fungsi teori hukum dan hukum acara dalam …pta-bengkulu.go.id › images › artikel ›...

36
FUNGSI TEORI HUKUM DAN HUKUM ACARA DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN HUKUM Oleh ; Ruslan H.R. I. Pendahuluan Masih ada diantara aparat hukum (hakim) yang beranggapan, bahwa teori berada di kawasan yang jauh dari sesuatu yang praktis, bahkan sering menimbulkan kesan tidak praktis dan kurang membantu memecahkan persoalan hukum secara konkret. Singkat kata teori itu menghambat, berliku-liku, bahkan memusingkan. Pendapat tersebut, tentu tidak tepat, sebab boleh jadi anggapan mereka itu sudah termasuk bagian dari sebuah teori. Fungsi utama teori adalah untuk memberikan kejelasan terhadap suatu masalah. Semakin baik kemampuan suatu teori untuk menjelaskan sesuatu, semakin tinggi penerimaan orang terhadap teori tersebut. Apabila di kemudian hari muncul teori baru yang mampu memberikan kejelasan yang lebih baik dan lebih tepat, maka teori yang lama pun akan ditinggalkan. Hal tersebut sangat lumrah dalam dunia ilmu pengetahuan. Dalam sebuah acara debat di tv-one pada hari Senin (malam) tanggal 29 April 2013, yang bertajuk ”Perjuangan Machicha Mochtar Berujung Duka”, Profesor O.C. Kaligis memperlihatkan keangkuhannnya yang menganggap remeh aparat dan lembaga peradilan agama, dengan pernyataannya ”bubarkan saja peradilan agama itu” akibatnya sebagian warga peradilan agama merasa dilecehkan oleh bung O.C. Kaligis. Kalimat ini sebenarnya tidak pantas diucapkan oleh seorang pengacara senior, karena tentu saja beliau sudah memiliki banyak teori dan sejuta pengalaman dalam beracara di

Upload: others

Post on 27-Jan-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • FUNGSI TEORI HUKUM DAN HUKUM ACARA

    DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN HUKUM

    Oleh ; Ruslan H.R.

    I. Pendahuluan

    Masih ada diantara aparat hukum (hakim) yang beranggapan,

    bahwa teori berada di kawasan yang jauh dari sesuatu yang praktis,

    bahkan sering menimbulkan kesan tidak praktis dan kurang

    membantu memecahkan persoalan hukum secara konkret. Singkat

    kata teori itu menghambat, berliku-liku, bahkan memusingkan.

    Pendapat tersebut, tentu tidak tepat, sebab boleh jadi anggapan

    mereka itu sudah termasuk bagian dari sebuah teori. Fungsi utama

    teori adalah untuk memberikan kejelasan terhadap suatu masalah.

    Semakin baik kemampuan suatu teori untuk menjelaskan sesuatu,

    semakin tinggi penerimaan orang terhadap teori tersebut. Apabila di

    kemudian hari muncul teori baru yang mampu memberikan kejelasan

    yang lebih baik dan lebih tepat, maka teori yang lama pun akan

    ditinggalkan. Hal tersebut sangat lumrah dalam dunia ilmu

    pengetahuan.

    Dalam sebuah acara debat di tv-one pada hari Senin (malam)

    tanggal 29 April 2013, yang bertajuk ”Perjuangan Machicha Mochtar

    Berujung Duka”, Profesor O.C. Kaligis memperlihatkan

    keangkuhannnya yang menganggap remeh aparat dan lembaga

    peradilan agama, dengan pernyataannya ”bubarkan saja peradilan

    agama itu” akibatnya sebagian warga peradilan agama merasa

    dilecehkan oleh bung O.C. Kaligis. Kalimat ini sebenarnya tidak pantas

    diucapkan oleh seorang pengacara senior, karena tentu saja beliau

    sudah memiliki banyak teori dan sejuta pengalaman dalam beracara di

  • pengadilan dan kalimat itu bisa saja membuat tokoh dan ulama serta

    umat Islam pada umumnya perasaannya tersinggung karena terkesan

    seolah-olah ada pelecehan umat Islam (SARA). Bisa saja ada orang

    Islam menduga bahwa jangan-jangan O.C. Kaligis ini termasuk salah

    seorang yang tidak nyaman bila peradilan agama tumbuh dan

    berkembang di Indonesia ?. Seorang pengacara senior sekelas O.C.

    Kaligis tentu tidak perlu diberi pengajaran lagi bahwa bila merasa tidak

    puas atas putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan berkaitan

    dengan kasus mbak Chica Mochtar, pihak yang merasa dirugikan itu

    dapat melakukan upaya hukum banding ke PTA Jakarta dan

    seterusnya, bukan harus mengeluarkan pernyataan yang berbau

    SARA terhadap umat Islam. Penulis tahu persis bung O.C. Kaligis ini

    adalah seorang pengacara pertama yang mampu menguji kemampuan

    pengadilan dalam hal beracara. Penulis sempat mengenal sepintas

    sosok O.C. Kaligis, ketika masih bertugas di Pengadilan Agama

    Makassar pada tahun 1985, ketika itu O.C. Kaligis sempat menemui

    penulis dan memberikan buku Yurisprudensi MA ditambah dengan

    buku Retnowulan dan buku M. Yahya Harahap yang berjudul Hukum

    Acara Perdata di Indonesia. Penulis salut dan wajar kalau diucapkan

    terima kasih yang tak terhingga atas kepeduliannya itu. Mungkin cara

    itu dilakukan oleh O.C. Kaligis dengan maksud dan upaya ikut

    membantu mencerdaskan hakim pengadilan agama di dalam

    memahami hukum acara perdata di Indonesia. Tapi mengapa O.C.

    Kaligis setelah bergelar Prof.,Dr. perilakunya berbeda, mudah-

    mudahan itu bukan karena kesombongan intelektual.

    Di dalam ilmu manajemen sebagaimana ditulis oleh Zondan

    Siagian di dalam bukunya yang berjudul ”Manajemen Sumber Daya

    Manusia”, beliau menegaskan bahwa seseorang melakukan kesalahan

    itu, ada tiga faktor penyebab, yaitu ; Pertama, terjadi karena kurang

  • komunikasi, Kedua, terjadi karena ketidaktahuan dan Ketiga, terjadi

    karena kesalahan/kekeliruan. Penulis tidak tahu persis di mana posisi

    O.C. Kaligis di sini. Mungkin O.C. Kaligis perlu mengetahui bahwa tidak

    semua hakim peradilan agama keadaannya seperti yang diduga itu

    (bodoh). Mungkin O.C. Kaligis tidak tahu bahwa ada beberapa hakim

    pengadilan agama yang menguasai hukum acara perdata di Indonesia,

    bahkan ada beberapa orang diantara mereka termasuk penulis sendiri

    mengajar dalam mata kuliah Hukum Acara Perdata Indonesia. Bukan

    hanya itu Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

    Agung RI, memprogramkan bimtek (bimbingan teknis) setiap

    tahunnya terhadap semua hakim di seluruh Indonesia, baik hakim

    tingkat pertama maupun hakim tingkat banding. Dan sepanjang bulan

    Maret hingga bulan April tahun 2013 ini seluruh Pengadilan Tinggi

    Agama di seluruh Indonesia turun melakukan pengawasan di daerah

    wilayah hukumnya masing-masing. Mereka menggalakkan secara

    terus menerus pembinaan, baik yang menyangkut teknis yustisial

    (hukum acara), maupun yang menyangkut teknis administrasi

    peradilan dan administrasi umum. Pembinaan tersebut dilakukan oleh

    Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama se-wilayah hukum

    Pengadilan Tinggi Agama yang bersangkutan. Yang menarik dari

    pembinaan itu, baik hakim tingkat banding maupun hakim tingkat

    pertama,kesemuanya bersemangat memberikan kontribusi pemikiran

    setiap permasalahan yang dibahas/dikaji, terutama pada saat

    dilakukan ekspose, mengapa mereka mau memberikan kontribusi

    pemikiran ?, karena rata-rata diantara mereka memiliki ilmu

    pengetahuan yang berkaitan dengan tugas pokoknya sebagai hakim.

    Tidak mungkin dari sekian banyak hakim yang dibimbing dan dibina itu

    semuanya berpredikat ”bodoh”, tentu saja ada juga yang lebih pintar

    dari bung O.C. Kaligis. Pertanyaannya adalah apakah kalau kita

  • menemukan hakim yang sama pintarnya atau lebih pintar dari O.C.

    Kaligis, lalu pengadilan agama harus dibubarkan ?. Pernyataan

    tersebut tidak berdasar teori dan jauh dari logika hukum. Penulis

    tertarik dengan pendapat salah seorang sahabat bahwa dari hasil

    pengamatannya selama ini, tidak semua profesor dan doktor itu

    pintar-pintar. Ada diantara mereka yang sudah pikun karena umurnya

    sudah termasuk ”Lansia” (Lanjut Usia), sehingga pembicaraannya pun

    tidak teratur dan tidak tersistimatis, mudah tersinggung dan senang

    mengancam. Pada waktu penulis kuliah di Fakultas Hukum di tahun

    1980 an, pernah diajar oleh salah seorang Profesor dalam mata kuliah

    Hukum Internasional, tetapi entah bagaimana sang Profesor itu pada

    saat belajar menerangkan masalah pertandingan sepak bola antara

    PSM vs Pesebaya. Lalu timbul pertanyaan apa hubungannya antara

    mata kuliah Hukum Internasional dengan pertandingan sepak bola

    antara PSM vs Persebaya ?. Mungkin saja ada benarnya pendapat

    O.C. Kaligis itu, akan tetapi tolong jangan digeneralisasi. Sebab

    memang ada teori dalam Islam yang menyatakan bahwa; ”apabila

    sesuatu itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka

    tunggulah datangnya kehancuran”. Insya Allah peradilan agama di

    Indonesia akan berusaha untuk terhindar dari keadaan seperti itu.

    Mengapa ? karena yang dijadikan kunci di dalam memecahkan

    berbagai permasalahan hukum, bukan hanya hukum acara, tetapi juga

    adalah teori hukum, termasuk teori hukum Islam.

    Sebagaimana diketahui bahwa suatu ilmu yang dimiliki tanpa

    disertai dengan teori yang kuat, maka hal itu bagaikan bangunan

    tanpa pondasi yang kukuh. Demikian juga ilmu hukum sebagai suatu

    sistem keilmuan sangat membutuhkan penguasaan wawasan berbagai

    ”teori hukum” (Legal Theory, The Philosophy of Law, Jurisprudence),

    maupun ”konsep hukum” (The Legal Precepts), terutama sekali di era

  • reformasi ini, termasuk tentunya petunjuk teknis, bahkan mungkin

    tuntutan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang baru

    yang diharapkan akan melahirkan paradigma hukum baru, yang cocok

    bagi iklim perubahan Indonesia di abad ini. Perkembangan baru

    tersebut menghendaki suatu keterampilan baru yang seharusnya

    dimiliki oleh para sarjana hukum, termasuk hakim yang seperti

    dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bukan hanya berupa

    keterampilan tukang, melainkan mampu menciptakan masyarakat

    sebagaimana yang dikehendaki melalui sarana-sarana hukum dan

    mampu menyelesaikan masalah-masalah hukum di dalam konteks

    sosialnya1.

    Salah satu contoh klasik yang menarik di pengadilan agama,

    berkaitan dengan hukum acara yaitu masalah amar putusan cerai

    karena taklik talak, misalnya amar tersebut berbunyi ; ”menjatuhkan

    jatuh talak satu khul’i Tergugat terhadap Penggugat dengan

    pembayaran uang iwad sejumlah Rp 1.000.-(seribu rupiah)”. Sebelum

    amar ini diucapkan oleh hakim pengadilan agama, sudah barang tentu

    hakim di sini harus menggunakan teori hukum yang disebut dengan

    teori silogisme. Rumusannya sebagai berikut ; Premis mayor,

    sewaktu-waktu suami menyakiti badan jasmani istrinya dan istrinya

    tersebut keberatan ke pengadilan agama dan keberatannya itu

    diterima oleh pengadilan agama, maka jatuhlah talak satu kepadanya.

    Premis minor, si Fulan menyakiti badan jasmani istrinya yang bernama

    Hindun. Kesimpulannya, jatuh talak satu khul’i si Fulan (suami)

    terhadap si Hindun (istri) dengan uang iwad Rp 1.000.-(seribu rupiah).

    Contoh lain seperti kasus perkawinan antara mbak Chica Mochtar

    dengan Moerdiono, apakah sah menurut hukum Islam?. Hakim

    pengadilan agama di sini harus menggunakan teori silogisme

    1 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 228.

  • kategorial, yaitu; Premis mayor, perkawinan yang sah adalah

    perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan agama dan

    kepercayaannya itu. Premis minor, Chica Mochtar dan Moerdiono,

    menikah menurut agama Islam, di mana telah terpenuhi syarat dan

    rukun nikah di dalam Islam. Kesimpulannya, perkawinan Chica

    Mochtar dan Moerdiono adalah sah menurut agama Islam.

    Contoh lainnya masalah pencabutan perkara perceraian di

    pengadilan tingkat banding (PTA), sangat diperlukan sebuah teori

    guna memecahkan kebuntuan atas munculnya beberapa pendapat

    berkaitan dengan masalah tersebut. Masalah ini tidak cukup kita

    mengandalkan pengetahuan hukum formal (hukum acara) yang kita

    pahami selama ini. Kajian ini bukan hanya mendapat perhatian di

    kalangan hakim tingkat pertama dan hakim tingkat banding, tetapi

    juga berkembang di kalangan elit di Mahkamah Agung, bahkan

    masalah itu pembahasannya telah dikaji secara lebih mendalam dalam

    sebuah diskusi hukum yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal

    Badan Peradilan Agama MA RI di Jakarta pada hari Selasa tanggal 30

    April 2013 dengan narasumber M. Yahya Harahap, di mana penulis

    pada acara tersebut hadir sebagai peserta Penulis yakin pasti bung

    O.C. Kaligis tidak akan mampu memecahkan permasalahan ini, karena

    di sini amat sulit diterapkan hukum formal (hukum acara perdata)

    secara umum, sebab di dalamnya ada hukum materiil yang harus

    dipertimbangkan yaitu keberlakuan hukum Islam yang disebut dengan

    talak satu bain sugra.

    Selain itu penulis bersama beberapa orang hakim tinggi telah

    merumuskan pula contoh draft putusan terhadap perkara syikak dan

    non syikak, yang tentu saja perkara syikak dengan menggunakan

    hakam didahului dengan putusan sela. Kami telah melakukan

    beberapa kali diskusi hukum dan berpendapat bahwa perkara

  • perceraian harus dibedakan antara perkara syikak dan non syikak.

    Perbedaan itu bukan karena jenisnya perkara, tetapi karena

    kualitasnya perkara, oleh karena itu hukum acaranya pun harus

    berbeda. Bila perkara non syikak harus didahului dengan keberadaan

    seorang mediator sebelum pemeriksaan pokok perkara, maka perkara

    syikak keberadaan seorang hakam dilakukan setelah memasuki

    pemeriksaan pokok perkara. Bila perkara cerai itu karena kualitas non

    syikak, penerapan hukumnya antara lain berdasar pada Pasal 22 ayat

    (2) PP No. 9 Tahun 1975 jo Perma 01 Tahun 2008 Tentang Mediasi

    serta hukum acara perdata secara umum sebagaimana diatur dalam

    Pasal 307 RBg/Pasal 170 HIR, Pasal 308 ayat (1) RBg/Pasal 171 ayat

    (1) HIR dan Pasal 309 RBg/Pasal 172 HIR. Adapun perkara cerai

    karena kualitas syikak, penerapan hukumnya cukup berdasar pada

    Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989. Teori kami

    bahwa Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 itu adalah

    merupakan lex specialis. Di dalam Pasal 76 ayat (1) menyangkut

    keterlibatan keluarga atau orang-orang dekat dari suami istri sebagai

    saksi-saksi, sedangkan Pasal 76 ayat (2) menyangkut keterlibatan

    hakam yang masing-masing satu orang hakam dari suami dan satu

    orang hakam dari istri. Hukum acara seperti ini berbeda dengan

    hukum formal (hukum acara perdata) secara umum.

    Masalah lain yang menjadi sorotan pada waktu hakim tinggi

    pengawas daerah turun ke daerah adalah masalah permohonan

    pengesahan nikah, di mana di dalam praktiknya di pengadilan agama

    terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan

    bahwa tenggak waktu antara pengumuman dan penetapan hari sidang

    harus terpisah, karena ada interval waktu antara pengumuman

    dengan PHS (Penetapan Hari Sidang). Sementara pendapat kedua

    menyatakan bahwa antara pengumuman dengan PHS (Penetapan Hari

  • Sidang) merupakan satu kesatuan, sehingga tidak perlu ada interval

    waktu yang memisahkan antara pengumuman dengan PHS

    (penetapan hari sidang). Untuk memecahkan perbedaan pendapat ini,

    harus digunakan teori hukum, bahwa apakah tidak akan memakan

    waktu yang cukup lama, bila harus dipisahkan waktunya antara

    pengumuman dengan penetapan hari sidang. Lalu kita hubungkan

    dengan asas hukum bahwa apakah kita mempertimbangkan asas

    hukum; cepat, sederhana dan biaya ringan.

    Selain itu masalah pelaksanaan mediasi, bila kita membaca

    Buku II halaman 85 poin 12, yang berbunyi sebagai berikut ; ”Jika

    para pihak/salah satu pihak menolak untuk dimediasi setelah

    diperintahkan oleh pengadilan, maka penolakan para pihak/salah satu

    pihak untuk mediasi dicatat dalam berita acara sidang dan putusan”.

    Kalimat ini melahirkan pula pendapat yang kontroversi antara satu

    hakim dengan hakim lainnya. Ada hakim yang berpendapat bahwa

    catatan dalam buku II tersebut, sedikit menyalahi ruh dan esensi dari

    Perma No. 01 Tahun 2008 Tentang Mediasi. Lalu timbul pertanyaan

    dan berpijak pada sebuah teori bahwa Buku II tidak boleh

    bertentangan dengan Perma No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi ?.

    Karena Perma No. 01 Tahun 2008 itu dan Buku II, keduanya

    merupakan produk Mahkamah Agung RI. Mereka pun berpendapat

    bahwa solusi yang tepat dengan menggunakan teori bahwa mediasi

    tetap diupayakan akan tetapi diklasifikasi hasil mediasi itu ke dalam

    tiga kategori, yaitu ; mediasi gagal, mediasi tidak berhasil dan atau

    tidak layak mediasi. Jadi tidak ada ruang bagi mereka yang berperkara

    untuk menyatakan tidak mau dimediasi. Kata ”tidak mau” itu harus

    diganti dengan kata ”gagal” untuk dilakukan mediasi.

    Upaya lain yang dilakukan oleh kawan-kawan hakim tinggi

    adalah mempersiapkan bahan dan instrumen dalam rangka

  • pengawasan hatibinwasda (hakim tinggi pembina dan pengawas

    daerah) di daerah. Mereka telah merumuskan tata cara atau langkah-

    langkah yang konkret dan praktis yang harus dilakukan oleh seorang

    hakim tinggi dalam melakukan pembinaan dan pengawasan di daerah.

    Hal ini dilakukan demi untuk menyamakan persepsi dalam pembinaan

    dan pengawasan itu. Sebab tidak mustahil akan terjadi perbedaan

    pandangan atau pendapat di kalangan hakim tinggi sendiri, mengingat

    karena latar belakang keberadaan mereka yang berbeda-beda dan

    beraneka ragam pengetahuan dan pengalaman mereka selama

    menjadi hakim tingkat pertama. Tujuan yang ingin dicapai tentu saja

    sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas SDM (Sumber

    Daya Manusia) yang pada akhirnya menjadikan peradilan agama

    sebagai peradilan yang court of law sebagaimana yang diharapkan

    oleh pimpinan Mahkamah Agung RI, sehingga peradilan agama akan

    makin kokoh dan tidak perlu dibubarkan seperti yang dikehendaki oleh

    Sdr. O.C. Kaligis.

    Memang harus diakui ada beberapa buku yang bisa dijadikan

    sebagai acuan dalam pelaksanaan tugas pokok di pengadilan agama,

    termasuk diantaranya beberapa buku O.C. Kaligis, yang kebetulan ada

    di perpustakaan pribadi penulis. Akan tetapi sayangnya buku-buku itu

    ternyata belum dapat membantu secara sepenuhnya guna

    memecahkan berbagai persoalan hukum, khususnya bidang teknis

    yustisial di lingkungan peradilan agama, hal ini disebabkan karena

    adanya keterbatasan uraian di dalam buku tersebut. Mungkin banyak

    orang yang berpendapat bahwa Buku II saja telah beberapa kali

    direvisi, namun masih juga ditemukan berbagai kekurangan dan

    kelemahan, baik dari segi substansi materinya, terlebih lagi dari segi

    penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD (Ejaan

    Yang Disempurnakan). Penulis sendiri berpendapat, ada beberapa

  • substansi materi hukum yang penting untuk dikembangkan dalam

    Buku II edisi I, tetapi justru dihilangkan pada penerbitan edisi-edisi

    revisi berikutnya. Demikian pula tentunya buku-buku lain yang

    diterbitkan oleh beberapa Pengadilan Tinggi Agama di Indonesia.

    Penulis sendiri ikut terlibat dalam penyusunan buku HIJAU terbitan I

    dari Ujung Pandang yang dibuat pada tahun 1992, pada masa itu di

    era kepemimpinan almarhum Drs. Moh. Ersyad, S.H., selaku Ketua

    Pengadilan Tinggi Agama Ujung Pandang, ketika itu penulis bertindak

    sebagai juru ketik dengan menggunakan mesin ketik manual milik

    Bapak Drs. H. M. Juzmi Hakim, S.H.,M.H. (mantan Ketua PTA

    Makassar). Buku itu ternyata sudah harus direvisi karena sudah tidak

    sesuai lagi dengan perkembangan hukum yang ada saat ini. Ada

    beberapa Pengadilan Tinggi Agama saat ini telah menerbitkan pula

    buku-buku baru menyangkut petunjuk teknis (hukum acara dan

    hukum materiil) yang dibuat khusus untuk kalangan sendiri, misalnya

    ; buku yang diterbitkan oleh PTA Medan, PTA Makassar, PTA Bengkulu,

    PTA Bandung, PTA Mataram dan lain-lain. Ada diantara kita yang

    berpendapat bahwa buku-buku yang diterbitkan oleh beberapa

    pengadilan tinggi agama itu adalah sebuah karya monomental. Penulis

    sangat setuju dengan pendapat itu, karena alasannya tidak semudah

    itu orang dapat membuat dan menyusun berbagai rumusan seperti

    yang terdapat di dalam buku-buku itu yang sudah barang tentu

    menggunakan berbagai macam cara dan metode. Namun ketika buku-

    buku itu diangkat derajatnya menjadi sebuah karya ilmiah, tentu saja

    pendapat itu berlebihan. Karena ada beberapa indikator yang harus

    terpenuhi sehingga sebuah karya atau buku dikatakan ilmiah.

    Indikator tersebut antara lain ; sistematis, terukur, logis dan rasional

    serta bisa diuji kapan dan di mana saja, baik dari sisi metodologi

    penulisan, metode berpikir dan penggunaan bahasa Indonesia yang

  • baik dan benar sesuai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Salah satu

    saja indikator yang tidak terpenuhi, maka buku tersebut tidak dapat

    dikategorikan sebagai sebuah karya ilmiah. Cukup kita tempatkan

    sebagai sebuah karya yang monomental. Secara jujur penulis berkata

    bahwa secara umum buku-buku tersebut nampaknya tidak cukup

    untuk dijadikan sebagai acuan dalam beracara di pengadilan agama

    ataupun di pengadilan tinggi agama guna menjawab berbagai

    permasalahan yang muncul di kalangan praktisi hukum di pengadilan

    agama. Terlepas dari kebenaran dan ruang lingkup pembahasan buku-

    buku yang dimaksudkan itu, ternyata memang dari hasil bacaan kita,

    bahwa masalah pencabutan perkara perceraian pada tingkat banding,

    belum pernah disentuh dan tidak pernah dibahas secara lengkap dan

    tuntas, baik di dalam buku II edisi terakhir, maupun di dalam buku-

    buku yang diterbitkan oleh beberapa pengadilan tinggi agama yang

    dimaksud, sehingga wajar bila masalah ”pencabutan perkara

    perceraian di tingkat banding” itu, oleh sebagian Ketua Pengadilan

    Tinggi Agama seluruh Indonesia membuat kesepakatan untuk

    dijadikan acuan secara nasional. Dalam kaitan dengan penerapan

    teknis yustisial, orang pun sepakat bahwa cukup diselesaikan sendiri

    secara ke dalam, karena hakim itu memiliki otonomisasi dalam

    memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan

    kepadanya, namun yang dipertanyakan di sini bukan substansi

    hukumnya, tetapi yang dipertanyakan itu hanya sebatas pada

    masalah format saja, apakah dalam bentuk penetapan atau putusan ?

    Pertanyaan itu diajukan justru sasaran yang ingin dicapai adalah

    dalam rangka menyamakan persepsi dan keseragaman sebagaimana

    yang selalu dianjurkan dan diharapkan oleh Dirjen Badan Peradilan

    Agama Mahkamah Agung RI, Bapak Drs. H. Puruwosusilo, S.H.,M.H.

  • Menurut penulis, permasalahan pencabutan perkara banding dalam

    perkara perceraian, walaupun substansi materinya bisa dikatakan

    kecil, namun nampaknya tidak bisa dijawab dengan argumentasi biasa

    dalam sebuah debat kusir, tetapi harus dijawab dan diselesaikan

    dengan argumentasi hukum atau logika hukum dengan menggunakan

    teori hukum. Mengapa ? karena perkara perceraian di pengadilan

    agama yang berakhir dengan produk putusan cerai itu, yang biasanya

    diucapkan oleh hakim dengan talak satu bain sugra, memiliki

    konsekuensi hukum Islam yang tidak mudah terpecahkan. Kenapa

    penulis katakan demikian, karena pencabutan perkara perceraian di

    tingkat banding dengan alasan mereka berdamai dalam arti kedua

    belah pihak kembali rukun sebagai suami istri dalam rumah tangga,

    menyebabkan putusan pengadilan agama menjadi inkracht (telah

    berkekuatan hukum tetap), artinya mereka harus bercerai.

    Dari sinilah lahir sebuah teori (al-mashlahah al-mursalah).

    Imam Maliki menyatakan bahwa ”rasio harus diperhatikan untuk

    pertimbangan kemaslahatan ”al-mashalih al-mursalah”. Diskusi

    tentang rasio logis telah mencatat bahwa kepentingan umum berperan

    dalam menentukan munasabah (kesesuaian), sebuah metode yang

    fundamental dalam membangun dan memverifikasi rasio. Sebagian

    penulis memasukkan pembahasan tentang persoalan ini dalam bab

    yang disebut dengan istidhal, bab yang biasa mencakup jenis-jenis

    penyimpulan yang tidak termasuk dalam kategori qiyas. Persoalan

    yang muncul dalam istishlah dengan kasus-kasus yang hukumnya

    diperoleh berdasarkan keuntungan yang sesuai secara rasional yang

    didukung dengan fakta baru biasanya disebut dengan al-mashalih

    mursalah. Namun harus diakui sebagian dari ahli ushul fikih menolak

    kesimpulan apapun yang tidak didukung oleh bukti teks-teks,

    meskipun dimotivasi karena kepentingan umum atau sebaliknya. Malik

  • bin Anas sendiri memiliki kesimpulan yang merespon kepentingan

    umum tanpa didukung dengan teks-teks atau adanya fakta baru. Teori

    tersebut memperlihatkan bahwa ciri kepentingan umum yang diadopsi

    dalam sebuah kasus adalah munasib (sesuai) dan muta’bar (relevan),

    baik dengan prinsip universal hukum maupun bagian tertentu dari

    bukti tekstual. Oleh karena itu kesesuaian dengan relevan merupakan

    persyaratan bagi kesimpulan yang sah dari teori maslahah mursalah.

    Teori Al-Ghazali menempatkan persoalan istislah secara

    berbeda, bahwa tujuan hukum Al-Ghazali (maqashid tasriiyah)

    mencakup pada puncak prinsip menjaga agama, menjaga jiwa,

    menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga hak milik pribadi. Ciri

    tersebut dapat dibuktikan sebagai prisip pasti (qathi’) dan universal

    (kulli), maka penalaran yang didasarkan atasnya adalah umat Islam

    pada umumnya dan bukan hanya sebagian umat Islam yang terlayani2. Sebagai gambaran misalnya bahwa putusan pengadilan agama

    tingkat pertama itu harus dibatalkan oleh hakim tingkat banding,

    karena kalau tidak dibatalkan, maka putusan pengadilan agama

    tersebut menjadi inkracht. Bila putusan itu menjadi inkracht, lalu

    bagaimana dengan tujuan hukum Islam seperti yang digambarkan

    oleh Imam Al-Ghazali di atas ?. Seterusnya bila putusan pengadilan

    agama itu dibatalkan, maka teori pun berkata bahwa tidak mungkin

    putusan pengadilan agama akan dibatalkan oleh sebuah penetapan

    pengadilan tinggi agama. Itulah sebabnya penulis berpendapat bahwa

    perkara perceraian yang dicabut di tingkat banding karena adanya

    perdamaian dalam arti kedua belah pihak kembali rujuk sebagai suami

    istri, harus ada produk putusan yang membatalkan putusan hakim

    tingkat pertama. Harus dipahami betul bahwa pencabutan perkara

    banding dalam sengketa perdata murni dalam wujud barang, berbeda

    2 Al-Ghazali, Al-Mustasfa, Maktabah Babil Halabi, hlm. 284-315.

  • hukumnya dengan pencabutan perkara dalam hal perceraian dalam

    hukum Islam, karena pada satu sisi terdapat objek sengketa yang

    berlatar belakang kebendaan (barang mati) dalam perdata murni dan

    pada sisi lain terdapat benda hidup (manusia) dalam perdata Islam.

    Kalau kita hubungkan dengan teori ”Maqasid” , maka tujuan hukum

    Allah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dilihat dari segi manusiawi yang

    menitikberatkan pada kepentingan manusia atau mukallaf dan dilihat

    dari segi Allah sebagai pembuat hukum, yaitu tujuan Allah membuat

    hukum. Tujuan hukum Islam sesuai dengan fitrah manusia adalah

    mencapai kebahagiaan hidup dan mempertahankannya yang disebut

    para pakar filsafat hukum Islam dengan istilah al-tahsil wa al-ibqa

    atau mengambil maslahat serta sekaligus mencegah kerusakan ”jalb

    al-mashalih wa daf al-mafasid”. Oleh sebab itu salah satu teori yang

    harus dipegang oleh hakim pengadilan agama dalam memecahkan

    berbagai persoalan hukum adalah bahwa hakim itu tidak harus selalu

    berada dalam situasi dan konteks legal justice, walaupun mereka

    harus lebih awal harus berdasar pada pendekatan legal justice, boleh

    jadi hakim dalam kasus tertentu secara kasuistis harus melakukan

    penemuan hukum bahkan mungkin penciptaan hukum. Dalam situasi

    seperti itu pendekatan legal justice harus ditanggalkan menuju pada

    pendekatan sosial justice dan pendekatan moral justice. Di dalam

    melakukan penemuan hukum atau penciptaan hukum itu, hakim harus

    mampu menggunakan berbagai penafsiran hukum, misalnya

    penafsiran analogis, penafsiran ekstensif, penafsiran reskriftif, dan

    tidak munstahil hakim harus menggunakan penafsiran a contrario.

    Pentingnya penafsiran itu, menurut Satjipto Rahardjo, karena hukum

    itu bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat yang lebih maju

    dan adil 3. Konsep hukum seperti ini menekankan betapa pentingnya

    3 Satjipto Rahardjo, Op cit, hlm. 231.

  • pengetahuan tentang teori hukum itu sebagai dasar utama di dalam

    memahami perangkat peraturan-peraturan hukum yang ada dan

    sekaligus pentingnya keahlian untuk menafsirkannya melalui

    kemampuan untuk menganalisa dan menilai asumsi hukum, terutama

    yang berkaitan dengan perkembangan masyarakat dalam mengisi

    perkembangan hukum sebagai sarana perubahan sosial. Itulah hakim,

    mereka memiliki kewenangan konstitusi dan kewenangan yudisial

    yang tentu saja berbeda dengan aparat hukum lainnya, seperti ; KPK,

    polisi, jaksa dan pengacara yang serba normatif dengan selalu

    mengandalkan asas legalitas. Menurut M. Yahya Harahap, seorang

    hakim harus dapat memahami interogasi filosofis dan memiliki

    konstitusional 4. Berkaitan dengan interogasi filosofis, hakim harus

    mempertanyakan dalam dirinya sebagai berikut ;

    1.Apakah Anda tidak termasuk orang yang tercela dan orang

    yang tidak jujur.

    2.Apakah Anda di dalam mengembang tugas pokok sebagai

    hakim benar-benar telah profesional.

    3.Apakah Anda mampu memberikan keadilan yang mustaqim.

    4. Apakah Anda telah memamahami dan mau mengamalkan

    nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

    5. Apakah Anda telah memiliki pengalaman-pengalaman dan

    maukah Anda meningkatkan kualitas pengetahuan di bidang

    hukum.

    Sementara itu hakim diberi jaminan konstitusional imunitas

    oleh negara secara totalitas di dalam melaksanakan tugas pokoknya,

    sekalipun Anda salah dalam menerapkan hukum secara substansial.

    SEMA No.9 Tahun 1976, menyebutkan hakim tidak boleh dituntut

    sekalipun salah dalam penerapan hukum.

    4 M.Yahya Harahap, Diskusi Hukum, 30 April 2013 di Direktorat Jenderal Badilag MA di Jakarta.

  • Lalu bagaimana cara memahami dan mengetahui tentang teori

    hukum itu ?, paling tidak seorang hakim harus memperbanyak buku

    bacaan referensi tentang hukum, termasuk teori hukum atau

    mengikuti jenjang pendidikan program S2 dan S3 di berbagai

    perguruan tinggi di tanah air, yang di dalamnya diajarkan mata kuliah

    teori hukum. Mempelajari berbagai teori dan konsep hukum Barat,

    seyogianya sebagai seorang hakim, harus melakukan kajian dan

    analisis kritis, lalu melakukan apa yang disebut rekonstruksi hukum.

    Sejalan dengan itu tentunya terlebih dahulu harus dipahami perjalanan

    sejarah lahirnya suatu teori dan konsep hukum yang biasanya

    didapatkan melalui pembelajaran dalam mata kuliah ”sejarah hukum”

    pada program S2 atau S3, di mana semua teori dan konsep hukum itu

    didasarkan pada pandangan atau aliran filsafat tertentu yang

    merupakan bagian dari suatu peradaban tertentu. Teori-teori yang

    sifatnya legalistik, dogmatik, normatif, positivistik, jelas-jelas

    merupakan produk barat, yang serupa dengan paham filsafat liberalis,

    individualis, dan sekuler di barat, di mana diantara sekian banyak

    teori hukum atau konsep hukum itu, ada yang tidak sesuai dengan

    nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, termasuk

    nilai-nilai hukum Islam seperti yang penulis gambarkan dalam

    beberapa contoh kasus di atas. Sehubungan dengan itu, merupakan

    suatu keniscayaan, perlu dipadukan antara kajian historis dan kajian

    komparatif dalam memahami dan mencoba melakukan rekonstruksi

    teori hukum. Harus dilakukan kajian komparatif yang membandingkan

    teori dan konsep hukum barat di satu pihak, dengan teori dan konsep

    hukum timur, di lain pihak, termasuk dengan teori dan konsep hukum

    Islam. Teori hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan

    seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan

    masyarakat mempertahankan ketertiban dan kebebasannya. Hukum

  • haruslah netral dan dapat diterapkan pada siapa saja secara adil.

    Penerapan hukum Islam di zaman Nabi Muhammad SAW, terbukti

    mampu mengimplementasikan secara konsisten ”keadilan

    substansial”, dan sama sekali tidak menomorsatukan ”keadilan

    prosedural-formal” seperti yang didewa-dewakan oleh dunia barat

    selama ini dan sepertinya dianut pula secara kuat oleh sebagian hakim

    pengadilan agama di Indonesia. Namun demikian tidak semua teori

    dan konsep hukum barat kita tolak, sebab tentu saja terdapat bagian

    dari teori dan konsep barat yang mungkin cocok untuk diterapkan di

    masyarakat Indonesia, termasuk hukum formal (hukum acara). Untuk

    itu harus ada proses analisis yang akurat untuk mampu memilah-

    milahnya. Selain itu, juga harus digali dan dipetik berbagai teori dan

    konsep hukum Islam, yang dalam sejarah peradaban, pernah

    menciptakan suatu masyarakat yang benar-benar madani, terutama

    dalam masa keemasan Islam dan tentu saja saat inilah, kita harus

    bangkit kembali mengangkat peradaban Islam yang lebih bermanfaat

    pada masyarakat luas, karena siapa lagi yang akan mengangkat nilai-

    nilai hukum Islam itu, kalau bukan aparat hukum (hakim) peradilan

    agama di Indonesia.

    Bertitik tolak dari hal-hal yang dikemukakan di atas, maka

    pertanyaan pun muncul, sejauhmana peranan teori hukum dalam

    memecahkan persoalan hukum yang timbul di kalangan masyarakat

    Indonesia ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan

    mengemukakan beberapa teori hukum dalam Islam dan teori hukum

    sekuler dari dunia Barat seperti yang diuraikan di bawah ini. Tentu

    saja diharapkan seorang hakim akan mampu mengaplikasikan dan

    memilah antara lain beberapa teori tersebut yang cocok dan sesuai

    dengan masalah yang dihadapi secara konkret dan kasuistis.

    II. Beberapa Teori Hukum Dalam Islam

  • Salah satu teori klasik yang dikenal dalam Islam adalah teori

    ijtihad. Sebagaimana dipahami bahwa Ijtihad adalah aktivitas yang

    dilakukan oleh seorang faqih untuk memperoleh hukum tingkat zanny.

    Kata faqih berasal dari kata ”fuqaha” yang berarti ”orang yang

    berbakat fiqh”, bukan berasal dari kata ”faqiihaa”, yang berarti ”orang

    yang luas ilmu pengetahuan”. Pintu ijtihad bagi orang yang berbakat

    fikh terbuka lebar dengan alasan bahwa hukum-hukum dalam nash

    terbatas, sedangkan kegiatan manusia tidak terbatas, maka mustahil

    untuk mengembalikan yang tidak terbatas pada yang terbatas 5.

    1. Esensi Teori Ijtihad Wahbah Az-Zuhaily

    Teori ini menyatakan bahwa ijtihad bukanlah satu kesatuan

    yang utuh yang tidak dapat dibagi-bagi tanpa menguasai berbagai

    masalah. Seorang mujtahid harus dapat melakukan ijtihad dalam satu

    bidang tertentu. Jika tidak, maka hukum Islam akan menjadi jumud

    (beku statis). Jumhur ulama mujtahid sepakat bahwa tidak boleh ada

    suatu masa yang sunyi dari mujtahid yang berijtihad guna

    menyelesaikan dan menetapkan hukum Islam. Mereka berpendirian

    bahwa ijtihadlah yang telah membawa keharuman dan kecemerlangan

    Islam, sehingga agama ini bisa beradaptasi dengan berbagai situasi

    dan kondisi 6.

    2. Esensi Teori Yusuf Qardhawi

    Teori ini menyatakan bahwa tidak ada ijtihad tanpa

    mencurahkan kemampuan. Dalam arti ada usaha mencurahkan

    segenap kemampuan dalam mengikuti dalil-dalil qath’i dan meneliti

    dalil-dalil zanny.Beliau menegaskan bahwa tidak ada ijtihad dalam

    masalah yang qath’i. Hal ini untuk menghindarkan seseorang agar

    tidak terjebak oleh arus orang yang berusaha mempermainkan agama,

    yaitu yang berusaha merubah nash yang jelas pada nash yang belum

    5 Abd. Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ikhtiar Baru, Jakarta, 1996, hlm. 567.6 Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm. 70

  • jelas, mengubah hukum qath’i menjadi zanny. Tidak boleh menjadikan

    zanny menjadi qath’i. Kita harus tetap menjaga urutan tingkat hukum

    sebagaimana adanya. Bila kita menghubungkan fikh dan hadis perlu

    konsentrasi untuk melihat dan menganalisis illat hukum, kaidah

    syariah dan tujuannya. Perlunya mujtahid mengantisipasi pembaruan

    yang bermanfaat serta tidak mengabaikan semangat zaman dan

    kebutuhannya7.

    Dari teori ini ijtihad itu harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;

    a. Pengerahan kemampuan dengan sungguh-sungguh.

    b. Tujuan memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali dari

    dalil-dalil zanny.

    c. Tidak bertentangan dengan ruh hukmi syar’i.

    d. Bersifat aplikatif.

    e. Berorientasi kemaslahatan 8.

    Selanjutnya ditekankan, lapangan atau medan ijtihad dapat

    diperankan pada hal-hal berikut ;

    a.Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan

    oleh nash al-Quran atau as-Sunnah secara jelas.

    b. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijemakan

    oleh ulama atau aimamatul-mujtahidin.

    c. Nash-nash zanny dan dalil-dalil yang diperselisihkan.

    d. Hukum Islam yang ma’qulul ma’na/ta’aqquly (kausalitas

    hukumnya/illat-nya dapat diketahui para mujetahid).

    3. Esensi Teori Ath-Thufi.

    Dalil-dalil syariat itu terdiri atas sembilan belas macam.

    Setelah diadakan penelitian semua pendapat ulama tercakup di

    dalamnya. Dalil-dalil tersebut adalah ; Al-Kitab, As-Sunnah, Ijema al-

    ummah, ijema ahl al-Madinnah, al-qiyas, perkataan sahabat rasul,

    7 Ibid.8 Ibid.

  • masalih al-mursalah, al-istihsab, al-baraah al-asliyyah, al—awaid,

    istiqra, saddu az-zarai, istidhal, istihsan, al-akhzu bi al-akhaffi, al-

    ismah, ijma al-kufah, ijma al-itrah, ijma al-Khulafa al-Rasyidin.

    Pengertian sabda Rasul tersebut ialah menetapkan maslahat dan

    menafikan (meniadakan) mudarat. Sebab, mudarat adalah kerusakan.

    Jika dilarang oleh syariat, maka maslahat harus dipertahankan 9.

    Dalil terkuat adalah nash dan ijma’. Keduanya terkadang selaras dan

    terkadang bertentangan dengan maslahat. Jika selaras dengan

    maslahat, tidak perlu dipertentangkan karena telah adanya

    kesepakatan tiga dalil sekaligus bagi suatu hukum, yaitu ; nash, ijma,

    dan maslahat, dengan teori yang diambil dari pengertian sabda

    Rasulullah SAW, la dara wa la dirara. Jika keduanya bertentangan ,

    yang harus didahulukan adalah penggunaan maslahat dari pada nash

    dan ijma’. Caranya mengadakan takhsis atau tabyin terhadap

    pengertian nash dan ijma’, bukan membekukan berlakunya salah satu

    dari keduanya. Sama halnya dengan penjelasan sunnah terhadap ayat

    al-Quran, kemudian mengamalkan pengertian sunnah.

    4. Teori Qiyas (Konstruksi Masalik al-Illat)

    Qiyas merupakan dalil yang paling enteng dalam

    memecahkan masalah-masalah baru yang belum ditegaskan dalam

    nash atau oleh pembahasan mujtahid terdahulu. Menurut Ibrahim

    Hosen, pembaruan dalam bidang ini dapat ditempuh dengan cara

    merumuskan kaidah pencarian dan pengujian illat yang benar-benar

    baru. Dengan demikian dalam menggalakkan qiyas tidak terikat

    dengan masalik al-illat gaya lama, hasil rumusan ulama terdahulu.

    5. Teori Ijtihad Ibrahim Hosen

    Menurut Ibrahim Hosen ijtihad adalah mengarahkan penelitian

    dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan

    9 Ahmad Abdur Ar-Rahim As-Sayih, Risalah Fi Ri’ayat al-Maslahah Li Al-Imam Ath-Thufi, Dar Al-Misriyah Li Al-Bananiyah, Mesir, 1993, hlm. 13-18.

  • Kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul SAW, baik melalui nash yang

    disebut qiyas (ma’qul al-nash) maupun melalui maksud dan tujuan

    umum hikmah syariat yang disebut maslahat. Ijtihad tidak berlaku di

    bidang akidah dan akhlak. Dengan alasan sebagai berikut ;

    a.Akidah hanya berwenang dibicarakan oleh ilmu tauhid (ilmu

    kalam), ahlinya disebut ulama tasawuf (moral).

    b.Pengertian ijtihad yang telah dirumuskan oleh para ahli fikh

    dan ahli ushul itu, berlaku hanya di bidang hukum yang

    berkaitan dengan tingkah laku dan perbuatan orang dewasa

    yang dibicarakan oleh ilmu fikh dan usul fikh dan orangnya

    disebut ”faqih” dan ”ahli ushul” 10.

    II. beberapa Teori Hukum Sekuler dari Dunia Barat

    Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut ;

    1. Teori Kedaulatan Negara

    Teori Kedaulatan Negara ini dipelopori oleh John Austin, yang

    esensi ajarannya adalah ;”Law..was the command of sovereign,

    artinya; hukum adalah perintah pihak yang berdaulat. Hal ini dapat

    diikhtiarkan bahwa kedaulatan negara yang digunakan itu,

    berdasarkan kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki oleh pihak yang

    berkuasa.

    Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah,

    bermoral atau tidak, melainkan hukum merupakan apa saja yang

    diputuskan dan dijalankan oleh kelompok masyarakat yang paling

    berkuasa.11 Hukum ditafsirkan menurut keinginan yang

    menafsirkannya, dan penafsir akan menafsirkan sesuai dengan

    perasaan dan kepentingannya sendiri, sehingga yang namanya

    keadilan hanya merupakan semboyan retorika yang digunakan oleh

    10 Juhaya S. Praja, Op cit, hlm. 85.11 Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Cipta Aditya Bakti, Bandung,2003, hlm.1-2.

  • kelompok mayoritas untuk menjelaskan apa yang mereka inginkan,

    dan keinginan pihak minoritas tidak pernah menjadi hasil penafsiran

    hukum dan akan selalu menjadi bulan-bulanan hukum.12

    Fakta di depan mata, penegakan hukum di Indonesia masih

    carut marut, dan hal ini sudah diketahui dan diakui oleh sebagian

    besar masyarakat Indonesia dan juga komunitas masyarakat

    internasional. Bahkan banyak pendapat yang menyatakan bahwa

    penegakan hukum, acap kali dipandang bersifat diskriminatif,

    inkonsisten, dan hanya mengedepankan kepentingan kelompok

    tertentu, padahal seharusnya penegakan hukum merupakan ujung

    tombak terciptanya tata hukum yang baik dalam masyarakat.

    Apakah warga negara memiliki kewajiban moral natural untuk

    mematuhi negara? Atas dasar apa negara mewajibkan masyarakat

    mematuhi hukum? Apakah negara itu sendiri memang legitim dan

    karenanya berwenang memaksakan kehendaknya pada masyarakat?.

    Kecenderungan mengedepankan pendekatan prosedural formal, di

    satu pihak; dan mengabaikan substansi hukum, di lain pihak, dapat

    menjadi indikasi ketidakmampuan negara memenuhi fungsi pokoknya

    sebagai pembela dan menjamin pelaksanaan hak warga negara.

    Kenyataan ini sekaligus menjadi lonceng kematian keadilan, ketika

    hukum sebagai iuris secara sadar dilepaskan dari dimensi substansinya

    sebagai ius. Karena itu, beralasan untuk menegaskan bahwa hukum,

    bukan sekedar sekumpulan peraturan. Hukum adalah norma untuk

    menjamin dan melindungi hak warga negara. Itulah sebabnya

    penganut teori hukum kodrat ataupun pendukung positivisme

    berpendapat bahwa tujuan hukum hanya dapat tercipta apabila hukum

    dibangun dengan kesadaran dan tanggungjawab moral untuk

    membela keadilan.

    12 Munir Fuady, Ibid.hlm. 21.

  • 2. Teori Kedaulatan Hukum

    Teori ini menyatakan bahwa hukum itu bersifat mengikat,

    bukan karena dikehendaki oleh negara, namun lebih dikarenakan

    kesadaran hukum dari masyarakat itu sendiri. Prof.Mr.H.Krabbe dalam

    bukunya ”Die Lehre Rechtssouvernitat” berpendapat bahwa kesadaran

    hukum berpangkal pada perasaan setiap individu yaitu bagaimana

    seharusnya hukum itu.13

    Teori ini dalam tataran praktikal, sedikit mengalami kesulitan,

    karena tingkat kesadaran hukum, masing-masing orang pasti berbeda

    dan sangat bergantung pada faktor kepentingan yang ingin dicapai.

    Salah satu contoh putusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa

    Pilkada, banyak daerah yang tidak mau melaksanakan putusan

    Mahkamah Konstitusi, padahal lembaga ini adalah pengawal konstitusi.

    Kenapa demikian karena pihak yang kalah dalam Pilkada tidak mau

    secara demokratis menerima kekalahan tersebut. Mereka lebih

    cenderung mencari-cari masalah, agar pihak yang kalah dapat

    memperpanjang masa jabatannya, minimal akan mendapatkan

    kesempatan dalam posisi atau kedudukan caraceter sebagai pelaksana

    tugas sebagai Bupati/Walikota/Gubernur dan pada akhirnya pihak

    yang menang dalam Pilkada tidak mendapat tempat dan kesempatan

    untuk tampil sebagai pimpinan daerah.

    3. Esensi Teori Rudolf Stammler

    Stammler berpendapat, apa yang dikehendaki manusia

    dalam kehidupan sosial adalah hidup bersama yang teratur. Untuk

    menjamin hidup bersama yang teratur itu, dibutuhkan perbuatan,

    yakni pengaturan segala hal yang terdapat dalam kehidupan bersama

    itu. Perbuatan mengatur itu, wujudnya adalah hukum. Hidup bersama

    yang teratur, menghendaki adanya hukum sebagai penjamin

    13 Muchsin, Ikhtisar Materi Pokok Filsafat Hukum, STIH ”IBLAM”, Jakarta, 2004, hlm.62.

  • keteraturan. Kehendak akan hukum itulah yang oleh Stammler disebut

    kehendak yuridis. Kehendak yuridis ini harus menjadi dasar dan syarat

    seluruh aturan hukum positif. Tanpa kehendak yuridis (menjamin

    keteraturan dalam hidup bersama), suatu aturan hukum positif tidak

    memiliki arti normatif . Oleh karena itu ”kehendak yuridis (dalam arti

    formal) inilah yang merupakan prinsip terakhir segala pengertian

    tentang hukum. Ia tidak berkaitan dengan isi kaidah hukum,

    sebaliknya ia merupakan bidang formal. Sifat mewajibkan (sifat

    normatif) dari hukum harus bertolak dari segi formalnya (bentuknya),

    bukan isinya (matreri)”.14

    Di sinilah kemudian melahirkan makna transedental yang sifatnya

    mewajibkan, di mana kehendak yuridis menuntut supaya orang-orang

    menaati aturan-aturan hukum. Jadi hukum itu menuntut secara legal.

    4. Esensi Teori Talcott Parsons

    Teori hukum ini lahir dari penganut aliran sosiologis, penulis

    dapat mengemukakan bahwa Parsons melihat masyarakat sebagai

    salah satu totalitas yang mempunyai dua macam lingkungan, yaitu:

    ultimate reality dan fisik organik. Untuk menghadapi kedua

    lingkungan tersebut, masyarakat mengorganisir diri ke dalam

    beberapa sub-sistem, masing-masing : sub sistem ekonomi, politik,

    sosial dan budaya. Menurut Achmad Ali, tiap-tiap sub sistem memiliki

    fungsi khas, yaitu;

    a.Sub sistem ekonomi berfungsi adaptasi ( adaptation ), berarti

    bagaimana masyarakat itu memiliki fungsi yang dapat

    memamfaatkan sumber daya di sekitarnya secara fisik organik.

    b.Sub sistem politik berfungsi pencapaian tujuan ( goal

    pursuance ), berarti setiap warga masyarakat selalu mempunyai

    kebutuhan untuk mengetahui ke arah mana tujuan masyarakat

    14 Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm. 125.

  • itu digerakkan. Dengan politik, masyarakat dihimpun sebagai

    satu totalitas untuk menentukan satu tujuan bersama.

    Contohnya; masyarakat Indonesia bertujuan untuk mencapai

    masyarakat yang adil dan makmur.

    c.Sub sistem sosial berfungsi integrasi ( integration ), berarti

    proses/hubungan di dalam masyarakat diintegrasikan menjadi

    satu, sehingga masyarakat dapat merupakan satu kesatuan.

    Contohnya dengan adanya peraturan perkawinan, maka

    diintegrasikan orang-orang yang telah menikah itu mengadakan

    hubungan suami istri.

    d.Sub sistem budaya berfungsi mempertahankan pola (

    pattern maintenance ), berarti tanpa kebudayaan, maka

    masyarakat tidak dapat berintegrasi dan tidak dapat berdiri

    sebagai kesatuan. Contohnya mengusahakan adanya ”pattern

    maintenance” melalui penataran P415.

    Parsons memandang manusia dalam dua wujud, yakni ;

    i.Manusia sebagai individu yang memiliki empat sub sistem,

    yaitu ; cultural system, social system, personality, dan

    behavioral organism.

    ii.Manusia sebagai warga masyarakat yang memiliki empat sub

    sistem, yaitu ; cultural system, social system, political system

    dan economy sistem.16

    Secara ”behavioral organism”, manusia pada umumnya

    sama,tetapi mengapa kepribadiannya berbeda-beda? Ini disebabkan

    karena secara kultural, mereka berbeda-beda. Jika Aco, Becce dan La

    Tuwo masing-masing melakukan hubungan secara timbal balik, maka

    selain pisik mereka berhubungan, juga berhubungan kepribadian

    mereka. Hubungan inilah yang membentuk ”social system”. Interaksi

    15 Achmad Ali, Ibid, hlm. 299.16 Achmad Ali, Ibid, hlm. 300.

  • di dalam masyarakat berbentuk ” system of expectations”.inilah yang

    mengakibatkan kalau manusia itu masuk ke dalam jaringan ”social

    system”, maka dengan sendirinya manusia itu telah berada dalam

    jaringan ”system of expectations” .

    Apa yang dimaksud dengan ”system of expectations” , penulis

    dapat memberikan contoh sebagai berikut ; ”Di dalam suatu keluarga

    yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya, tidak hanya terjadi

    interaksi antara seorang pria dewasa yang kebetulan berstatus ayah

    dengan seorang wanita dewasa yang kebetulan berstatus ibu dan juga

    dengan manusia-manusia kecil yang kebetulan berstatus anak,

    melainkan justru yang menjadikan ciri sebagai keluarga adalah adanya

    ”system of expectations” , yaitu terjadinya harapan-harapan akibat

    terjadinya perubahan status dari status bujang menjadi suami dan dari

    status gadis menjadi istri.

    Perubahannya antara lain, pada waktu masih bujangan, si pria

    tadi biasanya ada yang bebas keluyuran di luar rumah sampai pagi,

    bebas pacaran dengan beberapa orang wanita, bebas berpoya-poya

    dengan menghabiskan gajinya atau penghasilannya. Tetapi dengan

    selesainya pria tadi menikah dan statusnya pun berubah menjadi

    suami, maka muncullah ”expectation” sebagai suami. ”Expectation”

    atau sesuatu yang diharapkan dari seorang ayah itu adalah bahwa

    keadaan seperti dulu ketika ia masih bujang, tidaklah benar jika ia

    masih mau mengulanginya lagi.

    Demikian pula sebaliknya pada si istri. Ketika ia masih gadis,

    ada diantaranya yang bebas berteman dan bergaul dengan pria mana

    saja yang diinginkannya dengan aneka ragam alasan; teman sekolah,

    teman kerja, teman gaul atau teman akrab, sudah kayak saudara dan

    sebagainya. Sehari semalam tentu boleh saja digunakan untuk

    berdandan di depan cermin, tetapi dengan perubahan statusnya

  • setelah menjadi istri, muncullah ”expectation” sebagai istri.

    ”Expectation” atau sesuatu yang diharapkan dari seorang istri itu,

    adalah bahwa keadaan dan kebiasaan seperti ketika ia masih gadis,

    sudah salah jika ia masih ingin meneruskannya.

    Apa arti suami?, apa arti istri?, dan apa arti anak?. Tentu

    memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Seorang suami memiliki

    ”expectation”, dalam arti; diharapkan untuk tidak lagi bagadang dan

    membuang-buang waktu, lalu pulang ke rumah pada pagi hari, tidak

    bergaul bebas dengan wanita-wanita lain yang bukan muhrimnya dan

    tidak menghabiskan gajinya atau penghasilannya buat berpoya-poya

    di luar rumah. Demikian pula seorang istri memiliki ”expectation”,

    dalam arti diharapkan untuk tidak bergaul ”bebas” dengan pria lain,

    selain suaminya, juga tidak hanya mengurus dirinya sendiri sampai

    berdandan berjam-jam lamanya, hanya untuk kepentingan

    penampilan di luar rumah dan untuk kepentingan orang lain,

    sementara di rumah tidak menghiraukan suaminya, bahkan

    cenderung berpenampilan alakadarnya dengan pakaian yang kusut,

    kotor dan berbau aroma yang tidak menyenangkan. Demikian pula

    seorang anak memiliki ”expectation”, bahwa apa yang ia harus

    lakukan terhadap kedua orang tuanya, baik dalam bentuk ketaatan

    maupun dalam bentuk pengabdian.

    Pada kenyataannya ”expectations” atau harapan-harapan itu,

    tidak selalu selaras dengan ”performance” atau kenyataan. Ketika

    terjadi perbedaan antara ”expectation” dengan ”performance”, maka

    hubungan itu menjadi tidak ideal, muncul sikap dan perilaku yang

    egois, yang pada gilirannya hilang rasa percaya dan mudah timbul

    persepsi dan pendapat yang berbeda yang pada akhirnya

    menimbulkan perselisihan dan pertengkaran (syikak) dalam keluarga.

    Menurut penulis, bahwa yang memberikan arti dan solusi pada

  • ”system of expectations” adalah kaidah-kaidah, yang di dalamnya

    terdapat; kaidah agama, kaidah hukum, kaidah sosial, kaidah moral

    dan kesopanan. Kaidah-kaidah ini sangat menentukan tampilnya

    ”expectation” dari seseorang.

    5. Esensi Teori George Gurvitch

    Teori hukum ini dari kubu Neo-Positivisme. Gurvitch

    berpendapat ”kenyataan normatif itu adalah keadilan. Hidup dalam

    masyarakat hanya dapat berjalan aman, damai, dan stabil berkat

    hubungannya dengan keadilan. Sejumlah orang, baru menjadi

    kelompok yang riil, bila mereka mengalami kelompoknya sebagai

    suatu ”kita”. ’Aku’ dan ’engkau’ menjadi bersatu sebagai ’kita’. Ini bisa

    terwujud jika keadilan menjadi nilai hidup bersama yang utama. Juga

    dalam membentuk hukum positif, keadilan harus memegang peranan

    yang penting. Hukum itu mendapat arti hukum yang sesungguhnya,

    berkat nilai keadilan yang diwujudkannya”.17

    Jadi kenyataan normatif dalam hukum, dapat diartikan sebagai

    perwujudan nilai keadilan dalam realitas empiris hidup bersama yang

    merupakan dasar materiil hubungan-hubungan sosial antara manusia,

    artinya bahwa tiap-tiap hidup bersama sejumlah orang mendapat

    bentuknya sebagai hidup berkelompok berdasarkan kenyataan

    normatif.

    6. Esensi Teori Responsif

    Teori hukum ini lahir dan digagas oleh Nonet-Selznick. Hukum

    responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan

    dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di

    sekitarnya, maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem

    yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan,

    17 Satjipto Rahardjo, Loc.cit, hlm. 148.

  • yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang

    timbul dalam bekerjanya hukum itu. 18

    Apa yang dikatakan Nonet dan Selznick, sebetulnya ingin

    mengeritik model analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang

    hanya berkutat di dalam sistem hukum positif.19 Model yang mereka

    sebut dengan tipe hukum otonom. Hukum Responsif sebaliknya,

    pemahaman mengenai hukum melampaui peraturan atau teks-teks

    dokumen dan looking towards pada hasil akhir, akibat dan manfaat

    dari hukum itu.20. Itulah sebabnya, hukum responsif mengandalkan

    dua doktrin utama. Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik,

    bertujuan dan rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi

    terhadap semua pelaksanaan hukum.

    Karena kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai norma

    kritik, maka tatanan hukum responsif, menekankan pada ;

    a. Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum

    b. Peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan kebijakan

    c. Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan

    akibat bagi kemaslahatan masyarakat.

    d. Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan

    keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan

    e. Memupuk sistem kewajiban sebagai ganti sistem paksaan

    f. Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan

    hukum

    g. Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum

    dalam melayani masyarakat.

    h. Penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan

    terhadap legitimasi hukum

    18 Satjipto Rahardjo, Op cit, hlm. 206.19 Satjipto Rahardjo, Makalah Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan), Semarang, 2004.20 Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm.4

  • i. Akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi

    advokasi hukum dan sosial.21

    Dalam konteks inilah, hukum responsif menurut Nonet-Selznick,

    merupakan upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan

    sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu

    sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum

    menemukan kembali persambungannya dengan ilmu hukum klasik

    yang sifatnya lebih intelektual akademik. Ilmu hukum selalu lebih dari

    sekadar bidang akademik yang dipahami oleh hanya segelintir orang.22

    Jadi teori hukum, tidaklah buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak

    pula kebal dari pengaruh sosial. Ilmu hukum memperoleh fokus dan

    kedalaman, ketika ia secara sadar mempertimbangkan implikasi-

    implikasi yang dimilikinya untuk tindakan dan perencanaan

    kelembagaan. Menurut Nonet-Selznick, untuk membuat ilmu hukum

    lebih relevan dan lebih hidup, harus ada reintegrasi antara teori

    hukum, politik hukum dan teori sosial.23. Teori Pound mengenai

    keseimbangan kepentingan-kepentingan sosial, merupakan sebuah

    usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan sebuah model

    hukum responsif itu.24

    7. Esensi Teori Progresif

    Teori hukum progresif, tidak lepas`dari gagasan Prof.Satjipto

    Rahardjo, yang galau dengan cara penyelenggaraan hukum di

    Indonesia. Pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya,

    yaitu hukum untuk manusia. Hukum progresif menganut ideologi,

    hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Dengan

    ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama

    untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut

    21 Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm. 4.22 Satjipto Rahardjo, Op cit, hlm. 211.23 Satjipto Rahardjo, Ibid.24 Satjipto Rahardjo, Ibid.

  • mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum.

    Mereka harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang

    dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan

    kebahagiaannya), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir

    penyelenggaraan hukum.

    Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi

    hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada

    peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan

    hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum

    progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan

    yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu

    perubahan peraturan. Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi

    penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan

    keadilan, untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat

    melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu

    peraturan. Agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa

    pelaku hukum yang kreatif menerjemahkan hukum itu dalam fora

    kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya,25

    Hukum progresif, seprti juga intressenjurisprudenz, tidak sekali-

    kali menafikan peraturan yang ada sebagaimana dimungkinkan dalam

    aliran freirechtslehre. Meski begitu, ia tidak seperti legisme yang

    mematok peraturaan sebagai harga mati atau analytical jurisprudence

    yang hanya berkutat pada proses logis-formal.26. Hukum progresif itu

    merangkul, baik peraturan maupun kenyataan dan kebutuhan sosial

    sebagai dua hal yang harus dipertimbangkan secara matang dalam

    setiap pengambilan keputusan.

    Perhatian hukum progresif dan legal raelism pada tujuan dan

    akibat hukum, memperlihatkan suatu cara pandang etis yang dalam

    25 Satjipto Rahardjo, Ibid.26 Satjipto Rahardjo, Ibid.

  • etika disebut etika teleologis, artinya hukum itu harus dilihat pada

    aspek tujuan hukum, apa yang mau dicapai hukum itu. Oleh sebab itu

    setiap kaidah hukum ada tujuan yang ingin dicapai. Cara berpikir

    teleologis ini bukan tidak mengacuhkan hukum. Aturan itu penting,

    tapi itu bukan ukuran terakhir. Yang lebih penting ialah tujuan dan

    akibat. Sebab itu pertanyaan sentral dalam etika teleologis, ialah

    apakah suatu tindakan itu bertolak dari tujuan yang baik, dan apakah

    tindakan yang tujuannya baik itu, juga berakibat baik. Kiranya jelas,

    baik hukum progresif maupun intressenjurisprudenz dan legal realism,

    memiliki semangat dan tujuan yang sama, yaitu semangat

    menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia sebagai tujuan

    utama dari hukum.

    Karena hukum progresif menempatkan kepentingan dan

    kebutuhan manusia/rakyat sebagai titik orientasinya, maka ia harus

    memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan yang timbul dalam

    hubungan-hubungan manusia. Salah satu persoalan krusial dalam

    hubungan-hubungan sosial adalah keterbelengguan manusia dalam

    struktur-struktur yang menindas, baik politik, ekonomi, maupun sosial

    budaya. Dalam konteks keterbelengguan dimaksud, hukum progresif

    harus tampil sebagai institusi yang emansipatoris (membebaskan)

    dalam berbagai persoalan hukum yang timbul di kalangan masyarakat.

    Dan hal ini sangat bergantung pada diskresi dari para pelaku penegak

    hukum, ia dituntut untuk memilih dengan bijaksana bagaimana ia

    harus bertindak, berdasarkan pendekatan moral dari pada ketentuan-

    ketentuan formal.

    III. Kesimpulan.

    1.Teori-teori dan konsep hukum yang ada di Indonesia yang

    merupakan produk dunia Barat, harus dikaji secara lebih komperhensif

    dan mendalam serta disesuaikan dengan teori-teori hukum Islam.

  • Teori dan konsep hukum Barat yang sesuai dengan kondisi

    masyarakat Indonesia harus diterima secara lapang dada dan dinilai

    sebagai khasanah kekayaan hukum Indonesia. Sebaliknya teori-teori

    dan konsep hukum yang bertentangan dengan nilai budaya dan

    hukum yang hidup dalam masyarakat, harus ditolak dengan tegas

    dalam aplikasinya di Indonesia, baik yang berkaitan dengan hukum

    formal (acara) maupun yang berkaitan dengan hukum materiil.

    Kiranya jelas, diskresi bagi penegak hukum merupakan faktor

    wewenang hukum yang dijalankan secara bertanggung jawab dengan

    menggunakan pertimbangan moral dari pada peraturan abstrak,

    karena tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam ketentuan hukum,

    seringkali begitu kabur, sehingga memberi kesempatan kepada para

    hakim untuk menggunakan berbagai bentuk penafsiran hukum dalam

    konteks situasi yang ia hadapi, dan di sinilah peran dan perlunya

    sebuah teori dalam memecahkan persoalan hukum yang dihadapi dan

    di sini pulalah, perlunya diskresi yang merupakan kelengkapan dari

    sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri.

    2. Pemahaman terhadap sebuah teori hukum lalu diaplikasi dalam

    berbagai kasus yang harus dipecahkan sangat diperlukan dan

    membantu memecahkan persoalan hukum yang mengalami kebuntuan

    atau adanya kekosongan hukum, baik hukum acara maupun hukum

    materiil. Sebab hanya dengan cara itu sebagai salah satu solusi

    meningkatkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia), khususnya di

    lingkungan peradilan agama. Sehingga diharapkan di masa yang akan

    datang tidak lagi muncul sikap masyarakat yang menganggap enteng

    dan remeh terhadap dunia peradilan agama seperti yang dilontarkan

    oleh O.C. Kaligis baru-baru ini. Mudah-mudahan hal itu menjadi

    hikmah sekaligus menjadi cambuk bagi warga peradilan agama untuk

    lebih maju lagi di masa yang akan datang. Akhirnya secara pribadi dan

  • mohon izin, penulis menghimbau kepada semua hakim peradilan

    agama di Indonesia untuk tidak terpancing melihat situasi akhir-akhir

    ini, termasuk pernyataan O.C. Kaligis. Sebab mereka itu dapat kita

    duga adalah pihak-pihak yang kurang senang melihat atas keberadaan

    peradilan agama di Indonesia. Gunakanlah kualitas kecerdasan yang

    Anda miliki, yaitu ; kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan

    kecerdasan spritual seperti yang digambarkan oleh Ary Ginanjar. Ada

    mekanisme yang bisa kita lalui secara konstitusional yaitu berdasar

    pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial,

    di mana disebutkan, bahwa ; ” KY dapat melakukan langkah hukum

    atau langkah lainnya terhadap orang, kelompok atau badan hukum

    yang diduga merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat

    hakim”. Kita tidak perlu memiliki gelar kesarjanaan yang begitu

    banyak dan berlapis sebagai simbol dan tanda kecerdasan intelektual

    yang dimiliki. Buat apa gelar yang dimiliki begitu banyak, akan tetapi

    kita tidak mampu menggunakan kualitas kecerdasan emosional dan

    kecerdasan spritual yang kita miliki. Yakinkan diri Anda bahwa

    peradilan agama akan lebih maju dan jaya di masa yang akan datang

    dan umat Islam di mana pun mereka berada akan selalu mendukung

    kita. Semoga.-

  • DAFTAR PUSTAKA

    1. Abd. Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ikhtiar Baru,Jakarta, 1996.

    2. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta,1996.

    3. Ahmad Abdur Ar-Rahim As-Sayih, Risalah Fi Ri’ayat al-MaslahahLi Al-Imam Ath-Thufi, Dar Al-Misriyah Li Al-Bananiyah, Mesir,1993.

    4. Al-Ghazali, Al-Mustasfa, Maktabah Babil Halabi.5. Bernard, L, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas

    Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.6. M. Nur Ghufron & Rini Riswanita, S, Teori-Teori Psikologi, Ar-

    Ruzz Media, Yogyakarta, 2010.

  • 7. M.Yahya Harahap, Diskusi Hukum, di Direktorat Jenderal BadilagMA di Jakarta, 30 April 2013.

    8. Muchsin, Ikhtisar Materi Pokok Filsafat Hukum, STIH ”IBLAM”,Jakarta, 2004.

    9. Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, Paradigma KetidakberdayaanHukum, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 2003.

    10. ----------------, Teori-teori dalam Sosiologi Hukum,Prenada Media Group, Jakarta, 2011.

    11. Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, CV. PustakaSetia, Bandung, 2011.

    12. Robrto M. Urger, Teori Hukum Kritis Posisi Hukum dalamMasyarakat Modern, Nusamedia, 2008.

    13. Salim, HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, PT.RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.

    14. Satjipto Rahardjo, Makalah Hukum Progresif (PenjelajahanSuatu Gagasan), Semarang, 2004.

    15. ----------------------, Hukum dan Perubahan Sosial, GentaPublishing, Yogyakarta, 2009.

    16. Sudikono Mertokusumo, Teori Hukum, Universitas AtmaJaya, Yogyakarta, 2011.

    17. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan KonstruksiHukum, PT. Alumni, Bandung, 2000.