artikel hukum 100

Upload: m-ali-syahriansyah-at-tantawybinimranbinjaiz

Post on 14-Oct-2015

110 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hukum

TRANSCRIPT

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    1/24

    ANAK HASIL ZINA DAN ANAK LAHIR DI LUAR NIKAH

    OLEH Drs.H.SUMASNO.SH.M.Hum.

    HAKIM TINGGI BANJARMASIN.

    LATAR BELAKANG

    Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan yang cukup

    mengejutkan banyak pihak, yaitu dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor

    46/PUU-VIII/2010 terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin. Putusan ini lantas

    mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi,

    LSM, MUI, bahkan masyarakat. Putusan MK mengenai pengakuan anak di luar perkawinan

    mengejutkan. Walaupun melegakan sejumlah pihak, tapi akan ada permasalahan baru yang

    timbul dari putusan mahkamah konstitusi tersebut. Atas dasar hal tersebut diatas, penulis hendak

    mencoba membedah kedudukan anak lahir di luar nikah pasca putusan MK sebagaimana telah

    disebut sebelumnya. Analisa baru Jika menggunakan analisis hukum, putusan MK dalam kasus

    Hj. Aisyah Mochtar alias Machica si pelantun lagu Ilalang itu, maka ada beberapa hal yang

    patut menjadi catatan. Pertama, persoalan status anak yang lahir di luar perkawinan dari kasus

    Machica itu bermuara pada masalah pernikahan yang tidak tercatat. Kedua, pengembangan

    analisis selanjutnya adalah seputar anak yang lahir di luar perkawinan, dan anak yang sah dalam

    perspektif bahasa, Undang-undang dan perspektif kasus posisi dari kasus Machica. Ketiga,

    menyangkut kewenangan Pengadilan Agama.

    Bagaimana aspek yuridis dari pernikahan yang tidak tercatat, di sini akan menjurus pada

    persoalan yuridis materiil dan yuridis formil. Bagaimana pengertian anak yang lahir di luar

    perkawinan sebelum dan sesudah putusan MK, di sini akan tampak pergeseran makna.

    Perkawinan di Indonesia, ada perkawinan yang tercatat dan yang tidak tercatat. Pencatatan

    perkawinan di Indonesia senantiasa menjadi topik menarik karena ragam pendapat senantiasa

    muncul, baik sebelum terbentuk UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun

    sesudahnya. Berdasarkan kitab-kitab yang dijadikan pedoman oleh Departemen Agama1

    1Pada tahun 1953, Departemen Agama menetapkan 13 (tiga belas) kitab fikih yang dijadikan pedoman

    dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama. Tiga belas kitab tersebut adalah: (1) al-Bajuri, (2) Fathal-Mu'in,

    (3) Syarqawi 'ala al-Tahrir, , (4) al-Mahalli, (5) Fath al-Wahab, (6) Tuhfat, (7) Tagrib al-Musytaq (8) Qawanin al-Syar'iyyat Utsman Ibn Yahya, (9) Qawanin. al-Syar'iyyat Shadaqat Di'an, (10) Syamsuri fi al-Fara'idh, (11) Bugyat

    al-Mustarsyidin, (12) al-Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah, dan (13) Mugni al-Muhtaj. Lihat Amrullah Ahmad,Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Mengenang 65 tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, S.H),

    Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 11. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung:Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 33.

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    2/24

    1

    dalam menyelesaikan perkara dalam lingkungan Peradilan Agama, tidak terdapat ulama yang

    menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah pencatatan, baik sebagai syarat sah

    maupun sebagai syarat pelengkap. Akan tetapi, dalam undang-undang perkawinan yang

    diberlakukan, pasal yang mengatur pencatatan perkawinan itu ada, sebagai bagian dari

    pengawasan perkawinan yang diamanatkan oleh undang-undang.2

    ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN

    A. Perkawinan Yang Tidak TercatatDalam konteks pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk

    sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin di bawah tangan, kawin syar'i,

    kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai.3Perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan

    yang secara material telah memenuhi ketentuan syari'atsesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 pasal tersebut jo

    pasal 10 ayat 3 PP Nomor 9 Tahun 1975.4

    Pada umumnya yang dimaksud perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang tidak

    dicatat oleh PPN. Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap sah secara

    agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan

    yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.5 Perkawinan tidak tercatat

    termasuk salah satu perbuatan hukum yang tidak dikehendaki oleh undang-undang; karena

    terdapat kecenderungan kuat dari segi sejarah hukum perkawinan, bahwa perkawinan tidak

    tercatat termasuk perkawinan ilegal.

    Meskipun demikian, dalam Pasal 5 ayat (1) KHI terdapat informasi implisit bahwa

    pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah perkawinan; tetapi sebagai alat untuk

    menciptakan ketertiban perkawinan.

    2Ibid., hlm. 69.

    3 Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Yogyakarta:

    Pustaka Dinamika, 2002, hlm. 110.4Ibid., hlm. 110.

    5Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 87.

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    3/24

    2

    Oleh karena itu, dalam Pasal 7 ayat (3) KHI diatur mengenai itsbat nikah bagi

    perkawinan tidak tercatat. Dengan kata lain, perkawinan tidak tercatat adalah sah; tetapi kurang

    sempurna. Ketidaksempurnaan itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) KHI. Dalam

    penjelasan umum Pasal 7 KHI bahwa pasal ini diberlakukan setelah berlakunya undang-undang

    peradilan agama. Aqad pada perkawinan tidak tercatat biasanya dilakukan di kalangan terbatas,

    di muka Pak Kiai atau tokoh agama, tanpa kehadiran petugas KUA, dan tentu saja tidak memiliki

    surat nikah yang resmi. Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

    ditegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

    berlaku. Perkawinan tidak tercatat secara agama adalah sah manakala memenuhi syarat dan

    rukun perkawinan. Meskipun demikian, karena pernikahan tersebut tidak tercatat maka dalam

    hukum positif dianggap tidak sah karena tidak diakui negara (dasarnya Pasal 1 ayat 2 UU No. 1

    Tahun 1974).6

    Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut

    secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum. Perkawinan yang

    demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan jender. Karena itu menurut M. Quraish Shihab,

    perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan

    karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan.7Pernikahan apa pun selain yang tercatat

    secara resmi di negara hukumnya tidak sah.8 Permasalahannya jika perkawinan harus tercatat

    maka kaum pria merasa keberatan terutama pria yang sudah memiliki istri, karena untukpoligami prosedurnya dianggap terlalu memberatkan. Sebaliknya bagi kaum wanita perkawinan

    tidak tercatat bukan saja merugikan yaitu tidak memiliki hak menuntut harta gono-gini,

    juga akan kehilangan hak-haknya untuk menuntut kewajiban suami. Kondisi ini dianggap

    dilematis, di satu pihak keharusan pencatatan perkawinan memberatkan kaum pria, di lain pihak

    perkawinan tidak tercatat merugikan kaum wanita dan anak.

    6 Moh Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum

    Perkawinan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002, hlm. 224.

    7M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2006, hlm. 216.

    8Dadang Hawari, Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan), Jakarta: FKUI, 2006, hlm. 83.

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    4/24

    3

    B. Anak Lahir Di Luar Perkawinan Dalam Perspektif BahasaKenyataan yang ada di masyarakat luas, anak Indonesia terdapat tiga (3) macam

    status kelahirannya, yaitu :

    1. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah ;2. Anak yang lahir di luar perkawinan;3. Anak yang lahir tanpa perkawinan (anak hasil zina).

    Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, adalah anak yang

    lahir dari perkawinan yang sah, perkawinan yang mengikuti prosedur Pasal 2 ayat 1 dan ayat

    2 UU Nomor 1 Tahun 1974. Kedudukan anak yang sah dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan

    antara lain:

    a. Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, pada Pasal 28-B ayat (1), yaitu : " Setiaporang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

    sah " ;

    b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42, yaitu : " Anaksah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah " ;

    c. Pasal 2 ayat (1), yaitu : " Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukummasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu";

    d. Pasal 2 ayat (2), yaitu : " Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku " Oleh karena anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yangsah ini bukan merupakan titik pembahasan, maka penulis memandang tidak perlu

    diperluas pembahasannya, kecuali dua macam anak yang akan diuraikan dibawah ini.

    Anak yang lahir di luar perkawinan, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang

    dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pengertian ini

    menunjukkan adanya perkawinan, dan jika dilakukan menurut agama Islam, maka

    perkawinan yang demikian sah dalam perspektif fikih Islam sepanjang memenuhi syarat

    dan rukun perkawinan. Dengan demikian anak tersebut sah dalam kacamata agama, yaitu sah

    secara materiil, namun karena tidak tercatat baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di

    Kantor Catatan Sipil (anak hasil nikah sirri, seperti halnya Machica Mochtar dengan

    Moerdiono), maka tidak sah secara formil.

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    5/24

    4

    Untuk istilah anak yang lahir di luar perkawinan, maka istilah ini yang tepat untuk

    kasus Machica, mengingat anak yang lahir itu sebagai hasil perkawinan dengan memenuhi

    syarat dan rukun secara agama, namun tidak tercatat. Jadi bukanlah sebagaimana

    berkembangnya persepsi yang salah yang menganggap kasus anak dari Machica dengan

    Moerdiono sebagai anak hasil zina. Kasus tersebut merupakan anak yang dilahirkan di luar

    perkawinan karena perkawinannya hanya memenuhi Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun

    1974, dan tidak memenuhi Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974.

    Pada dasarnya perkawinan di Indonesia harus dilaksanakan dengan prosedur sesuai

    dengan pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

    itulah yang dimaksud dengan perkawinan yang sesungguhnya menurut UU No. 1 tahun 1974

    tentang perkawinan. Jika perkawinan dilakukan hanya mengikuti pasal 2 ayat 1 saja, maka

    perkawinan itu disebut luar perkawinan, oleh karena itu pasal 43 ayat 1 Undang-undang

    Nomor 1 Tahun 1974 TentangPerkawinan itu tidak berdiri sendiri, sangat berkaitan dengan

    adanya perkawinan sebagaimana diatur oleh pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang

    perkawinan.

    Disebut luar perkawinan, karena perkawinan itu dilakukan di luar prosedur pada pasal

    2 ayat 2. Tidak bisa "luar perkawinan" itu diartikan sebagai perzinaan, karena perbuatan zina

    itu dilakukan sama sekali tanpa ada perkawinan, beda sekali antara luar perkawinan dengan

    tanpa perkawinan. Analoginya bandingkan dengan kata-kata : saya tidur di luar rumah,artinya rumahnya ada tetapi saya tidur di luarnya, tetapi kalau saya tidur tanpa rumah, berarti

    rumahnya tidak ada. Oleh karena itu jika disebut "perkawinan" sudah pasti perkawinan itu

    sudah dilakukan minimal sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1

    Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah yang disebut " luar perkawinan ", sedangkan

    perzinaan sama sekali tidak tersentuh dengan term perkawinan.

    Anak yang lahir tanpa perkawinan, adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara

    pria dengan wanita tanpa ada ikatan perkawinan. Inklusif anak yang lahir atas pertemuan

    ovum dengan sperma dari pasangan suami istri yang menikah secara sah keberadaan anak

    melalui Bayi Tabung, namun anak tersebut ketika dalam masa kandungan dititipkan kepada

    rahim selain ibunya yang sah. Anak yang lahir demikian tidak sah secara materiil juga tidak

    sah secara formil.

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    6/24

    5

    Pemahaman yang keliru terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

    VIII/2010 terutama terhadap kalimat anak yang dilahirkan di luar perkawinan membawa

    kepada perdebatan panjang. Frasa di luar perkawinan sangat berbeda maknanya dengan

    frasa tanpaperkawinan. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau anak yang lahir dari

    perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaannya tapi tidak

    tercatat pada KUA atau Kantor Catatan Sipil merupakan anak yang sah secara materiil tapi

    tidak sah secara formil. Sedangkan anak yang dilahirkan tanpa perkawinan orang tuanya atau

    anak yang dilahirkan dari hubungan antara lelaki dengan perempuan tanpa adanya ikatan

    perkawinan merupakan anak yang tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil (anak

    zina). Jadi putusan MK ini tidak bisa dihubungkan dengan perzinahan atau akibat

    perzinahan, kasus yang melatarbelakangi putusan ini hanya berkaitan dengan pencatatan

    perkawinan.

    C. Tinjauan Hukum Islam Perspektif FighPenetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat

    penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram (nasab) antara anak

    dengan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang

    laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain.

    Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dariperkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat

    disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang

    sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian membicarakan asal

    usul anak sebenarnya membicarakan anak yang sah.

    Tampaknya fikih menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan anak yang

    sah. Kendatipun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas berkenaan dengan anak yang sah,

    namun dilihat dari definisi ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis, dapat diberikan batasan, anak yang sah

    adalah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah. Selain itu, disebut sebagai

    anak zina (walad al-zina) yang hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    7/24

    6

    Secara implisit al-Qur'an, 23/ 5-6 menyatakan:

    Artinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau

    budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela

    (QS. al-Mu'minun: 5-6)9

    Selanjutnya di dalam surah al-Isra', 17/ 32 juga dijelaskan:

    Artinya: Jangan kamu dekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan seburuk-

    buruk jalan(QS. al-Isra': 32).10

    Larangan-larangan al-Qur'an di atas, tidak saja dimaksudkan agar setiap orang menjaga

    kehormatan dirinya, tetapi juga yang lebih penting menghindarkan dampak terburuk dari

    pelanggaran larangan itu. Lahirnya anak zina, sebenarnya adalah akibat dari pelanggaran

    larangan-larangan Allah tersebut.

    Selanjutnya, kendatipun fikih tidak memberikan definisi yang tegas tentang anak yang

    sah, namun para ulama mendefinisikan anak zina sebagai kontra anak yang sah.

    Anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah. Dan anak

    li'an adalah anak yang secara hukum tidak dinasabkan kepada bapaknya, setelah suami istri

    saling meli'an dengan sifat tuduhan yang jelas.11

    9Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya,

    Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 526.

    10Ibid., hlm. 429.

    11Fathurrahman Djamil, "Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat

    Hukumnya", dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hnkum Islam

    Komtemporer, Buku Pertaama, Jakarta: Firdaus, 2002, hlm. 129.

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    8/24

    7

    Definisi di atas membicarakan dua jenis status anak. Anak zina yang lahir dari hubungan

    yang tidak sah (zina) dan anak li'an. Apabila terjadi perkawinan antara suami dan istri secara sah,

    kemudian istri mengandung dan melahirkan anaknya, maka suami dapat mengingkari

    kesahan anak itu apabila:

    a. Istri melahirkan anak sebelum masa kehamilan.b. Melahirkan anak setelah lewat batas maksimal masa kehamilan dari masa perceraian. 12

    Berkenaan dengan batas minimal masa kehamilan, jumhur ulama telah menetapkannya

    selama enam bulan. Dasarnya adalah firman Allah surah al-Ahqaf: 15

    Artinya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu

    bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan

    susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,

    sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a:

    "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan

    kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang

    Engkau ridhai berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak

    cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk

    orang-orang yang berserah diri". (QS. al-Ahqaf: 15).13

    12Ibid.,

    13Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Quran, op.cit., hlm.824.

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    9/24

    8

    Selanjutnya di dalam surah Luqman: 14, Allah SWT. berfirman:

    Artinya:Dan kami perintahkan kepada manusia terhadap dua orang ibu bapaknya; ibunya

    telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah, dan menyapihnya

    dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya

    kepada-Ku lah kembalimu (QS. Luqman: 14).14

    Dalam surah al-Ahqaf ayat 15 dijelaskan secara kumulatif, jumlah mengandung dan

    menyapih yaitu 30 (tiga puluh) bulan. Sedangkan dalam surat Luqman dijelaskan batas maksimal

    menyapih adalah 2 tahun (24 bulan). Jadi masa hamil yang paling sedikit adalah 30 puluh bulan

    dikurangi 24 bulan sama dengan enam bulan.15

    Informasi ini diberikan oleh Ibn Abbas dan disepakati para ulama yang menafsirkan

    bahwa ayat pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30

    bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna

    membutuhkan waktu dua tahun atau dua puluh empat bulan. Berarti bayi membutuhkan waktu

    30-24 = 6 bulan di dalam kandungan.16

    Pendapat ini agaknya disepakati oleh ahli fikih yang diperoleh dengan menangkap dalil

    isyarah al-Qur'an. Bahkan Wahbah al-Zuhaily menyebutnya sebagai satu bentuk pengambilan

    hukum yang sahih.17

    Jika dianalisis pandangan fikih berkenaan dengan anak sah ini dapatlah dipahami bahwa

    anak sah dimulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang

    terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi ini haruslah terjadi di dalam perkawinan yang

    sah. Dari sinilah penetapan anak sah tersebut dilakukan.18

    14Ibid., hlm. 654.

    15Ibid

    16Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1998, hlm. 224.

    17Musthafa Rahman, Anak Luar Nikah: Status dan Implikasi Hukumnya, Jakarta: Atmaja, 2003, hlm. 45.

    18Ibid.,

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    10/24

    9

    Dengan demikian Hukum Islam menegaskan19

    bahwa seorang anak supaya dapat

    dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-kurangnya

    enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang 'iddah selama empat bulan sepuluh hari

    sesudah perkawinan terputus.

    Mengenai tenggang waktu ini ada aliran di antara ahli fikih yang berpendapat seorang

    anak lahir setelah melampaui tenggang 'iddah sesudah perkawinan terputus, adalah anak sah dari

    bekas suaminya asal dapat dianggap bahwa kelahirannya disebabkan oleh perbuatan bersetubuh

    antara bekas suami istri itu. Dengan adanya perbedaan pandangan tersebut, ditetapkanlah

    tenggang waktu maksimun selama empat tahun, asal saja nyata bahwa dalam waktu empat tahun

    tadi ibunya tidak ada mengeluarkan kotoran.20

    Dengan demikian, apabila bayi lahir kurang dari

    enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan

    kekerabatannya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Ia hanya

    memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja.

    Disinilah perbedaannya, antara pandangan figh dengan dengan Undang-undang

    Perkawinan di Indonesia, oleh karena pandangan figh tidak mengenal pencatatan nikah, maka

    pengertian luar perkawinan sama pengertiannya dengan zina, sedangkan Undang-undang

    Perkawinan Indonesia karena mengharuskan pencatatan, maka tidak dapat di samakan antara luar

    perkawainan dengan zina. Luar perkawinan di Indonesia menurut figh adalah sah sedangkan zina

    menurut pandangan figh adalah tidak pernah tersentuh dengan istilah perkawinan.

    D. Anak Sah Dalam Perspektif Undang-undangPembahasan anak sah ditinjau dari undang-undang dapat dilihat dari beberapa

    ketentuan, antara lain dalam Pasal 28-B ayat 1 Undang-undang Dasar Tahun 1945 berbunyi :

    Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

    sah .

    19Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur, 2010, hlm. 72.

    20Ibid., hlm. 72.

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    11/24

    10

    Kata-kata melanjutkan keturunan apapun pengertian pasti terjemahan konkritnya

    adalah anak yakni kehadirannya melalui pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik

    berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan, yang

    keberadaannya harus dilakukan melalui perkawinan yang sah, hal ini dipertegas dengan Pasal 42

    Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi : anak yang sah

    adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah .

    Pasal ini tidak termasuk yang dilakukan uji materiil oleh MK, oleh karena itu

    keberadaannya masih eksis dan keberlakuannya masih harus dipedomani, jika menurut putusan

    MK memandang tidak tepat jika menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena

    lembaga seksual di luar perkawinan, hanya memiliki hubungan dengan ibunya, itu sudah benar

    tetapi tidak dapat melepaskan diri dari Pasal 28-B ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 42 ayat 1 UU No.

    1 Tahun 1974.

    Oleh karena putusan MK tersebut tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan pasal-pasal

    tersebut diatas, maka kata-kata anak diluar perkawinan tidak dapat dikatakan anak hasil

    perzinahan, karena anak hasil perzinahan bertentangan dengan kedua pasal tersebut diatas, begitu

    juga jika yang dimaksudkan oleh undang-undang adalah zina maka bahasanya jelas yaitu

    zina, bukan luar perkawinan, seperti tercantum dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 1

    Tahun 1974, yaitu berbunyi Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan

    oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibatdari perzinaan tersebut. Pasal itu jelas membedakan antara zina dengan luar perkawinan, Oleh

    karena itu tidak pada tempatnya jika kata-kata anak luar pekawinan dimaknai dengan anak hasil

    perzinahan.

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    12/24

    11

    KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA

    Kekuasaan mengadili bagi Pengadilan Agama ditentukan oleh Pasal 49 Undang-undang

    Nomor 7 Tahun 1989, yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dan

    diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Dalam

    penjelasan Pasal 49 tersebut, terdapat dua (2) butir kekuasaan Pengadilan Agama di antara 22

    butir kekuasaan mengadili bagi pengadilan agama, yang terdapat pada penjelasan angka 37 Pasal

    49 huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang

    Nomor 3 Tahun 2006, dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang

    Peradilan Agama, yakni :

    1. Angka 14 mengenai putusan sah tidaknya seorang anak , dan

    2. Angka 20 mengenai penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkata n anak

    berdasarkan hukum Islam.

    Sehubungan dengan kewenangan tersebut diatas, untuk menyikapi putusan MK Nomor

    46/PUU-VIII/2010, ini khusus untuk Pengadilan Agama dapat menerima permohonan tentang

    pengesahan anak, penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak sepanjang

    memenuhi syarat-syarat yang

    berpedoman kepada :

    a. Pasal 28-B ayat 1 UUD tahun 1945 yang berbunyi Setiap orang berhak membentukkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui Perkawinanan yang sah .

    b. Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi Anakyang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

    c. Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi Perkawinanadalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepecayaannya

    itu ; dan ayat (2), yaitu : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

    undangan yang berlaku . Jika hanya memenuhi Pasal 2 ayat 1 saja, dapat mengajukanpermohonan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama.

    d. Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 yang berbunyi : harusdibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan

    ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    13/24

    12

    berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum

    mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ".

    Persyaratan-persyaratan yang dipedomani tersebut diatas bersifat kumulatif.

    Penetapan / putusan Pengadilan Agama tentang pengesahan anak dan asal usul anak itu

    akan menjadi dasar bagi Kantor Catalan Sipil untuk menerbitkan Akta Kelahiran. Dapat

    dimaklumi bahwa sebelum lahirnya Undang-undang No. 7 tahun 1989 bahwa dalam hal

    kekuasaan untuk menetapkan pengesahan anak oleh Pengadilan Agama dianggap belum berlaku

    efektif sebab berdasar Pasal 43 ayat 2 Undang-undang No. 1 tahun 1974 bahwa ketentuan dalam

    undang-undang, baru berlaku efektif hanya setelah diatur oleh Peraturan Pemerintah. Namun

    setelah lahirnya Undang-undang No. 7 tahun 1989, segala ketentuan dalam undang-undang

    tersebut sejak diundangkan tanggal 29 Desember 1989 telah berlaku efektif tanpa menunggu

    pengaturan oleh Peraturan Pemerintah kecuali yang tegas-tegas dalam pasal yang bersangkutan

    disebutkan demikian. Ini berarti kekuasaan Pengadilan Agama terhadap penetapan pengesahan

    anak, asal-usul anak dan pengangkatan telah sepenuhnya berlaku secara efektif.

    DASAR-DASAR PERKAWINAN

    Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

    suami istri dengan tujuan membentuk keluarga,rumah tangga yang bahagiadan kekal berdasarkan

    Ketuhanan Yang Maha Esa. ( UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1 ).

    Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan akad yang sangat kuat atau

    Mitsagon gholidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

    (KHI pasal 2).

    Perkawinan adalah sah,apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

    kepercayaannya itu (( UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 )

    Bagi orang yang beragama Islam,perkawinan adalah sah,apabila dilakukan menurut

    hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang

    perkawinan. (pasal 4).

    Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus di

    catat (pasal 5 ayat 1).

    Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah

    sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No.32

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    14/24

    13

    Tahun 1954. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5,setiap perkawinan harus dilangsungkan

    dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (Pasal 6 ayat 1). Perkawinan yang

    dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. (Pasal

    6 ayat 2)

    Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai

    Pencatat Nikah. (Pasal 7 ayat 1). Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta

    Nikah,dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. (Pasal 7 ayat 2)

    Anak sah, itsbat nikah dan poligami.

    Putusan MK ini tidak serta merta MUHAMMAD IQBAL RAMADHAN dapat

    memperoleh hak-hak keperdataan atau harta warisan dari ayah biologisnya, yaitu

    MOERDIONO. Tetapi harus melalui proses hukum yang ada terlebih dahulu, dan ini

    memerlukan waktu.

    Untuk dapat diakui menjadi anak sah, Pasal 99 KompilasiHukum Islam (KHI) memberi

    batasan bahwa anak sah adalah: (a). Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang

    sah, dan (b). Hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut

    (bayi tabung).

    Jika perkawinan kedua orangtuanya belum dicatat, maka berlaku ketetntuan Pasal 7 KHI,

    yaitu:(1). Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat

    Nikah;

    (2). Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat

    nikahnya ke Pengadilan Agama;

    (3). Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang

    berkenaan dengan:

    (a). Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

    (b). Hilangnya Akta Nikah;

    (c). Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

    (d). Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 1974, dan

    (e). Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan

    menurut UU No. 1 Tahun 1974;

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    15/24

    14

    (4). Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka,

    wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu;

    Itsbat nikah dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama

    atau tidak dicatat dicatat oleh PPN yang berwenang dan efek hukum terhadap itsbat ini adalah

    perkawinan yang telah disahkan oleh pengadilan agama berlaku surut dan anak-anak yang lahir

    dari perkawinan yang telah diitsbatkan tersebut akan menjadi anak sah dari pasangan suami istri

    tersebut. (Bunyi amar penetapannya adalah: Menyatakan sah perkawinan antara .............

    dengan......... yang dilaksanakan pada tanggal ....... di ..........).

    Itsbat nikah dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau

    tidak dicatat dicatat oleh PPN yang berwenang dan efek hukum terhadap itsbat ini adalah

    perkawinan yang telah disahkan oleh pengadilan agama berlaku surut dan anak-anak yang lahir

    dari perkawinan yang telah diitsbatkan tersebut akan menjadi anak sah dari pasangan suami istri

    tersebut. (Bunyi amar penetapannya adalah: Menyatakan sah perkawinan antara .............

    dengan......... yang dilaksanakan pada tanggal ....... di ..........).

    Dalam kasus MACHICA dengan MOERDIONO, itsbat nikah tidak dapat dilaksanakan

    karena pada saat MOERDIONO menikahi MACHICA, posisi MOERDIONO masih mempunyai

    istri sah. Yang bisa dilakukan MACHICA adalah mengajukan ijin poligami ke Pengadilan

    Agama.

    UU No. 1 Tahun 1974 menganut asas monogami, tetapi dimungkinkan seorang suamiberistri lebih dari seorang dengan cara mengajukan permohonan ke Pengadilan dengan syarat:

    (Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974)

    a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;c. Istri tidak dapat melhirkan keturunan.Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974 mensyaratkan pula:

    a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin kepeluan-keperluan hidup istri-istri dan

    anak-anak mereka;

    c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    16/24

    15

    SOLUSI MAHKAMAH KONSTITUSI

    Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari

    2012 memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU

    Perkawinan) bertentangan dengan UUD 1945 bila tidak dibaca: /Anak yang dilahirkan di luarperkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta

    dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

    teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk

    hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

    Tujuan dari MK adalah untuk menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapat

    perlindungan hukum. Menurut pertimbangan MK, hukum harus memberi perlindungan dan

    kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada

    padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih

    disengketakan.

    Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tidak menyebut soal akta kelahiran anak luar kawin

    maupun akibat hukum putusan tersebut terhadap akta kelahiran anak luar kawin. Implikasi

    putusan MK ini berkaitan dengan status hukum dan pembuktian asal usul anak luar kawin.

    Hubungannya dengan akta kelahiran adalah karena pembuktian asal-usul anak hanya dapat

    dilakukan dengan akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan

    yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU Perkawinan.

    Mengenai konsekuensi hukum dengan dikeluarkannya suatu akta kelahiran terhadap anak

    luar kawin ialah di dalam akta kelahiran anak tersebut hanya tercantum nama ibunya. Karena

    pada saat pembuatan akta kelahiran, status sang anak masih sebagai anak luar kawin yang hanya

    diakui memiliki hubungan darah dan hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja.

    Dalam akta kelahiran anak luar kawin tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak dengan

    tercantum nama, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu

    (menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak). Demikian ketentuan Pasal 55 ayat(2) huruf a PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang

    Administrasi Kependudukan .

    Dengan adanya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, hubungan antara anak luar kawin

    dengan bapaknya adalah hubungan darah dalam arti biologis yang dikukuhkan berdasarkan

    proses hukum. Putusan MK membuka kemungkinan hukum bagi ditemukannya subyek hukum

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    17/24

    16

    yang harus bertanggungjawab terhadap anak luar kawin untuk bertindak sebagai bapaknya

    melalui mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan

    teknologi mutakhir dan/atau hukum.

    Dengan kata lain, setidaknya ada dua cara untuk dapat menjadikan sang anak luar kawin

    memiliki hubungan darah dan juga hubungan perdata dengan ayah biologisnya dan keluarga

    ayahnya, yaitu; 1.pengakuan oleh sang ayah biologis; atau 2. pengesahan oleh sang ayah biologis

    terhadap anak luar kawin tersebut.

    Putusan MK hanya menguatkan kedudukan ibu dari si anak luar kawin dalam

    memintakan pengakuan terhadap ayah biologis dari si anak luar kawin tersebut, apabila si ayah

    tidak mau melakukan pengakuan secara sukarela terhadap anak luar kawin. Dengan diakuinya

    anak luar kawin oleh ayah biologisnya, maka pada saat itulah timbul hubungan perdata dengan si

    ayah biologis dan keluarga ayahnya. Dengan demikian, setelah adanya proses pengakuan

    terhadap anak luar kawin tersebut, maka anak luar kawin tersebut terlahirlah hubungan perdata

    antara anak itu dengan ayahnya sebagaimana diatur Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum

    Perdata (KUHPer) yang berbunyi: /Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah

    hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya./ Dalam hal ini, penting untuk dicatat

    bahwa anak yang dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah (incest, sumbang) tidak boleh

    diakui. Hal ini diatur dalam Pasal 283 KUHPer.

    Putusan MK ini mendapat kecaman terutama dari organisasi Islam, seperti MUI dan NU.Ketua MUI bidang fatwa, KH. Maruf Amin mengatakan: Putusan MK itu positif jika niatnya

    untuk melindungi anak-anak hasil nikah sirri, sedang anak yang lahir karena hubungan di luar

    pernikahan tetap tidak diberi keistimewaan.

    Sementara Pengurus Wilayah Nadhaltul Ulama (PWNU) Jawa Timur tetap menolak anak

    hasil zina. Ketua PWNU Jawa Timur KH. M.Hasan Mutawakkil Alallah mengatakan:

    Keputusan MK ini memberi peluang melegalisasi pernikahan siri. Pernikahan siri tidak ada

    bedanya dengan pernikahan resmi yang dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA), karena

    berlandaskan syariat Islam, diantaranya adanya ijab kabul. Ini berbeda dengan anak hasil

    perzinaan yang tidak ada ijab kabul dan wali....(Surya, 19 Pebruari 2012).

    Terhadap kecaman yang muncul, Ketua MK, Mahfud MD telah mengklarifikasikan

    putusannya dengan mengatakan bahwa: yang dimaksud majelis dengan frasa anak di luar

    perkawinan bukan anak hasil zina, melainkan anak hasil nikah siri. Hubungan perdata yang

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    18/24

    17

    diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak berbentuk nasab, waris, dan wali nikah. Hak

    yang dapat dituntut anak di luar perkawinan yang tidak diatur fiqih, antara lain, berupa hak

    menuntut pembiayaan pendidiakn atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan

    hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata atau hak

    untuk menuntut karena ingkar janji. Intinya adalah hak-hak perdata selain hak nasab, hak waris,

    wali nikah, atau hak perdata apapun yang tidak terkait dengan prinsip-prinsip munakahat sesuai

    fikih.

    SOLUSI MAHKAMAH AGUNG RI

    Mahkamah Agung (MA) akhirnya membuat terobosan hukum untuk menetapkan hak-hak

    anak yang lahir dari hubungan diluar nikah dan pernikahan bawah tangan (sirri dan mutah).

    MA menetapkan anak hasil zina tidak berhak memperoleh waris, namun berhak mendapatkan

    nafkah dan pembagian sebagian harta peninggalan bapak biologis (wasiat wajibah). Ketentuan

    tersebut tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 Tahun 2012 hasil

    pembahasan Komisi Bidang Peradilan Agama MA.

    SEMA yang mengikat hakim-hakim peradilan agama itu menguatkan putusan Mahkamah

    Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 dalam pengujian pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang

    perkawinan.

    Dalam amar putusannya, MK mengubah pasal 43 ayat (1) UU No 1/ 1974 tentang

    Perkawinan menjadi anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata

    dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat

    dibuktikan berdasar ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum

    mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

    Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan, berdasar mazhab

    Hanafi, anak hasil zina berhak mendapat nafkah dari ayah biologis dan keluarga ayah biologis.

    Ketika ayah biologis meninggal, anak hasil zina juga berhak mendapatkan pembagian wasiat

    wajibah yang besarnya ditentukan Pengadilan Agama.

    Sesuai dengan ketentuan hukum waris, besar wasiat wajibah tidak boleh melebihi

    sepertiga diantara total harta yang ditinggalkan setelah dikurangi kewajiban kewajiban yang

    harus ditaggung mayat seperti pelunasan hutang dan wakaf yang dijanjikan . Istilahnya bukan

    waris, tetapi menafkahisegala biaya hidup si anak sesuai dengan kemampuan ayah biologisnya

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    19/24

    18

    dan kepatutan. Misalnya, mempertimbangkan lamanya masa perkawinan dan besaran

    penghasilan bersih atau take home pay.

    Menurut Mansyur,ayah biologis tetap wajib memberikan nafkah kepada anak yang

    dilahirkan hasil hubungan di luar perkawinan tersebut semata-mata untuk memenuhi rasa

    keadilan, melindungi kepentingan dan HAM anak. Pendapat MA itu diyakini bersifat progresif

    karena mengubah pandangan masyarakat bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan

    hokum dengan garis keturunan si ibu.

    SEMA ini menjadi pedoman hakim-hakim agama sehingga tidak terjadi perbedaan penerapan

    hukum.

    Ketentuan tersebut tidak hanya berlaku bagi anak hasil zina melainkan juga anak hasil

    perkawinan bawah tangan, baik kawin siri (perkawinan yang sah sesuai hukum agama namun

    tidak didaftarkan negara) maupun kawin mutah(kawin kontrak). Seperti halnya anak hasil zina,

    anak hasil perkawinan siri danmutahwajib mendapat penetapan dari pengadilan agama untuk

    mendapatkan haknya.

    Meski berhak mendapatkan nafkah dan wasiat wajibah, anak hasil zina dan perkawinan

    bawah tangan tetap tidak berhak mendapatkan hak wali nikah dan garis keturunan atau nasab.

    Dalam hal ini, MA tampaknya memperhatikan fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 11 Tahun

    2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakukan Terhadapnya. Dalam fatwa tersebut,

    MUI menegaskan anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, dan warisdengan lelaki yang menjadi penyebab kelahirannya.

    Bedanya, dalam fatwa tersebut, MUI masih mengeluarkan laki-laki penyebab kehamilan

    dari kewajiban memberikan nafkah untuk anak biologis. Meski demikian, MUI tetap

    mengapresiasikan SEMA tersebut. Pasalnya, MA dinilai tetap melindungi kemurnian garis

    keturunan yang sah (hifzd an nasl) yang menjadi salah satu tujuan perkawinan.

    ini keputusan yang bagus karena tetap melindungi hifzd an nasl dan tidak mengubah

    garis keturunan, ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam kemarin (4/2).

    Dalam fatwanya, MUI menegaskan, anak hasil zina tidak menanggung dosa zina orang

    tua yang mengakibatkan kelahirannya. Meski demikian, anak hasil zina hanya mempunyai

    hubungan nasab, waris, dan nafkah dengan ibunya dan keluarga ibunya.

    MUI juga mendorong pemerintah menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan ketentuan

    Alquran (hadd) pada laki-laki yang berzina. Sesuai dengan ketentuan Alquran, hukuman Hadd

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    20/24

    19

    yang dijatuhkan bagi laki-laki dan perempuan pezina adalah hukuman cambuk seratus kali di

    depan umum. Tujuannya, mempertegas perlindungan agama terhadap garis keturunan yang sah.

    Namun, pemerintah tidak menerapkan hukuman hadd tersebut dan menggantinya dengan

    hukuman badan sesuai dengan pasal 284 KUHP.

    Selain hukuman hadd,laki-laki pezina dikenai hukuman yang bersifat memberi pelajaran

    atau takzir berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak serta memberikan harta setelah

    dia meninggal melalui wasiat wajibah.

    Hukuman takzir itu bertujuan melindungi anak, bukan untuk mengesahkan hubungan

    nasab antara anak tersebut dan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

    UU PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MK

    Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

    rakyat Indonesia telah menggunakan tiga sistem hukum perkawinan, yaitu bagi umat Islam

    menggunakan hukum perkawinan (fiqh munakahat), umat Nasrani mengikuti aturan HOCI

    (Stb.1933 Nomor 74), dan golongan Tionghoa memakai BW, sedang masyarakat lainnya

    menggunakan hukum adat kebiasaan. Khusus umat Islam dipakai pula aturan teknis yang

    terdapat dalam UU Nomor 22 Tahun 1946 dan UU Nomor 32 Tahun 1954 jo Huwelijk

    Odnantntie Stb. 1933 Nomor 98 yang mengatur tata cara perkawinan umat Islam di zaman

    penjajahan Belanda).

    Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat pasal-pasal

    yang sejalan dengan prinsip hukum dari ketiga sistem hukum tersebut di atas.Prinsip pencatatan

    perkawinan sejalan dengan sisitem hukum Barat, prinsip sahnya perkawinan sejalan dengan

    hukum Islam, dan prinsip pembagian harta perkawinan sejalan dengan hukum adat.

    UU perkawinan telah dua kali mengalami uji materi di MK, dalam permohonan yang

    diajukan oleh AISYAH MACHICA MUHTAR dan anaknya MUHAMMAD IQBAL

    RAMADHAN menguji ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatanperkawinan, dan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang anak yang lahir di

    luar perkawinan.

    Terhadap permohonan uji materi ketentuan Pasal 2 ayat(2) UU Nomor 1 Tahun 1974

    tentang pencatatan perkawinan, MK memutuskan bahwa pasal tersebut tidak bertentangan

    dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 dengan alasan bahwa UU a quo yang mensyaratkan

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    21/24

    20

    pencatatan, meskipun faktanya menambah persyaratan untuk melangsungkan perkawinan,

    namun ketiadaanya tidak menghalangi adanya pernikahan itu sendiri.

    Uji materi juga diajukan oleh HALIMAH AGUSTINA (istri BAMBANG

    TRIHATMOJO) terhadap ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang

    menyatakan bahwa antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

    menjadi alasan diperbolehkannya perceraian.

    Dalam amar putusan MK, pasal yang berbunyi antara suami dan istri terus menerus

    terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah

    tangga dianggap tidak memiliki kesalahan. Artinya, tidak ada alasan bahwa pasal tersebut

    melanggar hak bernegara Halimah.

    Sejarah pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    diwarnai dengan pergumulan pandangan idiologis yang keras dan butuh waktu yang sangat

    panjang dan sampai hari ini masih ada keinginan untuk terus memperbaharui undang-undang

    perkawinan ini agar sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini.

    Meski demikian, dengan putusan-putusan MK di atas menunjukkan bahwa Undang-

    Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih relevan untuk dapat dipedomani bagi

    masyarakat Indonesia di bidang perkawinan, dengan beberapa penafsiran oleh institusi yang

    berwenang untuk itu.

    PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT MAHKAMAH KONSTITUSI

    Pencatatan perkawinan merupakan kewajiban administratif berdasar undang-undang,

    sedang factor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh

    agama.

    Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-

    undangan merupakan kewajiban adminstratif negara. Pencatatan dimaksudkan dalam rangka

    fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hakasasi manusia yang merupakan tanggungjawab Negara (Vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5)

    UUD 1945).

    Pencatatan perkawinan sebagai pembatasan, pencatatan, menuurut MK, tidak

    bertentangan dengan undang-undang dan dilakukan semata-mata untuk menjamin pengakuan

    dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    22/24

    21

    sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum (Vide

    Pasal 28J ayat (2) UUD 1945).

    Dr.H. Habiburrahman, M.Hum, Hakim Agung RI memberikan ilustrsai menarik: Ibarat sesorang

    memiliki kendaraan roda empat, tapi tidak ada surat-suart (BPKB dan STNK), mobil tersebut

    bisa saja dipakai oleh pemiliknya sepanjang tidak bermasalah, tapi begitu melanggar lampu

    merah, tabrakan, menyerempet, melanggar marka jalan, dan sebagainya akan mengundang

    masalah dan menjadi pemilik kendaraan amat repot, begitu juga bila mobil itu dicuri orang

    kemudian lapor polisi. Polisi tidak akan menggubris atau bahkan dianggap mobil curian bila

    diminta tunjukkan BPKB-nya bahwa benar mobil itu milik pelapor, mobil tersebut tidak akan

    laku dijual karena tidak ada bukti kepemilikan.

    KESIMPULAN

    1. Perkawinan di Indonesia harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur Pasal 2 ayat 1 dan 2Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah perkawinan yang

    sesungguhnya, tetapi jika perkawinan itu hanya dilaksanakan sesuai Pasal 2 ayat 1 saja

    berarti perkawinan itu dilakukan di luar prosedur Pasal 2 ayar 2, itulah yang disebut luar

    perkawinan dan dapat mengajukan permohonan ITSBAT NIKAH di Pengadilan Agama.

    2. ITSBAT NIKAH dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas sebagaimana diatur dalampasal 7 Kompilasi hukum islam ayat 3, dan tidak dikenal ITSBAT NIKAH Poligami.

    3. Ketentuan yang mengatur tentang kehadiran anak yang sah adalah harus melalui perkawinanyang sah sesuai dengan Pasal 28-B ayat 1 UUD 1945, dan Pasal 42 Undang-undang Nomor 1

    Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dengan demikian tidak ada dasarnya bahwa anak hasil

    perzinahan itu dihukumkan sebagai anak yang sah.

    4. Uji Materi yang dilakukan oleh MK melalui putusan Nomor 46/PUU/VIII/2010, adalahkasus yang diajukan oleh Machica Mochtar yang dinikahi oleh Drs. Moerdiono, keduanya

    menikah secara Islam, oleh karena itu Machica dan Moerdiono tidak dapat dikelompokkansebagai pasangan yang melakukan perzinahan. Dengan demikian putusun MK tidak dapat

    diterapkan untuk kasus-kasus perzinahan, dapat diterapkan untuk kasus lain sepanjang kasus

    posisinya sama dengan kasus Machica.

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    23/24

    22

    5. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung telah melakukan IJTIHAD atau terobosanhukum dengan menciptakan hukum baru berupa kewajiban ayah biologis memberi nafkah

    kepada anak yang dilahirkan hasil hubungan diluar perkawinan tersebut semata-mata untuk

    memenuhi rasa keadilan, melindungi kepentingan Anak.

    6. Mahkamah Agung (MA) membuat terobosan hukum untuk menetapkan hak-hak anak yanglahir dari hubungan diluar nikah dan pernikahan bawah tangan (sirri dan mutah). MA

    menetapkan anak hasil zina tidak berhak memperoleh waris, namun berhak mendapatkan

    nafkah dan pembagian sebagian harta peninggalan bapak biologis (wasiat wajibah).

  • 5/24/2018 Artikel Hukum 100

    24/24

    23

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdul Khamid Hakim, Kitab Al-Bayan. 1983.

    Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan islam Di Indonesia Antara Figh

    Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Kencana, Jakarta.2007

    Ahmad Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional

    (Mengenang 65 tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, S.H), Jakarta:

    Gema Insani Press, 1996,

    Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu,28 Maret 2012

    Fathurrahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat

    Hukumnya", dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary,

    Problematika Hnkum Islam Komtemporer, Buku Pertaama, Jakarta:Firdaus, 2002.

    Dadang Hawari, Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan), Jakarta:FKUI, 2006.

    Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung:Pustaka Bani Quraisy,

    2005.

    Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Yogyakarta:Pustaka Dinamika,

    2002.

    Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur,2010.

    Moh Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 dari SegiHukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002.

    Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1998.

    M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2006.

    Yayasan Penterjemah / Pentafsir al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya,Surabaya: DEPAG RI,

    1978.

    Undang-undang Dasar RI Tahun 1945.

    Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

    Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 17 Febuari 2012.

    Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

    Surat Edaran PTA Semarang Nomor W11-A/863/HK.00.8/III/2012