artikel kumpul
TRANSCRIPT
[ ] January 10, 2013
Green Building Mempengaruhi Pentingnya Fungsi Lahan Gambut
di Kalimantan Selatan Khususnya Banjarmasin
Lahan rawa gambut di Indonesia cukup luas, mencapai 20,6 juta ha atau
10,8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat di
empat pulau besar, yaitu Sumatera 35%, Kalimantan 32%, Sulawesi 3%, dan
Papua 30%. Lahan rawa gambut adalah lahan rawa yang didominasi oleh tanah
gambut. Lahan ini mempunyai fungsi hidrologi dan lingkungan bagi kehidupan
dan penghidupan manusia serta makhluk hidup lainnya sehingga harus dilindungi
dan dilestarikan.
Lahan gambut adalah lahan yang terbentuk dari proses dekomposisi
tanaman atau serasah organik secara anaerobic. Gambut adalah tanah yang
mengandung bahan organik lebih dari 30%, sedangkan lahan gambut adalah lahan
yang ketebalan gambutnya lebih dari 50 cm. Lahan yang ketebalan gambutnya
kurang dari 50 cm disebut lahan bergambut. Gambut terbentuk dari timbunan sisa-
sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan
terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob
dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat
perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses
geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan
transportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada
umumnya merupakan proses pedogenik. Sedangkan pengertian lainnya
menyebutkan bahwa, gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik
pada fisiografi cekungan atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh
air, anaerob, menyebabkan proses perombakan bahan organik berjalan sangat
lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah gambut.
Lebih jelasnya, gambut terbentuk dari timbunan bahan organik yang
berasal dari tumbuhan purba yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan >40
cm. Proses penimbunan bahan sisa tumbuhan ini merupakan proses geogenik
yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Pembentukan gambut diduga
[ ] January 10, 2013
terjadi pada periode Holosin antara 10.000 – 5.000 tahun silam. Gambut di daerah
tropis terbentuk kurang dari 10.000 tahun lalu. Pada saat gambut masih tipis akar
tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di gambut dapat mengambil unsur hara dari tanah
mineral dibawah gambut selanjutnya gambut terbentuk diperkaya dengan unsur
hara dari luapan air sungai. Tumbuhan yang tumbuh cukup subur dan kaya
mineral sehingga gambut yang terbentuk juga subur (gambut topogen). Dalam
perkembangan selanjutnya gambut semakin tebal dan akar tumbuhan yang hidup
digambut tidak mampu mencapai tanah mineral di bawahnya, air sungai tidak
mampu lagi menggenangi permukaan gambut. Sumber hara utama pada gambut
ini hanyalah dari air hujan sehingga vegetasi yang tumbuh menjadi kurang subur
dan menyebabkan gambut yang terbentuk menjadi gambut miskin hara. Gambut
ini disebut sebagai gambut ombrogen.
Beberapa aspek lingkungan yang berhubungan dengan lahan gambut
adalah (i) lahan gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon, (ii) lahan
gambut sebagai sumber emisi gas rumah kaca, (iii) kebakaran lahan gambut, (iv)
aspek hidrologi dan subsiden. Emisi dan penambatan karbon pada lahan gambut
berlangsung secara simultan, namun besaran masing-masingnya tergantung
keadaan alam dan campur tangan manusia. Dalam keadaan hutan alam yang pada
umumnya jenuh air (suasana anaerob), penambatan (sekuestrasi) karbon
berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi. Karena itu gambut
tumbuh dengan kecepatan antara 0-3 mm tahun-1. Pada tahun-tahun di mana
terjadi kemarau panjang, misalnya tahun El-Niño, kemungkinan besar gambut
tumbuh negatif (menipis) disebabkan lapisan permukaannya berada dalam
keadaan tidak jenuh (aerob) dalam waktu yang cukup lama sehingga emisi karbon
lebih cepat dari penambatan.
Gas rumah kaca (GRK) utama yang keluar dari lahan gambut adalah
CO2, CH4 dan N2O. Emisi CO2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi
CH4 (walaupun dikalikan dengan global warming potentialnya setinggi 23 kali
CO2) dan emisi N2O. Dengan demikian data emisi CO2 sudah cukup kuat untuk
merepresentasikan emisi dari lahan gambut, apabila pengukuran GRK lainnya
seperti CH4 dan N2O sulit dilakukan.
[ ] January 10, 2013
Konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut, terutama yang
berhubungan dengan drainase dan pembakaran, merubah fungsi lahan gambut dari
penambat karbon menjadi sumber emisi GRK. Lahan hutan yang terganggu (yang
kayunya baru ditebang secara selektif) dan terpengaruh drainase, emisinya
meningkat tajam, bahkan bisa lebih tinggi dibandingkan emisi dari lahan
pertanian yang juga didrainase. Hal ini disebabkan oleh banyaknya bahan organik
segar yang mudah terdekomposisi pada hutan terganggu.
Emisi CH4 cukup signifikan pada lahan hutan gambut yang tergenang
atau yang muka air tanahnya dangkal (<40 cm). Dengan bertambahnya kedalaman
muka air tanah, emisi CH4 menjadi tidak nyata. Emisi CH4 pada lahan pertanian
relatif kecil karena rendahnya pasokan bahan organik segar yang siap
terdekomposisi secara anaero. Bentuk intervensi manusia yang sangat
mempengaruhi fungsi lingkungan lahan gambut adalah penebangan hutan gambut,
pembakaran hutan gambut dan drainase untuk berbagai tujuan; baik untuk
pertanian, kehutanan (hutan tanaman industri), maupun untuk pemukiman.
Lahan gambut mengalami kerusakan akibat kegiatan manusia.
Penyusutan yang terjadi pada lahan gambut akibat penggunaan lahan secara
eksploitatif seperti untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit tanpa adanya
pengendalian, serta pembuatan saluran (drainase) untuk menyalurkan kayu hasil
tebangan yang menyebabkan air keluar dari lahan gambut. Akibat dari drainase
adalah konversi dari komunitas lahan basah ke tanah pertanian, degradasi vegetasi
lain secara berangsur-angsur, terutama pada gambut, dan aksentuasi dari akibat
kebakaran.
Permasalahan lain yang baru-baru muncul di Kalimantan Selatan,
khususnya Banjarmasin adalah menurunnya fungsi lahan gambut di daerah-daerah
yang seharusnya adalah daerah-daerah resapan air akibat dari pesatnya
pembangunan baik itu pemukiman sederhana sampai elit maupun gedung-gedung
yang bisa dikatakan tidak ramah lingkungan (Green Building) atau arsitektur
ramah lingkungan yang juga merupakan arsitektur hijau, mencakup keselarasan
antara manusia dan lingkungan alamnya. Arsitektur hijau mengandung juga
dimensi lain seperti waktu, lingkungan alam, sosio-kultural, ruang, serta teknik
[ ] January 10, 2013
bangunan. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur hijau bersifat kompleks, padat
dan vital dibanding dengan arsitektur pada umumnya. Green architecture
didefinisikan sebagai sebuah istilah yang menggambarkan tentang ekonomi,
hemat energi, ramah lingkungan, dan dapat dikembangkan menjadi pembangunan
berkesinambungan.
Bentuk arsitek design bangunan yang baik dan ramah lingkungan adalah
bangunan yang memperhatikan lingkungan sekitarnya tidak hanya seperti
membuat taman di lingkungan rumah dan gedung, mengurangi jumlah
penggunaan kaca pada rumah atau bangunan gedung kantor, tetapi juga perlu
memperhatikan rencana awal pembangunan pada lahan tertentu, pemakaian bahan
bangunan ramah lingkungan, design saluran drainase dan sanitasi pemukiman
tersebut. Design rumah dan bangunan yang tepat pada lahan gambut adalah rumah
panggung, bukan design rumah dan bangunan yang pondasinya mengurug,
mengingat fungsi lahan gambut sebagai daerah resapan air. Bayangkan jika lahan-
lahan gambut di Kalimantan Selatan khususnya Banjarmasin sudah beralih fungsi
menjadi lahan pemukiman yang designnya tidak sesuai dengan desaign daerah
tropis, yang mengubah sistem hidrologi lahan gambut. Saat musim hujan, daerah-
daerah mana lagi yang berfungsi sebagai daerah resapan selain lahan gambut ?.
Menurut Keppres No.32/1990 tentang Kawasan Lindung dan Undang-
undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUTR), serta petunjuk
penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional - RTRWN, kawasan tanah
gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih, yang terdapat di bagian hulu sungai dan
rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung bergambut. Perlindungan terhadap
kawasan ini dilakukan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, berfungsi sebagai
penambat air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di
kawasan tersebut.
Menurut hidrologinya, lahan gambut yang merupakan lahan rawa
merupakan suatu kesatuan wilayah, suatu tindakan tata air di suatu tempat dapat
berakibat langsung atas seluruh kawasan yang berarti apabila tidak adanya lagi
daerah resapan di kawasan tertentu, maka kawasan lain yang berdekatan dapat
mengalami kebanjiran. Dapat dilihat faktanya, banyak masyarakat di daerah-
[ ] January 10, 2013
daerah lahan gambut mulai mengalami kebanjiran dan meninggikan konstruksi
rumah mereka dikarenakan seringnya terjadi banjir saat musim hujan. Hal ini jelas
bangunan di sekitar kawasan tersebut belum menerapakan konsep Green Building.
Selain tentang konsep dalam pembuatan pondasi pada bangunan yang
akan dibangun pada daerah rawa gambut, perlu diperhatikan juga sistem drainase
dan sanitasi pada banguna tersebut. Sistem drainase dan sanitasi mempengaruhi
aktivitas lahan gambut itu sendiri. Hal ini harus diperhatikan mengingat begitu
pentingnya fungsi lahan gambut bagi masyarakat Kalimantan Selatan selain
digunakan untuk pertanian.
Design safetic tank yang baik dan benar pada lahan gambut harus
diperhatikan oleh para pembangun yang berencana ingin membangun gedung atau
pemukiman di daerah lahan gambut. Black water dan gray water yang langsung
disumbangkan ke lahan gambut dapat mencemari lahan gambut itu sendiri, karena
semakin banyak zat-zat organik yang dilepaskan secara langsung ke lahan rawa
gambut lama kelamaan dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi atau
kesadahan, yaitu menurunnya kualitas air pada lahan gambut yang otomatis juga
mempengaruhi vegetasi lahan gambut itu sendiri.
Jika semua aspek tersebut kita pertimbangkan, mulai dari dampak yang
timbul pada lahan gambut serta bagaimana upaya konservasi dilakukan dalam
menjaga keberadaan lahan gambut, maka kesemuanya tentunya dapat berjalan
dengan baik jika kita juga dapat mengimplementasikan beberapa kebijakan yang
berhubungan dengan pengelolaan dan perlingungan lahan gambut, sehingga
keberadaan gambut dapat dipergunakan sebagaimana mestinya untuk keejahteraan
masyarakat tanpa harus merusaknya.