bab 2 landasan teori - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2/2011-1-00012-pl...

24
6 BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1. Stres Hidup yang berada dalam ketenangan dan kedamaian dalam waktu yang terlalu lama dapat menimbulkan rasa jemu. Rasa jemu yang berlebihan bisa menumbuhkan stres bagi seseorang (Rita L. Atkinson, Richard C. Atkinson, Ernest R. Hilgard, 1991). Stres bisa menimpa siapa saja dan di mana saja. Banyak penelitian telah membahas mengenai stres. Para peneliti juga mengartikan stres dengan berbagai definisi. Dari tahun ke tahun, penelitian yang membahas mengenai stres telah dilakukan. Pada awal abad ke-14, peneliti mengartikan stres sebagai suatu kesulitan, ketegangan dan penderitaan. Pada abad-17, Hooke menggunakan istilah stres dalam konteks ilmu fisik, dimana stres dapat mempengaruhi kondisi fisik karyawan (Lazarus dan Folkman, 1984). Pada tahun 1936, Hans Selye mengartikan stres sebagai suatu susunan pertahanan diri seseorang dalam menghadapi stimulus berbahaya (termasuk ancaman psikologis), reaksi pertahanan diri tersebut disebut dengan General Adaptation Syndrome (Lazarus dan Folkman, 1984). Konsep stres tidak hanya ada dalam konteks ilmu fisik. Pada tahun 1977, Hinkle melakukan evolusi konsep stres dan memasukkan istilah stres ke dalam konteks ilmu biologi (Lazarus dan Folkman, 1984). Konsep stres dalam ilmu biologi menjabarkan stres berupa reaksi seseorang akan situasi dinamis. Lebih lengkapnya,

Upload: lyxuyen

Post on 05-Mar-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

6

BAB 2

LANDASAN TEORI

2. 1. Stres

Hidup yang berada dalam ketenangan dan kedamaian dalam waktu yang

terlalu lama dapat menimbulkan rasa jemu. Rasa jemu yang berlebihan bisa

menumbuhkan stres bagi seseorang (Rita L. Atkinson, Richard C. Atkinson, Ernest

R. Hilgard, 1991). Stres bisa menimpa siapa saja dan di mana saja.

Banyak penelitian telah membahas mengenai stres. Para peneliti juga

mengartikan stres dengan berbagai definisi. Dari tahun ke tahun, penelitian yang

membahas mengenai stres telah dilakukan.

Pada awal abad ke-14, peneliti mengartikan stres sebagai suatu kesulitan,

ketegangan dan penderitaan. Pada abad-17, Hooke menggunakan istilah stres

dalam konteks ilmu fisik, dimana stres dapat mempengaruhi kondisi fisik karyawan

(Lazarus dan Folkman, 1984).

Pada tahun 1936, Hans Selye mengartikan stres sebagai suatu susunan

pertahanan diri seseorang dalam menghadapi stimulus berbahaya (termasuk

ancaman psikologis), reaksi pertahanan diri tersebut disebut dengan General

Adaptation Syndrome (Lazarus dan Folkman, 1984).

Konsep stres tidak hanya ada dalam konteks ilmu fisik. Pada tahun 1977,

Hinkle melakukan evolusi konsep stres dan memasukkan istilah stres ke dalam

konteks ilmu biologi (Lazarus dan Folkman, 1984). Konsep stres dalam ilmu biologi

menjabarkan stres berupa reaksi seseorang akan situasi dinamis. Lebih lengkapnya,

7

Hinkle (1977) menggunakan kata stres untuk mengindikasi suatu posisi dimana

manusia mampu berinteraksi dengan keadaan atau stimulus berbahaya pada situasi

dinamis (Lazarus dan Folkman, 1984). Wolff (1953) menekankan bahwa situasi

dinamis melibatkan adaptasi pada tuntutan (Lazarus dan Folkman, 1984). Lazarus

dan Folkman (1984) menyimpulkan bahwa stres pada ilmu fisika diartikan sebagai

ketidakberdayaan tubuh seseorang dalam menghadapi beban dari lingkungannya,

sedangkan stres dalam ilmu biologi diartikan sebagai proses pertahanan diri, dimana

manusia berjuang untuk mengatur stres yang dialaminya. Konsep situasi dinamis

tidak digunakan oleh Lazarus dan Folkman dalam mengartikan stres. Hal ini

dikarenakan konsep tersebut tidak mencakup pembahasan mengenai coping stress,

penyakit dan kesulitan yang dialami akibat stres dirasakan individu tersebut (Lazarus

dan Folkman, 1984).

Di tahun 1984, Lazarus dan Folkman mendefinisikan stres berupa

ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dan kemampuan seseorang. Seseorang

yang mengalami stres akan melakukan penilaian terhadap lingkungannya, melebihi

kemampuan yang dimilikinya atau bahkan mengancam kesejahteraannya (Lazarus

dan Folkman, 1984). Dengan adanya stres, manusia mampu memperlihatkan

keunikan dirinya dalam mengahadapi stres yang dirasakannya masing-masing

(Lazarus dan Folkman, 1984).

Peneliti lain juga beranggapan bahwa tuntutan lingkungan mempengaruhi

stres yang dirasakan seseorang. Pada konteks organisasi, Stephen P. Robbins dan

Timothy A. Judge (2007) menyebutkan stres dipengaruhi oleh lingkungan kerja.

Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan stres sebagai kondisi dinamis dimana

8

seseorang berhadapan dengan kesempatan, demands, atau sumber yang

berhubungan dengan apa yang diinginkan seseorang, dimana hasilnya merupakan

sesuatu yang penting, namun tidak pasti. Stres berkaitan dengan demands dan

sumber-sumber yang berhubungan dengan apa yang diinginkan seseorang.

Sumber-sumber tersebut berupa segala sesuatu yang dapat dikontrol seseorang

dan bisa digunakan untuk menyelesaikan demands (Robbins dan Judge, 2007).

Menurut Robbins dan Judge (2007) demands dalam konteks organisasi dapat

berupa tanggungjawab, tekanan, obligasi, dan segala ketidakpastian yang dihadapi

seseorang di lingkungan pekerjaan.

Stres juga dapat dilihat melalui sudut pandang berbeda. Pandangan lain

menyebutkan tiga macam pendekatan mengenai stres. Penelitian Kessler, Price,

dan Wortman (1985) menemukan tiga pendekatan mengenai stres, yaitu : stressor

sebagai stimulus, stres sebagai suatu transaksi, dan stres sebagai respon (dalam

Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009).

Kessler, Price, dan Wortman (1985) menjelaskan bahwa pendekatan yang

memandang stressor sebagai stimulus fokus pada bagaimana seseorang

mengidentifikasikan peristiwa-peristiwa stres yang dialaminya. Pada pendekatan

yang memandang stressor sebagai stimulus melihat sebuah peristiwa dinilai

menyebabkan mereka sangat stres atau tidak (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan

Woolf, 2009).

Pendekatan kedua yaitu pendekatan yang menganggap stres sebagai suatu

transaksi. Kessler, Price, dan Wortman (1985) menjelaskan bahwa pendekatan yang

menganggap stres sebagai suatu transaksi fokus pada bagaimana seseorang

9

melakukan interpretasi dan menghadapi peristiwa-peristiwa stres yang dialaminya

(dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). .

Pendekatan terakhir yaitu pendekatan yang menganggap stres sebagai

respon. Kessler, Price, dan Wortman (1985) menjelaskan bahwa pendekatan yang

menganggap stres sebagai respon fokus pada penilaian psikologis dan reaksi fisik

seseorang terhadap stres (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Ketiga

pendekatan tersebut memandang stres secara berbeda, namun penelitian ini melihat

sudut pandang stres sebagai suatu transaksi.

Pada stres sebagai suatu transaksi, individu melakukan penilaian ketika

dihadapkan pada situasi tertentu (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009).

Lazarus dan Folkman (1984) menemukan bahwa seseorang melakukan dua tahap

penilaian terhadap suatu peristiwa (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009).

Lazarus dan Folkman (1984) menjelaskan bahwa pada penilaian primer (primary

appraisal), terdapat empat jenis penilaian yang dapat dilakukan individu terhadap

peristiwa yang dihadapinya, yaitu : situasi berbahaya (harm), situasi kehilangan

(loss), situasi menantang (challenge), dan situasi yang tidak berbahaya (benign)

bagi dirinya. Selanjutnya, pada tahap kedua, Lazarus dan Folkman (1984)

mengemukakan bahwa penilaian sekunder (secondary appraisal) terjadi bila

seseorang mulai memikirkan mengenai apa yang dapat diperbuatnya untuk

menghadapi situasi yang telah ia nilai pada penilaian pertama. Setelah melakukan

penilaian terhadap suatu peristiwa, individu menentukan tindakan selanjutnya.

Proses kognitif pada individu, berperan dalam menentukan tindakan selanjutnya

yaitu, penilaian situasi yang dianggap mengancam atau berbahaya dan proses

10

penilaian ini berpengaruh pada pemilihan strategi coping stress (Lazarus dan

Folkman, 1984).

Penelitian ini menggunakan pendekatan stres sebagai suatu transaksi

karena sejalan dengan teori utama yang digunakan dalam penelitian, yaitu teori

stres yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman. Selanjutnya akan dibahas lebih

lanjut teori mengenai salah satu macam stres, yaitu stres kerja.

2. 1. 1. Stres Kerja

Manusia selaku karyawan dalam suatu perusahaan melakukan proses kerja

(Munandar, 2001). Menurut Munandar (2001), proses kerja tersebut berupa

mengolah materi/bahan baku dengan mesin dan metode yang dimiliki perusahan.

Karyawan berkemungkinan mengalami stres yang merupakan akibat atau hasil dari

proses bekerja dalam perusahaan (Munandar, 2001).

Munandar (2001) mengemukakan bahwa sebagian besar stressor berasal

dari pekerjaan. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Ross dan Altimer (1994)

mendefinisikan stres kerja berupa stres yang timbul akibat tekanan di tempat kerja.

Menurut Ross dan Altimer (1994), stres tersebut sebagai hasil interaksi kondisi

karyawan dengan karakteristik masing-masing karyawan, dimana terdapat tuntutan

karyawan yang berlebihan.

Definisi lain mengenai stres kerja, juga mengkaitkan individu dengan

lingkungannya. Brousseau dan Prince (1981) mengartikan stres kerja sebagai suatu

keadaan psikologis karyawan yang tidak menyenangkan untuk bekerja karena

karyawan merasa terancam di lingkungan kerjanya (dalam Purwono, 2006). Begitu

11

pula dengan pendapat Arsenault dan Dolan (1983) bahwa stres kerja merupakan

kondisi psikologis yang. tidak menyenangkan yang ditimbulkan karena karyawan

merasa terancam, hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara individu dengan

tuntutan pekerjaan (dalam Purwono, 2006). Shin (1984) juga mengartikan stres kerja

sebagai kondisi lingkungan kerja yang bersifat negatif seperti konflik peran dan

kurangnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (dalam

Purwono, 2006).

Sejalan dengan pernyataan diatas, masalah pekerjaan menjadi salah satu

peristiwa yang membuat seseorang merasa stres. Holmes dan Rahe (1967)

menyusun skala stres (Social Readjustment Rating Scale) dari peristiwa yang

membuat seseorang merasa stres. Stres di tempat kerja menjadi bagian dalam

SRRS (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009).

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan menjadi

bagian dari peristiwa yang dapat menyebabkan individu mengalami stres. Peneliti

ingin melihat tingkat stres kerja yang dialami karyawan di kantor pusat Adira

Insurance. Peneliti berasumsi bahwa kantor pusat Adira Insurance merupakan

perusahaan dengan tekanan kerja yang tinggi, dimana menurut Bass dan Gerald

(1981), persaingan bisnis merupakan salah satu stressor. Peneliti juga berasumsi

bahwa tekanan kerja yang tinggi dikarenakan kantor pusat Adira Insurance

bertanggung jawab mengontrol kegiatan kantor-kantor cabanng yang tersebar di

beberapa wilayah Indonesia dan memiliki divisi usaha lebih dari satu. Untuk

memastikan bahwa karyawan yang bekerja di kantor pusat Adira Insurance

12

mengalami stres, peneliti akan mengukur tingkat stres kerja yang dialami karyawan

di kantor pusat Adira Insurance.

2. 1. 2. Sumber Stres Kerja

Lazarus dan Folkman (1984) menyebutkan bahwa stres dipengaruhi oleh

faktor tuntutan lingkungan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Stephen dan Timothy

(2007) menemukan faktor-faktor yang menjadi penyebab stres seseorang. Semua

faktor tersebut terdiri dari faktor lingkungan, organisasi dan pribadi. Stephen dan

Timothy (2007) menyebutkan bahwa sumber-sumber pada stres kerja bisa terjadi

karena faktor lingkungan, organisasi dan pribadi. Sumber-sumber stres kerja

menurut Stephen dan Timothy (2007), yaitu:

1. Faktor lingkungan

Faktor Lingkungan merupakan faktor-faktor ketidakpastian yang terjadi

diluar lingkungan organisasi, namun mempengaruhi struktur organisasi

dan tingkat stres kerja yang karyawan didalamnya. Terdapat tiga macam

yang termasuk dalam faktor lingkungan, yaitu :

a. Ketidakpastian politik suatu negara,

b. Perubahan siklus bisnis yang menciptakan ketidakpastian

ekonomi,

c. Inovasi teknologi yang pesat menyebabkan keterampilan dan

pengalaman karyawan tidak digunakan lagi.

13

2. Faktor organisasi

Faktor organisasi merupakan faktor-faktor di dalam suatu organisasi

yang dapat mempengaruhi stres kerja karyawan. Terdapat tiga macam

bentuk tuntutan yang termasuk dalam faktor organisasi, yaitu :

a. Tuntutan tugas, misalnya otonomi, kondisi kerja, tata letak

karyawan.

b. Tuntutan peran yang menempatkan karyawan pada peran tertentu

di perusahaan dapat menyebabkan konflik peran yang sulit

diselesaikan. Konflik peran tersebut, seperti ketidakcocokkan

dengan harapan karyawan yang menjalankan peran, kebingungan

peran atau tidak diberitahu dengan pasti peran yang dijalaninya

dalam perusahaan tersebut.

c. Tuntutan interpersonal yang terjadi dengan rekan kerja (hubungan

sosial yang buruk dengan rekan kerja).

3. Faktor pribadi

Faktor pribadi merupakan faktor-faktor di dalam diri karyawan atau

masalah yang dihadapi karyawan diluar masalah pada pekerjaan. Faktor

pribadi, yaitu :

a. Masalah keluarga (perceraian, masalah kedisipilinan dengan

anak, dan lainnya),

b. Masalah ekonomi (mengatur pengeluaran dan tabungan)

14

c. Kepribadian karyawan dapat menjadi asal dari gejala stres yang

timbul.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa stres kerja yang

dialami karyawan dapat disebabkan masalah di luar bahkan di dalam organisasi.

Sumber stres kerja yang dikarenakan faktor organisasi juga dikemukakan oleh

Munandar (2001). Munandar (2001) mengelompokkan faktor- faktor penyebab stres

dalam organisasi, yaitu:

1. Faktor- faktor intrinsik dalam pekerjaan

Meliputi tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik berupa bising,

vibrasi (getaran), higene. Sedangkan tuntutan tugas mencakup:

1. Kerja shift atau kerja malam

2. Kerja shift merupakan sumber utama dari stres bagi para

pekerja pabrik. Para pekerja shift lebih sering mengeluh

tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja

pagi, siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan

makan yang mungkin menyebabkan gangguan perut.

3. Beban kerja

Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit

merupakan pembangkit stres.

4. Paparan terhadap risiko dan bahaya

Risiko dan bahaya dikaitkan dengan jabatan tertentu

merupakan sumber stres. Makin besar kesadaran akan

15

bahaya dalam pekerjaannya makin besar depresi dan

kecemasan pada tenaga kerja.

2. Peran individu dalam organisasi

Setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus

dilakukan sesuai dengan aturan- aturan yang ada dan sesuai yang

diharapkan atasannya. Namun, tenaga kerja tidak selalu berhasil

memainkan perannya sehingga timbul konflik dengan peran yang

dijalankan dan kebingungan akan peran yang dijalankannya.

3. Ketidakpastian Pengembangan karier

Ketidakpastian Pengembangan karir merupakan pembangkit stres

potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih dan

promosi yang kurang.

4. Hubungan dalam pekerjaan

Menjalankan kehidupan dengan orang lain merupakan salah satu aspek

dari kehidupan yang dapat menyebabkan stres. Hubungan yang baik

antar anggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama

dalam kesehatan individu dan organisasi.

5. Struktur dan iklim organisasi

Kepuasan dan ketidakpastian kerja berkaitan dengan penilaian dari

struktur dan iklim organisasi. Faktor stres yang ditemui terpusat pada

sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau barperan serta dalam

organisasi.

16

6. Tuntutan dari luar organisasi atau pekerjaan

Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur

kehidupan seorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa- peristiwa

kehidupan dan kerja didalam satu organisasi dan dengan demikian

memberikan tekanan pada individu. Isu tentang keluarga, krisis

kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan- keyakinan pribadi dan

organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan

tuntutan perusahaan semuanya dapat merupakan tekanan pada individu

dalam pekerjaannya.

7. Ciri individu

Individu menilai stres yang dirasakannya. Penliaian itu tergantung dari

sejauhmana ia melihat situasinya sebagai situasi yang penuh stres atau

situasi yang tidak stres.

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa stres kerja dapat

disebabkan oleh faktor pekerjaan, faktor organisasi dan faktor kepribadian

seseorang. Bernard M. Bass dan Gerald V. Barret (1981) juga berpendapat bahwa

sumber stres disebabkan oleh faktor diluar lingkungan organisasi. Bass dan Gerald

(1981) mengemukakan bahwa, karyawan bisa saja ditempatkan pada

situasi/lingkungan yang memaksa mereka untuk melakukan pekerjaan dengan

keadaaan stres, namun stres yang dirasakannya berbeda-beda. Stres bisa saja

dipengaruhi oleh kepribadian seseorang. Sejalan dengan pernyataan tersebut, hasil

penelitian Primaldhi (2006) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif

17

antara trait kepribadian neuroticism dengan emotion-focused coping. Hal ini

membuktikan bahwa faktor kepribadian menjadi salah satu sumber stres dan

berhubungan dengan strategi coping yang digunakan.

Fokus penelitian ini pada stres yang dialami karyawan sebagai akibat

interaksi dengan faktor organisasi. Penelitian ini menggunakan teori sumber stres

kerja yang dikemukakan oleh Stephen dan Timothy (2007) yang melihat faktor

utama stres kerja yang disebabkan oleh faktor-faktor di dalam organisasi yang

mempengaruhi stres kerja karyawan.

Penelitian ini berfokus pada faktor tuntutan tugas, tuntutan peran yang

menempatkan karyawan pada peran tertentu di perusahaan dapat menyebabkan

konflik peran yang sulit diselesaikan, dan tuntutan interpersonal. Peneliti membuat

alat ukur dari teori teori sumber stres kerja yang dikemukakan oleh Stephen dan

Timothy (2007) yang digunakan sebagai informasi tambahan guna melihat sumber

stres kerja yang terjadi di kantor pusat Adira Insurance.

2. 1. 3. Gejala Stres Kerja

Stres kerja yang dialami oleh karyawan memilliki gejala-gejala tertentu.

Gejala-gejala dari stres tersebut ada yang tampak secara langsung dan tidak

langsung, bahkan ada yang mempengaruhi kesehatan karyawan yang mengalami

stres tersebut. Berikut ini penjelasan mengenai gejala-gejala stres kerja karyawan.

Robbins dan Coulter (2007) merumuskan secara singkat tiga gejala stres.

Tiga gejala stres ini mirip dengan gejala stres yang dikemukakan oleh Beehr dan

Newman, yaitu gejala fisik, psikologis dan perilaku (lihat pada Gambar 2. 1).

18

Gambar 2. 1 Gejala Stres

Sumber : Robbins dan Coulter (2007)

Beehr dan Newman (1978) membuat tiga kategori gejala-gejala stres kerja

yang dialami karyawan (dalam Ross dan Altmaier, 1994). Berikut ini akan

membahas tiga kategori gejala-gejala stres kerja yang dialami karyawan. Gejala-

gejala berikut ini disebutkan bukan berdasarkan urutan/peringkat, namun hanya

sebuah pengelompokkan.

Beehr dan Newman (1978) menyebutkan gejala stres kerja yang pertama

yaitu gejala psikologis (dalam Ross dan Altmaier, 1994). Gejala psikologis berupa

segala masalah emosi dan kognitif selama karyawan berada dalam kondisi stres

kerja (Beehr dan Newman, dalam Ross dan Altmaier, 1994). Beehr dan Newman

(1978) menyebutkan bahwa karyawan yang mengalami stres kerja menunjukkan

ketidakpuasan terhadap pekerjaannya dan karyawan tersebut tidak mengerjakan

pekerjaannya dengan baik, serta menunjukkan gejala-gejala tambahan seperti

depresi, kecemasan, frustasi dan marah (dalam Ross dan Altmaier, 1994).

Gejala Stres

Gejala Fisik Perubahan metabolisme tubuh, tekanan darah tinggi, sakit kepala, dan berpotensi

mengalami serangan jantung.

Gejala PsikologisKetidakpuasan kerja, mengalami tekanan, kecemasan, cepat marah, merasa bosan,

dan menunda pekerjaan.

Gejala Perilaku Perubahan produktivitas, perubahan pola makan, gelisah, peningkatan penggunaan alkohol dan rokok, serta gangguan tidur.

19

Gejala kedua yang disebutkan oleh Beehr dan Newman (1978) yaitu gejala

fisik (dalam Ross dan Altmaier, 1994). Beehr dan Newman (1978) mengemukakan

bahwa gejala fisik sulit didefinisikan karena selain faktor pekerjaan, sangat

berkemungkinan faktor-faktor lain mempengaruhi kondisi fisik seseorang (dalam

Ross dan Altmaier, 1994). Namun, berbagai macam penelitian membuktikan bahwa

terdapat hubungan yang konsisten antara stres kerja dengan gejala-gejala fisik dan

penyakit tertentu, misalnya penyakit cardio-vascular disease, alergi, sakit kepala,

gangguan tidur dan penyakit pernapasan (Ross dan Altmaier, 1994).

Gejala terakhir yang disebutkan oleh Beehr dan Newman (1978) yaitu gejala

perilaku (dalam Ross dan Altmaier, 1994). Gejala perilaku terbagi menjadi dua

kategori, yaitu gejala yang dialami karyawan yang mengalami stres kerja dan gejala

yang berdampak di perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja (Beehr dan

Newman, dalam Ross dan Altmaier, 1994). Gejala perilaku yang dialami karyawan

yang mengalami stres kerja seperti, menolak pekerjaan, meningkatnya penggunaan

alkohol dan obat-obatan terlarang yang digunakan oleh karyawan, terlalu banyak

makan atau terlalu sedikit makan, perilaku agresi pada rekan kerja atau anggota

keluarga dan masalah hubungan interpersonal lainnya (Beehr dan Newman, dalam

Ross dan Altmaier, 1994). Gejala yang berdampak di perusahaan tempat karyawan

tersebut bekerja misalnya, banyaknya angka absen karyawan dari pekerjaannya,

karyawan keluar dari perusahaan dan berkurangnya produktivitas perusahaan

(Beehr dan Newman, dalam Ross dan Altmaier, 1994).

Berdasarkan gejala-gejala stres kerja diatas, dapat disimpulkan bahwa

gejala-gejala stres kerja tersebut dapat diukur dan dapat diobservasi (Ross dan

20

Altmaier, 1994). Sejalan dengan pendapat tersebut, Robbins dan Coulter (2007)

mengemukakan bahwa karyawan yang mengalami stres kerja akan menunjukkan

perilaku tertentu. Stres kerja yang dialami karyawan membuat karyawan menjadi

depresi, rawan mengalami kecelakaan saat kerja, sulit membuat keputusan, sulit

berkonsentrasi saat kerja (Robbins dan Coulter, 2007).

Berdasarkan dua teori diatas, dapat disimpulkan bahwa gejala stres dapat

mempengaruhi kondisi fisik, psikologis, dan perilaku karyawan yang mengalami

stres. Penelitian ini berfokus pada gejala stres yang mempengaruhi perilaku

karyawan yang mengalami stres di tempat kerja. Penelitian ini akan menggunakan

kategori gejala stres yang dikemukakan oleh Robbins dan Coulter (2007) dalam

menjelaskan mengenai stres kerja yang dialami karyawan di kantor pusat Adira

Insurance.

2. 1. 4. Dampak Stres Kerja

Stres kerja juga bisa berdampak baik dan buruk. Selye (1974) membedakan

distress sebagai stres yang mengarahkan pada kondisi negatif dan eustress sebagai

kekuatan postif untuk mengarahkan pada hasil kerja yang baik (dalam Munandar,

2001). Penelitian ini berfokus pada stres yang mengarahkan seseorang pada kondisi

negatif (distress).

Kondisi negatif akibat stres kerja tidak hanya mempengaruhi kondisi psikis

karyawan, namun kondisi fisiknya juga ikut dipengaruhi (Bass dan Gerald, 1981).

Sejalan dengan pernyataan tersebut, di Jepang tercatat 12 chief executive officer

(CEO) meninggal dan kebanyakan disebabkan oleh beberapa stressor, seperti

21

budaya karyawan di Jepang yang perfectionis, workaholic, persaingan bisnis dan

kebiasaan makan yang buruk (dalam Dubrin, 1990). Tidak hanya para chief

executive officer yang memperoleh dampak psikis yang negatif, penelitian lain

melaporkan bahwa karyawan pada level staff dan first-level supervisors juga dapat

mengalami stres (Bass dan Gerald, 1981). Stres yang mereka alami menyebabkan

mereka dua kali lebih rentan terkena penyakit jantung dibandingkan para top level

pada perusahaan (Bass dan Gerald, 1981). Berdasarkan penelitian diatas, dapat

disimpulkan bahwa karyawan dari level manapun berkemungkinan mengalami stres

yang mempengaruhi kondisi fisiknya.

Kondisi fisik dan psikis karyawan dapat mempengaruhi kondisi perusahaan.

Penelitian Blix, Cruise, Mitchell dan Blix (1994) menyebutkan menurunnya

produktivitas kerja karyawan dan ketidakhadiran karyawan berkaitan dengan stres

(dalam Primaldhi, 2006). Kerugian akibat stres yang dialami Karyawan juga dialami

di Inggris, perekonomian Inggris kehilangan 13.500.000 hari kerja setiap tahun

karena stres di tempat kerja (dalam Knox, 2009). Di North East England diperkirakan

terdapat 22.000 kasus stres kerja pada tahun 2008 (dalam Knox, 2009).

Penelitian lain juga menemukan adanya dampak stres pada kondisi

kesehatan karyawan. Berdasarkan penelitian Warwick University, stres saat ini

memiliki dampak yang sangat merusak produktivitas karyawan (dalam Woollard,

2009). Penyakit yang diderita karyawan 44% disebabkan masalah yang

berhubungan dengan kondisi psikis karyawan (dalam Woollard, 2009). Menurut

Woollard (2009), organisasi sebaiknya melakukan penilaian sifat dan skala dari

22

masalah yang menyebabkan ketidaknyamanan kerja, melakukan pemeriksaan stres

atau menggabungkan penilaian dalam survei tahunan karyawan.

Berdasarkan berbagai penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa stres bisa

berdampak negatif bagi karyawan dan kerugian bagi perusahaan. Maka dari itu,

diperlukan penanggulangan stres kerja untuk menghindari kerugian tersebut.

Sebagai langkah awal penanggulangan stres kerja, perlu diadakan penyelidikkan

mengenai stres kerja. Berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai coping stress.

2. 2. Coping Stres

Manusia menjalani kehidupan sehari-hari dengan aktivitas yang beragam.

Beragamnya aktivitas bisa menimbulkan beragam tuntutan. Usaha kognitif dan

tindakan untuk mengelola tuntutan dari luar dan/atau dalam diri individu yang

merugikan inilah yang disebut coping oleh Lazarus dan Folkman (1984). Menurut

Aldwin (1994), manusia tidak hanya menerima tuntutan dari lingkungan secara pasif

buktinya adalah manusia melakukan coping (dalam Primaldhi, 2006).

Sejalan dengan pernyataan diatas, Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf (2009)

mengemukakan bahwa individu secara aktif dapat menghilangkan stres dengan

mengontrol situasi. Terdapat berbagai macam kontrol situasi stres. Menurut

Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf (2009) terdapat lima macam, yaitu : behavioral

control, cognitive control, decisional control, informational control, dan emotional

control. Berikut ini akan dibahas mengenai lima macam kontrol situasi stres.

Kontrol situasi stres yang pertama yaitu behavioral control. Behavioral control

merupakan kemampuan individu untuk bangkit dan megusahakan sesuatu untuk

23

menurunkan dampak dari situasi stres (Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009).

Menurut Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf (2009), bentuk dari coping dengan

behavioral control berupa problem-focused coping dari Lazarus dan Folkman.

Kontrol situasi stres yang kedua yaitu cognitive control. Cognitive control

merupakan kemampuan restrukturisasi kognitif atau berpikir secara berbeda tentang

emosi negatif yang muncul dalam menanggapi peristiwa stres (dalam Lilienfeld,

Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Menurut Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf (2009),

bentuk dari coping dengan cognitive control berupa emotion-focused coping dari

Lazarus dan Folkman.

Kontrol situasi stres yang ketiga yaitu decisional control. Decisional control

merupakan kemampuan memilih alternatif aksi dalam menanggapi peristiwa stres,

misalnya dengan bertanya pada orang yang kita percayai untuk membuat keputusan

penting bagi kita, seperti mata kuliah apa yang sebaiknya kita ambil pada semester

berikutnya (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009).

Kontrol situasi stres yang keempat yaitu Informational control. Informational

control merupakan kemampuan untuk mendapatkan informasi tentang suatu

peristiwa stres (Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Informational control juga

dikenal sebagai proactive coping, dimana individu mengantisipasi situasi stres dan

mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau meminimalkan kesulitan sebelum

stres muncul dan melihat keadaan stres sebagai celah untuk pertumbuhan (dalam

Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009).

Jenis terakhir dari kontrol situasi stres, yaitu emotional control. Emotional

control merupakan kemampuan menekan dan mengekspresikan emosi, individu

24

melakukan komunikasi yang dapat memperkuat ikatan sosial, meningkatkan ikatan

sosial, meningkatkan pemecahan masalah dan mengatur emosi (dalam Lilienfeld,

Lynn, Namy, dan Woolf, 2009).

Dari kelima jenis kontrol situasi stres diatas, peneliti ingin melihat kontrol

stres berupa behavioral control dan cognitive control. Pada behavioral control

terdapat strategi coping stress yaitu problem-focused coping dan pada cognitive

control strategi coping stress yaitu emotion-focused coping. Fokus penelitian ini

pada strategi coping berupa problem-focused coping dan emotion-focused coping.

Besarnya penggunaan problem-focused coping dan emotion-focused coping

berbeda antara pria dan wanita. Penelitian di Australia oleh Patton, Wendy, Goddard

dan Richard (2006) menemukan perbedaan penggunaan strategi coping stress

antara pria dan wanita. Penelitian Ptacek (1992) dan Skues & Kirby (1995)

melaporkan bahwa pria lebih menggunakan problem-focused coping dibandingkan

wanita dalam menghadapi stres (dalam Patton, Wendy, Goddard dan Richard,

2006). Sedangkan, karyawan wanita lebih menggunakan emotion-focused coping

dibandingkan pria dalam mengahdapi stres (dalam Patton, Wendy, Goddard dan

Richard, 2006).

Selain melihat penggunaan problem-focused coping dan emotion-focused

coping, penelitian ini juga menggunakan strategi coping yang lain, yaitu religious-

focused coping. Religious-focused coping telah dikembangkan di Indonesia oleh

Dahlan (2005). Berikut ini akan dibahas lebih lanjut definisi mengenai problem-

focused coping dan emotion-focused coping dan religious-focused coping.

25

2. 2. 1. Problem-Focused Coping

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), problem-focused coping berupa

tindakan yang ditunjukkan individu untuk menimbulkan perubahan fisik, mental dan

sosial terhadap hal yang menimbulkan stres. Lazarus dan Folkman (1984)

menggambarkan problem-focused coping mirip dengan strategi yang digunakan

seseorang dalam memecahkan masalahnya.

Konsep problem-focused coping lebih luas daripada sekedar memecahkan

masalah. Memecahkan masalah dilakukan secara objektif dan menggunakan proses

analisis yang berfokus pada lingkungan dari masalah tersebut, sedangkan problem-

focused coping mencakup memecahkan masalah dan menggunakan strategi

tertentu untuk memecahkan masalah tersebut (Lazarus dan Folkman, 1984). Oleh

karena itu, Lazarus dan Folkman (1984) menggambarkan individu dengan problem-

focused coping akan berusaha memecahkan masalahnya dengan merubah diri dan

lingkungannya.

Strategi problem-focused coping erat kaitannya dengan tugas-tugas yang

dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah (Lazarus dan Folkman, 1984).

Lazarus dan Folkman (1984) memberikan sebuah contoh dalam konteks mahasiswa

yang akan menempuh ujian.Jika ia mengalami stres dan menggunakan Problem-

focused coping, ia akan menyiapkan materi-,materi ujian, menyiapkan diri dan

mengalokasikan waktu untuk belajar (Lazarus dan Folkman, 1984).

Berdasarkan contoh dan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa

strategi problem-focused coping terjadi apabila seseorang yang mengalami stres

mencari cara dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Strategi problem-

26

focused coping dilakukan seseorang ketika memiliki tingkat stres kerja tertentu.

Lazarus dan Folkman (1984) juga menyebutkan bahwa seseorang melakukan

problem-focused coping jika ia menilai situasi yang dialaminya bisa diubah atau ia

merasa situasi tersebut memiliki tingkat ancaman sedang. Dari pernyataan diatas,

dapat disimpulkan bahwa problem-focused coping digunakan ketika seseorang

mengalami tingkat stres kerja sedang.

2. 2. 2. Emotion-Focused Coping

Strategi coping stress yang akan diteliti berikutnya adalah emotion-focused

coping. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), strategi ini dilakukan individu jika ia

menilai tidak ada yang bisa diperbuatnya pada situasi yang dihadapinya atau ia

memberi nilai situasi tersebut sebagai situasi yang mengancam dengan tingkat

tinggi.

Berdasarkan teori stres dan coping Lazarus dan Folkman (1984), Vitaliano,

Russo, Carr, Maiuro, dan Becker, (1985) mengelompokkan emotion-focused coping

menjadi tiga kelompok, self-blame, avoidance, dan wishful thinking. Ketiga macam

bagian emotion-focused coping diwakilkan dengan permyataan yang berbeda. Self-

blame pada emotion-focused coping diwakilkan dengan salah satu pernyataan yaitu

menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab masalah (dalam Primaldhi, 2006).

Berbeda dengan avoidance pada emotion-focused coping. Avoidance pada emotion-

focused coping diwakilkan dengan salah satu pernyataan yaitu tidak percaya bahwa

hal tersebut benar-benar telah terjadi (dalam Primaldhi, 2006). Bagian emotion-

focused coping yang terakhir yaitu wishful thinking. Wishful thinking diwakilkan

27

dengan salah satu pernyataan yaitu mengharapkan agar saya dapat mengubah apa

yang terjadi (dalam Primaldhi, 2006).

Ketiga macam bagian emotion-focused coping tersebut telah disusun

menjadi sebuah alat ukur bernama Ways of Coping (dalam Primaldhi, 2006).

Susunan pernyataan yang mewakili emotion-focused coping pada alat ukur Ways of

Coping akan dibahas lebih lanjut pada bab selanjutnya. Berikut ini akan dibahas

mengenai teori religious-focused coping yang digunakan pada penelitian ini.

2. 2. 3. Religious-Focused Coping

Strategi coping terakhir yang digunakan dalam penelitian ini adalah religious-

focused coping yang dikembangkan oleh Dahlan (2005) di Indonesia. Menurut

Pergament (1997), religious-focused coping merupakan suatu bentuk usaha

menghadapi masalah yang dihadapi dengan melakukan ritual keagamaan, seperti

berdoa, ke tempat ibadah, atau berdoa. Primaldhi (2006) menyimpulkan bahwa

strategi coping ini didasari oleh adanya keyakinan bahwa Tuhan akan membantu

seseorang yang mempunyai masalah.

Penelitian yang dilakukan oleh Pargament (1997) menunjukkan bahwa ketika

menghadapi situasi yang stresful seperti kematian, penyakit, perceraian atau

perpisahan dengan pasangan karena masalah hukum, atau situasi apapun yang

dinilai negatif, kebanyakan partisipan penelitian melibatkan agama untuk mengatasi

berbagai masalahnya.

Dahlan (2005) membagi bentuk religious-focused coping menjadi dua

bagian, yaitu religious belief dan religious behavior. Dahlan (2005) menemukan

28

bahwa religious-focused coping selalu dilakukan oleh subyek orang Indonesia,

ketika mereka menghadapi stressor tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini juga

menggunakan religious-focused sebagai salah satu jenis coping yang

berkemungkinan dipilih oleh sampel, karena sampel penelitian ini merupakan orang

Indonesia. Penelitian ini hanya berfokus pada religious-focused coping dalam bentuk

religious belief .

Pada penelitian di Indonesia, Dahlan (2005) menemukan adanya hubungan

antara religious-focused coping dengan strategi problem-focused coping, dan

emotion-focused coping, pada sampel Indonesia. Analisis tambahan pada penelitian

ini juga melihat hubungan dari ketiga strategi coping stress.

Dari jenis coping yang telah dijelaskan sebelumnya, selain pada problem-

focused coping dan emotion-focused coping, penelitian ini juga berfokus pada

religious-focused coping. Jadi, penelitian ini ingin melihat pemilihan strategi coping

stres yang terdiri dari problem-focused coping, emotion-focused coping, dan

religious-focused coping ketika karyawan mengalami stres kerja.

2. 3. Hubungan Tingkat Stres Kerja dengan Pemilihan Strategi Coping Stress

Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan bahwa penggunaan problem-

focused coping dan emotion-focused coping bergantung pada tingkat stres yang

dirasakan seseorang. Lazarus dan Folkman (1984) menyebutkan bahwa individu

melakukan problem-focused coping jika ia menilai situasi yang dialaminya bisa

diubah atau ia merasa situasi tersebut memiliki tingkat ancaman sedang. Berbeda

dengan penggunaan strategi emotion-focused coping, strategi ini dilakukan individu

29

jika ia menilai tidak ada yang bisa diperbuatnya pada situasi yang dihadapinya atau

ia memberi nilai situasi tersebut sebagai situasi yang mengancam dengan tingkat

tinggi (Lazarus dan Folkman, 1984). Pada tingkat stres tinggi, seseorang akan lebih

menggunakan emotion-coping stress (Lazarus dan Folkman, 1984).

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa pada tingkat stres

rendah, seseorang akan menggunakan problem-focused coping dan emotion-

focused coping dengan frekuensi yang sama. Pada tingkat stres menengah,

seseorang akan lebih menggunakan problem-focused coping (Lazarus dan Folkman,

1984). Pada tingkat stres tinggi, seseorang akan menggunakan emotion-focused

coping (Lazarus dan Folkman, 1984).

Penelitian ini berfokus pada hubungan antara tingkat stres kerja dengan

strategi pemilihan coping stress yang dialami karyawan di kantor pusat Adira

Insurance.