bab 2 tinjauan pustaka 2.1. pirazinamid (pza/z)eprints.umm.ac.id/47520/3/bab 2.pdf · neuropati...
TRANSCRIPT
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pirazinamid (PZA/Z)
2.1.1. Definisi
Pirazinamid merupakan analog struktural dari nikotinamid. Obat ini dikenalkan sebagai
obat TB pada. Obat ini dikenalkan sebagai obat TB pada awal tahun 1950. Pirazinamid
bertanggung jawab untuk membunuh persisten basil tuberculosis di awal terapi fase intensif
(Somoskovi et al, 2001)
2.1.2. Efikasi pada manusia
Pirazinamid umumnya digunakan dalam kombinasi bersama obat lain seperti Isoniazid
(INH) dan Rifampisin (RIF) pada terapi Metionin (M) tuberculosis. Regimen terapi paling
sering digunakan adalah INH, RIF, PZA, Etionamid (ETH) setiap hari selama 2 bulan
dilanjutkan INH dan RIF tiga kali per minggu selama 4 bulan. Pirazinamid memperpendek
terapi dari 12 bulan menjadi 6 bulan dengan membunuh organisme yang tidak terpengaruh
oleh obat anti-TB lain, khususnya pada lingkungan asam. Penggunaan Pirazinamid pada 2
bulan pertama terapi mampu mengurangi durasi terapi. Pirazinamid juga mengurangi
tingkat kekambuhan dari 22% menjadi 8% ketika pirazinamid ditambahkan pada kombinasi
INH dan streptomisin (STR). Pirazinamid dapat melintasi meninges. Pirazinamid menjadi
bagian penting dalam terapi meningitis tuberkulosis (Zhang dan Mitchison, 2003;
Mitchison, 2000).
2.1.3 Keamanan dan efek samping
Keamanan obat PZA untuk anak-anak masih belum ditetapkan. Pirazinamid
dikontraindikasikan penggunaan pada penderita diabetes melitus; penderita dengan
gangguan fungsi ginjal; dan penderita dengan riwayat tukak peptik (Depkes RI, 2005).
5
Efek samping penggunaan PZA meliputi luka liver, artalgia, anoreksia, mual muntah,
dysuria, malaise, demam, dan anemia sideroblastik. Ditemukan pula efek samping berupa
mekanisme penjendalan darah atau integritas vaskuler dan reaksi hipersensitifitas seperti
urtikaria, pruritis dan eksim kulit juga mungkin terjadi. Selain itu, Pirazinamid juga
dikontraindikasikan pada pasien dengan kerusakan hati parah atau gout akut dikarenakan
PZA dapat meningkatkan kadar serum asam urat sehingga menyebabkan arthralgia
nongoutt. Ketika digunakan dalam kombinasi dengan INH dan/atau RIF sering
menyebabkan hepatotoksisitas. Pirazinamid harus dihentikan dan tidak dimulai lagi jika
tanda kerusakan hepatoseluler atau hiperurisemia bersama gout atritis akut muncul (Brennan
et al., 2008).
2.2. Etambutol (EMB/E)
2.2.1 Definisi
Etambutol dilaporkan pertama kali pada tahun 1961. Etambutol membunuh secara
aktif bacilli yang sedang memperbanyak diri dan memiliki aktivitas sterilisasi sangat
lemah. Obat ini hanya sedikit berperan dalam perpendekkan waktu terapi. Fungsi utama
EMB adalah untuk mencegah munculnya resistensi terhadap obat lain di dalam terapi
kombinasi (Ma et al., 2007)
2.2.2. Efikasi pada manusia
Etambutol dideskripsikan sebagai “obat ke empat” untuk terapi empiris M.
tuberculosis dan M. avium (Peloquin et al., 1999). Etambutol digunakan sebagai terapi
pembantu TB paru khususnya pada kasus yang dicurigai resisten obat. Etambutol tidak
boleh digunakan sendiri karena risiko terjadinya mutan resisten. Kombinasi etambutol
dengan INH atau streptomisin (STR) telah direkomendasikan oleh (FDA) (Brennan et al.,
2008). Studi klinis terhadap 100 pasien menunjukkan bahwa EMB memiliki aktivitas
sterilisasi yang kurang dan adanya kemungkinan dapat menghambat aktifitas sterilisasi
6
obat anti-TB lain paling tidak pada 14 hari pertama terapi (Jindani et al., 2002). Ketika
EMB digunakan sebagai obat utama dalam regimen intermitten, pasien mengalami tingkat
kekambuhan tinggi (Mitchison, 2004)
2.2.3. Keamanan dan efek samping
Neuropati optis dan hepatotoksisitas kadangkadang dapat dialami oleh pasien akibat
penggunaan obat ini. Konsentrasi di atas 10 µg/mL dapat memperburuk penglihatan. Efek
ini mungkin berhubungan dengan dosis dan durasi terapi. Namun, efek samping tersebut
bersifat reversibel (akan kembali normal setelah pemberian obat dihentikan). Pada
beberapa kasus, pemulihan dapat tertunda hingga 1 tahun atau lebih. Kebutaan irreversible
juga telah dilaporkan (Brennan et al., 2008). Neuropati optik menjadi efek toksik
etambutol yang paling sering terjadi. Neuropati optis seperti neuritis optis atau retrobulbar
neuritis memiliki satu atau lebih karakteristik berikut, yaitu penurunan ketajaman
penglihatan, scotoma, kebutaan warna dan/atau kerusakan penglihatan. Kejadian tersebut
juga telah dilaporkan ketika pasien tidak memiliki diagnosis neuritis optis ataupun
retrobulbar neuritis. Oleh karena itu, pasien perlu dinasehati agar segera melapor kepada
dokter atau apoteker jika mengalami. Selain itu, hepatotoksisitas juga telah dilaporkan.
Oleh karena itu, penilaian fungsi hati secara mendalam dan periodik sebaiknya dilakukan
selama terapi. Efek samping lain dari EMB adalah pruritus, nyeri sendi, gastrointestinal
upset, nyeri perut, malaise, sakit kepala, pusing, kebingungan, disorientasi dan halusinasi
juga mungkin terjadi (Brennan et al., 2008).
2.3. Levofloxacin (Lfx)
2.3.1. Definisi
Levofloxacin adalah isomer S-(-) optik dari ofloxacin. Obat ini memiliki spektrum
efek antibakteri yang luas. Levofloxacin aktif terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-
negatif termasuk anaerob. Selain itu, levofloxacin telah menunjukkan aktivitas antibakteri
7
terhadap Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae. Mekanisme kerja utama
levofloxacin adalah melalui hambatan DNA gyrase, suatu enzim topoisomerase tipe 2.
Akibatnya terjadi hambatan replikasi dan transkripsi DNA bakteri. (Lu dan Drlica, 2003).
2.3.2. Efikasi pada manusia
Levofloksasin digunakan dalam kombinasi dengan obat lain untuk terapi TB
contohnya 750 mg/ hari secara umum digunakan pada terapi lini kedua. Dosis ini
digunakan pada terapi lini kedua (Drlica et al, 2003).
2.3.3. Kemananan dan efek samping
Pasien penerima obat golongan fluoroquinolone akan mengalami fototoksisitas
sedang hingga parah setelah terpapar sinar matahari langsung. Seperti obat quinolone
lainnya, Lfx juga menyebabkan gangguan kadar gula darah termasuk hipoglikemik dan
hiperglikemik simptomatik. Hal ini terjadi khususnya pada pasien Diabetes melitus (DM)
yang juga mengkonsumsi terapi oral anti diabetes (contohnya gliburid atau glibenklamid)
atau insulin. Selain itu, aritmia juga dilaporkan terjadi pada pasien infark miokard dan
perpanjangan interval QT (penanda ventricular takiaritmia potensial dan resiko kematian
mendadak) atau penggunaan obat kondisi ini (contohnya amiodarone dan sotalol) bersama
obat golongan quinolone. Pasien lanjut usia kemungkinan lebih rentan mengalami efek
samping berupa perpanjangan interval QT (Brennan et al., 2008). Perhatian perlu diberikan
pada penggunaan Lfx bersama dengan obat dengan efek perpanjangan interval QT seperti
antiaritmia kelas IA atau kelas IIII atau pasien dengan perpanjangan interval QT dan
hipokalemia tidak terkontrol. Perhatian penggunaan Lfx juga harus diberikan pada pasien
kelainan sistem saraf pusat yang berkencederungan mengalami kejang. Efek samping lain
dari Lfx adalah reaksi hipersensitifitas seperti rash kulit, angioedema, pembengkakkan bibir,
lidah, wajah, kesesakkan tenggorokan, suara serak) atau gejala alergi lain; kelainan tendon
8
seperti tendonitis atau keretakkan tendon dengan resiko tinggi kelainan tendon pasien
berumur lebih dari 65 tahun khususnya bagi pengguna kortikosteroid (Brennan et al., 2008).
2.4. Respon Inflamasi
2.4.1. Pengertian Inflamasi
Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi lokal jarigan terhadap infeksi atau cedera dan
melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun didapat. Inflamasi merupakan
respons fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan.
Inflamasi dapat lokal, sistemik, akut dan kronis yang menimbulkan kelainan patologis.
Sel- sel sistem imun nonspesifik seperti neutrofil, sel mast, basofil, eosinofil da makrofag
jaringan berperan dalam inflamasi. (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Menurut Kundu
(2008), Inflamasi adalah bagian dari mekanisme pertahanan tubuh. Dimana dalam proses
melawan penyakit/benda asing, sistem imunitas akan mengenali dan menghapus rasa sakit
dan membuatnya menjalani proses penyembuhan (Kundu, 2015).
Menurut Roma (2018), patofisiologi dari inflamasi sebagai berikut :
Pembuluh darah akan mengalami vasodilatasi
Akan meningkatkan tekanan darah yang disebabkan oleh pembuluh darah yang
vasodilatasi.
Permeabilitas pembuluh darah kapiler meningkat dan neutrofil bermigrasi
menuju jaringan yang terinfeksi dibagian dinding pembuluh darah (diapedesis).
Sel-sel darah putih akan berubah, makrofag dan limfosit mulai menggantikan
neutrofil yang berumur pendek.
9
Perbedaan antara inflamasi akut dan kronis adalah perbedaan pada waktu dan pada
inflamasi kronis sel-sel inflamasi primernya didominasi oleh limfosit, produksi sitokin
inflamasi, growth factor,enzim yang berkontribusi terhadap perkembangan kerusakan
jaringan dan perbaikan sekunder termasuk fibrosis dan pembentukan granuloma (Roma,
2018).
2.4.2. Proses Inflamasi Akut
Peradangan atau inflamasi akut memiliki tiga komponen utama: (1) dilatasi atau
pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan peningkatan aliran darah, (2) peningkatan
permeabilitas mikrovaskuler yang memungkinkan protein plasma dan leukosit
meninggalkan sirkulasi, (3) emigrasi leukosit dari sirkulasi, dan akumulasi leukosit pada
lokasi cedera, serta aktivasi leukosit untuk mengeliminasi agen penyerang (Kumar et al.,
2015).
Langkah-langkah yang membentuk inflamasi :
1. Luka di kulit memasukkan bakteri, yang bereproduksi di tempat luka. Makrofag residen
yang teraktivasi memakan patogen dan menyekresikan sitokin dan kemotaksin.
2. Sel mast yang teraktivasi melepaskan histamin.
3. Histamin mendilatasi pembuluh darah lokal dan melebarkan pori kapiler. Sitokin-
sitokin menyebabkan neutrofil dan monosit menempel ke dinding pembuluh darah.
4. Kemotaksin menarik monosit dan neutrofil yang terperas ke luar di antara dinding
pembuluh darah, suatu proses yang disebut dengan diapedesis, dan bermigrasi ke
tempat infeksi. (Sherwood, 2015)
10
2.4.3. Proses Inflamasi Kronis
Inflamasi kronis terjadi bila proses inflamasi akut gagal, nila antigen menetap.
Inflamasi akut berbeda dengan inflamasi kronis. Antigen yang persisten menimbulkan
aktivasi dan akumulasi makrofag yang terus menerus. Hal ini menimbulkan terbentuknya
sel epiteloid (makrofag yang sedikit diubah) dan granuloma Tumor Necrosis Factor (TNF)
diperlukan untuk pembentukan dan mempertahankan granuloma. Interferon (IFN) dilepas
sel T yang diaktifkan menimbulkan transformasi makrofag menjadi sel epiteloid dan sel
multinuklear yang merupakan fusi dari beberapa makrofag (Baratawidjaja dan Rengganis,
2010).
Menurut Pahwa (2017), Inflamasi kronis dapat disebabkan oleh beberapa hal :
Kegagalan mengeliminasi antigen yang menginfeksi tubuh seperti Mycobacterium
tuberculosis, protozoa, fungi dan parasit.
Penyakit autoimun, yang menyebabkan sistem imunitas dalam tubuh lebih sensitif
dibanding pada orang normal.
Recurrent inflammation.
Inflamasi dan biokimia yang menyebabkan meningkatnya produksi radikal bebas,
kristal asam urat dan oksidasi lipoprotein.
Menurut Pahwa (2017), Inflamasi kronis memiliki 2 tipe yaitu :
Nonspecific proliferative: Ditandai dengan adanya granulasi jaringan non-spesifik
yang dibentuk oleh infiltrasi sel mononuklear (limfosit, makrofag, sel plasma) dan
proliferasi fibroblas, jaringan ikat, pembuluh dan sel epitel.
Granulomatous inflammation: Jenis peradangan kronis spesifik ditandai dengan
adanya lesi nodular yang berbeda atau granuloma yang terbentuk dengan agregasi
makrofag yang diaktifkan atau sel turunannya yang disebut sel-sel epiteloid biasanya
dikelilingi oleh limfosit.
11
Infeksi bakteri kronis dapat memacu pembentukan granuloma berupa agregrat fagosit
mononuklear dan sel plasma yang disebut DTH. Fagosit terdiri atas monosit yang baru
dikerahkan dengan sedikit makrofag yang sudah ada dalam jaringan. Kadang-kadang
ditemukan fusi makrofag dan membentuk sel datia. Granuloma ditemukan pada reaksi
terhadap gelas, talk (bedak dan inisiator hipersensitivitas selular seperti Mycobacterium
tuberculosis dan histoplasma kapsulatum). Pembentukan granuloma akan mengisolasi fokus
inflamasi yang persisten, membatasi penyebaran dan memungkinkan fagosit mononuklear
mempresentasikan antigen ke limfosit yang ada di permukaan (Baratawidjaja dan Rengganis,
2010).
2.5. Interleukin 6 (IL-6)
Interleukin-6 merupakan suatu sitokin proinflamasi yang berperan dalam maturitas
dan aktifitas netrofil, maturitas makrofag, dan diferensiasi sitotoksik limfosit T dan natural
killer cells. Selain itu juga mengaktifasi astrosit dan mikroglia (Oliviera et al., 2011).
IL-6 diproduksi oleh berbagai jenis sel, seperti Sel-T, sel B, monosit, fibroblas,
keratinosit, sel endothelial, sel mesangial, adiposit dan beberapa lainnya. Reseptor IL-6R
(IL-6) terutama dinyatakan di sel hemopoietik, seperti sel T, monosit, mengaktifkan sel-B
dan neutrofil. Menariknya, IL-6 mempengaruhi berbagai jenis sel dan memiliki banyak
aktivitas biologis melalui sistem reseptornya yang unik. Tinggi produksi IL-6
berkontribusi terhadap patogenesis berbagai penyakit autoimun dan inflamasi (Masahiko,
2012).
Interleukin-6 disekresi oleh banyak sel yaitu makrofag, monosit, eosinofil, hepatosit,
dan sel glia. Interleukin-6 dapat diinduksi produksinya oleh TNF-α dan IL-1 sehingga
menyebabkan demam dan aktifasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal dengan
menggunakan reseptor α (IL-6Rα) dan sub unit gp 130. Interleukin-6 merupakan salah satu
sitokin yang muncul dini dan merupakan mediator induksi dan kontrol pada sintesis
12
protein fase akut yang dilepaskan oleh hepatosit selama stimuli nyeri seperti trauma,
infeksi, operasi, dan luka bakar. Setelah terjadi trauma, konsentrasi IL-6 dalam plasma
dapat dideteksi dalam 60 menit dan puncaknya antara 4-6 jam, dan dapat bertahan hingga
10 hari. Interleukin-6 ini merupakan penanda yang paling sesuai dengan derajat kerusakan
jaringan (Jun-Hua et al., 2006).
IL-6 terbukti memainkan peran penting dalam reaksi nerve injury. Seperti terjadinya
aktivasi mikrogial dan astrositik serta regulasi pengeluaran saraf neuropeptida. IL-6 juga
berperan dalam peningkatan rasa nyeri neuropatik pada kasus terjadinya cedera saraf
perifer (Jun-Ming, 2007).
IL-6 berfungsi dalam imunitas non-spesifik dan spesifik, diproduksi fagosit
mononuklear, sel endotel vaskular, fibroblas dan sel lain sebagai respons terhadap mikroba
dan sitokin lain. IL-6 mempunyai berbagai fungsi. dalam imunitas nonspesifik, IL-6
merangsang hepatosit untuk memproduksi Acute Phase Protein (APP) dan bersama
Cerebrospinal Fluid (CSF) merangsang proggenitor di sumsum tulang untuk memproduksi
neutrofil. Dalam imunitas spesifik, IL-6 merangsang pertumbuhan dan diferensiasi sel B
menjadi sel mast yang memproduksi antibodi. IL-6 juga merupakan Growth Factor (GF)
sel plasma neoplastik (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
Dalam perannya sebagai pro-inflamasi, IL-6 akan menyebabkan larutnya reseptor
IL-6 yang akan mengaktifkan imun sistem yang menyebabkan meningkatnya sel-sel
inflamasi seperti makrofag, dan lain-lain, menyebabkan inhibisi terhadap apoptosis sel T,
inhibisi pada differensiasi Treg (Rose-John, 2012).
13
2.6. Jahe Merah (Zingiber officinale Roscoe.)
2.6.1. Taksonomi Jahe Merah
Taksonomi tanaman jahe merah adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Marga : Zingiberis
Spesies : Zingiber officinale Roscoe
Varietas : Zingiber officinale Roscoe var. amarum
(Bermawie dan Purwiyanti, 2010)
Gambar tanaman jahe merah pada gambar 2.1. (Bermawie dan Purwiyanti, 2010)
14
Gambar 2.2 Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale Roscoe.) (Ermayanti, 2009)
2.6.2 Deskripsi Tanaman Jahe Merah
Batang jahe merupakan batang semu dengan tinggi 30 hingga 100 cm. Akarnya
berbentuk rimpang dengan akar berwarna putih, kuning hingga kemerahan dengan bau
menyengat. Daun tanaman jahe menyirip dengan panjang 15 hingga 23 mm dan panjang
8 hingga 15 mm. Tangkai daun berbulu halus, bunga jahe tumbuh dari dalam tanah
berbentuk bulat telur dengan panjang 3,5 hingga 5 cm dan lebar 1,5 hingga 1,75 cm.
Gagang bunga bersisik sebanyak 5 hingga 7 buah. Bunga berwarna hijau kekuningan.
Bibir bunga dan kepala putik ungu. Tangkai putik berjumlah dua (Paimin dan
Murhananto, 2002).
2.6.3 Kandungan Jahe Merah
Jahe mengandung senyawa volatile yakni terpenoid dan non volatile yang terdiri
dari gingerol, shogaol, paradol, zingerone dan senyawa turunan mereka serta senyawa-
senyawa flavonoid dan polifenol (Stailova et al, 2007).
Jahe merah mempunyai kandungan 6-gingerol, 8-gingerol, 10-gingerol dan 6-
shogaol yang lebih tinggi dibandingkan dengan jahe gajah yaitu sebesar 18.03, 4.09, 4.61,
15
dan 1.36 mg/g sehingga banyak dikonsumsi masyarakat sebagai bahan obat (Fathona,
2011 ; Ermayanti et al, 2009).
Data kandungan fitokimia rimpang jahe merah yang sudah diketahui menurut
Fathona
Tabel 2.1. Kandungan fitokima rimpang jahe merah (mg/g)
Kandungan Jahe merah Jahe gajah
6-gingerol,
8-gingerol,
10-gingerol
6-shogaol
18.03 mg/g
4.09 mg/g
4.61 mg/g
1.36 mg/g
9.56 mg/g
1.49 mg/g
2.96 mg/g
0.92 mg/g
(Fathona, 2011)
2.6.4 Manfaat Jahe Merah
Rimpang jahe mengandung beberapa komponen kimia yang berkhasiat bagi
kesehatan. Jahe segar digunakan sebagai anti muntah (antiematic), anti batuk
(antitussive/expectorant), merangsang pengeluaran keringat, dan menghangatkan tubuh
serta mempunyai efek antiinflamasi, antitumor, anti-apoptosis, antimikroba dan efek
hipokolesterolemi (Fathona, 2011).
Pada penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa terapi 6-gingerol meregulasi
ekspresi berlebihan dari TNF-α dan IL6. Gingerol dan shogaol menghambat produksi
dari mediator inflamasi seperti nitirit dan prostaglandine E (PGE) secara signifikan dalam
dosis tunggal. Jahe diketahui untuk menghambat induksi dari beberapa gen yang terlibat
dalam respon inflamasi, beberapa gen ini mengkode sitokin, kemokin, dan COX-2. Jahe
juga menekan biosintesis leukotrin dengan menghambat 5- lipoxygenase (Abdel-Azeem
et al., 2013).
16
Tabel 2.2. Aktivitas biologik senyawa dalam jahe
Senyawa Aktif Jahe Merah Aktifitas Biologik
Gingerol dan senyawa terkait gingero Antioksidan, antitumor, antiinflamasi,
analgesik, antimikroba dan
hepatoprotektif
Paradol Antioksidan, antikanker, dan
antimikroba
Shogaol Antioksidan, dan antiinflamasi
Zingeron Antioksidan, antiinflamasi, dan
antibakteri
Zerumbone Antitumor, dan antimikroba
1-Dehydro-(10) gingerdione Regulasi gen inflamasi
Terpenoid Menginduksi apoptosis dengan aktivasi
p53
Flavonoid jahe Antioksidan
Sumber : Rahmani et al. (2014)
Salah satu manfaat jahe adalah sebagai antimikroba. Bellik (2014) membuktikan
bahwa oleoresin dalam jahe mampu menghambat pertumbuhan Escherichia coli, Bacillus
subtilis dan Staphylococcus aureus, sedangkan minyak atsiri jahe lebih aktif terhadap
Staphylococcus aureus dibandingkan dengan oleoresin jahe. Beberapa senyawa dalam
oleoresin jahe, termasuk gingerol, shogaol dan zingeron memberikan aktivitas
farmakologi dan fisiologis antara lain seperti efek antiinflammasi, analgesik,
antikarsinogenik dan antioksidan. Adapun efek antiinflamasi jahe berasal dari
kemampuannya untuk menghambat aktivitas enzim COX-2 (Tjendraputra et al, 2001;
Giriraju dan Yunus, 2013; Ozougwu et al, 2016).
17
2.7. Tikus Putih (Rattus Novergicus)
2.7.3. Taksonomi Tikus Putih
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Klas : Mamalia
Ordo : Rodensia
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Norvergicus
(Wolfenshon dan Lloyd, 2013)
2.7.4. Deskripsi Tikus Putih
Tikus putih merupakan hewan coba yang sering dipakai untuk penelitian karena
mudah dipelihara serta memenuhi kiteria sebagai hewan percobaan. Tikus mempunyai
karakteristik tidak dapat muntah serta tidak memiliki kantong empedu. (Muchtadi, et
al,1993). Salah satu faktor yang mendukung kelangsungan hidup tikus putih dengan baik
ditinjau dari segi lingkungan adalah temperatur dan kelembaban. Kelembaban yang baik
untuk tikus putih yaitu 40-70 %, sedangkan temperatur 19° C – 23° C (Wolfenshon dan
Lloyd, 2013). Tikus memiliki kadar kolesterol total normal dengan nilai 10-54 mg/dl
(Harini, 2009).
Gambar 2.3 Tikus putih
(Koolhaas, 2010)