referat neuropati diabetes

36
BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Diabetes melitus merupakan penyakit endokrin yang paling lazim. Frekuensi sesungguhnya sulit di peroleh karena perbedaan standar diagnosis tetapi mungkin antara 1 dan 2 persen jika hiperglikemi puasa merupakan kriteria diagnosis, perubahan dalam diagnosis dan klasisfikasi DM terus menerus terjadi baik oleh WHO maupun American Diabetes Association (ADA). 3 Para pakar di Indonesia pun bersepakat melelui PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) pada tahun 1993 untuk membicarakan standar pengelolaan diabetes melitus, yang kemudian juga melakukan revisi konsensus tersebut pada tahun 1998 dan 2002 yang menyesuaikan dengan perkembangan baru, serta menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. 1 Hiperglikemi kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembulu darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat di tuangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat di katakana sebagai suatu kumpulan problem anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisisensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. Yang di manan beberapa kepustakaan juga menjelaskan 1 |Neuropati Diabetik 07120090066 / UPH

Upload: nofilia-citra-candra

Post on 25-Nov-2015

74 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANA. PengertianDiabetes melitus merupakan penyakit endokrin yang paling lazim. Frekuensi sesungguhnya sulit di peroleh karena perbedaan standar diagnosis tetapi mungkin antara 1 dan 2 persen jika hiperglikemi puasa merupakan kriteria diagnosis, perubahan dalam diagnosis dan klasisfikasi DM terus menerus terjadi baik oleh WHO maupun American Diabetes Association (ADA).3 Para pakar di Indonesia pun bersepakat melelui PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) pada tahun 1993 untuk membicarakan standar pengelolaan diabetes melitus, yang kemudian juga melakukan revisi konsensus tersebut pada tahun 1998 dan 2002 yang menyesuaikan dengan perkembangan baru, serta menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.1 Hiperglikemi kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembulu darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat di tuangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat di katakana sebagai suatu kumpulan problem anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisisensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. Yang di manan beberapa kepustakaan juga menjelaskan bahwa diabetes melitus merupakan gangguan metabolism yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus di tandai dengan hiperglikemi puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangipati dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemi biasanya sudah bertahun tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya pasien dengan kelainan dengan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap beresiko mengalami komplikasi metabolic diabetes.2

B. EpidemiologiBerbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Laporan dari hasil penilitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada dekade 1980-an menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe2 antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada rentang tahun 1980-2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh,pada penelitian di Jakarta (daerah urban), prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982 naik menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan meroket lagi menjadi 12,8% pada tahun 2001. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi DM di daerah urban Indonesia untuk usia diatas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar di Propinsi Maluku Utara dan Kalimanatan Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi toleransi glukosa terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi sampai 21,8% di Propinsi Papua Barat. Data-data diatas menunjukkan bahwa jumlah penyandang diabetes di Indonesia sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada. Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, maka semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, sudah seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan. Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup. Dalam pengelolaan penyakit tersebut, selain dokter, perawat, ahli gizi, dan tenaga kesehatan lain, peran pasien dan keluarga menjadi sangat penting. Edukasi kepada pasien dan keluarganya bertujuan dengan memberikan pemahaman mengenai perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit, dan penatalaksanaan DM, akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan keluarga dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan. Untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang tepat guna dan berhasil guna, serta untuk menekan angka kejadian penyulit DM, diperlukan suatu standar pelayanan minimal bagi penyandang diabetes. Penyempurnaan dan revisi secara berkala standar pelayanan harus selalu dilakukan dan disesuaikan dengan baik.5

C. Faktor Resiko DiabetesFaktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi glukosa yaitu :Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi : Ras dan etnik Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes) Umur.Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG). Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal.5

Faktor risiko yang bisa dimodifikasi : Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2). Kurangnya aktivitas fisik. Hipertensi (> 140/90 mmHg). Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL) Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/ intoleransi glukosa dan DM tipe 2.5

Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes : Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin, Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases).5

Intoleransi Glukosa Intoleransi glukosa merupakan suatu keadaan yang mendahului timbulnya diabetes. Angka kejadian intoleransi glukosa dilaporkan terus mengalami peningkatan. Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Department of Health and Human Services (DHHS) dan The American Diabetes Association (ADA). Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan intoleransi glukosa adalah TGT dan GDPT. Setiap tahun 4-9% orang dengan intoleransi glukosa akan menjadi diabetes. Intoleransi glukosa mempunyai risiko timbulnya gangguan kardiovaskular sebesar satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan orang normal. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO setelah puasa 8 jam. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil tes glukosa darah menunjukkan salah satu dari tersebut di bawah ini : Glukosa darah puasa antara 100125 mg/dL Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (TTGO) antara 140-199 mg/dL. Pada pasien dengan intoleransi glukosa anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan ditujukan untuk mencari faktor risiko yang dapat dimodifikasi.5

D. Patofisiologi Pasien diabetes melitus tipe 2 memiliki defek fisiologik. Sekresi insulin abnormal dan resistensi terhadap insulin pada jaringan sasaran (target). Abnormalitas mana yang utama tidak di ketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat di kenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma masih normal meskipun terdapat resistensi insulin, pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemi setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun menyebabkan hiperglikemi yang nyata dan diabetes yang nyata. Kebanyakan meyakini bahwa resistensi insulin merupakan hal yang pertama., hiperinsulinemia yang kedua jadi sekresi insulin meningkat untuk mengkompensasi keadaan resistensi. Namun hipersekresi insulin dan (amilin) menyebabkan resistensi insulin yaitu defek sel pankreas primer menyebabkan hipersekresi insulin dan sebaliknya hipersekresi insulin menyebabkan resistensi insulin. Hipotesis yang menjelaskan melibatkan sintesis lemak yang terstimulus insulin dalam hati dengan transport lemak (melalui lipoprotein kepadatan sangat rendah) menyebabkan penyimpanan lemak skunder dalam otot. Peningkatan oksidasi lemak akan mengganggu ambilan glukosa dan sintesis glikogen. Penurunan pelepasan insulin yang terlambat dapat di sebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap pulau pankreas atau akibat defek genetic yang mendasari. Sebagian besar pasien diabete melitus tipe 2 mengalami obesitas, dan obesitas itu sendiri dapat menyebabkan resistensi insulin. Namun penderita diabetes melitus tipe 2 yang tidak mengalam obesitas juga dapat mengalami hiperinsulinemia dan pengurangan kepekaan insulin, di sini menjelaskan bawa obesitas bukanlah penyebab satu satunya dari suatu keasaan resistensi insulin, namun hal ini bukan untuk mengurangi pentingnya peranan kelebihan lemak, sebab penurunan berat badan yang sederhana seri ngkali menghasilkan perbaikan besar dalam pengendalian glukosa darah pada penderita diabetes tipe 2 yang obesitas.3Sumber Gambar google.comSebagai ringkasan, defek sekresi insulin dan resistensi insulin merupakan cirikhas diabetes melitus tipe 2. Mungkin keduanya di perlukan untuk penampakan diabetes, karena individu yang sangat obes dengan resistensi insulin yang nyata dapat mempunyai toleransi glukosa normal. Mungkin individu ini tidak mempunyai lesi sel beta dan dapat menunjukan defek utam terletak pada sel penghasil insulin. Massa sel beta intak pada diabetes melitus tipe 2, berlawanan dengan diabetes melitus tipe 1. Di sini populasi alfa meningkat, menyebabka peningkatan ratio sel alfa dan beta. Hal ini menyebabkan kelebihan relative glucagon di banding insulin yang merupakan cirri khas dari diabetes melitus tipe 2 dan gambaran semua hiperglikemik. Meskipun resistensi insulin pada diabetes melitus tipe 2 di sertai dengan penurunan jumlah reseptor insulin, sebagian besar resistensi adalah tipe pascareseptor. Sudah lama di ketahui bahwa endapat amiloid di temukan dalam pakreas pasien diabetes melitus tipe 2. Bahan ini adalah asam amino 37 yang di sebut amilin. Amilin normalnya terbungkus bersama sama dengan insulin dalam granula sekretori dan di keluarkan bersama sama sebagai respon terhadap pengeluaran insuli. Penumpukan amilin amilin dalam pulai pankreas mungkin merupakan akibat kelebihan produksi sekunder karena resistensi insulin. Kemungkinan lain, penumpukan amilin dalam pulau pankreas dapat menyebabkan kegagalan lambat produksi insulin dengan diabetes melitus tipe 2 yang sudah berjalan lama. Kesimpulan yang paling aman adalah bahwa peran amilin belum di buktikan.3E. Etiologi a. Genetik pada pasien pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya memiliki pola familia yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hamper 100%. Resiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik, yaitu subtype penyakit diabetes yang di turunkan dengan pola autosmal dominan. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan non diabetes pada anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa(carier) diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 di tandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula mula mengikat dirinya kepada reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi interaselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatnkan transport glukosa menembus membrane sel. Pada pasien pasien dengan diabetes melitus tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat di sebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membrane sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidak normalan reseptor insulin interinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dan transport glukosa. Ketidak normalan post reseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemi.3

b. ObesitasSekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatanya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan sering kali di kaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.3

F. Diagnosis Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini: Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.5Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara: Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.5

Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat dilihat pada bagan1. Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil dapat dilihat pada tabel-2. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L). GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.5

Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir Atau

Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam Atau

Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994): Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelumpemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan Diperiksa kadar glukosa darah puasa Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminumdalam waktu 5 menit Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.5

Catatan :Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan penyaringan dapat di lakuakan setiap 3 tahun.

Gambaran klinis Manivestasi diabetes melitus bervariasi dari pasien ke pasien. Pertolongan medis paling sering dicari karena gejala yang berkalitan dengan hiperglikemi (Poliuria,Polidipsia,Polifagia), tetapi kejadian pertama mungkin berupa dekompensasi metabolik akut yang menyebabkan koma diabetik. Kadang kadang penampakan awal berupa penyulit degenarif seperti neuropati tampa hiperglikemi bergejala. Kekacauan metabolic pada diabetes di sebabkan oleh defisiensi insulin absolute atau relative dan kelebihan glukagon absolute atau relatif. Normalnya terdapat peningkatan rasio molar glukagon terhadap insulin yang menyebabkan dekompensasi metabolik. Perubahan rasio ini dapat di sebabkan oleh penurunan insulin atau kenaikan konsentrasi glukagon, sendiri sendiri atau bersama sama. Secara konseptual perubahan respon biologik terhadap salah satu hormon dapat menyebabkan efek serupa. Karena itu resistensi insulin dapat menyebabkan efek metabolic seperti peningkatan rasio glukagon/insulin meskipun rasio kedua hormone dalam plasma yang di nilai dengan immunoassay tidak jelas abnormal atau bahkan menurun (glukosa aktif secara biologic, insulin relative inaktif).3

Penyulit DiabetesPenyulit Akut1. Ketoasidosis diabetik (KAD)Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap.52. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.5Catatan:kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.53. HipoglikemiaHipoglikemia dan cara mengatasinya Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkann kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.5 Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebardebar, banyak keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).5 Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat.5 Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.5Infeksi PenyertaAdanya infeksi pada pasien sangat berpengaruh terhadap pengendalian glukosa darah. Infeksi dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan kadar glukosa darah yang tinggi meningkatkan kemudahan atau memperburuk infeksi. Infeksi yang banyak terjadi antara lain: Infeksi saluran kemih (ISK) Infeksi saluran nafas: pneumonia, TB Paru Infeksi kulit: furunkel, abses Infeksi rongga mulut: infeksi gigi dan gusi Infeksi telinga: otitis eksterna maligna ISK merupakan infeksi yang sering terjadi dan lebih sulit dikendalikan. Dapat mengakibatkan terjadinya pielonefritis dan septikemia. Kuman penyebab yang sering menimbulkan infeksi adalah: Escherichia coli dan Klebsiella. Infeksi jamur spesies kandida dapat menyebabkan sistitis dan abses renal. Pruritus vagina adalah manifestasi yang sering terjadi akibat infeksi jamur vagina. Pneumonia pada diabetes biasanya disebabkan oleh: streptokokus, stafilokokus, dan bakteri batang gram negatif. Infeksi jamur pada pernapasan oleh aspergillosis, dan mucormycosis juga sering terjadi. Penyandang diabetes lebih rentan terjangkit TBC paru. Pemeriksaan rontgen dada, memperlihatkan pada 70% penyandang diabetes terdapat lesi paru-paru bawah dan kavitasi. Pada penyandang diabetes juga sering disertai dengan adanya resistensi obat-obat Tuberkulosis. Kulit pada daerah ekstremitas bawah merupakan tempat yang sering mengalami infeksi. Kuman stafilokokus merupa kan kuman penyebab utama. Ulkus kaki terinfeksi biasanya melibatkan banyak mikro organisme, yang sering terlibat adalah stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob. Angka kejadian periodontitis meningkat pada penyandang diabetes dan sering mengakibatkan tanggalnya gigi. Menjaga kebersihan rongga mulut dengan baik merupakan hal yang penting untuk mencegah komplikasi rongga mulut. Ada penyandang diabetes, otitis eksterna maligna sering kali tidak terdeteksi sebagai penyebab infeksi.5

Penyulit Menahun1. Makroangiopati Pembuluh darah jantung Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul. Pembuluh darah otak.2. Mikroangiopati: Retinopati diabetik Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati Nefropati diabetik Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati.5

3. Neuropati Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun. Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko amputasi. Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik, atau gabapentin. Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain.5

BAB IIPEMBAHASANI. DEFINISINeuropati diabetik adalah munculnya gejala dan tanda-tanda disfungsi saraf tepi pada penderita DM, setelah penyebab lain disingkirkan. Manifestasi ND dapat subklinik maupun klinik dan sangat bervariasi. Tidak ada ND tunggal. Oleh karena menyangkut saraf tepi, maka gangguannya dapat melibatkan saraf aferen (sensorik) dan sistem eferen. Sistem saraf eferen termasuk sistem somatik dan otonomik. Neuron sistem somatik menyampaikan informasi dari susunan saraf pusat (SSP) kepada otot-oto skeletal, sistem otonomik (SO) menyampaikan informasi dari SSP kepada otot polos, otot jantung, dan kelenjar. Dalam SO banyak organ tubuh mendapat inervasi kembar. Serabut saraf parasimpatis mengatur fungsi tubuh untuk lebih istirahat (contoh: mengosongkan vesica urinaria), sedang serabut simpatis mempersiapkan tubuh untuk aktivitas fisik.

II. PREVALENSIBerbagai studi melaporkan prevalensi neuropati diabetik yang bervariasi. Bergantung pada batasan definisi yang digunakan, kriteria diagnostik, metode seleksi pasien dan populasi yang diteliti, prevalensi neuropati diabetik berkisar dari 25-50%. Angka kejadian dan derajat keparahan neuropati diabetik juga bervariasi sesuai dengan usia, lama menderita DM, kendali glikemik, juga fluktuasi kadar glukosa darah sejak diketahui DM. Pada suatu penelitian besar, neuropati simptomatis ditemukan pada 28,5% dari 6.500 pasien DM. Pada studi Rochester, walaupun neuropati simptomatis ditemukan hanya 13% pasien DM, ternyata lebih besar dari segalanya ditemukan neuropati dengan pemeriksaan klinis. Studi lain melaporkan kelainan kecepatan hantar saraf sudah didapati pada 15,2% pasien DM baru, sementara tanda klinis neuropati hanya dijumpai pada 2,3%.

III.ETIOLOGIKejadian neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi, di atas nilai normal) berkepanjangan. Keadaan ini akan mengaktifkan jalur metabolisme abnormal yang menghasilkan timbunan produk-produk akhir glukosa (sorbitol dan advance glycosilation end products/AGEs). Bahan-bahan tersebut mengganggu transmisi sinyal sel-sel saraf, menurunkan kemampuan saraf membuang radikal bebas, dan juga merusak sel saraf secara langsung. Selain itu keadaan hiperglikemia juga mengganggu peredaran darah ke sistem saraf.

IV. GEJALA DAN TANDA-TANDA NEUROPATI DIABETIKGambaran klinik ND bermacam-macam dan bervariasi, tergantung saraf yang tersangkut atau jenis sistem saraf, apakah sensorik, motorik atau otonom. Sistem saraf sensorik akan terjadi nyeri ND dan abnormalitas sensorik lain (gejala positif atau gejala negatif, lihat depan). Gejala dan tanda jenis ND ini terjadi pada neuropati hiperglikemik, polineuropati distal simetris diabetic (DSDP), neuropati asimetris dan polineuropati dimielinisasi inflamasi kronik (CIPD).

A. Termasuk DSDP adalah:1. Polineuropati distal simetris Merupakan manifestasi ND paling banyak terjadi. Pertama kali menyangkut saraf yang paling panjang (length dependent pattern). Meski gejala utama abnormalitas sensorik, tetapi fungsi motorik dan otonom dapat pula tersangkut. Gejala positif dan negatif menjadi lebih berat pada malam hari. Lokasi anestesia merupakan predisposisi terjadinya ulkus dan gangren pada kaki. Ada gangguan persepsi vibrasi.

2. Neuropati serabut kecil Lebih sering terutama menyangkut serabut sensorik A-delta dan C. Manifestasi sebagai nyeri parestesia, yang dirasa sebagai burning, stabbing, crushing, aching, atau kram , yang lebih berat pada malam hari. Refleks tendo dan propioseptik relatif normal.

3. Neuropati otonom Jarang yang murni otonom. Tanda-tanda termasuk hipotensi ortostatik, takikardi saat istirahat, kehilangan aritmia sinus, anhidrosis, disfungsi miksi dan defekasi, pupil miosis tetapi reaktif.

4. Neuropati kakeksia Cepat terjadi penurunan berat badan dengan disfungsi otonom, neuropati serabut kecil, nyeri kulit yang berat dan lama. Lebih sering pada laki-laki yang lebih tua dan sering terjadi impotensi.

B. Neuropati asimetris (neuropati fokal/multifokal) meliputi:1. Mononeuropati saraf otak (II, III, IV, VI, VII) Pada N II: neuropati optik anterior iskemik yang manifes sebagaikehilangan visus mendadak atau defek lapangan pandang, papil edema,atau perdarahan retina. Pada N III,IV, VI: nyeri periorbita akut atau subakut diikuti nyeri nkepala dan diplopia, kelemahan otot orbita tergantung saraf masingmasing.Pada umumnya terjadi pemulihan spontan dalam 3-6 bulan. Pada N VII terjadi paresis fasial akut atau subakut tanpa gangguanpengecap, dapat kambuh atau bilateral.

2. Mononeuropati somatik Neuropati fokal pada anggota gerak, disebabkan oleh kompresi atau penjepitan (compression or entrapment) terutama pada N.medianus (carpal tunnel syndrome), N.ulnaris, N.peroneus. Gejalanya dapat bilateral.

3. Poliradikulopati Keluhan gejala positif, semula unilateral, kemudian mungkin terjadi menjadi bilateral, sering terjadi alodinia dan gejala negatif. Paling banyak diderita pasien umur lebih dari 50 tahun pada DM tipe 2 dan penurunan berat badan yang nyata.

4. Radikulopleksopatia Disebutkan sebagai neuropati motorik proksimal simetris, amiotrofi diabetik, neuropati femoral diabetik, neurpatia femoroskiatik atau mielopati diabetik (Bruhn-Garland Syndrome). Lebih banyak pada pasien laki-laki, lebih dari 50 tahun yang kurang terkontrol. Pada 50% penderita mengalami penurunan berat badan yang nyata. Mulai nyeri unilateral pada pangkal paha belakang , bahu atau leher yang mendadak dan berat.

C. Pada CIPD pasien diabetes Perjalanan gejala lebih kronis (lebih 180 bulan) berat badan tidak berubah, lebih banyak terjadi neuropati distal lengan. Dimielinisasi lebih sering pada DM tipe 1, memberi kesan bahwa faktor autoimun berperan.

D. Neuropatia otonomikGejala neuropati otonom meliputi; Sistem sudorimotor: kulit kering atau hiperhidrosis bagian badan tertentu (kepala dan badan atas), gustatory sweating (produksi keringat yang abnormal lebih) pada muka, kepala, leher, bahu dan dada depan) bahkan setelah menyantap makanan tidak pedas . Sistem kardiovaskuler: peningkatan denyut jantung saat istirahat (resting tachycardia >100 x/menit), dan hipotensi ortostatik. Disfungsi otonom ini dapat meningkatkan angka kematian akibat silent miocard ischemia, meningkatkan predisposisi aritmia kordia dan gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis jantung.

Sistem genitourinal; disfungsi vesica urinaria, meningkatkan residu urin, vesica urinaria overdistensi, retensi urin dan inkontinensia urin overflow atau menetes (dribbling) yang mempermudah terjadinya komplikasi sekunder seperti infeksi salurang kencing (ISK) dan pielonefritis. Pada pria dapat terjadi gangguan ereksi (30%-75%) merupakan gejala dini, danejakulasi retrograd akibat kegagalan menutup bladder neck (simpatis). Pada wanita terjadi gangguan lubrikasi vaginal, dan kehilangan kemampuan mencapai klimak.

Pada sistem gastrointestinal dapat terjadi;o Gastropatia diabetik (>50%), pasien mengalami hipoglikemi setelah makan yang diikuti puncak hiperglikemia lambat, sebagai akibat ketidaksesuaian antara masuknya makanan ke dalam usus halus, absorbsi nutrien dan onset aksi insulin. Gastropati dapat mengakibatkan lingkaran setan dari masalah kontrol glikemia, status nutrisi yang jelek dan komplikasi gastrointestinal lebih lanjut.

o Gastroparesis manifes sebagai mual, muntah setelah makan, kembung (bloating), sendawa (belching), kehilangan nafsu makan dan cepat kenyang. Gastroparesis dapat mempersulit kontrol kadar gula darah secara adekuat.

o Konstipasi terjadi pada lebih dari 60% pasien DM, namun patofisiologi gejala tidak jelas.

o Diarrhoea dapat pula terjadi bahkan diarrhoea yang terjadi adalah banyak sekali (profuse) dan cair, khasnya terjadi pada malam hari. Ini dapat menetap untuk keberapa jam atau hari, dan dalam banyak kasus bergantian dengan konstipasi. Gejala diarrhoea ini lebih sering terjadi pada DM tipe 1. Pada DM tipe 2 terapi dengan obat oral anti diabetik (OAD) seperti metformin kemungkinan menjadi penyebab diarrhoea. Penurunan sensasi rektal atau ketidakmampuan sfingter ani dapat menimbulkan inkontensia alvi.

VI. PATOFISIOLOGI NEUROPATI DIABETIKFaktor-faktor terpenting untuk perkembangan ND masih belum jelas, meski diajukan banyak hipotesis. Penelitian eksperimental terkini memberikan adanya multifaktorial patogenesis ND. Ada dua pendekatan untuk menjelaskan patogenesis ND.

Pertama adalah pemeranan yang lebih baik dari patofisiologi, patobiokimia danabnormalitas struktural yang dihasilkan dalam ND eksperimental. Pendekatan kedua adalah pelaksanaan intervensi terapi khusus yang bertujuan untuk mencegah perkembangan perubahan yang terjadi pada hiperglikemi, menghentikan perkembangannya atau mengurangi regresinya. Kini ada beberapa mekanisme yang mendukung patogenesis ND, ialah:

1. Teori metabolikHiperglikemi menyebabkan peningkatan glukosa ekstraseluler neuron, penting untuk saturasi jalur glikolitik normal. Glukosa ekstrasel dilangsir ke dalam jalur polyol dan dirubah menjadi sorbitol dan fruktosa oleh enzim aldose reduktase dan sorbitol dehidrogenase. Penimbunan sorbitol dan fruktosa menimbulkan penurunan mioinositol (myo-inositol depletion) dan menurunkan aktifitas Na+/ K+ membrane, menggagalkan transport aksonal, kerusakan struktural sarafnya (edema paranodal, atrofi akson dan degenerasi serabut saraf) yang menyebabkan perambatan potensi aksi abnormal.

2. Teori vaskulerPada teori ini terjadinya iskemia endoneuronal adalah akibat peningkatan resistensi vaskuler terhadap hiperglikemi. Akan terjadi akumulasi Advanced Glycosylation End products (AGE) pada saraf dan atau vasa darah. Akibatnya menghasilkan kerusakan kapiler, penghambatan transport aksonal, penurunan aktifitas Na/ K ATPase ++ akhirnya terjadi degenerasi aksonal.

3. Teori perubahan neurotrophic supportFaktor neurotropik adalah penting untuk rumatan, perkembangan dan regenerasi elemen-elemen yang responsif terhadap sistem saraf. Yang paling banyak dipelajari adalah nerve growth factor (NGF) disamping neurotrophin-3 dan insulin-like growth factor I (IGF-I). Protein-protein tersebut memperkembangkan kehidupan saraf simpatis dan regenerasi serabut saraf kecil pada sistem saraf tepi, mendukung patogenesis ND yang mengalami perubahan transport aksonal.

VII. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDINGDugaan adanya ND sering hanya berdasarkan hasil anamnesis tentang gejala dan tanda klinis. Namun sebenarnya perlu pemeriksaan yang lebih lanjut, terutama pada masing-masing jenis ND, entah ND sensorik, otonom atau motorik yang berhubungan dengan prognosis yang kurang baik.

Pada DSDP dicari penyebab polineuropati lain, sehingga perlu pemeriksaan laboratorium patologi klinik, seperti pemeriksaan sel darah lengkap, elektrolit, ureum, fungsi liver, lipid, kadar vitamin B12, asam folat, hormon tiroid (T3, T4) dan protein. Dapat pula pemeriksaan rhematoid faktor dan antibodi kanker pada dugaan polineuropati amiloid atau tumor medula spinal. Ada lima kriteria yang diperlukan untuk menegakkan DSDP adalah;1. Pasien jelas mempunyai DM.2. DM yang menyebabkan hiperglikemia kronik jangka panjang.3. Pada tungkai polineuropatia sensorimotor lebih menonjol.4. Ada retinopati dan nefropati yang kurang lebih sama berat denganpolineuropati.5. Penyebab lain polineuropati sensorimotor disingkirkan.

Pemeriksaan diagnostik adanya kerusakan saraf adalah dengan elektromiografi (EMG). Pada DSDP kecepatan hantar saraf tepi (KHST) dapat normal atau lebih lambat. Bila KHST < 70% pada tungkai adalah abnormal dan bila terjadi blok KHST mingkin mempunyai kerusakan abnormal atau disertai demielinisasi. Adanya kelambatan fokal, pada umumnya terjadi padamononeuropati, seperti pada CTS, N.peroneus, N.ulnaris, dan N.radialis.

Diagnosis banding mononeuropati kranial adalah Bells Palsy atau aneurisma intrakranial. Neuropati torakoabdominal dibedakan dengan herpes zoster, tumor spinal, infark miokard, koksitis akut, apendiksitis akut, atau divertikulosis. Pada poliradikulopleksopatia lumbosakral dibedakan dengan tumor medula spinal, HNP, infiltrasi malignansi pada radiks dan neuropati inflamasi. Neuropati otonomik kardiovaskular (CAN) mempunyai tiga stadium pokok yaitu adanya denervasi kardiak, hipotensi ortostatik, dan intoleransi latihan (cardiac denervation, otrhostatic hypotension and exercise intolerance). Untuk menegakkan dugaan adanya CAN ada tiga pemeriksaan ialah variasi RR selama bernafas dalam (RR- Variation during deep breathing), manuver valsava dan respon tekanan darah terhadap perubahan posisi berdiri. RR variation adalah adanya penyimpangan RR interval (jarak antara gelombang R pada kompleks QRS) pada rekaman elektrokardiografi. Pemeriksaan ini merupakan gambaran arkus refleks neural sederhana sedang fungsi manuver Valsava adalah pencerminan arkus reflek neural kompleks (jalur simpatis-parasimpatis pada jantung, jalur simpatis ke cabang vaskuler dan baroreseptor dalam dada dan paru).

Manuver Valsava dilakukan dengan pemasangan EKG selama pemeriksaan, penderita menggembungkan pipi (menghembus dengan mulut tertutup) selama 15 detik dan tekanan manometer dipertahankan meningkat 40 mmHg. Selama penghembusan terjadi takikardi dan vasokonstriksi perifer, selama pelepasan ada bradikardi dan peningkatan tekanan darah pada orang normal. Respon tekanan darah untuk berdiri, ditujukan terutama untuk menilai fungsi simpatis. Pada hipotensi ortostatik selama berdiri 2 menit terjadi penurunan tekanan darah sistolik > 20-30 mmHg dan tekanan darah diastolik > 10 mmHg.

VIII. PENATALAKSANAAN NEUROPATI DIABETIKMeskipun kemajuan dalam pemahaman tentang penyebab neuropati metabolik, pengobatan yang ditujukan untuk mengganggu proses-proses patologis telah dibatasi oleh efek samping dan kurangnya efektivitas. Jadi, dengan pengecualian kontrol glukosa ketat, pengobatan adalah untuk mengurangi rasa sakit dan gejala lain dan tidak mengatasi masalah mendasar.Hanya dua obat yang disetujui oleh FDA untuk neuropati perifer diabetik adalah duloxetine antidepresi dan pregabalin anticonvulsant. Sebelum mencoba obat sistemik, orang dengan neuropati diabetes mungkin periperal lokal meringankan gejala mereka dengan patch lidokain. Selain pengobatan farmakologis ada beberapa modalitas lain yang membantu beberapa kasus. Ini telah ditunjukkan untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kualitas hidup pasien terutama untuk nyeri neuropatik kronis: Stimulasi interferensial, Akupunktur, Meditasi, Terapi Kognitif, dan latihan yang ditentukan.

a. Antidepresan trisiklikTCA termasuk imipramine, amitriptyline, desipramin dan nortriptyline. Obat ini efektif pada penurunan gejala nyeri tetapi menderita dari efek samping dosis ganda yang tergantung. Salah satu efek samping penting adalah toksisitas jantung, yang dapat menyebabkan aritmia yang fatal. Pada dosis rendah digunakan untuk neuropati, toksisitas jarang, tetapi jika gejala menjamin dosis yang lebih tinggi, komplikasi lebih umum. Di antara TCA, amitriptilin yang paling banyak digunakan untuk kondisi ini, namun desipramin dan nortriptyline memiliki efek samping yang lebih sedikit.

b. Serotonin reuptake inhibitorSSRI termasuk fluoxetine, paroxetine, sertraline dan citalopram. Agen ini belum disetujui FDA untuk mengobati neuropati menyakitkan karena mereka telah ditemukan untuk menjadi tidak lebih mujarab ketimbang plasebo dalam beberapa uji coba terkontrol. Efek samping jarang serius, dan tidak menimbulkan cacat permanen. Mereka menyebabkan sedasi dan berat berat, yang dapat memperburuk kontrol glukosa darah penderita diabetes itu. Mereka dapat digunakan pada dosis yang juga meringankan gejala depresi, concommitent umum neuropati diabetes.The duloxetine SSNRI (Cymbalta) telah disetujui untuk neuropati diabetes. Dengan penargetan baik serotonin dan norepinefrin, itu menargetkan gejala nyeri neuropati diabetes, dan juga memperlakukan depresi jika ada. Dosis khas adalah antara 60 mg dan 120 mg.

c. Obat antiepilepsiAED, terutama gabapentin dan pregabalin terkait, muncul sebagai pengobatan lini pertama untuk neuropati menyakitkan. Gabapentin lebih baik dibandingkandengan amitriptilin dalam hal kemanjuran, dan jelas lebih aman. Efek samping utamanya adalah sedasi, yang tidak berkurang dari waktu ke waktu dan mungkin sebenarnya memburuk. Perlu diminum tiga kali sehari, dan kadang-kadang menyebabkan kenaikan berat badan, yang dapat memperburuk kontrol glikemik pada penderita diabetes. Carbamazepine (Tegretol) adalah efektif tetapi belum tentu aman untuk neuropati diabetes. Metabolit pertamanya, oxcarbazepine, aman dan efektif pada gangguan neuropati lainnya, namun belum diteliti dalam neuropati diabetes. Topiramate belum diteliti di neuropati diabetes, tetapi memiliki efek samping menguntungkan menyebabkan anoreksia ringan dan kehilangan berat badan, dan anekdot menguntungkan.

d. Perawatan Lain-lipoic, anti-oksidan yang adalah suplemen non-resep makanan telah menunjukkan keuntungan dalam uji coba terkontrol secara acak yang membandingkan dosis oral sekali sehari 600 mg sampai 1800 mg dibandingkan dengan plasebo, meskipun mual terjadi di dosis yang lebih tinggi.

Meskipun belum tersedia secara komersial, C-peptida telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pengobatan komplikasi diabetes, termasuk neuropati. Pernah berpikir untuk menjadi berguna oleh-produk dari produksi insulin, membantu untuk memperbaiki dan membalikkan gejala utama diabetes.Dalam tahun-tahun terakhir, perangkat Terapi Energi Foto menjadi lebih banyak digunakan untuk mengobati gejala neuropatik. Foto Terapi Energi perangkat memancarkan cahaya inframerah dekat (NIR Terapi) biasanya pada panjang gelombang 880 nm. Panjang gelombang ini diyakini untuk merangsang pelepasan Nitric Oxide, merupakan faktor yang diturunkan endotelium santai ke dalam aliran darah, sehingga vasodilatasi yang capilaries dan venuoles dalam sistem microcirculatory. Peningkatan sirkulasi telah terbukti efektif dalam berbagai studi klinis untuk mengurangi nyeri pada pasien diabetes dan nondiabetes.Foto Terapi Energi perangkat tampaknya untuk mengatasi masalah yang mendasari neuropati, mikrosirkulasi yang buruk, yang menyebabkan nyeri dan mati rasa di kaki.

e. Kontrol glukosa ketatPengobatan manifestasi awal polineuropati sensorimotor melibatkan memperbaiki kontrol glikemik. Kontrol ketat glukosa darah dapat membalikkan perubahan neuropati diabetes, tapi hanya jika neuropati dan diabetes yang terakhir di awal. Sebaliknya, gejala nyeri neuropati pada penderita diabetes yang tidak terkontrol cenderung mereda sebagai penyakit dan kemajuan mati rasa.

IX.PROGNOSISTipe diabetes melitus yang diberikan akan mempengaruhi diagnosis neuropatidiabetik. Pada NIDDM prognosis tentu lebih baik daripada tipe IDDM. Lama danberatnya diabetes melitus serta lama dan beratnya diabetes melitus serta lama danberatnya keluhan neuropati yang dialami, dan apakah sudah mengenai saraf otonom,semuanya akan menentukan prognosis neuropati diabetik.

BAB IIIKESIMPULAN

Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik DM dengan prevalensi dan manifestasi klinis amat bervariasi. Dari 4 faktor (metabolik, vaskular, imun dan NGF) yang berperan pada mekanismes patogenik ND, hiperglikemia berkepanjangan sebagai komponen faktor metabolik merupakan dasar utama patogenesis ND. Oleh karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan ND pasien DM, yang penting adalah diagnosis diikutipengendalian glukosa darah dan perawatan kaki sebaik-baiknya.

Usaha mengatasi keluhan nyeri pada dasarnya bersifat simtomatis, dilakukan dengan memberikan obat yang bekerja sesuai mekanisme yang mendasari keluhan nyeri tersebut. Pendekatan nonfarmakologis termasuk edukasi sangat diperlukan, mengingat perbaikan total sulit bisa dicapai.15 |Neuropati Diabetik07120090066 / UPH