penggunaan metode sweat dan k index untuk memprediksi guntur di atas kota pekanbaru2

69
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Indonesia yang dua pertiganya berupa lautan dan pemanasan yang bersumber dari sinar matahari intensitasnya cukup tinggi mengakibatkan kelembaban udaranya tinggi dan mengandung banyak uap air. Kondisi ini secara fisis merupakan faktor pendukung terbentuknya awan–awan yang menyebabkan terjadinya guntur. Terjadinya faktor cuaca itu tergantung pada waktu dan tempat. Hal ini disebabkan karena stabilitas udara (keadaan udara) yang rendah akibat pengaruh pola tekanan udara yang fluktuatif (tetap dan terus berulang) (Kurniawan, dkk, 2004). Ganti dengan (Kurniawan et al., 2004) semua yang ada dkk diganti dengan et al., Mobilitas masyarakat Kota Pekanbaru yang semakin tinggi seperti sekarang ini, salah satunya dapat terlihat dari semakin tingginya jadwal penerbangan di Bandara Sultan Syarif Kasim II. Hal ini menjadikan prakiraan cuaca harian sangat dibutuhkan, karena dengan memperhatikan prakiraan cuaca tersebut maskapai penerbangan dapat menyesuaikan rencana dalam menggunakan jasa angkutan udara. Informasi cuaca 1

Upload: alvi-cynk-andi

Post on 03-Jan-2016

218 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah Indonesia yang dua pertiganya berupa lautan dan pemanasan

yang bersumber dari sinar matahari intensitasnya cukup tinggi mengakibatkan

kelembaban udaranya tinggi dan mengandung banyak uap air. Kondisi ini secara

fisis merupakan faktor pendukung terbentuknya awan–awan yang menyebabkan

terjadinya guntur. Terjadinya faktor cuaca itu tergantung pada waktu dan tempat.

Hal ini disebabkan karena stabilitas udara (keadaan udara) yang rendah akibat

pengaruh pola tekanan udara yang fluktuatif (tetap dan terus berulang)

(Kurniawan, dkk, 2004). Ganti dengan (Kurniawan et al., 2004) semua

yang ada dkk diganti dengan et al.,

Mobilitas masyarakat Kota Pekanbaru yang semakin tinggi seperti

sekarang ini, salah satunya dapat terlihat dari semakin tingginya jadwal

penerbangan di Bandara Sultan Syarif Kasim II. Hal ini menjadikan prakiraan

cuaca harian sangat dibutuhkan, karena dengan memperhatikan prakiraan cuaca

tersebut maskapai penerbangan dapat menyesuaikan rencana dalam menggunakan

jasa angkutan udara. Informasi cuaca mempunyai peranan penting sebagai bahan

pertimbangan bagi pembuat keputusan baik sebelum maupun sewaktu

penerbangan. Oleh karena itu, prakiraan cuaca dijadikan pedoman pokok baik

dalam perencanaan maupun pelaksanaan penerbangan dengan harapan lancar

tanpa gangguan cuaca buruk. Masukkan aja pada alinea 3 tapi buat

kalimat yang sesuai dan tidak mengurangi makna alinea 3.

Cuaca buruk terutama adanya awan Cumulunimbus (Cb) merupakan faktor

utama yang dapat menghambat dalam operasi penerbangan, karena biasanya dari

awan Cb besar ini terbentuk badai. Badai tersebut berupa badai guntur/guruh

(thunderstorm), kilat (lightning), putaran angin yang kecepatan dan arahnya

berubah sangat cepat, dan hujan lebat. Cb yang telah membentuk badai pada

1

ketinggian tertentu di dalamnya terdapat tetes-tetes air yang sudah membeku dan

membentuk kristal-kristal es pada daerah yang cukup luas. Pesawat udara yang

terbang melewati badai ini mengalami goncangan hebat serta kehilangan kontrol

arah (Soeharsono, 1994).

Badai guntur merupakan fenomena cuaca yang perlu dipelajari, karena

akibatnya yang besar terhadap kehidupan, terutama kerusakan-kerusakan yang

ditimbulkannya dan bahayanya terhadap penerbangan. Menurut Jaelani (1992)

badai guntur ialah fenomena yang terjadi akibat perpindahan muatan listrik antara

awan guruh dengan tanah, di dalam awan guruh, dan antar awan guruh.

Operasi penerbangan sangat dibutuhkan adanya prakiraan cuaca, karena

prakiraan cuaca merupakan salah satu syarat yang dibutuhkan untuk izin pesawat

layak terbang. Pembuatan prakiraan cuaca untuk penerbangan membutuhkan

analisa yang teliti. Salah satu unsur cuaca yang diprakirakan adalah tentang

terjadinya badai guntur/guruh. Pembuatan prakiraan guruh/guntur membutuhkan

suatu metode yang sesuai dengan suatu wilayah. Metode yang sering digunakan

dalam memprakirakan adanya badai guruh/guntur adalah metode fisis. Metode ini

merupakan metode prakiraan indeks cuaca yang dilakukan dengan menganalisa

parameter fisis dari nilai-nilai profil suhu udara atas atau nilai labilitas (keadaan)

udara pada keadaan tertentu Ada beberapa beberapa bentuk dari metode fisis

diantaranya SWEAT (Severe Weather Treath), yaitu suatu metode untuk

memprakirakan keadaan cuaca buruk, K Index, Showalter Index dan Lifted Indeks

(Zakir, 2008). Metode SWEAT telah dilakukan oleh Subiantoro (2008) untuk

wilayah Jakarta dimana tingkat keakurasian metode SWEAT di bandara Halim

Perdanakusuma pada bulan November 2007 adalah 35%. Kecilnya nilai

keakurasian yang didapat bisa dijadikan identifikasi awal kalau metode SWEAT

tidak tepat dipakai untuk bandara Halim Perdanakusuma. Sedangkan penggunaan

metode K Index sudah dilakukan oleh Achmad Zakir (2008) di beberapa daerah

seperti Banda Aceh, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan bagian timur, Ambon

dan Papua bagian selatan dimana hasilnya cukup baik. Kedua metode tersebut

dipakai karena dinyatakan cukup sesuai untuk wilayah tropis menurut standar

internasional WMO (World Meteorological Organization), (Handayani dkk,

2004). Pecah alinea terakhir ini menjadi dua aline yang saling

2

terhubung.

1.2 Perumusan Masalah

Terjadinya faktor cuaca tergantung pada waktu dan tempat. Hal ini

disebabkan karena stabilitas udara yang rendah akibat pengaruh pola tekanan

udara yang fluktuatif. Operasi penerbangan sangat dibutuhkan adanya prakiraan

cuaca, karena prakiraan cuaca merupakan salah satu syarat yang dibutuhkan untuk

izin pesawat layak terbang.

1.3 Tujuan Penelitian

Ada beberapa hal yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu:

1) Menentukan prakiraan terjadinya thunderstorm di Kota Pekanbaru khususnya

di Bandara Sultan Syarif Kasim II pada bulan Oktober – November 2009

berdasarkan p arameter fisis cuaca hasil pengamatan (Buang yang digaris

bawahi) dengan menggunakan metode SWEAT dan K Index.

2) Memferifikasi hasil prakiraan menggunakan metode SWEAT dan metode

K-Index yang dibandingkan dengan kejadian sebenarnya yang diambil dari

hasil pengamatan cuaca setiap jam (synop). Untuk melihat sejauh mana

keakurasian metode yang digunakan

3) Membandingkan nilai keakurasian dari pemakaian dua metode yang

digunakan untuk melihat sejauh mana keakurasian terjadinya badai guntur di

Kota Pekanbaru. No 3. Buang saja

1.4 Batasan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis membatasi pembahasan pada:

1) Penelitian ini dititikberatkan pada analisa pengamatan probabilitas atau

kemungkinan terjadinya badai guntur pagi hari pada pukul 07.00 WIB dan

pukul 19.00 WIB untuk menentukan prakiraan badai guntur 12 (dua belas)

3

jam selanjutnya dan membandingkannya dengan kondisi cuaca yang

sebenarnya di kota Pekanbaru pada bulan Oktober 2009.

2) Sering terjadinya badai guntur disekitar bulan Oktober dan November ini

disebabkan pengaruh dari perubahan musim dari musim kemarau ke musim

penghujan, oleh karena itu penulis hanya memfokuskan penelitian pada bulan

ini saja.

4

BAB II

LANDASAN TEORI

Fokuskan teori mulai dari pembentukan awan yang menyebabkan

guntur (munculkan aspek fisika nya pada proses pembentukan awan

dan peristiwa guntur)

Baru teori yang menyangkut prediksi guntur (SWEAT, K-Indeks dan

Pengamatan)

2.1 Metode SWEAT (Severe Weather Threat) Index

Salah satu metode yang digunakan dalam memprediksi terjadinya badai

guntur adalah metode SWEAT. Metode SWEAT merupakan aplikasi metode fisis

yang secara kuantitatif digunakan untuk memprakirakan cuaca buruk berdasarkan

parameter-parameter fisis labilitas udara (Doswell, 2006). Metode ini

memperlihatkan potensial terjadinya badai guntur dari nilai index pada satu

periode tertentu. Parameter-parameter yang digunakan dalam metode ini

memperhitungkan level angin vertikal dari yang terendah (lapisan 500 milibar

(mb) ) hingga pada level yang paling atas (lapisan 850 mb) dari pertumbuhan

awan guntur. Metode SWEAT merupakan metode perhitungan standar

international yang dapat digunakan pada daerah tropis untuk menentukan

prakiraan terjadinya badai guntur.

Formula untuk metode SWEAT adalah :

SWEAT = 12 Td850 + 20 (TT-49) + 2 V850 + V500 . . . . . . . . . . . . . (2.1)

5

dengan TT adalah Index Total yang dinyatakan sebagai berikut :

TT = T850 + Td850 – 2T500 . . . . . . . . . . . . . . . ……….. . . . . . . . . . . .. (2.2)

dimana :

Td850 : Temperatur titik embun (ºC) pada lapisan 850 mb

T850, T500 : Temperatur (ºC) pada lapisan 850 mb dan lapisa 500 mb

V850, V500 : Kecepatan angin pada lapisan 850 mb dan 500 mb

Nilai TT menunjukkan nilai index potensial kejadian guntur. Jika nilai

TT>49 maka nilai index dari SWEAT menunjukkan potensial badai guntur lebih

besar sebaliknya jika TT<49 maka potensial badai guntur lebih kecil.

Sehingga untuk TT<49 parameter dari persamaan (2.1) diabaikan, maka

formula SWEAT menjadi :

SWEAT = 12 Td850 + 2 V850+ V500. . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.3)

Hubungan antara SWEAT dan prakiraan cuaca yang akan terjadi dapat dilihat

pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Klasifikasi nilai SWEAT

Nilai SWEAT Prakiraan Cuaca

170-230 Pertumbuhan awan Cumulus

230-250 Terjadi badai Guntur

> 250 Terjadi badai guntur kuat

Sumber: Suwignyo (2006)

Karena dalam tulisan ini hanya membahas tentang ada dan tidak adanya

badai guntur, maka diasumsikan nilai SWEAT yang lebih dari 230

dikelompokkan ada badai guntur dan untuk nilai SWEAT 170-230 diasumsikan

tidak ada badai guntur. Sehingga tabel nilai SWEAT menjadi :

Tabel 1.2 Klasifikasi nilai SWEAT terhadap prakiraan badai guntur

Nilai SWEAT Prakiraan badai guntur

170-230 Tidak ada badai guntur

6

>230 Ada badai guntur

Sumber: Suwignyo (2006)

2.2 Metode K Index

Di dalam buku Soeharsono, metode K Index dikembangkan oleh Benny A

Humphery pada tahun 1983. Metode K Index merupakan metode fisis untuk

memprediksi badai guntur dari indikasi-indikasi peluang terjadinya badai guntur

(Soeharsono, 1994). Metode tersebut menurut rumus sebagai berikut:

K Index = (T850 - T500) + Td850 - (T700 - Td700)....................................(2.4)

dimana:

T850-T500 adalah untuk mengetahui suhu udara lingkungan secara vertikal.

Td850 adalah untuk mengetahui kandungan uap air pada lapisan 850 mb,

T700-Td700 adalah untuk mengetahui kandungan uap air pada lapisan tengah.

Tabel 1.3 Indikator peluang terjadinya badai guntur

K Index Peluang badai guntur (Ts)

0 – 15 0 %

16 – 20 20 %

21 – 25 35 %

26 – 30 50 %

31 – 40 85 %

> 40 100 %

Sumber: Suwignyo (2006)

dimana :

1) Untuk nilai K Index 0-30 prediksi badai guntur berkisar 50%→ Tidak ada Ts.

2) Untuk nilai K Index 31-40 prediksi badai guntur berkisar 85% → Ada Ts.

7

3) Untuk Nilai K Index >40 prediksi badai guntur berkisar 100% → Ada Ts.

2.3 Teori Labilitas Udara

Perubahan cuaca dari cerah menjadi berawan atau hujan terjadi bila ada

gangguan. Udara yang stabil bila mendapat gangguan akan kembali ke kondisi

semula, artinya tidak ada perubahan yang signifikan, sebaliknya bila kondisi udara

tidak stabil, adanya gangguan akan mengakibatkan perubahan yang cukup berarti.

Udara yang tidak stabil memungkinkan terbentuknya awan, khususnya awan yang

mencolok dan biasanya menimbulkan cuaca buruk. Pada dasarnya stabilitas udara

dapat diketahui dari perubahan suhu terhadap ketinggian (Sugiyanti, 2008).

2.3.1 Verifikasi Labilitas Udara

1) Jika parsel udara bergerak ke atas dan suhu parsel udara lebih panas daripada

suhu lingkungan sehingga arahnya bergerak terus ke atas dengan kecepatan

bertambah, keadaan ini disebut labil.

2) Jika parsel udara bergerak ke atas tetapi suhu parsel udara lebih dingin

dibandingkan suhu lingkungan sehingga parsel udara bergerak turun kembali

ke posisi semula, maka atmosfer dalam keadaan stabil.

3) Jika parsel bergerak ke atas lalu berhenti, maka atmosfer netral. Kondisi ini

terjadi bila suhu parsel udara sama dengan suhu lingkungannya.

Berkaitan dengan labilitas atmosfer untuk memprediksi adanya

pertumbuhan awan konvektif dan badai guntur/guruh, ada beberapa metode yang

dapat digunakan antara lain metode SWEAT, K Index, Showalter Index dan Lifted

Index.

2.4 Proses Fisika Awan

2.4.1 Kelembaban udara

Kelembaban udara ialah banyaknya uap air yang terkandung di udara pada

suatu tempat, yang dinyatakan dengan banyaknya gram uap air dalam 1 m³ udara.

Sedangkan kelembaban udara relatif ialah perbandingan jumlah uap air dalam

8

udara (kelembaban absolut) dengan jumlah uap air maksimum yang dapat

dikandung oleh udara tersebut dalam suhu yang sama dan dinyatakan dalam

persen (%) (Regariana, 2005). Tingginya kelembaban udara di wilayah Indonesia

sebenarnya berasal dari tingginya konsentrasi air yang cukup luas. Indonesia yang

merupakan wilayah maritime, sebenarnya bukan hanya dikelilingi oleh lautan,

namun memiliki banyak sungai yang cukup panjang, atau danau yang cukup luas.

2.4.2 Proses pembentukan awan

Awan adalah gumpalan uap air yang melayang-layang di atmosfir pada

daerah dan waktu tertentu. Awan kelihatan seperti asap berwarna putih atau

kelabu di langit. Di Indonesia ada beberapa proses yang menyebabkan

terbentuknya awan, antara lain:

1) Konvektif

Arus konveksi yaitu proses naiknya massa udara karena pemanasan. Jika

udara di dekat permukaan bumi mengalami pemanasan, maka udara tersebut

memiliki massa lebih ringan dari pada udara dingin, akibatnya udara panas

tersebut akan naik ke atas sampai di suatu lapisan yang mempunyai suhu dan

kerapatan udara sama dengan udara sekitarnya. Di situlah massa udara tersebut

mencapai titik embunnya, sehingga terjadi proses kondensasi. Secara fisis

kondensasi merupakan peristiwa mengembunnya uap air dalam udara menjadi

titik-titik air. Ketinggian dimana terjadi kondensasi karena pengaruh konvektif

inilah yang disebut CCL (Convectif Condensation Level) yang merupakan tinggi

dasar awan yang terbentuk (Endang, 2007).

9

Gambar 1.1 Peristiwa konveksiSumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Thunderstorm

2) Gangguan orografik

Peristiwa orografik yaitu proses naiknya udara ke permukaan pegunungan

yang dibawa oleh angin. Udara yang naik tersebut diikuti proses pendinginan atau

penurunan suhu secara adiabatis hingga suatu ketinggian tertentu, massa udara

tersebut tidak naik lagi akhirnya menumpuk di suatu ketinggian dan

memungkinkan terbentuknya awan. Tetapi apabila massa udara tersebut tidak

cukup basah maka tidak dapat terbentuk awan (Endang, 2007).

Gambar 1.2 Peristiwa orografis Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Thunderstorm

3) Turbulensi mekanis

Massa udara yang awalnya mengalir dengan lurus dan tenang, karena

adanya penghalang, misalnya gedung yang tinggi maka massa udara tersebut

mengalami turbulensi (perputaran) yang menyebabkan terjadinya pencampuran

10

massa udara, dimana lapisan udara bagian atas mengalami pendinginan dan

lapisan bawahnya mengalami pemanasan, sehingga udara panas tersebut akan

naik dan terjadi kondensasi. Ketinggian dimana mulai terjadi kondensasi karena

proses pencampuran ini dinamakan MCL (Mixing Condensation Level) yang

merupakan tinggi dasar awan yang terbentuk (Endang, 2007).

Gambar 1.3 Peristiwa turbulensi mekanisSumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Thunderstorm

2.4.3 Jenis-Jenis Awan

1) Awan rendah, yaitu awan yang mempunyai ketinggian dasar kurang dari 2 km

meliputi jenis Stratus (St), Stratuscumulus (Sc), Cumulus (Cu),

Cumulusnimbus (Cb) dan Nimbustratus (Ns). Khusus Cu, Cb dan Ns,

mempunyai dasar sebagai awan rendah namun tumbuh secara vertikal yang

puncaknya mencapai awan tinggi.

11

(a) (b)

Gambar 1.4 Jenis-jenis awan rendah, (a) stratus, (b) stratus cumulus, (c) cumulus, (d) cumulusnimbus, (e) Nimbusstratus

Sumber : http://images.google.co.id/images

12

(c) (d)

(e)

2) Awan menengah, yaitu awan ketinggian dasar antara 2-7 km, meliputi jenis

Altocumulus (Ac) dan Altostratus (As).

(a) (b)

Gambar 1.5 Jenis-jenis awan menengah, (a) altocumulus, (b) altostratusSumber : http://images.google.co.id/images

3) Awan tinggi, yaitu awan dengan ketinggian dasar lebih dari 7 km, meliputi

Cirrus (Ci), Cirrocumulus (Cc) dan Cirrostratus (Cs).

13

(a) (b)

(c)

Gambar 1.6 Jenis-jenis awan tinggi, (a) cirrus, (b) cirruscumulus, (c) cirrusstratus

Sumber : http://images.google.co.id/images

2.4.4 Awan Konvektif

Awan konvektif adalah salah satu jenis awan yang sering terjadi di daerah

tropis, awan ini tergolong jenis awan rendah. Awan konvektif terjadi karena

kenaikan udara di atas permukaan yang panas. Awan konvektif ini terjadi pada

saat kondisi atmosfir labil. Bentuk fisis dari awan ini adalah bentuk menggumpal

(cumulus form). Yang termasuk dalam awan konvektif adalah awan Cumulus (Cu)

dan Cumulunimbus (Cb). Cu adalah awan yang bentuknya seperti bunga kol.

Sedangkan awan Cb yaitu awan Cu yang sangat besar dan mungkin terdiri

beberapa awan Cu yang bergabung menjadi satu (Seto, 2000).

Waktu siang hari terjadi pemanasan permukaan tanah dan memanaskan

udara di atasnya, yang kemudian terjadi konveksi udara. Terjadinya konveksi

udara tersebut menimbulkan pertumbuhan awan. Makin panas suhu permukaan

maka makin besar pertumbuhan awan. Berbagai fenomena cuaca yang disebabkan

oleh awan Cb antara lain hujan lebat, badai guntur/guruh dan angin kencang. Oleh

karena itu awan konvektif disebut juga sebagai awan badai guntur. Beberapa

persyaratan yang harus dipenuhidalam proses pembentukan awan Cb antara lain:

1) Jika dalam suatu wilayah udara cukup lembab (RH> 68%).

2) Terdapat udara yang naik ke atas (up draft) sehingga menyebabkan daerah

tersebut menjadi labil.

3) Adanya inti-inti higrokopis (inti-inti kondensasi) yang diperlukan dalam proses

kondensasi.

2.5 Badai Guntur (thunderstorm)

Badai guntur merupakan fenomena cuaca yang terjadi karena proses

pelepasan muatan listrik dari awan Cb secara mendadak, ditandai dengan adanya

hujan, angin kencang, kilat, dan guruh. Pelepasan muatan listrik yang mendadak

ditandai dengan adanya kilatan dan guntur, dan suara guntur baru akan terdengar

14

beberapa detik setelah terlihat adanya kilat, hal ini disebabkan karena pada saat

petir menyambar energi yang dilepaskan memanasi udara yang dilintasinya

sehingga udarapun mengembang dan menimbulkan suara guruh (Soepangkat,

1994).

Lapisan atmosfer bertebaran gumpalan-gumpalan awan yang diantaranya

ada awan yang bermuatan listrik. Awan bermuatan listrik tersebut dapat terbentuk

jika pada suatu daerah terdapat unsur-unsur yang diperlukan, di antaranya: udara

yang lembab (konsentrasi air banyak), gerakan angin ke atas dan terdapat inti

higroskopis (lihat gambar 17).

Di dalam buku Hernowo, Prof. Ramage telah melakukan penelitian

tentang persentase terjadinya badai guntur didaerah tropis (10°LU - 10°LS)

dimana Amerika Selatan : 23%, Afrika : 35%, Indonesia : 25%, lain – Lain :

17%, ( Hernowo, 2005).

2.5.1 Pertumbuhan Awan Badai Guntur

Pertumbuhan awan badai Guntur dikelompokan menjadi tiga tingkatan

yang didasarkan atas kecepatan dan arah angin dari arus udara vertikal yang

terjadi di dalamnya sebagai berikut :

1) Tingkat Tumbuh (cumulus stage)

Pada tingkat tumbuh, di dalam awan terjadi arus udara ke atas yang makin

kuat dan maksimum pada puncak awan, tidak ada endapan karena tetes-tetes air

atau kristal es tertahan oleh arus vertikal ini, maka terjadi virga atau hujan yang

tidak sampai ke tanah. Selain itu suhu di dalam awan lebih besar dari pada suhu di

sekitarnya, dan pada level yang sama. Pada tahap ini memerlukan waktu 10-15

menit (Bayong, 2005), lihat gambar 14.

15

Gambar 1.7 Peristiwa tingkat tumbuh Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Thunderstorm

2) Tingkat Dewasa (mature stage)

Pada tingkat dewasa, sudah terbentuk awan yang berbahaya terutama bagi

penerbangan. Mature Stage dimulai bila tetes-tetes air ataupun kristal-kristal es

mulai jatuh dari dasar awan, dimana baik jumlah maupun ukuran tetes-tetes air

maupun kristal-kristal es telah berubah menjadi tetes-tetes air pada saat mencapai

permukaan tanah. Daya tingkat tumbuh menjadi masak ini memerlukan jangka

waktu yang cukup lama yaitu antara 15-30 menit (Bayong, 2005), lihat gambar

15.

16

Gambar 1.8 Peristiwa tingkat dewasaSumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Thunderstorm

3) Tingkat Punah (dying stage)

Pada tingkat punah, arus (dorongan) udara ke atas telah seluruhnya tidak

ada, sedangkan arus udara ke bawah meluas di seluruh awan dan berkondensasi

akan segera berhenti. Dengan berkurangnya jatuhan partikel-partikel hujan maka

arus udara turun ke bawahpun akhirnya melemah. Selama berlangsungnya hujan

serta arus udara turun, maka seluruh sel menjadi dingin dari udara sekitarnya,

namun pada saat badai guntur/guruh berhenti temperatur di dalam sel berada pada

keadaan sama dengan temperatur di sekitarnya, pada saat tersebut berakhirlah

massa hidup awan badai guntur/guruh. Dari tingkat masak ke tingkat punah ini

juga memerlukan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 30 menit (Bayong, 2005),

lihat gambar 16.

17

Gambar 1.9 Peristiwa tingkat punahSumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Thunderstorm

2.5.2 Mekanisme Pelepasan Kilat

Proses terjadinya kilat dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Pada saat atmosfer dalam keadaan labil, maka akan terjadi gerakan udara naik

(updraft) dari suatu parsel udara. Gerakan udara naik tersebut akan

memisahkan muatan yang dibawa endapan, dimana muatan positif ( + ) akan

terbawa naik dan pada saat endapan turun muatan negatif ( - ) ikut turun

sampai kedasar awan.

2) Ketika muatan negatif bergerak turun dari dasar awan membentuk lorong Pilot

leader, sementara permukaan tanah bereaksi membentuk streamer.

3) Pada saat gerakan ketas dari streamer bereaksi dengan pilot leader yang

bergerak kebawah maka berubah menjadi jalur kilat (lightningpath) antara

awan dan tanah dan terjadilah pelepasan muatan elektron secara terus-menerus

yang dinamakan return stroke yang mengalir ke tanah.

4) Kejadian diatas terjadi berulang-ulang membentuk kilatan yang disebut dart

leader yang kelihatan sebagai sambaran kilat.

18

Di dalam buku Hernowo, dari penelitian Prof. M.G.Atkinson menyatakan

bahwa waktu terjadinya guntur di daerah Tropis dimana pada daerah

daratan/pulau besar badai guntur terjadi pada jam : 16.00 – 17.00 LT dan 07.00 –

08.00LT dan perairan/pulau-pulau kecil guntur terjadi pada jam : 13.00 LT dan

01.00 LT (Hernowo, 2005).

2.5.3 Gerakan udara naik

Gerakan udara ke atas, pada umumnya terjadi karena naiknya parsel udara

yang diakibatkan pemanasan permukaan bumi oleh sinar matahari yang disebut

sebagai arus konveksi yang menyebabkan tegangan kondensasi. Disamping itu

gerak ke atas dapat juga disebabkan oleh angin yang bertiup melalui bukit atau

gunung dan perbedaan kontur permukaan tanah. Kondisi ini dikenal sebagai

proses kondensasi dengan cara orografis. Selain itu pertemuan dua massa udara

panas dan massa udara dingin dapat juga menyebabkan naiknya udara sehingga

menjadi kondensasi (Soekamso, 2000).

2.5.4 Inti higroskopis

Inti higroskopis merupakan inti-inti kondensasi yang akan berubah

menjadi inti dari butir air (nucleus) yang terjadi di awan sebagai akibat dari proses

kondensasi. Proses ini biasanya terjadi pada ketinggian yang memiliki temperatur

antara -20˚C hingga 0˚C. Jenis inti higroskopis ini dapat memiliki bentuk yang

berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya dan sangat tergantung dari

kondisi geografisnya. Misalnya debu, batubara, pasir, kristal garam atau partikel

lainnya sebagai sisa pembuangan dari suatu proses industri (Soekamso, 2000).

19

Gambar 1.10 Pembentukan awan bermuatanSumber : Analisis aktivitas guntur terhadap stabilitas udara di Atmosfer

Ketiga unsur di atas sebagai unsur yang diperlukan menghasilkan awan

guruh/awan Cb yang bermuatan negatif dan karakteristiknya berbeda-beda sesuai

kondisi tempatnya. Muatan awan bawah yang negatif akan menginduksikan

permukaan tanah menjadi positif maka terbentuklah medan listrik antara awan dan

tanah (permukaan bumi). Semakin besar muatan yang terdapat di awan semakin

besar pula medan listrik yang terjadi dan bila kuat medan tersebut telah melebihi

kuat medan tembus udara ke tanah maka akan terjadi pelepasan muatan listrik,

peristiwa ini disebut kilat atau petir (sambaran petir). Jadi petir adalah fenomena

alam hasil proses pelepasan muatan dari suatu tempat ke tempat lain di atmosfir,

yang dapat terjadi dari awan ke awan, awan ke tanah atau tanah ke awan

(Muljono, 2006).

Setiap sambaran petir yang terjadi, parameter-parameter fisisnya dapat

diuraikan secara matematis kelistrikan seperti gambar di bawah ini.

20

Gambar 1.11 Parameter-parameter PetirSumber : http://images.google.co.id/pembentukan+awan+bermuatan&sa

dimana :

1) Arus petir maksimum yaitu harga maksimum/puncak impuls petir (Im).

Arus petir maksimum (Im) menentukan tinggi tegangan jatuh (Um) pada

tahanan pentanahan obyek yang disambar.

2) Muatan petir atau muatan total (Q)

Muatan (Q) menentukan jumlah energi (W) yang terwujud pada titik sambaran

dan setiap tempat dalam busur listrik yang menembus isolasi.

3) Energi spesifikasi arus petir atau kuadrat impuls dari arus (E).

Energi (E) menentukan pemanasan serta gaya impuls,

Adapun bentuk-bentuk badai guntur adalah sebagai berikut:

1) Badai guntur/guruh massa udara, adalah badai guntur/guruh yang terjadi bila

massa udara dingin melalui massa udara yang panas dan uapnya banyak maka

udara tersebut akan tidak stabil, sesudah terjadinya awan.

2) Deretan badai guntur/guruh, adalah badai guntur/guruh yang terjadi pada awan-

awan Cb yang berderet merupakan garis awan ini disebabkan karena adanya

21

angin monsoon dan angin darat pada malam hari dan pertemuan itu akan

membentuk garis konvergensi.

3) Badai guntur/guruh dari suatu front, adalah badai guntur/guruh yang terjadi

pada saat front dingin (cool front) (Soepangkat, 1994).

2.6 Pengaruh Badai Guntur Terhadap Operasi Penerbangan

Dalam dunia penerbangan, badai guntur sangat besar pengaruhnya baik

pada saat pesawat mengudara maupun pada saat mendarat (Lestari, 1998). Awan

Cb yang aktif disertai badai guntur sampai mencapai ketinggian 9-13 km dan

selalu lebih tinggi untuk daerah tropis. Untuk Cb yang terjadi di atas lautan akibat

udara dingin yang bergerak biasanya mencapai 5-7 km.

Awan Cb yang juga sangat ditakuti oleh penerbang karena di dalamnya

terjadi peristiwa-peristiwa yang membahayakan penerbangan antara lain: (1)

turbulensi dan (2) hail.

2.6.1 Turbulensi

Arus udara dan sirkulasi secara mikro (eddy) yang menimbulkan

turbulensi akan tambah diperkuat di dalam awan badai guntur, eddy adalah

pusaran angin lokal yang ditemui di udara yang tidak stabil. Eddy dapat

menyebabkan hembusan angin kuat yang akan mengganggu gerakan pesawat

terbang. Hal ini tergantung dari rangkaiannya, selang waktunya dan kekuatannya.

Gradient gust yang besar dapat mempengaruhi titik berat pesawat terbang, titik

berat sayap dan kecepatannya. Arus udara vertikal (draft) baik ke atas atau

kebawah secara besar-besaran merupakan bagian dari susunan awan badai guntur

yang menyebabkan pesawat terbang kehilangan kendali. Arus ke bawah biasanya

tidak sehebat arus ke atas dan makin lemah kebawah sampai ke dasar badai

(gambar 19).

22

Gambar 1.12 Proses terjadinya turbulensiSumber : http://www.overtheairwaves.com/vol5-6final.html

2.6.2 Hail

Hail merupakan presipitasi yang berbentuk bola-bola kecil, potongan-

potongan maupun serpihan-serpihan es dan memiliki diameter antara 5 – 50 mm.

namun dalam pertumbuhan ekstrim, diameter hail bisa lebih besar. Hail dapat

jatuh secara terpisah atau terkumpul menjadi gumpalan-gumpalan yang tidak

memiliki bentuk yang teratur (Byers, 1959). Hail dapat terbentuk karena adanya

proses pembekuan droplet dalam awan cumulonimbus. Pengaruh hujan hail mulai

dari yang kecil sampai 3 inci dapat menyebabkan kerusakan bagian luar pesawat

terbang dan dapat juga menyebabkan kaca depan pesawat terbang berlubang dan

retak-retak, menyebabkan baling-balingnya bengkok, kebocoran pada selubung

alat pencairan es, kisi-kisi radiator bengkok-bengkok dan lain sebagainya. Cara

untuk menghindari atau memperkecil resiko akan bahayanya hail yaitu terbang di

bawah jauh dari permukaan 0˚C. Pada lapisan tertinggi 25.000 kaki atau lebih

adalah alternatif yang paling baik (Soeharsono, 1994).

23

Gambar 1.13 (a) Hail; (b) Formasi hail Sumber : http://www.tussingblockwatch.com/weather_safety

2.7 Prakiraan Badai Guntur

Dalam melakukan prakiraan tentunya ada langkah-langkah yang harus

dipenuhi agar sesuai dengan standar international WMO (World Meteorological

Organization). Indonesia sebagai wilayah yang memiliki iklim tropis ada

beberapa aplikasi metode fisis yang dapat digunakan dalam memprakirakan

terjadinya guntur secara kuantitatif antara lain metode SWEAT dan K Index.

Metode fisis merupakan suatu langkah memprakirakan unsur cuaca berdasarkan

perhitungan hasil pengamatan parameter fisis cuaca atau nilai labilitas udara pada

kondisi tertentu. Pada langkah ini, analisa data pengamatan digunakan untuk

mengetahui kondisi atmosfir terkini.

2.7.1 Monitoring kejadian yang sebenarnya

Adapun monitoring atau pengamatan cuaca yang sebenarnya adalah

dengan maksud untuk mendapatkan data synop Stasiun Sultan Syarif Kasim II

yang merupakan data kualitatif pembanding hasil analisis perhitungan SWEAT

dan K Index. Pengamatan ini untuk memperhatikan fenomena-fenomena atmosfer 24

dan seluruh pergerakan udara terakhir untuk dijadikan acuan prakiraan. Hal-hal

yang perlu diperhatikan dalam pengamatan adalah sebagai berikut:

1) Pola tekanan udara

Tinggi rendahnya tekanan udara akan mempengaruhi daerah sebaran hujan,

karena pergerakan awan yang mengandung hujan dipengaruhi tekanan udara

permukaan. Perbedaan tekanan udara antara satu tempat dengan yang lainnya

juga dapat memberikan peluang terbentuknya pusat tekanan rendah (Low

Pressure Area) yang dapat menyebabkan terbentuknya badai tropis.

2) Stream Line

Memperhatikan stream line akan sangat membantu dalam memprakirakan

cuaca terutama dalam melihat posisi cuaca baik (divergensi) atau cuaca buruk

(konvergensi).

3) Kecepatan Angin

Angin akan sangat mempengaruhi cuaca ketika bertiup kencang dan arahnya

tidak beraturan. Kemungkinan hujan akan pupus ketika angin bertiup kencang

menerpa gumpalan awan dengan kandungan uap air tinggi. Itu terjadi ketika

awan yang begitu gelap (mendung) tiba-tiba berubah cerah. Hal ini akan sangat

mempengaruhi hasil prakiraan (Firman, 2006).

25

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

1) Tempat penelitian di stasiun Meteorologi Sultan Syarif Kasim II.

2) Penelitian ini berlangsung selama 1 (satu) bulan dimana pengambilan data

dilakukan pada tanggal 15 Oktober–15 November 2009.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah berupa data analisa udara atas yang berupa

data Tekanan (P), suhu udara (T), titik embun (Td) dan kecepatan angin (V).

Sedangkan alat yang digunakan adalah software RAOB05.

3.3 Metode Penelitian

Metode prakiraan yang digunakan pada penelitian ini adalah aplikasi

metode fisis yang secara kuantitatif akan memprediksi terjadinya badai guntur.

Adapun aplikasi metode fisis yang dimaksudkan adalah SWEAT dan K Index.

Kedua metode ini digunakan untuk menentukan prediksi adanya pertumbuhan

awan konvektif sebagai indikasi terjadinya badai guntur yang dihitung dan

dianalisa berdasarkan unsur meteorologi baik pengamatan yang dilakukan di

stasiun maupun hasil pengamatan udara atas. Kemudian dilakukan pengamatan

dan analisa terhadap kejadian sebenarnya sebagai pembanding hasil prediksi.

3.3.1 Teknik Pengambilan Data

26

Dalam membuat prakiraan badai guntur untuk metode SWEAT dan K

Index ada beberapa unsur meteorologi yang merupakan parameter fisis yang

digunakan sebagai pengamatan udara atas, yaitu:

1). Temperatur udara (ºC) pada lapisan 850 mb, lapisan 700 mb dan lapisan 500

mb.

2). Temperatur titik embun (ºC) pada lapisan 850 mb dan lapisan 700 mb.

3). Kecepatan angin (Knot) pada lapisan 850 dan lapisan 500 mb.

Adapun prosedur pengambilan data dan pengolahan data yang dimaksudkan dapat

dilihat dari diagram alir berikut:

Gambar 2.1 Diagram alir penelitian

Pindahkan diagram alir pada paragraph terakhir dari bab metodologi

ini.

27

dimana penulis melakukan penelitian dengan cara :

a) Mengambil data dari CMSS (computing message switch system) yang di

sounding dari pengamatan stasiun BMKG.

Data yang disounding tersebut adalah data RASON (Radio Sonde)atau data

sandi udara atas untuk daerah Pekanbaru khususnya di Bandara Sultan Syarif

Kasim II yang berupa:

- Data ketinggian masing-masing tekanan permukaan, misalnya 925 mb,

850 mb, 700 mb, dan seterusnya sampai 500 mb.

- Data suhu udara.

- Data perbedaan antara suhu dan titik embun.

- Data arah dan kecepatan angin.

b) Kemudian data tersebut dirunningkan atau diplot dengan menggunakan

software RAOB 5.5.

Software RAOB 5.5 adalah program komputer yang secara otomatis akan

menghasilkan parameter-parameter atmosfer seperti parameter pofil suhu udara

atas, parameter windshear dan lain sebagainya, yang didapatkan dari

menginput data sounding sandi/kode udara atas.

c) Keluaran dari running maka akan didapatkan data yang dibutuhkan dalam

perhitungan SWEAT dan K Index seperti Td850, T850, Td700, T700, Td500, T500, V850,

V500.

d) Kemudian menghitung nilai SWEAT dan K Index dengan formulasi rumus.

e) Data streamline merupakan data pendukung untuk menjelaskan kemungkinan

terjadinya thunderstorm yang dianalisa dari gambar arah dan kecepatan angin

untuk 24 jam berikutnya yang diambil setiap pukul 07.00 WIB.

f) Secara keseluruhan SWEAT dan K Index ini dilakukan setiap hari pada pukul

07.00 WIB dan pukul 19.00 WIB sebagai prediksi dua belas (12) jam

selanjutnya.

28

Tabel 3.1 Jadwal penelitian

Kegiatan

Distribusi Jadwal Penelitian

Bulan

Juli Agustus Sept Okt Nov Des

1. Pembuatan Proposal Usulan Penelitian

V

2. Persiapan UntukPengumpulan data

V V

3. Pengumpulan dataKuantitatif

V V V

4. Pengumpulan dataKualitatif

V V V

5. Pengolahan danEditing data

V

6. Pengujian statistikData

V

7. PerumusanKesimpulan

V

8. Persiapan pembuatanLaporan

V

9. Presentasi PenelitianV

Buang Jadwal Penelitian

3.3.2 Pengolahan Data

Monitoring atau pengamatan cuaca yang sebenarnya dilakukan untuk

mendapatkan data synop/aktual Stasiun Sultan Syarif Kasim II dan merupakan

data pembanding hasil analisis perhitungan SWEAT dan K Index. Adapun

pengamatan dan pengambilan data dilakukan setiap jam, dan sebagai data

pembanding diambil data keadaan umum untuk setiap 12 jam. Pengamatan ini

dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan keadaan cuaca secara kualitatif,

dan dilakukan setiap hari setelah didapatkan nilai SWEAT dan nilai K Index.

Kemudian data citra satelit merupakan gambar keadaan awan ketika terjadi badai

guntur. Data citra yang diambil menjelaskan bahwa pada setiap kejadian badai

guntur terdapat penumpukan awan konvektif sebagai pemicu terjadinya guntur

29

tersebut.

3.3.3 Analisa Data

Verifikasi hasil prakiraan dibuat setiap hari setelah dihasilkan prakiraan

badai guntur dan dilakukan monitoring yang dimulai dari 15 Oktober s/d

15 November 2009. Verifikasi dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif, untuk

mendapatkan tingkat kebenaran yang sangat akurat. Hasil kalkulasi dari verifikasi

ini akan menunjukkan probabilitas terjadinya guntur yang selanjutnya dibahas

pada bab analisa.

30

BAB IV

DATA DAN ANALISA

GANTI DENGAN HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. DATA

Dalam penelitian ini, pengamatan dan pengambilan data dilakukan mulai

tanggal 15 Oktober–15 November 2009. Adapun data yang dimaksudkan adalah

data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif tersebut adalah berupa nilai

labilitas udara atau parameter fisis cuaca yang merupakan indikator terjadinya

thunderstorm. Sedangkan data yang bersifat kualitatif merupakan data synoptik

hasil pengamatan atau monitoring cuaca sebenarnya.

4.1.1. Data Pengamatan Profil Suhu Udara Atas

Data yang digunakan untuk dianalisa yaitu data Rason berupa parameter

cuaca: tekanan (P), suhu udara (T), titik embun (Td) dan kecepatan angin (V).

Pengambilan data dilakukan pada tanggal 15 Oktober–15 November 2009, dengan

cara digital melalui koneksi internet. Stasiun Badan Meteorologi Geofisika Sultan

Syarif Kasim II Pekanbaru meminta hasil sounding satelit cuaca dari Stasiun

Meteorologi terdekat untuk daerah Pekanbaru (dalam hal ini meminta data

sounding dari Stasium Meteorologi Padang). Hasil sounding tersebut berupa data

digital yang kemudian dianalisa menggunakan software komputer yang bernama

RAOB 05 (Rawinsonde Observation). Adapun data fisis yang dimaksudkan

adalah profil suhu udara atas hasil running dari software RAOB yang diperoleh

dari stasiun Meteorologi Padang untuk bulan Oktober dan November 2009.

MASUKKAN KE BAB III.

31

Tabel 4.1 adalah hasil data yang diambil dari rason yang terdapat di Stasiun

Meteorologi Padang.

Tabel 4.1 Data Pengamatan Profil Suhu Udara Atas tanggal 15 Oktober – 15 November 2009

TanggalJam

(WIB)Td850

(0C)Td700

(0C)T850

(0C)T700

(0C)T500

(0C)V850

(knot)V500

(knot)

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1507.00 15,0 7,3 17,4 8,4 -5,1 6 719.00 15,4 7,9 16,0 8,0 -6,3 8 12

1607.00 15,4 5,8 16,0 8,2 -7,1 5 119.00 12,3 3,8 17,0 8,8 -6,1 2 14

1707.00 16,9 7,6 18,4 10,2 -5,7 2 1019.00 12,6 4,0 18,6 10,0 -5,3 7 11

1807.00 15,8 6,9 18,2 9,8 -5,5 4 419.00 14,8 3,6 16,4 7,8 -5,5 0 11

1907.00 17,0 7,5 18,2 9,2 -5,5 6 1219.00 16,8 3,4 18,0 9,4 -4,9 4 5

2007.00 17,3 7,8 18,6 10,2 -4,9 15 1019.00 16,0 9,0 17,8 9,0 -8,1 5 4

2107.00 17,6 5,8 17,8 10,2 -5,3 6 1819.00 17,2 8,8 17,2 8,8 -4,1 0 18

2207.00 16,4 5,0 16,6 9,2 -6,3 3 1419.00 14,5 0,0 17,6 8,0 -5,7 2 7

2307.00 16,4 4,8 17,4 9,8 -5,1 3 1019.00 17,3 7,8 18,6 10,2 -4,9 15 10

2407.00 16,6 6,5 18,8 9,8 -5,7 4 1019.00 16,3 4,2 17,8 10,2 -4,9 2 6

2507.00 16,1 6,4 17,6 8,6 -6,5 2 619.00 15,8 6,2 18,2 10,4 -5,5 2 11

2607.00 17,4 8,2 17,6 9,6 -5,7 7 1619.00 16,6 6,3 17,4 9,4 -6,1 6 4

2707.00 16,6 7,8 16,8 7,8 -6,1 2 1419.00 17,0 7,2 17,8 9,6 -4,7 5 12

2807.00 16,2 8,3 17,2 8,6 -5,9 7 919.00 16,4 7,5 19,0 10,6 -4,1 1 11

2907.00 17,9 8,2 18,4 10,6 -4,1 2 819.00 16,6 7,2 18,4 9,2 -5,7 3 9

30 07.00 16,8 7,3 18,6 10,4 -5,7 8 5

32

19.00 17,4 7,8 17,4 7,8 -4,3 7 6

3107.00 14,8 6,1 16,8 8,8 -6,3 9 1019.00 13,5 4,8 16,8 8,6 -6,5 3 10

107.00 16,6 8,1 21,6 12,6 -1,9 3 919.00 14,5 0,0 17,6 8,0 -5,7 2 7

207.00 15,3 6,9 15,6 7,6 -6,9 17 519.00 18,6 9,0 18,6 9,0 -4,9 1 3

307.00 17,5 9,0 19,2 10,6 -3,5 5 719.00 16,4 8,0 18,8 10,2 -2,9 10 6

407.00 16,1 8,0 17,2 10,8 -5,5 20 1319.00 16,0 8,3 18,4 10,2 -4,3 20 17

507.00 17,0 7,8 17,8 10,2 -4.9 15 1919.00 16,5 5,9 17,0 8,4 -5,9 5 14

607.00 18,2 9,6 19,2 10,2 -4,7 10 1419.00 13,8 7,0 13,8 7,0 -6,7 5 11

707.00 16,3 7,1 17,4 9,0 -5,3 4 1219.00 17,7 4,8 19,0 9,0 -3,7 4 8

807.00 15,9 6,3 17,6 9,8 -6,3 13 1019.00 17,2 6,5 18,4 9,8 -4,3 4 14

907.00 17,3 7,8 18,6 10,2 -4,9 15 1019.00 19,2 11,8 19,2 11,8 -4,7 7 5

1007.00 16,9 8,3 18,8 10,2 -5,5 2 1519.00 16,0 8,9 16,6 9,2 -3,9 9 9

1107.00 16,4 8,3 19,2 8,4 -6,1 7 1319.00 18,8 11,2 19,6 12,0 -3,7 8 11

1207.00 17,2 8,3 17,2 8,4 -5,7 6 819.00 16,0 7,4 18,8 9,0 -4,9 13 14

1307.00 16,2 7,1 16,4 9,0 -6,5 1 1719.00 16,6 7,0 16,6 7,0 -5,3 1 18

1407.00 15,5 7,0 16,6 7,8 -6,1 2 1219.00 17,3 7,8 18,6 10,2 -4,9 15 10

1507.00 15,0 7,1 16,0 8,0 -6,3 5 519.00 16,6 9,0 16,0 9,0 -4,9 0 10

KARENA BUKAN HASIL ANALISA DATA MAKA

MASUKKAN KE LAMPIRAN

4.1 KONDISI AKTUAL PETIR DI ATAS KOTA PEKANBARU

33

Analisa pertama yang dilakukan terhadap data profil suhu udara atas pada

Tabel 4.1 di atas adalah untuk menentukan nilai SWEAT dan K Index sebagai

nilai prediksi kemungkinan terjadinya thunderstorm untuk setiap harinya. Nilai

SWEAT dan K Index tersebut didapat dengan menggunakan rumus 2.3 dan 2.4.

Hasil perhitungan nilai SWEAT dan K Index dapat dilihat pada Tabel 4.2 di

bawah ini.

PINDAHKAN JUGA KE LAMPIRAN

Tabel 4.2 Hasil Nilai SWEAT dan K Indexpada tanggal 15 Oktober – 15 November 2009

Bulan TanggalSWEAT INDEX K INDEX

00.00 UTC

12.00 UTC

00.00 UTC

12.00 UTC

Oktober

15 199.0 212.8 36.4 37.616 195.8 165.6 36.1 30.417 216.8 176.2 38.4 30.518 201.6 188.6 36.6 32.519 228.1 214.6 39.0 33.720 247.6 226.0 38.4 41.921 241.2 224.4 35.9 38.522 216.8 185.0 35.1 29.823 212.8 247.6 33.9 38.424 217.2 205.6 37.8 33.025 203.2 206.6 38.0 35.326 238.8 215.2 39.3 37.027 217.2 226.0 39.5 37.128 217.4 210.7 39.0 36.429 226.8 214.2 38.0 38.730 222.6 228.8 38.0 39.131 205.6 178.0 25.2 33.0

November 1 214.2 185.0 35.6 29.82 222.6 228.2 37.1 42.13 227.0 222.8 38.6 35.94 246.2 249.1 36.0 36.85 253.0 222.0 37.3 36.96 252.4 186.6 41.5 34.27 215.6 228.4 37.1 36.28 226.8 228.4 36.3 36.69 247.6 249.4 38.4 43.1

10 221.8 219.0 39.3 36.211 223.8 252.6 41.6 41.3

34

12 226.4 232.1 40.0 38.113 213.3 219.2 37.2 38.514 202.1 247.6 37.4 38.415 195.0 209.2 36.4 38.1

4.1.2. Data Kondisi Cuaca pada tanggal 15 Oktober–15 November 2009

Data aktual diambil dari data synop yaitu data aktual yang terjadi di

Stasiun Meteorologi SSK II yang dilakukan selama 1 bulan penuh, data ini

diambil 2 kali selama rentang waktu 12 jam untuk melihat apakah selama itu

terjadi badai guntur atau tidak.

Tabel 4.3 Data Synop Stasiun Meteorologi Sultan Syarif Kasim II Tanggal 15 Oktober–15 November 2009

Tanggal Jam (WIB) Cuaca Keterangan (Ts)

1 2 3 4

1507.00 - 19.00 TS + RA Ada TS19.00 - 07.00 TS + RA Ada TS

1607.00 - 19.00 Lightning Ada TS19.00 - 07.00 TS + RA Ada TS

1707.00 - 19.00 TS + RA Ada TS19.00 - 07.00 TS + RA Ada TS

1807.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 Haze Tidak Ada TS

1907.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 Lightning Ada TS

2007.00 - 19.00 TS + RA Ada TS19.00 - 07.00 Haze Tidak Ada TS

2107.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 Haze Tidak Ada TS

2207.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 Haze Tidak Ada TS

2307.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 TS + RA Ada TS

2407.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 TS + RA Ada TS

35

2507.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 RA Tidak Ada TS

2607.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 Lightning Ada TS

2707.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 TS + RA Ada TS

2807.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 RA Tidak Ada TS

2907.00 - 19.00 TS + RA Ada TS19.00 - 07.00 Haze Tidak Ada TS

3007.00 - 19.00 TS + RA Ada TS19.00 - 07.00 Haze Tidak Ada TS

3107.00 - 19.00 TS + RA Ada TS19.00 - 07.00 TS + RA Ada TS

107.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 Haze Tidak Ada TS

207.00 - 19.00 TS + RA Ada TS19.00 - 07.00 TS + RA Ada TS

307.00 - 19.00 Lightning Ada TS19.00 - 07.00 Lightning Ada TS

407.00 - 19.00 TS + RA Ada TS19.00 - 07.00 Haze Tidak Ada TS

5 07.00 - 19.00 TS + RA Ada TS19.00 - 07.00 TS + RA Ada TS

607.00 - 19.00 TS + RA Ada TS19.00 - 07.00 TS + RA Ada TS

707.00 - 19.00 TS + RA Ada TS19.00 - 07.00 TS + RA Ada TS

807.00 - 19.00 TS + RA Ada TS19.00 - 07.00 Haze Tidak Ada TS

907.00 - 19.00 TS + RA Ada TS19.00 - 07.00 Haze Tidak Ada TS

1007.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 TS + RA Ada TS

1107.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 RA Tidak Ada TS

1207.00 - 19.00 TS + RA Ada TS19.00 - 07.00 Haze Tidak Ada TS

1307.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 TS + RA Ada TS

1407.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 RA Ada TS

1507.00 - 19.00 Haze Tidak Ada TS19.00 - 07.00 RA Ada TS

36

Keterangan:

Haze : Berkabut

TS + RA : Thunderstrom yang disertai dengan hujan

RA : Hujan sedang/ gerimis

Lightning : Terjadi Thunderstrom, tapi di luar wilayah stasiun

4.2 PREDIKSI PETIR BERDASARKAN ANALISA SWEAT DAN K-

INDEK

4.2. ANALISA DATA

4.2.1. Analisa Prakiraan Terjadinya Badai Guntur Harian Berdasarkan

Metode SWEAT dan K Index

Analisa prakiraan kejadian badai guntur menggunakan data nilai SWEAT

dan K Index pada Tabel 4.2 yang diklasifikasikan berdasarkan Tabel 2.2 dan 2.3.

Analisa hasil prakiraan SWEAT dan K Index kemudian dilakukan dengan melihat

data cuaca aktual yang ada di Stasiun Meteorologi Sultan Syarif Kasim II pada

pukul 07.00 dan 19.00 WIB setiap harinya. Berikut analisa prakiraan terjadinya

badai guntur harian dari tanggal 15 Oktober–15 November 2009.

Tabel 4.4 Prediksi dan Keadaan Aktual Terjadinya ThunderstormTanggal 15 Oktober–15 November 2009

Tanggal

Jam (WIB)

Prakiraan Badai GunturKeadaan AktualSWEAT K Index

Nilai Prediksi Nilai Prediksi

1 2 3 4 5 6 7

1507.00 - 19.00 199.0 TA 36.4 A A19.00 - 07.00 212.9 TA 37.6 A A

1607.00 - 19.00 195.8 TA 36.1 A A19.00 - 07.00 165.6 TA 30.4 TA A

1707.00 - 19.00 216.8 TA 38.4 A A19.00 - 07.00 178.2 TA 30.5 TA A

1807.00 - 19.00 201.6 TA 36.6 A TA19.00 - 07.00 188.6 TA 32.5 A TA

1907.00 - 19.00 288.1 A 39.0 A TA19.00 - 07.00 214.6 TA 33.7 A A

20 07.00 - 19.00 247.6 A 38.4 A A

37

19.00 - 07.00 226.0 TA 41.9 A TA

2107.00 - 19.00 241.2 A 35.9 A TA19.00 - 07.00 224.4 TA 38.5 A TA

2207.00 - 19.00 216.8 TA 35.1 A TA19.00 - 07.00 185.0 TA 29.8 TA TA

2307.00 - 19.00 212.8 TA 33.9 A TA19.00 - 07.00 247.6 A 38.4 A A

2407.00 - 19.00 217.2 TA 37.8 A TA19.00 - 07.00 205.6 TA 33.0 A A

2507.00 - 19.00 203.2 TA 38.0 A TA19.00 - 07.00 206.6 TA 35.3 A TA

2607.00 - 19.00 238.8 A 39.3 A TA19.00 - 07.00 215.2 TA 37.0 A A

2707.00 - 19.00 217.2 TA 39.5 A TA19.00 - 07.00 226.0 TA 37.1 A A

2807.00 - 19.00 217.4 TA 39.0 A TA19.00 - 07.00 210.7 TA 36.4 A TA

2907.00 - 19.00 226.8 TA 38.0 A A19.00 - 07.00 214.2 TA 38.7 A TA

3007.00 - 19.00 222.6 TA 38.0 A A19.00 - 07.00 228.8 TA 39.1 A TA

3107.00 - 19.00 205.6 TA 25.2 TA A19.00 - 07.00 178.0 TA 33.0 A A

107.00 - 19.00 214.2 TA 35.6 A TA19.00 - 07.00 185.0 TA 29.8 TA TA

207.00 - 19.00 222.6 TA 37.1 A A19.00 - 07.00 228.2 TA 42.1 A A

307.00 - 19.00 227.0 TA 38.6 A A19.00 - 07.00 222.8 TA 35.9 A A

407.00 - 19.00 246.2 A 36.0 A A19.00 - 07.00 249.1 A 36.8 A TA

507.00 - 19.00 253.0 A 37.3 A A19.00 - 07.00 222.o TA 36.9 A A

607.00 - 19.00 252.4 A 41.5 A A19.00 - 07.00 186.6 TA 34.2 A A

707.00 - 19.00 215.6 TA 37.1 A A19.00 - 07.00 228.4 TA 36.2 A A

807.00 - 19.00 226.8 TA 36.3 A A19.00 - 07.00 228.4 TA 36.6 A TA

907.00 - 19.00 247.6 A 38.4 A A19.00 - 07.00 249.4 A 43.1 A TA

1007.00 - 19.00 221.8 TA 39.3 A TA19.00 - 07.00 219.0 TA 36.2 A A

11 07.00 - 19.00 223.8 TA 41.6 A TA

38

19.00 - 07.00 252.6 A 41.3 A TA

1207.00 - 19.00 226.4 TA 40.0 A A19.00 - 07.00 232.1 A 38.1 A TA

1307.00 - 19.00 213.4 TA 37.1 A TA19.00 - 07.00 219.2 TA 38.5 A A

1407.00 - 19.00 202.1 TA 37.4 A TA19.00 - 07.00 247.6 A 38.4 A A

1507.00 - 19.00 195.0 TA 36.4 A TA19.00 - 07.00 209.2 TA 38.1 A A

Keterangan :

- A : Ada badai guntur

- TA : Tidak ada badai guntur

Analisa nilai SWEAT dan K Index untuk prakiraan kejadian badai guntur

pada Tabel 4.4 dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan 4.2 berikut.

Gambar 4.1 Grafik nilai SWEAT terhadap waktu kejadian

Berdasarkan Gambar 4.1 hasil pengamatan pada pukul 07.00 WIB

diperoleh nilai SWEAT Index lebih besar dari 230 terdapat pada tanggal 19, 20,

21, 26 Oktober, dan 4, 5, 6, 9 November. Sedangkan pada pukul 19.00 WIB

terdapat pada tanggal 23 Oktober, dan 4, 9, 11, 12, 14 November. Sehingga dapat

dikatakan untuk waktu 12 jam sejak pukul 07.00 WIB dan 19.00 WIB terdapat

39

kejadian badai guntur. Sebaliknya tidak terdapat kejadian badai guntur pukul

07.00 WIB terdapat pada tanggal15, 16, 17, 18, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 31

Oktober, dan 1, 2, 3, 5, 7, 8, 10-15 November. Sedangkan pada pukul 19.00 WIB

terdapat pada tanggal 15-22, 24-31 Oktober, dan 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 10, 13, 15

November.

Gambar 4.2 Grafik nilai K Index terhadap waktu kejadian

Hasil perhitungan nilai K Index dari pengamatan pada pukul 07.00 WIB

seperti yang terlihat pada Gambar 4.2 diperoleh nilai K Index lebih besar atau

sama dengan 31 terdapat pada tanggal 15–30 Oktober, dan tanggal 1–15

November, sedangkan pada pukul 19.00 WIB terdapat pada tanggal 15, 18, 19,

20, 21, 23–31 Oktober, dan 2–15 November. Nilai K Index tersebut menunjukkan

bahwa mulai pukul 07.00 WIB dan 19.00 WIB sampai 12 jam selanjutnya

terdapat kejadian badai guntur. Sebaliknya nilai K Index lebih kecil dari 31

menunjukkan tidak terdapat kejadian badai guntur. Dimana pada pukul 07.00

WIB hanya terdapat pada tanggal 31 Oktober, sedangkan pada pukul 19.00 WIB

terdapat pada tanggal 16, 17, 22 Oktober dan 1 November.

4.3 VERIVIKASI…

Analisa persentase kejadian ada dan tidaknya badai guntur untuk waktu

penelitian 15 Oktober–15 November 2009 dengan dua kali pengamatan setiap

40

harinya dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Persentase kejadian badai gunturpada tanggal 15 Oktober–15 November 2009

Dari hasil Gambar 4.1 dan 4.2, penulis mencoba melakukan perbandingan

dengan menggunakan grafik yang ada pada Gambar 4.3 yang menunjukkan bahwa

prakiraan terjadinya badai guntur tertanggal 15 Oktober–15 November 2009

untuk dua kali prakiraan setiap harinya menunjukkan bahwa persentase dengan

metode SWEAT mencapai 22% dan K Index 92%. Sedangkan berdasarkan

pengamatan kejadian yang sebenarnya hanya mencapai 53%. Dengan demikian

persentase SWEAT lebih mendekati nilai persentase kejadian aktualnya

dibandingkan K Index, namun persentase ini tidak terlalu jauh berbeda. Hasil

analisa SWEAT prakiraan tidak terjadinya badai guntur mencapai 78% dan hasil

analisa K Index 8%. Berdasarkan hasil analisa pengamatan keadaan aktual

persentase tidak terjadi badai guntur mencapai 47%. Hasil ini menunjukkan

bahwa nilai persentase SWEAT lebih mendekati kejadian aktualnya dari pada K

Index. Namun untuk keselamatan penerbangan, hasil prediksi K Index ini yang

lebih baik digunakan, hal ini dikarenakan kita dapat memberi peringatan akan

terjadinya badai guntur.

41

4.2.2. Analisa Prakiraan Terjadinya Badai Guntur Harian Berdasarkan Data

Streamline KALAU TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN

TUJUAN DAN PROSES PENELITIAN, SEBAIKNYA

DIBUANG SAJA? ATAUKAH INI MASIH BAGIAN DARI

PROSES MELIHAT PETIR SECARA AKTUAL?

Analisa streamline (pola angin) merupakan suatu analisa untuk melihat

arah pergerakan angin yang menititikberatkan kepada pola pertumbuhan pusat

tekanan rendah, arah angin horizontal dan kecepatannya. Pada umumnya pola

pusat pertumbuhan tekanan rendah tidak terdapat di wilayah sekitar daratan, hal

ini dikarenakan kurangnya pasokan uap air yang ada didaratan, sebaliknya

didaerah lautan sering terjadi pusat tekanan rendah. Hal ini menunjukkan bila

keadaan suhu muka laut lebih hangat, maka kecenderungan labilitas udara

meningkat. Berdasarkan analisa streamline ini kita dapat mengetahui arah angin

dari mana saja yang kemungkinan dapat terjadinya thunderstorm atau hujan.

Untuk wilayah Riau, kemungkinan terjadinya thunderstorm dan hujan biasanya

angin berasal dari arah timur laut sampai tenggara dan barat daya sampai barat

laut. Hal ini dikarenakan pada arah tersebut angin banyak membawa uap air yang

berasal dari lautan, sedangkan dari arah utara dan selatan angin hanya melewati

darat yang sedikit mengandung uap air. Dari analisa data streamline tersebut,

maka yang kemungkinan akan terjadi thunderstorm terdapat pada tanggal 15, 16,

17, 19, 20, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31 oktober, dan 2 – 15 november. Namun

dari hasil data aktualnya, cuma pada tanggal 25, 28 oktober yang tidak terjadi

badai guntur, tapi hanya terjadi hujan saja.

4.2.3. Verifikasi Hasil Prakiraan Dengan Kondisi Aktual

Hasil verifikasi memberikan nilai perbandingan yang pasti mengenai hasil

prakiraan dengan kondisi sebenarnya, pernyataan tersebut dinyatakan dalam nilai

kebenaran. Pernyataan yang dianggap benar adalah pernyataan dimana kondisi

sebenarnya sesuai atau sama terjadi dengan hasil prakiraan. Sebaliknya verifikasi

42

menyatakan salah apabila kondisi sebenarnya tidak menggambarkan kondisi yang

sama dengan analisa hasil prakiraan.

Hasil analisa verifikasi ini digunakan untuk menentukan nilai kebenaran

dari keakurasian metode SWEAT dan K Index. Tabel 4.5 berikut mendeskripsikan

hasil verifikasi dari hasil prakiraan dengan menggunakan metode SWEAT pada

tanggal 15 Oktober – 15 November 2009.

Tabel 4.5 Hasil Verifikasi Prediksi Badai Guntur dengan Menggunakan Metode SWEAT

Nilai

SWEAT IndeksHasil

Prediksi

Cuaca Aktual (Synop)Nilai Benar

Ada TSTidak ada

TS170-230

(Tidak ada Ts) 50 27 23 23

> 230(Ada Ts) 14 7 7 7

Jumlah 64 34 30 30

Berdasarkan Tabel 4.5 prediksi kejadian badai guntur sebanyak 14 kali

(21,9%) dimana 7 kali (10,9%) sesuai dengan kejadian realnya dan 7 kali (10,9%)

tidak sesuai dengan realnya. Sedangkan yang tidak terjadi badai guntur sebanyak

50 kali (78,1%) dengan 23 kali (35,9%) sesuai dengan realnya dan 27 kali

(42,2%) tidak sesuai. Hasil verifikasi real menunjukkan kejadian badai guntur

sebanyak 34 kali (53,1%). Sedangkan tidak terjadi badai guntur 30 kali (46,9%),

Dengan demikian berdasarkan tabel 4.6 nilai akurasi/benar prediksi thunderstorm

dengan menggunakan metode SWEAT mencapai 30 kali (46,9%).

43

Tabel 4.6 berikut mendeskripsikan hasil verifikasi dari hasil prakiraan

dengan menggunakan metode K Index pada tanggal 15 Oktober–15 November

2009.

Tabel 4.6 Hasil Verifikasi Prediksi Badai Gunturdengan Menggunakan Metode K Index

NilaiK Index

HasilPrediksi

Cuaca Aktual (Synop)

Nilai Benar

Ada TSTidak ada

TS

0 – 15 0 0 0 0

16 – 19 0 0 0 0

20 – 25 1 1 0 0

26 – 30 4 2 2 2

31 – 40 49 25 24 25

> 40 10 6 4 6

Jumlah 64 34 30 33

Keterangan :

Untuk nilai K Index 0-30 prediksi badai guntur berkisar 50% → Tidak

Ada TS

Untuk nilai K Index 31-40 prediksi badai guntur berkisar 85% → Ada TS

Untuk Nilai K Index >40 prediksi badai guntur berkisar 100% → Ada TS

44

Analisa prediksi berdasarkan Tabel 4.6 menunjukkan kejadian badai

guntur sebanyak 59 kali (92,2%) dimana 31 kali (48,4%) sesuai dengan realnya

dan 28 kali (43,8%) tidak sesuai. Sedangkan selebihnya 5 kali (7,8%) tidak terjadi

badai guntur dimana sebanyak 2 kali (3,1%) sesuai realnya dan 3 kali (4,7%) tidak

sesuai. Verifikasi lapangan menunjukkan bahwa badai guntur pada range waktu

penelitian terjadi sebanyak 34 kali (53,1%). Berdasarkan analisa kejadian realnya

tidak terjadi badai guntur sebanyak 30 kali (46,9%). Sehingga dari tabel 4.7 nilai

akurasi/benar prediksi badai guntur dengan menggunakan metode K Index

sebanyak 33 kali (51,6%).

Kemudian dari kedua metode di atas maka dapat dilihat bahwa nilai

kebenaran dari metode SWEAT lebih tinggi dari pada metode K Indeks, dengan

demikian prakiraan badai guntur untuk wilayah Bandara Sultan Syarif Kasim II

lebih akurat menggunakan metode SWEAT. Tetapi sekali lagi untuk keselamatan

penerbangan, lebih baik hasil prediksi adanya badai guntur namun pada realnya

tidak terjadi daripada hasil prediksi tidak adanya badai guntur namun pada realnya

terdi badai guntur, dimana hasil ini terdapat pada prediksi yang menggunakan

metode K Index.

45

BAB V

PENUTUP

5.1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil

kesimpulan bahwa:

1. Banyak metode dalam menentukan prakiraan terjadinya Thunderstorm,

diantaranya SWEAT dan K Index, selain itu juga dengan melihat tekanan,

arah dan kecepatan angin.

2. Hasil dari verifikasi menunjukkan kedua metode ini tidak terlalu

berpengaruh didaerah Pekanbaru pada saat musim transisi.

3. Hasil analisa menunjukkan penggunaan metode K Index lebih baik

digunakan di Pekanbaru pada musim transisi, hal ini dikarenakan

bertujuan untuk keselamatan penerbangan.

5.2. SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada bulan atau periode lain dengan

metode yang sama atau menggunakan metode yang lain untuk mengetahui

46

tingkat akurasi hasil prakiraan sehingga nantinya dapat digunakan sebagai

database informasi perkembangan thunderstorm di kota Pekanbaru.

2. Perlu dilengkapinya sarana dan prasarana penunjang penelitian di Stasiun

BMKG Pekanbaru untuk dapat meningkatkan kualitas hasil analisa

misalnya radar cuaca dan perangkat lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Doswell, C. A. dan D. M. Schulz, 2006. On the Use Indice and Parameters in

Forcasting Severe Storms. Electronic J. Severe Storms Meteor., 1(3), 1-22,

http://www.ejssm.org/ojs/index.php/ejssm/article/viewFile/11/10.

Endang, S., 2007. Teori Analisa Cuaca III. Akademi Meteorologi dan Geofisika,

Jakarta.

Firman, H., 2006. Modul Prakiraan Cuaca. Diklat Meteorologi dan Geofisika.

Medan.

Hernowo. B, 2005 Materi Perkuliahan Akademi Meteorologi dan Geofisika.

Jakarta: AMG.

Http://en.wikipedia.org/wiki/Thunderstorm

Http://images.google.co.id/images

Jaelani, A., 1992. Korelasi Badai Guruh Dengan Parameter Cuaca Dan

Kelistrikan Atmosfer Di Lembang. http://gdl.geoph.itb.ac.id/gdl.php?

mod=browse&op=read&id=jbptitbgeoph-gdl-s1-1992-atengjaela-397.

Kurniawan, E., Sukendro, dan Handayani, 2004. Analisis aktivitas guntur

(Thunderstorm) Terhadap Stabilitas Udara Di Atmosfer. Jakarta.

47

Lestari, P., 1998. Study Kasus Tinjauan Pengaruh Cuaca Terhadap Operasi

Penerbangan Khususnya Di Daerah Semarang. Skripsi. Badan Diklat

Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.

Muljono, S., 2006. Mengenal Dahsyatnya Petir sebagai Ancaman bagi Perangkat

Infokom yang Rawan. http://www.ristishop.com/in.

No Name, 2008. Severe Weather Indices.

http://avc.comm.nsdlib.org/cgi-bin/wiki.pl?Severe_Weather_Indices.

No Name, 2009. Thunderstorm. http://en.wikipedia.org/wiki/Thunderstorm.

Regariana, Cut M., 2005. Atmosfer (Iklim dan Cuaca). Jakarta.

Seto, T. H., 2000. Mengapa Hanya Sedikit Awan Konvektif Yang Tumbuh Di Atas

Daerah Bandung Pada Periode 10 Desember 1999 S.D 04 Januari 2000?.

Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 1, No. 1, 2000: 61-66.

Sri Woro B, Bayong, T.H.K, Harijono. 2005. Meteorologi Inonesia Volume II

Awan dan Hujan Monsun. Badan Meteorologi dan Geofísika, Jakarta.

Soeharsono A. MG., 1994. Meteorologi Penerbangan. Badan Pendidikan dan

Latihan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.

Soekamso, BSc., 2000. Modul Fisika Awan. Badan Diklat Meteorologi dan

Geofisika. Jakarta.

Soepangkat, 1994. Pengantar Meteorologi. Badan Pendidikan dan Latihan

Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.

48

Soetamto. 2008. Materi Perkuliahan Akademi Meteorologi dan Geofisika. Pendahuluan Klimatologi-Indonesian Climate. Jakarta: AMG.

Subiantoro, 2008. Memprakirakan terjadinya Thunderstorm dengan

Menggunakan Metode SWEAT di Bandara Halim Perdana Kusuma Jakar.

Jurusan Meteorologi, Akademi Meteorologi dan Geofisika, Jakarta, Laporan

Kerja.

Sugiyanti, 2008. Penggunaan Metode Showalter Index Dalam Memprakirakan

Thunderstorm di Masa Transis., Jurusan Meteorologi, Akademi Meteorologi

dan Geofisika, Jakarta, Laporan Kerja.

Suwignyo, 2006. Materi Perkuliahan Akademi Meteorologi dan Geofisika. Jakarta: AMG.

Oktauvan, P.D., 2008. Metode Menentukan Kemungkinan Terjadinya

Thunderstorm Di Bandara Soekarno-Hatta. Jurusan Meteorologi, Akademi

Meteorologi dan Geofisika, Jakarta, Laporan Kerja.

Zakir, Achmad. 2005, Hujan lebat, Angin Kencang dan Badai. Jakarta.

Zakir Achmad. Kajian indeks stabilitas udara model KMA di wilayah Indonesia

bulan April dan Mei 2008. Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.

Zakir Achmad dan K K Mia. 2007. Badai dan Pengaruhnya Terhadap Cuaca Buruk Di Indonesia. Jakarta.

49