bab 2 lapkas rido

23
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA HIPERTENSI DAN EPISTAKSIS 1.1 HIPERTENSI Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit jantung koroner, kejadian stroke, gagal ginjal kronik dan gagal jantung kongestif. Tujuan pengobatan hipertensi bukan sekedar menurunkan tekanan darah, melainkan menurunkan semua kerusakan organ target. Untuk mencapai penurunan morbiditas dan mortalitas yang optimal terhadap penyakit-penyakit yang berkaitan dengan hipertensi, maka harus dipikirkan pengaruh pemberian terapi anti hipertensi terhadap patogenesis kerusakan masing-masing organ target 1 . 1.1.1 DEFINISI DAN KLASIFIKASI TEKANAN DARAH The Seventh Report of the Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII) 2003 dan World Health Organization – International Society of Hypertension (WHO- ISH) 1999 telah memperbaharui klasifikasi, definisi, serta stratifikasi risiko untuk menentukan prognosis jangka panjang. Pada tabel 3 diperlihatkan definisi dan klasifikasi tekanan darah dari JNC-VII Mei 2003 2 .

Upload: claragustin53768590

Post on 28-Dec-2015

27 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Bab 2 Lapkas Rido

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 2 Lapkas Rido

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

HIPERTENSI DAN EPISTAKSIS

1.1 HIPERTENSI

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit jantung koroner,

kejadian stroke, gagal ginjal kronik dan gagal jantung kongestif. Tujuan

pengobatan hipertensi bukan sekedar menurunkan tekanan darah, melainkan

menurunkan semua kerusakan organ target. Untuk mencapai penurunan

morbiditas dan mortalitas yang optimal terhadap penyakit-penyakit yang berkaitan

dengan hipertensi, maka harus dipikirkan pengaruh pemberian terapi anti

hipertensi terhadap patogenesis kerusakan masing-masing organ target1.

1.1.1 DEFINISI DAN KLASIFIKASI TEKANAN DARAHThe Seventh Report of the Joint National Committee on Detection, Evaluation,

and Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII) 2003 dan World Health

Organization – International Society of Hypertension (WHO-ISH) 1999 telah

memperbaharui klasifikasi, definisi, serta stratifikasi risiko untuk menentukan

prognosis jangka panjang. Pada tabel 3 diperlihatkan definisi dan klasifikasi

tekanan darah dari JNC-VII Mei 20032.

Tabel 1. Definisi dan Klasifikasi Tekanan Darah dari JNC-VII 2003

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 Dan < 80

Prehipertensi 120-139 Atau 80 – 89

Hipertensi :

Derajat 1

Derajat 2

140 – 159

> 160

atau

atau

90 – 99

> 100

Page 2: Bab 2 Lapkas Rido

9

Tabel 2. Manajemen Tekanan Darah dari JNC-VII 2003

Kategori

Modifikasi Gaya Hidup

Dianjurkan

Pilihan obat untuk terapi awal

Tanpa indikasi khusus Dengan indikasi khusus

Prehipertensi Ya Tidak ada indikasi obat anti hipertensi

Obat untuk indikasi khusus

Hipertensi Derajat 1 Ya Umumnya diuretik thiazide. Dipertimbangkan pemberian : ACE-I, ARB, b-blocker, CCB atau kombinasi

Obat untuk indikasi khusus. Obat hipertensi lainnya (diuretik, ACE-I, ARB, CCB, b-blocker) sesuai kebutuhan

Hipertensi Derajat 2 Ya Umumnya kombinasi 2 macam (biasanya diuretik Thiazide dan ACE-I, atau ARB, atau b-blocker atau CCB)

Obat untuk indikasi khusus.

Obat anti hipertensi lainnya (diuretik, ACE-I, ARB, CCB, b-blocker) sesuai kebutuhan

1.1.2 ETIOLOGI

Berdasarkan identifikasi penyebab hipertensi, JNC-VII 2003 mengklasifikasikan

penyebab sebagai berikut :

Sleep apnea

Penyalahgunaan obat-obatan & bahan lainnya

Penyakit ginjal kronik

Aldosteronism primer

Penyakit renovaskuler

Terapi steroid kronik & sindroma Cushing’s

Pheochromocytoma

Coarctatio aorta

Penyakit tiroid atau paratiroid

Page 3: Bab 2 Lapkas Rido

10

1.1.3 Stratifikasi faktor risiko kardiovaskular & kerusakan organ target

Pada stratifikasi risiko terhadap prognosis jangka panjang, JNC-VII memasukkan

faktor-faktor risiko kardiovaskuler mayor, kerusakan organ target, serta keadaan

klinis penyerta sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis. Kapan terapi

anti hipertensi harus diberikan, ditentukan oleh stratifikasi risiko penderita

hipertensi.

Faktor risiko kardiovaskular yang perlu dinilai terdiri dari golongan yang dapat

diubah (dimodifikasi) dan yang tidak mungkin diubah (tabel 3). Tentunya hanya

faktor risiko yang dapat diubah yang bisa dikendalikan.

Tabel 3. Faktor Risiko Utama

Dapat dimodifikasi Tidak dapat dimodifikasi

- Hipertensi - Umur ( ♂ > 55 thn, ♀ > 65 thn )

- Merokok - Riwayat keluarga dgn penyakit

- Obesitas (BMI ≥ 30) kardiovaskular prematur

- Physical inactivity ( ♂ < 55 thn, ♀ < 65 thn )

- Dislipidemia

- Diabetes mellitus

- Mikroalbuminuria atau GFR < 60 ml/min

Perlu dilakukan evaluasi terhadap ada tidaknya kerusakan organ target akibat

hipertensi serta manifestasi klinis yang mungkin timbul seperti yang terlihat pada

tabel berikut.

Tabel 4. Kerusakan Organ Target

Penyakit jantung

1. Hipertrofi ventrikel kiri (LVH)2. Angina atau infark miokard sebelumnya3. Riwayat revaskularisasi4. Gagal jantung

Stroke atau TIA

Page 4: Bab 2 Lapkas Rido

11

Penyakit ginjal kronik

Penyakit arteri perifer

Retinopati

1.1.4 PEMERIKSAAN PADA HIPERTENSI

1. Riwayat penyakit

5. Lama dan klasifikasi hipertensi6. Pola hidup7. Faktor-faktor risiko kelainan kardiovaskular (Tabel 3)8. Riwayat penyakit kardiovaskular9. Gejala-gejala yang menyertai hipertensi 10. Kerusakan organ target (Tabel 4)11. Obat-obatan yang sedang atau pernah digunakan

2. Pemeriksaan fisik

12. Tekanan darah minimal 2x selang 2 menit13. Periksa tekanan darah lengan kontra lateral14. Tinggi badan dan berat badan15. Pemeriksaan funduskopi16. Pemeriksaan leher, jantung, paru, abdomen & ekstremitas17. Refleks saraf

3. Pemeriksaan laboratorium

18. Urinalisis19. Darah : trombosit, fibrinogen20. Biokimia : kalium, natirum, kreatinin, GDS, profil lipid, asam urat.

4. Pemeriksaan tambahan

21. Foto rontgen dada22. EKG 12 lead23. Mikroalbuminuria24. Ekokardiografi

1.1.5 PENATALAKSANAAN

Jika modifikasi gaya hidup tidak menurunkan tekanan darah ke tingkat yang

diinginkan, terapi farmakologis harus diberikan. Pemilihan terapi anti hipertensi

lebih dianjurkan secara individual berdasarkan pada patofisiologi, hemodinamik,

kerusakan organ target, adanya penyakit penyerta, demografik, efek samping obat,

kepatuhan terhadap regimen pengobatan dan biaya pengobatan,

Tabel 5. Klasifikasi Obat Anti Hipertensi

Page 5: Bab 2 Lapkas Rido

12

Klasifikasi Nama ObatDosis mg/hari

(frekwensi sehari)

Thiazide diuretics Chlorothiazide (Diuril)

Chlorthalidone

Hydrochlorothiazide

Indapamide

125 – 500 (1)

12.5 – 25 (1)

12.5 – 50 (1)

1.25 – 2.5 (1)

Loop diuretics Furosemide 20 – 80 (2)

Potassium-sparing diuretics Amiloride

Triamterene

5 – 10 (1-2)

50 – 100 (1-2)

Aldosterone receptor blockers Spironolactone 25 – 50 (1-2)

Beta-blockers Atenolol

Bisoprolol

Metoprolol

Metoprolol extend release

Propanolol

25 – 100 (1)

2.5 – 10 (1)

50 – 100 (1-2)

50 – 100 (1)

40 – 160 (2)

Combined alpha – and beta blockers

Carvedilol

Labetalol

12.5 – 50 (2)

200 – 800 (2)

ACE-I Captopril

Enalapril

Fosinopril

Lisinopril

Perindopril

Quinapril

Ramipril

25 – 100 (2)

2.5 – 40 (1-2)

10 – 40 (1)

10 – 40 (1)

4 – 8 (1-2)

10 – 40 (1)

2.5 – 20 (1)

Page 6: Bab 2 Lapkas Rido

13

Trandolapril 1 – 4 (1)

Angiotensin II antagonists Candesartan

Irbesartan

Losartan

Telmisartan

Valsartan

8 – 23 (1)

150 – 300 (1)

25 – 100 (1-2)

20 – 80 (1)

80 – 320 (1)

Calcium channel blockers-non-Dihydropyridines

Diltiazem extended release

Verapamil immediate release

Verapamil long acting

Verapamil

180 – 420 (1)

80 – 320 (2)

120 – 360 (1-2)

120 – 360 (1)

Calcium channel blockers – Dihydropyridines

Amlodipine

Felodipine

Nicardipine

Nifedipine

2.5 – 10 (1)

2.5 – 20 (1)

60 – 120 (2)

30 – 60 (1)

Alpha1-blockers Doxazosin

Prazosin

1 – 16 (1)

2 – 20 (2-3)

Central alpha2-agonists and other centrally acting drugs

Clonidine

Methyldopa

Reserpine

1. – 0.8 (2)250 – 1.000 (2)

0.05 - 0.25 (1)

Direct vasodilators Hydralazine 25 – 100 (2)

1.1.6 Pedoman Pemilihan Monoterapi atau Kombinasi

Page 7: Bab 2 Lapkas Rido

14

Terapi monoterapi, tidak tergantung dari jenis obat yang diberikan, biasanya

hanya bisa mencapai target tekanan darah pada jumlah pasien yang terbatas.

Penggunaan lebih dari satu obat diperlukan untuk mencapai target tekanan

darah pada mayoritas pasien. Pemilihan monoterapi dapat diberikan pada

peningkatan tekanan darah yang ringan (derajat 1) dengan resiko

kardiovaskuler rendah atau sedang. Pada pasien dengan tekanan darah awal

derajat 2 atau resiko kardiovaskuler tinggi, maka kombinasi dua obat dengan

dosis rendah lebih dianjurkan sebagai terapi awal.

Gambar 1. Kombinasi rasional obat anti hipertensi

Keterangan

--- kombinasi yang kurang dianjurkan

__ kombinasi yang dianjurkan

1.1.7 Pedoman dasar pemberian obat pada pasien dengan indikasi khusus

Page 8: Bab 2 Lapkas Rido

15

Tabel 6. Obat pada Kondisi Khusus

Kondisi khusus Obat yang direkomendasikanDiuretic b-blocker ACE-I ARB CCB Aldosteron

antagonisGagal jantung + + + + +

Post infark miokard + + +

Risiko tinggi koroner + + + +

Diabetes Mellitus + + + + +

Penyakit ginjal kronik + +

Pencegahan stroke berulang

+ +

Terapi pada penderita dengan penyakit penyerta

Tabel 7. Seleksi Obat Anti hipertensi

Karakteristik Penderita Obat yang dianjurkan Obat yang kurang dianjurkan

Usia < 50 Verapamil, Penyekat b, Penyekat EKA, Penyekat a, PRA

Usia > 65 Diuretik thiazid, Dihidropiridine, Penyekat EKA, PRA

Agonis a sentral

African – American Diuretik thiazid, Antagonis kalsium

Penyekat b, Penyekat EKA, PRA

Aktif Penyekat EKA, Antagonis kalsium, Penyekat a, Penyekat b

Diuretik dosis tinggi

Menghindari sedasi Agonis a sentral

Nonkomplian Obat dosis sekali sehari Agonis a sentral

Hipertensi sistolik terisolasi Diuretik thiazid, Penyekat b,

Dihidropiridin

Hipertrofi ventrikel Penyekat EKA, Antagonis Ca, Penyekat a, PRA

Penyekat b (ISA), Hidralasin, Minoksidil

PJK Verapamil, Diltiazem, Penyekat EKA, Penyekat b (non ISA)

Dihidropiridin (kecuali vasospasme), Vasodilator langsung

Page 9: Bab 2 Lapkas Rido

16

Pasca Infark Miokard Penyekat EKA, Diuretik, Penyekat b (non ISA)

Gagal Jantung Kongesti Penyekat EKA, Thiazid, PRA, Penyekat b, Penyekat a-b

Disfungsi sistolik

(EF > 35 - 40 %)

KK > 30 ml/mnt : Indapamid metalason atau Loop diuretik

Antagonis kalsium (verapamil, diltiazem, nifedipine, nicardipine)

Disfungsi diastolik

(EF > 35-40 %)

KK < 30 ml.mnt : Carvedilol, Penyekat b (non ISA), Verapamil, Diltiazem,

Dihidripiridin, Penyekat b (ISA), Diuretik

SVT Diltiazem, Verapamil, Penyekat b (non ISA)

Sindroma WPW Verapamil, Diltiazem

Bradikardia (SSS) Verapamil, Diltiazem, Penyekat b

CVD Penyekat EKA, Diuretik, Penyekat b (ISA), Penyekat a

Agonis a sentral

DM / Intoleransi Glukosa Penyekat EKA, Antagonis Ca, Diuretik, Penyekat a

Hiperkolesterolemia Penyekat EKA, Indapamid, Antagonis Ca, Penyekat a, Penyekat b (ISA)

Diuretik thiazid, Penyekat b (non ISA)

Hipertrigliseridemia Diuretik thiazid, Penyekat b (non ISA)

Migrain Antagonis Ca, Penyekat b

Riwayat Depresi Agonis a sentral, penyekat b, Reserpin

Karakteristik Penderita Obat yang dianjurkan Obat yang kurang dianjurkan

Penyakit Vaskuler Perifer Penyekat EKA, Antagonis Ca, Penyekat a

Penyekat b

Insufisiensi ginjal Indapamid, Metalason, Loop diuretic, Antagonis Ca, Minoksidil, Penyekat EKA (hati-hati)

Diuretik thiazid, Gol. Penghemat Ca

Penyakit Kolagen Penyekat EKA (selain kaptopril), Metildopa, Hidralazin

Page 10: Bab 2 Lapkas Rido

17

Antagonis Ca

Gout Diuretik thiazid

Asma Penyekat b

Osteoporosis Diuretik thiazid

BPH Penyekat a

Wanita hamil Metildopa, Hidralazin Penyekat EKA

EKA : Enzim Konversi Angiotensin

ISA : Intrinsic Sympatthomimetic Activity

KK : Klirens Kreatinin

PRA : Penyekat Reseptor Angiotensin

2.1 EPISTAKSIS

Page 11: Bab 2 Lapkas Rido

18

2.1.1 DEFINISI EPISTAKSIS

Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah.

Penanganan epistaksis dengan menekan ala nasi telah diperkenalkan sejak zaman

Hipokrates. Cave Michael (1871), James Little (1879) dan Wilhelm Kiesselbach

merupakan ahli-ahli yang pertama kali mengidentifikasi cabang-cabang pembuluh

darah yang berada di bagian anterior septum nasi sebagai sumber epistaksis.1

Dikutip dari Dewar, Mitchell menemukan 4,5% dari 374 orang yang dirawat

dengan hipertensi, memiliki riwayat epistaksis.3

Sedangkan Herkner dkk melaporkan dari 213 orang pasien yang datang ke unit

gawat darurat dengan epistaksis, ditemukan 33 orang pasien (15,5%) dengan

peningkatan tekanan darah.4

2.1.2 ANATOMI DAN PENDARAHAN RONGGA HIDUNG

Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan

karotis eksterna (AKE).4

Gambar 1. Pembuluh darah di daerah Septum Nasi

Page 12: Bab 2 Lapkas Rido

19

Gambar 2. Pembuluh darah di dinding lateral hidung

Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI, bercabang dua menjadi arteri

ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior lebih besar dibanding cabang

posterior dan pada bagian medial akan melintasi atap rongga hidung, untuk

mendarahi bagian superior dari septum nasi dan dinding lateral hidung. AKE

bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris interna. Arteri fasialis

memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis superior.5

Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri

sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri

sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media,

memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral hidung.5

Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina

mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis),

membentuk plexus Kiesselbach atau Little’s area.5

Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka media terdapat

plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis

posterior dan faringeal asendens.5

Epistaksis anterior sering mengenai daerah plexus Kiesselbach. Epistaksis anterior

lebih mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah diatasi dibandingkan

Page 13: Bab 2 Lapkas Rido

20

epistaksis posterior. Batas yang membagi antara epistaksis anterior dan epistaksis

posterior adalah ostium sinus maksilaris.5

2.1.3 ETIOLOGI EPISTAKSIS

a. Faktor Lokal

Beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis antara lain:

1) Trauma nasal.

2) Obat semprot hidung (nasal spray). Penggunaan obat semprot hidung secara

terus menerus, terutama golongan kortikosteroid, dapat menyebabkan epistaksis

intermitten. Terdapat kerusakan epitel pada septum nasi. Epitel ini akan mudah

berdarah jika krusta terlepas. Pemakaian fluticasone semprot hidung selama 4-6

bulan, belum menimbulkan efek samping pada mukosa.6

3) Kelainan anatomi: adanya spina, krista dan deviasi septum.

4) Tumor intranasal atau sinonasal. Sering ditandai dengan adanya riwayat

epistaksis yang berulang.

5) Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti dekongestan topikal dan

kokain.6

6) Iritasi karena pemakaian oksigen: Continuous Positive Airway Pressure

(CPAP).

7) Kelainan vaskuler. Seperti kelainan yang dikenal dengan Wagener’s

granulomatosis (kelainan yang didapat).6

b. Faktor Sistemik

Hipertensi tidak berhubungan secara langsung dengan epistaksis. Arteriosklerosis

pada pasien hipertensi membuat terjadinya penurunan kemampuan hemostasis dan

kekakuan pembuluh darah.3

Penyebab epistaksis yang bersifat sistemik antara lain:

Page 14: Bab 2 Lapkas Rido

21

1) Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic telangectasia)

merupakan kelainan bawaan yang diturunkan secara autosom dominan. Trauma

ringan pada mukosa hidung akan menyebabkan perdarahan yang hebat. Hal ini

disebabkan oleh melemahnya gerakan kontraktilitas pembuluh darah serta

terdapatnya fistula arteriovenous.3

2) Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia (heparin, warfarin) dan

antiplatelets (aspirin, clopidogrel).6

3) Kegagalan fungsi organ seperti uremia dan sirosis hepatis.6

4) Atheroslerosis, hipertensi dan alkohol.6

5) Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormon adrenokortikosteroid atau

hormon mineralokortikoid, pheochromocytoma, hyperthyroidism atau

hypothyroidism, kelebihan hormon pertumbuhan dan hyperparathyroidism.7

2.1.4 HUBUNGAN HIPERTENSI DENGAN EPISTAKSIS

Menurut Herkner dkk, ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa epistaksis

dapat terjadi pada pasien-pasien dengan hipertensi.8

1. Pasien dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah yang

kronis. Hal ini berisiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan tekanan darah

yang abnormal.

2. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan berulang

pada bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom yaitu bagian

pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka inferior.

Hubungan antara hipertensi dengan kejadian epistaksis masih merupakan suatu

yang kontroversial. Adanya kecendrungan peningkatan kejadian epistaksis pada

pasien dengan hipertensi yang lama dan hipertrofi ventrikel kiri. Tetapi sebagian

penulis menemukan sebaliknya. Lubianca dkk (1999), menyatakan tidak

ditemukan hubungan yang bermakna antara peningkatan tekanan darah dengan

kejadian epistaksis.9

Page 15: Bab 2 Lapkas Rido

22

Padgham dkk, dikutip dari Temmel, menemukan adanya hubungan antara

hipertensi dengan epitaksis terutama epitaksis yang berasal dari meatus medius,

tapi tidak ditemukan hubungan dengan beratnya epistaksis. Sedangkan Beran dkk

melaporkan common cold, stres, dan kelelahan dilaporkan sering mendahului

terjadinya epistaksis.10

Ibrashi dkk mengatakan bahwa lesi lokal di hidung yang menyebabkan stagnan

aliran pembuluh darah seperti infeksi, atau penyebab lainnya yang

menghancurkan dinding pembuluh darah atau mukoperiostealnya yang dapat

menjadi pemicu terjadinya epistaksis, maka hipertensi dan aterosklerosis baru

akan memainkan peranannya dalam memperberat epistaksis.10 Dari Lubianca

mengatakan ada tiga faktor lain yang dapat membuat samar diagnosis epistaksis

yang disebabkan oleh hipertensi yaitu: 1) kelainan anatomi hidung, 2) bukti

adanya kerusakan organ target lain dan 3) kelainan hemostasis.9

Hedges (1969), seperti dikutip dari Ibrashi, membandingkan pengaruh hipertensi

pada aliran darah di retina dengan aliran darah di hidung. Hasilnya didapatkan

pada aliran darah dalam retina didukung oleh tekanan dari intraokuler.

Sebaliknya, aliran darah di hidung, tidak ada tekanan pendukung dari

mukoperikondrium dan mukoperiostium. Inilah yang mungkin menjelaskan pada

pasien hipertensi dengan gejala epistaksis, tapi tidak ada gejala perdarahan retina

dan eksudat pada kelompok yang diperiksa. Perdarahan di retina berhubungan

dengan penyebab sistemik seperti diabetes melitus, atau penyebab lokal seperti

tekanan intraokuler yang rendah.10

Herkner mendapatkan dari 213 orang pasien yang datang ke unit gawat darurat

dengan epistaksis, mempunyai tekanan darah sistolik 161 (157-165) mmHg dan

tekanan darah diastolik 84 (82-86) mmHg serta pada hipertensi stadium 3

(≥180/≥110 mmHg).8

Padgham melaporkan pada hipertensi ringan dan sedang, terbukti mempunyai

hubungan dengan kejadian epistaksis di meatus medius, tapi tidak di bagian

hidung yang lain. Tidak terbukti ada hubungan kejadian epistaksis dengan

Page 16: Bab 2 Lapkas Rido

23

konsumsi aspirin, obat antiinflamasi non steroid, tingkat keparahan dan bagian

hidung yang mengalami perdarahan.11

Knopfholz dkk mengatakan hipertensi tidak berhubungan dengan beratnya

epistaksis yang terjadi. Tetapi hipertensi terbukti dapat membuat kerusakan yang

berat pada pembuluh darah di hidung (terjadi proses degenerasi perubahan

jaringan fibrous di tunika media) yang dalam jangka waktu yang lama merupakan

faktor risiko terjadinya epistaksis.12

Epistaksis bukanlah termasuk gejala kasus hipertensi emergensi. Kesimpulan ini

didapatkan oleh Lima Jr dkk dalam penelitian tentang hubungan epistaksis dengan

kasus hipertensi emergensi.13

Fakta baru yang ditemukan oleh Herkner dkk (2002) bahwa angka kejadian

epistaksis pasca operasi mengalami peningkatan pada pasien dengan riwayat

hipertensi yang lama. Tidak ditemukan hubungan dengan beratnya derajat

hipertensi.14

DAFTAR PUSTAKA

[1] Maxine A, et al. 2013. Current Medical Diagnosis & Treatment. Mc Graw Hill

[2] Aru W,dkk. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing : FK UI

[3] Nwaorgu OGB. Epistaxis: An Overview. Annals of Ibadan Postgraduate Medicine 2004; 1(2): 32-7.

[4] Dewar HA. Epistaxis in Hypertension. British Medical Journal 1959; 5115: 169-70

[5] Schlosser RJ. Epistaxis. N Engl J Med 2009; 784-9.

Page 17: Bab 2 Lapkas Rido

24

[6] Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: An Update on Current Management. Postgrad Med J 2005; 81: 309-14.

[7]Idham I, Sanjaya W. Angiotensin-II dan Remodelling Vaskuler. Cermin Dunia Kedokteran 2005; 147: 16-20.

[8] Herkner H, Laggner AN, Muller M, Formanek M, Bur A et al. Hypertension in Patients Presenting With Epistaxis. Annals of Emergency Medicine 2000; 35(2): 126-30.

[9] Lubianca JF, Fuchs FD, Facco Sr et al. Is Epistaxis Evidence of End Organ Damage in Patients With Hypertension? Laryngoscope 1999; 109: 1111-5.

[10]Temmel AFP, Quint C, Toth J. Debate about Blood Pressure and Epistaxis Will Continou. British Medical Journal 2001; 322(7295): 1181.

[11] Padgham N. Epistaxis: Anatomical and Clinical Correlates. J Laryngol Otol 1990; 104: 308-11.

[12] Knopfholz J, Lima JE, Neto DP, Faria NJR. Association between Epistaxis and Hypertension: A one year Follow-up After an Index Episode of Nasal Bleeding in Hypertension Patients. International Journal of Cardiology 2009; 134: 107-9.

[13] Lima Jr, Knopfholz J. Relationship Between Epistaxis and Arterial Pressoric Blood Levels: is the Epistaxis a Hypertensive Emergency? Am J Hypertensions 2000; 13(4):220.

[14] Herkner H, Havel C, Mullner M, Gamper G, Bur A et al. Active Epistaxis at ED Presentation is Associated with Arterial Hypertension. American Journal of Emergency Medicine 2009; 20(2): 92-5.