asma bronkial
DESCRIPTION
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik yang ditandai dengan hipersensitivitas bronkusTRANSCRIPT
-
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA APRIL 2015
ASMA BRONKIAL
DISUSUN OLEH :
Andi Yaumil Aliyah Triningditya
(110 210 0073)
SUPERVISOR
Dr. dr. Harun Iskandar, Sp.P, Sp.PD, K-P
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2015
-
ASMA BRONKIAL
A. DEFINISI
Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasan yang
dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversible dan
gejala pernapasan. Di Amerika kunjungan pasien asma pada pasien berjenis kelamin
perempuan di bagian gawat darurat dan akhirnya memerlukan perawatan di rumah
sakit dua kali lebih banyak dari pada pasien pria.1
Asma menyebabkan gejala seperti wheezing, sesak napas, rasa berat di dada, dan
batuk yang dapat berubah berdasarkan kejadian, frekuensi, dan intensitasnya.2
Gejala ini berhubungan dengan perubahan kadar udara ekspirasi seperti susahnya
mengeluarkan udara dari paru-paru akibat bronkokonstriksi, dinding saluran napas yang
menebal, dan peningkatan produksi mukus. Beberapa variasi pada aliran udara juga bisa
terjadi pada orang yang tidak mengidap asma, akan tetapi kejadian ini lebih baik pada
asma.2
Meskipun asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, para ahli masih belum
sepakat mengenai definisi penyakit tersebut. Dari waktu ke waktu definisi asma terus
mengalami perubahan. Definisi asma ternyata tidak mempermudah membuat diagnosis
asma, sehingga secara praktis para ahli berpendapat : asma adalah penyakit paru
dengan karakteristik; 1). Obstruksi saluran napas yang reversibel (tetapi tidak lengkap
pada beberapa pasien) baik secara spontan maupun dengan pengobatan; 2). Inflamasi
saluran napas; 3). Peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan
(hipereaktivitas). Obstruksi saluran napas ini memberikan gejala-gejala seperti batuk,
mengi, dan sesak napas. Penyempitan saluran napas pada asma dapat terjadi secara
bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula
terjadi mendadak, sehingga menimbulkan kesulitan bernapas yang akut. Derajat
obstruksi dipengaruhi oleh diameter lumen saluran napas, edema dinding bronkus,
produksi mukus, kontraksi dan hipertropi otot polos bronkus. Diduga baik obstruksi
maupun peningkatan respon terhadap berbagai rangsangan didasari oleh inflamasi
saluran napas.3
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis
yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering
disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-
-
ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh
keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan
adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran
napas. Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat
patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi
kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa
berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya bersifat
reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. Karena dasar penyakit asma adalah
inflamasi, maka obatobat antiinflamasi berguna untuk mengurangi reaksi inflamasi pada
saluran napas. Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi yang paten dan banyak
digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini dapat diberikan secara oral, inhalasi
maupun sistemik.2
B. INSIDENSI
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur
pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak
ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause
perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari
dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak.
Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain di negara yang
sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7%.3
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada
anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International
Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma
sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma
pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak
SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta
Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.4
-
C. PATOMEKANISME
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat
selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut.
Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa
diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional
(KRF) dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total
(KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan
pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-
otot bantu napas.3
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif
dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa pada detik pertama) atau APE (Arus Puncak
Ekspirasi) sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan derajat
hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang
besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran
napas besar, sedangkan pada saluran napas kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan
dibanding mengi.3
Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Inflamasi
ditandai dengan adanya kalor, rubor, tumor, dolor, dan functio laesa. Akhir-akhir ini
terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi yaitu infiltrasi sel-sel radang. Ternyata
keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya baik yang
alergik maupun non-alergik.3
Triger (pemicu) yang berbeda-beda dapat menyebabkan eksaserbasi asma oleh
karena inflamasi saluran napas atau bronkospasme akut atau keduanya. Sesuatu yang
dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara satu individu dengan individu
yang lain dan dari satu waktu ke waktu yang lain. beberapa hal di antaranya adalah
alergen, polusi udara, infeksi saluran napas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat
atau ekspresi emosi yang berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan
eksaserbasi ini adalah rinitis, sinusitis bakterial, poliposis, menstruasi, refluks
gastroesophageal dan kehamilan. Mekanisme keterbatasan aliran udara yang bersifat
akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Alergen akan memicu terjadinya
bronkokonstriksi akibat dari pelepasan IgE dependent dari mast sel saluran pernapasan
-
dari mediator, termasuk di antaranya histamin, prostaglandin, leukotrin sehingga akan
terjadi konstraksi otot polos. Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini
kemungkinan juga terjadi oleh karena saluran pernapasan pada pasien asma sangat
hiperresponsif terhadap bermacam-macam jenis rangsangan. Pada kasus asma akut
mekanisme yang menyebabkan bronkokonstriksi terdiri dari kombinasi antara pelepasan
mediator sel inflamasi dan rangsangan yang bersifat lokal atau refleks saraf pusat.
Akibatnya keterbatasan aliran udara timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding
saluran napas dengan atau tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan
kebocoran mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengkakan pada sisi
luar otot polos saluran pernapasan.1
Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progresif yang disebabkan oleh
inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus otot polos bronkhioler
merupakan gejala serangan asma akut dan berperan terjadap peningkatan resistensi
aliran, hiperinflasi pulmoner dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q). Apabila
tidak dilakukan koreksi terhadap obstruksi saluran pernapasan ini, akan terjadi gagal
napas yang merupakan konsekuensi dari peningkatan kerja pernapasan, inefisiensi
pertukaran gas dan kelelahan otot-otot pernapasan. Interaksi kardiopulmoner dan
sistem kerja paru sehubungan dengan obstruksi saluran napas. Obstruksi aliran udara
merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma akut. Gangguan ini akan
menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan dapat dinilai dengan tes
fungsi paru yang sederhana seperti peak expiratory flow rate (PEFR) dan FEV1 (Forced
Expiration Volume). Ketika terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi yang relatif cukup
berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil untuk mencegah
kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan terjadi hiperinflasi
dinamik. Besarnya hiperinflasi dapat dinilai dengan derajat penurunan kapasitas
cadangan fungsional dan volume cadangan. Fenomena ini dapat pula terlihat pada foto
thoraks, yang memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar dan diafragma
yang mendatar.1
Hipereaktivitas Saluran Napas (HSN)3
Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran napas pasien
asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia
(histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik, selain peka
-
terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga sangat peka terhadap alergen yang
spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat. Berbagai
keadaan dapat meningkatkan hipereaktivitas saluran napas seseorang, yaitu :
a. Inflamasi saluran napas : sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan
terbukti berkaitan erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh
fakta bahwa intervensi pengobatan dengan anti-inflamasi dapat menurunkan
derajat HSN dan gejala asma.3
b. Kerusakan Epitel : salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada
asma kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini
akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan
iritasi ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah terangsang. Sel-sel epitel
bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator yang dapat bersifat sebagai
bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel bronkus akan mengakibatkan
bronkokonstriksi lebih mudah terjadi. 3
c. Mekanisme neurologis : pada pasien asma terdapat peningkatan respons saraf
parasimpatis. 3
d. Gangguan intrinsik : otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada
saluran napas diduga berperan pada HSN. 3
e. Obstruksi saluran napas : meskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran napas
diduga ikut berperan pada HSN. 3
D. DIAGNOSIS
Asma akut merupakan kegawatdaruratan medis yang harus segera didiagnosis
dan diobati. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.1
-
Alur Diagnostik Asma Pada Praktek Di Lapangan
GINA Pocket June 11st, 20142
Riwayat Penyakit
Tujuannya untuk menentukan waktu saat timbulnya serangan dan beratnya
gejala, terutama untuk membandingkan dengan eksaserbasi sebelumnya, semua obat
yang digunakan selama ini, riwayat di Rumah Sakit sebelumnya, kunjungan ke gawat
darurat, riwayat episode gagal napas sebelumnya (intubasi, penggunaan ventilator) dan
gangguan psikiatrik atau psikologis. Tidak adanya riwayat asma sebelumnya terutama
pada pasien dewasa, harus dipikirkan diagnosis banding lainnya seperti gagal jantung
kongestif, PPOK, dan lainnya.1,2
Riwayat penyakit / gejala :5
Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
Pasien dengan gangguan pernapasan Apakah termasuk gejala asma?
Anamnesis dan pemeriksaan detail untuk asma Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang
mendukung diagnosis asma?
Pemeriksaan spirometri Hasil yang mendukung diagnosis asma?
Anamnesis dan pemeriksaan lanjutan untuk diagnosis lainnya
Diagnosis lainnya terkonfirmasi?
Pengobatan ASMA
Ulangi pada pertemuan berikutnya atau lakukan pemeriksaan lainnya Konfirmasi diagnosis asma?
Terapi empirik dan penggunaan SABA Lihat responnya
Pemeriksaan diagnostik selama 1-3 bulan Pertimbangkan pengobatan untuk diagnosis yang mirip atau lebih baik
lakukan investigasi lanjutan
Obati untuk diagnosis alternatif lainnya
Ya Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
-
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :5
Riwayat keluarga (atopi)
Riwayat alergi / atopi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangan penyakit dan pengobatan
Pemeriksaan Fisis
Perhatian terutama ditujukan kepada keadaan umum pasien. Pasien dengan
kondisi sangat berat akan duduk tegak. Penggunaan otot-otot tambahan untuk
membantu bernapas juga harus menjadi perhatian, sebagai indikator adanya obstruksi
yang berat. Adanya retraksi otot sternokleidomastoideus dan supra sternal
menunjukkan adanya kelamahan fungsi paru.1,2
Frekuensi pernapasan Respiratory Rate (RR) > 30x/menit, takikardi > 120x/menit
dan pulsus paradoxus > 12mmHg merupakan tanda vital adanya serangan asma akut
berat. Lebih dari 50% pasien dengan asma akut berat, frekuensi jantungnya berkisar
antara 90-120 x/menit. Umumnya keberhasilan pengobatan terhadap obstruksi saluran
pernapasan dihubungkan dengan penurunan frekuensi denyut jantung, meskipun
beberapa pasien tetap mengalami takikardi oleh karena efek bronkotropik dan
bronkodilator.1,2
Pengukuran saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SPO2) perlu dilakukan pada
seluruh pasien dengan asma akut untuk mengekskusi hipoksemia. Pengukuran SpO2
diindikasikan saat kemungkinan pasien jatuh ke dalam gagal napas dan kemudian
memerlukan penatalaksanaan yang lebih intensif.1,2
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisis pasien asma, tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan
cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma. Dalam praktek jarang dijumpai
kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien bukan
asma mempunyai mengi, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis.3
-
Pemeriksaan Penunjang
Spirometri
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma adalah
melihat respons pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan
sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer) golong
adrenergik beta. Peningkatan VEP1 sebanyak 12% atau (200ml) menunjukkan
diagnosis asma. Tetapi respons yang kurang dari 12% atau 200ml, tidak berarti bukan
asma. Hal-hal tersebut dapat dijumpai pada pasien yang sudah normal atau mendekati
normal. Demikian pula respons terhadap bronkodilator tidak dijumpai pada obstruksi
saluran napas yang berat, oleh karena obat tunggal bronkodilator tidak cukup kuat
memberikan efek yang diharapkan. Untuk melihat reversibilitas pada hal yang
disebutkan di atas mungkin diperlukan kombinasi obat golongan adrenergik beta,
teofillin dan bahkan kortikosteroid untuk jangka waktu pengobatan 2-3 minggu.
Reversibilitas dapat terjadi tanpa pengobatan yang dapat dilihat dari hasil pemeriksaan
spirometri yang dilakukan pada saat yang berbeda-beda misalnya beberapa hari atau
beberapa bulan kemudian.3,5
Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis, juga penting
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Kegunaan spirometri pada asma
dapat disamakan dengan tensimeter pada penatalaksanaan hipertensi atau glukometer
pada diabetes melitus. Banyak pasien asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi. Hal ini mengakibatkan pasien mudah mendapat
serangan asma dan bahkan bila berlangsung lama atau kronik dapat berlanjut menjadi
penyakit paru obstruktif kronik.3,5
Uji Provokasi Bronkus
Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas
bronkus dilakukan uji provokasi bronkus. Ada beberapa cara untuk melakukan uji
provokasi bronkus seperti uji provokasi dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani,
udara dingin, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata. Penurunan
VEP1 sebesar 20% atau lebih dianggap bermakna. Uji dengan kegiatan jasmani,
dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit sehingga mencapai
denyut jantung 80-90% dari maksimum. Dianggap bermakna bila menunjukkan
-
penurunan APE (Arus Puncak Ekspirasi) paling sedikit 10%. Akan halnya uji provokasi
dengan alergen, hanya dilakukan pada pasien yang alergi terhadap alergen yang diuji.3,5
Pemeriksaan Sputum
Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat
dominan pada bronkhitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot-
Leyden, dan Spiral Curshmann; pemeriksaan ini juga penting untuk melihat adanya
Miselium Aspergillus Fumigatus.3,5
Pemeriksaan Eosinofil Total
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan hal ini
dapat membantuk dalam membedakan asma dari bronkitis kronik. Pemeriksaan ini juga
dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid
yang dibutuhkan pasien asma.3,5
Uji Kulit
Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam
tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji alergen yang positif tidak selalu
merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya.3,5
Pemeriksaan Kadar IgE Total dan IgE Spesifik Dalam Sputum
Kegunaan peeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi.
Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat dilakukan
atau hasilnya kurang dapat dipercaya.3,5
Foto Rontgen Dada
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran
napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma
seperti pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain.3,5
Analisis Gas Darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal serangan,
terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2
-
E. KLASIFIKASI ASMA2,3,5
Pada sebagian besar pasien dengan intervensi obat asma dan hubungan dokter
pasien yang baik, tujuan pengobatan asma dapat tercapai. Pengobatan merupakan
proses yang berkesinambungan. Bila dengan obat yang diberikan saat ini asma belum
terkontrol, dosis atau jenis obat ditingkatkan. Bila kontrol asma dapat tercapai dan
dapat dipertahankan terkontrol paling tidak selama 3 bulan maka tingkat pengobatan
asma dapat dicoba untuk diturunkan. Sebaliknya bila respons pengobatan belum
memadai tingkat pengobatan dinaikkan. Pada tingkat berapa pengobatan untuk
mencapai kontrol dimulai, tergantung berat atau tidaknya kontrol asma.
Tingkatan Kontrol Asma
Karakteristik Kontrol Penuh Terkontrol Sebagian Tidak Terkontrol
Gejala Harian Tidak ada (2x/mggu) >2x/minggu 3
Keterbatasan Aktivitas Tidak Ada Ada
Gambaran asma
terkontrol sebagian
ada dalam setiap
minggu
Gejala Nokturnal/
Terbangun Karena Asma Tidak ada Ada
Kebutuhan Pelega
(Releiver) Tidak ada (2x/mggu) >2x/minggu
Fungsi Paru (APE/VEP1) Normal
-
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan
gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan; dan pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah gambaran
klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam
pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Tabel 6
menunjukkan bagaimana melakukan penilaian berat asma pada penderita yang sudah
dalam pengobatan. Bila pengobatan yang sedang dijalani sesuai dengan gambaran klinis
yang ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat. Contoh seorang penderita dalam
pengobatan asma persisten sedang dan gambaran klinis sesuai asma persisten sedang,
maka sebenarnya berat asma penderita tersebut adalah asma persisten berat. Demikian
pula dengan asma persisten ringan. Akan tetapi berbeda dengan asma persisten berat
dan asma intemiten (lihat tabel 6). Penderita yang gambaran klinis menunjukkan asma
persisten berat maka jenis pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak
mempengaruhi penilaian berat asma, dengan kata lain penderita tersebut tetap asma
persisten berat. Demikian pula penderita dengan gambaran klinis asma intermiten yang
mendapat pengobatan sesuai dengan asma intermiten, maka derajat asma adalah
intermiten.
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
I. Intermitten Bulanan APE 80%
Gejala <
1x/minggu
Tanpa gejala di
luar serangan
Serangan singkat
2 kali sebulan VEP1 80% nilai
prediksi APE
80% nilai terbaik
Variabiliti APE <
20 %
II. Persisten Ringan Mingguan APE > 80%
Gejala >
1x/minggu, terapi
2kali sebulan VEP1 80% nilai
prediksi APE
80% nilai terbaik
Variabiliti APE
20-30%
-
aktivitas dan tidur
III. Persisten Sedang Harian APE 60-80%
Gejala setiap hari
Serangan
mengganggu
aktivitas dan tidur
Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
> 1kali seminggu VEP1 60-80%
nilai prediksi APE
60-80% nilai
terbaik
Variabiliti APE
>30%
IV. Persisten Berat Kontinyu APE 60%
Gejala terus
menerus
Sering Kambuh
Aktivitas fisik
terbatas
Sering VEP1 60% nilai
prediksi APE
60% nilai terbaik
Valiabiliti APE >
30%
F. SERANGAN ASMA AKUT (EKSASERBASI ASMA)
Serangan asma ditandai dengan gejala sesak napas, batuk, mengi, atau kombinasi
dari gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai
berat yang dapat mengancam jiwa. Serangan bisa mendadak atau bisa juga perlahan-
lahan dalam jangka waktu berhari-hari. Satu hal yang perlu diingat bahwa serangan
asma akut menunjukkan rencana pengobatan jangka panjang telah gagal atau pasien
sedang terpajan faktor pencetus.3
Tujuan pengobatan serangan asma yaitu :
- Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera
- Mengatasi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke arah normal secepat mungkin
- Mencegah terjadinya serangan berikutnya
- Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya mengenai cara-cara
mengatasi dan mencegah serangan asma
Dalam penatalaksanaan serangan asma perlu diketahui lebih dahulu derajat
beratnya serangan asma baik berdasarkan cara bicara, aktivitas, tanda-tanda fisis, nilai
-
APE, dan bila mungkin analisis gas darah. Hal lain yang juga perlu diketahui apakah
pasien termasuk pasien asma yang berisiko tinggi untuk kematian karena asma, yaitu
pasien dengan :
- Sedang memakai atau baru saja lepas dari kortikosteroid sistemik
- Riwayat rawat inap atau kunjungan ke unit gawat darurat karena asma dalam
setahun terakhir
- Gangguan kejiwaan atau psikososial
- Pasien yang tidak taat mengikuti rencana pengobatan.
Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma2,3,5
Klasifikasi Ringan Sedang Berat
Aktivitas Dapat berjalan, dapat
berbaring
Jalan terbatas, lebih
suka duduk
Sukar berjalan,
duduk
membungkuk ke
depan
Bicara Beberapa kalimat Kalimat Terbatas Kata demi kata
Kesadaran Mungkin Terganggu Biasanya Terganggu Biasanya terganggu
Frekuensi Napas Meningkat Meningkat Sering > 30
kali/meniit
Retraksi Otot-otot
bantu napas Umumnya tidak ada Kadang ada Ada
Mengi Lemah sampai sedang Keras Keras
Frekuensi Nadi < 100 kali/menit 100-200 kali/menit >120 kali/menit
Pulsus Paradoksus Tidak ada Mungkin ada (10-25
mmHg)
Sering ada (>
25mmHg)
APE sesudah
bronkodilator >80% 60-80%
-
mengurangi inflamasi serta mencegah kekambuhan dengan memberikan kortikosteroid
sistemik. Pemberian oksigen 1-3 liter/menit, diusahakan mencapai SaO2 92%, sehingga
bila penderita telah mempunyai SaO2 92% sebenarnya tidak lagi membutuhkan
inhalasi oksigen.
Bronkodilator khususnya agonis beta 2 hirup (kerja pendek) merupakan obat anti-
asma pada serangan asma, baik dengan MDI atau nebulizer. Pada serangan asma ringan
atau sedang, pemberian aerosol 2-4 kali setiap 20 menit cukup memadai untuk
mengatasi serangan. Obat-obat anti asma yang lain seperti antikolinergik hirup, teofilin,
dan agonis beta 2 oral merupakan obat-obat alternatif karena mula kerja yang lama
serta efek sampingnya yang lebih besar. Pada serangan asma yang lebih berat, dosis
agonis beta 2 hirup dapat ditingkatkan. Sebagian peneliti menganjurkan pemberian
kombinasi Ipratropium bromida dengan salbutamol, karena dapat mengurangi
perawatan rumah sakit dan mengurangi biaya pengobatan.
Kortikosteroid sistemik diberikan bila respon terhadap agonis beta 2 hirup tidak
memuaskan. Dosis prednisolon yang diberikan berkisar antara 0,5-1mg/kgBB atau
ekuvalennya. Perbaikan biasanya terjadi secara bertahap, oleh karena itu pengobatan
diteruskan untuk beberapa hari. Tetapi bila tidak ada perbaika atau minimal, pasien
segera dirujuk ke fasilitas pengobatan yang lebih baik.
-
Penanganan Eksaserbasi Asma Pada Pelayanan Primer2
PELAYANAN PRIMER : Status pasien dengan eksaserbasi asma akut atau sub-akut.
RINGAN atau SEDANG Bicara dalam kalimat, dapat duduk atau berbaring, takipneu, tidak ada penggunaan alat bantu napas, nadi
100-120x/m, saturasi O2 90-95%, APE >50% nilai terbaik
BERAT Bicara kata per kata, duduk bertopang
dagu, pernapasan >30x/m, ada penggunaan alat bantu napas, nadi
>120x/m, saturasi O2 60-80% nilai prediksi Controller : mulai, atau bertahan, cek Saturasi O2 >94% teknik inhaler Ventilasi di rumah adekuat Prednisolon : lanjutkan, Selama 5-7 hari Follow up : 2-7 hari
FOLLOW UP Reliever : kurangi sesuai kebutuhan Pengontrol : lanjutkan dosis yang lebih tinggi untuk jangka pendek (1-2 minggu) atau jangka panjang (3 bulan), bergantung pada dasar eksaserbasi Faktor resiko : periksa dan koreksi faktor resiko yang bisa diatasi yang berhubungan dengan eksaserbasi, termasuk teknis dan kepatuhan penggunaan inhaler Rencana lanjutan : apakah pasien mengerti? Apakah digunakan dengan baik? Apakah asma termodifikasi?
Gawat
Memburuk
Memburuk
Membaik
TENTUKAN PASIENNYA : Apakah asma? Faktor resiko asma dengan henti napas? Berat dari eksaserbasi?
-
G. PENATALAKSANAAN
Pendekatan bertahan untuk penyesuaian pengobatan2
Ketika pengobatan asma sudah dimulai, keputusan selanjutnya didasari oleh
lingkaran penilaian, penyesuaian pengobatan dan peninjauan respon. Pengobatan
khusus pada setiap langkah telah dirangkum, yaitu :
Langkah 1 : SABA sesuai kebutuhan tanpa pengontrol (ini diindikasikan hanya
untuk gejala yang jarang terjadi, tidak ada gejala nokturnal atau terbangun saat malam
karena asma, tidak ada eksaserbasi pada satu tahun terakhir, dan VEP1 normal). Pilihan
lainnya : dosis rendah ICS teratur untuk pasien dengan faktor resiko eksaserbasi.
Langkah 2 : Dosis rendah ICS teratur ditambah SABA sesuai kebutuhan
Pilihan lain : LTRA kurang efektif dibandingkan ICS; ICS/LABA memberikan
perbaikan yang lebih cepat pada gejala dan VEP1 daripada penggunaan ICS saja, tetapi
lebih mahal dan angka eksaserbasinya sama. Untuk alergi asma musiman murni, mulai
ICS segera dan hentikan 4 minggu setelah selesai paparan.
Langkah 3 : Dosis rendah ICS/LABA sebagai pengobatan pemeliharaan ditambah
SABA sesuai kebutuhan, atau sebagai ICS/formoterol dan terapi pelega. Atau
BUD/formoterol dan strategi pelega lebih efektif dibandingkan perawatan ICS/LABA
dengan SABA sesuai kebutuhan. Pilihan lainnya : dosis medium ICS.
Langkah 4 : dosis rendah perawatan ICS/formoterol dan terapi pelega, atau
dosis sedang ICS/LABA sebagai pemeliharaan ditambah SABA sesuai kebutuhan.
Pilihan lainnya : dosis tinggi ICS/LABA, tetapi efek samping lebih dan sedikit keuntungan
ekstra; pengontrol tambahan contohnya LTRA atau tiofilin kerja lambat (dewasa), anak-
anak (6-11 tahun). Hanya ditujukan untuk perawatan ahli dan saran.
Langkah 5 : Hanya ditujukan pada investigasi ahli dan pengobatan tambahan.
Pengobatan tambahan termasuk anti-IgE untuk alergi asma berat. Pemeriksaan sputum,
jika tersedia, meningkatkan hasil. Pilihan lain : beberapa pasien mungkin berguna pada
dosis rendah ICS tapi efek sistemik jangka panjang dapat terjadi.
-
Penggunaan Pilihan Pengontrol
Langkah 1 Langkah 2 Langkah 3 Langkah 4 Langkah 5
Dosis rendah ICS Dosis rendah
ICS/LABA
Dosis sedang/tin
ggi ICS/LABA
Sarankan penambahan pengobatan seperti anti-
IgE
Pilihan kontroler lainnya
Pertimbangkan dosis rendah
ICS
Reseptor antagoni leukotrin (LTRA),
dosis rendah teofilin
Dosis sedang/tinggi
ICS, dosis rendah ICS + LTRA (atau +
Teofilin)
Dosis tinggi ICS/LTRA (atau + teofilin)
Tambah dosis rendah OCS
Pelega Beta 2 agonis sesuai kebutuhan
(SABA) SABA sesuai kebutuhan atau dosis rendah
ICS/Formoterol
GINA Pocket June, 11st 20142
Berdasarkan patogenesis yang telah dikemukakan, strategi pengobatan asma
dapat ditinjau dari berbagai pendekatan. Seperti mengurangi respons saluran napas,
mencegah ikatan alergen dengan IgE, mencegah pelepasan mediator kimia, dan
merelaksasi otot-otot polos bronkus.
Mencegah Ikatan Alergen-IgE2,3
Hiposensitisasi dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin
ditingkatkan diharapkan tubuh akan membentuk IgG yang mencegah ikatan alergen
dengan IgE pada sel mast.
Mencegah Pelepasan Mediator2,3
Premedikasi dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus yang
dicertuskan oleh alergen. Natrium kromolis mekanisme kerjany diduga mencegah
pelepasan mediator dari mastosis. Obat tersebut tidak dapat mengatasi spasme bronkus
Periksa Respon
Nilai
Gejala eksaserbasi Efek samping
Kepuasan pasien Fungsi paru
Diagnosis Gejala terkontrol dan faktor
resiko (termasuk fungsi paru) Teknis inhalasi dan kepatuhan
Pilihan pasien
Sesuaikan Terapi
Modifikasi asma Strategi non farmakologi Obati faktor resiko yang
dapat diobati
-
yang telah terjadi. Oleh karena itu hanya dipakai sebagai obat profilaktik pada terapi
pemeliharaan.
Melebarkan Saluran Napas dengan Bronkodilator2,3
Simpatomimetik : 1). Agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol)
merupakan obat-obat pilihan untuk mengatasi serangan akut. Dapat diberikan secara
inhalasi melalu MDI atau nebulizer. 2). Epinefrin diberikan subkutan sebagai pengganti
agonis beta 2 pada serangan asma yang berat. Aminofilin dipakai sewaktu serangan
asma akut. Diberikan dosis awal, diikuti dengan dosis pemeliharaan. Kortikosteroid
sistemil, dapat melebarkan saluran napas secara tidak langsung diapakai pada serangan
asma akut atau terapi pemeliharaan asma yang berat. Antikolinergik terutama dipakai
sebagai suplemen bronkodilator agonis beta 2 pada serangan asma.
-
PENCEGAH (CONTROLLER)2,3,5
Obat oat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan agar gejala asma persisten tetap
terkendali. Termasuk golongan ini yatu obat-obat anti inflamasi dan bronkodilator kerja
panjang. obat anti inflamasi khususnya kortikosteroid hirup adalah obat yang paling
efektif sebagai pencegah. Termasuk golongan pencegah adalah kortikosteroid hirup,
kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat,
agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral, dan obat-obat
anti alergi, falmaterol antileukotrien dan anti IgE.
-
PDPI 20095
-
PDPI 20095
PENGHILANG GEJALA (RELEIVER)
Obat penghilang gejala yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi bronkokonstriksi
dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan segera. Termasuk dalam golongan ini
yaitu agonis beta 2 hirup kerja pendek, kortikosteroid sistemik, anti kolinergik hirup,
teofilin kerja pendek, agonis beta 2 oral kerja pendek.
Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan
obat terpilih untuk gejala asma akut, serta dapat mencegah serangan asma karena
kegiatan jasmani bila diberikan sebelum kegiatan jasmani. Agonis beta 2 hirup juga
diapkai sebagai penghilang gejala pada asma episodik.
Peran kortikosteroid sistemik pada asma akut adalah untuk mencegah perburukan
gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung mencegah atau mengurangi
frekuensi perawatan di ruang rawat darurat atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau
ipratropium bromida selain dipaai sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada
-
asma akut, juga dipakai sebagai obat alternatif pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi efek samping agonis beta 2. Teofilin maupun agonis beta 2 oral dipakai
pada pasien yang secara teknis tidak bisa memakai sediaan hirup.
-
PDPI 20095
-
DAFTAR PUSTAKA
1. Riyanto Bambang Sigit, Barmawi Hisyam. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut.
Dalam : Sudoyo W et all (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.
Jakarta : Interna Publishing, 2009; h. 2220-5
2. J. Mark FitzGeral et all (eds). Pocket Guide for Asthma Management and
Prevention. GINA (Global Initiative for Asthma). 2014.
3. Sundaru Heru, Sukamto. Asma Bronkial. Dalam : Sudoyo W et all (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing, 2014; h. 478-88
4. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar
SP, et al. Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. In: Shaikh WA.editor.
Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vicas Medical
Publishers; 2012.707-36.
5. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia (PDPI). 2009.