bab 2 tinjauan pustaka - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58450/3/bab 2.pdf · 6 bab 2 tinjauan...
TRANSCRIPT
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dispepsiai
2.1.1 Definisii
Kata ‘dispepsia’ berasal dari ibahasa Yunani, yaitu ‘dys’ (poor) idan
‘pepse’ (digestion) yang berarti igangguan percernaan. Awalnya gangguan ini
dianggapi sebagai bagian dari gangguan icemas, hipokondria, dan histeria
(Purnamasari, 2017). Istilah ‘dispepsia’ bukan diagnosis, imelainkan kumpulan
gejala yang mengarah ipada penyakit atau gangguan saluran pencernaan atas
(British Society of Gastroenterology (BSG), 2019).
Istilah dispepsia sendiri mulai igencar dikemukakan sejak akhir itahun
1980-an, yang menggambarkan keluhan atau ikumpulan gejala (sindrom) yang
terdiri idari nyeri atau rasa tidak inyaman di iepigastrium, mual, muntah,
kembung, cepat kenyang, rasa penuh, isendawa, regurgitasi, dan rasa panas iyang
menjalar di dada. Sindrom iatau keluhan ini dapat disebabkan iatau didasari oleh
berbagai penyakit, itentunya termasuk juga di dalamnya ipenyakit yang mengenai
lambung, atau iyang lebih dikenal sebagai penyakit imaag (Djojodiningrat, 2009).
2.1.2 Epidemiologi
Dispepsia adalah keluhan klinis iyang sering dapat dijumpai dalam
praktiki klinis sehari-hari (Abdullah & Gunawan, 2012). Secara global, terdapat
berkisar i15-40% penderita sindrom dispepsia. Setiap itahun sindrom ini
mengenai 25% ipopulasi di dunia. Sekitar 25% ipopulasi tersebut memiliki gejala
7
dispepsia ienam kali setiap tahunnya. Prevalensi idispepsia di Asia sekitar 8-30%
(Purnamasari, 2017).
Prevalensi pasien dispepsia Indonesia di pelayanan ikesehatan mencakup
30% dari pelayanan idokter umum dan 50% dari ipelayanan dokter spesialis
gastroenterologi (Marcellus et al, 2014). Prevalensi iyang cukup tinggi ditemui di
iMakasar tahun 2011 (55%), Solo tahuni 2008 (51,8%), Yogyakarta (30.6%) idan
Surabaya tahun 2013 (23,5%), sertai prevalensi terendah di Jakarta i(8%)
(Parewangi, 2011). Menurut Andhini (2011), angka kejadian dispepsia pada
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang angkatan
2008 mencapai 68.4%.
2.1.3 Klasifikasi
(Futagami et al., 2018)
Gambar 2.1
Klasifikasi Dispepsia
Dispepsia diklasifikasikan menjadi dua, iyaitu organik (struktural) dan
fungsional i(nonorganik). Pada dispepsia organik terdapat ipenyebab yang
mendasari, seperti penyakit iulkus peptikum (Peptic Ulcer Disease atau PUD),
GERD (Gastro Esophageal Reflux Disease), kanker, dan lain-lain. Non-organik
(fungsional) ditandai dengan nyeri atau itidak nyaman perut bagian atas iyang
8
kronis atau berulang, tanpa iabnormalitas pada pemeriksaan fisik dan iendoskopi.
Dispepsia fungsional dibagi menjadi tiga, yaitu rasa pandrial distress syndrome
(PDS), Epigastric Pain Syndrome (EPS), dan gabungan antara keduanya (PDS-
EPS) (Futagami et al., 2018)
2.1.4 Diagnosis
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah
adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas (Abdullah &
Gunawan, 2012). Indikasi endoskopi bila ada gejala atau tanda alarm seperti
gejala dispepsia yang baru muncul pada usia lebih dari 55 tahun, penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, anoreksia, muntah persisten, disfagia
progresif, odinofagia, perdarahan, anemia, ikterus, massa abdomen, pembesaran
kelenjar limfe, riwayat keluarga dengan kanker saluran cerna atas, ulkus
peptikum, pembedahan lambung, dan keganasan (Black et al., 2018).
(Black et al., 2018)
Gambar 2.2
Tanda Bahaya pada Pasien dengan Dispepsia
9
2.1.5 Algoritma
(Abdullah & Gunawan, 2012)
Gambar 2.3
Algoritma Pengelolaan Pasien dengan Dispepsia
Mendeteksi tanda-tanda bahaya (alarming features) pada pasien dengan
keluhan dispepsia merupakan hal penting. Apabila didapatkan tanda-tanda bahaya
atau usia lebih dari 55 tahun, tindakan esofagogastroduodenoskopi untuk
keperluan diagnostik sangat dianjurkan (Abdullah & Gunawan, 2012).
Namun, bila tidak didapatkan kondisi di atas, terdapat 2 tindakan yang
dapat dilakukan: (1) Test-and-treat: untuk mendeteksi ada tidaknya infeksi
Helicobacter pylori dengan uji noninvasif yang tervalidasi disertai pemberian obat
penekan asam bila eradikasi berhasil, tetapi gejala masih tetap ada, (2)
Pengobatan empiris menggunakan Proton-Pump Inhibitor (PPI) untuk 4-8
minggu. American College of Physicians menyatakan bahwa pengobatan empiris
menggunakan obat antisekresi ini merupakan tulang punggung utama pengobatan
dispepsia dan masih dipraktikkan secara luas hingga saat ini. Alternatif (1)
dianjurkan untuk mengobati populasi dengan prevalensi infeksi H. pylori tingkat
sedang sampai tinggi (>10%), sedangkan alternatif (2) disarankan pada populasi
dengan prevalensi infeksi H. pylori rendah (Abdullah & Gunawan, 2012).
10
2.1.6 Faktor Resiko Dispepsia (Rahmayanti, 2016)
1. Faktor Psiko-Sosial
Dispepsia sangat iberhubungan erat dengan faktor psikis. iBesarnya
peranan stres dalam memicu iberbagai penyakit sering tidak disadari oleh
penderita bahkan oleh tenaga imedis sendiri. Hal ini sekaligus menjelaskani
mengapa sebagian penyakit bisa imenemukan progesifitas penyembuhan yang
baik isetelah faktor stres ini ditangani.
2. Penggunaan Obat-obatani
Sejumlahi obat dapat mempengarui gangguan iepigastrium, mual,
muntah dan nyeri idi ulu hati. Misalnya golongan NSAIDs, seperti aspirin,
ibuprofen, dan naproxen, steroid, teofilin, digitalis, dan antibiotik.
3. Pola Makan tidak Teraturi
Pola makan yang itidak teratur terutama bila jarang isarapan di pagi
hari, termasuk iyang beresiko dispepsia. Di pagi ihari kebutuhan kalori
seseorang cukup ibanyak, sehingga bila tidak sarapan, imaka lambung akan
lebih banyak imemproduksi asam.
4. Gaya Hidup yang tidak Sehati
a. Menghisap rokok. iTar idalam asap rokok idapat melemahkan ikatup
Lower Esophageal Spinter (LES), ikatup antara ilambung dan
tenggorokan, isehingga gas dilambung naiki hingga ikerongkongan.
b. Minum Alkohol. iAlkohol bekerja imelenturkan katup LES, sehinggai
menyebabkan irefluks atau berbaliknya iasam lambung kei kerongkongan.
Alkohol ijuga meningkatkan iproduksi asam lambung.
11
c. Minumi kopi, iteh atau minuman ilain yang imengandung kafein. Kafein
idapat mengendurkan iLES, katup iantara lambung idan tenggorokan,
sehingga imenyebabkan gas di ilambung naik ihingga kerongkongan.
d. Terlalu isering mengkonsumsi makanani yang berminyak idan berlemak.
Makanani tersebut cenderung ilambat dicerna, imembuat makanan tinggal
ilebih lama di lambung, yang ipada akhirnya akan meningkatkan tekanan
iterjadinya perlemahan LES. Jika iLES melemah, asam lambung akan naik
ike kerongkongan.
2.1.7 Manifestasi Klinis
Gejala dispepsia : (Suzuki, 2017; Rahmayanti, 2016)
Epigastric pain
Sensasi yang tidak menyenangkan; beberapa pasieni merasa terjadi
kerusakan jaringan.
Postprandiali fullness
Perasaan yang tidak inyaman seperti makanan berkepanjangan di iperut.
Early satiation
Perasaan bahwa iperut sudah terlalu penuh segera isetelah mulai makan,
tidak sesuai idengan ukuran makanan yang dimakan, sehingga makan
tidak dapat diselesaikan. iSebelumnya, kata “cepat kenyang” digunakan,
itapi kekenyangan adalah istilah yang ibenar untuk hilangnya sensasi nafsu
imakan selama proses menelan makanan.
Epigastrici burning
Terbakar adalah perasaan isubjektif yang tidak menyenangkan dari ipanas.
12
2.1.8 Patofisiologii
Berbagai hipotesis telah banyak idiajukan tentang patofisiologi sindrom
dispepsia. iDiantaranya yang paling banyak dibicarakan iadalah :
1. Sekresi asam lambung
Kasus dispepsia fungsional umumnya imempunyai tingkat sekresi
asam lambung, ibaik sekresi basal maupun dengan istimulasi pentagastrin,
yang rata-rata inormal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas imukosa
lambung terhadap asam yang imenimbulkan rasa tidak enak di iperut
(Djojoningrat, 2009).
Peningkatan sensitivitas imukosa lambung dapat terjadi akibat polai
makan yang tidak teratur. iPola makan yang tidak teratur iakan membuat
lambung sulit untuk iberadaptasi dalam pengeluaran sekresi asam ilambung.
Jika hal ini berlangsung idalam waktu yang lama, produksi iasam lambung
akan berlebihan sehingga idapat mengiritasi dinding mukosa pada ilambung
(Rani et al., 2011).
2. Infeksi Helicobacter pylori (Hp)
Peran Helicobacter ipylori pada patogenesis sindrom dispepsia masih
terus dipelajari. H. pylori ididuga menyebabkan inflamasi dan dismotilitas,
imenginisiasi hipersensitivitas viseral dan meningkatkan sekresii asam. Pada
kejadian sindrom idispepsia yang disebabkan oleh kelainan iorganik, seperti
tukak peptikum, infeksi iHp memiliki peranan yang penting i(Brun & Kuo,
2010). Reaksi iimun yang timbul terhadap Hp justrui menyebabkan kerusakan
sel-sel iepitel gastroduodenal yang lebih parah inamun tidak berhasil
mengeliminasi bakteri idan menjadi infeksi kronik. Selain iitu, Hp yang
13
terkonsentrasi di iantrum juga dapat menyebabkan kerusakan isel-sel D
setempat yang ifungsinya untuk menghasilkan somatostatin. Penurunan
isomatostatin yang terjadi menyebabkan gastrin i(asam lambung) tidak dapat
ditekan isehingga asam lambung berlebihan dan idapat berlanjut ke duodenum
menyebakan itukak dudodenum (Djojoningrat, 2014). Sedangkan ipada
dispepsia fungsional, peran Hp ibelum sepenuhnya dimengerti. Dari berbagai
ilaporan, kekerapan Hp pada dispepsia ifungsional sekitar 50% dan tidak
iberbeda bermakna dengan angka kekerapan ipada orang sehat (Djojoningrat,
2014; Ranii et al., 2011).
3. Dismotilitas gastrointestinali
Gejala pada idispepsia fungsional dijelaskan sebagai akibat adanyai
gangguan motilitas selama dan isetelah makan (Brun & iKuo, 2010). Pada
23% kasus menyebutkan ibahwa pada sindrom dispepsia, terutama idispepsia
fungsional, terjadi pengosongan lambung iyang lebih lama dan berkorelasi
idengan adanya keluhan mual, muntah, idan rasa penuh di ulu ihati sedangkan
pada 40% kasus ilainnya ditemukan gangguan akomodasi lambung iwaktu
makan yang berhubungan dengan rasai cepat kenyang dan penurunan iberat
badan (Djojoningrat, 2014).
4. Gangguan relaksasi fundus
Makanani yang masuk kedalam lambung iakan menyebabkan relaksasi
fundus dan ikorpus gaster. Pada 40% kasus dispepsia terjadi penurunan
kapasitas relaksasi ifundus yang bermanifestasi dalam keluhan cepati kenyang
(Djojoningrat, 2014). Keadaan iini juga yang menyebabkan perbedaan
ipengosongan lambung terhadap makanan cair dani padat. Lambung
14
membutuhkan waktu ipengosongan yang normal untuk makanan icair tapi
terjadi perlambatan pengosongan ilambung pada makanan padat (Rani iet al.,
2011).
5. Faktor dietetiki
Pada kasus sindrom idispepsia terjadi perubahan pola makan, sepertii
hanya mampu porsi kecil idan intolerasi terhadap porsi besar, terutamai
makanan berlemak (Djojoningrat, 2014). iPasien dengan dispepsia fungsional
sering imelaporkan gejala yang dialaminya berkaitan dengani makanan yang
dikonsumsi, namun isebenarnya data mengenai hubungan antara ikeduanya
masih kontroversial (Brun & iKuo, 2010). Mengonsumsi makanan berminyak
idan berlemak terlalu sering dapat menyebabkani refluks makanan karena
pencernaan imenjadi lambat sehingga makanan membutuhkan iwaktu yang
lebih lama berada idalam lambung. Hal ini akan imengakibatkan peningkatan
tekanan dalam lumen lambungi dan akhirnya membuat katup iantara lambung
dan kerongkongan menjadi lemahi sehingga asam lambung dan igas dapat
naik (Susanti, 2011). Makanan yang dapat imencetuskan serangan dispepsia
diantaranya adalah ibuah-buahan, kopi, alkohol, dan imakanan berlemak (Rani
et al., 2011).
6. Psikologii
Adanyai stres akut dapat mempengaruhi ikejadian sindrom dispepsia
sehingga faktor ikognitif dan faktor psikosomatik juga iharus dinilai pada
pasien kasus isindrom dispepsia. Penjelasan antara hubungan faktori
psikologik stres, fungsi otonom, idan motilitas tetap masih kontroversial
15
namun dilaporkan bahwa terdapat penurunan ikontraktilitas lambung yang
mendahului keluhan imual setelah stimulus stres isentral (Djojoningrat, 2014).
7. Peran Kolesistokinin (CCK) dan Sekretini
Hormon kolesistokinin (CCK) imeningkat setelah makan dan bersama
idengan Gastrin menginduksi relaksasi gaster idan menurunkan tekanan
intragaster. Komponen ilemak dan protein menstimulus pelepasan hormoni ini
dari sel I idalam jumlah yang banyak. Hormon iini menyebabkan pelepasan
enzim-enzim ipencernaan dari pankreas dan memperlambat ipengosongan
lambung melalui kontraksi pilorus isehingga nutrien dapat dicerna secara
ioptimal. Pada penderita dispepsia terjadi peningkatan hormon ini. Sekretin
juga imemicu pengosongan lambung yang lambat ipada penderita dispepsia.
Sekretin akan idisekresi saat duodenum mengalami pengasaman iyang
kemudian menstimulus duodenum memproduksi ibikarbonat untuk
menetralkan duodenumi (Rani et al., 2011).
2.1.9 Komplikasi Dispepsia
Komplikasi dari dispepsia yaitu luka pada lambung yang dalam atau
melebar tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung dan dapat
mengakibatkan kanker pada lambung (Djojoningrat, 2009).
2.2 Stres
2.2.1 Definisi stresi
Stres merupakan adaptasi terhadap respons pertarungan atau pelarian
selama evolusi. Stres dapat menyebabkan konstelasi respons fisiologis (termasuk
sistem saraf, endokrin, dan kekebalan) yang jika tidak demikian dapat berbahaya
16
dalam kondisi tertentu (Yang L et al., 2015).iDalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang dimaksudi dengan istres adalah gangguan iatau kekacauan imental
dan emosional yangi disebabkan ioleh faktor luar iatau ketegangan. iDengan
demikian dapat disimpulkani bahwa stres adalahi suatu reaksi ifisik idan psikis
terhadap isetiap tuntutan iyang menyebabkan ketegangan idan mengganggu
istabilitas kehidupan sehari-harii (Hidayat, i2009).
2.2.2 Sumber stresi
Kondisi stres idapat disebabkan ioleh berbagai penyebab iatau sumber,
dalami istilah yang lebih umum idisebut stresor. Stresor adalah keadaan atau
situasi, obyek atau individu iyang dapat menimbulkan stres. Masalah
penyesuaiani atau keadaan stres dapat bersumber pada frustasi, konflik, tekanan,
ataui krisis (Hidayat, 2009).
1. Frustasi
Timbul ibila ada aral melintang antara ikita dan maksud (tujuan) kita,
iindividu yang sedang berusaha mencapai ikebutuhan mendadak timbul
halangan yang imerupakan frustasi baginya yang dapat menimbulkani stres
padanya. Misalnya bila ikita mau berpiknik lantas mendadak ihujan turun.
Ada frustasi yang idari luar, seperti: bencana alam, ikecelakaan, kematian,
goncangan ekonomi, diskriminasi, persaingan, iperubahan yang terlalu cepat.
Frustasi yangi datang dari dalam seperti: icacat tubuh, kegagalan dalam usaha
idan moral sehingga penilaian diri isendiri menjadi sangat buruk, dani
penyakit dapat pula melemahkan dayai tahan psikologik terhadap stres ilain
(Maramis, 2010).
17
2. Konflik
Menurut Marasmis (2010), iterjadi bila kita tidak dapat imemilih
antara dua atau lebih imacam kebutuhan atau tujuan sebagai iberikut: Konflik
pendekatan-penolakan: individu idihadapkan pada suatu keadaan yang
mengharuskan ia mengambil keputusan, tetapi iia tidak dapat, maju terus tidak
berani, mundur juga tidak imenyenangkan. Konflik pendekatan iganda:
individu itu berusaha mencapai ikedua-duanya, tetapi sukar baginya, iia harus
melepaskan salah satu iatau harus mengubah sikapnya terhadap salahi satu.
Konflik penolakan ganda: iindividu itu tidak menghendaki kedua-duanyai
karena tidak menyenangkan baginya, itetapi ia harus memilih salah isatu.
3. Tekanan
Tekanan sehari-hari biarpun ikecil, tetapi bila tertumpuk-tumpuk,
dapati menjadi stres yang hebat. iTekanan yang datang dari dalam iseperti
cita-cita yang terlalu itinggi sehingga kita terus-menerus iberada di bawah
tekanan. Contoh itekanan dari luar seperti orang itua menuntut anak
mendapatkan nilai iyang tinggi (Maramis, 2010).
4. Krisis
Suatu ikeadaan yang mendadak menimbulkan stres ipada seorang
individu ataupun suatu ikelompok, seperti: kematian, kecelakaan, penyakit
yang diharuskan untuk dilakukannya operasi, masuk sekolah iuntuk pertama
kali (Maramis, 2010).
2.2.3 Stres pada Mahasiswa
Peralihani SMA menuju universitas menyebabkan ibanyak perubahan
dalam ikehidupan dari iseorang siswa SMA iyang dapat imenyebabkan stres.
18
Studi telah imencoba iuntuk mengidentifikasi sumber istres di ikalangan
imahasiswa kedokteran umum. Hasil istudi tersebut terdapat tiga hal iyang dapat
menyebabkan stres yaitu itekanan akademik, isu sosial, dan imasalah keuangan.
Proses evaluasi terus imenerus, pekerjaan yang melelahkan, berjuang
untuki mendapatkan nilai tinggi, tujuan iyang ingin dicapai idan lainnya ibukan
satu-satunya isumber stres ibagi mahasiswa ikedokteran. Potensi sumber istres
bagi siswa dapat mencakup stres akademik, tekanan sosial, dan istres fisik.
Stres akademik meliputi imateri yang akan dibahas dalam ijangka waktu
yang terbatas, perubahan idalam cara belajar, kurangnya bimbingan iyang tepat,
gagal dalam ujian. iTekanan sosial meliputi hubungan dengan ikelompok sebaya,
dosen, senior, perpindahan idari rumah, harapan orang tua, iperubahan dalam
media pendidikan. Stres ifisik meliputi fasilitas asrama yang itidak memadai,
makanan, dll.
2.2.4 Coping Stress
Terdapat dua strategi coping, yaitu : (Davinson et al., 2010)
1. Problem solving focused coping
Mekanisme seseorang individu yang secara aktif mencari penyelesaian dari
masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres.
2. Emotion focused coping
Individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan.
Lahey (2004) mengemukakan coping yang efektif antara lain :
1. Menjauhi sumber-sumber stress (removing stressor) dan mengurangi kondisi
lingkungan yang berbahaya.
19
2. Melakukan penyesuaian dalam pemikiran ketika menghadapi suatu
permasalahan (cognitive coping) dan bersikap toleran terhadap peristiwa atau
kenyataan yang negatif.
3. Mengatur reaksi yang ditimbulkan karena stress atau segala tekanan
(managing stress reaction) dan memelihara keseimbangan emosi.
4. Memelihara citra diri yang positif dan memelihara hubungan yang positif
dengan orang lain.
Sedangkan coping yang tidak efektif antara lain :
1. Penghindaran (withdrawal)
2. Bersikap agresi (aggression)
3. Mengobati diri sendiri, seperti minum-minuman keras dan pelarian pada obat
terlarang (self-medication)
4. Melakukan ego pertahanan diri (defends mechanism) seperti melakukan
displacement, sublimasi, proyeksi, reaksi formasi, regresi, rasionalisasi,
represi, denial, dan intelektualisasi.
2.2.5 Hubungan Stres Dengan Dispepsia
Selama stres, Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) dari hipotalamus
menstimulasi sekresi hormon adenokortikotropik (ACTH) dari hipofisis anterior,
yang pada gilirannya melepaskan glukokortikoid (kortisol) dari kelenjar adrenal.
Hormon kortisol yang disekresikan akibat paparan stres psikologis akan memicu
sekresi asam lambung. Sekresi asam lambung yang meningkat merupakan salah
satu patofisiologi dari sindrom dispepsia (Darwin et al., 2017).
20
2.3 Pola Makan
Margaret Mead, seorang ahli Antropologi, mengemukakan bahwa pola
pangan atau food pattern merupakan cara seseorang atau sekelompok orang
memanfaatkan pangan yang tersedia sebagai reaksi terhadap tekanan ekonomi dan
sosio-budaya yang dialaminya. Pola pangan ini berkaitan dengan kebiasaan
makan (food habit). Pola makan merupakan tingkah laku manusia dalam
memenuhi kebutuhan makan yang meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan
makanan. Seseorang dapat bersikap positif atau negatif terhadap makanan
tergantung nilai-nilai afektif yang berasal dari lingkungan tempat manusia
tersebut tumbuh sedangkan kepercayaan terhadap makanan berkaitan dengan
nilai-nilai kognitif, yaitu kualitas baik atau buruk, dan menarik atau tidak
(Dwigint, 2015).
Kebiasaan ihidup yang dianjurkan pada dispepsia iadalah pola makan yang
normal idan teratur, pilih makanan yang iseimbang dengan kebutuhan dan jadwal
makani yang teratur, sebaiknya tidak imengonsumsi makanan yang berkadar
asami tinggi, cabai, alkohol dan pantang irokok, bila minum obat karena isesuatu
penyakit, misalnya sakit kepala, igunakan obat secara wajar dan itidak
mengganggu fungsi lambung (Hartaty, i2012).
2.3.1 Klasifikasi Pola Makan
a. Jenis Makanan
Jenis makanani dapat dikelompokkan imenjadi dua iyaitu makanan
utama idan makanan iselingan. Makanan iutama merupakan makanan iyang
biasa dikonsumsi iseseorang berupa imakan pagi, makan isiang, dan imakan
malam yang iterdiri dari imakanan pokok, lauk ipauk, isayur, buah, dan
21
iminuman. Sementara Makanan iselingan adalah imakanan ringan atau snacki
yang biasa dikonsumsi di isela-sela makan utama.
Makanan pokok adalah makanan yang dianggap memegang peranan
penting dalam susunan hidangan. Pada umumnya makanan pokok berfungsi
sebagai sumber energi (kalori) dalam tuuh dan memberikan rasa kenyang.
Makanan pokok yang biasa dikonsumsi yaitu nasi, roti, dan mie (Sediaotama,
2004).
Pada iumumnya pasien yang menderita dispepsia iadalah
pengkonsumsi rokok, minuman alkohol iyang berlebihan, mengonsumsi
minuman berkafein dalam ijumlah banyak dan makan-makanan yang
mengandung asam. Kafein merupakan turunan metilxantin yang terdapat
dalam teh, kopi, dan coklat (Ernst, 2010). Kandungan kakao, kafein, dan
stimulan lain, seperti theobromine, dapat menyebabkan kadar asam di
lambung meningkat. Selain itu, cokelat juga banyak mengandung lemak yang
dapat berpengaruh terhadap asam lambung. Pengosongan lambung itergantung
pada jenis makanan. Biasanya berlangsungi sekitar 1-4 jam. iMakanan yang
mengandung protein, lemak, makanani yang kental (hipertonis), banyaknya
iudara dan usus halus yang penuhi memerlukan waktu yang lebih ilama untuk
dicerna dalam lambung. Lemaki tetap berada di dalam ilambung selama 3-6
jam (Suratun & Lusianah, 2010).
b. Keteraturan makan
Makan tepati waktu dan teratur sangat ipenting untuk dilakukan dan
bahkan iharus dibiasakan, sebab makan tepat iwaktu dan teratur memberikan
manfaat iyang luar biasa bagi tubuh (Tilong, 2014). Frekuensi imakan
22
merupakan iseringnya seseorang melakukan kegiatani makan idalam sehari
baik imakanan utama imaupun makanan selingan, ifrekuensi makan
idikatakan baik jika frekuensii makan idalam sehari tiga kali makanan iutama
atau dua kali makanan iutama dengan satu kali makanan iselingan. Frekuensi
makan dinilai kurang ijika frekuensi makan setiap harinya idua kali makan
utama atau ikurang (Hudha, 2006).
c. Jumlah Makanan
Jumlah atau iporsi makanan merupakan suatu ukuran iatau takaran
yang dikonsumsi pada itiap kali makan. Menurut Sedioetama i(2004) jumlah
atau porsi istandar ibagi remaja antara ilain: makanan ipokok berupa nasi,
iroti, dan imie instan. Jumlah iatau porsi imakanan pokok antara ilain: nasi,
mie instan atau pasta, kentang, roti tawar 50 gram (3 potong sedang), biskuit
50 gram, dan umbi-umbian 150 gram. Lauk pauk imempunyai dua golongan,
golongan lauk ihewani dan nabati. Jumlah atau iporsi makanan antara lain:
daging i50 gram, telur 50 gram, iikan 50 gram, tempe 50 igram (2 potong),
tahu 100 gram (2 potong). Sayur merupakan ibahan makanan yang berasal
dari itumbuh-tumbuhan. Jumlah atau porsi isayuran dari berbagai jenis
makanan isayuran, anatara lain 100 gram. iJumlah porsi buah ukuran i100
gram, potongan 75 gram.
2.3.2 Pola Makan yang Mempengaruhi Dispepsia
a. Makanan iritatif
Makanani iritatif yang dimaksud iadalah makanan yang terbukti ada
ipengaruhnya terhadap dispepsia yaitu makanan ipedas dan makanani asam.
Frekuensi makan-makanan berisiko iberhubungan signifikan dengan kejadian
23
dispepsia. iSemakin sering mengkonsumsi makanan tersebut semakin berisiko
terkena dispepsia (Anggita, i2012).
Konsumsi makanan ipedas secara iberlebihan akan merangsang sistemi
pencernaan, iterutama lambung idan usus yang iberkontraksi. Keadaan ini
menimbulkan rasa ipanas dan nyerii ulu hati iyang disertai muali dan muntahi
(Oktaviani, 2011). Bila kebiasaan mengkonsumsi ilebih dari satu kali dalam
iseminggu selama minimal enam bulan idibiarkan berlangsung lama dapat
menyebabkan iiritasi pada lambung yang idisebut gastritis. Selain itu, bubuk
cabai iatau chilli powder dapat menyebabkan kehilangani sel epitel pada
lapisan mukosai (Berdanier, 2008).
Makanan yang iberminyak dan berlemak juga dapat imenimbulkan
gejala dispepsia. Makanan ini iberada di lambung lebih lama idari jenis
makanan lainnya. Makanan itersebut lambat dicerna dan menimbulkan
tekanani di lambung. Proses pencernaan iini membuat katup LES (Lower
Esophageal Sphincter) melemah sehingga asam ilambung dan gas akan naik
ike kerongkongan (Berdanier, 2008).
b. Minuman iritatif
Menurut Yunita (2010), ifrekuensi minum-minuman iritatif iseperti
minuman berkafein yaitu kopi, teh, cokelat, dan sodaiberpengaruh signifikan
terhadap kejadian idispepsia. Alkohol juga berpengaruh pada kasus dispepsia.
Beberapa jenis minuman atau izat tertentu yang terkandung pada iminuman
ternyata memiliki hubungan terhadap kejadiani dispepsia. Zat yang
terkandung idalam kopi, teh, coklat, dan soda adalah kafein yang merupakani
zat sekret tagogue. Zat iini merupakan salah satu penyebab antrumi mukosa
24
lambung menyekresikan hormon igastrin. Kafein dapat menstimulasi produksi
ipepsin yang bersifat asam yang imenyebabkan iritasi dan erosi mukosa
ilambung. Hormon gastrin yang dikeluarkan ioleh lambung mempunyai efek
sekresi igetah lambung yang sangat asam idari fundus lambung (Ganong,
2008). Minuman bersoda merupakan minuman mengandung igas. Gas yang
berlebihan dalam ilambung dapat memperberat kerja lambung. iMinuman
bersoda atau berkarbonasi akan melenturkani katup LES (Lower Esophangeal
iSphincter) sehingga menyebabkan reflux iatau berbaliknya asam lambung ke
ikerongkongan. Disamping itu, minuman bersoda juga memiliki pH antara 3-
4i yang berarti bersifat asam isehingga akan meningkatkan dampak buruk
ibagi lambung (Berdanier, 2008).
c. Keteraturan makan
Menurut Susanti (2011), kejadian dispepsia dipengaruhi oleh
keteraturani dan frekuensi makan. iOrang iyang memiliki ipola makan yang
tidaki teratur imudah terserang dispepsia. iFrekuensi makan merupakan faktor
yang iberhubungan dengan pengisian dan pengosongan lambung. Kasus
dispepsia diawali idengan pola makan yang tidak iteratur sehingga asam
lambung meningkat, iproduksi HCl yang berlebihan dapat menyebabkani
gesekan pada dinding lambung idan usus halus, sehingga timbul nyerii
epigastrum. Keadaan ini secara iperlahan menimbulkan perdarahan. Perut
yang ikosong atau ditunda pengisiannya, asam ilambung akan mencerna
lapisan mukosa ilambung, berakibat rasa nyerii (Oktaviani, 2011).
Menurut Putheran (2011), kerja lambung akan meningkat pada pagi
hari, yaitu jam 07.00-09.00. Ketika siang hari berada dalam kondisi normal
25
dan melemah pada waktu malam hari jam 07.00-09.00 malam. Oleh karena
itu, sindrom dispepsia berisiko terhadap seseorang yang jarang atau bahkan
tidak sarapan pagi. Di pagi hari kebutuhan kalori seseorang cukup banyak
sehingga bila tidak sarapan, maka lambung akan lebih banyak memproduksi
asam (Rani et al., 2011).
2.3.3 Hubungan Pola Makan Dengan Dispepsia
Lambung yang kosong dikarenakan ipola makan yang tidak teratur
mengakibatkani kadar asam lambung yang imeningkat sehingga dapat mengiritasi
lambung. Jenis makanan yang dikonsumsi turut berperan dalam tejadinya
dispepsia. Konsumsi makanan dan minuman iritatif seperti makanan pedas,
berlemak atau berminyak, asam, bergas (coklat, gorengan, kopi, teh, dan minuman
bersoda), kafein (kopi, teh, coklat), dan alkohol dapat memicu peningkatan asam
lambung. Peningkatan asam lambung merupakan salah satu patofisiologi dari
dispepsia (Almatsier, 2010).
2.3.4 Pola Makan Bagi Penderita Dispepsia
Makan tepat waktu merujuk ipada konsep tiga kali makan idalam sehari
ialah sarapan, makan isiang, dan makan malam. Dalam imemulai makan,
janganlah makan setelah ibenar-benar lapar. Jeda waktu makan merupakan
penentu pengisian dan pengosongan lambung. Jeda waktu makan yang baik yaitu
berkisar antara 4-5 jam (Iping, 2004). Secara alami lambung akan terus
memproduksi asam lambung setiap waktu dalam jumlah yang kecil, setelah 4-6
jam sesudah makan, kadar glukosa dalam darah telah banyak terserap dan terpakai
26
sehingga tubuh akan merasakan lapar dan pada saat itu jumlah asam lambung
terstimulasi. Bila seseorang terlambat makan sampai 2-3 jam, maka asam
lambung yang diproduksi semakin banyak dan berlebih sehingga dapat
mengiritasi mukosa lambung serta menimbulkan rasa nyeri di sekitar epigastrium
(Basagili, 2017).
Secara alamiah, makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan
mulai dari mulut sampai usus halus. Lama makanan dalam lambung tergantung
sifat dan jenis makanan. Secara rata-rata, umumnya lambung kosong antara 3-4
jam. Maka jadwal makan sebaiknya menyesuaikan dengan kosongnya lambung.
Orang yang memiliki pola makan tidak teratur, mudah terserang penyakit yang
berhubungan dengan asam lambung. Bila seseorang telat makan sampai 2-3 jam,
asam lambung yang diproduksi semakin banyak dan berlebihan. Akibatnya,
timbul rasa nyeri. Terjadi refluks dan gejala penyakit lambung dan kerongkongan
lainnya. Selain frekuensi makan, diet lambung juga dapat diterapkan (Kemenkes,
2011).
Diet lambung dengan syarat makanan dalam bentuk lunak dan mudah
dicerna, hindari makanan yang merangsang lambung seperti asam, pedas, keras,
terlalu panas atau dingin, porsi yang diberikan kecil yang diberikan sering, dan
cara pengolahannya direbus, dikukus, panggang dan tumis juga dapat diterapkan
terutama untuk dispepsia organik yaitu radang pada lambung (gastritis), radang
pada esofagus, radang pada usus besar, thypus abdominalis, diare, dan setelah
operasi saluran cerna. (Basagili, 2017; Kemenkes, 2011).
27
Makanan yang harus dihindari: (Kemenkes, 2011)
Makanan pedas : Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan
merangsang sistem pencernaan untuk berkontraksi. Akibat timbul rasa panas
dan nyeri di ulu hati. Yang disertai dengan mual dan muntah lebih lanjut hal
itu akan membuat seseorang berkurang nafsu makannya.
Makanan asam : Makanan dengan cita rasa asam, akan meningkatkan
keasaman saluran pencernaan dan memiliki efek iritasi jika dikonsumsi secara
berlebihan. Akibatnya terjadi peningkatan pengeluaran asam lambung.
Beberapa makanan dengan rasa asam yang sebaiknya dihindari antara lain
jeruk, cuka, dan lainnya.
Makanan yang sulit dicerna : Jenis makanan ini, membuat lambung
membutuhkan waktu lebih lama, untuk mencernanya dan menjadi lambat
diteruskan ke usus. Akibatnya, isi lambung dan asam lambung tinggal di
dalam lambung untuk waktu yang lama, menyebabkan rasa panas di ulu hati
dan dapat mengiritasi. Makanan yang sulit dicerna anatara lain makanan yang
digoreng, dan lainnya.
Makanan yang mengandung gas : Makanan yang mengandung gas
menyebabkan peningkatan tekanan dalam perut yang berujung pada terjadinya
refluks asam lambung. Makanan mengandung gas yang patut dihindari, antara
lain minuman bersoda, coklat, gorengan, kopi, dan teh.