fungsi teori hukum dan hukum acara dalam …pta-bengkulu.go.id › images › artikel ›...
TRANSCRIPT
-
FUNGSI TEORI HUKUM DAN HUKUM ACARA
DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN HUKUM
Oleh ; Ruslan H.R.
I. Pendahuluan
Masih ada diantara aparat hukum (hakim) yang beranggapan,
bahwa teori berada di kawasan yang jauh dari sesuatu yang praktis,
bahkan sering menimbulkan kesan tidak praktis dan kurang
membantu memecahkan persoalan hukum secara konkret. Singkat
kata teori itu menghambat, berliku-liku, bahkan memusingkan.
Pendapat tersebut, tentu tidak tepat, sebab boleh jadi anggapan
mereka itu sudah termasuk bagian dari sebuah teori. Fungsi utama
teori adalah untuk memberikan kejelasan terhadap suatu masalah.
Semakin baik kemampuan suatu teori untuk menjelaskan sesuatu,
semakin tinggi penerimaan orang terhadap teori tersebut. Apabila di
kemudian hari muncul teori baru yang mampu memberikan kejelasan
yang lebih baik dan lebih tepat, maka teori yang lama pun akan
ditinggalkan. Hal tersebut sangat lumrah dalam dunia ilmu
pengetahuan.
Dalam sebuah acara debat di tv-one pada hari Senin (malam)
tanggal 29 April 2013, yang bertajuk ”Perjuangan Machicha Mochtar
Berujung Duka”, Profesor O.C. Kaligis memperlihatkan
keangkuhannnya yang menganggap remeh aparat dan lembaga
peradilan agama, dengan pernyataannya ”bubarkan saja peradilan
agama itu” akibatnya sebagian warga peradilan agama merasa
dilecehkan oleh bung O.C. Kaligis. Kalimat ini sebenarnya tidak pantas
diucapkan oleh seorang pengacara senior, karena tentu saja beliau
sudah memiliki banyak teori dan sejuta pengalaman dalam beracara di
-
pengadilan dan kalimat itu bisa saja membuat tokoh dan ulama serta
umat Islam pada umumnya perasaannya tersinggung karena terkesan
seolah-olah ada pelecehan umat Islam (SARA). Bisa saja ada orang
Islam menduga bahwa jangan-jangan O.C. Kaligis ini termasuk salah
seorang yang tidak nyaman bila peradilan agama tumbuh dan
berkembang di Indonesia ?. Seorang pengacara senior sekelas O.C.
Kaligis tentu tidak perlu diberi pengajaran lagi bahwa bila merasa tidak
puas atas putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan berkaitan
dengan kasus mbak Chica Mochtar, pihak yang merasa dirugikan itu
dapat melakukan upaya hukum banding ke PTA Jakarta dan
seterusnya, bukan harus mengeluarkan pernyataan yang berbau
SARA terhadap umat Islam. Penulis tahu persis bung O.C. Kaligis ini
adalah seorang pengacara pertama yang mampu menguji kemampuan
pengadilan dalam hal beracara. Penulis sempat mengenal sepintas
sosok O.C. Kaligis, ketika masih bertugas di Pengadilan Agama
Makassar pada tahun 1985, ketika itu O.C. Kaligis sempat menemui
penulis dan memberikan buku Yurisprudensi MA ditambah dengan
buku Retnowulan dan buku M. Yahya Harahap yang berjudul Hukum
Acara Perdata di Indonesia. Penulis salut dan wajar kalau diucapkan
terima kasih yang tak terhingga atas kepeduliannya itu. Mungkin cara
itu dilakukan oleh O.C. Kaligis dengan maksud dan upaya ikut
membantu mencerdaskan hakim pengadilan agama di dalam
memahami hukum acara perdata di Indonesia. Tapi mengapa O.C.
Kaligis setelah bergelar Prof.,Dr. perilakunya berbeda, mudah-
mudahan itu bukan karena kesombongan intelektual.
Di dalam ilmu manajemen sebagaimana ditulis oleh Zondan
Siagian di dalam bukunya yang berjudul ”Manajemen Sumber Daya
Manusia”, beliau menegaskan bahwa seseorang melakukan kesalahan
itu, ada tiga faktor penyebab, yaitu ; Pertama, terjadi karena kurang
-
komunikasi, Kedua, terjadi karena ketidaktahuan dan Ketiga, terjadi
karena kesalahan/kekeliruan. Penulis tidak tahu persis di mana posisi
O.C. Kaligis di sini. Mungkin O.C. Kaligis perlu mengetahui bahwa tidak
semua hakim peradilan agama keadaannya seperti yang diduga itu
(bodoh). Mungkin O.C. Kaligis tidak tahu bahwa ada beberapa hakim
pengadilan agama yang menguasai hukum acara perdata di Indonesia,
bahkan ada beberapa orang diantara mereka termasuk penulis sendiri
mengajar dalam mata kuliah Hukum Acara Perdata Indonesia. Bukan
hanya itu Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah
Agung RI, memprogramkan bimtek (bimbingan teknis) setiap
tahunnya terhadap semua hakim di seluruh Indonesia, baik hakim
tingkat pertama maupun hakim tingkat banding. Dan sepanjang bulan
Maret hingga bulan April tahun 2013 ini seluruh Pengadilan Tinggi
Agama di seluruh Indonesia turun melakukan pengawasan di daerah
wilayah hukumnya masing-masing. Mereka menggalakkan secara
terus menerus pembinaan, baik yang menyangkut teknis yustisial
(hukum acara), maupun yang menyangkut teknis administrasi
peradilan dan administrasi umum. Pembinaan tersebut dilakukan oleh
Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama se-wilayah hukum
Pengadilan Tinggi Agama yang bersangkutan. Yang menarik dari
pembinaan itu, baik hakim tingkat banding maupun hakim tingkat
pertama,kesemuanya bersemangat memberikan kontribusi pemikiran
setiap permasalahan yang dibahas/dikaji, terutama pada saat
dilakukan ekspose, mengapa mereka mau memberikan kontribusi
pemikiran ?, karena rata-rata diantara mereka memiliki ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan tugas pokoknya sebagai hakim.
Tidak mungkin dari sekian banyak hakim yang dibimbing dan dibina itu
semuanya berpredikat ”bodoh”, tentu saja ada juga yang lebih pintar
dari bung O.C. Kaligis. Pertanyaannya adalah apakah kalau kita
-
menemukan hakim yang sama pintarnya atau lebih pintar dari O.C.
Kaligis, lalu pengadilan agama harus dibubarkan ?. Pernyataan
tersebut tidak berdasar teori dan jauh dari logika hukum. Penulis
tertarik dengan pendapat salah seorang sahabat bahwa dari hasil
pengamatannya selama ini, tidak semua profesor dan doktor itu
pintar-pintar. Ada diantara mereka yang sudah pikun karena umurnya
sudah termasuk ”Lansia” (Lanjut Usia), sehingga pembicaraannya pun
tidak teratur dan tidak tersistimatis, mudah tersinggung dan senang
mengancam. Pada waktu penulis kuliah di Fakultas Hukum di tahun
1980 an, pernah diajar oleh salah seorang Profesor dalam mata kuliah
Hukum Internasional, tetapi entah bagaimana sang Profesor itu pada
saat belajar menerangkan masalah pertandingan sepak bola antara
PSM vs Pesebaya. Lalu timbul pertanyaan apa hubungannya antara
mata kuliah Hukum Internasional dengan pertandingan sepak bola
antara PSM vs Persebaya ?. Mungkin saja ada benarnya pendapat
O.C. Kaligis itu, akan tetapi tolong jangan digeneralisasi. Sebab
memang ada teori dalam Islam yang menyatakan bahwa; ”apabila
sesuatu itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka
tunggulah datangnya kehancuran”. Insya Allah peradilan agama di
Indonesia akan berusaha untuk terhindar dari keadaan seperti itu.
Mengapa ? karena yang dijadikan kunci di dalam memecahkan
berbagai permasalahan hukum, bukan hanya hukum acara, tetapi juga
adalah teori hukum, termasuk teori hukum Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa suatu ilmu yang dimiliki tanpa
disertai dengan teori yang kuat, maka hal itu bagaikan bangunan
tanpa pondasi yang kukuh. Demikian juga ilmu hukum sebagai suatu
sistem keilmuan sangat membutuhkan penguasaan wawasan berbagai
”teori hukum” (Legal Theory, The Philosophy of Law, Jurisprudence),
maupun ”konsep hukum” (The Legal Precepts), terutama sekali di era
-
reformasi ini, termasuk tentunya petunjuk teknis, bahkan mungkin
tuntutan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang baru
yang diharapkan akan melahirkan paradigma hukum baru, yang cocok
bagi iklim perubahan Indonesia di abad ini. Perkembangan baru
tersebut menghendaki suatu keterampilan baru yang seharusnya
dimiliki oleh para sarjana hukum, termasuk hakim yang seperti
dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bukan hanya berupa
keterampilan tukang, melainkan mampu menciptakan masyarakat
sebagaimana yang dikehendaki melalui sarana-sarana hukum dan
mampu menyelesaikan masalah-masalah hukum di dalam konteks
sosialnya1.
Salah satu contoh klasik yang menarik di pengadilan agama,
berkaitan dengan hukum acara yaitu masalah amar putusan cerai
karena taklik talak, misalnya amar tersebut berbunyi ; ”menjatuhkan
jatuh talak satu khul’i Tergugat terhadap Penggugat dengan
pembayaran uang iwad sejumlah Rp 1.000.-(seribu rupiah)”. Sebelum
amar ini diucapkan oleh hakim pengadilan agama, sudah barang tentu
hakim di sini harus menggunakan teori hukum yang disebut dengan
teori silogisme. Rumusannya sebagai berikut ; Premis mayor,
sewaktu-waktu suami menyakiti badan jasmani istrinya dan istrinya
tersebut keberatan ke pengadilan agama dan keberatannya itu
diterima oleh pengadilan agama, maka jatuhlah talak satu kepadanya.
Premis minor, si Fulan menyakiti badan jasmani istrinya yang bernama
Hindun. Kesimpulannya, jatuh talak satu khul’i si Fulan (suami)
terhadap si Hindun (istri) dengan uang iwad Rp 1.000.-(seribu rupiah).
Contoh lain seperti kasus perkawinan antara mbak Chica Mochtar
dengan Moerdiono, apakah sah menurut hukum Islam?. Hakim
pengadilan agama di sini harus menggunakan teori silogisme
1 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 228.
-
kategorial, yaitu; Premis mayor, perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan agama dan
kepercayaannya itu. Premis minor, Chica Mochtar dan Moerdiono,
menikah menurut agama Islam, di mana telah terpenuhi syarat dan
rukun nikah di dalam Islam. Kesimpulannya, perkawinan Chica
Mochtar dan Moerdiono adalah sah menurut agama Islam.
Contoh lainnya masalah pencabutan perkara perceraian di
pengadilan tingkat banding (PTA), sangat diperlukan sebuah teori
guna memecahkan kebuntuan atas munculnya beberapa pendapat
berkaitan dengan masalah tersebut. Masalah ini tidak cukup kita
mengandalkan pengetahuan hukum formal (hukum acara) yang kita
pahami selama ini. Kajian ini bukan hanya mendapat perhatian di
kalangan hakim tingkat pertama dan hakim tingkat banding, tetapi
juga berkembang di kalangan elit di Mahkamah Agung, bahkan
masalah itu pembahasannya telah dikaji secara lebih mendalam dalam
sebuah diskusi hukum yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal
Badan Peradilan Agama MA RI di Jakarta pada hari Selasa tanggal 30
April 2013 dengan narasumber M. Yahya Harahap, di mana penulis
pada acara tersebut hadir sebagai peserta Penulis yakin pasti bung
O.C. Kaligis tidak akan mampu memecahkan permasalahan ini, karena
di sini amat sulit diterapkan hukum formal (hukum acara perdata)
secara umum, sebab di dalamnya ada hukum materiil yang harus
dipertimbangkan yaitu keberlakuan hukum Islam yang disebut dengan
talak satu bain sugra.
Selain itu penulis bersama beberapa orang hakim tinggi telah
merumuskan pula contoh draft putusan terhadap perkara syikak dan
non syikak, yang tentu saja perkara syikak dengan menggunakan
hakam didahului dengan putusan sela. Kami telah melakukan
beberapa kali diskusi hukum dan berpendapat bahwa perkara
-
perceraian harus dibedakan antara perkara syikak dan non syikak.
Perbedaan itu bukan karena jenisnya perkara, tetapi karena
kualitasnya perkara, oleh karena itu hukum acaranya pun harus
berbeda. Bila perkara non syikak harus didahului dengan keberadaan
seorang mediator sebelum pemeriksaan pokok perkara, maka perkara
syikak keberadaan seorang hakam dilakukan setelah memasuki
pemeriksaan pokok perkara. Bila perkara cerai itu karena kualitas non
syikak, penerapan hukumnya antara lain berdasar pada Pasal 22 ayat
(2) PP No. 9 Tahun 1975 jo Perma 01 Tahun 2008 Tentang Mediasi
serta hukum acara perdata secara umum sebagaimana diatur dalam
Pasal 307 RBg/Pasal 170 HIR, Pasal 308 ayat (1) RBg/Pasal 171 ayat
(1) HIR dan Pasal 309 RBg/Pasal 172 HIR. Adapun perkara cerai
karena kualitas syikak, penerapan hukumnya cukup berdasar pada
Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989. Teori kami
bahwa Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 itu adalah
merupakan lex specialis. Di dalam Pasal 76 ayat (1) menyangkut
keterlibatan keluarga atau orang-orang dekat dari suami istri sebagai
saksi-saksi, sedangkan Pasal 76 ayat (2) menyangkut keterlibatan
hakam yang masing-masing satu orang hakam dari suami dan satu
orang hakam dari istri. Hukum acara seperti ini berbeda dengan
hukum formal (hukum acara perdata) secara umum.
Masalah lain yang menjadi sorotan pada waktu hakim tinggi
pengawas daerah turun ke daerah adalah masalah permohonan
pengesahan nikah, di mana di dalam praktiknya di pengadilan agama
terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan
bahwa tenggak waktu antara pengumuman dan penetapan hari sidang
harus terpisah, karena ada interval waktu antara pengumuman
dengan PHS (Penetapan Hari Sidang). Sementara pendapat kedua
menyatakan bahwa antara pengumuman dengan PHS (Penetapan Hari
-
Sidang) merupakan satu kesatuan, sehingga tidak perlu ada interval
waktu yang memisahkan antara pengumuman dengan PHS
(penetapan hari sidang). Untuk memecahkan perbedaan pendapat ini,
harus digunakan teori hukum, bahwa apakah tidak akan memakan
waktu yang cukup lama, bila harus dipisahkan waktunya antara
pengumuman dengan penetapan hari sidang. Lalu kita hubungkan
dengan asas hukum bahwa apakah kita mempertimbangkan asas
hukum; cepat, sederhana dan biaya ringan.
Selain itu masalah pelaksanaan mediasi, bila kita membaca
Buku II halaman 85 poin 12, yang berbunyi sebagai berikut ; ”Jika
para pihak/salah satu pihak menolak untuk dimediasi setelah
diperintahkan oleh pengadilan, maka penolakan para pihak/salah satu
pihak untuk mediasi dicatat dalam berita acara sidang dan putusan”.
Kalimat ini melahirkan pula pendapat yang kontroversi antara satu
hakim dengan hakim lainnya. Ada hakim yang berpendapat bahwa
catatan dalam buku II tersebut, sedikit menyalahi ruh dan esensi dari
Perma No. 01 Tahun 2008 Tentang Mediasi. Lalu timbul pertanyaan
dan berpijak pada sebuah teori bahwa Buku II tidak boleh
bertentangan dengan Perma No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi ?.
Karena Perma No. 01 Tahun 2008 itu dan Buku II, keduanya
merupakan produk Mahkamah Agung RI. Mereka pun berpendapat
bahwa solusi yang tepat dengan menggunakan teori bahwa mediasi
tetap diupayakan akan tetapi diklasifikasi hasil mediasi itu ke dalam
tiga kategori, yaitu ; mediasi gagal, mediasi tidak berhasil dan atau
tidak layak mediasi. Jadi tidak ada ruang bagi mereka yang berperkara
untuk menyatakan tidak mau dimediasi. Kata ”tidak mau” itu harus
diganti dengan kata ”gagal” untuk dilakukan mediasi.
Upaya lain yang dilakukan oleh kawan-kawan hakim tinggi
adalah mempersiapkan bahan dan instrumen dalam rangka
-
pengawasan hatibinwasda (hakim tinggi pembina dan pengawas
daerah) di daerah. Mereka telah merumuskan tata cara atau langkah-
langkah yang konkret dan praktis yang harus dilakukan oleh seorang
hakim tinggi dalam melakukan pembinaan dan pengawasan di daerah.
Hal ini dilakukan demi untuk menyamakan persepsi dalam pembinaan
dan pengawasan itu. Sebab tidak mustahil akan terjadi perbedaan
pandangan atau pendapat di kalangan hakim tinggi sendiri, mengingat
karena latar belakang keberadaan mereka yang berbeda-beda dan
beraneka ragam pengetahuan dan pengalaman mereka selama
menjadi hakim tingkat pertama. Tujuan yang ingin dicapai tentu saja
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas SDM (Sumber
Daya Manusia) yang pada akhirnya menjadikan peradilan agama
sebagai peradilan yang court of law sebagaimana yang diharapkan
oleh pimpinan Mahkamah Agung RI, sehingga peradilan agama akan
makin kokoh dan tidak perlu dibubarkan seperti yang dikehendaki oleh
Sdr. O.C. Kaligis.
Memang harus diakui ada beberapa buku yang bisa dijadikan
sebagai acuan dalam pelaksanaan tugas pokok di pengadilan agama,
termasuk diantaranya beberapa buku O.C. Kaligis, yang kebetulan ada
di perpustakaan pribadi penulis. Akan tetapi sayangnya buku-buku itu
ternyata belum dapat membantu secara sepenuhnya guna
memecahkan berbagai persoalan hukum, khususnya bidang teknis
yustisial di lingkungan peradilan agama, hal ini disebabkan karena
adanya keterbatasan uraian di dalam buku tersebut. Mungkin banyak
orang yang berpendapat bahwa Buku II saja telah beberapa kali
direvisi, namun masih juga ditemukan berbagai kekurangan dan
kelemahan, baik dari segi substansi materinya, terlebih lagi dari segi
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD (Ejaan
Yang Disempurnakan). Penulis sendiri berpendapat, ada beberapa
-
substansi materi hukum yang penting untuk dikembangkan dalam
Buku II edisi I, tetapi justru dihilangkan pada penerbitan edisi-edisi
revisi berikutnya. Demikian pula tentunya buku-buku lain yang
diterbitkan oleh beberapa Pengadilan Tinggi Agama di Indonesia.
Penulis sendiri ikut terlibat dalam penyusunan buku HIJAU terbitan I
dari Ujung Pandang yang dibuat pada tahun 1992, pada masa itu di
era kepemimpinan almarhum Drs. Moh. Ersyad, S.H., selaku Ketua
Pengadilan Tinggi Agama Ujung Pandang, ketika itu penulis bertindak
sebagai juru ketik dengan menggunakan mesin ketik manual milik
Bapak Drs. H. M. Juzmi Hakim, S.H.,M.H. (mantan Ketua PTA
Makassar). Buku itu ternyata sudah harus direvisi karena sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan hukum yang ada saat ini. Ada
beberapa Pengadilan Tinggi Agama saat ini telah menerbitkan pula
buku-buku baru menyangkut petunjuk teknis (hukum acara dan
hukum materiil) yang dibuat khusus untuk kalangan sendiri, misalnya
; buku yang diterbitkan oleh PTA Medan, PTA Makassar, PTA Bengkulu,
PTA Bandung, PTA Mataram dan lain-lain. Ada diantara kita yang
berpendapat bahwa buku-buku yang diterbitkan oleh beberapa
pengadilan tinggi agama itu adalah sebuah karya monomental. Penulis
sangat setuju dengan pendapat itu, karena alasannya tidak semudah
itu orang dapat membuat dan menyusun berbagai rumusan seperti
yang terdapat di dalam buku-buku itu yang sudah barang tentu
menggunakan berbagai macam cara dan metode. Namun ketika buku-
buku itu diangkat derajatnya menjadi sebuah karya ilmiah, tentu saja
pendapat itu berlebihan. Karena ada beberapa indikator yang harus
terpenuhi sehingga sebuah karya atau buku dikatakan ilmiah.
Indikator tersebut antara lain ; sistematis, terukur, logis dan rasional
serta bisa diuji kapan dan di mana saja, baik dari sisi metodologi
penulisan, metode berpikir dan penggunaan bahasa Indonesia yang
-
baik dan benar sesuai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Salah satu
saja indikator yang tidak terpenuhi, maka buku tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai sebuah karya ilmiah. Cukup kita tempatkan
sebagai sebuah karya yang monomental. Secara jujur penulis berkata
bahwa secara umum buku-buku tersebut nampaknya tidak cukup
untuk dijadikan sebagai acuan dalam beracara di pengadilan agama
ataupun di pengadilan tinggi agama guna menjawab berbagai
permasalahan yang muncul di kalangan praktisi hukum di pengadilan
agama. Terlepas dari kebenaran dan ruang lingkup pembahasan buku-
buku yang dimaksudkan itu, ternyata memang dari hasil bacaan kita,
bahwa masalah pencabutan perkara perceraian pada tingkat banding,
belum pernah disentuh dan tidak pernah dibahas secara lengkap dan
tuntas, baik di dalam buku II edisi terakhir, maupun di dalam buku-
buku yang diterbitkan oleh beberapa pengadilan tinggi agama yang
dimaksud, sehingga wajar bila masalah ”pencabutan perkara
perceraian di tingkat banding” itu, oleh sebagian Ketua Pengadilan
Tinggi Agama seluruh Indonesia membuat kesepakatan untuk
dijadikan acuan secara nasional. Dalam kaitan dengan penerapan
teknis yustisial, orang pun sepakat bahwa cukup diselesaikan sendiri
secara ke dalam, karena hakim itu memiliki otonomisasi dalam
memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan
kepadanya, namun yang dipertanyakan di sini bukan substansi
hukumnya, tetapi yang dipertanyakan itu hanya sebatas pada
masalah format saja, apakah dalam bentuk penetapan atau putusan ?
Pertanyaan itu diajukan justru sasaran yang ingin dicapai adalah
dalam rangka menyamakan persepsi dan keseragaman sebagaimana
yang selalu dianjurkan dan diharapkan oleh Dirjen Badan Peradilan
Agama Mahkamah Agung RI, Bapak Drs. H. Puruwosusilo, S.H.,M.H.
-
Menurut penulis, permasalahan pencabutan perkara banding dalam
perkara perceraian, walaupun substansi materinya bisa dikatakan
kecil, namun nampaknya tidak bisa dijawab dengan argumentasi biasa
dalam sebuah debat kusir, tetapi harus dijawab dan diselesaikan
dengan argumentasi hukum atau logika hukum dengan menggunakan
teori hukum. Mengapa ? karena perkara perceraian di pengadilan
agama yang berakhir dengan produk putusan cerai itu, yang biasanya
diucapkan oleh hakim dengan talak satu bain sugra, memiliki
konsekuensi hukum Islam yang tidak mudah terpecahkan. Kenapa
penulis katakan demikian, karena pencabutan perkara perceraian di
tingkat banding dengan alasan mereka berdamai dalam arti kedua
belah pihak kembali rukun sebagai suami istri dalam rumah tangga,
menyebabkan putusan pengadilan agama menjadi inkracht (telah
berkekuatan hukum tetap), artinya mereka harus bercerai.
Dari sinilah lahir sebuah teori (al-mashlahah al-mursalah).
Imam Maliki menyatakan bahwa ”rasio harus diperhatikan untuk
pertimbangan kemaslahatan ”al-mashalih al-mursalah”. Diskusi
tentang rasio logis telah mencatat bahwa kepentingan umum berperan
dalam menentukan munasabah (kesesuaian), sebuah metode yang
fundamental dalam membangun dan memverifikasi rasio. Sebagian
penulis memasukkan pembahasan tentang persoalan ini dalam bab
yang disebut dengan istidhal, bab yang biasa mencakup jenis-jenis
penyimpulan yang tidak termasuk dalam kategori qiyas. Persoalan
yang muncul dalam istishlah dengan kasus-kasus yang hukumnya
diperoleh berdasarkan keuntungan yang sesuai secara rasional yang
didukung dengan fakta baru biasanya disebut dengan al-mashalih
mursalah. Namun harus diakui sebagian dari ahli ushul fikih menolak
kesimpulan apapun yang tidak didukung oleh bukti teks-teks,
meskipun dimotivasi karena kepentingan umum atau sebaliknya. Malik
-
bin Anas sendiri memiliki kesimpulan yang merespon kepentingan
umum tanpa didukung dengan teks-teks atau adanya fakta baru. Teori
tersebut memperlihatkan bahwa ciri kepentingan umum yang diadopsi
dalam sebuah kasus adalah munasib (sesuai) dan muta’bar (relevan),
baik dengan prinsip universal hukum maupun bagian tertentu dari
bukti tekstual. Oleh karena itu kesesuaian dengan relevan merupakan
persyaratan bagi kesimpulan yang sah dari teori maslahah mursalah.
Teori Al-Ghazali menempatkan persoalan istislah secara
berbeda, bahwa tujuan hukum Al-Ghazali (maqashid tasriiyah)
mencakup pada puncak prinsip menjaga agama, menjaga jiwa,
menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga hak milik pribadi. Ciri
tersebut dapat dibuktikan sebagai prisip pasti (qathi’) dan universal
(kulli), maka penalaran yang didasarkan atasnya adalah umat Islam
pada umumnya dan bukan hanya sebagian umat Islam yang terlayani2. Sebagai gambaran misalnya bahwa putusan pengadilan agama
tingkat pertama itu harus dibatalkan oleh hakim tingkat banding,
karena kalau tidak dibatalkan, maka putusan pengadilan agama
tersebut menjadi inkracht. Bila putusan itu menjadi inkracht, lalu
bagaimana dengan tujuan hukum Islam seperti yang digambarkan
oleh Imam Al-Ghazali di atas ?. Seterusnya bila putusan pengadilan
agama itu dibatalkan, maka teori pun berkata bahwa tidak mungkin
putusan pengadilan agama akan dibatalkan oleh sebuah penetapan
pengadilan tinggi agama. Itulah sebabnya penulis berpendapat bahwa
perkara perceraian yang dicabut di tingkat banding karena adanya
perdamaian dalam arti kedua belah pihak kembali rujuk sebagai suami
istri, harus ada produk putusan yang membatalkan putusan hakim
tingkat pertama. Harus dipahami betul bahwa pencabutan perkara
banding dalam sengketa perdata murni dalam wujud barang, berbeda
2 Al-Ghazali, Al-Mustasfa, Maktabah Babil Halabi, hlm. 284-315.
-
hukumnya dengan pencabutan perkara dalam hal perceraian dalam
hukum Islam, karena pada satu sisi terdapat objek sengketa yang
berlatar belakang kebendaan (barang mati) dalam perdata murni dan
pada sisi lain terdapat benda hidup (manusia) dalam perdata Islam.
Kalau kita hubungkan dengan teori ”Maqasid” , maka tujuan hukum
Allah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dilihat dari segi manusiawi yang
menitikberatkan pada kepentingan manusia atau mukallaf dan dilihat
dari segi Allah sebagai pembuat hukum, yaitu tujuan Allah membuat
hukum. Tujuan hukum Islam sesuai dengan fitrah manusia adalah
mencapai kebahagiaan hidup dan mempertahankannya yang disebut
para pakar filsafat hukum Islam dengan istilah al-tahsil wa al-ibqa
atau mengambil maslahat serta sekaligus mencegah kerusakan ”jalb
al-mashalih wa daf al-mafasid”. Oleh sebab itu salah satu teori yang
harus dipegang oleh hakim pengadilan agama dalam memecahkan
berbagai persoalan hukum adalah bahwa hakim itu tidak harus selalu
berada dalam situasi dan konteks legal justice, walaupun mereka
harus lebih awal harus berdasar pada pendekatan legal justice, boleh
jadi hakim dalam kasus tertentu secara kasuistis harus melakukan
penemuan hukum bahkan mungkin penciptaan hukum. Dalam situasi
seperti itu pendekatan legal justice harus ditanggalkan menuju pada
pendekatan sosial justice dan pendekatan moral justice. Di dalam
melakukan penemuan hukum atau penciptaan hukum itu, hakim harus
mampu menggunakan berbagai penafsiran hukum, misalnya
penafsiran analogis, penafsiran ekstensif, penafsiran reskriftif, dan
tidak munstahil hakim harus menggunakan penafsiran a contrario.
Pentingnya penafsiran itu, menurut Satjipto Rahardjo, karena hukum
itu bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat yang lebih maju
dan adil 3. Konsep hukum seperti ini menekankan betapa pentingnya
3 Satjipto Rahardjo, Op cit, hlm. 231.
-
pengetahuan tentang teori hukum itu sebagai dasar utama di dalam
memahami perangkat peraturan-peraturan hukum yang ada dan
sekaligus pentingnya keahlian untuk menafsirkannya melalui
kemampuan untuk menganalisa dan menilai asumsi hukum, terutama
yang berkaitan dengan perkembangan masyarakat dalam mengisi
perkembangan hukum sebagai sarana perubahan sosial. Itulah hakim,
mereka memiliki kewenangan konstitusi dan kewenangan yudisial
yang tentu saja berbeda dengan aparat hukum lainnya, seperti ; KPK,
polisi, jaksa dan pengacara yang serba normatif dengan selalu
mengandalkan asas legalitas. Menurut M. Yahya Harahap, seorang
hakim harus dapat memahami interogasi filosofis dan memiliki
konstitusional 4. Berkaitan dengan interogasi filosofis, hakim harus
mempertanyakan dalam dirinya sebagai berikut ;
1.Apakah Anda tidak termasuk orang yang tercela dan orang
yang tidak jujur.
2.Apakah Anda di dalam mengembang tugas pokok sebagai
hakim benar-benar telah profesional.
3.Apakah Anda mampu memberikan keadilan yang mustaqim.
4. Apakah Anda telah memamahami dan mau mengamalkan
nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
5. Apakah Anda telah memiliki pengalaman-pengalaman dan
maukah Anda meningkatkan kualitas pengetahuan di bidang
hukum.
Sementara itu hakim diberi jaminan konstitusional imunitas
oleh negara secara totalitas di dalam melaksanakan tugas pokoknya,
sekalipun Anda salah dalam menerapkan hukum secara substansial.
SEMA No.9 Tahun 1976, menyebutkan hakim tidak boleh dituntut
sekalipun salah dalam penerapan hukum.
4 M.Yahya Harahap, Diskusi Hukum, 30 April 2013 di Direktorat Jenderal Badilag MA di Jakarta.
-
Lalu bagaimana cara memahami dan mengetahui tentang teori
hukum itu ?, paling tidak seorang hakim harus memperbanyak buku
bacaan referensi tentang hukum, termasuk teori hukum atau
mengikuti jenjang pendidikan program S2 dan S3 di berbagai
perguruan tinggi di tanah air, yang di dalamnya diajarkan mata kuliah
teori hukum. Mempelajari berbagai teori dan konsep hukum Barat,
seyogianya sebagai seorang hakim, harus melakukan kajian dan
analisis kritis, lalu melakukan apa yang disebut rekonstruksi hukum.
Sejalan dengan itu tentunya terlebih dahulu harus dipahami perjalanan
sejarah lahirnya suatu teori dan konsep hukum yang biasanya
didapatkan melalui pembelajaran dalam mata kuliah ”sejarah hukum”
pada program S2 atau S3, di mana semua teori dan konsep hukum itu
didasarkan pada pandangan atau aliran filsafat tertentu yang
merupakan bagian dari suatu peradaban tertentu. Teori-teori yang
sifatnya legalistik, dogmatik, normatif, positivistik, jelas-jelas
merupakan produk barat, yang serupa dengan paham filsafat liberalis,
individualis, dan sekuler di barat, di mana diantara sekian banyak
teori hukum atau konsep hukum itu, ada yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, termasuk
nilai-nilai hukum Islam seperti yang penulis gambarkan dalam
beberapa contoh kasus di atas. Sehubungan dengan itu, merupakan
suatu keniscayaan, perlu dipadukan antara kajian historis dan kajian
komparatif dalam memahami dan mencoba melakukan rekonstruksi
teori hukum. Harus dilakukan kajian komparatif yang membandingkan
teori dan konsep hukum barat di satu pihak, dengan teori dan konsep
hukum timur, di lain pihak, termasuk dengan teori dan konsep hukum
Islam. Teori hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan
seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan
masyarakat mempertahankan ketertiban dan kebebasannya. Hukum
-
haruslah netral dan dapat diterapkan pada siapa saja secara adil.
Penerapan hukum Islam di zaman Nabi Muhammad SAW, terbukti
mampu mengimplementasikan secara konsisten ”keadilan
substansial”, dan sama sekali tidak menomorsatukan ”keadilan
prosedural-formal” seperti yang didewa-dewakan oleh dunia barat
selama ini dan sepertinya dianut pula secara kuat oleh sebagian hakim
pengadilan agama di Indonesia. Namun demikian tidak semua teori
dan konsep hukum barat kita tolak, sebab tentu saja terdapat bagian
dari teori dan konsep barat yang mungkin cocok untuk diterapkan di
masyarakat Indonesia, termasuk hukum formal (hukum acara). Untuk
itu harus ada proses analisis yang akurat untuk mampu memilah-
milahnya. Selain itu, juga harus digali dan dipetik berbagai teori dan
konsep hukum Islam, yang dalam sejarah peradaban, pernah
menciptakan suatu masyarakat yang benar-benar madani, terutama
dalam masa keemasan Islam dan tentu saja saat inilah, kita harus
bangkit kembali mengangkat peradaban Islam yang lebih bermanfaat
pada masyarakat luas, karena siapa lagi yang akan mengangkat nilai-
nilai hukum Islam itu, kalau bukan aparat hukum (hakim) peradilan
agama di Indonesia.
Bertitik tolak dari hal-hal yang dikemukakan di atas, maka
pertanyaan pun muncul, sejauhmana peranan teori hukum dalam
memecahkan persoalan hukum yang timbul di kalangan masyarakat
Indonesia ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan
mengemukakan beberapa teori hukum dalam Islam dan teori hukum
sekuler dari dunia Barat seperti yang diuraikan di bawah ini. Tentu
saja diharapkan seorang hakim akan mampu mengaplikasikan dan
memilah antara lain beberapa teori tersebut yang cocok dan sesuai
dengan masalah yang dihadapi secara konkret dan kasuistis.
II. Beberapa Teori Hukum Dalam Islam
-
Salah satu teori klasik yang dikenal dalam Islam adalah teori
ijtihad. Sebagaimana dipahami bahwa Ijtihad adalah aktivitas yang
dilakukan oleh seorang faqih untuk memperoleh hukum tingkat zanny.
Kata faqih berasal dari kata ”fuqaha” yang berarti ”orang yang
berbakat fiqh”, bukan berasal dari kata ”faqiihaa”, yang berarti ”orang
yang luas ilmu pengetahuan”. Pintu ijtihad bagi orang yang berbakat
fikh terbuka lebar dengan alasan bahwa hukum-hukum dalam nash
terbatas, sedangkan kegiatan manusia tidak terbatas, maka mustahil
untuk mengembalikan yang tidak terbatas pada yang terbatas 5.
1. Esensi Teori Ijtihad Wahbah Az-Zuhaily
Teori ini menyatakan bahwa ijtihad bukanlah satu kesatuan
yang utuh yang tidak dapat dibagi-bagi tanpa menguasai berbagai
masalah. Seorang mujtahid harus dapat melakukan ijtihad dalam satu
bidang tertentu. Jika tidak, maka hukum Islam akan menjadi jumud
(beku statis). Jumhur ulama mujtahid sepakat bahwa tidak boleh ada
suatu masa yang sunyi dari mujtahid yang berijtihad guna
menyelesaikan dan menetapkan hukum Islam. Mereka berpendirian
bahwa ijtihadlah yang telah membawa keharuman dan kecemerlangan
Islam, sehingga agama ini bisa beradaptasi dengan berbagai situasi
dan kondisi 6.
2. Esensi Teori Yusuf Qardhawi
Teori ini menyatakan bahwa tidak ada ijtihad tanpa
mencurahkan kemampuan. Dalam arti ada usaha mencurahkan
segenap kemampuan dalam mengikuti dalil-dalil qath’i dan meneliti
dalil-dalil zanny.Beliau menegaskan bahwa tidak ada ijtihad dalam
masalah yang qath’i. Hal ini untuk menghindarkan seseorang agar
tidak terjebak oleh arus orang yang berusaha mempermainkan agama,
yaitu yang berusaha merubah nash yang jelas pada nash yang belum
5 Abd. Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ikhtiar Baru, Jakarta, 1996, hlm. 567.6 Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm. 70
-
jelas, mengubah hukum qath’i menjadi zanny. Tidak boleh menjadikan
zanny menjadi qath’i. Kita harus tetap menjaga urutan tingkat hukum
sebagaimana adanya. Bila kita menghubungkan fikh dan hadis perlu
konsentrasi untuk melihat dan menganalisis illat hukum, kaidah
syariah dan tujuannya. Perlunya mujtahid mengantisipasi pembaruan
yang bermanfaat serta tidak mengabaikan semangat zaman dan
kebutuhannya7.
Dari teori ini ijtihad itu harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;
a. Pengerahan kemampuan dengan sungguh-sungguh.
b. Tujuan memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali dari
dalil-dalil zanny.
c. Tidak bertentangan dengan ruh hukmi syar’i.
d. Bersifat aplikatif.
e. Berorientasi kemaslahatan 8.
Selanjutnya ditekankan, lapangan atau medan ijtihad dapat
diperankan pada hal-hal berikut ;
a.Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan
oleh nash al-Quran atau as-Sunnah secara jelas.
b. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijemakan
oleh ulama atau aimamatul-mujtahidin.
c. Nash-nash zanny dan dalil-dalil yang diperselisihkan.
d. Hukum Islam yang ma’qulul ma’na/ta’aqquly (kausalitas
hukumnya/illat-nya dapat diketahui para mujetahid).
3. Esensi Teori Ath-Thufi.
Dalil-dalil syariat itu terdiri atas sembilan belas macam.
Setelah diadakan penelitian semua pendapat ulama tercakup di
dalamnya. Dalil-dalil tersebut adalah ; Al-Kitab, As-Sunnah, Ijema al-
ummah, ijema ahl al-Madinnah, al-qiyas, perkataan sahabat rasul,
7 Ibid.8 Ibid.
-
masalih al-mursalah, al-istihsab, al-baraah al-asliyyah, al—awaid,
istiqra, saddu az-zarai, istidhal, istihsan, al-akhzu bi al-akhaffi, al-
ismah, ijma al-kufah, ijma al-itrah, ijma al-Khulafa al-Rasyidin.
Pengertian sabda Rasul tersebut ialah menetapkan maslahat dan
menafikan (meniadakan) mudarat. Sebab, mudarat adalah kerusakan.
Jika dilarang oleh syariat, maka maslahat harus dipertahankan 9.
Dalil terkuat adalah nash dan ijma’. Keduanya terkadang selaras dan
terkadang bertentangan dengan maslahat. Jika selaras dengan
maslahat, tidak perlu dipertentangkan karena telah adanya
kesepakatan tiga dalil sekaligus bagi suatu hukum, yaitu ; nash, ijma,
dan maslahat, dengan teori yang diambil dari pengertian sabda
Rasulullah SAW, la dara wa la dirara. Jika keduanya bertentangan ,
yang harus didahulukan adalah penggunaan maslahat dari pada nash
dan ijma’. Caranya mengadakan takhsis atau tabyin terhadap
pengertian nash dan ijma’, bukan membekukan berlakunya salah satu
dari keduanya. Sama halnya dengan penjelasan sunnah terhadap ayat
al-Quran, kemudian mengamalkan pengertian sunnah.
4. Teori Qiyas (Konstruksi Masalik al-Illat)
Qiyas merupakan dalil yang paling enteng dalam
memecahkan masalah-masalah baru yang belum ditegaskan dalam
nash atau oleh pembahasan mujtahid terdahulu. Menurut Ibrahim
Hosen, pembaruan dalam bidang ini dapat ditempuh dengan cara
merumuskan kaidah pencarian dan pengujian illat yang benar-benar
baru. Dengan demikian dalam menggalakkan qiyas tidak terikat
dengan masalik al-illat gaya lama, hasil rumusan ulama terdahulu.
5. Teori Ijtihad Ibrahim Hosen
Menurut Ibrahim Hosen ijtihad adalah mengarahkan penelitian
dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan
9 Ahmad Abdur Ar-Rahim As-Sayih, Risalah Fi Ri’ayat al-Maslahah Li Al-Imam Ath-Thufi, Dar Al-Misriyah Li Al-Bananiyah, Mesir, 1993, hlm. 13-18.
-
Kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul SAW, baik melalui nash yang
disebut qiyas (ma’qul al-nash) maupun melalui maksud dan tujuan
umum hikmah syariat yang disebut maslahat. Ijtihad tidak berlaku di
bidang akidah dan akhlak. Dengan alasan sebagai berikut ;
a.Akidah hanya berwenang dibicarakan oleh ilmu tauhid (ilmu
kalam), ahlinya disebut ulama tasawuf (moral).
b.Pengertian ijtihad yang telah dirumuskan oleh para ahli fikh
dan ahli ushul itu, berlaku hanya di bidang hukum yang
berkaitan dengan tingkah laku dan perbuatan orang dewasa
yang dibicarakan oleh ilmu fikh dan usul fikh dan orangnya
disebut ”faqih” dan ”ahli ushul” 10.
II. beberapa Teori Hukum Sekuler dari Dunia Barat
Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut ;
1. Teori Kedaulatan Negara
Teori Kedaulatan Negara ini dipelopori oleh John Austin, yang
esensi ajarannya adalah ;”Law..was the command of sovereign,
artinya; hukum adalah perintah pihak yang berdaulat. Hal ini dapat
diikhtiarkan bahwa kedaulatan negara yang digunakan itu,
berdasarkan kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki oleh pihak yang
berkuasa.
Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah,
bermoral atau tidak, melainkan hukum merupakan apa saja yang
diputuskan dan dijalankan oleh kelompok masyarakat yang paling
berkuasa.11 Hukum ditafsirkan menurut keinginan yang
menafsirkannya, dan penafsir akan menafsirkan sesuai dengan
perasaan dan kepentingannya sendiri, sehingga yang namanya
keadilan hanya merupakan semboyan retorika yang digunakan oleh
10 Juhaya S. Praja, Op cit, hlm. 85.11 Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Cipta Aditya Bakti, Bandung,2003, hlm.1-2.
-
kelompok mayoritas untuk menjelaskan apa yang mereka inginkan,
dan keinginan pihak minoritas tidak pernah menjadi hasil penafsiran
hukum dan akan selalu menjadi bulan-bulanan hukum.12
Fakta di depan mata, penegakan hukum di Indonesia masih
carut marut, dan hal ini sudah diketahui dan diakui oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia dan juga komunitas masyarakat
internasional. Bahkan banyak pendapat yang menyatakan bahwa
penegakan hukum, acap kali dipandang bersifat diskriminatif,
inkonsisten, dan hanya mengedepankan kepentingan kelompok
tertentu, padahal seharusnya penegakan hukum merupakan ujung
tombak terciptanya tata hukum yang baik dalam masyarakat.
Apakah warga negara memiliki kewajiban moral natural untuk
mematuhi negara? Atas dasar apa negara mewajibkan masyarakat
mematuhi hukum? Apakah negara itu sendiri memang legitim dan
karenanya berwenang memaksakan kehendaknya pada masyarakat?.
Kecenderungan mengedepankan pendekatan prosedural formal, di
satu pihak; dan mengabaikan substansi hukum, di lain pihak, dapat
menjadi indikasi ketidakmampuan negara memenuhi fungsi pokoknya
sebagai pembela dan menjamin pelaksanaan hak warga negara.
Kenyataan ini sekaligus menjadi lonceng kematian keadilan, ketika
hukum sebagai iuris secara sadar dilepaskan dari dimensi substansinya
sebagai ius. Karena itu, beralasan untuk menegaskan bahwa hukum,
bukan sekedar sekumpulan peraturan. Hukum adalah norma untuk
menjamin dan melindungi hak warga negara. Itulah sebabnya
penganut teori hukum kodrat ataupun pendukung positivisme
berpendapat bahwa tujuan hukum hanya dapat tercipta apabila hukum
dibangun dengan kesadaran dan tanggungjawab moral untuk
membela keadilan.
12 Munir Fuady, Ibid.hlm. 21.
-
2. Teori Kedaulatan Hukum
Teori ini menyatakan bahwa hukum itu bersifat mengikat,
bukan karena dikehendaki oleh negara, namun lebih dikarenakan
kesadaran hukum dari masyarakat itu sendiri. Prof.Mr.H.Krabbe dalam
bukunya ”Die Lehre Rechtssouvernitat” berpendapat bahwa kesadaran
hukum berpangkal pada perasaan setiap individu yaitu bagaimana
seharusnya hukum itu.13
Teori ini dalam tataran praktikal, sedikit mengalami kesulitan,
karena tingkat kesadaran hukum, masing-masing orang pasti berbeda
dan sangat bergantung pada faktor kepentingan yang ingin dicapai.
Salah satu contoh putusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa
Pilkada, banyak daerah yang tidak mau melaksanakan putusan
Mahkamah Konstitusi, padahal lembaga ini adalah pengawal konstitusi.
Kenapa demikian karena pihak yang kalah dalam Pilkada tidak mau
secara demokratis menerima kekalahan tersebut. Mereka lebih
cenderung mencari-cari masalah, agar pihak yang kalah dapat
memperpanjang masa jabatannya, minimal akan mendapatkan
kesempatan dalam posisi atau kedudukan caraceter sebagai pelaksana
tugas sebagai Bupati/Walikota/Gubernur dan pada akhirnya pihak
yang menang dalam Pilkada tidak mendapat tempat dan kesempatan
untuk tampil sebagai pimpinan daerah.
3. Esensi Teori Rudolf Stammler
Stammler berpendapat, apa yang dikehendaki manusia
dalam kehidupan sosial adalah hidup bersama yang teratur. Untuk
menjamin hidup bersama yang teratur itu, dibutuhkan perbuatan,
yakni pengaturan segala hal yang terdapat dalam kehidupan bersama
itu. Perbuatan mengatur itu, wujudnya adalah hukum. Hidup bersama
yang teratur, menghendaki adanya hukum sebagai penjamin
13 Muchsin, Ikhtisar Materi Pokok Filsafat Hukum, STIH ”IBLAM”, Jakarta, 2004, hlm.62.
-
keteraturan. Kehendak akan hukum itulah yang oleh Stammler disebut
kehendak yuridis. Kehendak yuridis ini harus menjadi dasar dan syarat
seluruh aturan hukum positif. Tanpa kehendak yuridis (menjamin
keteraturan dalam hidup bersama), suatu aturan hukum positif tidak
memiliki arti normatif . Oleh karena itu ”kehendak yuridis (dalam arti
formal) inilah yang merupakan prinsip terakhir segala pengertian
tentang hukum. Ia tidak berkaitan dengan isi kaidah hukum,
sebaliknya ia merupakan bidang formal. Sifat mewajibkan (sifat
normatif) dari hukum harus bertolak dari segi formalnya (bentuknya),
bukan isinya (matreri)”.14
Di sinilah kemudian melahirkan makna transedental yang sifatnya
mewajibkan, di mana kehendak yuridis menuntut supaya orang-orang
menaati aturan-aturan hukum. Jadi hukum itu menuntut secara legal.
4. Esensi Teori Talcott Parsons
Teori hukum ini lahir dari penganut aliran sosiologis, penulis
dapat mengemukakan bahwa Parsons melihat masyarakat sebagai
salah satu totalitas yang mempunyai dua macam lingkungan, yaitu:
ultimate reality dan fisik organik. Untuk menghadapi kedua
lingkungan tersebut, masyarakat mengorganisir diri ke dalam
beberapa sub-sistem, masing-masing : sub sistem ekonomi, politik,
sosial dan budaya. Menurut Achmad Ali, tiap-tiap sub sistem memiliki
fungsi khas, yaitu;
a.Sub sistem ekonomi berfungsi adaptasi ( adaptation ), berarti
bagaimana masyarakat itu memiliki fungsi yang dapat
memamfaatkan sumber daya di sekitarnya secara fisik organik.
b.Sub sistem politik berfungsi pencapaian tujuan ( goal
pursuance ), berarti setiap warga masyarakat selalu mempunyai
kebutuhan untuk mengetahui ke arah mana tujuan masyarakat
14 Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm. 125.
-
itu digerakkan. Dengan politik, masyarakat dihimpun sebagai
satu totalitas untuk menentukan satu tujuan bersama.
Contohnya; masyarakat Indonesia bertujuan untuk mencapai
masyarakat yang adil dan makmur.
c.Sub sistem sosial berfungsi integrasi ( integration ), berarti
proses/hubungan di dalam masyarakat diintegrasikan menjadi
satu, sehingga masyarakat dapat merupakan satu kesatuan.
Contohnya dengan adanya peraturan perkawinan, maka
diintegrasikan orang-orang yang telah menikah itu mengadakan
hubungan suami istri.
d.Sub sistem budaya berfungsi mempertahankan pola (
pattern maintenance ), berarti tanpa kebudayaan, maka
masyarakat tidak dapat berintegrasi dan tidak dapat berdiri
sebagai kesatuan. Contohnya mengusahakan adanya ”pattern
maintenance” melalui penataran P415.
Parsons memandang manusia dalam dua wujud, yakni ;
i.Manusia sebagai individu yang memiliki empat sub sistem,
yaitu ; cultural system, social system, personality, dan
behavioral organism.
ii.Manusia sebagai warga masyarakat yang memiliki empat sub
sistem, yaitu ; cultural system, social system, political system
dan economy sistem.16
Secara ”behavioral organism”, manusia pada umumnya
sama,tetapi mengapa kepribadiannya berbeda-beda? Ini disebabkan
karena secara kultural, mereka berbeda-beda. Jika Aco, Becce dan La
Tuwo masing-masing melakukan hubungan secara timbal balik, maka
selain pisik mereka berhubungan, juga berhubungan kepribadian
mereka. Hubungan inilah yang membentuk ”social system”. Interaksi
15 Achmad Ali, Ibid, hlm. 299.16 Achmad Ali, Ibid, hlm. 300.
-
di dalam masyarakat berbentuk ” system of expectations”.inilah yang
mengakibatkan kalau manusia itu masuk ke dalam jaringan ”social
system”, maka dengan sendirinya manusia itu telah berada dalam
jaringan ”system of expectations” .
Apa yang dimaksud dengan ”system of expectations” , penulis
dapat memberikan contoh sebagai berikut ; ”Di dalam suatu keluarga
yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya, tidak hanya terjadi
interaksi antara seorang pria dewasa yang kebetulan berstatus ayah
dengan seorang wanita dewasa yang kebetulan berstatus ibu dan juga
dengan manusia-manusia kecil yang kebetulan berstatus anak,
melainkan justru yang menjadikan ciri sebagai keluarga adalah adanya
”system of expectations” , yaitu terjadinya harapan-harapan akibat
terjadinya perubahan status dari status bujang menjadi suami dan dari
status gadis menjadi istri.
Perubahannya antara lain, pada waktu masih bujangan, si pria
tadi biasanya ada yang bebas keluyuran di luar rumah sampai pagi,
bebas pacaran dengan beberapa orang wanita, bebas berpoya-poya
dengan menghabiskan gajinya atau penghasilannya. Tetapi dengan
selesainya pria tadi menikah dan statusnya pun berubah menjadi
suami, maka muncullah ”expectation” sebagai suami. ”Expectation”
atau sesuatu yang diharapkan dari seorang ayah itu adalah bahwa
keadaan seperti dulu ketika ia masih bujang, tidaklah benar jika ia
masih mau mengulanginya lagi.
Demikian pula sebaliknya pada si istri. Ketika ia masih gadis,
ada diantaranya yang bebas berteman dan bergaul dengan pria mana
saja yang diinginkannya dengan aneka ragam alasan; teman sekolah,
teman kerja, teman gaul atau teman akrab, sudah kayak saudara dan
sebagainya. Sehari semalam tentu boleh saja digunakan untuk
berdandan di depan cermin, tetapi dengan perubahan statusnya
-
setelah menjadi istri, muncullah ”expectation” sebagai istri.
”Expectation” atau sesuatu yang diharapkan dari seorang istri itu,
adalah bahwa keadaan dan kebiasaan seperti ketika ia masih gadis,
sudah salah jika ia masih ingin meneruskannya.
Apa arti suami?, apa arti istri?, dan apa arti anak?. Tentu
memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Seorang suami memiliki
”expectation”, dalam arti; diharapkan untuk tidak lagi bagadang dan
membuang-buang waktu, lalu pulang ke rumah pada pagi hari, tidak
bergaul bebas dengan wanita-wanita lain yang bukan muhrimnya dan
tidak menghabiskan gajinya atau penghasilannya buat berpoya-poya
di luar rumah. Demikian pula seorang istri memiliki ”expectation”,
dalam arti diharapkan untuk tidak bergaul ”bebas” dengan pria lain,
selain suaminya, juga tidak hanya mengurus dirinya sendiri sampai
berdandan berjam-jam lamanya, hanya untuk kepentingan
penampilan di luar rumah dan untuk kepentingan orang lain,
sementara di rumah tidak menghiraukan suaminya, bahkan
cenderung berpenampilan alakadarnya dengan pakaian yang kusut,
kotor dan berbau aroma yang tidak menyenangkan. Demikian pula
seorang anak memiliki ”expectation”, bahwa apa yang ia harus
lakukan terhadap kedua orang tuanya, baik dalam bentuk ketaatan
maupun dalam bentuk pengabdian.
Pada kenyataannya ”expectations” atau harapan-harapan itu,
tidak selalu selaras dengan ”performance” atau kenyataan. Ketika
terjadi perbedaan antara ”expectation” dengan ”performance”, maka
hubungan itu menjadi tidak ideal, muncul sikap dan perilaku yang
egois, yang pada gilirannya hilang rasa percaya dan mudah timbul
persepsi dan pendapat yang berbeda yang pada akhirnya
menimbulkan perselisihan dan pertengkaran (syikak) dalam keluarga.
Menurut penulis, bahwa yang memberikan arti dan solusi pada
-
”system of expectations” adalah kaidah-kaidah, yang di dalamnya
terdapat; kaidah agama, kaidah hukum, kaidah sosial, kaidah moral
dan kesopanan. Kaidah-kaidah ini sangat menentukan tampilnya
”expectation” dari seseorang.
5. Esensi Teori George Gurvitch
Teori hukum ini dari kubu Neo-Positivisme. Gurvitch
berpendapat ”kenyataan normatif itu adalah keadilan. Hidup dalam
masyarakat hanya dapat berjalan aman, damai, dan stabil berkat
hubungannya dengan keadilan. Sejumlah orang, baru menjadi
kelompok yang riil, bila mereka mengalami kelompoknya sebagai
suatu ”kita”. ’Aku’ dan ’engkau’ menjadi bersatu sebagai ’kita’. Ini bisa
terwujud jika keadilan menjadi nilai hidup bersama yang utama. Juga
dalam membentuk hukum positif, keadilan harus memegang peranan
yang penting. Hukum itu mendapat arti hukum yang sesungguhnya,
berkat nilai keadilan yang diwujudkannya”.17
Jadi kenyataan normatif dalam hukum, dapat diartikan sebagai
perwujudan nilai keadilan dalam realitas empiris hidup bersama yang
merupakan dasar materiil hubungan-hubungan sosial antara manusia,
artinya bahwa tiap-tiap hidup bersama sejumlah orang mendapat
bentuknya sebagai hidup berkelompok berdasarkan kenyataan
normatif.
6. Esensi Teori Responsif
Teori hukum ini lahir dan digagas oleh Nonet-Selznick. Hukum
responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan
dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di
sekitarnya, maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem
yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan,
17 Satjipto Rahardjo, Loc.cit, hlm. 148.
-
yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang
timbul dalam bekerjanya hukum itu. 18
Apa yang dikatakan Nonet dan Selznick, sebetulnya ingin
mengeritik model analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang
hanya berkutat di dalam sistem hukum positif.19 Model yang mereka
sebut dengan tipe hukum otonom. Hukum Responsif sebaliknya,
pemahaman mengenai hukum melampaui peraturan atau teks-teks
dokumen dan looking towards pada hasil akhir, akibat dan manfaat
dari hukum itu.20. Itulah sebabnya, hukum responsif mengandalkan
dua doktrin utama. Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik,
bertujuan dan rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi
terhadap semua pelaksanaan hukum.
Karena kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai norma
kritik, maka tatanan hukum responsif, menekankan pada ;
a. Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum
b. Peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan kebijakan
c. Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan
akibat bagi kemaslahatan masyarakat.
d. Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan
keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan
e. Memupuk sistem kewajiban sebagai ganti sistem paksaan
f. Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan
hukum
g. Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum
dalam melayani masyarakat.
h. Penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan
terhadap legitimasi hukum
18 Satjipto Rahardjo, Op cit, hlm. 206.19 Satjipto Rahardjo, Makalah Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan), Semarang, 2004.20 Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm.4
-
i. Akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi
advokasi hukum dan sosial.21
Dalam konteks inilah, hukum responsif menurut Nonet-Selznick,
merupakan upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan
sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu
sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum
menemukan kembali persambungannya dengan ilmu hukum klasik
yang sifatnya lebih intelektual akademik. Ilmu hukum selalu lebih dari
sekadar bidang akademik yang dipahami oleh hanya segelintir orang.22
Jadi teori hukum, tidaklah buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak
pula kebal dari pengaruh sosial. Ilmu hukum memperoleh fokus dan
kedalaman, ketika ia secara sadar mempertimbangkan implikasi-
implikasi yang dimilikinya untuk tindakan dan perencanaan
kelembagaan. Menurut Nonet-Selznick, untuk membuat ilmu hukum
lebih relevan dan lebih hidup, harus ada reintegrasi antara teori
hukum, politik hukum dan teori sosial.23. Teori Pound mengenai
keseimbangan kepentingan-kepentingan sosial, merupakan sebuah
usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan sebuah model
hukum responsif itu.24
7. Esensi Teori Progresif
Teori hukum progresif, tidak lepas`dari gagasan Prof.Satjipto
Rahardjo, yang galau dengan cara penyelenggaraan hukum di
Indonesia. Pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya,
yaitu hukum untuk manusia. Hukum progresif menganut ideologi,
hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Dengan
ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama
untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut
21 Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm. 4.22 Satjipto Rahardjo, Op cit, hlm. 211.23 Satjipto Rahardjo, Ibid.24 Satjipto Rahardjo, Ibid.
-
mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum.
Mereka harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang
dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan
kebahagiaannya), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir
penyelenggaraan hukum.
Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi
hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada
peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan
hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum
progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan
yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu
perubahan peraturan. Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi
penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan
keadilan, untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat
melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu
peraturan. Agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa
pelaku hukum yang kreatif menerjemahkan hukum itu dalam fora
kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya,25
Hukum progresif, seprti juga intressenjurisprudenz, tidak sekali-
kali menafikan peraturan yang ada sebagaimana dimungkinkan dalam
aliran freirechtslehre. Meski begitu, ia tidak seperti legisme yang
mematok peraturaan sebagai harga mati atau analytical jurisprudence
yang hanya berkutat pada proses logis-formal.26. Hukum progresif itu
merangkul, baik peraturan maupun kenyataan dan kebutuhan sosial
sebagai dua hal yang harus dipertimbangkan secara matang dalam
setiap pengambilan keputusan.
Perhatian hukum progresif dan legal raelism pada tujuan dan
akibat hukum, memperlihatkan suatu cara pandang etis yang dalam
25 Satjipto Rahardjo, Ibid.26 Satjipto Rahardjo, Ibid.
-
etika disebut etika teleologis, artinya hukum itu harus dilihat pada
aspek tujuan hukum, apa yang mau dicapai hukum itu. Oleh sebab itu
setiap kaidah hukum ada tujuan yang ingin dicapai. Cara berpikir
teleologis ini bukan tidak mengacuhkan hukum. Aturan itu penting,
tapi itu bukan ukuran terakhir. Yang lebih penting ialah tujuan dan
akibat. Sebab itu pertanyaan sentral dalam etika teleologis, ialah
apakah suatu tindakan itu bertolak dari tujuan yang baik, dan apakah
tindakan yang tujuannya baik itu, juga berakibat baik. Kiranya jelas,
baik hukum progresif maupun intressenjurisprudenz dan legal realism,
memiliki semangat dan tujuan yang sama, yaitu semangat
menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia sebagai tujuan
utama dari hukum.
Karena hukum progresif menempatkan kepentingan dan
kebutuhan manusia/rakyat sebagai titik orientasinya, maka ia harus
memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan yang timbul dalam
hubungan-hubungan manusia. Salah satu persoalan krusial dalam
hubungan-hubungan sosial adalah keterbelengguan manusia dalam
struktur-struktur yang menindas, baik politik, ekonomi, maupun sosial
budaya. Dalam konteks keterbelengguan dimaksud, hukum progresif
harus tampil sebagai institusi yang emansipatoris (membebaskan)
dalam berbagai persoalan hukum yang timbul di kalangan masyarakat.
Dan hal ini sangat bergantung pada diskresi dari para pelaku penegak
hukum, ia dituntut untuk memilih dengan bijaksana bagaimana ia
harus bertindak, berdasarkan pendekatan moral dari pada ketentuan-
ketentuan formal.
III. Kesimpulan.
1.Teori-teori dan konsep hukum yang ada di Indonesia yang
merupakan produk dunia Barat, harus dikaji secara lebih komperhensif
dan mendalam serta disesuaikan dengan teori-teori hukum Islam.
-
Teori dan konsep hukum Barat yang sesuai dengan kondisi
masyarakat Indonesia harus diterima secara lapang dada dan dinilai
sebagai khasanah kekayaan hukum Indonesia. Sebaliknya teori-teori
dan konsep hukum yang bertentangan dengan nilai budaya dan
hukum yang hidup dalam masyarakat, harus ditolak dengan tegas
dalam aplikasinya di Indonesia, baik yang berkaitan dengan hukum
formal (acara) maupun yang berkaitan dengan hukum materiil.
Kiranya jelas, diskresi bagi penegak hukum merupakan faktor
wewenang hukum yang dijalankan secara bertanggung jawab dengan
menggunakan pertimbangan moral dari pada peraturan abstrak,
karena tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam ketentuan hukum,
seringkali begitu kabur, sehingga memberi kesempatan kepada para
hakim untuk menggunakan berbagai bentuk penafsiran hukum dalam
konteks situasi yang ia hadapi, dan di sinilah peran dan perlunya
sebuah teori dalam memecahkan persoalan hukum yang dihadapi dan
di sini pulalah, perlunya diskresi yang merupakan kelengkapan dari
sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri.
2. Pemahaman terhadap sebuah teori hukum lalu diaplikasi dalam
berbagai kasus yang harus dipecahkan sangat diperlukan dan
membantu memecahkan persoalan hukum yang mengalami kebuntuan
atau adanya kekosongan hukum, baik hukum acara maupun hukum
materiil. Sebab hanya dengan cara itu sebagai salah satu solusi
meningkatkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia), khususnya di
lingkungan peradilan agama. Sehingga diharapkan di masa yang akan
datang tidak lagi muncul sikap masyarakat yang menganggap enteng
dan remeh terhadap dunia peradilan agama seperti yang dilontarkan
oleh O.C. Kaligis baru-baru ini. Mudah-mudahan hal itu menjadi
hikmah sekaligus menjadi cambuk bagi warga peradilan agama untuk
lebih maju lagi di masa yang akan datang. Akhirnya secara pribadi dan
-
mohon izin, penulis menghimbau kepada semua hakim peradilan
agama di Indonesia untuk tidak terpancing melihat situasi akhir-akhir
ini, termasuk pernyataan O.C. Kaligis. Sebab mereka itu dapat kita
duga adalah pihak-pihak yang kurang senang melihat atas keberadaan
peradilan agama di Indonesia. Gunakanlah kualitas kecerdasan yang
Anda miliki, yaitu ; kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan
kecerdasan spritual seperti yang digambarkan oleh Ary Ginanjar. Ada
mekanisme yang bisa kita lalui secara konstitusional yaitu berdasar
pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial,
di mana disebutkan, bahwa ; ” KY dapat melakukan langkah hukum
atau langkah lainnya terhadap orang, kelompok atau badan hukum
yang diduga merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat
hakim”. Kita tidak perlu memiliki gelar kesarjanaan yang begitu
banyak dan berlapis sebagai simbol dan tanda kecerdasan intelektual
yang dimiliki. Buat apa gelar yang dimiliki begitu banyak, akan tetapi
kita tidak mampu menggunakan kualitas kecerdasan emosional dan
kecerdasan spritual yang kita miliki. Yakinkan diri Anda bahwa
peradilan agama akan lebih maju dan jaya di masa yang akan datang
dan umat Islam di mana pun mereka berada akan selalu mendukung
kita. Semoga.-
-
DAFTAR PUSTAKA
1. Abd. Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ikhtiar Baru,Jakarta, 1996.
2. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta,1996.
3. Ahmad Abdur Ar-Rahim As-Sayih, Risalah Fi Ri’ayat al-MaslahahLi Al-Imam Ath-Thufi, Dar Al-Misriyah Li Al-Bananiyah, Mesir,1993.
4. Al-Ghazali, Al-Mustasfa, Maktabah Babil Halabi.5. Bernard, L, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.6. M. Nur Ghufron & Rini Riswanita, S, Teori-Teori Psikologi, Ar-
Ruzz Media, Yogyakarta, 2010.
-
7. M.Yahya Harahap, Diskusi Hukum, di Direktorat Jenderal BadilagMA di Jakarta, 30 April 2013.
8. Muchsin, Ikhtisar Materi Pokok Filsafat Hukum, STIH ”IBLAM”,Jakarta, 2004.
9. Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, Paradigma KetidakberdayaanHukum, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 2003.
10. ----------------, Teori-teori dalam Sosiologi Hukum,Prenada Media Group, Jakarta, 2011.
11. Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, CV. PustakaSetia, Bandung, 2011.
12. Robrto M. Urger, Teori Hukum Kritis Posisi Hukum dalamMasyarakat Modern, Nusamedia, 2008.
13. Salim, HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, PT.RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.
14. Satjipto Rahardjo, Makalah Hukum Progresif (PenjelajahanSuatu Gagasan), Semarang, 2004.
15. ----------------------, Hukum dan Perubahan Sosial, GentaPublishing, Yogyakarta, 2009.
16. Sudikono Mertokusumo, Teori Hukum, Universitas AtmaJaya, Yogyakarta, 2011.
17. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan KonstruksiHukum, PT. Alumni, Bandung, 2000.