aspek imunologis penyakit sifilis

27
Jurnal Kesehatan Masyarakat Madani, ISSN.1979- 2287,Vol.02 No.03, Tahun 2009 ASPEK IMUNOLOGIS PENYAKIT SIFILIS Sri Julyani Bagian Patologi Klinik FK UMI Email: sriju l y a ni @ y a ho o . c o.id PENDAHULUAN Sifilis adalah suatu penyakit menular seksual (PMS /STD [s e x u a l l y tr a nsm i t t e d dise a s e ] ) atau disebut juga veneral disease (beberapa penyakit infeksi kelamin lain seperti gonore, klamidia, herpes dan granuloma inguinal) adalah salah satu bentuk penyakit infeksi yang ditularkan melalui hubungan sex atau dari seorang ibu kepada bayi yang dikandungnya (w w w .th e f r e e d i c tio n a r y. c o m . 20 08; w w w .th e fr e e d i c tio n a r y. c om ., 2008; Ditjen PP&PL, 2005). Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum yang dapat bersifat akut dan kronis diawali dengan adanya lesi primer kemudian terjadi erupsi sekunder pada kulit dan selaput lendir dan akhirnya sampai pada periode laten dengan lesi pada kulit, lesi pada tulang, saluran pencernaan, sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskuler (http : // id.wikipedia.org. 2008). Setiap orang rentan terhadap penyakit sifilis, tetapi ± 30 % orang yang terpapar akan terkena infeksi. Setelah infeksi biasanya terbentuk antibodi terhadap T. pallidium dan kadang kala terbentuk antibodi heterologus terhadap treponema lain. Antibodi ini tidak terbentuk apabila pengobatan dilakukan pada stadium satu dan dua. Adanya infeksi HIV menurunkan

Upload: yubariku-fika

Post on 16-Feb-2015

66 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

Jurnal Kesehatan Masyarakat Madani, ISSN.1979-2287,Vol.02 No.03, Tahun 2009ASPEK IMUNOLOGIS PENYAKIT SIFILIS

Sri Julyani Bagian Patologi Klinik FK UMI Email: sriju l y a ni @ y a ho o . c o.id

PENDAHULUAN

Sifilis adalah suatu penyakit menular seksual (PMS /STD [s e x u a l l y tr a nsm i t t e d

dise a s e ] ) atau disebut juga veneral disease (beberapa penyakit infeksi kelamin lain

seperti gonore, klamidia, herpes dan granuloma inguinal) adalah salah satu bentuk

penyakit infeksi yang ditularkan melalui hubungan sex atau dari seorang ibu kepada bayi

yang dikandungnya (w ww .the fr eed ictionar y.co m . 2008; w ww .thefre ed ictionar y.

com ., 2008; Ditjen PP&PL, 2005). Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum yang

dapat bersifat akut dan kronis diawali dengan adanya lesi primer kemudian terjadi erupsi

sekunder pada kulit dan selaput lendir dan akhirnya sampai pada periode laten dengan

lesi pada kulit, lesi pada tulang, saluran pencernaan, sistem syaraf pusat dan sistem

kardiovaskuler (http : // id.wikipedia.org. 2008). Setiap orang rentan terhadap penyakit

sifilis, tetapi ± 30 % orang yang terpapar akan terkena infeksi. Setelah infeksi biasanya

terbentuk antibodi terhadap T. pallidium dan kadang kala terbentuk antibodi heterologus

terhadap treponema lain. Antibodi ini tidak terbentuk apabila pengobatan dilakukan pada

stadium satu dan dua. Adanya infeksi HIV menurunkan kemampuan penderita melawan

T. pallidum. (Ditjen PP&PL, 2005).

Di Amerika Serikat dilaporkan lebih dari 36,000 kasus sifilis pada tahun 2006

dengan 9.756 kasus merupakan sifilis stadium primer dan sekunder. Insiden tertinggi

ditemukan pada wanita umur 20 – 24 tahun dan pria umur 35 – 39 tahun, sedang kasus

sifilis kongenital meningkat dari 339 kasus pada tahun 2005 menjadi 349 kasus pada

tahun 2006, sedang di Indonesia ditemukan sekitar 0,61% penderita dengan kasus

terbanyak pada stadium laten ( http : // id.wikipedia.org , 2008).

Kebanyakan orang yang terinfeksi dengan sifilis tidak memperlihatkan gejala

selama beberapa tahun, yang akan menimbulkan komplikasi yang berat bila tidak diobati

(http : // id.wikipedia.org , 2008).

Page 2: Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

1

Page 3: Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

ETIOLOGI

Sifilis disebabkan oleh kuman treponema palidum, merupakan basil gram negatif

yang mempunyai flagel, bentuknya sangat kecil dan berpilin-pilin. Kuman atau bakteri

tersebut umumnya hidup di mukosa (saluran) genetalia, rektum, dan mulut yang hangat

dan basah. Kuman ini sangat sensitive terhadap cahaya, perubahan cuaca dan perubahan

temperature sehingga penyakit ini sulit untuk menular kecuali adanya kontak langsung

dengan penderita. Sifilis ditularkan melalui hubungan seksual, alat suntik atau transfusi

darah yang mengandung kuman tersebut, maupun penularan melalui intra uterin dalam

bentuk sifilis kongenital tetapi tidak dapat menular melalui benda mati seperti misalnya

bangku, tempat duduk toilet, handuk, gelas, atau benda-benda lain yang bekas

digunakan/dipakai oleh pengindap ( www .th e f r e e d i c tio n a r y. com, 2008;

Ditjen PP&PL, 2005).

Respon imunologik dari orang yang terpapar tergantung dari struktur bakteri.

Membran luar bakteri terdiri dari lapisan fosfolipid dengan sedikit protein antigen.

Adapun klasifikasi bakteri penyebab penyakit sifilis adalah sebagai berikut

(Natahusada EC & Djuanda A, 2005) :

Kingdom : Eubacteria

Filum : Spirochaetes

Kelas : Spirochaetes

Ordo : Spirochaetales

Familia : Treponemataceae

Genus : Treponema

Spesies : Treponema pallidum

gambar 1. Treponema pallidumSumber : Treponema pallidum, htt p:/ /en.wiki pedia.org/wiki /i ma ge

2

Page 4: Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

PATOGENESIS

Treponema pallidum tidak dapat tumbuh dalam media kultur sehingga

pengetahuan tentang imunopatogenesis penyakit sifilis hanya diperoleh dari keadaan

penderita (berdasarkan tanda dan gejala yang tampak), model pada binatang percobaan

dan data in vitro dari ekstraksi jaringan spirocaeta. Setelah mengeksposure permukaan

epitel, spirocaeta akan berpenetrasi dan menyerang lapisan sel endotel, yang merupakan

tahap penting dalam tingkat virulensi treponema (meskipun mekanisme yang jelas sampai

saat ini belum diketahui).

Histopatologi dari chancre primer tergantung pada banyaknya spirocaeta dan

infiltrasi seluler yang pada mulanya terdiri dari T limfosit yang terjadi 6 hari postinfeksi,

kemudian makrofag pada hari ke 10 dan sel plasma. Aktivasi makrofag akan merangsang

pelepasan sitokin dari T limfosit yaitu interleukin 2 (IL 2) dan interferon gamma (IFNγ).

Antibodi spesifik akan muncul dalam serum pada awal infeksi yang akan

menghalangi spirocaeta merusak sel dan Ig G dengan bantuan komplemen akan dapat

membunuh T. pallidum serta meningkatkan kemampuan netrofil dan makrofag

memfagosit treponema tersebut. Antibodi berperanan dalam menghancurkan protein

membran luar yang tipis dari treponema pallidum (TROMPs). Secara umum tingkat

kekebalan yang timbul karena infeksi oleh T. pallidum relevan dengan level antibodi

pada TROMPs.

Meskipun humoral immunity juga dibutuhkan dalam melawan infeksi dari

treponema, respon antibodi ini dapat juga menyebabkan kelainan. Adanya kompleks

imun pada sifilis sekunder mungkin menjelaskan patologi timbulnya lesi pada kulit dan

deposit di ginjal yang menyebabkan terjadinya nefropati sifilik. Antibodi kardiolipin

yang merupakan penentu pada sifilis primer dan menjadi dasar tes nontreponemal pada

penyakit ini, tidak sejalan dengan terjadinya sindrom antibodi antifosfolipid.

Pemeriksaan histologik menunjukkan banyaknya sel T pada daerah lesi. Pada

chancre primer CD4 lebih banyak berperanan sedangkan pada lesi sekunder lebih banyak

ditemukan CD8. Gumma yang lebih sering timbul pada sifilis tertier menunjukkan

adanya reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dengan tanda khas berupa granuloma.

Peranan sel T pada sifilis yang belum jelas menimbulkan dugaan adanya cross infeksi

HIV pada penderita sifilis. Para ilmuwan di Spanyol meneliti adanya perubahan viral

3

Page 5: Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

load dan jumlah CD4 selama terinfeksi sifilis dan menemukan bahwa infeksi sifilis pada

pasien HIV-positif berhubungan dengan peningkatan viral load dan penurunan jumlah

CD4.

Penurunan jumlah CD4 dan peningkatan viral load ditemukan pada hampir

sepertiga pasien yang diamati. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa satu-satunya

faktor yang dikaitkan dengan peningkatan viral load adalah karena penderita tidak

menggunakan terapi antiretroviral (ART), sementara satu-satunya faktor yang dikaitkan

dengan penurunan jumlah CD4 sebanyak lebih dari 100, adalah jumlah CD4 pasien

sebelum terinfeksi sifilis (pasien yang mempunyai jumlah CD4 lebih tinggi sebelum

sifilis mengalami penurunan yang lebih besar), tetapi tidak ada perbedaan pada

perubahan virologi berdasarkan stadium sifilis.

Temuan lain dari penelitian ini menunjukkan lebih dari dua pertiga kasus sifilis

ditemukan pada pasien yang sebelumnya didiagnosis HIV-positif. Dalam hal ini, para

peneliti menyoroti perilaku pasien yang berisiko dan strategi pencegahan yang lemah.

Sehingga perlu adanya upaya kesehatan masyarakat untuk mencegah infeksi sifilis baru

dan secepatnya mengenal serta mengobati pasien terinfeksi sifilis, dengan tujuan

mengurangi penyebaran baik infeksi sifilis maupun HIV (LaSala P.R, Smith M.B, 2007;

Bockenstedt L.K, 2003; Palacios R et all, 2007).

GEJALA KLINIK

Berdasarkan stadium penyakitnya gejala klinik dari penyakit sifilis dapat dibagi

dalam tiga kelompok yaitu bentuk primer, sekunder dan bentuk tertier. Sifilis primer

biasanya bersifat asimptomatik, yang didapatkan akibat penularan melalui kontak

langsung pada permukaan mukosa atau kulit seorang penderita. Sedang sifilis sekunder

dapat timbul 8 minggu setelah terapi sifilis primer meskipun dilaporkan bahwa sekitar

60% sifilis sekunder tidak mempunyai riwayat sifilis primer. Lesi sekunder ini ditandai

dengan adanya erupsi pada kulit dan selaput lendir. Dan sifilis tertier adalah bentuk laten

dari penyakit ini yang biasanya muncul beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian

dan 15% diantaranya terjadi pada penderita yang tidak mendapat terapi, dimana lesi telah

menyebar sampai ke tulang, saluran cerna, sistim saraf dan sistim kardiovaskuler (http : //

id.wikipedia.org, 2008). Terdapat bentuk lain dari penyakit sifilis yang banyak ditemukan

4

Page 6: Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

di wilayah Asia tengah dan Afrika yang disebut Endemik Sifilis, merupakan penyakit

infeksi kronik nonveneral yang disebabkan oleh T. pallidum subspecies endemicum.

Penyebaran terjadi melalui kontak langsung pada lesi yang aktif, jari-jari dan peralatan

makan atau minum (LaSala P.R, Smith M.B , 2007). Disamping itu terdapat juga bentuk

sifilis tertier yang dapat timbul 1 – 10 tahun setelah terinfeksi dengan tanda khas berupa

adanya gumma pada kulit dan mukosa. Apabila sifilis tertier ini tidak mendapat terapi,

dapat terjadi komplikasi yang lebih berat berupa neurosifilis dan kardiovaskuler sifilis

(Bockenstedt L.K, 2003).

A. Sifilis Primer

Sifilis primer terjadi karena kontak langsung dengan lesi infeksi penderita

melalui hubungan seksual. Lesi pada kulit timbul dalam 10 – 90 hari setelah terpapar,

kebanyakan pada alat genital namun dapat ditemukan pada seluruh bagian tubuh yang

lain. Lesi ini disebut chancre , suatu ulcerasi pada kulit tanpa rasa sakit pada daerah yang

terexposure terutama pada penis, vagina, atau rectum. Kadang-kadang terdapat lesi

multipel, menetap untuk waktu 4 sampai 6 minggu dapat terjadi pembengkakan kelenjar

limpe lokal dan biasanya sembuh spontan (Palacios R et all. 2007).

B. Sifilis Sekunder

Sifilis sekunder timbul 1 – 6 bulan setelah infeksi primer ( rata-rata 6 – 8 minggu)

dengan berbagai manifestasi gejala. tetapi dapat terjadi overlap dengan bentuk primer.

Lesi biasanya terdapat pada kulit, daerah kepala dan leher, serta sistim saluran cerna,

disamping gejala umum seperti demam, kelemahan, penurunan berat badan, sakit kepala,

meningismus dan pembesaran kelenjar limpe. Rash pada kulit biasanya lebih berat dan

disertai dengan gangguan dermatologi yang lain seperti makulopapular, folikular atau

pustular rash. Rash menyebar pada seluruh tubuh dan ekstremitas, kemudian membentuk

lesi yang rata berwarna keputih-putihan yang dikenal dengan condyloma lata. Stadium

sekunder juga ditandai dengan adanya gangguan pada sendi, tulang dan indera

penglihatan (Bockenstedt L.K, 2003; Palacios R et all. 2007).

C. Sifilis Laten

Disebut sifilis laten apabila tidak tanda-tanda dan gejala penyakit tetapi terdapat

bukti serologik. Sifilis laten dapat dibedakan atas tipe early atau late. Disebut tipe early

bila selama 2 tahun serologik positif tetapi tidak ada gejala penyakit. Sedang tipe late bila

5

Page 7: Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

infeksi lebih dari 2 tahun tanpa bukti klinik yang jelas. Pembagian ini berguna dalam

pemberian terapi pada penderita dan resiko transmisi ke orang lain (Sacher R.A,

McPerson R.A, 2007).

D. Sifilis Tertier

Sifilis tertier biasanya muncul dalam waktu 1 – 10 tahun setelah infeksi pertama,

pada beberapa kasus dapat mencapai masa sampai 50 tahun. Ditandai dengan adanya

gumma yang lunak, suatu bentuk tumor akibat proses inflamasi yang dikenal dengan

granuloma, bersifat kronik dan dapat muncul kembali bila sistim imun tubuh tidak

sempurna. Kebanyakan gumma merupakan komplikasi dari late syphilis. Bentuk lain dari

sifilis tertier yang tidak diterapi adalah n e u r o p a th i c jo i nt dise a s e , b erupa degenerasi sendi

disertai hilangnya sensasi propriosepsi. Bentuk komplikasi yang lebih berat adalah

neurosyphilis dan cardiovascular syphillis. Gangguan neurologik dapat asimptomatik

atau bermanisfestasi sebagai meningovascular disease, tabes dorsalis atau paresis. Sedang

komplikasi kardiovaskuler dapat berupa sifilis aortitis, aneurisma dan regurgitasi aorta.

(Bockenstedt L.K, 2003; Palacios R et all. 2007).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Diagnosis sifilis dapat ditegakkan dengan cara melihat langsung organisme

dengan mikroskop lapangan gelap atau pewarnaan antibodi fluoresen langsung dan kedua

dengan mendeteksi adanya antibodi dalam serum dan cairan serebrospinal. Tes serologis

merupakan tes konfirmasi untuk melihat adanya antibodi terhadap organisme penyebab

sifilis. Tes serologis juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis infeksi sifilis pada

masa laten sifilis dimana tidak tampak adanya gejala-gejala penyakit. Ada dua kelompok

tes serologis yang dapat digunakan dalam mendiagnosis penyakit sifilis yaitu tes

serologis antibodi non treponema dan antibodi treponema (Sacher R.A, McPerson R.A,

2004).

1. Tes Serologis Antibodi Non Treponemal

yaitu antibodi yang terbentuk akibat adanya infeksi oleh penyakit sifilis atau penyakit

infeksi lainnya. Antibodi ini terbentuk setelah penyakit menyebar ke kelenjar limpe

regional dan menyebabkan kerusakan jaringan serta dapat menimbulkan reaksi silang

6

Page 8: Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

dengan beberapa antigen dari jaringan lain. Tes serologis non treponema mendeteksi

antibodi yang merupakan kompleks dari lecitin, kolesterol dan kardiolipin dan digunakan

untuk skrining adanya infeksi oleh T. pallidum. Termasuk tes ini adalah Venereal Disease

Research Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagen (RPR) yang memberikan hasil

positif setelah 4 – 6 minggu terinfeksi (positif pada 70% pasien dengan lesi primer dan

stadium lanjut). Tetapi tes ini dapat memberikan positif palsu pada kondisi seperti

kehamilan, kecanduan obat, keganasan, penyakit autoimun dan infeksi virus.

Imunoasai ini menggunakan antibodi nontreponemal dan lipoid sebagai antigen, termasuk

pemeriksaan ini adalah (Bockenstedt L.K, 2003; Handojo I, 2004) :

a. Veneral Disease Research Laboratory (VDRL)

b. Rapid Plasma Reagin (RPR)

c. Cardiolipin Wassermann (CWR)

d. Unheated Serum Reagin (USR)

e. Toulidone Red Unheated Serum Test (TRUST)

f. ELISA

Tes ini bertujuan untuk mendeteksi adanya reaksi antara antibodi dari sel yang

rusak dan kardiolipin dari treponema. Digunakan untuk skrining penderita dan

monitoring penyakit setelah pemberian terapi. Tes-tes seperti Veneral Disease Research

Laboratory (VDRL), Rapid Plasma Reagin (RPR), Unheated Serum Reagin (USR) dan

Toulidone Red Unheated Serum Test (TRUST) mendeteksi adanya reaksi antigen-

antibodi dengan menilai presipitasi yang terbentuk baik secara makroskopik (RPR dan

TRUTS) maupun mikroskpoik (VDRL dan USR).

Antibodi yang terdeteksi biasanya timbul 1 – 4 minggu setelah munculnya

chancre primer. Pengambilan spesimen pada stadium primer akan mempengaruhi

sensitivitas tes dimana titer antibodi meningkat selama tahun pertama dan selanjutnya

menurun secara nyata sehingga memberikan hasil negatif pada pemeriksaan ulang.

Dapat ditemukan hasil tes positif palsu maupun negatif palsu. Positif palsu terjadi

karena adanya penyakit bersifat akut seperti hepatitis, infeksi virus, kehamilan atau

proses kronik seperti kerusakan pada jaringan penyambung. Sedang hasil negatif palsu

terjadi karena tingginya titer antibodi (prozone phenomenon) yang sering ditemukan pada

sifilis sekunder.

7

Page 9: Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

2. Antibodi treponemal yang bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap

antigen treponema dan sebagai konfirmasi dari hasil positif tes skrining

nontreponemal atau konfirmasi adanya proses infeksi pada hasil negatif tes

nontreponemal pada fase late atau laten disease dapat dibedakan atas 2 jenis antibodi

yaitu ;

i. grup treponemal antibodi, antibodi terhadap antigen somatik yang terdapat pada

semua jenis treponema. Imunoasai berdasarkan pada penggunaan beberapa strain

saprofitik dari treponema, yaitu Reiter Protein Complement Fixation (RPCF)

ii. Antibodi treponema spesifik, antibodi yang spesifik untuk antigen dari T.

pallidum. beberapa tes yang termasuk diantaranya adalah :

a. Treponema pallidum Complement Fixation

b. Treponemal Wassermann (T-WR)

c. Treponema pallidum Immobilization (TPI)

d. Treponema pallidum Immobilization Lyzozym (TPIL)

e. Treponema pallidum Immobilization-symplification

f. Fluorecense Treponemal Antibody (FTA)

g. Treponema pallidum Hemagglutination (TPHA)

h. Treponema pallidum Immuneadherence (TPIA)

i. ELISA T. pallidum

Pemeriksaan antibodi nontreponemal yang sering digunakan sekarang adalah :

1. Tes Rapid Plasma Reagen, adalah tes untuk melihat antibodi nonspesifik dalam

darah penderita yang diduga terinfeksi sifilis, terdiri dari uji kualitatif dan uji

kuantitatif.

A. Uji RPR kualitatif adalah pemeriksaan penapisan dengan serum pasien yang

tidak diencerkan dicampur dengan partikel arang berlapis kardiolipin di atas

karton, setelah rotasi mekanis beberapa waktu sedian diperiksa untuk melihat

ada tidaknya aglutinasi secara makroskopis.

Cara Kerja ( Aprianti S, Pakasi R, Hardjoeno, 2003) :

1. 1 tetes serum + 50 uL antigen dicampur diatas kartu tes memenuhi lingkaran

2. putar di atas rotator selama 8 menit dengan kecepatan 100 rpm

8

Page 10: Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

3. Lihat hasil terbentuknya flokulasi dengan mikroskop cahaya dengan

pembesaran 10 x 10

4. Hasil tes yang reaktif dilanjutkan dengan tes kuantitatif

B. Uji RPR kuantitatif menggunakan serum yang diencerkan secara serial dan

hasil pemeriksaan adalah nilai akhir pengenceran dimana masih terjadi

penggumpalan partikel. Cara kerjanya sebagai berikut :

1. Siapkan 6 tabung reaksi, isi masing-masing dengan 50 uL NaCl 0,9%

2. Tambahkan 50 uL sampel ke tiap tabung, kocok rata

3. Pindahkan 50 uL isi tabung I ke tabung 2 (pengenceran ½ kali)

4. Lakukan seterusnya untuk tabung ke 3 dengan mengambil isi dari tabung 2

(pengenceran ¼), demikian juga untuk tabung 4, 5, dan 6.

5. Ambil dari tiap tabung 50 uL larutan, teteskan di atas kertas tes dan

tambahkan 50 uL antigen pada tiap sampel, aduk rata dan rotasi selama 8

menit. Baca titer pada pengenceran tertinggi yang masih terjadi flokulasi.

Tes RPR efektif untuk skrining seseorang yang terinfeksi penyakit sifilis tetapi

belum menunjukkan gejala klinik.

5. Tes VDRL selain digunakan untuk skrining penyakit sifilis juga dapat digunakan

untuk monitoring respon terapi, deteksi kelainan saraf dan membantu diagnosis

pada sifilis kongenital. Dasar tes adalah reaksi antibodi pasien dengan difosfatidil

gliserol. Tes VDRL dapat mendeteksi antikardiolipin antibodi (IgG, IgM atau

IgA). Beberapa kondisi dapat memberikan hasil positif palsu seperti penyakit

hepatitis virus, kehamilan, demam rematik, leprosi dan penyakit lupus. Tes VDRL

semikuantitatif juga digunakan untuk mengevaluasi kejadian neurosifilis di mana

hasil reaktif tes hampir selalu merupakan indikasi adanya neurosifilis.10,12

6. Tes Cardiolipin Wassermann (CWR) merupakan uji fiksasi komplemen dimana

reaksi antibodi dan antigen kardiolipin akan membentuk kompleks yang akan

mengikat komplemen. Sebagai indikator terjadinya reaksi pengikatan komplemen

maka pada tes ditambahkan sel darah merah (domba) dan zat hemolisin anti

SDM. Disebut uji CWR positif apabila tidak terjadi reaksi hemolisis yang

menunjukkan bahwa terjadi reaksi Ag-Ab yang mengikat komplemen, sedang

9

Page 11: Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

hasil negatif berarti tidak terjadi reaksi Ag-Ab yang tidak mengikat komplemen.

Sampel pasien berasal dari darah atau cairan cerebrospinal yang reaksikan dengan

antigen kardiolipin dan intensitas reaksi sebanding dengan beratnya kondisi

pasien (ht t p: / /en. w ik i p e dia.o r g /wik i / , 2008).

7. Tes ELIZA nontreponemal menilai terjadinya flokulasi dan nilai absorban

dihitung berdasarkan prinsip spektrofotometer.

Sedangkan Tes serologik treponemal yang banyak digunakan adalah :

1. Tes Treponema pallidum Immobilization (TPI)

Sensitifitas tes rendah pada beberapa stadium penyakit terutama stadium I , tetapi

spesifisitasnya paling baik dibanding tes serologis lain dan merupakan satu-

satunya tes yang hampir tidak memberi hasil positif semu. Tes menggunakan

serum penderita yang tidak aktif ditambah dengan T. pallidum yang mobil dan

komplemen, lalu diinkubasi pada suhu 35° C selama 16 jam selanjutnya dilihat di

bawah mikroskop. Hasil positif terlihat dengan T. pallidum yang tidak mobil.

2. Fluorescent treponemal antibody-absorbed double strain test (FTA-ABS DS).

Sebelum tes serum pasien diinaktifkan dengan pemanasan dan diserap dengan

sorbent untuk membersihkan dari antibodi terhadap treponema komensal,

kemudian dicampur dengan apusan T. pallidum pada kaca obyek, inkubasi lalu

bilas hati-hati. Tambahkan konjugat antibodi anti-imunoglobulin human yang

dilabel dengan tetrametil-rodamin isotiosinat [TMRITC] tutup dengan kaca

penutup, inkubasi dan bilas. Periksa apusan di bawah mikroskop pengcahayaan

ultraviolet. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya treponema berfluoresensi-

TMRITC pada apusan. Tes FTA adalah imunoasai yang sangat sensitif dan

spesifik sehingga baik digunakan untuk diagnosis tetapi tidak dipakai dalam

pemantauan terapi sebab hasil tes positif akan tetap positif walaupun telah diberi

pengobatan sampai sembuh.

3. Tes Treponema pallidum Hemagglutination (TPHA)

Merupakan uji hemaglutinasi pasif secara kualitatif dan semi kuantitatif yang

dapat mendeteksi anti T. pallidum antibodi dalam serum atau plasma, di mana

hasil positif didapatkan bila terjadi aglutinasi. Sensitivitas dan spesifisitas cukup

10

Page 12: Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

baik kecuali untuk sifilis stadium I, tes ini juga cukup praktis, mudah dan

sederhana serta harganya relatif murah. Sebagai antigen dipakai T .pallidum strain

Nichol dan sebagai carrier digunakan sel darah merah kalkun. Sel darah merah

kalkun yang diliputi Ag T . pallidum dan Ab serum penderita lalu diinkubasi,

antibodi T. pallidum dalam serum akan mengikat antigen pada sel darah merah

membentuk kompleks Ag-Ab dan hasil positif dinilai dengan melihat adanya

aglutinasi (http: // en.wikipedia.org, 2008)

DIAGNOSIS

Diagnosis penyakit sifilis biasanya secara tidak langsung ditemukan pada pasien

risiko tinggi seperti adanya penyakit menular seksual dan pengguna narkotika. Karena T.

Pallidum tidak dapat tumbuh pada media kultur maka digunakan metode lain untuk

mendiagnosis penyakit sifilis. Seperti mikroskop lapangan gelap atau apusan cairan dari

kulit atau jaringan. Bahan pemeriksaan adalah transudat segar dari chancre pada infeksi

primer atau kondiloma lata pada infeksi sekunder. Hasil positif bila ditemukan spiroketa

yang motil, membentuk kumparan padat dan bergerak melengkung. Untuk penderita

dengan suspek neurosifilis, diagnosis ditegakkan dengan sampel dari cairan

cerebrospinal.

Tes serologis non treponema mendeteksi antibodi yang merupakan kompleks dari

lecitin, kolesterol dan kardiolipin dan digunakan untuk skrining adanya infeksi oleh T.

pallidum. Termasuk tes ini adalah Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) dan

Rapid Plasma Reagen (RPR) yang memberikan hasil positif setelah 4 – 6 minggu

terinfeksi (positif pada 70% pasien dengan lesi primer dan stadium lanjut). Tetapi tes ini

dapat memberikan positif palsu pada kondisi seperti kehamilan, kecanduan obat,

keganasan, penyakit autoimun dan infeksi virus.

Sedang tes serologis yang spesifik untuk infeksi treponema seperti Serum

Fluorecent-Treponemal Antibody absorbance test (FTA-ABS) dan

Microhemagglutination test dimana T. pallidum berfungsi sebagai antigen. Hasil tes non

treponema yang positif harus dikonfirmasi dengan tes treponema yang mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi. (Sacher R.A, McPerson R.A, 2004;

Mayo Clinic.com, 2006; htt p:/ /www.cdc. gov/st d/default .htm , 2008).

11

Page 13: Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

TERAPI DAN PROGNOSIS

Penicilin masih merupakan obat pilihan untuk penanganan sifilis. Sedang

antibiotik alternatif seperti derivat tetrasiklin, eritromicin dan ceftriaxon dapat digunakan

pada penderita yang alergi terhadap penicilin. Dosis dan lama terapi bervariasi tergantung

pada gejala klinik penderita, secara umum penyakit dengan stadium lebih lanjut

membutuhkan antibiotik dengan dosis yang lebih besar dan waktu yang lebih lama. Obat

lain yang dapat diberikan adalah antipiretik dan antihistamin.

Sifilis stadium primer, sekunder dan early laten akan sembuh sempurma dengan

pemberian antibiotik, sedang stadium late biasanya lebih sulit diterapi. Sifilis tertier

mempunyai tingkat mortalitas yang tinggi bila kelainan telah sampai pada sistim saraf

pusat (Bockenstedt L.K,2003; ht t p: / /ww w . c d c . g ov/s t d/de fa ul t .ht m , 2008, Mayo

Clinic. com, 2006, Healthcommunities.com, 2008).

KOMPLIKASI

Sifilis yang tidak diterapi dapat berkembang menjadi fase tertier dengan

timbulnya gumma dan sifilis kardiovaskuler yang dapat bersama-sama dengan

neurosifilis. Laki-laki lebih banyak berlanjut ke fase tertier dan mortalitasnya lebih

tinggi dibanding penderita wanita. Kerusakan jaringan yang irreversibel merupakan

karakteristik dari sifilis fase tertier dan sifilis kongenital meskipun telah mendapat terapi

antibiotik. Selain itu sifilis juga dapat menyebabkan komplikasi penyakit lain berupa

(w w w.dshs.st a te.t x .us /, 2008) :

1. Arthritis

2. Blindness

3. Heart disease

4. Mental illness

5. Death

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Penyakit sifilis dapat didifferential diagnosis dengan penyakit kelamin lain

seperti (http : // w w w. f p n otebook. c o m , 2008) :

1. G e ni t a l Ulc e r

2. G e ni t a l H e r p e s

3. Chancroid

12

Page 14: Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

4. V e n e r ea l W a rt

5. Lym pho gr anulom a vener eum

Al g o r i t me p e m e riks aa n S ifil i s

sumber: Mayo Clinic Proceeding, sept 2007

13

Page 15: Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

DAFTAR PUSTAKA

Aprianti S, Pakasi R, Hardjoeno, 2003. Tes Sifilis dan Gonorrhoe dalam Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik. Makassar: LEPHAS Unhas. Bockenstedt L.K, 2003. Spirochetal Diseases : Syphillis and Lyme Disease in Medical Immunology 10th ed, Mc Graw Hill.Ditjen PP&PL, 2005. Sifilis dalam Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Handojo I, 2004. Imunoasai Untuk Penyakit Sifilis dalam Imunoasai Terapan pada Beberapa Penyakit Infeksi. Surabaya : Airlangga University Press. Healthcommunities. Syphilis – Urologychannel. Healthcommunities.com, last modified. Diakses 25 Januari 2008.http: // e n . w i k i p ed ia. o r g/ V eneral Disease Research Laboratory test. Downloadtanggal 29 agustus 2008.h t t p ://en wikipedia.org/wiki/ Rapid plasma Reagin, last modified : Diakses 25Pebruari 2008.h t t p ://en. w i k i p e d ia.org / w i k i / . Wassermann test, last modified. Diakses 26 Agustus2008.http : // id.wikipedia.org / wiki / Treponema pallidum, last modified : 14 oktober2008http; // ww w . t h e f ree d ic t io n a r y. c o m / Syphillis. Download tgl 23 Agustus 2008http: // w w w . t h e f ree d i c tiona r y. c o m / Syphillis Symtom. Diakses tgl 22 Agustus2008http : // www. fpnotebook. com /ID/STD/Syphilis. Diakses 5 November 2008. h t t p ://w w w . c d c .gov/std / d e f a u lt.ht m , Sexually Tranmitted Diseases, last modified. Diakses 4 Januari 2008.LaSala P.R, Smith M.B, 2007. Spirochaete Infections in Henry’s Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods 21sted, Saunders Elsevier.Mayo Clinic.com. Syphilis: Screening and diagnosis – Mayo Clinic.com MedicalServices, update 27 0ct 2006.MayoClinic. Syphilis: Treatment. MayoClinic.com Medical Services. Diakses 27Oktobert 2006.Mayo Clinic. Syphilis Testing, ARUP Laboratories. Mayo Clinic Diakses 28 April2008.Natahusada EC, Djuanda A, 2005. Sifilis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi 4, Jakarta : Pen FK-UI.Palacios R et all., 2007. Impact of syphilis infection on HIV viral load and CD4 cell counts in HIV-infected patients. J Acq Immun Defic Synd 44: Maret.Sacher R.A, McPerson R.A, 2004. Diagnosis Serologik Infeksi Spesifik dalam Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi 11, EGC, 2004, 456 - 458 w w w . d s h s.sta te . t x. u s / hivstd, HIV / STD Facts. Diakses 5 November 2008.

14