aspek aspek biofarmasi

21
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebelum obat yang diberikan pada pasien tiba pada tujuannya dalam tubuh, yaitu tempat kerjanya atau targetsite, obat harus mengalami banyak proses. Secara umum, proses-proses ini dapat dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu fase biofarmasi, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik. Biofarmasi adalah bagian ilmu yang bertujuan menyelidiki pengaruh pembuatan sediaan obat atas kegiatan terapeutisnya. Efek obat tidak hanya bergantung pada faktor farmakologi saja, tetapi juga dari bentuk pemberian dan terutama dari formulasinya. B. Rumusan Masalah 1. Pengertian Biofarmasi? 2. Bagaimanakah konsep formulasi Obat dan Pharmaceutical Ability? 3. Bagaimanakah konsep biological availability? 1

Upload: murianda

Post on 19-Mar-2017

63 views

Category:

Science


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aspek aspek biofarmasi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum obat yang diberikan pada pasien tiba pada tujuannya dalam tubuh,

yaitu tempat kerjanya atau targetsite, obat harus mengalami banyak proses. Secara

umum, proses-proses ini dapat dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu fase biofarmasi,

fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik.

Biofarmasi adalah bagian ilmu yang bertujuan menyelidiki pengaruh

pembuatan sediaan obat atas kegiatan terapeutisnya. Efek obat tidak hanya

bergantung pada faktor farmakologi saja, tetapi juga dari bentuk pemberian dan

terutama dari formulasinya.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Biofarmasi?

2. Bagaimanakah konsep formulasi Obat dan Pharmaceutical Ability?

3. Bagaimanakah konsep biological availability?

1

Page 2: Aspek aspek biofarmasi

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Biofarmasi adalah ilmu yang bertujuan mempelajari pengaruh – pengaruh

pembuatan sediaan farmasi terhadap efek terapeutik obat. Sekitar tahun 1960 para

ahli mulai sadar bahwa efek obat tidak hanya tergantung pada faktor farmakologi,

melainkan juga pada bentuk pemberian dan terutama pada faktor formulasinya.

Faktor-faktor formulasi yang dapat merubah efek obat dalam tubuh adalah:

Bentuk fisik zat aktif (amorf atau kristal, kehalusannya)

Keadaan kimiawi (ester, garam, garam kompleks dsbnya)

Zat-zat pembantu (zat pengisi, pelekat, pelicin, pelindung dan sebagainya)

Proses teknik yang digunakan untuk membuat sediaan

Sebelum obat yang diberikan kepada pasien tiba pada tujuannya dalam tubuh, yaitu

tempat kerjanya atau reseptor, obat harus mengalami beberapa proses. Secara garis

besar proses-proses ini dapat dibagi dalam tiga tingkat yaitu:

Fasa biofarmasi

Fasa Farmakokinetik

Fasa Farmakodinamik

2

Page 3: Aspek aspek biofarmasi

Skema

Keterangan Skema :

Fasa Biofarmasi atau Farmasetika adalah fase yang meliputi waktu mulai

penggunaan obat melalui mulut sampai pelepasan zat aktifnya kedalam cairan

tubuh. Fase ini berhubungan dengan ketersediaan farmasi dari zat aktifnya dimana

obat siap diabsorbsi.

Fasa Farmakokinetika adalah fase yang meliputi semua proses yang

dilakukan tubuh, setelah obat dilepas dari bentuk sediaannya yang terdiri dari

absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.

3

Page 4: Aspek aspek biofarmasi

Fasa Farmakodinamika adalah fase dimana obat telah berinteraksi dengan

sisi reseptor dan siap memberikan efek.

Dalam biofarmasi ini kita akan mengenal beberapa istilah yang berhubungan

dengan aspek-aspek yang kita pelajari :

a) Ketersediaan farmasi  (Farmaceutical Availability)

Adalah ukuran waktu yang diperlukan oleh obat untuk melepaskan diri dari

bentuk sediaannya dan siap untuk proses resorpsi. Kecepatan melarut obat

tergantung dari berbagai bentuk sediaan dengan urutan sebagai berikut:

Larutan – suspensi – emulsi – serbuk – kapsul – tablet – enterik coated – long

acting.

b) Ketersediaan hayati (Biological Availability)

Adalah prosentase obat yang diresorpsi tubuh dari suatu dosis yang

diberikan dan tersedia untuk melakukan efek terapeutiknya.

c) Kesetaraan terapeutik (Therapeutical Equivalent)

Adalah syarat yang harus dipenuhi oleh suatu obat paten yang meliputi

kecepatan melarut dan jumlah kadar zat berkhasiat yang harus dicapai di dalam

darah. Kesetaraan terapeutik dapat terjadi pada pabrik yang berbeda atau pada batch

yang berbeda dari produksi suatu pabrik.

d) Bioassay dan standardisasi

Bioassay adalah cara menentukan aktivitas obat dengan menggunakan

binatang percobaan seperti kelinci, tikus, kodok dan lain-lain.

Standarisasi ialah kekuatan obat yang dinyatakan dalam Satuan Internasional atau

IU (International Unit) yang bersamaan dengan standart-standart internasional

4

Page 5: Aspek aspek biofarmasi

biologi dikeluarkan oleh WHO. Ukuran-ukuran standart ini disimpan di London dan

Copenhagen.

Tetapi setelah metode Fisiko-Kimia dikembangkan, bioassay mulai

ditinggalkan, begitu pula dengan penggunaan satuan biologi dan selanjutnya kadar

dinyatakan dalam gram atau miligram.

Obat yang kini masih distandarisasi secara biologi adalah insulin

(menggunakan kelinci), ACTH (menggunakan tikus), antibiotik polimiksin dan

basitrasin, vitamin A dan D, faktor pembeku darah, preparat-preparat antigen dan

antibody, digitalis dan pirogen.

Faktor formulasi yang dapat mengubah efek obat dalam tubuh adalah:

bentuk fisik zat aktif (amorf atau kristal, dan kehalusannya);

keadaan kimiawi (ester, garam, kompleks, dan sebagainya);

zat pembantu (zat pengisi, zat pelekat, zat pelicin, zat pelindung, dan lain

sebagainya);

proses teknik yang digunakan untuk membuat sediaan (tekanan mesin tablet,

alat emulgator, dan lain sebagainya).

B. Formulasi Obat dan Pharmaceutical Ability

Pharmaceutical ability (FA) merupakan ukuran bagian obat yang secara in

vitro dibebaskan dari bentuk pemberiannya dan tersedia untuk proses resorpsi,

misalnya dari tablet, kapsul, srbuk, suspensi, supositoria, dan sebagainya. Dengan

5

Page 6: Aspek aspek biofarmasi

kata lain, FA menyatakan kecepatan larut (dan jumlah) dari obat yang tersedia

secara in vitro dari sediaan farmaseutisnya.

Bentuk Tablet

Banyak penelitian mengenai FA telah dilakukan dengan tablet sebagai

bentuk sediaan paling umum. Setelah ditelan, tablet akan pecah (desintegrasi) di

lambung menjadi banyak granul kecil, yang terdiri dari zat akif dan zat pembantu

(gom, gelatin, tajin). Setelah granul pecah, maka zat aktif akan dibebaskan. Bila

daya larut zat aktif tersebut cukup besar, zat aktif akan melarut dalam cairan

lambung/usus, tergantung dimana obat saat itu berada. Hal ini ditentukan oleh

waktu pengosongan lambung (gastric emptying time), yang umumnya berkisar

antara 2 sampai 3 jam setelah makan. Setelah melarut, obat tersedia dan proses

resorpsi oleh usus dapat dimulai; peristiwa inilah yang disebut farmaceutical

availability.

Urutan Pelarutan

Untuk obat yang tahan getah lambung, kecepatan melarut dari berbagai

bentuk sediaan menurun sesuai urutan berikut:

larutan - suspensi - serbuk - kapsul - tablet - tablet salut film - dragee (tablet salut

gula) - tablet e.c. - tablet sustained release

Hal ini berarti tablet, walaupun murah dan praktis, agak lebih rendah efektivitasnya

sebagai bentuk sediaan dibandingkan dengan larutan, serbuk, atau kapsul. Inilah

sebabnya pula tablet tertentu harus dikunyah dahulu sebelum ditelan.

6

Page 7: Aspek aspek biofarmasi

Kehalusan Serbuk

Obat yang berbentuk kristal harus digiling sehalus mungkin agar

mempercepat pelarutannya dalam getah usus, sehingga dapat diserap dengan cepat.

Telah dibuktikan bahwa obat yang sangat halus dengan ukuran partikel 1-5 mikron

(microfine) mengahasilkan kadar darah 2-3 kali lebih tinggi. Dengan demikian

dosisnya dapat diturunkan 2-3 kali, misalnya griseofulvin, spironolakton, dan

digoksin. Zat amorf resorpsinya jauh lebih baik daripada kristal, sehingga pada

pembuatan suspensi harus dipilih metode khusus agar obat tetap berbentuk amorf,

misalnya suspensi sulfa atau kloramfenikol. Pada pembuatan obat untuk

penggunaan rektal (suppositoria), obat yang dihaluskan sering kali mengakibatkan

perlambatan dari ketersediaan biologisnya (BA, bioavailability). Syarat kehalusan

tidak berlaku bagi obat yang ditujukan untuk penggunaan lokal dalam usus dan

tidak boleh diserap, misalnya obat cacing (piperazin) atau kemoterapeutika untuk

melawan infeksi usus (kanamisin, neomisin).

Zat-Zat Pembantu

Pada tahun 1971, di Australia terjadi peristiwa difantoin (fenitoin), yaitu

ketika banyak pasien yang menelan tablet anti-epilepsi yang justru menimbulkan

gejala keracunan. kadar fenitoin tablet tersebut tepat, akan tetapi zat pengisi tablet,

kalsiumsulfat, telah diganti dengan laktosa. Akibat perubahan ini, BA fenitoin

meningkat, yang mengakibatkan kenaikan resorpsi dengan dosis toksis. Adanya zat-

zat dengan kegiatan permukaan (tween, span) atau zat hidrofil yang mudah larut

dalam air (polivinilpirolidon, carbawax) dapat mempercepat melarutnya zat aktif

dari tablet.

7

Page 8: Aspek aspek biofarmasi

Efek kebalikan terjadi bila zat-zat hidrofob (tidak suka air) digunakan pada

produksi tablet sebagai zat pelicin untuk mempermudah "mengalirnya" campuran

tablet ke tempat cetakan mesin dan mencegah pelekatan pada stempel. Zat-zat ini

(asam/magnesium stearat, dan lain sebagainya) dapat menghambat melarutnya zat

aktif. Oleh karena itu, sebaiknya zat-zat ini sesedikit mungkin dipakai pada

pembuatan tablet, kapsul, atau serbuk. Kini, sering digunakan aerosil (asam silikat

koloidal) sebagai zat pelicin dan anti lekat karena tidak menghambat melarutnya zat

aktif.

Zat pengikat (pada tablet) dan zat pengental (suspensi) seperti gom, gelatin,

dan tajin, umumnya juga memperlambat pelarutan obat, sedangkan desintegran

(berbagai jenis tepung, amilum) justru mempercepat. Maka semakin keras

pencetakan tablet, artinya menggunakan tekanan mesin yang tinggi, semakin sukar

zat aktif melarut. Begitu pula tablet yang disimpan lama sering kali mengeras dan

lebih sukar melarut.

Pengaruh zat pembantu penting dalam pembuatan suppositoria.

Dahulu,sediaan ini dibuat dengan oleum cacao sebagai basis. Namun, lemak ini bila

dicairkan pada suhu yang sedikit tinggi, sangat sukar untuk membeku kembali.

Oleh karena itu basis sintetis kini lebih disukai, seperti estarin, suatu ester dari

propilenglikol dengan asam lemak yang cocok sekali penggunaannya untuk daerah

tropis. Akan tetapi, ada beberapa obat yang sukar terbebas dari basis ini, seperti

obat rematik indometasin dan obat tidur khloralhidrat yang FA0nya lebih baik bila

digunakan dalam basis hidrofil (carbowax). Sebaliknya, suppositoria aminofin

sebaiknya dibuat dengan oleum cacao.

8

Page 9: Aspek aspek biofarmasi

Keadaan Fisiko-Kimia

Telah dibuktikan bahwa zat hidrat yang mengandung air kristal dalam

molekulnya lebih lambat di-resorpsi daripada zat tanpa air kristal, seperti

ampisilintrihidrat (Penbritin) dibandingkan ampisilin (Amfipen). Natriumedetat

(EDTA) dapat membentuk kompleks dengan banyak zat dan dengan demikian

mempercepat resorpsinya oleh usus, misalnya manitol dan heparin. Hormon

kelamin yang diuraikan getah lambung dapat diberikan peroral sebagai esternya

yang stabil, seperti etinilestradiol dan testerondekanoat, begitu pula eritromisin

yang diberikan sebagai esternya (stearat, estolat).

C. Biological Availability

Bioavailability (BA) adalah persentase obat yang diresorpsi tubuh dari suatu

dosis yang diberikan dan tersedia untuk melakukan efek terapeutisnya. Di beberapa

negara (AS, Jerman), BA mencakup pula kecepatan obat muncul di sirkulasi darah.

Biasanya, efek obat baru mulai terlihat setelah obat melalui sistem pembuluh porta

serta hati dan kemudian tiba di peredaran darah besar yang mendistribusikannya ke

seluruh jaringan.

BA dapat diukur secara in vivo (Dalam tubuh) dengan menentukan kadar

plasma obat seseudah teracapai steady state. Pada keadaan ini terjadi

kesetimbangan antara kadar obat di seluruh jaringan tubuh dan kadar darah yang

praktis konstan, karena jumlah zat yang diserap dan dieliminasi adalah sama. Kadar

plasma dan efek terapeutis pada umumnya memiliki suatu hubungan korelasi yang

9

Page 10: Aspek aspek biofarmasi

baik. Pengecualian terjadi pada obat hipertensi yang masih memiliki efek walaupun

kadarnya dalam plasma sudah tidak dapat diukur lagi.

Kadar dalam Air Liur

Telah dilakukan percobaan untuk menentukan kadar obat dalam air liur

secara lebih mudah dan sederhana daripada penentuan dalam plasma. Hal ini

dikarenakan pada sejumlah obat terdapat korelasi yang baik antara kadar obat dalam

air liur dan dalam plasma. Misalnya, perbandingan untuk fenitoin adalah lebih

kurang 1:10 bila contoh air liur diambil pagi hari sebelum menelan obat.

Perbandingan ini hampir sama dengan persentase obat bebas dalam plasma yang

tidak terikat antipirin, digoksin, barbital, dan protein, yaitu 10%. Hal ini berlaku

pula bagi hormon kelamin estron dan (dihidro)-testosteron.

Sebaliknya, FA hanya dapat ditentukan in vitro dalam laboratorium dengan

mengukur kecepatan melarutnya zat aktif dalam waktu tertentu (dissolution rate).

Pengukuran ini dilakukan dengan metode dan alat khusus menurut USP XVIII guna

meniru sejauh mungkin keadaan alami dalam saluran lambung-usus. Akan tetapi

cara penentuan yang mudah dan praktis ini hasilnya jarang menunjukkan korelasi

dengan kadar obat dalam plasma in vivo yang lebi sulit pelaksanaannya.

D. Kesetaraan Terapeutis

Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa dua tablet dengan zat aktif dan

dosis yang sama tetapi pabrik berlainan tidak selalu menghasilkan kadar obat dalam

darah dan efek yang sama pula. Sebagai akibat dari salah satu faktor tersebut, maka

10

Page 11: Aspek aspek biofarmasi

BA masing-masing tablet dapat berbeda. Bahkan adakalanya tablet dari satu pabrik

tetapi dari batch berlainan dapat berbeda BA-nya.

Kesetaraan terapeutis (therapeutical equivalence) dapat didefinisikan

sebagai kesetaraan pola kerja (kadar dan kecepatan resorsi) dari dua obat yang

berisi zat aktif dengan dosis yang sama. Hal ini sangat penting bagi sediaan obat

yang luas terapinya sempit, yang aktivitasnya tergantung pada kadar plasma yang

tetap. Contohnya adalah digoksin, antikoagulansia, dan deksametason. 

Banyak kejadian mengenai variasi BA menyebabkan syarat-syarat produk

tablet dipertajam. Selain itu diperkuat pula oleh farmakope yang memuat syarat-

syarat standar pemerikasaan tablet, tidak hanya mengenai kadar zat aktif dan

kesamaan kadar (content uniformity), melainkan juga mengenai kecepatan

pecahnya (dalam larutan getah lambung buatan) dan kecepatan larutnya dalam

getah usus buatan (dissolution rate).

Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, kesulitannya adalah jarang

sekali terdapat hubungan langsung antara dissolution rate in vitro dengan BA in

vivo. Hanya pada beberapa obat saja telah ditemukan korelasi ini, antara lain

digoksin, asetosal, griseofulvin, dan riboflavin. Cara satu-satunya untuk menjamin

efek terapeutis yang sama adalah melakukan tes klinis pada semua sediaan industri

dengan menentukan kadar darah pada orang-orang percobaan.

Oleh karena itu, di banyak negara Barat, misalnya di AS dan Belanda, obat

generik diharuskan memenuhi persyaratan ketat mengenai antara lain identitas,

kemurnian dan potensinya. Obat generik harus memperlihatkan efek klinis dan

11

Page 12: Aspek aspek biofarmasi

profil efek samping yang setara dengan obat patennya dan demikian harus dapat

menggantikannya pada semua indikasi yang teregistrasi.

Pada tahun 1980, Food & Drug Administration A.S. (FDA) telah

menerbitkan The Orange Book yang berisi obat-obat resmi dengan penilaian

Kesetaraan Terapeutis, yaitu obat-obat paten dengan obat-obat generiknya yang

secara terapeutis adalah ekivalen.

Nilai "A" (rating) diberikan pada obat generik bila kesamaan zat aktif dan dosisnya

telah dibuktikan secukupnya, sehingga tepat identik dengan obat paten yang

bersangkutan, dan memenuhi standar FDA yang sama mengenai bentuk sediannya

(dosage form).

Kode "AB" diberikan pada obat yang memiliki kesetaraan farmasetis dan

bioequivalensi dengan obat patennya. Bioekivalensi yang dimaksud adalah

kesetaraan farmasetis ditambah dengan bio-availability (BA).

Seperti telah dibicarakan, BA menentukan kecepatan dan derajat absorpsi obat pada

pemberian dalam dosis sama dan keadaan eksperimental yang sama pula.

Nilai "B" diberikan pada sediaan obat yang tidak atau belum tuntas dibuktikan

mengenai kesetaraan terapeutisnya; obat-obat ini masih membutuhkan penelitian

lebih lanjut sebelum dapat ditingkatkan ke nilai "A".

12

Page 13: Aspek aspek biofarmasi

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Biofarmasi adalah ilmu yang bertujuan mempelajari pengaruh – pengaruh

pembuatan sediaan farmasi terhadap efek terapeutik obat. Sekitar tahun 1960 para

ahli mulai sadar bahwa efek obat tidak hanya tergantung pada faktor farmakologi.

Pharmaceutical ability (FA) merupakan ukuran bagian obat yang secara in

vitro dibebaskan dari bentuk pemberiannya dan tersedia untuk proses resorpsi,

misalnya dari tablet, kapsul, srbuk, suspensi, supositoria, dan sebagainya.

Bioavailability (BA) adalah persentase obat yang diresorpsi tubuh dari suatu

dosis yang diberikan dan tersedia untuk melakukan efek terapeutisnya.

B. Saran

Melalui makalah yang singkat ini penulis menyarankan kepada segenap

pembaca agar merujuk kepadas sumber-sumber lain yang relevan untuk

mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.

13

Page 14: Aspek aspek biofarmasi

DAFTAR PUSTAKA

Shargel, L. Dan Andrew B.C.Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika

Terapan. Surabaya: Airlangga University Press.

Hakim, Lukman. 2002. Farmakokinetika. Bursa Buku. Yogyakarta

R, Husniah. 2007. Obat-Obat Penting. Elex Media Komputindo. Jakarta

14