artikel pocari sweat

Download artikel pocari sweat

If you can't read please download the document

Upload: ressa-lesmana-prakesa

Post on 30-Jun-2015

1.105 views

Category:

Documents


28 download

TRANSCRIPT

Keberhasilan Pocari Sweat mengembangkan pasar minuman isotonik menarik beberapa pemain baru. Diferensiasi dan harga yang relatif lebih murah menjadi andalan par a penantang. Ada gula, ada semut, bunyi pepatah lama itu rasanya sangat pas untuk menggambark an persaingan di kategori minuman isotonik. Lima tahun lalu, selain Pocari Sweat , hampir tidak ada pemain yang melirik kategori produk ini. Alhasil, Pocari pun harus berjuang sendiri untuk mengembangkan pasar minuman yang berfungsi sebagai pengganti ion tubuh, setelah melakukan aktivitas.

Jalan terjal dan berliku harus dilalui oleh PT Amerta Indah Otsuka (AIO) -- prod usen dan pemasar Pocari Sweat. Bahkan, perusahaan asal Negeri Sakura ini sempat frustrasi karena pasar produknya tak kunjung berkembang. Sejak diluncurkan awal tahun 1990-an, penjualan Pocari tak kunjung take off, padahal potensi pasarnya a matlah besar. Itu pula yang menyebabkan Ajinomoto menyerah di tahun yang sama, 1990-an, setelah mencoba menggarap kategori produk ini.

Saat awal penetrasi, persepsi masyarakat di Indonesia terhadap Pocari Sweat masi h kabur. Pocari disejajarkan dengan minuman ringan lain atau bahkan dengan air m ineral, seperti Coca-Cola, Sprite, Fanta, Aqua atau Vit. Padahal, Pocari merupak an minuman isotonik, yakni minuman pengganti ion tubuh untuk kesehatan dan keb ugaran.

AIO pun tak henti-hentinya melakukan edukasi pasar. Berbagai kegiatan komunikasi pemasaran digelar, mulai dari iklan di TV, media cetak, hingga berbagai kegiata n below the line dengan menghabiskan biaya miliaran rupiah.

Upaya yang tak kenal lelah itu akhirnya berbuah manis. AIO sepertinya memperoleh second wind. Dalam tiga tahun terakhir, penjualan Pocari Sweat mendadak mening kat tajam. Setiap tahunnya terjadi pertumbuhan penjualan di atas 50%. Bahkan, pe ningkatan penjualan yang amat besar itu memaksa AIO untuk membangun pabrik baru dalam upaya meningkatkan kapasitas produksinya.

Puncaknya, pada pertengahan tahun ini, AIO mengumumkan rencana penambahan invest asi sebesar US$ 2 juta, yang salah satunya ditujukan untuk meningkatkan kapasita s produksi. "Saat ini kapasitas produksi kami sekitar 14 juta kaleng per bulan, dengan adanya investasi baru diharapkan kapasitas produksi bisa ditingkatkan men jadi 28 juta kaleng per bulan," ujar Djaka Widyantara, Kepala Bagian Perencanaan dan Analisis AIO beberapa waktu lalu.

Indonesia merupakan pasar ketiga terbesar Pocari Sweat di Asia setelah Jepang da n Korea Selatan. Pada 2004, total penjualan domestik Pocari mencapai 100 juta ka leng dan 6,5 juta sachet. "Tahun ini, diharapkan menjadi kurang-lebih 150 juta k aleng dan 7,5 juta sachet," tambah Djaka.

Namun, Pocari Sweat tidak bisa berlama-lama menikmati hasil jerih payahnya sendi

rian. Tahun ini, dalam waktu yang hampir bersamaan beberapa pemain baru masuk un tuk menikmati manisnya pasar minuman isotonik. Bahkan, kategori ini menjadi lada ng baru yang banyak dibidik setelah kategori minuman energi yang mulai terlihat jenuh. Ada PT Nara Vini Eka Beverages yang meluncurkan Optima Sweat; PT Dankos L aboratories dengan X-Ion (baca: eksyen); Grup Kino dengan Kino Sweat; PT Triusah a Mitraraharja dengan Zporto; Mayora dengan Vita Zone; dan terakhir Aqua-Danone yang baru saja meluncurkan Mizone; serta beberapa pemain lain -- bahkan ada pema in yang hanya menggarap pasar daerah.

Pasar minuman isotonik mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan beberapa tahu n terakhir. Kami melihat ada peluang di kategori ini, khususnya pada segmen yang tidak terlayani oleh Pocari Sweat, ungkap Harry Sanusi, CEO Kino. Dia menambahka n, Pocari yang dipasarkan dengan harga Rp 3.500-an tidak bisa menjangkau konsume n menengah-bawah. Segmen pasar itulah yang kami bidik.

Berkaca pada kesuksesan Extra Joss pada tahap awal, Kino pun meluncurkan produkn ya dalam bentuk serbuk dan dikemas dalam sachet. Ini dimaksudkan untuk menekan co st, sehingga harga jual produk bisa ditekan. Kami mematok harga jual Rp 1.000/sa chet, ujar Harry. Apalagi konsumen juga sudah teredukasi oleh produk-produk minum an energi yang juga menggunakan kemasan sachet dan dalam bentuk serbuk.

Sama halnya dengan Kino, Dankos pun menempuh cara yang sama, yaitu menggunakan k emasan sachet dan dipasarkan dengan harga Rp 1.000/sachet. Bedanya, Dankos mema dukan produknya dengan minuman energi, sehingga konsumen tidak hanya memperoleh manfaat dari isotonik, tapi juga dapat memulihkan stamina.

Demikian pula dengan Mizone dan Zporto yang menambahkan unsur vitamin C dalam pr oduknya. Namun, kedua produk ini menggunakan kemasan botol, dan dipasarkan denga n harga yang relatif lebih murah dibanding Pocari Sweat. Hanya Optima Sweat yang jelas-jelas meniru Pocari, yaitu menggunakan kemasan kaleng (juga dengan warna biru), dan harga jualnya pun tak berbeda dari Pocari.

Harry mengatakan, memadukan dua kategori produk dalam satu produk tidak selamany a berhasil. Malah, sebagian besar gagal. Pasalnya, positioning produk menjadi ka bur, sehingga awareness-nya akan sulit menancap di benak konsumen. Kami memilih u ntuk bermain aman, yaitu dengan mencontoh market leader tapi dalam kemasan dan h arga yang berbeda. Kalau pun ada perbedaan, hanya dalam urusan rasa, paparnya.

Simon Jonatan, CEO Brandmaker mengatakan bahwa diferensiasi memang merupakan hal yang penting. Namun menurutnya diferensiasi tidak bisa sekadar berbeda. Diferens iasi harus lebih dahulu diuji pada konsumen. Apakah value yang ditawarkan itu di persepsi penting atau tidak? ujarnya.

Lagi pula, lanjut Simon, diferensiasi juga harus disesuaikan dengan kategori pro duk yang dimasuki. Dan, khusus untuk kategori produk ini, diferensiasi tidaklah terlalu diperlukan. Diferensiasi malah bisa menjadikan positioning-nya kabur.

Menurut Simon, di sinilah kehebatan Pocari Sweat. Ia merupakan trust brand, buka n taste brand, yang mana ia konsisten dan tidak terbujuk untuk mengeluarkan prod uk dalam berbagai rasa. Dia isotonik yang dijual efficacy (kemujaraban Red.), tuka snya. Karenanya, menurut Simon, Optima Sweat yang nyata-nyata meniru Pocari mem iliki potensi yang cukup besar untuk berkembang.

Sayang, munculnya pemain-pemain baru ini tidak dibarengi dengan aktivitas pemasa ran yang gencar. Hanya X-Ion yang terbilang cukup gencar dalam beraktivitas prom osi, sedangkan yang lain terkesan masih malu-malu bahkan ada yang tidak (belum) berpromosi sama sekali. Sebagai late commer, seharusnya para pemain baru ini lebi h gencar dalam berpromosi untuk membangun awareness, ujar Sumardi, pengamat pemas aran dari lembaga konsultan MarkPlus & Co.

Dengan aktivitas promosi yang efektif, lanjut Sumardi, maka produk-produk baru i ni tidak akan tenggelam oleh kebesaran Pocari Sweat. Akan tetapi, dengan aktivit as promosi yang seadanya seperti yang dilakukan saat ini, malah akan menguntungk an Pocari Sweat, yang sudah menjadi top of mind minuman isotonik.

Simon sependapat dengan Sumardi. Menurutnya, untuk menggoyahkan Pocari Sweat yan g telanjur sangat dipercaya konsumen bukanlah pekerjaan mudah, dan tidak dapat d ilakukan dalam waktu yang singkat. Karena itu, dibutuhkan napas panjang dan juga bujet yang cukup besar. Harus sabar. Pocari saja bisa sampai seperti sekarang bu tuh waktu lebih dari 10 tahun, katanya.

Apa yang diutarakan Simon boleh jadi benar. Harry pun amat sadar akan hal itu. S ayang, Kino tidak punya bujet berlimpah untuk produknya ini. Maka, aktivitas pro mosi above the line tidak menjadi fokus utamanya. Kegiatan promosi Kino lebih di arahkan pada below the line, yaitu dengan melakukan sampling langsung pada targe t pasar utamanya.

Harry mengatakan, saat ini fokus utama Kino lebih pada distribusi. Apalagi foku s utama Kino adalah segmen menengah, yang lebih banyak memanfaatkan channel pasa r tradisional. Untuk sampai ke konsumen yang kami bidik, layer yang harus kami le wati cukup panjang. Ini salah satu kendala yang harus kami hadapi, Harry mengakui .

Ia menerangkan, saat ini coverage Kino Sweat baru mencapai 15%-20% pasar. Karena nya akan sia-sia jika Kino jorjoran dalam beriklan. Kami lebih melihat pada strat egi jangka panjang, katanya.

Munculnya pemain-pemain baru ini tidak meresahkan AIO. Menurut Djaka, hal ini me rupakan fenomena pasar yang tak bisa dihindari. Kami melihat sebagai gejala yang positif. Ini membuat kami harus lebih kompetitif lagi ke depan, kata Djaka. Tidak

ada antisipasi khusus yang kami lakukan, ia menambahkan.

Dengan semakin banyak pemain yang menggeluti kategori ini, dijelaskan Djaka, mak a pasarnya akan berkembang lebih pesat. Pasalnya, proses edukasi tidak hanya dil akukan AIO sendiri, tapi juga pemain lainnya. Nah, karena Pocari merupakan pionir dan brand awareness Pocari pun sudah cukup kuat, maka ini juga akan menjadi keu ntungan bagi kami, ia berujar.

Pendapat Djaka dibenarkan oleh Sumardi. Menurutnya Pocari bisa mendapatkan momen tum kedua (momentum pertama dan berhasil membuat penjualan meroket adalah saat w abah demam berdarah menyerang Indonesia).

Djaka menambahkan, AIO sama sekali tidak khawatir dengan produk-produk baru yang menawarkan added value dibanding Pocari Sweat. Pasalnya, Pocari merupakan produ k yang sudah melewati uji klinis dan sudah terbukti khasiatnya, sehingga akhirny a dipercaya oleh konsumen. Sementara para pemain yang baru masuk saat ini, harus lebih dahulu membuktikan kepada konsumen.

Kendati demikian, Djaka mengakui, ke depan AIO berusaha untuk menggenjot pemasar an Pocari Sweat kemasan sachet. Saat ini demand-nya sudah terlihat, hanya saja ka pasitas produksi kami belum mencukupi. Maka, kami akan meningkatkan kapasitas pr oduksi untuk kemasan sachet, paparnya.

Selain itu, AIO pun akan semakin merapatkan jaringan distribusinya, yaitu dengan cara penambahan distributor di berbagai daerah. "Untuk memperluas jaringan, kam i menargetkan penambahan outlet menjadi 48 distributor pada akhir tahun ini," ka tanya.

Distribusi memang menjadi faktor kunci untuk kategori produk ini. Simon mengatak an, para pemain yang baru masuk ke kategori ini harus bisa menjangkau pasar yan g lebih luas ketimbang Pocari. Di mana Pocari tidak ada, pemain baru harus bisa m asuk. Dan di tempat Pocari ada, pemain baru bisa menjadi pilihan yang berbeda ba gi konsumen. Selama ini konsumen tidak punya pilihan, ungkapnya.

Namun, distribusi Pocari Sweat sudah sangat dalam, bahkan sampai di warung-warun g pun tersedia Pocari, sehingga dibutuhkan effort yang sangat besar untuk bisa m enggoyahkan posisi Pocari di kategori produk ini.

Toh, itu tidak mengecilkan niat Kino untuk terus lanjut menggarap kategori ini. S ejauh ini respons konsumen sudah cukup baik. Kami optimistis bisa berbuat sesuat u di kategori ini, Harry menegaskan, dan ia pun memiliki target dapat meraih 10% pasar yang nilainya diperkirakan mencapai Rp 500 miliar per tahun di tahun perta manya.

Apakah para pemain baru ini bisa mendompleng kesuksesan Pocari Sweat, atau malah bernasib seperti Ajinomoto? Kita tunggu saja.