bab 2 tinjauan pustaka 2.1 pengukuran waktu kerjarepository.untag-sby.ac.id/145/3/bab ii.pdf · 2....
TRANSCRIPT
34
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengukuran Waktu Kerja
Secara singkat pengukuran waktu kerja adalah metode penerapan
keseimbangan antara kegiatan manusia yang dikontribusikan dengan unit output
yang dihasilkan. Untuk menghitung waktu baku (standart time) penyelesaian
pekerjaan guna memilih alternative metode kerja terbaik, maka perlu diterapkan
prinsip-prinsip dan teknik-teknik pengukuran kerja (work measurement atau time
study). Waktu baku ini merupakan waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja
yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
Dengan demikian maka waktu baku yang dihasilkan dalam aktifitas pengukuran
kerja ini dapat digunakan sebagai alat untuk membuat rencana penjadwalan kerja
yang menyatakan berapa lama kegiatan itu harus berlangsung dan berapa output
yang dihasilkan serta berapa pula jumlah tenaga kerja untuk menyelesaikan
pekerjaan tersebut.
Menurut Wignjosoebroto (2006), pada garis besarnya teknik-teknik
pengukuran waktu kerja dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Pengukuran waktu kerja secara langsung
Pengukuran dilakukan secara langsung di tempat dimana pekerjaan yang
diukur sedang berlangsung.
2. Pengukuran waktu kerja secara tidak langsung
Pengukuran dilakukan tanpa pengamat harus berada di tempat pekerjaan
yang diukur sedang berlangsung.
Cara-cara pengukuran waktu kerja baik secara langsung maupun tidak
langsung dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pengukuran waktu kerja secara langsung dapat dilakukan dengan dua
metode, yaitu:
a. Metode jam henti (Stopwatch Time Study)
b. Metode Work Sampling
2. Pengukuran waktu kerja secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
dua metode, yaitu:
a. Metode standart data
b. Metode data gerakan
2.1.1 Pengukuran Waktu Kerja dengan Metode Jam Henti (Stopwatch Time
Study)
Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Frederick W Taylor pada awal
abad 19. Metode pengukuran waktu kerja dengan jam henti sangat baik digunakan
untuk mengukur suatu pekerjaan yang berlangsung secara singkat dan berulang-
ulang (repetitive). Pengukuran waktu secara berulang-ulang dilakukan dengan
mengembalikan jarum pada angka nol setelah membaca dan mencatat waktu kerja
dari pekerjaan yang diukur. Hasil pengukuran kerja dapat digunakan untuk
memperoleh waktu baku serta output standart yang nantinya dapat digunakan
untuk melakukan perencanaan produksi (Sutalaksana dkk, 2006).
2.1.2 Uji Keseragaman Data
Uji keseragaman data dapat digunakan untuk mengetahui apakah data
yang diperoleh seragam atau tidak. Uji keseragaman data ini perlu dilakukan
terlebih dahulu sebelum menggunakan data yang diperoleh guna menetapkan
waktu standart. Berikut adalah langkah-langkah menghitung keseragam data:
1. Menghitung waktu rata-rata dari setiap elemen kerja dengan
menggunakan rumus:
X =
…………2.1
Dimana : ∑xi = Jumlah semua data yang cukup
N = Jumlah pengamatan tiap elemen kerja
2. Menghitung standart deviasi dengan menggunakan rumus:
δ = √ ( X )
( ) …...………2.2
Dimana : δ = Standar deviasi
X = Data waktu pengamatan
X = Harga rata-rata dari setiap waktu
3. Menghitung berapa besarnya tingkat ketelitian dengan menggunakan
rumus:
S =
.………2.3
Dimana : S = Tingkat ketelitian
4. Menghitung tingkat kepercayaan dengan menggunakan rumus:
CL = 100% - S ……….2.4
Untuk menentukan harga K, dapat melihat ketentuan sebagai berikut:
1. Untuk tingkat kepercayaan 68% harga k adalah 1
2. Untuk tingkat kepercayaan 95% harga k adalah 2
3. Untuk tingkat kepercayaan 99% harga k adalah 3
5. Menentukan Batas Kontrol Atas (BKA) dan Batas Kontrol Bawah
(BKB) dengan cara sebagai berikut:
Gambar 2.1 Grafik Pengendali
BKA = X + k.δ ………2.5
BKB = X – k.δ ……….2.6
Dimana: k = harga indeks toleransi terhadap penyimpangan data.
BKA
BKB
Rata
-rata
wak
tu u
ntu
k
kelo
mp
ok
-kelo
mp
ok
dari
temp
o p
enga
mata
n
Harga rata-rata ( )
2.1.3 Uji Kecukupan Data
Uji kecukupan data digunakan untuk mengetahui apakah data yang
digunakan mencukupi atau tidak, semakin besar jumlah siklus yang diamati maka
semakin mendekati kebenaran data dan waktu yang diperoleh.
Rumusan yang digunakan sebagai berikut:
N’ =
√ ( )
………2.7
Dimana: N’ = Jumlah pengamatan yang seharusnya dilaksanakan
N = Jumlah pengamatan yang telah dilaksanakan
K = Konstanta yang dipengaruhi oleh Convidence Level
S = Derajat ketelitian
X = Data waktu yang dibaca stopwatch untuk setiap pengamatan
Untuk N’ < N, maka jumlah pengamatan sudah mencukupi. Dan apabila
N’ > N, jumlah pengamatan belum mencukupi maka harus ditambah lagi
sebanyak n pengamatan.
2.1.4 Penyesuaian Waktu dengan Rating Performance Kerja
Dengan melakukan rating ini diharapkan waktu kerja yang diukur bias
“dinormalkan” kembali. Ketidak normalan dari waktu kerja ini diakibatkan oleh
operator yang bekerja secara kurang wajar yaitu bekerja dalam tempo atau
kecepatan yang tidak sebagaimana mestinya (Sutalaksana dkk, 2006).
Untuk menormalkan waktu kerja yang diperoleh dari hasil pengamatan,
maka hal ini dilakukan dengan mengadakan penyesuaian yaitu dengan cara
mengalikan waktu pengamatan rata-rata dengan faktor penyesuaian/rating “P”.
Harga dari rating faktor ini adalah sebagai berikut:
1. Apabila operator dirasakan bekerja terlalu cepat yaitu bekerja diatas
batas kewajaran (normal) maka rating faktor ini akan lebih besar dari
pada satu (p>1 atau p>100%).
2. Apabila operator dirasakan bekerja terlalu cepat yaitu bekerja dibawah
batas kewajaran (normal) maka rating faktor ini akan lebih kecil dari
pada satu (p<1 atau p<100%).
3. Apabila operator dirasakan bekerja secara normal atau wajar maka
rating faktor ini diambil sama dengan satu (P=1 atau P=100%).
Westing House Company (1927) juga ikut memperkenalkan sistem yang
lebih lengkap dibandingkan dengan sistem yang dilaksanakan oleh Bedaux. Disini
selain kecapakan (Skill) dan Effort yang telah dinyatakan oleh Bedaux sebagai
faktor yang mempengaruhi performance manusia, maka Westing House
menambahkan lagi dengan kondisi kerja (Working Condition) dan keajegan
(consistency) dari operator didalam melakukan kerja. Untuk menormalkan waktu
yang ada maka hal ini dilakukan dengan jalan mengalikan waktu yang diperoleh
dari pengukuran kerja dengan jumlah ke empat rating faktor yang dipilih sesuai
dengan performance yang ditunjukkan oleh operator. Tabel dari performance
rating tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1 sebagai berikut:
Tabel 2.1 Performance Rating
SKILL EFFORT
+0.15 A1 Superskill
+0.13 A2
+0.11 B1 Excellent
+0.08 B2
+0.06 C1 Good
+0.03 C2
0.00 D Average
-0.05 E1 Fair
-0.10 E2
-0.16 F1 Poor
-0.22 F2
+0.13 A1 Superskill
+0.12 A2
+0.10 B1 Excellent
+0.08 B2
+0.05 C1 Good
+0.02 C2
0.00 D Average
-0.04 E1 Fair
-0.08 E2
-0.12 F1 Poor
-0.17 F2
CONDITION CONSISTENCY
+0.06 A Ideal
+0.04 B Excellent
+0.02 C Good
0.00 D Average
-0.03 E Fair
-0.07 F Poor
+0.04 A Ideal
+0.03 B Excellent
+0.01 C Good
0.00 D Average
-0.02 E Fair
-0.04 F Poor
Sumber: (Wignjosoebroto S, 2006)
Menurut Sutalaksana dkk (2006) : Keterampilan atau skill didefinisikan
sebagai kemampuan mengikuti cara kerja yang diterapkan. Untuk keperluan
penyesuaian, keterampilan dibagi menjadi enam kelas dengan ciri-ciri dari setiap
kelas yang dikemukakan berikut ini:
Super skill :
1. Secara bawaan cocok sekali dengan pekerjaanya.
2. Bekerja dengan sempurna.
3. Gerakan – gerakannya halus tetapi sangat cepat sehingga sifat untuk
diikuti.
4. Tampak seperti telah terlatih dengan cepat sehingga sangat sulit untuk
diikuti.
5. Kadang-kadang terkesan tidak berbeda dengan gerakan-gerakan mesin.
6. Perpindahan dari satu elemen pekerjaan ke elemen lainnya tidak
terlampau terlihat karena lancarnya.
7. Tidak terkesan adanya gerakan-gerakan berfikir dan merencanakan
tentang apa yang dikerjakan (sudah sangat otomatis).
8. Secara umum dapat dikatakan bahwa pekerja yang bersangkutan adalah
pekerja yang sangat baik.
Excellent skill:
1. Percaya pada diri sendiri.
2. Tampak cocok dengan pekerjaannya.
3. Terlihat telah terlatih baik.
4. Bekerjanya teliti dengan tidak banyak melakukan atau pemeriksaan lagi.
5. Gerakan-gerakan kerjanya beserta urutan-urutannya dijalankan tanpa
kesalahan.
6. Menggunakan peralatan dengan baik.
7. Bekerjanya cepat tanpa mengorbankan mutu.
8. Bekerjanya cepat tapi halus.
9. Bekerjanya berirama dan berkomondasi.
Good skill:
1. Kualitas hasil baik.
2. Bekerjanya tampak lebih baik daripada kebanyakan pekerja pada
umumnya.
3. Dapat memberi petunjuk-petunjuk pada pekerja lain yang
keterampilannya lebih rendah.
4. Tampak jelas sebagai pekerja yang cakap.
5. Tidak memerlukan banyak pengawasan.
6. Tiada keraguan.
7. Kerjanya “stabil”.
8. Gerakan-gerakan terkoordinasi dengan baik.
9. Gerakan-gerakannya cepat.
Average skill:
1. Tampak adanya kepercayaan pada diri sendiri.
2. Gerakannya cepat tetapi tidak lambat.
3. Terlihat adanya pekerjaan-pekerjaan perencanaan.
4. Tampak sebagai pekerja yang cakap.
5. Gerakan-gerakan cukup menunjukkan tidak ada keraguan.
6. Mengkoordinasi tangan dan pikiran dengan cukup baik.
7. Tampak cukup terlatih dan karenanya mengetahui seluk beluk
pekerjaannya.
8. Bekerja cukup teliti.
9. Secara keseluruhan cukup memuaskan.
Fair skill:
1. Tampak terlatih tetapi belum cukup baik.
2. Mengenal peralatan dan lingkungan secukupnya.
3. Terlihat adanya perencanaan-perencanaan sebelum melakukan gerakan-
gerakan.
4. Tidak mempunyai kepercayaan diri yang cukup.
5. Tampaknya seperti tidak cocok dengan pekerjaannya tetapi telah
dipekerjakan di bagian itu sejak lama.
6. Mengetahui apa-apa yang dilakukan dan harus dilakukan tapi tampak
tidak selalu yakin.
7. Sebagian waktunya terbuang karena kesalahan-kesalahan sendiri.
8. Jika tidak bekerja secara sungguh-sungguh outputnya akan sangat
rendah.
9. Biasanya tidak ragu-ragu dalam menjalankan gerakan-gerakannya.
Porr skill:
1. Tidak bias mengkoordinasikan tangan dan pikiran.
2. Gerakan-gerakannya kaku.
3. Kelihatan ketidakyakinannya pada urutan-urutan gerakan.
4. Seperti yang tidak terlatih untuk pekerjaan yang bersangkutan.
5. Tidak terlihat adanya kecocokan dengan pekerjaannya.
6. Ragu-ragu dalam melaksanakan gerakan-gerakan kerja.
7. Sering melakukan kesalahan-kesalahan.
8. Tidak adanya kepercayaan pada diri sendiri.
Untuk usaha atau effort cara Westing House membagi juga kelas-kelas
dengan ciri-ciri tersendiri. Yang dimaksud usaha disini adalah kesungguhan yang
ditunjukkan atau diberikan operator ketika melakukan pekerjaannya (Sutalaksana
dkk, 2006). Berikut ini ada enam kelas usaha dengan ciri-cirinya, yaitu:
Excessive effort:
1. Kesempatan sangat berlebihan.
2. Usahanya sangat bersungguh-sungguh tetapi dapat membahayakan
kesehatannya.
3. Kecepatan yang ditimbulkannya tidak dapat dipertahankan sepanjang hari
kerja.
Excellent effort:
1. Jelas terlihat kecepatannya sangat tinggi.
2. Gerakan-gerakan lebih ekonomis daripada operator-operator biasa.
3. Penuh perhatian pada pekerjaannya.
4. Banyak memberi saran.
5. Menerima saran-saran petunjuk dengan senang.
6. Tidak bertahan lebih dari beberapa hari
7. Bangga atas kelebihannya.
8. Gerakan-gerakan yang salah terjadi sangat jarang sekali.
9. Bekerjannya sangat sistematis
Good effort:
1. Bekerja berirama.
2. Saat-saat menggangur sangat sedikit, bahkan kadang-kadang tidak ada.
3. Penuh perhatian pada pekerjaannya.
4. Senang pada pekerjaannya.
5. Kecepatannya baik dan dapat dipertahankan sepanjang hari.
6. Percaya pada pekerjaannya.
7. Menerima saran-saran dan petunjuk dengan senang.
Average effort:
1. Tidak sebaik good, tapi lebih baik dari poor.
2. Bekerja dengan sttabil.
3. Menerima saran-saran tapi tidak melaksanakannya.
4. Set up dilaksanakan dengan baik.
5. Melakukan kegiatan-kegiatan perencanaan.
Fair effort:
1. Saran-saran perbaikan diterima dengan kesal/
2. Kadang-kadang perhatian tidak ditunjukkan pada pekerjaannya.
3. Kurang sungguh-sungguh.
4. Tidak mengeluarkan tenaga dengan secukupnya.
5. Terjadi sedikit penyimpangan dari cara kerja baku.
Poor effort:
1. Banyak membuang waktu.
2. Tidak memperlihatkan adanya minat bekerja
3. Tidak mau menerima saran-saran.
4. Tampak malas dan lambat bekerja.
5. Melakukan gerakan-gerakan yang tidak perlu untuk mengambil alat-alat
dan bahan.
6. Set up kerjanya terlihat tidak rapi.
Yang dimaksud dengan kondisi kerja atau Condition pada cara Westing
House adalah kondisi fisik lingkungannya seperti keadaan pencahayaan, suhu, dan
kebisingan ruangan. Bila tiga faktor lainnya, yaitu keterampilan, usaha, dan
konsistensi merupakan sesuatu yang dicerminkan operator, maka kondisi kerja
merupakan sesuatu di luar operator yang diterima apa adanya oleh operator tanpa
banyak kemampuan mengubahnya. Oleh sebab itu, faktor kondisi sering disebut
sebagai faktor manajemen, karena pihak inilah yang dapat dan berwenang
mengubah atau memperbaikinya (Sutalaksana dkk, 2006).
Menurut Sutalaksana dkk (2006), Kondisi kerja dibagi menjadi enam
kelas yaitu Ideal, Excellent, Good, Average, Fair, Poor. Kondisi yang ideal tidak
selalu sama bagi setiap pekerjaan karena berdasarkan karakterlistiknya masing-
masing pekerja membutuhkan kondisi ideal sendiri-sendiri. Satu kondisi yang
dianggap good untuk satu pekerjaan dapat saja dirasakan fair atau bahkan poor
bagi pekerjaan yang lain. Pada dasarnya kondisi ideal adalah kondisi yang paling
cocok untuk pekerjaan yang bersangkutan, yaitu yang memungkinkan kinerja
maksimal dari pekerja. Sebaliknya, kondisi poor adalah kondisi lingkungan yang
tidak membantu jalannya pekerjaan atau bahkan sangat menghambat pencapaian
kinerja yang baik. Sudah tentu suatu pengetahuan tentang kriteria yang disebut
ideal, dan kriteria yang disebut poor perlu dimiliki agar penilaian terhadap kondisi
kerja dalam rangka melakukan penyesuaian dapat dilakukan dengan seteliti
mungkin.
Faktor lain yang harus diperhatikan adalah konsistensi atau Consistency.
Faktor ini perlu diperhatikan karena pada setiap pengukuran waktu angka-angka
yang dicatat tidak pernah semuanya sama, waktu penyelesaian yang ditunjukkan
pekerja selalu berubah-ubah dari satu siklus ke siklus lainnya, dari jam ke jam,
bahkan dari hari ke hari. Selama ini masih dalam batas-batas kewajaran masalah
tidak timbul, tetapi jika variabilitasnya tinggi maka hal tersebut harus
diperhatikan. Sebagaimana halnya faktor-faktor lain, konsistensi juga dibagi
menjadi enam kelas yaitu Perfect, Excellent, Good, Average, Fair dan Poor.
Seseorang yang bekerja Perfect adalah yang dapat bekerja dengan waktu
penyelesaian yang boleh dikatakan tetap dari saat ke saat. Sebaliknya konsistensi
yang Poor terjadi bila waktu-waktu penyelesaiannya berselisih jauh dari rata-rata
secara acak. Konsistensi rata-rata atau Average adalah bila selisih antara waktu
penyelesaian dengan rata-ratanya tidak besar walaupun ada satu dua yang
“letaknya” jauh (Sutalaksana dkk, 2006).
Sebagai contoh, apabila, diketahui bahwa waktu rata-rata yang diukur
terhadap suatu elemen kerja adalah 0,50 menit dan rating performance operator
adalah memenuhi klasifikasi berikut:
- Excellent skill (B2) : +0,08
- Good Effort (C2) : +0,02
- Good Condition (C) : +0,02
- Good Consistency (C) : +0,01
Total : +0,13
Maka waktu normal untuk elemen kerja ini adalah: 0,50 x 1,13 = 0,565
menit.
2.1.5 Penetapan Waktu Normal
Waktu normal adalah waktu yang diperoleh dengan memasukkan faktor
performa dari operator yang diamati. Waktu normal dapat diperoleh dengan rumus
berikut:
Ws = X . PR …..……….2.8
Dimana: Ws = Waktu normal
X = Waktu pengamatan rata-rata
PR = Performance rating/ Rating factor
Nilai waktu yang diperoleh disini masih belum bisa ditetapkan sebagai
waktu standart untuk penyelesaian suatu operasi kerja, karena disini faktor-faktor
+
yang berkaitan dengan kelonggaran waktu (Allowance Time) masih belum
dikaitkan.
2.1.6 Penetapan Waktu Longgar
Dalam hal ini waktu longgar dapat diklarifikasikan menjadi tiga macam,
yaitu personal allowance, fatigue allowance dan delay allowance.
Personal Allowance adalah jumlah waktu longgar untuk kebutuhan personil
dapat ditetapkan dengan jalan melaksanakan aktivitas time study sehari kerja
penuh atau dengan metode sampling kerja. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang relatif
ringan dimana operator bekerja selama 8 jam per hari tanpa jam istirahat yang
resmi sekitar 2 sampai 5% (atau 10 sampai 24 menit) setiap jari akan
dipergunakan untuk kebutuhan-kebutuhan yang bersifat personil ini
(Wignjosoebroto S, 2006).
Yang termasuk ke dalam kebutuhan pribadi disini adalah hal-hal seperti
minim sekedarnya untuk menghilangkan rasa haus, ke kamar kecil, bercakap-
cakap dengan teman sekerja sekedar untuk menghilangkan ketegangan ataupun
kejemuan dalam kerja (Sutalaksana dkk, 2006).
Fatigue Allowance adalah kelelahan fisik manusia bisa disebabkan oleh
beberapa penyebab diantaranya adalah karena kerja yang membutuhkan pikiran
banyak dan kerja fisik. Untuk pekerjaan-pekerjaan berat, masalah kebutuhan
istirahat untuk melepaskan lelah sudah banyak berkurang karena disini sudah
mulai diaplikasikan penggunaan peralatan atau mesin yang serba mekanis dan
otomatis secara besar-besaran, sehingga mengurangi peranan manusia. Sebagai
konsekuensinya maka kebutuhan waktu longgar untuk istirahat melepaskan lelah
ini dapat pula dihilangkan (Wignjosoebroto S, 2006).
Delay Allowance adalah keterlambatan atau delay bisa disebabkan oleh
faktor-faktor yang sulit untuk dihindarkan, tetapi juga bisa disebabkan oleh faktor-
faktor yang masih bisa dihindari. Keterlambatan yang terlalu besar/lama tidak
diperhitungkan sebagai dasar untuk menetapkan waktu baku (Wignjosoebroto S,
2006).
Menurut Sutalaksana dkk (2006), beberapa contoh yang termasuk ke dalam
hambatan tak terhindarkan adalah:
a. Menerima atau meminta petunjuk kepada pengawas
b. Melakukan penyesuaian-penyesuaian mesin
c. Memperbaiki kemacetan-kemacetan singkat seperti mengganti alat
potong yang patah, memasang kembali ban yang lepas dan sebagainya.
d. Mengasah peralatan potong.
e. Mengambil alat-alat khusus atau bahan-bahan khusus dari gudang.
f. Mesin berhenti karena matinya aliran listrik.
g. Hambatan-hambatan karena kesalahan pemakaian alat ataupun bahan.
Apabila ketiga jenis kelonggaran waktu tersebut diaplikasikan secara
bersamaan untuk seluruh elemen kerja, maka hal ini bisa
menyederhanakan perhitungan yang harus dilakukan.
2.1.7 Menghitung Waktu Standar
Waktu standar atau waktu baku adalah waktu normal ditambah dengan
waktu longgar dalam menyelesaikan pekerjaan. Waktu standar ditentukan dengan
rumus:
Ws = Wn x
….……. 2.9
2.1.8 Menghitung Output Standart
Rumus untuk perhitungan output standar sebagai berikut:
Output Standart =
………….. 2.10
2.2 Perencanaan Produksi
Perencanaan produksi adalah pernyataan rencana produksi ke dalam
bentuk agregat. Perencanaan ini merupakan alat komunikasi antara manajemen
(top management) dan manufaktur. Disamping itu juga, perencanaan produksi
merupakan pegangan untuk merancang jadwal induk produksi (Ginting R; 2007).
2.2.1 Tujuan Perencanaan Produksi
Tujuan perencanaan produksi adalah:
1. Sebagai langkah awal untuk menentukan aktivitas produksi yaitu
sebagai referensi perencanaan lebih rinci dari rencana agregat menjadi
item dalam jadwal induk produksi.
2. Sebagai masukan rencana sumber daya sehingga perencanaan sumber
daya dapat dikembangkan untuk mendukung perencanaan produksi.
3. Meredam (stabilitas) produksi dan tenaga kerja terhadap fluktuasi
permintaan.
2.3 Biaya Produksi
Biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomis yang diukur dalam satuan
uang yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa biaya adalah:
a. Pengorbanan ekonomis yang telah terjadi (historical cost) dan mempunyai
kemungkinan akan terjadi (future cost).
b. Tujuan dari pengorbanan tersebut adalah untuk memperoleh manfaat.
c. Dapat diukur dengan satuan uang (Rangkuti, 2012).
2.3.1 Klasifikasi Biaya
Jenis biaya yang ditimbulkan dan cara biaya ini diklasifikasikan akan
tergantung pada jenis organisasi yang bersangkutan.
1. Biaya dalam hubungan dengan produk
a. Biaya fabrikasi (manufacturing cost). Biaya fabrikasi meliputi tiga
elemen dasar untuk menentukan harga pokok produksi yaitu: bahan baku
langsung (direct material), tenaga kerja langsung (direct labor), dan
overhead pabrik (manufacturing overhead). Overhead pabrik adalah
seluruh biaya, seperti bahan baku tidak langsung, tenaga kerja tidak
langsung, depresiasi fasilitas pabrik, dan biaya lainnya untuk
mengoperasikan divisi manufaktur suatu perusahaan.
b. Biaya komersial. Pada umumnya meliputi biaya pemasaran dan
administrasi.
2. Biaya dalam hubungan dengan volume kegiatan
a. Biaya tetap (fixed cost), yaitu biaya yang jumlah keseluruhannya tetap
dalam kisaran keluaran yang relevan.
b. Biaya variable (variable cost), yaitu biaya variabel yang berubah totalnya
menurut hubungan langsung dengan perubahan tingkat produksi
perusahaan.
c. Biaya semi-variabel (mixed cost), adalah biaya yang mengandung elemen
biaya variabel maupun biaya tetap (Rangkuti, 2012).
2.4 Perencanaan Agregat
Menurut Nasution (2008), perencanaan agregrat merupakan salah satu
metode dalam perencanaan produksi. Dengan menggunakan perencanaan agregat
maka perencanaan produksi dapat dilakukan dengan menggunakan satuan produk
pengganti sehingga keluaran dari perencanaan produksi dinyatakan dalam tiap
jenis produk (individual produk).
2.4.1 Biaya-biaya yang terlibat
1. Hiring Cost (biaya penambahan tenaga kerja).
2. Firing Cost (biaya pemberhentian tenaga kerja).
3. Overtime Cost dan Undertime Cost (biaya lembur dan biaya
mengganggur).
4. Inventory Cost dan Backorder Cost (biaya persediaan dan biaya
kehabisan persediaan).
5. Subcontract Cost (biaya subkontrak).
2.4.2 Strategi dalam Perencanaan Agregat
Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk melakukan perencanaan
yaitu dengan melakukan manipulasi persediaan, laju produksi, jumlah tenaga
tenaga kerja, kapasitas atau variabel terkendali lainnya. Jika perubahan laju
produksi disebut sebagai strategi murni (pure strategy). Sebaliknya, strategi
gabungan (mixed strategy), merupakan gabungan perubahan dua atau lebih
strategi murni sehingga diperoleh perencanaan produksi flexsibel (Nasution,
2008).
Masalah fluktuasi permintaan mengakibatkan perusahaan harus menemukan
cara atau strategi berproduksi agar fluktuasi permintaan tersebut dapat diantisipasi
tentu saja dengan cara yang ekonimis sehingga tujuan perusahaan mencari
keuntungan dapat tercapai. Jadi dalam perencanaan agregat, tidak dihasilkan
rencana dalam bentuk individual produk melainkan dalam bentuk agregat produk.
Keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan satuan agregat antara lain:
a. Kemudahan dalam pengolahan data
b. Ketelitian hasil yang didapatkan.
c. Kemudahan untuk melihat dan memahami mekanisme system produksi
yang terjadi dalam implementasi rencana.
2.4.3 Metode – Metode Perencanaan Agregat
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan pada perencanaan produksi agregat (Nasution, 2008). Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut:
A. Jumlah tenaganya tetap dan struktur biayanya linier
1. Trial and Error
2. Program Linier
3. Transportasi
4. Programa Dinamis
B. Jumlah tenaganya berubah-ubah dan struktur biayanya linier
1. Program Linier
C. Jumlah tenaganya berubah-ubah dan biayanya non linier
1. Linier Decision Rule
2. Heuristic Search
2.4.4 Perencanaan Agregat dengan Metode Transportasi
Pada metode transportasi ini seringkali digunakan dalam proses
determinasi perencanaan minimasi biaya untuk pengiriman suatu barang dari
sejumlah sumber ke sejumlah tujuan (Rangkuti F, 2012).
Ciri-ciri permasalahan transportasi adalah sebagai berikut:
1. Terdapat sejumlah sumber dan sejumlah tujuan tertentu.
2. Kuantitas barang yang didistribusikan dari setiap sumber dan yang diminta oleh
setiap tujuan, besarnya tertentu.
3. Barang yang diangkat dari suatu sumber ke suatu tujuan, besarnya sesuai
dengan permintaan kapasitas sumber.
4. Ongkos pengangkutan barang dari suatu sumber ke suatu tujuan, besarnya
tertentu.
2.5 Penelitian Terdahulu
No. Peneliti Judul Metode Kesimpulan
1.
M. Fahni
A.K.
(2007)
Analisa Jumlah Tenaga
Kerja Produksi Untuk
Memenuhi Target
Pengukuran waktu
kerja, rating
performance,
waktu siklus, line
balancing.
Penetuan line
balancing
produksi
2.
Edwin
Murdhani
(2008)
Analisa Perhitungan
Waktu Baku Serta
Jumlah Pekerja Guna
Meningkatkan
Kapasitas Produksi
Pengukuran waktu
kerja, peramalan
Peramalan
yang
menentukan
jumlah tenaga
kerja yang
diperlukan
3.
Renty
Anugerah
& Melissa
Devi
Pendekatan Program
Linier Dalam
Perencanaan Tenaga
Kerja Pada Dept. Head
Analize Di Pt.
Indonesia Epson
Industri
Programa linier,
WinQSB,
perencanaan
tenaga kerja
Penentuan
hiring dan
firing yang
diperlukan