artikel g! (geohazard) fix
DESCRIPTION
geohazardTRANSCRIPT
OLEH :
Aditya Arya Dewa
111.130.028
MAJA:AH G!
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2014
TUGAS ARTIKEL
GEOSTORY
MAJALAH G!
Rubrik :GEOSTORY
Tema : Geohazard
Akhir - akhir ini frekuensi bencana yang terjadi di Indonesia kian meningkat. Letusan
Gunung Kelud yang tejadi pada Februari 2013, disusul dengan rentetan letusan Gunung
Sinabung mulai dari Januari hingga Oktober dan meningkatnya status sebagian besar gunung
api di Indonesia menyebabkan Indonesia menjadi negara yang rawan bencana alam. Bencana
alam merupakan peristiwa atau fenomena alam yang menyebabkan kerugian secara materi.
Bencana alam dapat disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Jika dilihat dari sisi
geologi, bencana alam merupakan fenomena geologi yang wajar terjadi yang menyatakan
bahwa bumi itu hidup. Bumi dikatakan hidup karena memiliki siklus yang kita kenal sebagai
siklus tektonik. Gunung api merupakan salah satu produk dari siklus tersebut. Dan erupsi
gunung api merupakan peristiwa keluarnya material vulkanik akibat pelepasan energi yang
besar. Pelepasan energi ini menjadi salah satu pemicu terjadinya gempa yang nantinya dapat
berkaitan dengan terjadinya tsunami.
Peristiwa erupsi gunung api, gempa bumi, maupun tsunami merupakan fenomena
yang wajar terjadi akibat siklus tektonik yang juga menjadi penanda bahwa bumi itu hidup.
Peristiwa tersebut dapat dikatakan sebagai bencana jika dilihat dari sisi dampak kerusakan
yang ditimbulkan terhadap kehidupan manusia. Baik erupsi gunung api, gempa bumi, dan
tsunami telah terjadi di masa lampau, jauh sebelum manusia ada, dengan intensitas yang
berbeda. Hal ini telah dinyatakan oleh seorang ahli pertanian yang memberikan masukan
besar dalam ilmu geologi, James Hutton. James Hutton adalah ilmuwan asal Belanda yang
mematenkan salah satu hukum geologi “Uniformitarianism”. Hukum tersebut menyatakan
“The Present is the key to the past”, yaitu peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa sekarang
sebenarnya juga terjadi di masa lalu dengan intensitas yang berbeda. Misalnya pada zaman
dahulu terjadi erupsi Gunung Tambora yang sangat dahsyat hingga debunya mampu merubah
iklim di benua eropa. Letusan atau erupsi gunung api yang lain juga terjadi di zaman
sekarang dengan kekuatan yang berbeda dari erupsi Tambora dahulu.
Dalam dunia geologi, peristiwa bencana alam dikenal dengan istilah Katastropik
geologi. Katastropik merupakan fenomena yang mampu merubah relief atau bentuk
permukaan bumi dalam waktu singkat. Katastropik di masa lalu menggambarkan peristiwa
yang menyebabkan kepunahan masal suatu populasi mahluk hidup yang disertai dengan
perubahan lingkungan. Misalnya tumbukan benda luar angkasa, gempa bumi, erupsi gunung
api, dan tsunami yang dapat merubah lingkungan suatu wilayah yang tadinya laut menjadi
daratan, dan sebaliknya.
Berbicara tentang bencana alam, tahun 2014 kita
memperingati satu dekade peristiwa tsunami yang
melanda Aceh 26 Desember 2004 silam. Tsunami berasal
dari bahasa jepang “Tsu” artinya “Pelabuhan” dan
“Nami” yang berarti “Gelombang”. Tsunami merupakan
gelombang raksasa yang terjadinya dipicu oleh gempa
bumi baik gempa tektonik maupun gempa vulkanik.
Tsunami yang terjadi di Aceh 2004 lalu merupakan salah
satu bencana yang terdahsyat yangg merenggut banyak
korban jiwa. Peristiwa Katastropik geologi ini sanggup merenggut 280.000 jiwa,
menyebabkan kerugian yang tak terhitung jumlahnya serta meluluh lantahkan sebagian besar
wilayah utara pulau sumatra dan sekitarnya. Tidak hanya bagi negara Indonesia, gelombang
raksasa setinggi 30 meter tersebut juga menghantam wilayah negara lain seperti Singapura,
Malaysia, hingga Thailand.
Gelombang Tsunami dapat terjadi akibat patahan lempeng di dasar samudra karena
aktivitas tektonik maupun akibat aktivitas vulkanik yang berkaitan dengan gunung api.
Patahan di dasar laut menyebabkan gempa bumi. Patahan ini juga menghasilkan ruang di
lantai samudra yang dalam waktu singkat menarik volume air yang sangat banyak untuk
mengisi ruang tersebut. Hal ini menyebabkan kondisi permukaan air laut di tepi pantai
menjadi surut. Selang waktu berikutnya, volume air yang mengisi ruang pada patahan di
dasar samudra kembali dimuntahkan sebagai gelombang raksasa yang sanggup melibas habis
apa yang dilaluinya.
Peristiwa Tsunami Aceh 2004 lalu disebabkan
oleh patahan akibat tubrukan vertikal antara lempeng
Eurasia dan lempeng Indo-Australia yang diikuti oleh
terjadinya gempa 8,4 SR. Tsunami yang dipicu oleh
gempa dengan epicentrum di 155 mil selatan-tenggara
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam ini ditandai dengan surutnya permukaan air laut di tepi
pantai utara Sumatra. Saat air surut banyak warga yang berlarian ke pantai untuk mengambil
ikan yang terjebak di sepanjang pantai. Namun hal ini justru menjadi awal dari petaka yang
siap melanda mereka. Beberapa saat kemudian ombak-ombak di lautan mulai menggulung.
Membentuk dinding raksasa setinggi 30 meter yang bergerak menuju daratan. Dalam
hitungan menit gelombang tersebut menghancurkan semua yang dilaluinya. Bangunan,
kendaraan, pepohonan, dan sarana umum tak luput dari hantaman petaka yang menelan
korban ratusan ribu jiwa tersebut. Jutaan kubik volume air menyapu daratan hingga 2,5
kilometer dari garis pantai utara Sumatra. Menyisakan puing - puing bangunan yang tak
terhingga jumlahnya. Berdasarkan kerugian dan banyaknya korban jiwa yang ditimbulkan
oleh peristiwa tersebut, Tsunami Aceh menjadi saah satu bencana yang paling mematikan
yang pernah terjadi di dunia.
Namun ada sebagian orang yang memiliki spekulasi lain terkait penyebab terjadinya
bencana dahsyat tersebut. Adalah M. Dzikron A.M, seorang dosen fakultas tehnik di Unisba,
salah satu dari sebagian orang yang menganggap peristiwa Tsunami Aceh satu dekade silam
sebagai sebuah rekayasa belaka.
Dengan perkembangan teknologi yang
mutakhir di negara-negara barat, bukanlah hal
yang mustahil untuk menciptakan sebuah
senjata yang mampu memanipulasi keadaan di
bumi. M. Dzikron berpendapat bahwa salah
satu negara adidaya telah berhasil membuat
senjata pemusnah massal. HAARP (High
Altitude Atmospheric Research Project) adalah
senjata yang didisain untuk menciptakan
bencana alam seperti gempa, badai dan
tsunami. HAARP menggunakan gelombang elektromagnetik dengan berbagai frekuensi yang
ditembakan ke atmosfer. Gelombang elektromagnetik ini akan menghangatkan ionosfer
sehingga menciptakan awan hujan yang nantinya juga dapat memicu badai. Gelombang yang
ditembakan HAARP juga dapat terpantulkan oleh ionosfer dan stratosfer kembali ke bumi
sehingga dapat menciptakan gempa bumi.
Hipotesa Dzikron didukung oleh adanya
kejangalan dibalik bencana yang menewaskan
280.000 jiwa tersebut. National Oceanic and
Atmospheric Administration (NOAA), seperti
BMKG di Indonesia, beberapa kali merubah data
magnitudo dan posisi episentrum gempa, serta
kejanggalan tidak adanya peringatan pada
seismograf di Indonesia dan India. Secara
sederhana, gempa selalu dipicu oleh apa yang disebut frekuensi elektromagnetik pada 0,5
atau 12 Hertz, dan bukan sebuah proses yang terjadi secara mendadak seperti tsunami di
Aceh. Selain itu sebagian besar mayat yang ditemukan terbujur kaku dengan kulit berwarna
hitam pekat, kematian akibat tenggelam tidak akan mengubah warna kulit sedemikian cepat
dan sedemikian hitam, sebaliknya mayat-mayat hitam tersebut nampak seperti korban pasca
dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki Juli 1945 silam. Pasca Tsunami, kapal-
kapal perang Amerika berdatangan dengan cepat dan bertahan di Aceh selama beberapa
bulan bukan sekedar memasukkan bantuan namun juga mengawasi wilayah laut agar peneliti
Indonesia tidak turun ke sana. Bukti lainnya adalah ditemukan sampah nuklir 2 bulan pasca
tsunami di wilayah Somalia yang kemudian diungkap UNEP, yang diduga berasal dari
Samudera Hindia.
Motif dibalik peristiwa ini diduga akibat cadangan migas yan melimpah di bagian
utara pulau sumatra. Untuk menguasai cadangan tersebut Amerika melakukan uji coba
HAARP yang menyebabkan bencana di utara sumatra dan beberapa negara sekitarnya.
Terlepas dari berita kontroversi penyebab terjadinya malapetaka tersebut, gelombang
tsunami bukanlah sebuah peristiwa yang hanya terjadi satu kali di dunia. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Kruawun JANKAEW dari Jurusan Geologi Fakultas Sains
(MIPA), Chulalongkorn University, Bangkok bersama rekan-rekannya
dari USGS, Geological Survey of Japan dan dari berapa universitas terkenal lainnya. Dari
hasi penelitiannya tercatat beberapa tsunami besar yang terjadi dalam jangka waktu tertentu,
gelombang raksasa yang dikenal sebagai mega-tsunami ini terekam dalam lapisan-lapisan
endapan tsunami yang ditemukan di Pulau Phra Thong provinsi Phangnga, Thailand Di pulau
ini mereka sangat beruntung karena morfologi pantai pulau Phra Thong merupakan morfologi
pantai yang terdiri dari Swale dan Ridge Beach seperti di Aceh Barat, Provinsi Aceh dan
sangat memungkinkan endapan tsunami masa lalu terendapkan di kawasan Swale. Setelah
menggali beberapa tempat di pulau Phra Thong dan melakukan dating
(pentarikhan/petanggalan) dengan metode OSL dating, ditemukan lapisan tsunami 350 ± 50,
990 ± 130, 1410 ± 190 dan 2100 ± 260 tahun yang lalu serta tsunami tahun 1300-1450
Masehi.
Kesemua tsunami tersebut apabila dilihat tahunnya, maka tsunami tersebut terjadi
pada tahun 1600-1700 M, 1300-1450 M, 888 – 1140 M, 400-780 M dan 360 SM – 160 M.
Hasil penelitian Kruawun JANKAEW memiliki kesamaan dengan penelitian dari Katrin
Monecke di Aceh Barat. Kedua penelitian mereka menemukan bukti kejadian tsunami tahun
1300 – 1450 M. Namun penelitian Katrin Monecke di Aceh Barat tidak menemukan kejadian
tsunami sampai tahun 360 SM – 160 M.
Beberapa kejadian tsunami masa lalu yang tercatat dalam endapan tsunami di pulau
Phra Thong Thailand kemungkinan juga melanda Aceh. Ke-lima tsunami tersebut bisa
dikategorikan Mega Tsunami seperti tahun 2004 karena sampai melanda Thailand.
Endapan tsunami memiliki ciri-ciri tertentu. Endapan ini dapat ditemukan berjarak
ratusan hingga beberapa kilometer dari tepi pantai. Hal ini terkait dengan besarnya energi
yang terdapat di dalam gelombang sehingga mampu mentransport material hingga beberapa
kilometer. Dari jarak endapan ini, bisa dipastikan bahwa apabila kita melakukan penggalian
jauh dari bibir pantai dan menemukan lapisan pasir laut dengan ketebalan rata-rata kurang
dari 25 cm dan memiliki kandungan cangkang dan sisa binatang laut, maka dapat dikatakan
lapisan tersebut adalah endapan tsunami. Berbeda dengan lapisan yang diendapkan oleh badai
atau angin di kawasan pantai yang memiliki radius kurang dari 300 meter dari tepi pantai.
Badai mengendapkan material lebih cepat sehingga tebal lapisan yang di endapkan pun lebih
tebal dibanding endapan tsunami.
Fenomena tsunami memiliki rentang waktu yang sangat lama. Interval antara kejadian
tsunami pertama dan tsunami berikutnya dapat mencapai puluhan tahun. Hal ini
menyebabkan lapisan endapan tsunami antara kejadian terakhir dengan kejadian sebelumnya
memiliki jarak yang cukup jauh dan dipisahkan oleh lapisan endapan badai yang lebih tebal
dengan frekuensi lebih sering terjadi. Jarak antara lapisan endapan terakhir dan sebelumnya
dapat ditinjau untuk mengetahui periode dan intensitas terjadinya tsunami yang melanda
suatu wilayah. Dengan mempelajari hal tersebut kita dapat mengapikasikannya mitigasi
bencana.
Mitigasi bencana, khususnya di wilayah pantai, dapat dilakukan dengan pembuatan
peraturan atau larangan mendirikan bangunan di tepi pantai, pembuatan tanggul, pembuatan
tempat penanggulangan bencana, penyuluhan tentang cara menyelamatkan diri ketika
bencana terjadi dan lain sebagainya. Negara yang telah memajukan teknologinya dalam
upaya mencegah bencana salah satunya adalah Jepang. Jepang membuat rancangan fondasi
bangunan yang tahan gempa. Bangunan rumah-rumah di Jepang terbuat dari kayu dengan
rangka rumah didesain lebih elastis sehingga dapat mengikuti gelombang yang dihasilkan
saat gempa terjadi. Bangunan berupa gedung-gedung juga didesain dengan fondasi beton
yang memiliki poros atau engsel yang dapat bergeser apabila terjadi gempa. Selain itu adanya
penyuluhan tentang cara menyelamatkan diri saat terjadi bencana juga telah dilakukan di
sekolah - sekolah dan direalisasikan dengan simulasi. Dengan menyesuaikan diri terhadap
wiayahnya yang sering dilanda fenomena alam, Negara matahari terbit tersebut berhasil
mengurangi kerugian akibat bencana alam. Hal ini seharusnya dapat menjadi contoh bagi
negara - negara lain di dunia, khususnya Indonesia yang wilayahnya diapit oleh 3 lempeng
besar dan dikelilingi oleh jalur gunung api aktif sehingga bencana alam mengintai setiap saat.
Yang terakhir, Bencana alam merupakan fenomena geologi yang menunjukan bahwa
bumi ini hidup. Fenomena geologi ini telah terjadi jauh sebelum manusia terlahir di bumi.
Manusia sebagai pendatang baru seharusnya dapat menyesuaikan diri terhadap fenomena
tersebut dan hidup berdampingan dengan alam. Dengan demikian akan tercipta hubungan
yang harmonis antara manusia dan alam demi kelangsungan hidup yang lebih baik
Sumber: - http://www.ibnurusydy.com/paleo-tsunami-bedakan-endapan-tsunami-dgn-
endapan-badai/
-. http://aldebian.blogspot.com/2011/04/tsunami-aceh-terbukti-rekayasa.html