bab 1peritonitis

55
BAB 1 PENDAHULUAN Peritonitis merupakan suatu kejadian mengancam nyawa yang umumnya disertai adanya bacteremia dan sindrom sepsis. 1 Peritonitis sendiri didefinisikan sebagai adanya peradangan pada peritoneum baik lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik dari natural history , dan infectious atau aseptik dari patogenesisnya. Peritonitis akut umumnya bersifat infectious dan berhubungan dengan perforasi holoviskus (disebut sebagai peritonitis sekunder) . 1,2 Etiologi umum dari peritonitis sekunder, antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, volvulus, kanker, dan strangulasi. 2 Tingkat mortalitas dari peritonitis yang terasosiasi dengan perforasi ulkus, appendiks, dan diverticulum dibawah 10% pada pasien tanpa riwayat penyakit penyerta, namun tingkat mortalitas sampai 40% dilaporkan pada pasien geriatrik, pasien dengan riwayat penyakit penyerta, dan apabila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48 jam. 1 Oleh karena itu, sebagai calon dokter umum yang akan berjaga di Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit, harus dapat mendiagnosis dan memberikan penanganan awal yang tepat 1

Upload: triee-ayiie-minniy

Post on 26-Dec-2015

19 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

peritonitis

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1peritonitis

BAB 1

PENDAHULUAN

Peritonitis merupakan suatu kejadian mengancam nyawa yang umumnya

disertai adanya bacteremia dan sindrom sepsis.1 Peritonitis sendiri didefinisikan

sebagai adanya peradangan pada peritoneum baik lokal atau difus (generalisata)

dari lokasinya, akut atau kronik dari natural history, dan infectious atau aseptik

dari patogenesisnya. Peritonitis akut umumnya bersifat infectious dan

berhubungan dengan perforasi holoviskus (disebut sebagai peritonitis

sekunder).1,2 Etiologi umum dari peritonitis sekunder, antara lain appendisitis

perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi colon

(sigmoid) karena diverticulitis, volvulus, kanker, dan strangulasi.2

Tingkat mortalitas dari peritonitis yang terasosiasi dengan perforasi ulkus,

appendiks, dan diverticulum dibawah 10% pada pasien tanpa riwayat penyakit

penyerta, namun tingkat mortalitas sampai 40% dilaporkan pada pasien geriatrik,

pasien dengan riwayat penyakit penyerta, dan apabila peritonitis sudah

berlangsung lebih dari 48 jam.1 Oleh karena itu, sebagai calon dokter umum yang

akan berjaga di Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit, harus dapat

mendiagnosis dan memberikan penanganan awal yang tepat pada peritonitis akut

agar resiko terjadinya mortalitas dapat dihindari.

1

Page 2: BAB 1peritonitis

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI & KLASIFIKASI

Peritonitis sendiri didefinisikan sebagai adanya peradangan pada

peritoneum baik lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik

dari natural history, dan infectious atau aseptik dari patogenesisnya.1 Peritonitis

umumnya dikategorikan menjadi primary peritonitis (primer), secondary

peritonitis (sekunder) , dan tertiary peritonitis (tersier).1,2,3 Peritonitis primer

merupakan peradangan pada peritoneum yang penyebabnya berasal dari

ekstraperitoneal dan umumnya dari hematogenous dissemination.4 Peritonitis

sekunder adalah peritonitis akibat hilangnya integritas dari traktus gastrointestinal

yang umumnya disebabkan perforasi traktus gastrointestinal karena organ intra-

abdomen yang terinfeksi.3,4 Adanya peritonitis persisten atau rekuren setelah

penanganan yang adekuat terhadap peritonitis primer atau sekunder dinamakan

dengan istilah peritonitis tersier.4

Pembahasan mengenai peritonitis seringkali tidak terlepas dari istilah yang

disebut sebagai intra-abdominal infections (IAI) dan abdominal sepsis.4 Intra-

abdominal infections dibagi menjadi dua bagian besar, antara lain uncomplicated

IAI yang didefinisikan sebagai proses infeksi hanya mengenai organ tunggal

(organ viscera) dan complicated IAI yang adalah proses infeksi yang lebih lanjut,

tidak hanya melibatkan organ tunggal tersebut dan menyebabkan peradangan

peritoneum lokal maupun difus,3 sedangkan abdominal sepsis didefinisikan

sebagai manifestasi sistemik (tanda sepsis) akibat dari peradangan peritonitis yang

berat.4

2

Page 3: BAB 1peritonitis

2.2 ANATOMI & FISIOLOGI PERITONEUM

2.2.1 Anatomi Peritoneum

Peritoneum merupakan membran serosa transparan yang terbesar di dalam

tubuh manusia dan terdiri dari 2 lapisan yang berkesinambungan, antara lain

peritoneum parietal yang melapisi bagian internal dari dinding abdominopelvis

dan peritoneum visceral yang melapisi organ-organ abdomen.5,6 Hubungan

peritoneum dan organ-organ dalam kavitas intra abdomen dikelompokkan

menjadi, antara lain organ intraperitoneal yang terlapisi seluruhnya dengan

peritoneum, dan retroperitoneal (duodenum, kolon asendens, colon desendens,

dan rectum) yang tidak terlapisi maupun terlapisi hanya sebagian peritonum.

Peritoneum visceral yang membungkus atau menunjang organ-organ bersama-

sama dengan jaringan ikat disekitarnya dalam kavitas peritoneum, dikenal dengan

istilah ligamen peritoneum, omentum atau mesenterium.6 Mesenterium

merupakan dua lapis peritoneum yang terjadi akibat invaginasi peritoneum karena

suatu organ dan berfungsi melekatkan organ tersebut dengan dinding posterior

abdomen (mesenterium dari usus halus dan transverse mesokolon).5,6 Ligamen

peritoneum terdiri dari dua lapis peritoneum yang menghubungkan organ satu

dengan lainnya atau dengan dinding abdomen (falciform ligament yang

menghubungkan liver dengan dinding abdomen anterior).5 Berbeda dengan

ligamen peritoneum dan mesenterium, greater omentum terdiri dari 4 lapisan

peritoneum (karena peritoneum melipat sehingga terdiri dari 4 lapisan) dengan

sejumlah jaringan adiposa dan terdiri dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic

ligament, gastrosplenic ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser

omentum terdiri dari hepatogastric dan hepatoduodenal ligament.5,6

3

Page 4: BAB 1peritonitis

Gambar 3. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan

peritoneum parietal dan visceral

Gambar 4. Ligamen peritoneum dan omentum

Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan aferen

yang mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomen,6 sedangkan

peritoneum visceral dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen yang juga

memberikan suplai saraf otonom pada organ visceral tersebut (Gambar 5).7

Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan perbedaan respon sensasi

apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum visceral atau

parietal. Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau

kimiawi pada reseptor nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal. Sensasi nyeri

umumnya terjadi di satu atau dua level dermatom pada setiap lokasi peritoneum

parietal yang terstimulasi. Saraf somatis tersebut selain menghantarkan sensasi

nyeri terlokalisir, juga menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi

dari parietal peritoneum. Refleks inilah yang menyebabkan localized

4

Page 5: BAB 1peritonitis

hypercontractility (muscle guarding) dan perut papan (rigidity of abdominal

wall).6 Di sisi lain, iritasi dari peritoneum visceral tidak memberikan sensasi nyeri

dan refleks otot yang serupa seperti pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf

visceral peritoneum visceral terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu

daerah dari tiga lokasi, antara lain lokasi epigastrium (struktur foregut),

periumbilikal (struktur midgut), dan suprapubik (struktur hindgut).6,7

Gambar 5. Jalur medulla spinalis untuk sensasi visceral

2.2.2 Mekanisme pertahanan peritoneum

Peritoneum terdiri dari selapis sel-sel mesothelium yang berdiri dibawah

membran basalis, dan sekumpulan jaringan ikat yang dibentuk dari sel adiposa,

makrofag, fibroblast, limfosit, dan jaringan ikat elastik kollagen.4 Total luas

permukaan peritoneum sekitar 1,7 m2. Dalam kondisi normal, peritoneum sifatnya

steril dan berisi sekitar 50 mL cairan kekuningan yang berisikan makrofag, sel

mesotelium, dan limfosit. Membran peritoneum memiliki sifat difusi

semipermeabel untuk air dan zat-zat terlarut tertentu sehingga terjadi difusi secara

terus-menerus dari cairan peritoneum dengan cairan interselullar. Tidak seperti

cairan dan zat-zat terlarut lainnya, partikel yang lebih besar dieliminasi lewat

orifisum yang dibentuk oleh sel-sel mesotelium terspesialisasi yang terletak di

permukaan subdiafragma dalam rongga peritoneum menuju sirkulasi limfatik.4

Eliminasi ini difasilitasi oleh pergerakan diafragman dan tekanan thorako-

abdominal. Proses eliminasi ini merupakan salah mekanisme pertahanan tubuh

untuk menjaga peritoneum tetap steril.

5

Page 6: BAB 1peritonitis

Mekanisme pertahanan peritoneum lainnya adalah adanya makrofag pada

rongga peritoneum.4 Pada fase inisial hanya makrofag yang berperan terjadinya

inflamasi, namun adanya rangsangan sitokin akan memanggil neutrophil dalam 2-

4 jam dan sel-sel PMN (Polymorphonuclear) tersebut akan mendominasi dalam

48-72 jam pertama. Sel-sel PMN akan mengeluarkan sitokin, antara lain

interleukin (IL)-1, IL-6, TNF (tumor necrosis factor), leukotriene, platelet

activating factor, C3A, dan C5A yang akan membentuk terjadinya inflamasi lokal

pada daerah tersebut. Reaksi peradangan ini mengakibatkan pembentukan

fibrinogen pada fokus septik dan benang-benang fibrin membentuk sebuah mesh

yang secara temporer menurunkan dan menge-blok reabsorpsi cairan dari rongga

peritoneum serta menjerat bakteri dalam sebuah “perangkap”.4 Mekanisme

pertahanan inilah yang menyebabkan pembentukan sebuah abses. Selain itu,

omentum juga bermigrasi pada daerah peradangan untuk memfasilitasi

pembentukan abses lebih lanjut. Daerah yang paling umum adalah daerah

subphrenic.

Kedua mekanisme pertahanan ini (eliminasi mekanik dan pembentukan

eksudat) memiliki efek paradoks.4 Eliminasi mekanik pada mekanisme pertahanan

yang pertama sebenarnya menyebabkan bakteremia, dan apabila masif dapat

mengakibatkan shok septik dan berakhir dengan kematian. Pembentukan eksudat

dan reaksi peradangan yang kaya akan sel fagositik dan opsonin dapat

menyebabkan migrasi cairan dan protein pada “rongga ketiga”, hal ini dapat

mengakibatkan terjadinya hipovolemia dan shok karena albumin berpindah pada

rongga abdomen.

6

Page 7: BAB 1peritonitis

2.3 Epidemiologi

Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas,2 namun yang

pasti diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder

merupakan peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik.2,3

Hampir 80% kasus peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus

gastrointestinal.4 Penyebab umum dari peritonitis sekunder, antara lain

appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi

kolon karena diverticulitis, volvulus, atau keganasan, dan strangulasi dari usus

halus.2 Terdapat perbedaan etiologi peritonitis sekunder pada negara berkembang

(berpendapatan rendah) dengan negara maju. Pada negara berpendapatan rendah,

etiologi peritonitis sekunder yang paling umum, antara lain appendisitis perforasi,

perforasi ulkus peptikum, dan perforasi tifoid.9 Sedangkan, di negara-negara barat

appendisitis perforasi tetap merupakan penyebab utama peritonitis sekunder,

diikuti dengan perforasi kolon akibat divertikulitis.10 Tingkat insidensi peritonitis

pascaoperatif bervariasi antara 1%-20% pada pasien yang menjalani laparatomi.

Pada era pre-antibiotik peritonitis primer mencakup sekitar 10% dari

seluruh akut abdomen, namun dewasa ini hanya mencakup kurang dari 1-2%.8

Penurunan yang bermakna diduga dikarenakan penemuan dari antibiotik.

Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) ditemukan terutama pada pasien sirosis

hepatis Child-Pugh class C (Pasien yang mengalami SBP, 70% merupakan Child-

Pugh class C).2 Peritonitis tersier ditemukan umumnya pada pasien

immunocompromised.

7

Page 8: BAB 1peritonitis

2.4 Etiologi, Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Sesuai dengan definisinya, peritonitis secara prinsip merupakan

peradangan yang terjadi pada peritoneum akibat adanya kerusakan pada

peritoneum. Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang

berbeda dalam patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi terjadinya

peritonitis tidak berasal dari traktus gastrointestinal (infeksi yang nantinya terjadi

tidak berhubungan langsung dengan gangguan organ gastrointestinal),3,8

sedangkan pada sekunder ditemukan adanya kerusakan integritas traktus

(perforasi) tersebut baik akibat strangulasi maupun akibat infeksi.3

Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang

steril terhadap mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal.8 Dalam

keadaan fisiologis tidak ada hubungan langsung antara lumen gastrointestinal

dengan rongga peritoneum, namun apabila terjadi kerusakan integritas dari traktus

gastrointestinal hubungan tersebut tercipta. Kerusakan integritas dari traktus

gastrointestinal terjadi pada beberapa kondisi, seperti appendisitis perforasi,

perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi colon (sigmoid)

karena diverticulitis, sampai volvulus, kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis,

femoralis, atau obturator).2 Akibat kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti

Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan

anaerobik lainnya) masuk dalam rongga peritoneum. Infeksi pada peritonitis

sekunder secara tipikal bersifat polimikrobial (gram negatif aerob dan anaerob).

Adanya invasi dari bakteri-bakteri tersebut menyebabkan reaksi peradangan

seperti yang mengaktifkan seluruh mekanisme pertahanan peritoneum (dari

eliminasi mekanik sampai pembentukan eksudat). Eliminasi mekanik menjadi

salah satu jalur utama bagi bakteri-bakteri masuk dalam pembuluh darah

(bakteremia) yang pada akhirnya dapat berlanjut menjadi sepsis, sepsis berat, syok

sepsis, dan MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome).

8

Page 9: BAB 1peritonitis

Reaksi peradangan lokal menyebabkan peningkatan permeabilitas dari

pembuluh darah kapiler sehingga terjadi perpindahan cairan ke “rongga ketiga”

yang dapat berlanjut menjadi hipovolemia. Reaksi peradangan tersebut dapat

berlanjut menjadi SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome), dimana

dapat ditemukan dua tanda berikut, antara lain suhu >38° C atau <36° C, nadi >90

kali/menit, laju nafas >20 kali/menit, or PaCO2 <32 mmHg, WBC >12,000

sel/mm3 or <4000 sel/mm3, or <10% imatur (neutrofil batang). Proses inflamasi

akut dalam rongga abdomen mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf simpatis dan

supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan terganggu

sehingga cairan tidak hanya terdapat pada rongga peritoneum, tetapi juga dalam

lumen usus. Selain itu, ileus paralitik menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme

yang tidak terkontrol.

Manifestasi klinis dibagi berdasarkan manifestasi lokal dan sistemik sesuai

patofisiologi terjadinya peritonitis.11 Pada manifestasi lokal ditemukan adanya

nyeri perut hebat, nyeri tekan seluruh lapang abdomen (pada peritonitis umum),

rebound tenderness, adanya muscle guarding atau rigidity (perut papan), dan

manifestasi klinis akibat ileus paralitik (distensi abdomen, penurunan bising usus),

sedangkan pada tanda klinis sistemik dapat ditemukan adanya demam, takikardia,

takipnea, dehidrasi, oliguria, disorientasi, dan syok (manifestasi SIRS).

9

Page 10: BAB 1peritonitis

2.5 DIAGNOSIS

Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada

anamnesis dan pemeriksaan fisik.2,4 Gejala utama pada seluruh kasus peritonitis

adalah nyeri perut yang hebat, tajam, dirasakan terus-menerus, dan diperparah

dengan adanya pergerakan.4 Mayoritas pasien cenderung diam terlentang di

tempat tidur dengan sedikit menekuk lutut untuk mengurangi nyeri perut (karena

maneuver tersebut mengurangi tekanan pada dinding abdomen). Adanya

anoreksia, mual, dan muntah seringkali pula ditemukan, namun bervariasi

tergantung etiologi dari peritonitis. Anamnesis harus pula mencari kemungkinan

sumber etiologi dari peritonitis sekunder sehingga harus ditanyakan mengenai

riwayat penyakit sekarang (riwayat dyspepsia kronis mengarahkan ke perforasi

ulkus peptikum, riwayat inflammatory bowel disease atau divertikulum

mengarahkan perforasi kolon karena divertikulitis, riwayat demam lebih dari 1

minggu disertai pola demam dan tanda-tanda klinis khas untuk tifoid

mengarahkan ke perforasi tifoid, adanya riwayat hernia daerah inguinal

(inguinalis atau femoralis) harus disuspek kemungkinan adanya strangulasi,

sedangkan nyeri mendadak tanpa disertai adanya riwayat penyakit apapun

mengarahkan ke appendisitis perforasi), riwayat operasi abdomen sebelumnya.2

Berbeda dengan peritonitis sekunder, peritonitis primer patut dicurigai pada

pasien-pasien dengan tanda klinis asites dan riwayat penyakit liver kronis

(terutama sirosis hepatis).4,8

Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien sakit berat, dengan

temuan tanda-tanda SIRS (tanda sistemik), dan tanda-tanda lokal seperti

dijelaskan pada manifestasi klinis. Pada tanda-tanda lokal dapat dicari point of

maximal tenderness (daerah dimana terjadi iritasi maksimal dari peritoneum)

untuk menentukan lokasi proses patologis awal (etiologi dari peritonitis).2

10

Page 11: BAB 1peritonitis

Pemeriksaan colok dubur umumnya akan menunjukan adanya nyeri pada

seluruh lokasi. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan

darah lengkap dengan hitung jenis (ditemukan leukositosis, dengan shift to the left

yaitu peningkatan sel batang PMN), kimia darah dapat ditemukan kelainan seperti

peningkatan ureum dan kreatinin (tanda syok hipovolemik atau sepsis berat), dan

pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat menunjukan adanya asidosis

metabolik, pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan diagnosis dari traktus

urinarius.

Selain pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis seperti x-ray dapat

berguna (free air under diaphragm yang terlihat pada posisi upright pada

perforasi ulkus peptikum (Gambar 6),12 tetapi jarang pada etiologi lainnya).

Pemeriksaan CT-scan umumnya tidak diperlukan dan hanya akan menunda

penanganan pembedahan (apabila peritonitis dapat ditegakkan berdasarkan

klinis).4Apabila diagnosis klinis tidak konklusif dapat dilaksanakan diagnostic

peritoneal lavage (DPL) untuk analisis cairan peritoneum,4 ditemukannya hasil

yang positif (>500 leukosit/mL) mengarahkan diagnosis peritonitis.2,4

Gambar 6. Pneumoperitoneum (free air under diaphragm)

11

Page 12: BAB 1peritonitis

2.6 TATALAKSANA

Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan

elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik .3

1) Penanganan Preoperatif

a) Resusitasi Cairan

Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan

perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang

intersisial .4

Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui

intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik

dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat

penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red

Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus

diberikan untuk mengganti cairan yang hilang 3

Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi

kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan

cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah

yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz

et al, 1989).

Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari

jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi.3

12

Page 13: BAB 1peritonitis

b) Antibiotik

Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan

menjadi bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan

Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah

Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan

penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus

dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum

(Schwartz et al, 1989).

Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan

hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas

jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang

ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah

putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun

sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970).

Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-

kondisi seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari

peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik

seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus

diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi (Schwartz et al, 1989).

Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram

harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika

dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin

dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif.

Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin

sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang

logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis

tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada

chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970).

13

Page 14: BAB 1peritonitis

Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi

dengan aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin

generasi kedua (Schwartz et al, 1989).

Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga

untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme

anaerob (Doherty, 2006).

Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting

daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis

antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi.

Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena

gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan

penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam

sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan

demam, dengan hitung sel darah putih yang normal (Doherty, 2006).

14

Page 15: BAB 1peritonitis

c) Oksigen dan Ventilator

Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada

peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan

dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada

ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-

kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang

dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi

lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3)

adanya nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).\

d) Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik

Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari

abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi

jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari

kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan

darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi

biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah,

bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 1989).

2) Penanganan Operatif

Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi

biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi

peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus

dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang

spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung,

serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses,

cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk

mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen (Schwartz et al, 1989).

15

Page 16: BAB 1peritonitis

a) Kontrol Sepsis

Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk

menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi

penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada

peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang

terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik

atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang

rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak

meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan

mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung

empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut).

Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun

anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty,

2006).

b) Peritoneal Lavage

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3

liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan

fibrin, serta bakteri.

Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak

berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin,

povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan

mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek

tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan

menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan

komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari

neuromuscular junction.

16

Page 17: BAB 1peritonitis

Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus

diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan

melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit

menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).

c) Peritoneal Drainage

Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan

peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum

peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase

yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat

menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus

tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu

terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal

residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk

peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi

(Doherty, 2006).

3) Pengananan Postoperatif

Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien

yang tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas

hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan

agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama

10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang

baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan

leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat

kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis.

Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat

menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).

17

Page 18: BAB 1peritonitis

2.7 Prognosis

Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah

10%-40% pada perforasi kolon (Tabel 1).11 Faktor yang mempengaruhi tingkat

mortalitias yang tinggi adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi

penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum penanganan, usia pasien, dan

keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah 10% ditemukan pada pasien

dengan perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda, kontaminasi bakteri

yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang buruk

(APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan

tingkat serum albumin preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi

yang membutuhkan penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka

mortalitas yang tinggi.

Tabel 1. Tingkat mortalitas peritonitis umum berdasarkan etiologi

18

Page 19: BAB 1peritonitis

BAB 3

LAPORAN KASUS

I.1 Identitas

Nama : Tn.Jamhur

Umur : 39 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Bangsa : Indonesia

Alamat : jl.kh.Azhari 16 ulu Tangga takat

Pekerjaan : Buruh

No. MR : 110722

I.2 Autoanamnesis (kamis 20 November 2014)

Keluhan Utama:

Nyeri perut hebat

Riwayat Perjalanan Penyakit:

Pasien datang ke RSUD Palembang Bari via IGD dengan keluhan Nyeri

perut hebat mendadak di seluruh bagian perut sejak 5 jam SMRS, Nyeri

tersebut dirasakan muncul mendadak, seperti ditusuk-tusuk, terus-menerus,

dirasakan awalnya hanya di ulu hati kemudian menjadi seluruh bagian perut,

dan semakin lama-semakin nyeri apabila pasien batuk, berdiri, atau berjalan,

nyerinya bertambah. Setelah merasakan nyeri, pasien merasa mual namun

tidak muntah. Pasien merasa masih bisa kentut namun berkurang, perut

kembung, perut terasa kaku pada saat sakit, tidak nafsu makan dan minum,

Buang air besar konsistensi lunak dan berwarna coklat, normal seperti

biasanya. Buang air kecil tidak nyeri, warna urin kuning, dan volum normal

seperti biasa.

19

Page 20: BAB 1peritonitis

Pasien memiliki riwayat penyakit maag sejak 2 tahun yang lalu. Pasien

sering mengkonsumsi obat maag yang dijual di warung secara bebas apabila

maagnya kambuh. Awalnya pasien pikir sakit yang dirasakannya adalah

penyakit maagnya, namun sakit bertambah parah sehingga pasien sadar bahwa

ini bukan sakit maag yang biasa dialaminya. Os juga mengaku sering

mengkonsumsi jamu kunci mas yang dijual bebas di toko jamu agar bisa

menambahkan berat badan.

o Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat sesak dan nyeri dada pada saat beraktivitas disangkal

Riwayat asma disangkal

Riwayat gangguan pencernaan dibenarkan, pasien mengaku punya

sakit Maag

Riwayat mengonsumsi obat-obatan bebas dan jamu dibenarkan, pasien

mengaku sering membeli obat warung bila maag kambuh, dan minum

jamu untuk nafsu makan

o Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami gejala serupa seperti pasien.

Tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit kencing manis, tekanan

darah tinggi maupun sakit jantung.

I.3 Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Pernafasan : 18x/menit

Nadi : 72x/menit

Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Suhu : 36,4 ºC

20

Page 21: BAB 1peritonitis

Kepala : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-

Pupil : isokor, refleks cahaya +/+

Leher :Kelenjar thyroid tidak membesar, kelenjar limfe tidak

membesar, JVP tidak meningkat

Thorax : Paru

- Inspeksi : Simetris, tidak retraksi dan

ketinggalan gerak

- Palpasi : Taktil fremitus kanan sama dengan

kiri

- Perkusi : Sonor seluruh lapang paru

- Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, Suara

tambahan -/-

Abdomen : Lihat status lokalis

Ekstremitas Superior : Edema (-/-), akral hangat

Ekstremitas Inferior : Edema (-/-), akral hangat

Status lokalis

Inspeksi : Dinding abdomen datar seperti papan dan tidak banyak bergerak

ketika inspirasi-ekspirasi, tidak tampak darm contour atau darm

steifung.

Auskultasi : bising usus (+) menurun

Palpasi : Tidak teraba massa, didapatkan defans muskuler, nyeri tekan

seluruh lapang perut, hepar dan lien tidak teraba, ballotemen ginjal

tidak teraba

Perkusi : nyeri saat perkusi (+) di seluruh lapang abdomen, timpani

21

Page 22: BAB 1peritonitis

I.4 Pemeriksaan Penunjang

Hematologi (19-11-2014)

Hb : 14,3 gr/dl (13,0 - 14,0)

Leukosit : 13.100 (5000-10000)

Hematokrit : 41% % (40 - 48)

Trombosit : 255 103 uL (150 - 400)

Jenis Leukosit

Basofil : 0 (0-1%)

Eosinofil :1 (1-3%)

N.Batang :1 (2-6%)

N.Segmen :80 (50-70%)

Limfosit : 15 (20-40%)

Monosit :3 (2-8%)

1.5 Diagnosa Klinis

Peritonitis ec perforasi ulkus peptikum.

I.8 Penatalaksanaan

Umum

IVFD RL gtt 20x/mnt.

Laparotomi cito.

inj Cefotaxim 2x1 mg.

inj. Ketorolac 3x1 amp.

NGT

Khusus

Pasien direncanakan dilakukan laparatomi pada pk 21.00 (dilakukan

pada 19 Novemberr 2014 pk 12.30 – 14.00 ) :

1. Penderita posisi terlentang, dilakukan desinfeksi seluruh

abdomen dan dada bagian bawah, kemudian dipersempit

dengan doek steril

22

Page 23: BAB 1peritonitis

2. Insisi mediana pada linea alba sampai rongga abdomen terbuka

(sampai peritoneum terbuka)

3. Pus sekitar 200 cc keluar, dilakukan eksplorasi, perlengketan +

+, omentum dibebaskan secara tajam dan tumpul

4. Appendix ditemukan retrocaecal dengan panjang sekitar 5 cm,

diameter 2 cm, hiperemis +, perforasi +

5. Dilakukan appendectomy

6. Mencuci seluruh abdomen dengan NaCl

7. Memasang drain

8. Luka operasi dijahit lapis demi lapis

9. kemudian dilanjutkan dengan operasi hernioraphy dengan mesh

10. Operasi selesai

Instruksi Post-Operasi:

o Pasien dipuasakan selama 5 hari

o IVFD Ringer Laktat gtt 20x/mnt

o Cefotaxime 2x1 gr

o Metronidazole 3x 500 mg

o Ketorolac 3x30 mg

o Omeprazole 2x1 amp

o Metoclopamid 2x 1 amp

I.9 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

23

Page 24: BAB 1peritonitis

2.0 FOLLOW UP

Kamis 20 november 2014

08.00

S : Pasien mengeluhkan kembung, nyeri pada luka bekas operasi, mual

muntah (-)

O : KU : Baik

Kesadaran: compos mentis

VS :

- TD 110/80 mmHg, Nadi 80 x/menit, RR 20 x/menit, Suhu 36,1 C

Status Lokalis :

Inspeksi : Perut datar, gerakan pernafasan abdomen (-),  darm countour

(-),

darm steifung (-),bekas operasi (+) pada regio abdomen

midline,

perdarahan (-),terpasang drain, NGT terpasang,

DC terpasang urin warna kuning jernih

Auskultasi : Bising usus (+) normal, metalic sound (-)

Perkusi   : Timpani  di seluruh lapang abdomen, pekak hati menghilang,

pekak beralih (-)

Palpasi  : Defans muskular (-), nyeri tekan di sekitar luka bekas operasi

(+), nyeri tekan lepas (-)

A Peritonitis ec perforasi ulkus pepticum

P Terapi obat (Pasien dipuasakan selama 5 hari)

IVFD Ringer Laktat gtt 20x/mnt

Cefotaxime 2x1 gr

Metronidazole 3x 500 mg

Ketorolac 3x30 mg

Omeprazole 2x1 amp

24

Page 25: BAB 1peritonitis

Metoclopamid 2x 1 amp

DC menetap

Jum’at 21 november 201408.30

S : Kembung berkurang, nyeri pada luka bekas operasi, flatus (+)

O : KU : Baik

Kesadaran: compos mentis

VS :

- TD 110/80 mmHg, Nadi 80 x/menit, RR 20 x/menit, Suhu 36,2 C

Status Lokalis :

Inspeksi : Perut datar, gerakan pernafasan abdomen (-),  darm countour

(-),

darm steifung (-),bekas operasi (+) pada regio abdomen

midline,

perdarahan (-), drain up 1, NGT terpasang,

DC terpasang urin warna kuning jernih

Auskultasi : Bising usus (+) normal, metalic sound (-)

Perkusi   : Timpani  di seluruh lapang abdomen, pekak hati menghilang,

pekak beralih (-)

Palpasi  : Defans muskular (-), nyeri tekan di sekitar luka bekas operasi

(+), nyeri tekan lepas (-)

A Peritonitis ec perforasi ulkus pepticum

P Terapi obat (Pasien dipuasakan selama 5 hari

IVFD Ringer Laktat gtt 20x/mnt

Cefotaxime 2x1 gr

Metronidazole 3x 500 mg

Ketorolac 3x30 mg

25

Page 26: BAB 1peritonitis

Omeprazole 2x1 amp

Metoclopamid 2x 1 amp

DC menetap

Sabtu 22 november 2014

8.00

S : Nyeri pada luka bekas operasi berkurang, flatus (+), BAB (+),

O : KU : Baik

Kesadaran: compos mentis

VS :

- TD 110/70 mmHg, Nadi 82 x/menit, RR 22 x/menit, Suhu 36,1 C

Status Lokalis :

Inspeksi : Perut datar, gerakan pernafasan abdomen (-),  darm countour

(-),

darm steifung (-),bekas operasi (+) pada regio abdomen

midline,

perdarahan (-),drain up, NGT terpasang,

DC terpasang urin warna kuning jernih

Auskultasi : Bising usus (+) normal, metalic sound (-)

Perkusi   : Timpani  di seluruh lapang abdomen, pekak hati menghilang,

pekak beralih (-)

Palpasi  : Defans muskular (-), nyeri tekan di sekitar luka bekas operasi

(+), nyeri tekan lepas (-)

A Peritonitis ec perforasi ulkus pepticum

P Terapi obat (Pasien dipuasakan selama 5 hari)

IVFD Ringer Laktat gtt 20x/mnt

Cefotaxime 2x1 gr

Metronidazole 3x 500 mg

Ketorolac 3x30 mg

Omeprazole 2x1 amp

26

Page 27: BAB 1peritonitis

Metoclopamid 2x 1 amp

DC menetap

27

Page 28: BAB 1peritonitis

BAB 4

KESIMPULAN

Peritonitis sendiri didefinisikan sebagai adanya peradangan pada

peritoneum baik lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik

dari natural history, dan infectious atau aseptik dari patogenesisnya. Peritonitis

akut umumnya bersifat infectious dan berhubungan dengan perforasi holoviskus

(disebut sebagai peritonitis sekunder).1,2 Etiologi umum dari peritonitis sekunder,

antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau

duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, volvulus, kanker, dan

strangulasi.

Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas,2 namun yang

pasti diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder

merupakan peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik.2,3

Hampir 80% kasus peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus

gastrointestinal.4 Penyebab umum dari peritonitis sekunder, antara lain

appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi

kolon karena diverticulitis, volvulus, atau keganasan, dan strangulasi dari usus

halus.2 Terdapat perbedaan etiologi peritonitis sekunder pada negara berkembang

(berpendapatan rendah) dengan negara maju.

Pada negara berpendapatan rendah, etiologi peritonitis sekunder yang

paling umum, antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum, dan

perforasi tifoid.9 Sedangkan, di negara-negara barat appendisitis perforasi tetap

merupakan penyebab utama peritonitis sekunder, diikuti dengan perforasi kolon

akibat divertikulitis.10 Tingkat insidensi peritonitis pascaoperatif bervariasi antara

1%-20% pada pasien yang menjalani laparatomi.

28

Page 29: BAB 1peritonitis

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah

lengkap dengan hitung jenis (ditemukan leukositosis, dengan shift to the left yaitu

peningkatan sel batang PMN), kimia darah dapat ditemukan kelainan seperti

peningkatan ureum dan kreatinin (tanda syok hipovolemik atau sepsis berat), dan

pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat menunjukan adanya asidosis

metabolik, pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan diagnosis dari traktus

urinarius. Selain pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis seperti x-ray dapat

berguna (free air under diaphragm yang terlihat pada posisi upright pada

perforasi ulkus peptikum, tetapi jarang pada etiologi lainnya). Pemeriksaan CT-

scan umumnya tidak diperlukan dan hanya akan menunda penanganan

pembedahan (apabila peritonitis dapat ditegakkan berdasarkan klinis). 4Apabila

diagnosis klinis tidak konklusif dapat dilaksanakan diagnostic peritoneal lavage

(DPL) untuk analisis cairan peritoneum,4 ditemukannya hasil yang positif (>500

leukosit/mL) mengarahkan diagnosis peritonitis.2,4

Pada pasien ini sudah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang dengan kesimpulan nya adalah Peritonitis ec perforasi

gaster. Hal ini terjadi dikarenakan adanya faktor-faktor yang mendukung

terjadinya Peritonitis

Penatalaksanaan dengan pembedahan merupakan penyelesaian

masalah peritonitis jangka panjang yang paling baik saat ini adalah

pembedahan. Pada pasien ini juga dilakukan pembedahan apendektomi

29

Page 30: BAB 1peritonitis

DAFTAR PUSTAKA

1. Silen W. Chapter 300. Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Longo DL,

Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s

Principles of Internal Medicine. 18 edition. The McGraw Hill Companies.

2012. Accessed in:

http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?aID=9132908

2. Daley BJ, Katz J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Medscape

2013. Accessed in: http://emedicine.medscape.com/article/180234-

overview#showall

3. Sartelli M. A Focus on Intra-Abdominal Infections. W J Emerg Surg

2010;5:9

4. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill

Patient. Surg Clin North Am 2006; 86(6): 1323–49

5. Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR.

Essential Clinical Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins.

2007. p. 118-204

6. Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring

S. Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40 th

Edition. Churchill Livingstone El Sevier. 2008.

7. Neurobiology of Visceral Pain. International Association for the Study of

Pain 2012. Accessed in:

30

Page 31: BAB 1peritonitis

http://www.iasppain.org/AM/Template.cfm?

Section=Fact_Sheets5&Template=/CM/

ContentDisplay.cfm&ContentID=16194

8. Johnson CC, Baldessarre J, Levison ME. Peritonitis: Update on

Pathophysiology, Clinical Manifestations, and Management. Clin Inf Dis

1997;24:1035-47

9. Gupta S, Kaushik R. Peritonitis - the Eastern experience. World J Emerg

Surg 2006; 1:13.

10. Malangoni M, Inui T. Peritonitis - the Western experience. World J Emerg

Surg 2006; 1(1):25.

11. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM,

ed. CURRENT Diagnosis & Treatment: Surgery. 13th ed. New York:

McGraw-Hill; 2010.

http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5215855. Accessed

Desember 24, 2014

12. Baron MJ, Kasper DL. Chapter 127. Intraabdominal Infections and

Abscesses. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,

Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18 edition. The

McGraw Hill Companies. 2012. Accessed in:

http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?

aID=9119694&searchStr=peritonitis

13. Peralta R, Geibel J. Surgical Approach to Peritonitis and Abdominal

Sepsis. Emedicine Medscape 2013. Accessed in:

31

Page 32: BAB 1peritonitis

http://emedicine.medscape.com/article/1952823-overview#showall

14. Siegenthaler W. Acute Abdomen. In: Siegenthaler W. Differential

Diagnosis in Internal Medicine: From Symptom to Diagnosis. Thieme.

2007. p. 257-8

15. Cartwright SL, Knudson MP. Evaluation of Acute Abdominal Pain in

Adults. Am Fam Physician 2008;77(7):971-81

32