apendiksitis

46
Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman REFFERAT APPENDISITIS Disusun oleh: Oktariza Rizkillah, S.Ked NIM. 05.48851.00252.09 Pembimbing: dr. H Saiful Mukhtar SpB.KBD 0

Upload: andreas-tedi

Post on 02-Oct-2015

113 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Apendiksitis

TRANSCRIPT

BAB II

Bagian Ilmu BedahFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman

REFFERAT

APPENDISITIS

Disusun oleh:Oktariza Rizkillah, S.KedNIM. 05.48851.00252.09Pembimbing:dr. H Saiful Mukhtar SpB.KBD

Pada Bagian Ilmu BedahFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman2010

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangAppendisitis adalah infeksi bakterial pada appendiks vermiformis. Appendisitis akut merupakan keadaan akut abdomen yang memerlukan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk. Appendisitis akut memiliki manifestasi klinis yang beragam, terkadang menyerupai sindroma klinis lainnya, dan berkaitan dengan morbiditas signifikan yang meningkat dengan penundaan diagnosis. Jika telah terjadi perforasi, maka komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis umum, abses, dan komplikasi pascaoperasi seperti fistula dan infeksi luka operasi.Appendisitis akut dapat terjadi pada semua umur. Menurut Addins ( 1996) Insidensinya meningkat pada pubertas dan mencapai puncaknya pada usia remaja dan pada usia 16-20 tahun. Insiden terbanyak appendisitis akut berada pada kelompok usia 20-40 tahun. Namun angka kejadian perforasi dari kasus apendisitis justru lebih sering terjadi pada kelompok usia 65 tahun. Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis. Keadaan ini menghasilkan angka appendektomi negatif sebesar 20 % dan angka perforasi sebesar 20-30 %.Di Amerika Serikat terjadi penurunan jumlah kasus appendisitis dari 100 kasus menjadi 52 kasus setiap 100.000 penduduk dari tahun 1975 - 1991. Keadaan ini menambah komplikasi pascaoperasi, seperti adhesi, konsekuensi beban sosial-ekonomi, kehilangan jumlah hari kerja, dan produktivitas. Berdasarkan US Census Bureau, International Data Base tahun 2004, di benua Asia negara Cina dan India masih menempati urutan pertama dan kedua insidensi terbanyak kasus appendisitis akut, sedangkan Indonesia menempati urutan ketiga. Insiden appendisitis akut di Indonesia masih sangat tinggi. Pada Tahun 2004 terdapat 596.132 insiden dari 283.452.952 populasi masyarakat Indonesia.Tingkat akurasi diagnosis appendisitis akut berkisar 76 - 92 %. Pemakaian laparoskopi, ultrasonografi, dan Computed Tomography Scanning (CT-scan), merupakan upaya untuk meningkatkan akurasi diagnosis appendisitis akut amupun kronis. Beberapa pemeriksaan laboratorium dasar masih banyak digunakan dalam diagnosis penunjang appendisitis akut. Jumlah sel leukosit, dan hitung jenis neutrofil (differential count) adalah penanda yang sensitif bagi proses inflamasi. Pemeriksaan ini sangat mudah, cepat, dan murah untuk Rumah Sakit di daerah.Tidak ada gejala dan tanda maupun tes diagnostik tunggal yang dapat mengkonfirmasi diagnosis appendisitis secara akurat pada semua kasus. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis yang tepat, salah satunya adalah dengan skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan tidak invasif . Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan praoperasi dan untuk menilai derajat keparahan appendisitis. Instrumen lain yang sering dipakai pada apendisitis akut anak adalah klasifikasi klinikopatologi dari Cloud. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi. Semua upaya ini dilakukan untuk meminimalisir angka kejadian appendektomi negatif tanpa meningkatkan insiden perforasi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiAppendisitis adalah infeksi bakterial pada appendiks vermiformis. karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis Appendisitis akut merupakan keadaan akut abdomen yang memerlukan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk. Jika telah terjadi perforasi, maka komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis umum, abses, dan komplikasi pascaoperasi seperti fistula dan infeksi luka operasi. Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal Menurut Wakeley (1997) lokasi appendiks adalah sebagai berikut: retrosekal (65,28%), pelvikal (31,01%), subsekal (2,26%), preileal (1%) dan postileal serta parakolika kanan (0,4%).

Gambar 1. Anatomi appendiks

Gambar 2. Lokasi appendiks

Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan appendiks memungkinkannya bergerak dalam ruang geraknya tergantung pada panjangnya mesoapendiks. Pada kasus selebihnya appendiks terletak retroperitoneal yaitu di belakang sekum, dibelakang kolon asenden atau tepi lateral kolon asenden. Gejala klinis appendisitis ditentukan oleh letak dari apendiks. Pada posisi retrosekal, terkadang appendiks menjulang kekranial ke arah ren dekstra, sehingga keluhan penderita adalah nyeri di regio flank kanan. Terkadang diperlukan palpasi yang agak dalam pada keadaan tertentu karena appendiks yang mengalami inflamasi ini secara kebetulan terlindungi oleh sekum yang biasanya mengalami sedikit dilatasi. Letak appendiks mungkin juga di regio kiri bawah, hal ini dipakai untuk penanda kemungkinan adanya dekstrokardia. Kadang pula panjang appendiks sampai melintasi linea mediana abdomen, sehingga bila organ ini meradang mengakibatkan nyeri perut kiri bawah. Juga pada kasus-kasus malrotasi usus, appendiks bisa sampai diregio epigastrum, berdekatan dengan gaster atau hepar lobus kanan.Letak basis appendiks berada pada posteromedial sekum pada pertemuan ketiga taenia koli, kira-kira 1-2 cm di bawah ileum. Dari ketiga taenia tersebut terutama taenia anterior yang digunakan sebagai penanda untuk mencari basis appendiks. Basis apendiks terletak di fossa iliaka kanan, bila diproyeksikan ke dinding abdomen, terletak di kuadran kanan bawah yang disebut dengan titik Mc Burney.Organ lain di luar apendiks yang mempunyai peranan besar apabila terjadi peradangan apendiks adalah omentum, yang merupakan salah satu alat pertahanan tubuh apabila terjadi suatu proses intraabdominal termasuk apendiks. Pada anak-anak appendiks lebih panjang dan lebih tipis daripada dewasa. Oleh karena itu, pada peradangan akan lebih mudah mengalami perforasi. Sampai umur kurang lebih 10 tahun, omentum mayus masih tipis, pendek dan lembut serta belum mampu membentuk pertahanan atau pendindingan (walling off) pada perforasi, sehingga peritonitis umum karena appendisitis akut lebih sering terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Appendiks kekurangan sakulasi dan mempunyai lapisan otot longitudinal, mukosanya diinfiltrasi jaringan limfoid. Pada bayi appendiks berbentuk kerucut. Lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujung. Keadaan ini kemungkinan menjadi sebab rendahnya kasus apendisitis pada umur tersebut.Appendiks mempunyai lumen yang sempit, bentuknya seperti cacing, dan apeksnya menempel pada sekum. Diameter lumen appendiks antara 0,5 - 15 mm. Lapisan epitel lumen appendiks seperti pada epitel kolon tetapi kelenjar intestinalnya lebih kecil daripada kolon. Appendiks mempunyai lapisan muskulus dua lapis. Lapisan dalam berbentuk sirkuler yang merupakan kelanjutan dari lapisan muskulus sekum, sedangkan lapisan luar berbentuk muskulus longitudinal yang dibentuk oleh fusi dari 3 taenia koli diperbatasan antara sekum dan appendiks. Appendiks vermiformis (umbai cacing) terletak pada puncak caecum ,pada pertemuan ke-3 tinea coli yaitu: Taenia libra Taenia omentalis Taenia mesokolika. Appendiks disebut tonsil abdomen karena ditemukan banyak jaringan limfoid. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar dua minggu setelah lahir, jumlahnya meningkat selama pubertas sampai puncaknya berjumlah sekitar 200 folikel antara usia 12-20 tahun dan menetap saat dewasa. Setelah itu, mengalami atropi dan menghilang pada usia 60 tahun. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dari arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus. Vaskularisasi apendiks mendapatkan darah dari cabang a. ileokolika, yang merupakan cabang a. mesenterika superior, yaitu a. apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral, sehingga apabila terjadi trombus pada apendisitis akut akan berakibat terbentuknya gangren, dan bahkan perforasi dari apendiks tersebut. Arteri apendikuler adalah cabang terminal dari arteri ileokolika dan berjalan pada ujung bebas mesoapendiks. Kadang-kadang pada mesenterium yang inkomplet, arteri ini terletak pada dinding sekum. Pada mesoapendiks yang pendek dapat berakibat apendiks yang terfiksir (immobile). Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh

2.3 Etiologi & Faktor ResikoPenyebab belum diketahui secara pasti. Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi :2.3.1Obstruksi Hiperplasi kelenjar getah bening (60%) Fekalit (35%), masa feses yang membatu Corpus alienum (4%), biji - bijian Striktur lumen (1%), kinking, karena mesoappendiks pendek, adesi.

2.3.2 InfeksiBiasanya secara hematogen dari tempat lain, misalnya pneumonia, tonsillitis, dsb. Jenis kuman yang sering menginfeksi antara lain E. Coli dan Streptococcus.Beberapa penelitian tentang faktor yang berperan dalam etiologi terjadinya apendisitis akut diantaranya obstruksi lumen apendiks, obstruksi bagian distal kolon, erosi mukosa, konstipasi dan diet rendah serat. Pada keadaan klinis, faktor obstruksi ditemukan dalam 60 - 70% kasus, 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasi kelenjar limfe submukosa, 35% disebabkan oleh fekalit, dan 5% disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain.Diperkirakan pula bahwa pada penderita tua obstipasi merupakan faktor resiko yang utama, sedangkan pada umur muda adalah pembengkakan sistim limfatik apendiks akibat infeksi virus. Disebut pula adanya perubahan konsentrasi flora usus dan spasme sekum mempunyai peranan yang besar.

2.4 Patofisiologi dan Patogenesis.Apendiks juga berperan sebagai sistem imun pada sistem gastrointestinal. Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid Tissues (GALT) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Tetapi peran apendiks sebagai sistem imun tidak begitu penting. Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan apendiks tidak terjadi efek pada sistem imunologi. Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak ditemukan. Ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis. Bakteri ini menginvasi mukosa, submukosa, dan muskularis, yang menyebabkan oedem, hiperemis dan kongesti lokal vaskuler, dan hiperplasi kelenjar limfe. Kadang-kadang terjadi trombosis pada vasa dengan nekrosis dan perforasi.Beberapa keadaan yang mengikuti setelah terjadi obstruksi yaitu: akumulasi cairan intraluminal, peningkatan tekanan intraluminal, obstruksi sirkulasi vena, stasis sirkulasi dan kongesti dinding apendiks, dan hipoksia jaringan, serta terjadinya infeksi anaerob. Keadaan obstruksi berakibat terjadinya proses inflamasi. Obstruksi pada bagian distal kolon akan meningkatkan tekanan intralumen sekum, sehingga sekresi lumen apendiks akan terhambat keluar, sehingga tekanan intra lumen meningkat mengakibatkan gangguan drainage pada: LimfeTerjadi oedem, jika terjadi invasi bakteri maka akan terjadi ulserasi mukosa mengakibatkan terjadinya apendisitis akut. Vena Terjadi trombus-iskemi dan invasi bakteri dapat mengakibatkan timbulnya pus hingga menjadi apendisitis supuratif. ArteriTerjadi nekrosis hingga invasi kuman dapat mengakibatkan terjadinya apendisitis gangrenosa ataupun perforasi yang mengakibatkan terjadinya peritonitis umum.Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sekum, yang dapat diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Penyebab utama konstipasi adalah diet rendah serat. Diet rendah serat dapat menyebabkan feses memadat, lebih lengket dan makin membesar, sehingga membutuhkan proses transit dalam kolon yang lebih lama. Diet tinggi serat tidak hanya memperpendek waktu transit feses dalam kolon, tetapi juga dapat mengubah kandungan bakteri.Appendiks menghasilkan mukus 1-2 ml perhari. Mukus itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Karena apendiks merupakan suatu kantong yang buntu dengan lumen yang sempit dan secara normal berisi bakteri, resiko stagnasi dari isi apendiks yang terinfeksi selalu ada. Resiko ini akan bertambah hebat dengan adanya suatu mekanisme valvula pada pangkal apendiks yang dikenal dengan valvula Gerlach. Peradangan apendiks biasanya dimulai pada mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks mulai dari submukosa, lamina muskularis dan lamina serosa. Proses awal ini terjadi dalam waktu 12 - 24 jam pertama.Obstruksi pada bagian yang lebih proksimal dari lumen menyebabkan stasis bagian distal apendiks, sehingga mukus yang terbentuk secara terus menerus akan terakumulasi. Selanjutnya akan menyebabkan tekanan intraluminer meningkat, kondisi ini akan memacu proses translokasi kuman dan terjadi peningkatan jumlah kuman di dalam lumen apendiks secara cepat. Selanjutnya terjadi gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan oedem. Kondisi yang kurang baik ini akan memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks, maka terjadilah keadaan yang disebut apendisitis fokal , atau apendisitis simpel.Apendisitis akut setelah 48 jam dapat menjadi : Sembuh Kronik Perforasi Infiltrat atau abses. Ini terjadi bila proses berjalan lambat, ileum terminal, sekum dan omentum akan membentuk barier dalam bentuk infiltrat. Pada anak-anak dimana omentum pendek dan orang tua dengan daya tahan tubuh yang menurun sulit terbentuk infiltrat, sehingga kemungkinan terjadi perforasi lebih besar.

Obstruksi yang berkelanjutan menyebabkan tekanan intraluminer semakin tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Sirkulasi venular akan mengalami gangguan lebih dahulu daripada arterial. Keadaan ini akan menyebabkan oedem bertambah berat, terjadi iskemi, dan invasi bakteri semakin berat sehingga terjadi pernanahan pada dinding apendiks, terjadilah keadaan yang disebut apendisitis akuta supuratif. Pada keadaan yang lebih lanjut, tekanan intraluminer yang semakin tinggi dan oedem yang lebih hebat mengakibatkan gangguan sirkulasi arterial. Hal ini menyebabkan terjadinya gangren pada dinding apendiks terutama pada daerah antimesenterial yang relatif miskin vaskularisasi. Gangren biasanya di tengah-tengah apendiks dan berbentuk ellipsoid. Keadaan ini disebut apendisitis gangrenosa. Apabila tekanan intraluminer semakin meningkat, akan terjadi perforasi pada daerah yang mengalami gangren tersebut. Material intraluminer yang infeksius akan tercurah ke dalam rongga peritoneum dan terjadilah peritonitis lokal maupun general tergantung keadaan umum penderita dan fungsi pertahanan omentum. Apabila fungsi omentum baik, tempat yang mengalami perforasi akan ditutup oleh omentum, terjadilah infitrat periapendikular. Apabila kemudian terjadi pernanahan maka akan terbentuk suatu rongga yang berisi nanah di sekitar apendiks, terjadilah keadaan yang disebut abses periapendikular.Apabila omentum belum berfungsi baik, material infeksius dari lumen apendiks tersebut akan menyebar di sekitar apendiks dan terjadi peritonitis lokal. Selanjutnya apabila keadaan umum tubuh cukup baik, proses akan terlokalisir, tetapi apabila keadaan umunnya kurang baik maka akan terjadi peritonitis general.Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses tersebut sehingga dapat terjadi keadaan-keadaan seperti apendisitis rekurens dan apendisitis kronis. Apendisitis rekurens adalah apendisitis yang secara klinis memberikan serangan yang berulang, durante operasi pada apendiks terdapat peradangan dan pada pemeriksaan histopatologis didapatkan tanda peradangan akut. Sedangkan apendisitis kronis digambarkan sebagai apendisitis yang secara klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu, pendapatan durante operasi maupun pemeriksaan histopatologis menunjukkan tanda inflamasi kronis, dan serangan menghilang setelah dilakukan apendektomi.Bekas terjadinya infeksi dapat dilihat pada durante operasi, dimana apendiks akan dikelilingi oleh perlekatan-perlekatan yang banyak. Dan kadang-kadang terdapat pita-pita bekas peradangan dari apendiks keorgan lain atau ke peritoneum. Apendiks dapat tertekuk, terputar atau terjadi kinking, kadang-kadang terdapat stenosis parsial atau ada bagian yang mengalami distensi dan berisi mukus (mukokel). Atau bahkan dapat terjadi fragmentasi dari apendiks yang masing-masing bagiannya dihubungkan oleh pita-pita jaringan parut. Gambaran ini merupakan gross pathology dari suatu apendisitis kronik.Pada teori sumbatan dikatakan bahwa terjadinya apendisitis diawali adanya sumbatan dari lumen apendiks. Apendisitis yang berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan hiperplasia jaringan limfoid submukosa disebutkan lebih banyak terjadi pada anak-anak, sementara obstruksi karena fekalit atau benda asing lebih banyak ditemukan pada orang dewasa. Adanya fekalit dihubungkan dengan hebatnya perjalanan penyakitnya. Bila terdapat fekalit (apendikolit) pada pasien-pasien dengan gejala akut kemungkinan apendiks telah mengalami komplikasi yaitu gangren.Bila terjadi infeksi, bakteri enteral memegang peranan yang penting. Pada penderita muda yang memiliki jaringan limfoid yang banyak, maka akan terjadi reaksi radang dan selanjutnya jaringan limfoid akan berproliferasi sehingga mengakibatkan penyumbatan lumen apendiks.Diyakini bahwa adanya fekalit didalam lumen apendiks yang sebelumnya telah terinfeksi hanya memperburuk dan memperberat infeksi karena terjadinya peningkatan tekanan intraluminar apendiks. Ada kemungkinan lain yang menyokong teori infeksi enterogen ini adalah kemungkinan tertelannya bakteri dari suatu fokus di hidung atau tenggorokan sehingga dapat menyebabkan proses peradangan pada apendiks. Secara hematogen dikatakan mungkin saja dapat terjadi karena apendiks dianggap tonsil abdomen.Pada teori konstipasi dapat dikatakan bahwa konstipasi sebagai penyebab dan mungkin pula sebagai akibat dari apendisitis. Penggunaan yang berlebihan dan terus menerus dari laksatif pada kasus konstipasi akan memberikan kerugian karena hal tersebut akan merubah suasana flora usus dan akan menyebabkan terjadinya keadaan hiperemia usus yang merupakan permulaan dari proses inflamasi. Bila sakit perut yang dialami disebabkan apendisitis maka pemberian purgative akan merangsang peristaltik yang merupakan predisposisi untuk terjadinya perforasi dan peritonitis.

2.5 Klasifikasi Apendisitis2.5.1 Apendisitis akut tanpa komplikasi (cataral appendicitis)Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan submukosa saja. Appendiks kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila appendiks tersebut dibuka, maka akan tampak mukosa yang menebal, oedema dan kemerahan. Kondisi ini disebabkan invasi bakteri dari jaringan limfoid ke dalam dinding appendiks. Karena lumen appendiks tak tersumbat, maka hal ini hanya menyebabkan peradangan biasa (simple appendicitis) ataupun dapat menjadi appendisitis supuratif jikaterjadi infeksi dari bakteri piogenik .Bila jaringan limfoid di dinding apendiks mengalami oedema, maka akan mengakibatkan obstruksi lumen apendiks, yang akan mempengaruhi vaskularisasi sehingga terjadi gangren, atau hanya mengalami perforasi (mikroskopis), dalam hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi eksudat fibrin post apendisitis akut, kadang-kadang terbentuk adesi yang mengakibatkan kinking, dan kejadian ini bisa membentuk sumbatan pula.

2.5.2 Appendisitis akut dengan komplikasiKomplikasi dapat berupa peritonitis, infiltrat, atau abses periapendikular. Merupakan apendisitis yang berbahaya, karena appendiks menjadi lingkaran tertutup yang berisi fecal material, yang telah mengalami dekomposisi. Perubahan setelah terjadinya surnbatan lumen appendiks tergantung dari isi sumbatan. Bila lumen appendiks kosong, appendiks hanya mengalami distensi yang berisi cairan mukus dan terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria penyebab biasanya merupakan flora normal lumen usus berupa bakteri aerob (gram positif dan atau gram negatif) dan anaerob.Appendiks yang telah menjadi gangren dapat mengalami perforasi ataupun ruptur. Bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensasi dengan proses pembentukan dinding oleh jaringan sekitar, misal omentum dan jaringan viscera lain, terjadilah infiltrat (mass), atau proses pustulasi yang mengakibatkan abses periapendiks.

2.5.3 Klasifikasi Klinikopatologi CloudKlasifikasi apendisitis pada anak yang sampai saat ini banyak dianut adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Cloud, klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi : Apendisitis Simpel (grade I): Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal atau hiperemi ringan dan edema, belum tampak adatya eksudat serosa. Apendisitis Supurativa (grade Il): Sering didapatkan adanya obstruksi, apendiks dan mesoapendiks tampak edema, kongesti pembuluh darah, mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat fibrinopurulen pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus dan mesenterium didekatnya. Apendisitis Gangrenosa (grade III): Selain didapatkan tanda-tanda supurasi didapatkan juga adanya dinding apendiks yang berwarna keunguan, kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen dengan bau busuk. Apendisitis Ruptur (grade IV): Sudah tampak dengan jelas adanya ruptur apendiks, umumnya sepanjang antimesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan berbau busuk. Apendisitis Abses (grade V): Sebagian apendiks mungkin sudah hancur, abses terbentuk disekitar apendiks yang rupture biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.

Menurut klasifikasi klinikopatologi Cloud, apendisitis akut grade I dan II belum terjadi perforasi (apendisitis simpel) sedangkan apendisitis akut grade III, IV, dan V telah terjadi perforasi (apendisitis komplikata).

2.6 Diagnosis2.6.1 AnamnesisVariasi pada posisi appendiks, usia pasien, dan derajat inflamasi menjadikan presentasi klinis dari appendisitis menjadi tidak konsisten. Gejala utama appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul tumpul dengan sifat nyeri ringan sampai berat, kadang-kadang disertai dengan kram intermiten. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks dan usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding appendiks yang mengalami peradangan. Apabila telah terjadi inflamasi (>6 jam), nyeri akan beralih dan menetap di kuadran kanan bawah. Pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir, serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan. Pasien biasanya lebih menyukai posisi supine dengan paha kanan ditarik ke atas, karena suatu gerakan akan meningkatkan nyeri.Muntah merupakan rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis appendisitis akut perlu dipertanyakan. Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan appendiks dekat dengan vesika urinaria. Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak appendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum. Obstipasi dapat pula terjadi karena penderita takut mengejan. Variasi lokasi anatomi appendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang beragam. Sebagai contoh appendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, nyeri kuadran kanan bawah secara klasik ada bila appendiks yang meradang terletak di anterior, appendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank area atau punggung, appendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada suprapubik dan appendiks retroileal bias menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika dan ureter. Urutan kejadian gejala mempunyai kemaknaan diagnosis banding yang besar, lebih dari 95% appendisitis akut, anoreksia merupakan gejala pertama, diikuti oleh nyeri abdomen dan baru diikuti oleh vomitus.Tanda vital tidak berubah banyak. Peninggian temperatur jarang lebih dari 1oC, yaitu antara 37,50 - 38.50C. Frekuensi nadi normal atau sedikit meninggi. Adanya perubahan atau peninggian yang besar menunjukkan telah terjadi komplikasi seperti perforasi atau diagnosis lain yang perlu diperhatikan. Adanya hiperestesi pada daerah yang diinervasi oleh n. spinalis T10, T11, Tl2, meskipun bukan penyerta yang konstan tetapi sering didapatkan pada appendisitis akut.

2.6.2 Pemeriksaan fisikKesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak pada tempat yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah.2.6.2.1 InspeksiPenderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit. Perut kembung bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses. Pasien tidur miring ke sisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada sendi paha, karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri.2.6.2.2 PalpasiPalpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri, kemudian secara perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan bawah. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah, antara lain: Nyeri tekan Mc. BurneyPada palpasi didapatkan titik nyeri tekan maksimal pada kuadran kanan bawah atau titik Mc.Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis. Oleh Mc.Burney titik ini dinyatakan terletak antara 1,5 - 2 inchi dari spina iliaca anterior superior (SIAS) pada garis lurus yang ditarik dari SIAS ke umbilikus.

Rebound tenderness Nyeri lepas adalah rasa nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc. Burney karena rangsangan atau iritasi peritoneum. Defans muskuler Defans muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale pada m.Rektus abdominis. Tahanan muskuler terhadap palpasi abdomen sejajar dengan derajat proses peradangan, yang pada awalnya terjadi secara volunter seiring dengan peningkatan iritasi peritoneal terjadi peningkatan spamus otot, sehingga kemudian terjadi secara involunter. Rovsing signRovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah. Hal ini dikarenakan tekanan merangsang peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakan peritoneum sekitar appendik yang meradang (iritasi peritoneal). Psoas sign Iritasi muskuler ditunjukkan oleh adanya psoas sign dan obturator sign. Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks letak retrocaecal. Ada 2 cara pemeriksaan : Aktif: Pasien posisi supine, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien diminta memfleksikan articulatio coxae kanan, dikatakan positif jika menimbulkan nyeri perut kanan bawah. Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiper-ekstensikan oleh pemeriksa, dikatakan positif jika timbul nyeri perut kanan bawah. Obturator SignObturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium.

2.6.2.3 PerkusiNyeri ketok positif

2.6.2.4 AuskultasiAuskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Peristaltik biasanya normal, tetapi jika sudah terjadi peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata maka bunyi usus menurun ataupun tidak terdengar bunyi peristaltik usus.

2.6.2.5 Rectal Toucher Nyeri tekan pada arah jam 9 sampai 12

2.6.2.6 Gejala dan tanda pada komplikasi appendisitisUntuk apendisitis akut yang telah mengalami kornplikasi, misalnya perforasi, peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya yaitu sebagai berikut: PerforasiTerjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Perforasi apendiks paling sering terjadi di distal obstruksi lumen apendiks sepanjang tepi antimesenterium. Oleh sebab itu pada perforasi appendiks jarang didapatkan gambaran udara bebas ekstralumen pada pemeriksaan foto polos abdomen. Appendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejaladan tanda sebagai berikut: Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam. Rasa nyeri bertambah hebat dan mulai dirasakan menyebar. Demam tinggi > 38,50C Leukositosis (leukosit > 14.000) Dehidrasi dan asidosis Distensi Menghilangnya bising usus Nyeri tekan kuadran kanan bawah Rebound tenderness sign Rovsing sign PeritonitisPeritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari apendisitis yang telah mengalami gangren. Sedangkan peritonitis umum merupakan kelanjutan dari peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans muskuler yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis menunjukkan peritonitis yang makin berat. Abses atau InfiltratMerupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan bawah, karena perforasi menyebabkan walling off (pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah massa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Massa mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk massa atau infiltrat, beberapa ahli menganjurkan antibiotika terlebih dahulu, setelah 6 minggu kemudiun dilakukan appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi.Pada 2-6% penderita dengan apendisitis menunjukkan adanya massa di kuadran kanan bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini menunjukkan inflamasi abses yang terfiksasi dan berbatasan dengan apendiks yang mengalami inflamasi.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang 2.6.3.1 LaboratoriumPemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting dalam menegakkan diagnosis appendisitis akut. Pada pasien dengan appendisitis akut, 70-90% menunjukkan peningkatan jumlah leukosit terutama neutrofil (shift to the left), walaupun hal ini tidak spesifik untuk appendisitis. Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laboratorium yang terkadang sulit dibedakan dengan appendisitis akut.Pada pasien dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik appendisitis akut, akan ditemukan adanya leukositosis 11.000-14.000/mm3. Jika jumlah leukosit >18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis. Namun beberapa penderita dengan apendisitis akut terkadang memiliki jumlah leukosit dan granulosit normal.Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa sangat penting pada pasien dengan keluhan nyeri abdomen untuk menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kencing. Apendisitis yang menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan jumlah sel leukosit 10-15 sel/lapangan pandang..2.6.3.7 Sistem skor AlvaradoSalah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendektomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat, dan kurang invasif. Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis.Berdasarkan skoring terhadap faktor risiko yang digunakan dalam sistem skor Alvarado maka dapat diasumsikan bahwa semakin lengkap gejala, tanda dan pemeriksaan laboratorium yang muncul atau keberadaannya positif maka skor Alvarado akan semakin mendekati 10, dan ini mengarahkan kepada apendisitis akut atau apendisitis perforasi. Demikian pula sebaliknya jika semakin tidak lengkap maka skor Alvarado semakin mendekati 1, ini mengarahkan kepada apendisitis kronis atau bukan apendisitis. Alvarado merekomendasikan untuk melakukan operasi pada semua pasien dengan skor 7 dan melakukan observasi untuk pasien dengan skor 5 atau 6.

Tabel 1. Skor Alvarado untuk diagnosis apendisitis akut:Gejala dan tandaSkor

Nyeri berpindah1

Anoreksia1

Mual-muntah1

Nyeri fossa iliaka kanan2

Rebound tenderness1

Peningkatan suhu tubuh1

Leukositosis > 10.000 sel/mm32

Shift to the left (persentase neutrofil > 75%)1

2.6.3.8 Sistem skor Appendicitis akut KalesaranTelah diketahui lebih dari 1000 penyakit bedah dan non bedah sebagai penyebab akut abdomen. Dari sekian banyak penyebab,appendicitis akut masih merupakan penyebab tertinggi sedang berkembang seperti negara indonesia.Ramirez dan Deus (1994) telah mengemukakan sistem skor untuk diagnosis appendicitis akut,yang terbukti dapat menekan appendektomi negatif. Beberapa hal yang menjadi kritik pada penelitian tersebut, sebagai berikut : 1. Salah satu parameter yang dipakai adalah foto polos abdomen, yang sebenarnya bukan merupakan pemeriksaan utama dan rutin untuk menegakkan diagnosa appendicitis akut, selain bahwa pemeriksaan ini tidak mungkin dijadikan pemeriksaan rutin di rumah sakit di indonesia bagi penderita dengan keluhan nyeri perut kanan bawah akut 2. Masih ada parameter klinik lainnya yang perlu diperhitungkan , khususnya pada wanita tentang adannya kelainan atau infeksi organ genital dalam , seperti riwayat keputihan ,riwayat pendarahan per vaginam di luar haid,riwayat nyeri hebat saat haid.Di indonesia untuk penggunaan sarana diagnostik seperti laparoskopi dan Ultrasonografi masih banyak kendala , yaitu pengadaan alat yang tergolong mahal dan membutuhkan keahlian untuk menginterprestaikan hasil pemeriksaan, sehingga belum dijadikan pemeriksaan rutin di rumah sakit tingkat kabupaten. Pertimbangan lainnya bahwa dengan melakukan pemeriksaan tersebut akan berakibat dengan perpanjangan waktu dalam pengelolaan penderita.Oleh karena itu dr.Laurens B kalesaran seorang peneliti dari Undip semarang, melaukan penelitian dimana parameter klinik yang sederhana dan murah untuk bisa dipakai dengan mudah dan akurasi tinggi dalam mendiagnosis appendicitis akut, sehinnga dapat menekan angka appendektomi negatif, menurunkan angka kesakitan karena pembedahan yang sebebenarnya tidak perlu, menekan biaya penderita.NOPemeriksaanNilai ( + )Nilai ( - )Skor

1Riwayat Demam9-7

2Riwayat Anoreksia26-20

3Cough Sign27-91

4Demam ( 37,3 C )19-18

5Tanda Rebound Tenderness18-13

6Tanda Rovsing16-9

7Tanda Psoas20-6

8Leukositosis ( 9000/mm319-24

9Neutrofil 70%20-26

JUMLAH SKOR Jika Jumlah skor Lebih dari 10 : diagnosis appendicitis akut dan segera harus dilakukan tindakan operatif Antara -7 sampai 10 : tindakan observasi dan Kurang dari -7 bukan appendicitis akut Kasus dengan skor -7 sampai 10 , penderita harus rawat inap untuk di evaluasi lebih lanjut , yaitu dengan penghitungan skor berulang sampai ditegakkan dengan diagnosis appendicitis akut atau bukan appendicitis akuy2.7 Diagnosis Banding Pelvic inflammatory disease (PID) atau tubo-ovarian abscess (TOA) Endometriosis Torsio kista ovarium Kehamilan Ektopik Terganggu Ureterolithiasis dan kolik renal Divertikulitis Crohn disease Karsinoma kolon Hematoma rectus sheath Kolesistitis Torsi omentum2.8 Penatalaksanaan2.8.1 Tindakan UmumPada apendisitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena perforasi menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya keadaan pasien sudah sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah, sekuestrasi cairan dalam rongga abdomen dan febris. Pasien memerlukan perawatan intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan pembedahan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah dan pasien dipuasakan.Jika pasien dalam keadaan syok hipovolemik akibat dehidrasi ataupun sepsis maka diberikan cairan ringer laktat 20 mg/kgBB secara intravena, kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah pemberian cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan dan kekurangan cairan, serta pantau output urin.Untuk menurunkan demam diberikan antipiretik. Jika suhu di atas 380C pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan untuk mengontrol demam. Berikan pula analgesik dan antiemetik parenteral untuk kenyamanan pasien. Tetapi tidak dianjurkan pemberian analgetik pada pasien dengan akut abdomen yang penyebabnya belum diketahui karena dapat mengaburkan penegakkan diagnosis. Berikan pula antibiotik intravena pada pasien yang menunjukkan tanda-tanda sepsis dan pada pasien yang akan menjalani prosedur pembedahan laparotomi.

2.8.2 AppendektomiBila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan terbaik. Penundaan apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Apendektomi dapat dicapai melalui insisi Mc Burney. Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui laparotomi. Pembedahan darurat (cito), dilakukan pada kasus apendisitis akut, abses, dan perforasi, sedangkan pembedahan elektif dilakukan pada apendisitis kronik.Indikasi dari apendektomi antara lain:1. Appendisitis akut (apendektomi Chaud)2. Appendisitis kronis (apendektomi Froid)3. Peri-appendikular infiltrat dalam stadium tenang (a-Froid)4. Appendiks terbawa pada laparotomi operasi kandung empedu5. Appendisitis perforasiLapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :1. Kutis2. Subkutis3. Fascia Scarfa4. Fascia Camfer5. Aponeurosis M. Obliqus Eksternus6. M. Obliqus Internus7. M. Transversus8. Fascia Transversalis9. Pre-peritoneum10. Peritoneum

Macam insisi pada appendektomi:1. Insisi Gridiron (Mc Burney), yaitu insisi tegak lurus garis Mc Burney. Keuntungannya adalah caecum lebih mudah dipegang dan kontaminasi kuman minimal.2. Incisi Paramedian kanan, terutama digunakan pada wanita, karena dapat sekaligus melakukan eksplorasi adneksa, genitalia interna, khususnya pada kasus-kasus yang meragukan. Kerugiannya yaitu caecum lebih sukar dipegang dan kontaminasi lebih besar.

Padaappendisitis infiltrat, dilakukan konservatif terlebih dahulu kemudian operasi elekfif dalam masa tenang, terapi konservatifnya antara lain: Bed rest total posisi Fowler (anti Trendelenburg) Diet rendah serat Antibiotika spektrum luas Metronidazol Monitor tanda - tanda peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam, LED, leukosit. Bila keadaan membaik dianjurkan untuk mobilisasi dan selanjutnya dipulangkan.

2.8.3 Terapi medikamentosaAntibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua pasien dengan apendisitis. Antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi apendisitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai pembedahan. Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus perforasi apendisitis. Antibiotika diberikan selama 5 hari setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita.Kombinasi antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spektrum luas diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin (100 mg/kgBB), gentamisin (7,5 mg/kgBB) dan klindamisin (40 mg/kgBB) dalam dosis terbagi selama 24 jam cukup efektif untuk mengontrol sepsis dan menghilangkan komplikasi apendisitis perforasi. Metronidazol aktif terhadap bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan jaringan..

2.9 Komplikasi dan PenyulitBila tidak ditangani dengan baik maka apendisitis akut dapat mengalami perforasi dan berlanjut menjadi peritonitis lokal maupun umum. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah perforasi baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada bagian apendiks yang telah mengalami pendindingan (Walling off) sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan mesoapendiks, apendiks, sekum dan lengkung usus yang disebut sebagai massa periapendikuler.Terjadinya massa periapendikuler bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum dan lengkung usus. Pada massa periapendikuler yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum saat terjadi perforasi, akibatnya akan terjadi peritonitis umum.Komplikasi lain yang cukup berbahaya adalah pylephlebitis, yaitu trombophlebitis supurativa pada sistem vena porta akibat perluasan infeksi apendisitis. Gejalanya berupa menggigil, demam tinggi, ikterik ringan dan abses hepatik.Komplikasi yang terjadi setelah pembedahan apendisitis diantaranya adalah infeksi. Infeksi setelah pembedahan sering terjadi pada apendisitis perforasi atau gangrenosa. Meskipun infeksi bisa terjadi di sejumlah lokasi, infeksi yang terletak di lokasi pembedahan adalah yang paling sering, yaitu pada luka subkutan dan dalam rongga abdominal. Insidensi kedua komplikasi ini bervariasi tergantung pada derajat apendisitis, umur penderita, kondisi fisiologis dan tipe penutupan luka. Obstruksi intestinal bisa terjadi setelah pembedahan pada kasus apendisitis, hal ini disebabkan oleh abses, phlegmon intraperitoneal atau adhesi. Infertilitas dapat terjadi pada perempuan dengan apendisitis perforasi.Komplikasi lain, di antaranya: Nekrosis dinding appendiks Perforasi dinding appendiks dan pus masuk ke kavum peritonii General peritonitis Periappendikular infiltrat atau Phlegmon atau Periappendicular abses Sepsis Appendisitis kronis

Penyulit Appendektomi :1. Pre Operasi Perdarahan dari a. mesenterium atau omentum Robekan sekum atau usus lain2. Pasca Operasi Perdarahan Infeksi Hematom Paralitik ileus Peritonitis Fistel usus Streng Ileus karena band Hernia sikatrik

DAFTAR PUSTAKA

1. Yeh B.Evidence-based emergency medicine/rational clinical examination abstract. Does this adult patient have appendicitis?.Ann Emerg Med.Sep2008;52(3):301-3.2. Sedlak M, Wagner OJ, Wild B, Papagrigoriades S, Exadaktylos AK.Is there still a role for rectal examination in suspected appendicitis in adults?.Am J Emerg Med.Mar2008;26(3):359-60.3. Shakhatreh HS.The accuracy of C-reactive protein in the diagnosis of acute appendicitis compared with that of clinical diagnosis.Med Arh.2000;54(2):109-10.4. Yang HR, Wang YC, Chung PK, Chen WK, Jeng LB, Chen RJ.Laboratory tests in patients with acute appendicitis.ANZ J Surg.Jan-Feb2006;76(1-2):71-4.5. Tundidor Bermudez AM, Amado Dieguez JA, Montes de Oca Mastrapa JL.Urological manifestations of acute appendicitis.Arch Esp Urol.Apr2005;58(3):207-12.6. Harswick C, Uyenishi AA, Kordick MF, Chan SB.Clinical guidelines, computed tomography scan, and negative appendectomies: a case series.Am J Emerg Med.Jan2006;24(1):68-727. Malone AJ Jr, Wolf CR, Malmed AS, Melliere BF.Diagnosis of acute appendicitis: value of unenhanced CT.AJR Am J Roentgenol.Apr1993;160(4):763-6.8. Poortman P, Oostvogel HJ, Bosma E, Lohle PN, Cuesta MA, de Lange-de Klerk ES, et al.Improving diagnosis of acute appendicitis: results of a diagnostic pathway with standard use of ultrasonography followed by selective use of CT.J Am Coll Surg.Mar2009;208(3):434-41.9. Tzanakis NE, Efstathiou SP, Danulidis K, et al.A new approach to accurate diagnosis of acute appendicitis.World J Surg.Sep2005;29(9):1151-6, discussion 1157.10. Alvarado A.A practical score for the early diagnosis of acute appendicitis.Ann Emerg Med.May1986;15(5):557-64.11. Eriksson S, Granstrom L.Randomized controlled trial of appendicectomy versus antibiotic therapy for acute appendicitis.Br J Surg.Feb1995;82(2):166-9.12. Bickell NA, Aufses AH, Rojas M.How time affects the risk of rupture in appendicitis.J Am Coll Surg.Mar2006;202(3):401-6.13. Abou-Nukta F, Bakhos C, Arroyo K, et al.Effects of delaying appendectomy for acute appendicitis for 12 to 24 hours.Arch Surg.May2006;141(5):504-6; discussioin 506-7.14. Liang MK, Lo HG, Marks JL.Stump appendicitis: a comprehensive review of literature.Am Surg.Feb2006;72(2):162-6.15. Bresciani C, Perez RO, Habr-Gama A, et al.Laparoscopic versus standard appendectomy outcomes and cost comparisons in the private sector.J Gastrointest Surg.Nov2005;9(8):1174-80; discussion 1180-1.16. Liberman MA, Greason KL, Frame S, et al.Single-dose cefotetan or cefoxitin versus multiple-dose cefoxitin as prophylaxis in patients undergoing appendectomy for acute nonperforated appendicitis.J Am Coll Surg.Jan1995;180(1):77-80.17. Lin HF, Wu JM, Tseng LM, et al.Laparoscopic versus open appendectomy for perforated appendicitis.J Gastrointest Surg.Jun2006;10(6):906-10.18. Orr RK, Porter D, Hartman D.Ultrasonography to evaluate adults for appendicitis: decision making based on meta-analysis and probabilistic reasoning.Acad Emerg Med.Jul1995;2(7):644-50.19. Rao PM, Rhea JT, Rao JA, et al.Plain abdominal radiography in clinically suspected appendicitis: diagnostic yield, resource use, and comparison with CT.Am J Emerg Med.Jul1999;17(4):325-8.20. Schwerk WB, Wichtrup B, Rothmund M, et al.Ultrasonography in the diagnosis of acute appendicitis: a prospective study.Gastroenterology.Sep1989;97(3):630-9.21. Thomas SH, Silen W.Effect on diagnostic efficiency of analgesia for undifferentiated abdominal pain.Br J Surg.Jan2003;90(1):5-9.22. Webster DP, Schneider CN, Cheche S, et al.Differentiating acute appendicitis from pelvic inflammatory disease in women of childbearing age.Am J Emerg Med.Nov1993;11(6):569-72.23. Kalesaran, Laurens. Diagnosis Sistem Skoring pada appendicitis akut. Undip Semarang. Nov 1996

27

29