bab 1peritonitis
DESCRIPTION
peritonitisTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Peritonitis merupakan suatu kejadian mengancam nyawa yang umumnya
disertai adanya bacteremia dan sindrom sepsis.1 Peritonitis sendiri didefinisikan
sebagai adanya peradangan pada peritoneum baik lokal atau difus (generalisata)
dari lokasinya, akut atau kronik dari natural history, dan infectious atau aseptik
dari patogenesisnya. Peritonitis akut umumnya bersifat infectious dan
berhubungan dengan perforasi holoviskus (disebut sebagai peritonitis
sekunder).1,2 Etiologi umum dari peritonitis sekunder, antara lain appendisitis
perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi colon
(sigmoid) karena diverticulitis, volvulus, kanker, dan strangulasi.2
Tingkat mortalitas dari peritonitis yang terasosiasi dengan perforasi ulkus,
appendiks, dan diverticulum dibawah 10% pada pasien tanpa riwayat penyakit
penyerta, namun tingkat mortalitas sampai 40% dilaporkan pada pasien geriatrik,
pasien dengan riwayat penyakit penyerta, dan apabila peritonitis sudah
berlangsung lebih dari 48 jam.1 Oleh karena itu, sebagai calon dokter umum yang
akan berjaga di Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit, harus dapat
mendiagnosis dan memberikan penanganan awal yang tepat pada peritonitis akut
agar resiko terjadinya mortalitas dapat dihindari.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI & KLASIFIKASI
Peritonitis sendiri didefinisikan sebagai adanya peradangan pada
peritoneum baik lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik
dari natural history, dan infectious atau aseptik dari patogenesisnya.1 Peritonitis
umumnya dikategorikan menjadi primary peritonitis (primer), secondary
peritonitis (sekunder) , dan tertiary peritonitis (tersier).1,2,3 Peritonitis primer
merupakan peradangan pada peritoneum yang penyebabnya berasal dari
ekstraperitoneal dan umumnya dari hematogenous dissemination.4 Peritonitis
sekunder adalah peritonitis akibat hilangnya integritas dari traktus gastrointestinal
yang umumnya disebabkan perforasi traktus gastrointestinal karena organ intra-
abdomen yang terinfeksi.3,4 Adanya peritonitis persisten atau rekuren setelah
penanganan yang adekuat terhadap peritonitis primer atau sekunder dinamakan
dengan istilah peritonitis tersier.4
Pembahasan mengenai peritonitis seringkali tidak terlepas dari istilah yang
disebut sebagai intra-abdominal infections (IAI) dan abdominal sepsis.4 Intra-
abdominal infections dibagi menjadi dua bagian besar, antara lain uncomplicated
IAI yang didefinisikan sebagai proses infeksi hanya mengenai organ tunggal
(organ viscera) dan complicated IAI yang adalah proses infeksi yang lebih lanjut,
tidak hanya melibatkan organ tunggal tersebut dan menyebabkan peradangan
peritoneum lokal maupun difus,3 sedangkan abdominal sepsis didefinisikan
sebagai manifestasi sistemik (tanda sepsis) akibat dari peradangan peritonitis yang
berat.4
2
2.2 ANATOMI & FISIOLOGI PERITONEUM
2.2.1 Anatomi Peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa transparan yang terbesar di dalam
tubuh manusia dan terdiri dari 2 lapisan yang berkesinambungan, antara lain
peritoneum parietal yang melapisi bagian internal dari dinding abdominopelvis
dan peritoneum visceral yang melapisi organ-organ abdomen.5,6 Hubungan
peritoneum dan organ-organ dalam kavitas intra abdomen dikelompokkan
menjadi, antara lain organ intraperitoneal yang terlapisi seluruhnya dengan
peritoneum, dan retroperitoneal (duodenum, kolon asendens, colon desendens,
dan rectum) yang tidak terlapisi maupun terlapisi hanya sebagian peritonum.
Peritoneum visceral yang membungkus atau menunjang organ-organ bersama-
sama dengan jaringan ikat disekitarnya dalam kavitas peritoneum, dikenal dengan
istilah ligamen peritoneum, omentum atau mesenterium.6 Mesenterium
merupakan dua lapis peritoneum yang terjadi akibat invaginasi peritoneum karena
suatu organ dan berfungsi melekatkan organ tersebut dengan dinding posterior
abdomen (mesenterium dari usus halus dan transverse mesokolon).5,6 Ligamen
peritoneum terdiri dari dua lapis peritoneum yang menghubungkan organ satu
dengan lainnya atau dengan dinding abdomen (falciform ligament yang
menghubungkan liver dengan dinding abdomen anterior).5 Berbeda dengan
ligamen peritoneum dan mesenterium, greater omentum terdiri dari 4 lapisan
peritoneum (karena peritoneum melipat sehingga terdiri dari 4 lapisan) dengan
sejumlah jaringan adiposa dan terdiri dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic
ligament, gastrosplenic ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser
omentum terdiri dari hepatogastric dan hepatoduodenal ligament.5,6
3
Gambar 3. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan
peritoneum parietal dan visceral
Gambar 4. Ligamen peritoneum dan omentum
Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan aferen
yang mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomen,6 sedangkan
peritoneum visceral dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen yang juga
memberikan suplai saraf otonom pada organ visceral tersebut (Gambar 5).7
Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan perbedaan respon sensasi
apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum visceral atau
parietal. Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau
kimiawi pada reseptor nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal. Sensasi nyeri
umumnya terjadi di satu atau dua level dermatom pada setiap lokasi peritoneum
parietal yang terstimulasi. Saraf somatis tersebut selain menghantarkan sensasi
nyeri terlokalisir, juga menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi
dari parietal peritoneum. Refleks inilah yang menyebabkan localized
4
hypercontractility (muscle guarding) dan perut papan (rigidity of abdominal
wall).6 Di sisi lain, iritasi dari peritoneum visceral tidak memberikan sensasi nyeri
dan refleks otot yang serupa seperti pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf
visceral peritoneum visceral terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu
daerah dari tiga lokasi, antara lain lokasi epigastrium (struktur foregut),
periumbilikal (struktur midgut), dan suprapubik (struktur hindgut).6,7
Gambar 5. Jalur medulla spinalis untuk sensasi visceral
2.2.2 Mekanisme pertahanan peritoneum
Peritoneum terdiri dari selapis sel-sel mesothelium yang berdiri dibawah
membran basalis, dan sekumpulan jaringan ikat yang dibentuk dari sel adiposa,
makrofag, fibroblast, limfosit, dan jaringan ikat elastik kollagen.4 Total luas
permukaan peritoneum sekitar 1,7 m2. Dalam kondisi normal, peritoneum sifatnya
steril dan berisi sekitar 50 mL cairan kekuningan yang berisikan makrofag, sel
mesotelium, dan limfosit. Membran peritoneum memiliki sifat difusi
semipermeabel untuk air dan zat-zat terlarut tertentu sehingga terjadi difusi secara
terus-menerus dari cairan peritoneum dengan cairan interselullar. Tidak seperti
cairan dan zat-zat terlarut lainnya, partikel yang lebih besar dieliminasi lewat
orifisum yang dibentuk oleh sel-sel mesotelium terspesialisasi yang terletak di
permukaan subdiafragma dalam rongga peritoneum menuju sirkulasi limfatik.4
Eliminasi ini difasilitasi oleh pergerakan diafragman dan tekanan thorako-
abdominal. Proses eliminasi ini merupakan salah mekanisme pertahanan tubuh
untuk menjaga peritoneum tetap steril.
5
Mekanisme pertahanan peritoneum lainnya adalah adanya makrofag pada
rongga peritoneum.4 Pada fase inisial hanya makrofag yang berperan terjadinya
inflamasi, namun adanya rangsangan sitokin akan memanggil neutrophil dalam 2-
4 jam dan sel-sel PMN (Polymorphonuclear) tersebut akan mendominasi dalam
48-72 jam pertama. Sel-sel PMN akan mengeluarkan sitokin, antara lain
interleukin (IL)-1, IL-6, TNF (tumor necrosis factor), leukotriene, platelet
activating factor, C3A, dan C5A yang akan membentuk terjadinya inflamasi lokal
pada daerah tersebut. Reaksi peradangan ini mengakibatkan pembentukan
fibrinogen pada fokus septik dan benang-benang fibrin membentuk sebuah mesh
yang secara temporer menurunkan dan menge-blok reabsorpsi cairan dari rongga
peritoneum serta menjerat bakteri dalam sebuah “perangkap”.4 Mekanisme
pertahanan inilah yang menyebabkan pembentukan sebuah abses. Selain itu,
omentum juga bermigrasi pada daerah peradangan untuk memfasilitasi
pembentukan abses lebih lanjut. Daerah yang paling umum adalah daerah
subphrenic.
Kedua mekanisme pertahanan ini (eliminasi mekanik dan pembentukan
eksudat) memiliki efek paradoks.4 Eliminasi mekanik pada mekanisme pertahanan
yang pertama sebenarnya menyebabkan bakteremia, dan apabila masif dapat
mengakibatkan shok septik dan berakhir dengan kematian. Pembentukan eksudat
dan reaksi peradangan yang kaya akan sel fagositik dan opsonin dapat
menyebabkan migrasi cairan dan protein pada “rongga ketiga”, hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya hipovolemia dan shok karena albumin berpindah pada
rongga abdomen.
6
2.3 Epidemiologi
Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas,2 namun yang
pasti diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder
merupakan peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik.2,3
Hampir 80% kasus peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus
gastrointestinal.4 Penyebab umum dari peritonitis sekunder, antara lain
appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi
kolon karena diverticulitis, volvulus, atau keganasan, dan strangulasi dari usus
halus.2 Terdapat perbedaan etiologi peritonitis sekunder pada negara berkembang
(berpendapatan rendah) dengan negara maju. Pada negara berpendapatan rendah,
etiologi peritonitis sekunder yang paling umum, antara lain appendisitis perforasi,
perforasi ulkus peptikum, dan perforasi tifoid.9 Sedangkan, di negara-negara barat
appendisitis perforasi tetap merupakan penyebab utama peritonitis sekunder,
diikuti dengan perforasi kolon akibat divertikulitis.10 Tingkat insidensi peritonitis
pascaoperatif bervariasi antara 1%-20% pada pasien yang menjalani laparatomi.
Pada era pre-antibiotik peritonitis primer mencakup sekitar 10% dari
seluruh akut abdomen, namun dewasa ini hanya mencakup kurang dari 1-2%.8
Penurunan yang bermakna diduga dikarenakan penemuan dari antibiotik.
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) ditemukan terutama pada pasien sirosis
hepatis Child-Pugh class C (Pasien yang mengalami SBP, 70% merupakan Child-
Pugh class C).2 Peritonitis tersier ditemukan umumnya pada pasien
immunocompromised.
7
2.4 Etiologi, Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Sesuai dengan definisinya, peritonitis secara prinsip merupakan
peradangan yang terjadi pada peritoneum akibat adanya kerusakan pada
peritoneum. Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang
berbeda dalam patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi terjadinya
peritonitis tidak berasal dari traktus gastrointestinal (infeksi yang nantinya terjadi
tidak berhubungan langsung dengan gangguan organ gastrointestinal),3,8
sedangkan pada sekunder ditemukan adanya kerusakan integritas traktus
(perforasi) tersebut baik akibat strangulasi maupun akibat infeksi.3
Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang
steril terhadap mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal.8 Dalam
keadaan fisiologis tidak ada hubungan langsung antara lumen gastrointestinal
dengan rongga peritoneum, namun apabila terjadi kerusakan integritas dari traktus
gastrointestinal hubungan tersebut tercipta. Kerusakan integritas dari traktus
gastrointestinal terjadi pada beberapa kondisi, seperti appendisitis perforasi,
perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi colon (sigmoid)
karena diverticulitis, sampai volvulus, kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis,
femoralis, atau obturator).2 Akibat kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti
Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan
anaerobik lainnya) masuk dalam rongga peritoneum. Infeksi pada peritonitis
sekunder secara tipikal bersifat polimikrobial (gram negatif aerob dan anaerob).
Adanya invasi dari bakteri-bakteri tersebut menyebabkan reaksi peradangan
seperti yang mengaktifkan seluruh mekanisme pertahanan peritoneum (dari
eliminasi mekanik sampai pembentukan eksudat). Eliminasi mekanik menjadi
salah satu jalur utama bagi bakteri-bakteri masuk dalam pembuluh darah
(bakteremia) yang pada akhirnya dapat berlanjut menjadi sepsis, sepsis berat, syok
sepsis, dan MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome).
8
Reaksi peradangan lokal menyebabkan peningkatan permeabilitas dari
pembuluh darah kapiler sehingga terjadi perpindahan cairan ke “rongga ketiga”
yang dapat berlanjut menjadi hipovolemia. Reaksi peradangan tersebut dapat
berlanjut menjadi SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome), dimana
dapat ditemukan dua tanda berikut, antara lain suhu >38° C atau <36° C, nadi >90
kali/menit, laju nafas >20 kali/menit, or PaCO2 <32 mmHg, WBC >12,000
sel/mm3 or <4000 sel/mm3, or <10% imatur (neutrofil batang). Proses inflamasi
akut dalam rongga abdomen mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf simpatis dan
supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan terganggu
sehingga cairan tidak hanya terdapat pada rongga peritoneum, tetapi juga dalam
lumen usus. Selain itu, ileus paralitik menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme
yang tidak terkontrol.
Manifestasi klinis dibagi berdasarkan manifestasi lokal dan sistemik sesuai
patofisiologi terjadinya peritonitis.11 Pada manifestasi lokal ditemukan adanya
nyeri perut hebat, nyeri tekan seluruh lapang abdomen (pada peritonitis umum),
rebound tenderness, adanya muscle guarding atau rigidity (perut papan), dan
manifestasi klinis akibat ileus paralitik (distensi abdomen, penurunan bising usus),
sedangkan pada tanda klinis sistemik dapat ditemukan adanya demam, takikardia,
takipnea, dehidrasi, oliguria, disorientasi, dan syok (manifestasi SIRS).
9
2.5 DIAGNOSIS
Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik.2,4 Gejala utama pada seluruh kasus peritonitis
adalah nyeri perut yang hebat, tajam, dirasakan terus-menerus, dan diperparah
dengan adanya pergerakan.4 Mayoritas pasien cenderung diam terlentang di
tempat tidur dengan sedikit menekuk lutut untuk mengurangi nyeri perut (karena
maneuver tersebut mengurangi tekanan pada dinding abdomen). Adanya
anoreksia, mual, dan muntah seringkali pula ditemukan, namun bervariasi
tergantung etiologi dari peritonitis. Anamnesis harus pula mencari kemungkinan
sumber etiologi dari peritonitis sekunder sehingga harus ditanyakan mengenai
riwayat penyakit sekarang (riwayat dyspepsia kronis mengarahkan ke perforasi
ulkus peptikum, riwayat inflammatory bowel disease atau divertikulum
mengarahkan perforasi kolon karena divertikulitis, riwayat demam lebih dari 1
minggu disertai pola demam dan tanda-tanda klinis khas untuk tifoid
mengarahkan ke perforasi tifoid, adanya riwayat hernia daerah inguinal
(inguinalis atau femoralis) harus disuspek kemungkinan adanya strangulasi,
sedangkan nyeri mendadak tanpa disertai adanya riwayat penyakit apapun
mengarahkan ke appendisitis perforasi), riwayat operasi abdomen sebelumnya.2
Berbeda dengan peritonitis sekunder, peritonitis primer patut dicurigai pada
pasien-pasien dengan tanda klinis asites dan riwayat penyakit liver kronis
(terutama sirosis hepatis).4,8
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien sakit berat, dengan
temuan tanda-tanda SIRS (tanda sistemik), dan tanda-tanda lokal seperti
dijelaskan pada manifestasi klinis. Pada tanda-tanda lokal dapat dicari point of
maximal tenderness (daerah dimana terjadi iritasi maksimal dari peritoneum)
untuk menentukan lokasi proses patologis awal (etiologi dari peritonitis).2
10
Pemeriksaan colok dubur umumnya akan menunjukan adanya nyeri pada
seluruh lokasi. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
darah lengkap dengan hitung jenis (ditemukan leukositosis, dengan shift to the left
yaitu peningkatan sel batang PMN), kimia darah dapat ditemukan kelainan seperti
peningkatan ureum dan kreatinin (tanda syok hipovolemik atau sepsis berat), dan
pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat menunjukan adanya asidosis
metabolik, pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan diagnosis dari traktus
urinarius.
Selain pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis seperti x-ray dapat
berguna (free air under diaphragm yang terlihat pada posisi upright pada
perforasi ulkus peptikum (Gambar 6),12 tetapi jarang pada etiologi lainnya).
Pemeriksaan CT-scan umumnya tidak diperlukan dan hanya akan menunda
penanganan pembedahan (apabila peritonitis dapat ditegakkan berdasarkan
klinis).4Apabila diagnosis klinis tidak konklusif dapat dilaksanakan diagnostic
peritoneal lavage (DPL) untuk analisis cairan peritoneum,4 ditemukannya hasil
yang positif (>500 leukosit/mL) mengarahkan diagnosis peritonitis.2,4
Gambar 6. Pneumoperitoneum (free air under diaphragm)
11
2.6 TATALAKSANA
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik .3
1) Penanganan Preoperatif
a) Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang
intersisial .4
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui
intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik
dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat
penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red
Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus
diberikan untuk mengganti cairan yang hilang 3
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi
kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan
cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah
yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz
et al, 1989).
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari
jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi.3
12
b) Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan
menjadi bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan
Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah
Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan
penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus
dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum
(Schwartz et al, 1989).
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan
hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas
jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang
ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah
putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun
sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970).
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-
kondisi seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari
peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik
seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus
diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi (Schwartz et al, 1989).
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram
harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika
dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin
dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif.
Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin
sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang
logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis
tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada
chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970).
13
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi
dengan aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin
generasi kedua (Schwartz et al, 1989).
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga
untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme
anaerob (Doherty, 2006).
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting
daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis
antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi.
Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena
gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan
penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam
sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan
demam, dengan hitung sel darah putih yang normal (Doherty, 2006).
14
c) Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada
peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan
dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada
ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-
kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang
dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi
lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3)
adanya nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).\
d) Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari
abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi
jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari
kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan
darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi
biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah,
bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 1989).
2) Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi
biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi
peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus
dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang
spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung,
serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses,
cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk
mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen (Schwartz et al, 1989).
15
a) Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk
menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi
penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada
peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang
terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik
atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang
rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak
meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan
mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung
empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut).
Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun
anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty,
2006).
b) Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3
liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan
fibrin, serta bakteri.
Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak
berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin,
povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan
mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek
tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan
menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan
komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari
neuromuscular junction.
16
Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus
diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan
melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit
menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).
c) Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan
peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum
peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase
yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat
menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus
tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu
terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal
residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk
peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi
(Doherty, 2006).
3) Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien
yang tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas
hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan
agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama
10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang
baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan
leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat
kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis.
Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat
menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).
17
2.7 Prognosis
Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah
10%-40% pada perforasi kolon (Tabel 1).11 Faktor yang mempengaruhi tingkat
mortalitias yang tinggi adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi
penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum penanganan, usia pasien, dan
keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah 10% ditemukan pada pasien
dengan perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda, kontaminasi bakteri
yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang buruk
(APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan
tingkat serum albumin preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi
yang membutuhkan penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka
mortalitas yang tinggi.
Tabel 1. Tingkat mortalitas peritonitis umum berdasarkan etiologi
18
BAB 3
LAPORAN KASUS
I.1 Identitas
Nama : Tn.Jamhur
Umur : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : jl.kh.Azhari 16 ulu Tangga takat
Pekerjaan : Buruh
No. MR : 110722
I.2 Autoanamnesis (kamis 20 November 2014)
Keluhan Utama:
Nyeri perut hebat
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Pasien datang ke RSUD Palembang Bari via IGD dengan keluhan Nyeri
perut hebat mendadak di seluruh bagian perut sejak 5 jam SMRS, Nyeri
tersebut dirasakan muncul mendadak, seperti ditusuk-tusuk, terus-menerus,
dirasakan awalnya hanya di ulu hati kemudian menjadi seluruh bagian perut,
dan semakin lama-semakin nyeri apabila pasien batuk, berdiri, atau berjalan,
nyerinya bertambah. Setelah merasakan nyeri, pasien merasa mual namun
tidak muntah. Pasien merasa masih bisa kentut namun berkurang, perut
kembung, perut terasa kaku pada saat sakit, tidak nafsu makan dan minum,
Buang air besar konsistensi lunak dan berwarna coklat, normal seperti
biasanya. Buang air kecil tidak nyeri, warna urin kuning, dan volum normal
seperti biasa.
19
Pasien memiliki riwayat penyakit maag sejak 2 tahun yang lalu. Pasien
sering mengkonsumsi obat maag yang dijual di warung secara bebas apabila
maagnya kambuh. Awalnya pasien pikir sakit yang dirasakannya adalah
penyakit maagnya, namun sakit bertambah parah sehingga pasien sadar bahwa
ini bukan sakit maag yang biasa dialaminya. Os juga mengaku sering
mengkonsumsi jamu kunci mas yang dijual bebas di toko jamu agar bisa
menambahkan berat badan.
o Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat sesak dan nyeri dada pada saat beraktivitas disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat gangguan pencernaan dibenarkan, pasien mengaku punya
sakit Maag
Riwayat mengonsumsi obat-obatan bebas dan jamu dibenarkan, pasien
mengaku sering membeli obat warung bila maag kambuh, dan minum
jamu untuk nafsu makan
o Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami gejala serupa seperti pasien.
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit kencing manis, tekanan
darah tinggi maupun sakit jantung.
I.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Pernafasan : 18x/menit
Nadi : 72x/menit
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Suhu : 36,4 ºC
20
Kepala : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Pupil : isokor, refleks cahaya +/+
Leher :Kelenjar thyroid tidak membesar, kelenjar limfe tidak
membesar, JVP tidak meningkat
Thorax : Paru
- Inspeksi : Simetris, tidak retraksi dan
ketinggalan gerak
- Palpasi : Taktil fremitus kanan sama dengan
kiri
- Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, Suara
tambahan -/-
Abdomen : Lihat status lokalis
Ekstremitas Superior : Edema (-/-), akral hangat
Ekstremitas Inferior : Edema (-/-), akral hangat
Status lokalis
Inspeksi : Dinding abdomen datar seperti papan dan tidak banyak bergerak
ketika inspirasi-ekspirasi, tidak tampak darm contour atau darm
steifung.
Auskultasi : bising usus (+) menurun
Palpasi : Tidak teraba massa, didapatkan defans muskuler, nyeri tekan
seluruh lapang perut, hepar dan lien tidak teraba, ballotemen ginjal
tidak teraba
Perkusi : nyeri saat perkusi (+) di seluruh lapang abdomen, timpani
21
I.4 Pemeriksaan Penunjang
Hematologi (19-11-2014)
Hb : 14,3 gr/dl (13,0 - 14,0)
Leukosit : 13.100 (5000-10000)
Hematokrit : 41% % (40 - 48)
Trombosit : 255 103 uL (150 - 400)
Jenis Leukosit
Basofil : 0 (0-1%)
Eosinofil :1 (1-3%)
N.Batang :1 (2-6%)
N.Segmen :80 (50-70%)
Limfosit : 15 (20-40%)
Monosit :3 (2-8%)
1.5 Diagnosa Klinis
Peritonitis ec perforasi ulkus peptikum.
I.8 Penatalaksanaan
Umum
IVFD RL gtt 20x/mnt.
Laparotomi cito.
inj Cefotaxim 2x1 mg.
inj. Ketorolac 3x1 amp.
NGT
Khusus
Pasien direncanakan dilakukan laparatomi pada pk 21.00 (dilakukan
pada 19 Novemberr 2014 pk 12.30 – 14.00 ) :
1. Penderita posisi terlentang, dilakukan desinfeksi seluruh
abdomen dan dada bagian bawah, kemudian dipersempit
dengan doek steril
22
2. Insisi mediana pada linea alba sampai rongga abdomen terbuka
(sampai peritoneum terbuka)
3. Pus sekitar 200 cc keluar, dilakukan eksplorasi, perlengketan +
+, omentum dibebaskan secara tajam dan tumpul
4. Appendix ditemukan retrocaecal dengan panjang sekitar 5 cm,
diameter 2 cm, hiperemis +, perforasi +
5. Dilakukan appendectomy
6. Mencuci seluruh abdomen dengan NaCl
7. Memasang drain
8. Luka operasi dijahit lapis demi lapis
9. kemudian dilanjutkan dengan operasi hernioraphy dengan mesh
10. Operasi selesai
Instruksi Post-Operasi:
o Pasien dipuasakan selama 5 hari
o IVFD Ringer Laktat gtt 20x/mnt
o Cefotaxime 2x1 gr
o Metronidazole 3x 500 mg
o Ketorolac 3x30 mg
o Omeprazole 2x1 amp
o Metoclopamid 2x 1 amp
I.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
23
2.0 FOLLOW UP
Kamis 20 november 2014
08.00
S : Pasien mengeluhkan kembung, nyeri pada luka bekas operasi, mual
muntah (-)
O : KU : Baik
Kesadaran: compos mentis
VS :
- TD 110/80 mmHg, Nadi 80 x/menit, RR 20 x/menit, Suhu 36,1 C
Status Lokalis :
Inspeksi : Perut datar, gerakan pernafasan abdomen (-), darm countour
(-),
darm steifung (-),bekas operasi (+) pada regio abdomen
midline,
perdarahan (-),terpasang drain, NGT terpasang,
DC terpasang urin warna kuning jernih
Auskultasi : Bising usus (+) normal, metalic sound (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen, pekak hati menghilang,
pekak beralih (-)
Palpasi : Defans muskular (-), nyeri tekan di sekitar luka bekas operasi
(+), nyeri tekan lepas (-)
A Peritonitis ec perforasi ulkus pepticum
P Terapi obat (Pasien dipuasakan selama 5 hari)
IVFD Ringer Laktat gtt 20x/mnt
Cefotaxime 2x1 gr
Metronidazole 3x 500 mg
Ketorolac 3x30 mg
Omeprazole 2x1 amp
24
Metoclopamid 2x 1 amp
DC menetap
Jum’at 21 november 201408.30
S : Kembung berkurang, nyeri pada luka bekas operasi, flatus (+)
O : KU : Baik
Kesadaran: compos mentis
VS :
- TD 110/80 mmHg, Nadi 80 x/menit, RR 20 x/menit, Suhu 36,2 C
Status Lokalis :
Inspeksi : Perut datar, gerakan pernafasan abdomen (-), darm countour
(-),
darm steifung (-),bekas operasi (+) pada regio abdomen
midline,
perdarahan (-), drain up 1, NGT terpasang,
DC terpasang urin warna kuning jernih
Auskultasi : Bising usus (+) normal, metalic sound (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen, pekak hati menghilang,
pekak beralih (-)
Palpasi : Defans muskular (-), nyeri tekan di sekitar luka bekas operasi
(+), nyeri tekan lepas (-)
A Peritonitis ec perforasi ulkus pepticum
P Terapi obat (Pasien dipuasakan selama 5 hari
IVFD Ringer Laktat gtt 20x/mnt
Cefotaxime 2x1 gr
Metronidazole 3x 500 mg
Ketorolac 3x30 mg
25
Omeprazole 2x1 amp
Metoclopamid 2x 1 amp
DC menetap
Sabtu 22 november 2014
8.00
S : Nyeri pada luka bekas operasi berkurang, flatus (+), BAB (+),
O : KU : Baik
Kesadaran: compos mentis
VS :
- TD 110/70 mmHg, Nadi 82 x/menit, RR 22 x/menit, Suhu 36,1 C
Status Lokalis :
Inspeksi : Perut datar, gerakan pernafasan abdomen (-), darm countour
(-),
darm steifung (-),bekas operasi (+) pada regio abdomen
midline,
perdarahan (-),drain up, NGT terpasang,
DC terpasang urin warna kuning jernih
Auskultasi : Bising usus (+) normal, metalic sound (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen, pekak hati menghilang,
pekak beralih (-)
Palpasi : Defans muskular (-), nyeri tekan di sekitar luka bekas operasi
(+), nyeri tekan lepas (-)
A Peritonitis ec perforasi ulkus pepticum
P Terapi obat (Pasien dipuasakan selama 5 hari)
IVFD Ringer Laktat gtt 20x/mnt
Cefotaxime 2x1 gr
Metronidazole 3x 500 mg
Ketorolac 3x30 mg
Omeprazole 2x1 amp
26
Metoclopamid 2x 1 amp
DC menetap
27
BAB 4
KESIMPULAN
Peritonitis sendiri didefinisikan sebagai adanya peradangan pada
peritoneum baik lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik
dari natural history, dan infectious atau aseptik dari patogenesisnya. Peritonitis
akut umumnya bersifat infectious dan berhubungan dengan perforasi holoviskus
(disebut sebagai peritonitis sekunder).1,2 Etiologi umum dari peritonitis sekunder,
antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau
duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, volvulus, kanker, dan
strangulasi.
Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas,2 namun yang
pasti diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder
merupakan peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik.2,3
Hampir 80% kasus peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus
gastrointestinal.4 Penyebab umum dari peritonitis sekunder, antara lain
appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi
kolon karena diverticulitis, volvulus, atau keganasan, dan strangulasi dari usus
halus.2 Terdapat perbedaan etiologi peritonitis sekunder pada negara berkembang
(berpendapatan rendah) dengan negara maju.
Pada negara berpendapatan rendah, etiologi peritonitis sekunder yang
paling umum, antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum, dan
perforasi tifoid.9 Sedangkan, di negara-negara barat appendisitis perforasi tetap
merupakan penyebab utama peritonitis sekunder, diikuti dengan perforasi kolon
akibat divertikulitis.10 Tingkat insidensi peritonitis pascaoperatif bervariasi antara
1%-20% pada pasien yang menjalani laparatomi.
28
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah
lengkap dengan hitung jenis (ditemukan leukositosis, dengan shift to the left yaitu
peningkatan sel batang PMN), kimia darah dapat ditemukan kelainan seperti
peningkatan ureum dan kreatinin (tanda syok hipovolemik atau sepsis berat), dan
pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat menunjukan adanya asidosis
metabolik, pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan diagnosis dari traktus
urinarius. Selain pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis seperti x-ray dapat
berguna (free air under diaphragm yang terlihat pada posisi upright pada
perforasi ulkus peptikum, tetapi jarang pada etiologi lainnya). Pemeriksaan CT-
scan umumnya tidak diperlukan dan hanya akan menunda penanganan
pembedahan (apabila peritonitis dapat ditegakkan berdasarkan klinis). 4Apabila
diagnosis klinis tidak konklusif dapat dilaksanakan diagnostic peritoneal lavage
(DPL) untuk analisis cairan peritoneum,4 ditemukannya hasil yang positif (>500
leukosit/mL) mengarahkan diagnosis peritonitis.2,4
Pada pasien ini sudah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang dengan kesimpulan nya adalah Peritonitis ec perforasi
gaster. Hal ini terjadi dikarenakan adanya faktor-faktor yang mendukung
terjadinya Peritonitis
Penatalaksanaan dengan pembedahan merupakan penyelesaian
masalah peritonitis jangka panjang yang paling baik saat ini adalah
pembedahan. Pada pasien ini juga dilakukan pembedahan apendektomi
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Silen W. Chapter 300. Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Longo DL,
Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 18 edition. The McGraw Hill Companies.
2012. Accessed in:
http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?aID=9132908
2. Daley BJ, Katz J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Medscape
2013. Accessed in: http://emedicine.medscape.com/article/180234-
overview#showall
3. Sartelli M. A Focus on Intra-Abdominal Infections. W J Emerg Surg
2010;5:9
4. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill
Patient. Surg Clin North Am 2006; 86(6): 1323–49
5. Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR.
Essential Clinical Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins.
2007. p. 118-204
6. Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring
S. Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40 th
Edition. Churchill Livingstone El Sevier. 2008.
7. Neurobiology of Visceral Pain. International Association for the Study of
Pain 2012. Accessed in:
30
http://www.iasppain.org/AM/Template.cfm?
Section=Fact_Sheets5&Template=/CM/
ContentDisplay.cfm&ContentID=16194
8. Johnson CC, Baldessarre J, Levison ME. Peritonitis: Update on
Pathophysiology, Clinical Manifestations, and Management. Clin Inf Dis
1997;24:1035-47
9. Gupta S, Kaushik R. Peritonitis - the Eastern experience. World J Emerg
Surg 2006; 1:13.
10. Malangoni M, Inui T. Peritonitis - the Western experience. World J Emerg
Surg 2006; 1(1):25.
11. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM,
ed. CURRENT Diagnosis & Treatment: Surgery. 13th ed. New York:
McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5215855. Accessed
Desember 24, 2014
12. Baron MJ, Kasper DL. Chapter 127. Intraabdominal Infections and
Abscesses. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18 edition. The
McGraw Hill Companies. 2012. Accessed in:
http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?
aID=9119694&searchStr=peritonitis
13. Peralta R, Geibel J. Surgical Approach to Peritonitis and Abdominal
Sepsis. Emedicine Medscape 2013. Accessed in:
31
http://emedicine.medscape.com/article/1952823-overview#showall
14. Siegenthaler W. Acute Abdomen. In: Siegenthaler W. Differential
Diagnosis in Internal Medicine: From Symptom to Diagnosis. Thieme.
2007. p. 257-8
15. Cartwright SL, Knudson MP. Evaluation of Acute Abdominal Pain in
Adults. Am Fam Physician 2008;77(7):971-81
32