atau jasa. 5. Pelanggan lain, keluarga, dan rekan kerja. Kepuasan pelanggan juga dipengaruhi oleh orang lain. Misalnya, kepuasan terhadap perjalanan liburan keluarga adalah fenomena yang dinamis, dipengaruhi oleh reaksi dan ekspresi oleh anggota keluarga selama liburan. Kemudian, apakah ekspresi kepuasan atau ketidakpuasan anggota keluarga terhadap perjalanan dipengaruhi oleh cerita yang diceritakan kembali diantara keluarga dan memori mengenai suatu peristiwa.

2.4 Loyalitas Pelanggan 2.4.1 Definisi Pelanggan Definisi customer (pelanggan) berasal dari kata custom, yang didefinisikan sebagai membuat sesuatu menjadi kebiasan atau biasa dan : mempraktikan kebiasan . Pelanggan adalah seseorang yang menjadi terbiasa untuk membeli. Kebiasan itu terbentuk melalui pembelian dan interaksi yang sering selama periode waktu tertentu, tanpa adanya hubungan yang kuat dan pembelian berulang, orang tersebut bukanlah pelanggan, ia adalah pembeli. Pelanggan yang sejati tumbuh seiring dengan waktu (Griffin, 2005, p31). 2.4.2 Definisi loyalitas Pelanggan Menurut Oliver (1996) dalam Hurriyati (2005, p128) mengungkapkan definisi loyalitas pelanggan sebagai berikut Customer loyalty is deefly held commitment to rebuy or repartronize a preferred product or service consistenly in the future, despite situational influences and marketing efforts having the potential to cause swtiching behaviour Dari definisi di atas terlihat bahwa loyalitas adalah komitmen pelanggan yang bertahan secara mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang produk/jasa terpilih secara konsisten

dimasa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku. Menurut Griffin (2004) yang dikutip oleh Hurriyati (2005, p129) definisi loyalitas adalah : Loyalty is defined as non random purchase expressed over time by some decision making unit berdasarkan definisi tersebut dapat di jelaskan bahwa loyalits lebih mengacu pada wujud perilaku dari unit-unit pengambilan keputusan untuk melakukan pembelian secara terus menerus terhadap barang/jasa suatu perusahaan yang dipilih. Loyalitas dapat dicapai melalui dua tahap : (1) perusahaan harus mempunyai kemampuan dalam memberikan kepuasan kepada konsumennya agar konsumen mendapatkan suatu pengalaman positif, berarti pembelian ulang diprioritaskan pada penjualan sebelumnya. (2) perusahaan harus mempunyai cara untuk mempertahankan hubungan yang lebih jauh dengan konsumennya dengan menggunakan strategi Forced Loyalty (kesetiaan yang dipaksa) supaya konsumen mau melakukan pembelian ulang, (Kotler, 2001). Menurut Griffin (2005, p11) loyalitas yang meningkat dapat menghemat biaya perusahaan sedikitnya di 6 bidang : 1. Biaya pemasaran menjadi berkurang (biaya pegambil alihan pelanggan lebih tinggi daripada biaya mempertahankan pelanggan).

2. Biaya transaksi menjadi lebih rendah, seperti negosiasi kontrak dan pemrosesan order. 3. Biaya perputaran pelanggan (customer turnover) menjadi berkurang (lebih sedikit pelanggan hilang yang harus digantikan). 4. Keberhasilan cross-selling menjadi meningkat, menyebabkan pangsa pelanggan lebih besar. 5. Pemberitahuan dari mulut ke mulut menjadi lebih positif; dengan sumsi para pelanggan yang loyal juga merasa puas. 6. Biaya kegagalan menjadi menurun (seperti biaya penggantian). 2.5 Hasil Penelitian Relevan Kajian terhadap hasil penelitian terdahulu yang relevan dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang posisi dan kelayakan penelitian tennag kontribusi Kualitas Pelayanan dan Citra Perusahaan Terhadap Kepuasan Pasien Pada Rumah Sakit Pusat Pertamina. Selain itu dimaksudkan pula untuk memberi gambaran tentan g perbedaan fokus masalah dan hasil dari penelitian. 1. Rustika (2008) hasil penelitian tentang Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Konsumen Pada Matahari Departement Store Matahari di Solo Grand Mall ditemukan bahwa :

Berdasarkan hasil analisis regresi binary logistic diperoleh bahwa variabel independen yang terdiri dari bukti fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan konsumen. Hasil uji koefisien regesi diperoleh bahwa semua variabel independen yang terdiri dari bukti fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati signifikan terhadap kepuasan konsumen. Dari hasil uji ekspektasi B atau Exp (B) diketahui bahwa kontribusi yang diberikan variabel empati terhadap kepuasan konsumen yang paling besar dibandingkan variabel bukti fisik, keandalan, daya tanggap, dan jaminan. Hal ini ditunjukkan dari besarnya nilai Exp (B) = 2,489 yang paling besar dari nilai Exp (B) variabel yang lain. Hal ini juga dapat dilihat dari bes arnya nilai koefisien beta variabel empati paling besar yaitu 0, 912. Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan yaitu dalam pemilihan variabel yang seperti disebutkan dalam penelitian ini, hal tersebut disebabkan masih terbatasnya penelitian yang menganalisis pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan konsumen. Kepuasan konsumen yang diteliti dalam penelitian ini terbatas hanya pada satu tempat, sehingga peneliti tidak melakukan uji perbandingan kepuasan konsumen lebih dari satu tempat penelitian. Untuk meningkatkan kepuasan konsumen Matahari Departemen Store di Solo Grand Mall perlu adanya tindakan antara lain: a. Saran untuk perusahaan Dikarenakan empati adalah faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi tingkat kepuasan konsumen, maka disarankan kepada seluruh pegawai Matahari Departemen Store di Solo Grand Mall untuk lebih memperhatikan

pendekatan individu dengan konsumen, sehingga dapat terjadi hubungan emosional yang baik dengan konsumen. Rasa tanggap terhadap kebutuhan konsumen harus dimiliki oleh setiap pegawai sehingga konsumen tidak perlu repotrepot menanyakan barang yang diinginkan, tetapi karyawan telah menyediakan sebelum konsumen menanyakannya. Pelayanan konsumen lebih ditingkatkan dengan tidak membedakan status sosial. b. Meningkatkan kondisi gedung Matahari Departemen Store yang bersih, nyaman dengan interior yang menarik, melengkapi fasilitas pendukung (kamar pas, kasir, parkir, escalator, keamanan, AC), menjaga penampilan dan ketrampilan pegawai. c. Meningkatkan pelayanan yang tepat waktu, kemudahan pembayaran di kasir yang dapat dilakukan secara cash atau menggunakan kartu kredit dan kartu ATM, program promosi (diskon, program pada eventevent tertentu) dilaksanakan sesuai program yang diadakan, fasilitas kartu member/anggota (MCC) dapat digunakan sesuai dengan fungsinya (mendapatkan poin untuk kemudian dapat ditukar dengan voucer belanja). d. Meningkatkan kecepatan pegawai dalam menanggapi permintaan konsumen, selalu bersedia membantu kesulitan konsumen, menyelesaikan keluhan konsumen dengan tepat, memberikan informasi dengan jelas sesuai dengan kebutuhan konsumen. e. Meningkatkan keterampilan dan pengetahuan dalam menangani keluhan konsumen, memberikan pelayanan dengan ramah dan sopan, kualitas produk

yang dijual sesuai dengan yang dipromosikan, harga yang terpasang pada produk sesuai dengan harga yang dibayarkan. 2. Hatane (2005) hasil penelitian tentang Pengaruh Kepuasan Konsumen terhadap Kesetiaan Merek pada Restoran the Prime Steak & Ribs, ditemukan bahwa : Penelitian kepuasan konsumen diukur melalui Attributes related to the product, Attributes related to the service, Attributes related to the purchase, kesetiaan merek diukur melalui habitual behaviour switching cost, satisfaction, liking of the brand, dan commitment. Hasil penelitian mengungkapakan bahwa kepuasan konsumen di The Prime Steak & Ribs mendapat penilaian yang cenderung baik, beberapa atribut masih mempunyai variasi penilaian yang tinggi, dan terdapat hubungan pengaruh positip yang signifikan antara kepuasan konsumen dengan kesetiaan merek, dengan demikian hasil penelitian mendukung konsep teori tentang kesetiaan merek.