“tradisi bapukung pada masyarakat sukurepository.uinjambi.ac.id/2808/1/as.150493_khairul...
TRANSCRIPT
-
“TRADISI BAPUKUNG PADA MASYARAKAT SUKU
BANJAR DI DESA PENJURU KECAMATAN KATEMAN
KABUPATEN INDRAGIRI HILIR, RIAU”
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Syarat – Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu
Sejarah Peradaban Islam Pada
Fakultas Adab dan Humaniora
Oleh
KHAIRUL AZMI
NIM. AS.150493
JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2019
-
i
-
ii
-
iii
-
iv
MOTTO
: ٢٢} لقمان}
Artinya: “Dan barang siapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang
yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada
buhul (tali) yang kokoh. Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan.”
(QS. Luqman: Ayat 22)1
1Kementrian Agama RI Al-Qur‟an Terjemah & Tajwid, (Bandung: Sy9ma Creative
Media Corp 2014). Hlm. 413
-
v
PERSEMBAHAN
ِحيمِ ِ الََّرْحمِه الرَّ بِْسِم ّللاه
Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT atas kasih sayang dan
karunia-Nya yang telah memberikanku kekuatan serta membekaliku dengan ilmu
pengetahuan sehingga diberikan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.
Sholawat dan salam selalu terlimpahkan dan tercurah atas keharibaan
Rasulullah Muhammad SAW semoga yaumil akhir kelak mendapat syafaat
beliau. Aamiin ya rabbal’alamin.
Teristimewa karya kecil ini kupersembahkan kepada orang yang sangat
aku sayangi Ayahanda (Abdul Hamid) dan Ibunda (Nurmah) tercinta, terkasih,
dan tersayang yang telah mendidik dan mengajariku arti sebuah perjuangan,
yang rela membanting tulang membiayai hidup dan pendidikanku selama ini demi
masa depanku yang lebih cerah. Hanya karya kecil ini yang bisa aku
persembahkan semoga Ibunda dan Ayahanda tercinta berbahagia atas
terselesaikannya tugas akhir ini.
Seluruh keluarga besarku tercinta, untuk kakakku tercinta (Samsul
Bahri, Herman, Eliyana, Yanto, Heri, Amrullah, Salehuddin, Hazlina, dan Adi
Saputra) terima kasih atas do’a, cinta, kasih sayang dan bantuan kalian selama
ini. Serta keponakan-keponakanku tersayang terima kasih untuk senyum dan
tawanya. Hanya karya kecil ini yang dapat kupersembahkan, semoga dapat
menjadi kebanggaan kalian semua. Teruntuk Abang angkatku tercinta (Edy
Kurniawan SH., M. Kn) beserta keluarga, kuucapkan terimakasih yang tak
terhingga atas dukungan moril maupun materil serta nasehat dan motivasinya
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, hanya karya kecil ini yang dapat
kupersembahkan semoga menjadi tawa bahagia untuk abang dan keluarga
tercinta. Serta sahabat, kawan-kawan sehidup, dan seperjuangan, terimakasih
untuk do’a, nasehat, hiburan dan kerjasamanya semoga Allah limpahkan
rahmat_Nya kepada kita semua. Aamiin
-
vi
KATA PENGANTAR
ِ ِحيمِ بِْسِم ّللاه َرْحمِه الرَّ الَّ
Assalamualaikum Wr Wb
Alhamdulillah, puji dan syukur tak henti-hentinya penulis ucapkan
kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan anugrah kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Tradisi Bapukung Pada
Masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru Kecamatan Kateman Kabupaten
Indragiri Hilir, Riau”.
Shalawat dan salam penulis hadiahkan kepada junjungan alam, yakni
Rasulullah Muhammad SAW, karena berkat perjuangan beliau ummatnya
terbebas dari alam kegelapan dan dapat menikmati indahnya islam dan manisnya
ilmu pengetahuan seperti yang dirasakan saat sekarang ini.
Pada kesempatan ini tak lupa penulis menghaturkan rasa terima kasih yang
dalam kepada kedua orangtua serta keluarga besar penulis yang telah memberikan
motivasi dan dorongan serta do‟a yang tiada hentinya agar dapat segera
menyelesaikan skripsi ini. Kepada Pembimbing I: Bapak Samsul Huda, S.Ag,
M.Ag dan Pembimbing II: Bapak Hendra Gunawan, M.Hum yang telah
meluangkan waktu, membimbing, mengajarkan, dan menasehati penulis sehingga
skripsi ini bisa terselesaikan. Selanjutnya penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Yth. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA selaku Rektor UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
2. Yth. Bapak Prof. Dr. H. Sua‟idi Asyari, MA., Ph.D, Yth. Bapak Dr. H.
Hidayat, M.Pd, Yth. Ibu Dr. Hj. Fadhilah.M.Pd selaku Wakil Rektor I, II, dan
III UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
3. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Maisah, M.Pd.I selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora, UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Yth. Bapak Dr. Alfian,S.Pd., M.Ed , Yth. Bapak Dr. H. Muhammad Fadhil,
M.Ag, Yth. Ibu Dr. Roudhoh, S.Ag, SS., M.Pd.I selaku Wakil Dekan I, II, dan
III Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
-
vii
5. Yth. Bapak Aliyas, S.Th.I., M.Fil.I selaku ketua Jurusan Sejarah Peradaban
Islam UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
6. Yth. Bapak Aminuddin, S.Ag, M.Fil.I selaku sekretaris Jurusan Sejarah
Peradaban Islam UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
7. Yth. Ibu Mailinar, S. Sos, M. Ud selaku Dosen Pembimbing Akademik.
8. Yth. Seluruh Dosen dan karyawan/ti di lingkungan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
9. Sahabat-sahabati SPI‟15 yang sama-sama berjuang di Fakultas Adab dan
Humaniora UIN STS Jambi. Khususnya lokal SPI/A yang telah menjadi
partner diskusi yang baik bagi penulis.
10. Kepada para informan yang tidak dapat disebut namanya satu persatu yang
telah membantu, mengajarka, dan memberikan informasi terkait penelitian
penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan skripsi ini, semoga Allah
SWT memberikan keberkahan kepada kita semua. Akhir kata penulis sangat
berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jambi, 16 April 2019
Penulis
-
viii
ABSTRACT
Azmi, Khairul. 2019. Bapukung Ttradition of Banjar Tribe Community in Penjuru
Village, Kateman District, Indragiri Hilir Regency, Riau. History of Islamic
Civilization Department, Adab and Humanities Faculty, State Islamic University
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Supervisor I: Samsul Huda, S.Ag, M.Ag and
supervisor II: Hendra Gunawan, M. Hum.
This research started with the presence of the Bapukung tradition in the changing
of era that are progressing and developing than the general society assumes that an
old tradition is irrelevant to use in increasingly advance and developing era. The
aims of this research is to find out the Bapukung tradition of Banjar Tribe
Community in Penjuru Village, Kateman District, Indragiri Hilir Regency, Riau.
To know the reasons of Banjar Tribe Community in Penjuru Village, Kateman
District, Indragiri Hilir Regency, Riau in maintaining the Bapukung tradition. And
to know the ways are carried out by Banjar Tribe Community in Penjuru Village,
Kateman District, Indragiri Hilir Regency, Riau in maintaining the Bapukung
tradition. This research is an ethnographic research, qualitative descriptive method
with emic approach. The data were taken from the results of participant
observations, depth interviews, and documentations. In this research the writer
uses functional theory by Malinowski to answer the problems studied. The results
of this research show that Bapukung is a tradition that carried out by Banjar Tribe
Community in Penjuru Village to lulling the child with a sitting position in a
swing. The Bapukung tradition that carried out by Banjar Tribe Community in
Penjuru Village is not only because of ancestral heritage that should be safe and
preserve, furthermore this tradition is carried out because it has positive values
such as the identity of Banjar tribe community and it has a health function that
can develop the brain, strengthen the spine, and strengthen the neck. In addition,
Bapukung can provide the convenience and make the child fall asleep quickly,
avoid colds, mosquito bites, and keep the child from falling off the swing. The
ways of Banjar Tribe Community in Penjuru Village Riau do in maintaining the
Bapukung tradition is through family education both verbally and practically,
such as giving advice about Bapukung tradition, instilling love for tradition,
educate and practice to their families, children and grandchildren in the tradition
of Bapukung through parents and traditional attendants.
Keywords: Bapukung, Culture, Banjar Tribe Community.
-
ix
ABSTRAK
Azmi, Khairul. 2019. Tradisi Bapukung Pada Masyarakat Suku Banjar di Desa
Penjuru Kecamatan Kateman Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Jurusan Sejarah
Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sultan
Thaha Saifuddin Jambi. Pembimbing I: Samsul Huda, S.Ag, M.Ag dan
Pembimbing II: Hendra Gunawan, M. Hum.
Penelitian ini berawal dari hadirnya tradisi Bapukung ditengah perubahan zaman
yang kian maju dan berkembang sehingga masyarakat pada umumnya berasumsi
bahwa suatu tradisi lama tidak relevan lagi dipakai di era yang semakin maju dan
berkembang saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang
dimaksud dengan tradisi Bapukung pada masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru
Kecamatan Kateman Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Mengetahui alasan-alasan
masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru Kecamatan Kateman Kabupaten
Indragiri Hilir, Riau dalam mempertahankan tradisi Bapukung. Dan mengetahui
cara apa saja yang dilakukan oleh masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru
Kecamatan Kateman Kabupaten Indragiri Hilir, Riau dalam mempertahankan
tradisi Bapukung. Penelitian ini merupakan penelitian etnografi, metode deskriptif
kualitatif dengan pendekatan emik. Data diperoleh dari hasil observasi partisipan,
wawancara mendalam dan dokumentasi. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan teori fungsional ala Malinowski dalam menjawab permasalahan
yang diteliti. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan
Bapukung adalah suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Suku Banjar di
Desa Penjuru dalam menidurkan sang anak dengan posisi duduk didalam ayunan.
Tradisi Bapukung yang dilakukan oleh masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru
bukan semata-mata karena peninggalan leluhur yang patut dijaga dan dilestarikan,
lebih jauh lagi tradisi ini dilakukan karena memiliki nilai positif diantaranya
sebagai identitas diri bagi masyarakat Suku Banjar dan memiliki fungsi kesehatan
yang dapat mencerdaskan otak, meluruskan dan menguat tulang belakang,
meluruskan dan menguatkan leher. Selain itu Bapukung dapat memberikan
kenyamanan dan membuat sang anak cepat terlelap, terhindar dari masuk angin,
gigitan nyamuk dan menjaga sang anak agar tidak terjatuh dari ayunan. Adapun
cara yang dilakukan masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru dalam
mempertahankan tradisi Bapukung yakni melalui edukasi kekeluargaan baik
secara lisan maupun praktek seperti, memberikan nasehat terkait tradisi
Bapukung, menanamkan rasa cinta terhadap tradisi, mengajarkan dan
mempraktekkan kepada keluarga, anak dan cucu mereka terkait tradisi Bapukung
melalui orangtua dan dukun beranak.
Kata Kunci: Bapukung, Budaya, Masyarakat Suku Banjar.
-
x
DAFTAR ISI
NOTA DINAS ................................................................................................. i
PENGESAHAN .............................................................................................. ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................. iii
MOTTO .......................................................................................................... iv
PERSEMBAHAN ........................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 4
C. Batasan Masalah .............................................................................. 4
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ....................................... 4
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 6
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kerangka Teori ................................................................................ 8
1. Kebudayaan ............................................................................... 8
2. Tradisi ........................................................................................ 9
3. Teori Difusi Kebudayaan........................................................... 10
4. Teori Fungsional ........................................................................ 11
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ...................................................... 13
B. Lokasi Penelitian ............................................................................. 13
C. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 14
1. Jenis Data.................................................................................. 14
-
xi
2. Sumber Data ............................................................................. 15
3. Penentuan Sampel dan Informan .............................................. 15
D. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 16
1. Observasi/Pengamatan ............................................................. 16
2. Wawancara ............................................................................... 17
3. Dokumentasi ............................................................................. 19
E. Teknik Analisis Data ....................................................................... 19
1. Analisis Domain ....................................................................... 20
2. Analisis Taksonomi .................................................................. 20
3. Analisis Komponensial ............................................................. 21
4. Analisis Tema Budaya .............................................................. 22
F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ............................................. 23
G. Jadwal Penelitian ............................................................................. 24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian................................................ 26
1. Sejarah Desa Penjuru ................................................................ 26
2. Letak Geografis Desa Penjuru .................................................. 29
3. Mata Pencaharian ..................................................................... 30
4. Budaya ...................................................................................... 31
B. Hasil dan Pembahasan/Analisa ..................................................... 33
1. Pengertian Bapukung................................................................ 33
2. Sejarah Tradisi Bapukung ........................................................ 35
3. Proses Bapukung ..................................................................... 37
4. Alasan Masyarakat Suku Banjar Masih Memertahankan
Tradisis Bapukung .................................................................... 45
5. Cara Masyarakat Suku Banjar Mempertahankan Tradisi
Bapukung .................................................................................. 54
-
xii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 56
B. Saran ............................................................................................... 58
C. Kata Penutup ................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 61
LAMPIRAN I GAMBAR …………………………………………………... 63
LAMPIRAN II INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA ……………….. 69
LAMPIRAN III KARTU KONSULTASI ………………………………… 71
LAMPIRAN IV DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………………………….. 73
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan keanekaragaman suku,
bangsa, bahasa, budaya, ras, agama, kepercayaan, tradisi, dan masih banyak
keanekaragaman yang lainnya. Dimana setiap daerah atau masyarakat Indonesia
mempunyai banyak sekali corak dan kebudayaannya masing-masing, mulai dari
sabang sampai merauke, kebudayaan yang berbeda-beda ini merupakan corak
kehidupan bangsa Indonesia namun demikian tidak jadi penghalang masyarakat
untuk bersatu dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
bersemboyankan “Bhinneka Tunggal Ika” berbeda-beda namun tetap satu jua,
itulah Indonesia.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar.2 Kebudayaan yang dimiliki sekelompok manusia akan membentuk ciri
dan menjadi pembeda dengan kelompok lain.3 Dari sebuah kebudayaanakan
tampak suatu ide, tindakan, dan benda hasil karya manusia yang kita kenal
sebagai wujud dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian J.J Honigmann dalam
bukunya The World of Man membagi budaya dalam tiga wujud, yaitu: ideas,
activities, and artifact.4Sejalan dengan pendapat ahli tersebut Koentjaraningrat
mengemukakan bahwa wujud sebuah kebudayaan itu dapat dibagi menjadi tiga:
Pertama, wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan, dan sebagainya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat.Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.5
2Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009). Hlm. 144
3Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011).
Hlm. 33 4Elly M. Setiadi Dkk, Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2006). Hlm. 29
5 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009). Hlm. 150
-
2
Tindakan berinteraksi menurut pola-pola yang dilakukan oleh manusia
secara turun-temurun disebut dengan tradisi.6Tradisi termasuk kedalam wujud
kebudayaan yang kedua dimana tradisi merupakan suatu tindakan atau perilaku
manusia yang dilakukan secara terpola dan berulang-ulang sehingga menjadi
sebuah kebiasaan turun-temurun yang dilakukan terus menerus dari zaman nenek
moyang hingga sekarang.Tradisi dapat pula bermakna sebagai adanya suatu
informasi yang diteruskan generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan yang
merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam
waktu yang lama dan dilaksanakan turun temurun dari nenek moyang, lalu tradisi
tersebut dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang
sesuatu itu hingga menjadi kebiasaan.7
Di Indonesia banyak sekali tradisi unik yang masih dipertahankan
masyarakat hingga sekarang, salah satunya yaitu tradisi Bapukung pada
masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru Kecamatan Kateman Kabupaten
Indragiri Hilir, Riau.Tradisi Bapukung adalah salah satu budaya yang
dipertahankan oleh masyarakat Suku Banjar yang merupakan masyarakat
terbanyak setelah Suku Melayu.8Bapukung merupakan hasil dari kebudayaan
migrasi orang-orang banjar yang berpindah dari Kalimantan Selatan ke berbagai
daerah di Indonesia termasuk Desa Penjuru yang membawa unsur-unsur budaya
lokal masyarakat Suku Banjar Kalimantan Selatan yang kita kenal dengan istilah
difusi kebudayaan. Difusi kebudayaan bermakna sebagai penyebaran unsur-unsur
kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi oleh kelompok manusia
yang bermigrasi.9
Tradisi Bapukung merupakan variasi atau jenis lain dari cara menidurkan
anak balita khas masyarakat Suku Banjar yang tidak kalah uniknya dengan cara
6Siti Karomah, “Tradisi Muyyi Dalam Interaksi Antar Kerabat di Desa Bukit Talang Mas
Kecamatan Singkut Kabupaten Sarolangun”. Skripsi. Fakultas Adab dan Humaniora, Institut
Agama Islam Negeri Sultan Thaha Safuddin Jambi, 2016. Hlm. 2 7Nova Pertiwi, “Tradisi Anak Hilang Pada Acara Pernikahan di Desa Limbur Merangin
Kecamatan Pamenang Barat Kabupaten Merangin”. Skripsi. Fakultas Adab dan Humaniora,
Institut Agama Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi, 2014. Hlm. 19 8Dokumen Desa Penjuru Tahun 2017
9Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009). Hlm.199
-
3
diayun. Antara diayun dan dipukung (Bapukung), keduanya sama-sama
menggunakan peralatan yang kurang lebih sama dan cara buaiannya juga sama-
sama diayun. Adapun perbedaannya yakni, pada Bapukung posisi bayi adalah
duduk dengan posisi lutut ditekuk hampir menyentuh dada, tangan bersedekap
atau lurus, kemudian mulai dari leher diikat dengan menggunakan kain panjang
hingga mengenai punggung, belakang, sampai kepinggang.10
Sedangkan cara
diayun biasa posisi bayi berbaring atau telentang layaknya bayi tidur seperti
biasanya tanpa diikat.
Tradisi Bapukung yang hadir sejak tahun 1980 di Desa Penjuru hingga
sekarang telah menjadi perbincangan oleh masyarakat pada umumnya yang
budayanya sendiri mulai tergerus akibat perubahan dan kemajuan zaman saat ini
dimana masyarakat yang dulunya sangat memegang erat budaya dan tradisi lokal
yang ada, sekarang mulai hilang dan sirna karena pengaruh zaman yang kian tak
terelakkan. Melalui informasi dan teknologi yang mudah diakses seperti totonan
ditelevisi maupun penggunaan internet melalui hp atau komputer memudahkan
budaya luar masuk merasuki jiwa masyarakat terutama kalangan pemuda,
sehingga muncullah pandangan bahwa budaya atau tradisi yang masih mengikuti
cara-cara lama merupakan sesuatu yang kuno, ketinggalan zaman, dan tidak
relevan lagi dipakai atau digunakan pada zaman sekarang yang telah maju dan
berkembang.11
Kendati demikian masyarakat Suku Banjar yang juga ikut dalam
perubaha zaman saat ini tidak memperdulikan hal itu, mereka tetap
mempertahankan tradisi Bapukung yang dianggap sebagai suatu ciri khas identitas
bagi masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru. Bagi mereka Bapukung adalah
Bapukung yang tidak akan pernah berubah bahkan hilang karena kemajuan
zaman, sebab ini adalah tradisi peninggalan nenek moyang yang mesti dijaga dan
dipertahankan keberadaannya.
10
Hasil wawancara dengan Bapak Asol sebagai tokoh masyarakat yang mengetahui
tentang tradisi Bapukung (11 Februari 2019. Pukul: 08.00 WIB) 11
Hasil wawancara dengan Bapak H. Sabri sebagai tetua masyarakat Suku Banjar di Desa
Penjuru yang mengetahui tentang tradisi Bapukung (13 Februari 2019. Pukul: 17.05 WIB)
-
4
Berangkat dari permasalahan ini penulis sangat tertarik untuk melakukan
penelitian lebih lanjut dan mendalam dengan judul “TRADISI BAPUKUNG
PADA MASYARAKAT SUKU BANJAR DI DESA PENJURU KECAMATAN
KATEMAN KABUPATEN INDRAGIRI HILIR, RIAU.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan tradisi Bapukung pada masyarakat Suku Banjar di
Desa Penjuru Kecamatan Kateman Kabupaten Indragiri Hilir, Riau?
2. Mengapa masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru Kecamatan Kateman
Kabupaten Indragiri Hilir, Riau masih mempertahankan tradisi Bapukung?
3. Bagaimana masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru Kecamatan Kateman
Kabupaten Indragiri Hilir, Riau mempertahankan tradisi Bapukung?
C. Batasan Masalah
Supaya pembahasan tidak melebar apalagi menyimpang dari tujuan
penelitian yang hendak dicapai, maka sangat diperlukan batasan permasalahan
yang hendak dijawab agar penelitian ini lebih fokus dan terarah. Adapun batasan
dalam penelitian ini yaitu hanya terfokus pada maksud dari tradisi Bapukung
menurut masyarakat Suku Banjar yang ada di Desa Penjuru, mengetahui alasan
masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru mempertahankan tradisi Bapukung, dan
untuk mengetahui cara-cara apa saja yang dilakukan masyarakat Suku Banjar di
Desa Penjuru dalam mempertahankan tradisi Bapukung ditengah zaman yang kian
maju saat ini.
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
tradisi Bapukung pada masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru, mengetahui
alasan-alasan masyarakat masih mempertahankan tradisi Bapukung, dan
mengetahui cara apa saja yang dilakukan masyarakat Suku Banjar dalam
-
5
mempertahankan tradisi Bapukung. Selanjutnya tujuan dari penelitian iniingin
memberikan pemahaman analitis etnografis terhadap tradisi Bapukung di era yang
telah maju ini masih dilakukan oleh masyarakat Suku Banjar yang ada di Desa
Penjuru Kecamatan Kateman Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.Dengan pemahaman
semacam ini diharapkan tidak lagi terjadi kesalahpahaman terhadap masyarakat
umum yang menilai tradisi Bapukung sebagai sesuatu yang tidak relevan lagi
dengan kemajuan zaman saat ini.
Lebih jauh lagi melalui pengungkapan fungsi Bapukung dalam
kehidupan masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru, diharapkan agar masyarakat
Desa Penjuru pada umumnya mengakui bahwa ada fungsi tertentu dibalik tradisi
Bapukung yang dilakukan oleh masyarakat Suku Banjar sehingga dengan
mengetahui fungsi-fungsi itulah tradisi ini menjadi patut dilestarikan untuk
mewariskan tradisi leluhur yang amat berharga.
Adapun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini adalah:Secara
teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan analisis bagi
perkembangan dunia ilmu antropologi budaya khususnya tentang pemahaman
teori fungsional. Dari sini akan diperoleh gambaran secara fungsional dari tradisi
Bapukung yang dianggap sebagai tradisi yang ketinggalan zaman dan tidak tepat
dilakukan di era yang telah maju saat ini. Dengan kata lain, bagi siapa saja yang
menilai tradisi ini sebagai keterbelakangan akan semakin yakin bahwa tradisi
Bapukung mempunyai fungsi tertentu bagi kehidupan masyarakat masih bisa
digunakan mesti zaman telah maju.
Secara praktis, membuka wawasan kepada penulis khususnya dan kepada
pembaca dan masyarakat pada umumnya bahwa meskipun kita hidup di era yang
semakin maju saat ini, tidak harus menolak, mencemooh, atau meninggalkan
tradisi yang telah ada sejak lama sebagai aset budaya masyarakat
Indonesia.Bahkan, pada gilirannya hal itu juga dapat diteladani oleh masyarakat
lain diluar Desa Penjuru yang masih ingin mempertahankan budaya-budaya
mereka ditengah-tengah kemajuan zaman saat ini. Lebih jauh lagi melalui tradisi
-
6
Bapukung diharapkan masyarakat dan pemerintah terkait akan terus berupaya
melestarikan budaya-budaya lokal yang mulai tergerus dan hilang akibat
kemajuan zaman.
E. Tinjauan Pustaka
Mengenai tulisan ini, belum ada dibuat dalam tulisan ilmiah yang
dilakukan oleh Mahasiswa UIN STS JAMBI bahkan belum ada peneliti yang
mengkaji tentang tradisi Bapukung pada masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru
Kecamatan Kateman Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, namun penelitian yang
berkaitan dengan tradisi seperti ini banyak diantaranya:
1. Jurnal yang ditulis oleh Suaibah dan Hesti Asriwandari, “Tradisi Ayun Budak
Pada Masyarakat Bangun Purba di Kabupaten Rokan Hulu”, dimana tulisan
ini menjelaskan bahwa tradisi Ayun Budak merupakan suatu bentuk upacara
yang dilakukan ibu-ibu ketika akan menidurkan anaknya dalam sebuah ayunan
disertai lagu-lagu berisi nasehat, petuah dan doa. Pelaksanaan upacara Ayun
Budak secara umum diperuntukkan pada anak yang berusia kurang dari satu
tahun, oleh karena pelaksanaan ini ada yang berupa niat dan nazar maka
pelaksanaan Ayun Budak ini harus dilakukan, tidak tergantung kepada waktu,
tetapi tergantung kesempatan dan kemampuan orangtua. Pada dasarnya
penelitian ini lebih terfokus kepada aspek pencarian makna yang terdapat
didalamnya sebagai sebuah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas lahirnya
putera-puteri dengan selamat dan sehat sebagai keluarga baru, Ayun Budak
menjadi media penyampaian nasehat kepada sang anak maupun hadirin, Ayun
Budak berisi pinta dan doa kepada Sang Khalik dan ayun budak dapat
memupuk silaturrahmi sesama warga masyarakat. Fokus penelitian demikian,
jelas berbeda dengan penelitian penulis yang lebih menekankan kepada aspek
fungsional dimana suatu kebudayaan dipertahankan karena ia memiliki fungsi,
dalam hal ini tradisi Bapukung dapat mencerdaskan otak dan membuat tulang
belakang menjadi kuat dan lurus. Mesti media yang digunakan sama dalam
pelaksanaannya yakni menggunakan ayunan namun interpretasinya berbeda
-
7
dimana tradisi Ayun Budak melihat dari sisi makna, sedangkan tradisi
Bapukung melihatnya dari segi fungsi dari sebuah kebudayaan itu.
2. Jurnal oleh Zulfa Jamali, “Akulturasi dan Kearifan Lokal Dalam Tradisi
Baayun Maulid Pada Masyarakat Banjar”, Tradisi Baayun Maulid merupakan
kegiatan mengayun anak secara bersama-sama dalam masyarakat Banjar yang
dilaksanakan bertepatan pada kelahiran Nabi SAW 12 Rabiul Awal di Masjid
al Mukarramah Banua Halat. Tradisi ini pada prinsipnya adalah upacara
keagamaan yang merupakan tradisi lokal yang bernafaskan atau mengandung
unsur-unsur dakwah Islam. Penelitian ini lebih jauh mengkaji akulturasi dan
transformasi nilai dalam tradisi Baayun Maulid masyarakat Banjar dengan
pendekatan antropologis keagamaan sebagai upaya memahami makna
mendalam dari objek penelitian, ia melihat dimana tradisi lokal yang telah
berakulturasi dengan agama Islam yang menjadi sebuah media dakwah dalam
menyampaikan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan. Sedangkan penelitian
penulis lebih jauh melihat dimana tradisi Bapukung sebagai tradisi lama yang
hidup ditengah-tengah perubahan kemajuan zaman, walau demikian tradisi ini
tetap ada dan dipakai hingga sekarang. Penelitian ini menggunakan pendekatan
etnografi dimana penulis melihat secara mendalam, menggambarkan secara
detail dan apa adanya tentang tradisi Bapukung yang ada pada masyarakat
Suku Banjar di Desa Penjuru Kecamatan Kateman Kabupaten Indragiri Hilir,
Riau.
-
8
BAB II
KERANGKA TEORI
Untuk mempermudah penulis dalam memberikan pengertian yang
terdapat dalam penelitian ini, maka perlu dilakukan landasan berpikir untuk
menganalisa, mengkaji dan menjabarkan permasalahan yang sedang diteliti sesuai
dengan judul masalah diatas.
A. Kebudayaan
Sebagaimana diketahui bahwa kebudayaan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan umat manusia, yang hadir beriring dengan kehadiran
kehidupan manusia.12
Menurut Koentjaraningrat kebudayaan adalah keseluruhan
sisitem gagasan, tindakan, hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik manusia dengan belajar.13
Menurut Edward B. Taylor kebudayaan
adalah kesatuan yang menyeluruh dan terdiri dari pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan serta kebiasaan
lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.14
Koentjaraningrat
membagi kebudayaan menjadi tiga wujud yakni: Pertama, wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya.
Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat.Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-
benda hasil karya manusia.15
Dari penjelasan diatas maka posisi kebudayaan yang penulis teliti
termasuk kedalam wujud kebudayaan yang kedua yakni suatu kompleks aktivitas
serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat atau yang sering kita sebut
dengan tradisi.Dalam hal ini Bapukung merupakan warisan budaya dari nenek
moyang secara turun-temurun dari generasi ke generasi dan dipertahankan hingga
12
Nur Syam, Mazhab-mazhab Antropologi, (Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara,
2007). Hlm. 29 13
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009). Hlm.
144 14
Roger M. Keesing, Antropologi Budaya, (Jakarta: Erlangga, 1989). Hlm. 68 15
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009). Hlm.
150
-
9
sekarang.Jika tradisi Bapukung hilang maka hilang pulalah wujud kebudayaan
masyarakat Suku Banjar yang terdapat di Desa Penjuru Kecamatan Kateman
Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.Karena tradisi Bapukung merupakan tradisi
peninggalan nenek moyang sejak dahulu.Dengan demikian segala hasil kegiatan
budaya yang diakui sebagai milik bersama oleh suatu bangsa atau suku bangsa,
yang demikian itu seringkali didudukkan sebagai salah satu penanda bagi jati diri
bangsa atau suku bangsa yang bersangkutan.16
Seperti halnya budaya yang dimiliki
Suku Banjar yakni tradisi Bapukung.
B. Tadisi
Tradisi dapat diartikan sebagai suatu kebiasaan yang telah dilakukan
sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan kelompok suatu masyarakat,
biasanya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama, namun
hal yang paling mendasar dari suatu tradisi yakni adanya suatu informasi yang
diteruskan dari generasi baik secara tertulis maupun lisan.17
Sejalan dengan hal itu
C. A. Van Peursen menegaskan bahwa tradisi dapat diterjemahkan dengan
pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-
harta.Tetapi tradisi tersebut bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah, tradisi
justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam
keseluruhannya. Manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu, ia
menerimanya, menolaknya, atau mengubahnya.18
Begitu pula dengan Kebudayaan Bapukung yang merupakan bagian dari
tradisi atau kebiasaan turun temurun yang dilakukan oleh masyarakat Suku Banjar
yang diwariskan secara turun-temurun dan diterima dengan baik oleh pemiliknya
dari generasi ke generasi dari zaman nenek moyang hingga sekarang.Tradisi
Bapukung inilah yang menjadi suatu ciri dari kebudayaan masyarakat Suku
Banjar di Desa Penjuru Kecamatan Kateman Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.
16
Edi Sedyawati, Kebudayaan di Nusantara dari Keris, Tor-tor, sampai Industri Budaya,
(Depok: Komunitas Bambu, 2014). Hlm. 17 17
Anton dan Marwati, Ungkapan Tradisional Dalam Upacara Adat Perkawinan
Masyarakat Bajo di Pulau Balu Kabupaten Muna Barat. Jurnal Humanika 2015, Vol. 13. Hlm. 3 18
C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1998). Hlm. 11
-
10
C. Teori Difusi Kebudayaan
Difusi adalah persebaran kebudayaan yang disebabkan adanya migrasi
manusia. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan menularkan budaya
tertentu. Apalagi jika perpindahan manusia itu secara kelompok atau besar-
besaran, jelas akan menimbulkan difusi budaya yang luar biasa. Setiap ada
persebaran kebudayaan, disitulah terjadi penggabungan dua kebudayaan atau
lebih.19
Sering kita temui banyak pendatang dari luar daerah yang membawa
unsur-unsur budaya mereka sendiri yang pada akhirnya nanti terjadi perpaduan
atau perlawanan antara budaya masyarakat setempat dengan budaya masyarakaat
pendatang sehingga saling tarik-menarik diantara keduanya yang mengakibatkan
tergesernya salah satu dari kedua budaya tersebut atau sama-sama bertahan dalam
satu atap dengan mempertahankan unsur budayanya masing-masing.
Begitu pula halnya dengan tradisi Bapukung yang mengalami suatu
difusi kebudayaan dimana tradisi Bapukung dibawa oleh individu-individu yang
bermigrasi dari Kalimantan Selatan menuju Desa Penjuru Kecamatan Kateman
Kabupaten Indragiri Hilir, Riau yang kian hari semakin banyak jumlah penduduk
yang berdatangan sehingga unsur-unsur budaya lokal masyarakat Kalimantan
Selatan berpindah ke Desa Penjuru. Perpindahan unsur-unsur budaya tersebut
tidak mempengaruhi nilai-nilai budaya lokal yang telah ada sejak lama, kedua
budaya ini hidup berdampingan dalam satu atap dengan tidak mempengaruhi
bahkan tidak menghilangkan salah satu budaya yang ada.
19
Swardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2006). Hlm. 97
-
11
D. Teori Fungsional
Fungsi kebudayaan adalah untuk mengatur manusia agar dapat mengerti
bagaimana seharusnya bertindak dan berbuat untuk menentukan sikap kalau akan
berhubungan dengan orang lain dalam menjalankan hidupnya, kebudayaan
memiliki berbagai macam fungsi dalam kehidupan manusia diantaranya:
1. Suatu hubungan pedoman antar manusia atau kelompok
2. Wadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kehidupan lainnya
3. Pembimbing kehidupan manusia
4. Pembeda antar manusia dan binatang.20
Menurut Malinowski fenomena budaya sekecil apapun pasti ada makna
dan fungsinya bagi pendukung budaya tersebut, dalam kaitannya dengan analisis
fungsional tentang budaya Malinowski cukup tajam memberikan rambu-rambu
sebagai berikut: Pertama, ia menggambarkan fenomena yang ada di Trobiand
tempat ia melakukan penelitian terkait dongeng suci yang disebut liliu. Dongeng
ini bukan dongeng biasa, melainkan tergolong kategori khusus, bahkan dianggap
sebagai pedoman upacara suci.Ini berarti dongeng memiliki fungsi spiritual yang
tinggi.Fungsi dongeng suci menjadi wahana religius pemilik dengan Sang
Khalik.Kedua, masalah tentang magis juga menarik perhatian
Malinowski.Menurutnya, magis memiliki fungsi mengurangi kecemasan
menghadapi hal-hal yang tidak dipahami, dia seolah-olah mampu menjelaskan
alasan kehadiran dan kelestarian magis dalam budaya Trobriand.21
Jika dikaitkan dengan teori Malinowski mengenai fungsionalisme
kebudayaan seperti yang diterangkannya diatas melalui fenomena-fenomena yang
terjadi pada masyarakat Trobriand maka dapat dilihat bahwa masyarakat Suku
Banjar di Desa Penjuru sampai saat ini masih mempertahankan tradisi Bapukung
dengan alasan bahwa Bapukung memiliki fungsi kesehatan diantaranya dapat
mencerdaskan otak, membuat tulang belakang menjadi kuat dan lurus, dan lain-
20
Pdf. Repository.unpas.ac.id (Diunduh Pada: 04 April 2019) 21
Swardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2006). Hlm. 104
-
12
lain. Menggunakan Bapukung adalah suatu identitas dan merupakan tradisi turun-
temurun yang telah diwariskan oleh nenek moyang didalam kehidupan
masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru. Selain memiliki fungsi kesehatan
Bapukung juga memberikan kepuasan naluri bagi masyarakat pendukungnya
dimana dengan Bapukung masyarakat merasa nyaman dan puas karena dapat
meringankan beban orangtua dalam menjaga sang anak, dan telah melaksanakan
anjuran nenek moyang mereka untuk menjaga dan mempertahankan tradisi yang
telah ada sejak lama. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Malinowski
bahwa kebudayaan mempunyai fungsi sebagai sebuah pendirian bahwa aktivitas
suatu kebudayaan itu sebenarnya bermaksud untuk memuaskan suatu rangkaian
dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan
seluruh kehidupannya.22
22
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi. (Jakarta: UI-Press, 1987). Hlm. 171
-
13
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan emik
dengan metode deskriptif kualitatif.Adapun jenis penelitian ini merupakan
penelitian etnografi yaitu sebuah kajian tentang mendeskripsikan kebudayaan
sebagaimana adanya.23
Etnografi merupakan model penelitian budaya yang khas,
yang memandang budaya bukan semata-mata sebagai produk melainkan proses.24
Begitu pula dengan penelitian ini penulisakan mendeskripsikan tradisi Bapukung
secara detil dan mendalam melihat Bapukung bukan hanya sebagai produk
melainkan juga sebagai sebuah proses dari tradisi itu sendiri. Instrumen
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara,
observasi, dan dokumentasi.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Penjuru Kecamatan Kateman Kabupaten
Indragiri Hilir, Riau yang merupakan tempat terjadinya tradisi
Bapukung.Pemilihan terhadap lokasi penelitian dilakukan secara purposive yakni
memilih secara sengaja dengan maksud mendapatkan sebuah lokasi yang
dianggap relevan dengan tujuan dan manfaat penelitian.Adapun alasan pemilihan
lokasi penelitian adalah:
1. Adanya masalah penelitian yang menarik bagi penulis untuk dipecahkan.
2. Lokasi penelitian merupakan wilayah tempat tinggal penulis sendiri sehingga
memudahkan penulis untuk mendapatkan data dan informasi terkait tradisi
Bapukung yang penulis teliti.
23
Swardi Endraswara, Metode Teori Teknik Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta :
Pustaka Widyatama, 2006). Hlm. 207 24
Ibid. Hlm. 209
-
14
3. Penulis tidak perlu lagi mempelajari bahasa lokal untuk mempermudah
penelitian sehingga penulis lebih intensif masuk ke wilayah penelitian untuk
mendapatkan data-data yang dibutuhkan.
4. Lokasi penelitian merupakan salah satu Desa yang mayoritas penduduknya
bersuku Banjar setelah Suku Melayu.
5. Keterjangkauan penulis baik dari segi dana, waktu, dan pengalaman penulis
terhadap wilayah yang menjadi lokasi penelitian.
C. Jenis dan Sumber Data
Data adalah keterangan yang dapat dijadikan dasar penelitian atau segala
hal yang dapat digunakan sebagai bahan penyusunan informasi dan penulisan
sebuah penelitian.
1. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder.
b. Data Primer
Data primer, yaitu data yang dikumpulkan, diolah, dan disajikan
oleh peneliti dari sumber pertama atau utama.25
Menurut Lofland bahwa
sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan,
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Kata-kata
dan tindakan yang dimaksud adalah kata-kata dan tindakan orang-orang
yang diamati atau diwawancarai yang dicatat melalui catatan tertulis atau
melalui perekaman video/audio tapes, pengambilan foto atau film.26
Data primer tersebut adalah data utama hasil pengamatan,
wawancara, dan dokumentasi yang dilakukan oleh penulis berkaitan dengan
tradisi Bapukung pada masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru.Penulis
menggunakan data ini untuk mendapatkan informasi langsung dari
masyarakat setempat mengenai tradisi Bapukung.
25
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi Fakultas Adab dan
Humaniora, (Jambi: UIN STS Jambi, 2018). Hlm. 45 26
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2014). Hlm. 157
-
15
c. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang dikumpulkan, diolah, dan disajikan
oleh pihak lain, yang biasanya dalam bentuk-bentuk publikasi atau
jurnal.27
Jadi data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung
dari sumbernya.Data sekunder yang dimaksud adalah data yang diperoleh
dari data yang sudah terdokumentasi dan mempunyai hubungan dengan
permasalahan yang diteliti.Adapun data sekunder dalam penelitian ini
adalah buku-buku, jurnal, pdf, skripsi, dan dokumen.
2. Sumber Data
Sumber data adalah sumber dimana data dapat diperoleh, sedangkan
sumber data dalam penelitian ini antara lain:
a. Informan. Seperti: Tetua masyarakat yang memahami betul tentang tradisi
Bapukung, dukun beranak dari Suku Banjar yang lebih mengetahui tentang
tradisi Bapukung, tokoh masyarakat Desa Penjuru, masyarakat Suku Banjar
serta pelaku tradisi yang juga memahami tentang tradisi Bapukung.
b. Dokumentasi yang diambil dari penelitian ini yakni dari lapangan/lokasi
penelitian seperti rekaman suara, foto, dan video.
c. Buku, jurnal, pdf, skripsi, dan dokumen Desa Penjuru tahun 2017 terkait
penelitian penulis.
3. Penentuan Sampel dan Informan
Sampel adalah sumber informasi data itu sendiri, sampel dapat berupa
peristiwa, manusia, situasi, dan sebagainya.28
Teknik pengambilan sampel
menggunakan model purposive (purposive sampling), sampel ditetapkan secara
sengaja oleh penulis.Sampel model purposive sampling artinya sampel yang
bertujuan.Penyampelan dilakukan dengan menyesuaikan gagasan, asumsi,
sasaran, tujuan, manfaat yang hendak dicapai oleh peneliti.29
27
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi Fakultas Adab dan
Humaniora, (Jambi: UIN STS Jambi, 2018). Hlm. 45 28
Swardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2006). Hlm. 206 29
Swardi Endraswara, Metode Teori Teknik Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta :
Pustaka Widyatama, 2006). Hlm. 115
-
16
Menurut Webster’s New Collegiate Dictionary, seorang informan
adalah seorang pembicara asli yang berbicara dengan mengulang kata-kata,
frasa, dan kalimat dalam bahasa atau dialeknya sebagai model imitasi dan
sumber informasi.30
Sedangkan penentuan informan dilakukan dengan
menggunakan jaringan, yakni berdasarkan informasi yang diperoleh dari Ketua
RW, Ketua RT, dan tokoh agama Islam yang ada di Desa Penjuru Kecamatan
Kateman Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.
Dalam penentuan informan penulis membagi menjadi dua yakni,
informan kunci dan informan biasa. Informan kunci adalah seseorang yang
memiliki informasi relatif lengkap terhadap budaya yang diteliti, dengan
pertimbangan bahwa orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi
sesusai dengan permasalahan yang diteliti, usia yang bersangkutan telah
dewasa, orang yang bersangkutan sehat jasmani dan rohani, merupakan
tokoh/masyarakat, memiliki pengetahuan yang luas mengenai masalah yang
diteliti, dan lain-lain.31
Adapun yang menjadi informan kunci dari penelitian ini
adalah Bapak Syafi‟I, Bapak H. Sabri, Nenek Hajimah sebagai tetua
masyarakat. Nenek Arne‟ dan Nenek Lisa‟ sebagai dukun beranak. Sedangkan
informan biasa adalah penikmat atau pendukung seperti Bapak Asol, Bapak
Saini sebagai tokoh masyarakat, Bapak Sudi‟, Ibu Hasnah, Ibu Nurfateha,
sebagai pelaku tradisi dan seluruh warga masyarakat Desa Penjuru.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini
menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi, sebagaimana yang
dijelaskan sebagai berikut:
1. Observasi/Pengamatan
Observasi adalah suatu penyelidikan secara sistematis menggunakan
kemampuan indera manusia.Pengamatan a powerfull tool indeed.Pengamatan
dilakukan pada saat terjadi aktivitas budaya dan wawancara secara
30
James P. Spradley, Metode Etnografi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007). Hlm. 39 31
Swardi Endraswara, Metode Teori Teknik Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta :
Pustaka Widyatama, 2006). Hlm. 119
-
17
mendalam.32
Observasi atau pengamatan bisa dilakukan terhadap sesuatu
benda, keadaan, kondisi, situasi, kegiatan, proses, atau penampilan tingkah
laku seseorang.33
Untuk mendapatkan hasil maksimal, penulis menggunakan
teknik observasi atau pengamatan yaitu teknik pengumpulan data yang
mengharuskan peneliti untuk turun langsung kelapangan mengamati hal-hal
yang terkait dengan tradisi Bapukung.
Observasi atau pengamatan yang penulis lakukan adalah observasi
partisipan.34
Dimana penulis terlibat langsung dengan aktivitas yang sedang
diteliti, penulis ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan tradisi Bapukung yang
sedang penulis teiliti. Dengan melakukan teknik observasi, peneliti akan
mengetahui dan merasakan apa yang dirasakan oleh subjek penelitian atau
ketika lagi wawancara peneliti bisa mendeskripsikan pengalaman informan.
Teknik observasi atau pengamatan ini digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan dari penelitian yang berkaitan dengan tradisi Bapukung pada
masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru Kecamatan Kateman Kabupaten
Indragiri Hilir, Riau..
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan.35
Demi lancarnya wawancara dan mendapatkan informasi yang
akurat, maka dalam proses wawancara dilakukan dengan santai, tidak tergesa-
gesa, tenang, nyaman, artinya tidak ada yang tertekan antara pewawancara dan
terwawancara.
Wawancara yang digunakan penulis merupakan wawancara mendalam
(indeptinterview).Sejalan dengan jenis wawancara tidak terstruktur, dimana
32
Swardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2006). Hlm. 208 33
Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2007). Hlm. 135 34
Swardi Endraswara, Metode Teori Teknik Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta :
Pustaka Widyatama, 2006). Hlm. 140 35
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2014). Hlm. 168
-
18
penulis maupun subyek penelitian lebih bebas mengemukakan pendapatnya
tentang budaya yang dilakukan.Penulis juga lebih bebas dalam mengatur kata-
kata, tidak terkekang, dan terkesan resmi, walaupun demikian penulis juga
tetap menyiapkan rambu-rambu pertanyaan awal lalu ketika wawancara
dikembangkan seperlunya.36
Selain itu, jenis wawancara yang penulis gunakan
dalam penelitian ini adalah wawancara terbuka, artinya penulis dan yang
diteliti sama-sama tahu dan tujuan wawancara pun diberitahukan.37
Dalam wawancara penulis menggunakan bahasa Indonesia, bahasa
Banjar, dan bahasa Melayu, Riau.Dengan tujuan mempermudah komunikasi
antara narasumber dan informan dalam mendapatkan informasi. Oleh karena
itu, ada hal-hal atau ungkapan-ungkapan tertentu yang yang harus diungkapkan
dalam bahasa Banjar dan bahasa Melayu, Riau nantinya dialihbahasakan
kedalam bahasa Indonesia untuk memudahkan analisis. Dalam hal ini penulis
mewawancarai tetua masyarakat Suku Banjar, dukun beranak dari masyarakat
Suku Banjar, tokoh masyarakat, masyarakat Suku Banjar serta pelaku tradisi
yang memahami tentang tradisi Bapukung.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam proses wawancara
yaitu:
a. Penulis menentukan siapa orang pertama yang akan diwawancarai terlebih
dahulu.
b. Setelah itu penulis melanjutkan kepada informan yang lain untuk
diwawancarai sehingga informasi yang didapat utuh dan jelas.
c. Penulis tidak mengadakan perjanjian waktu, hari, tanggal, dan tempat
dengan informan yang akan diwawancarai tetapi langsung datang kerumah
informan untuk melakukan wawancara.
d. Proses wawancara dilakukan secara terbuka tanpa ada paksaan atau tekanan
antara pewawancara dan yang diwawancarai.
e. Pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara tidak terstruktur melainkan
hanya pertanyaan-pertanyaan yang bersifat umum.
36
Swardi Endraswara, Metode Teori Teknik Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta :
Pustaka Widyatama, 2006). Hlm. 166 37
Ibid. Hlm. 167
-
19
f. Dalam proses wawancara penulis menggunakan bahasa Banjar dan bahasa
Melayu. Adapun bahasa Indonesia digunakan dalam waktu-waktu tertentu
saja jika memungkinkan untuk dipakai untuk mendapatkan informasi
mengenai trdisi Bapukung.
g. Lamanya waktu wawancara tidak ditentukan, jika informasi sudah tidak ada
lagi dari informan maka wawancara dianggap selesai.
h. Untuk mendokumentasikan hasil wawancara penulis menggunakan HP
sebagai alat perekam dan kamera (foto).
i. Pencatatan data wawancara (tanggal wawancara, nama informan, data
informan), pertanyaan dan jawaban informan menggunakan alat perekam
dan catatan tersendiri oleh penulis untuk keperluan analisis data.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah
berlalu.Dokumen biasanya berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya
monumental dari seseorang.38
Dokumentasi ini adalah tekhnik terakhir yang
digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini.Agar penelitian ini
dapat di dokumentasikan dengan baik.Maka diperlukan alat/instrument seperti
kamera atau handycam guna untuk mengambil gambar/foto, film/video yang
sesuai dengan kebutuhan peneliti.Dengan menggunakan alat-alat dokumentasi
diatas diharapkan mempermudah dalam pelaksanaan penelitian sehingga data-
data yang telah didapat bisa disimpan, dilihat, dan diulang kembali untuk
memudahkan penulisan.Adapun alat/instrument utama yang peneliti gunakan
dalam pengambilan dokumentasi yakni menggunakan HP.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan
cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan
yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh
38
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2017). Hlm. 124
-
20
diri sendiri maupun orang lain.39
Analisis data dalam penelitian ini penulis
menggunakan analisis model Spradley yang dilakukan dengan tekhnik sebagai
berikut:
1. Analisis Domain
Analisis domain merupakan langkah pertama dalam penelitian
kualitatif yang pada umumnya dilakukan untuk memperoleh gambaran yang
umum dan menyeluruh tentang situasi sosial yang diteliti atau obyek
penelitian.Data-data diperoleh dari grand tour dan minitour question.Hasilnya
berupa gambaran umum tentang obyek yang diteliti, yang sebelumnya belum
pernah diketahui.Dalam analisis ini informasi yang diperoleh belum mendalam,
masih dipermukaan, namun sudah menemukan domain-domain atau kategori
dari situasi sosial yang diteli.40
Analisis domain merupakan analisis luaran
(surface analysis) dan bukan merupakan sesuatu yang bersifat mendalam (in-
depth analysis). Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara
holistic keadaan suatu budaya selintas dari informan.41
Analisis domain ini digunakan untuk menganalisis data yang
diperoleh dari tempat penelitian secara garis besarnya yaitu mengenai tradisi
Bapukung pada masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru Kecamatan Kateman
Kabupaten Indragiri Hilir, Riau sehingga penulis dapat mengetahui data-data
yang didapat tersebut masuk ke ranah mana saja untuk dapat menjawab dari
fokus penelitian penulis.
2. Analisis Taksonomi
Setelah peneliti melakukan analisis domain, sehingga ditemukan
domain-domain atau kategori dari situasi sosial tertentu, maka selanjutnya
domain yang dipilih oleh peneliti dan selanjutnya ditetapkan sebagai fokus
penelitian, perlu diperdalam lagi melalui pengumpulan data
dilapangan.Pengumpulan data dilakukan secara terus menerus melalui
pengamatan, wawancara mendalam dan dokumentasi sehingga data terkumpul
39
Ibid. hlm. 131 40
Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2017). Hlm. 147 41
Swardi Endraswara, Metode Teori Teknik Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta :
Pustaka Widyatama, 2006). Hlm. 176
-
21
menjadi banyak.Oleh karena itu pada tahap ini diperlukan analisis lagi yang
disebut dengan analisis taksonomi.Jadi analisis taksonomi adalah analisis
terhadap keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan domain yang telah
ditetapkan. Dengan demikian domain yang telah ditetapkan menjadi cover term
oleh peneliti dapat diurai secara lebih rinci dan mendalam melalui analisis
taksonomi ini.42
Analisis taksonomi menunjukkan sub-bagian symbol atau term
bagaimana hubungannya ranah secara keseluruhan.43
Pada tahap analisis taksonomi, penulis berupaya memahami domain-
domain tertentu dari tradisi Bapukung yang sedang penulis teliti.Masing-
masing domain dari tradisi Bapukung tadi mulai dipahami secara mendalam
dan membaginya menjadi sub-domain, dari sub-domain dirinci lagi menjadi
bagian-bagian yang lebih khusus lagi sampai tidak tersisa.Pada tahap ini sub-
domain dari tradisi Bapukung Pada Masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru
Kecamatan Kateman Kabupaten Indragiri Hilir, Riau dapat diketahui mana saja
data-data yang bisa diambil dan digunakan untuk kebutuhan penulisan
nantinya.
3. Analisis Komponensial
Analisis komponen merupakan suatu pencarian sistematik berbagai
atribut (komponen makna) yang berhubungan dengan simbol-simbol
budaya.Apabila peneliti menemukan berbagai kontras diantara nggota sebuah
kategori, maka kontras ini yang paling baik jika dianggap atribut komponen
makna suatu istilah.44
Dalam analisis taksonomi, yang diuraikan adalah domain
yang telah ditetapkan menjadi fokus.Melalui analisis taksonomi, setiap domain
dicari elemen yang serupa atau serumpun, ini diperoleh melalui observasi,
wawancara, dan dokumentasi yang terfokus.Pada analisis komponensial, yang
dicari untuk diorganisasikan dalam domain bukanlah keserupaan dalam
domain, tetapi justru yang memiliki perbedaan atau yang kontras.Lebih jelas
bahwa analisis ini berupaya mencari perbedaan dan pertentangan diantara
42
Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2017). Hlm. 154 43
Swardi Endraswara, Metode Teori Teknik Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta :
Pustaka Widyatama, 2006). Hlm. 177 44
James P. Spradley, Metode Etnografi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006). Hlm. 247
-
22
dalam analisis taksonomi, pencarian perbedaan ini dalam rangka mencari
makna simbol.45
Data ini dicari melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi
yang terseleksi. Dengan tekhnik pengumpulan data yang bersifat triangulasi
tersebut, sejumlah dimensi yang spesifik dan berbeda pada setiap elemen akan
dapat ditemukan.46
Pada tahap ini penulis tidak lagi mencari persamaan dari data-data
yang diperoleh seperti yang dijelaskan pada tahap analisis taksonomi tetapi
pada tahap ini penulis mencari perbedaan dan pertentangan yang terjadi pada
tahap analisis taksonomi sehingga pada akhirnya nanti penulis menemukan
pengertian menyeluruh dan mendalam serta rinci dari permasalahan yang
diteliti terkait tradisi Bapukung yang penulis amati.
4. Analisis Tema Budaya
Analisis tema budaya, yaitu dengan cara mencari tema konseptual
yang dipelajari oleh anggota masyarakat dan hubungan antar ranah, konsep
tema jauh berakar pada ide, dan tidak sekedar potongan tingkah laku atau term,
atau kebiasaan, atau kumpulan potongan-potongan tersebut, tema budaya
merupakan sesuatu yang kompleks, merupakan sebuah postulat baik yang
dinyatakan secara eksplisit maupun implisit, tema budaya merupakan prinsip
kognitif yang berulang muncul dalam ranah dan berfungsi sebagai penghubung
diantara sub sistem kultural dan tema budaya merupakan tingkat generalisasi
yang tinggi.47
Analisis tema budaya sesungguhnya merupakan upaya mencari
“benang merah” yang mengintegrasikan lintas domain yang ada. Dengan
ditemukannya benang merah dari hasil analisis domain, taksonomi, dan
komponensial tersebut, maka selanjutnya akan dapat tersusun suatu “konstruksi
bangunan” situasi sosial atau obyek penelitian yang sebelumnya masih gelap
45
Swardi Endraswara, Metode Teori Teknik Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta :
Pustaka Widyatama, 2006). Hlm. 177 46
Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2017). Hlm. 157 47
Swardi Endraswara, Metode Teori Teknik Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta :
Pustaka Widyatama, 2006). Hlm. 177
-
23
atau remang-remang, dan setelah dilakukan penelitian, maka menjadi lebih
terang dan jelas.48
Pada intinya tahap analisis tema budaya ini penulis gunakan untuk
mencari jawaban atau hasil dari analisis analisis sebelumnya sehingga dengan
ditemukannya benang merah dari lintas domain yang diamati maka penulis
dapat menyimpulkan dan menulis hasil dari penelitian terkait tradisi Bapukung
Pada Masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru Kecamatan Kateman
Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.
F. Teknik Pemeriksaan keabsahan Data
Dalam proses pemeriksaan keabsahan data, penulis menggunakan
metode triangulasi data, yang merupakan teknik pemeriksaan data yang
memanfaankan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data itu.49
Denzin membedakan empat macam
triangulasi sebagai tekhnik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber,
metode, penyidik, dan teori. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
triangulasi data dengan sumber, yakni membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi dengan cara membandingkan data hasil
pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan
orang didepan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi,
membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu, membandingkan keadaan dan
perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti
rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang
pemerintahan, dan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen
yang berkaitan.50
Triangulasi data ini bertujuan untuk memeriksa kembali
kebenaran dan keabsahan data-data yang diperoleh dilapangan tentang tradisi
48
Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2017). Hlm. 158 49
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2014). Hlm. 330 50
Ibid. Hlm. 331
-
24
Bapukung pada masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru Kecamatan Kateman
Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.
G. Jadwal Penelitian
Penelitian inidilakukan selama 7 bulan, mulai dari pembuatan judul,
proposal hingga penulisan laporan (skripsi). Penelitian ini dilakukan diawali
dengan konsultasi judul dengan pihak program studi, dilanjutkan penunjukan
dosen pembimbing dan perbaikan proposal. Kemudian seminar proposal,
perbaikan hasil seminar dan turun kelapangan untuk mengumpulkan data-data
penelitian di lapangan, setelah dilakukan teknik analisis data dan
sebagainya,selanjutnya di munaqasahkan.
-
25
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian
No Kegiatan
2018/2019
November Desember Januari Februari Maret April Mei
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengajuan judul
x
2
Pengajuan dosen
pembimbing x
3
Bimbingan, perbaikan
proposal dan izin seminar x x x
4 Seminar proposal
x
5
Revisihasil seminar dan
surat izin riset x x x x x x
6 Pengumpulan data
x x x x x
7 Pengolahan data
x x x x
8 Penulisan skripsi
x x x x x
9 Bimbingan dan perbaikan
x x x x
10 Agenda dan ujian skripsi
X x
11 Perbaikan dan penjilidan
x x
-
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Sejarah Desa Penjuru
Desa Penjuru merupakan sebuah desa yang diapit oleh dua lautan
yakni Laut Tanjung Jungkir dan Laut Tanjung Datuk yang terletak di kawasan
Kecamatan Kateman Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Desa Penjuru berada
tidak jauh dari pusat Kecamatan namun sangat jauh menuju ibu kota
Kabupaten. Untuk menempuh perjalanan keberbagai daerah, masyarakat
menggunakan transportasi air sebagai alat transportasi seperti: Perahu,
pompong, speedboad, dan kapal. Sebelum menjadi Desa Penjuru pada
awalnya desa ini disebut dengan Selat Pedada karena menurut cerita orangtua
zaman dulu alur sungai Selat Pedada ini dibuat dengan dada buaya, buaya
tersebut dinamakan dengan buaya dangdendang yang lari dari sungai Kateman
menuju Laut Tanjung Datuk. Selaras dengan penuturan tokoh masyarakat di
Des Penjuru yang bernama Bapak Murianto:
“Dulu ni bukan Desa Penjuru namanye tapiSelat Pedada karna
sejarah orangtue dulu yang membikin alur sungai ni dari dada
buaya itu, die kan lari dari jaman Jepang. Name buayanye buaya
dangdendang, waktu itu dari Simpang Kateman buaya itukan
menunggu apabile ade yang lewat make tak ada yang bise begerak
lagi lalu disedotnya dengan mulutnya abis masuk dalam perutnya jadi
ade satu orangtue die punye akal die rakitnya kayu teros dikasihlah
minyak tanah pade kayu yang dirkitnye tadi teros dinyalekanlah api
dihanyutnya depan buaya itu jadi buaya tu nyedot kepanasan lari dia,
larinye tu kesini (Desa Penjuru) bikin langsung jadi alur sungai
sampai nembus kelautan sane (Laut Tanjung datuk). Jadi sejarahnye
kenape name penjuru, didepan bahagia tu kan ade sungai
penyambung nah itu namenye Sungai Senjuru asalnye tu, dari Parit
Baru sampai ke Parit 11 BRS tu kan itu namenye sungai penjuru tu,
makanye name Desa kite tu diambil dari name Sungai Penjuru make
jadilah name Desa Penjuru”.51
51
Hasil Wawancara dengan Bapak Murianto (10 Februari 2019. Pukul: 10. 26 WIB)
-
27
Terjemahannya:
“Dahulu Desa Penjuru ini bernama Selat Pedada karena menurut
cerita orangtua terdahulu bahwa yang membuat alur sungai ini adalah
dari dada buaya yang lari sejak zaman Jepang.Nama buaya tersebut
adalah buaya dangdendang, pada waktu itu buaya dangdendang selalu
menunggu apabila ada yang lewat maka orang-orang tidak bisa
bergerak lalu disedotnya masuk kedalam perut buaya. Kemudian ada
satu orangtua yang punya ide maka dirakitnyalah kayu dan
ditumpahlah kayu tersebut dengan minyak tanah lalu dibakar kayu
yang telah dirakit tersebut kemudian dihanyutkan didepan buaya
dangdendang lalu buaya tersebut melahapnya hingga kepanasan,
setelah itu buaya dangdendang lari menuju Laut Tanjung Datuk
melalui Desa Penjuru dan langsung membuat alur sungai dengan
dadanya. Adapun sejarahnya mengapa dinamakan Desa Penjuru
didepan Bahagia (nama kampung) ada sebuah sungai penyambung, itu
dinamakan Sungai Penjuru mulai dari Bahagia, Parit Baru (nama
kampung), sampai ke Parit 11 BRS (nama Kampung). Makanya nama
Desa itu awalnya diambil dari nama sungai yaitu Sungai Penjuru,
maka dijadikanlah nama Desa Penjuru”.
Mula-mula pada tahun 1980 orang-orang Banjar dari Kalimantan
Selatan banyak yang menetap dan bertempat tinggal di Sungai Guntung
sekarang menjadi ibukota Kecamatan Kateman. Ditahun yang sama
masyarakat Suku Banjar mulai mulai berpindah mencari tempat tinggal baru
sebagai tempat tinggal permanen bagi mereka. Tepatnya di selat pedada (Desa
Penjuru saat ini), dibukalah satu perkampungan yang dinamakan dengan parit
Kalimantan, penamaan kampung ini dikarenakan orang pertama yang
membuka kampung ini berasal dari Kalimantan Selatan yaitu Bapak
Imuk.Sejak Bapak Imuk membuka perkampungan ini maka seiring itu pula
sanak keluarganya berdatangan menempati parit Kalimantan tersebut diikuti
dengan masyarakat Suku Banjar lainnya yang berasal dari Kalimantan Selatan
-
28
juga.52
Sejalan dengan pernyataan diatas Bapak Asol sebagai tokoh masyarakat
Desa Penjuru menyampaikan bahwa:
“Bahari tu kaini kisahnya tahun 1980, Penjuru ni kan asalnya Abah
Imuk tu nang mambukanya iya diparit Kalimantan ni bahari, lagi
masih padang rerapukan, padang hutan sidin tu lawan keluargaannya
nang mambuka maulah kampung, imbah talah nabangi kayu iya
dibangun rumah uleh sidin tu, sejak ituam diangkutinya
keluargaannya dari Kalimantan Selatan sana tu dibawa begene disini
sampai wahini. Mulai dari sidin tu lah urang banyak pindahan ke
parit Kalimantan nih sampai jadi Desa jua akhirnya”
Terjemahannya:
“Dahulu ceritanya tahun 1980, Penjuru ini dibuka oleh Bapak Imuk
tepatnya diparit Kalimantan nama kampungnya, sejak itu masih hutan
belantara beliau dan keluarga yang membuka dan membuat satu
perkampungan.Setelah menebang pohon maka dibangunlah satu
rumah sebagai tempat tinggal, sejak saat itu juga dibawanya sanak dan
keluarganya untuk pindah dan tinggal bersama dipenjuru sampai
sekarang. Bermula dari Bapak Imuklah orang-orang berpindah ke
parit Kalimantan ini sampai menjadi sebuah Desa”
Dari penjelasan diatas Bapak Asol menceritakan bahwa Desa Penjuru
pada awalnya dibuka oleh warga masyarakat Kalimantan Selatan yaitu Bapak
Imuk sebagai orang pertama perintis awal terbukanya sebuah kampung
sehingga menjadi sebuah Desa yang disebut Desa Penjuru hingga sekarang.
Selanjutnya pada tahun 1999 ada kegiatan dari Kabupaten Indragiri Hilir, Riau
untuk pemecahan kelurahan dan pemekaran desa maka termasuklah lima desa
dan satu keluarahan antaralain: Desa Sungai Perepat, Desa Simpang Kateman,
Desa Penjuru, Desa Kualat Selat, Desa Simbar, dan Kelurahan Tagaraja.
Semua desa tersebut dinamakan sebagai desa persiapan yang diuji coba dalam
jangka dua tahun yakni sejak tahun 1999 hingga tahun 2001 untuk menentukan
layak atau tidak dijadikan sebuah desa. Selama dua tahun persiapan lima desa
tersebut layak dijadikan sebuah desa dan di SK kan langsun oleh pemerintah
52
Hasil Wawancara dengan Bapak Saini (10 Februari 2019. Pukul: 13.05 WIB)
-
29
Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.53
Kemudian pada tahun 2002 maka
diresmikanlah Desa Penjuru sebagai salah satu desa yang termasuk dalam
wilayah pemerintahan Kecamatan Kateman, dengan Bapak Murianto sebagai
Kepala Desa pertama pada tahun 2002-2007, dilanjutkan Bapak Hurianto dari
tahun 2009-2015, dan Bapak Abdul Rahmat pada tahun 2018 hingga sekarang.
2. Letak Geografis Desa Penjuru
Desa Penjuru termasuk salah satu desa yang ada di Kecamatan
Kateman Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau dengan luas wilayah 76 Km2.
Adapun batas-batas wilayah Desa Penjuru yaitu sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Desa Sungai Teritip
b. Sebelah Selatan : Kecamatan Mandah
c. Sebelah Barat : Kelurahan Amal Bakti
d. Sebelah Timur : Desa Kuala Selat
Sedangkan jarak Desa Penjuru dengan pusat pemerintahan:
a. Jarak dari Pusat Pemerintahan Kecamatan : 17 Km
b. Jarak dari Kota/Ibukota Kabupaten : > 75 Km
c. Jarak dari Ibukota Provinsi : > 650 Km
Desa Penjuru merupakan daerah pesisir yang dikelilingi oleh lautan
dan sungai-sungai, tidak ada terdapat pegunungan atau perbukitan dengan
keadaan tanah yang begitu lembut.54
Keadaan iklim Desa Penjuru termasuk
kategori beriklim sedang, dikatakan demikian karena pada siang harinya tidak
terlalu panas dan pada malam harinya tidak terlalu dingin. Sementara itu tidak
jauh berbeda dengan daerah tropis lainnya maka keadaan musim di Desa
Penjuru hampir sama yaitu musim panas dan musim hujan.Melihat letak
geografis Desa Penjuru seperti demikian memungkinkan tardisi Bapukung
masuk melalui migrasinya orang-orang Kalimantan Selatan melalui jalur
perairan dengan menggunakan kapal-kapal menuju Desa Penjuru.
53
Hasil Wawancara dengan Bapak Murianto (10 Februari 2019. Pukul: 10. 26 WIB) 54
Dokumen Desa Penjuru Tahun 2017
-
30
3. Mata Pencarian
Pertumbuhan penduduk merupakan salah satu faktor yang terpenting
dalam masalah ekonomi pada umumnya dan masalah penduduk khususnya.
Karena disamping berpengaruh terhadap jumlah dan komposisi penduduk juga
akan berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi suatu daerah. Pertumbuhan
ekonomi masyarakat Desa Penjuru secara umum mengalami pasang surut
karena mata pencaharian utama masyarakat adalah sebagai petani kelapa.
Kelapa bagi masyarakat Desa Penjuru merupakan merupakan tolak ukur
sejahteranya masyarakat karena ketika harga kelapa stabil maka masyarakat
akan tenang dan nyaman sebaliknya, jika harga kelapa anjlok maka
masyarakat akan menjerit. Indragiri Hilir sebagai penghasil kelapa terbesar di
Provinsi Riau bahkan Indonesia, tentu akan sangat berdampak serius jika harga
kelapa tidak stabil didaerah-daerah kawasan Indragiri Hilir terutama Desa
Penjuru yang penghasilan utama masyarakatnya.55
Jadi dapat disimpulkan bahwa perekonomian utama masyarakat Desa
Penjuru bergantung pada pertanian kelapa, hal ini dapat dilihat dengan
banyaknya kapal-kapal asing dan luar daerah seperti Malaysia, Singapore, dan
Batam yang datang dan berlabuh di Desa Penjuru sebagai penampung kelapa
masyarakat sehingga untuk penjualan tidak perlu lagi terlalu jauh mengantar
keperusahaan-perusahaan kelapa yang berada diwilayah Kecamatan Kateman.
Selain itu mata pencarian dibidang lain juga ada seperti:nelayan, pedagang,
pengusaha, guru, dan lain-lain.56
Dilihat dari segi perekonomian memungkinkan
banyaknya masyarakat Suku Banjar dari berbagai daerah terutama Kalimantan
Selatan untuk berpindah ke Desa Penjuru mencari pekerjaan dan mendapatkan
pekerjaan dengan mudah terutama dibidang perkebunan kelapa.
55
Dokumen Desa Penjuru Tahun 2017 56
Hasil Wawancara Bapak Abdul Rahmat, Kepala Desa Penjuru (11 Februari 2019.
Pukul: 14.25 WIB)
-
31
Tabel. 4.2. Mata Pencarian Penduduk Desa Penjuru57
NO Mata Pencarian Keterangan
(Orang)
1 Petani 1.537
2 Nelayan 15
3 Buruh Tani/Buruh Nelayan 816
4 PNS 3
5 Pegawai Swasta 8
6 Wiraswasta/Pedagang 430
7 Lainnya 67
4. Budaya
Pada bidang kebudayaan, masyarakat Desa Penjuru terdapat berbagai
suku seperti: Suku Melayu, Suku Bugis, Suku Jawa dan Suku Banjar, yang
hidup berdampingan dan saling tolong menolong antara satu dengan yang
lainnya karena masyarakat sangat menjunjung tinggi prinsip “Bhinneka
Tunggal Ika” berbeda-beda tapi tetap satu jua. Adapun mayoritas penduduk
Desa Penjuru adalah bersuku Melayu.58
Sebab memang tanah ini merupakan
tanah melayu sedangkan suku-suku yang lain hanyalah pendatang dan menetap
di Desa Penjuru.59
Hal ini selaras dengan penyampaian Bapak Murianto
sebagai tokoh masyarakat (mantan Kepala Desa) bahwa:
“Desa Penjuru ni memang betol luas sangat tapi masyarakat die
aman semue, saling tolong menolong dalam hidop, walaupon bede-
bede suku bahase tapi tak masalah. Ade yang Suku Banja, ade Suku
Buges, ade Melayu, Jawe, ade juge orang cine tapi kami hidop rukon,
aman dan damai tak ade hal lah dengan semua tu. Tapi kalau nak
dilihat siape yang banyak ye tentu masyarakat Suku Melayu
57
Dokumen Desa Penjuru 2017 58
Dokumen Desa Penjuru 2017 59
Hasil Wawancara dengan Uwak Maspar sebagai tetua masyarakat Desa Penjuru (11
Februari 2019. Pukul: 17.15 WIB)
-
32
merupakan masyarakat tebanyak di Desa Penjuru boleh dibilang
masyarakat mayoritaslah sebab ape, sebab die memang orang asli
kelahiran sini kelahiran Riau ni, wajar tanah ni dikate tanah Melayu.
Ade pun suku-suku yang lelain tu hanye pendatang aje kayak Banja,
Jawe, Bugis, dan Cine. Namun dari suku-suku yang ade nih Suku
Banja pulak yang banyak orangnye sebab die orang memang ramai
datang untuk mencari keje ke Desa Penjuru dari dulu sampailah
sekarang dan yang pertame membuka kampung ni pun temasuklah
orang Banja yaitu Bapak Imuk tu ha yang berasal dari Kalimantan
Selatan, Banjar Masin”.60
Terjemahannya:
“Desa Penjuru memanglah luas tetapi masyarakatnya aman saling
tolong menolong dalam hidup walaupun berbeda-beda suku dan
bahasa tetapi tidak masalah. Ada Suku Banjar, ada Suku Bugis, ada
Melayu, ada Jawa, dan ada juga orang cina tetapi kami hidup rukun,
aman, dan damai tetapi tidak ada masalah dengan itu semua. Tetapi
jika ingin dilihat siapa yang banyak tentulah masyarakat Suku Melayu
merupakan masyarakat terbanyak di Desa Penjuru boleh dikatakan
masyarakat mayoritas sebab mereka merupakan kelahiran Riau, jadi
hal yang wajar jika tanah ini disebut tanah Melayu. Adapun suku-suku
yang lain itu hanya pendatang seperti Banjar, Bugis, Jawa, dan Cina.
Dari suku-suku pendatang yang ada Suku Banjar lah yang terbanyak
orangnya setelah Suku Melayu.61
Karena mereka memang banyak
yang datang untuk mencari pekerjaan dari dahulu hingga
sekarang.Dan pembuka pertama kampung ini pun termasuklah orang
Banjar yaitu Bapak Imuk dari Banjar Masin, Kalimantan Selatan”.
Dari penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa secara kuantitas
jumlah warga masyarakat Suku Melayu adalah yang terbanyak atau mayoritas
disbanding suku-suku yang lainnya namun setelahnya yakni Suku Banjar
menempati urutan kedua terbanyak setelah Melayu, selebihnya Suku Bugis,
Jawa dan cina berada diurutan bawah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
60
Hasil Wawancara dengan Bapak Murianto (10 Februari 2019. Pukul: 10. 26 WIB) 61
Dokumen Desa Penjuru Tahun 2017
-
33
memang wajar jika tradisi Bapukung dipertahanka hingga sekarang, dari segi
jumlah memang orang-orang Banjar cukup banyak sehingga dengan jumlah
yang tidak sedikit ini mampu memberikan warna dan menunjukkan eksistensi
kebudayaan mereka dengan memperlihatkan tradisi Bapukung sebagai suatu
identitas bagi masyarakat Suku Banjar.
B. Hasil dan Pembahasan/analisa
1. Pengertian Bapukung
Secara bahasa kata Bapukung berasal dari bahasa Banjar dengan kata
dasar “Pukung” yang berarti membuai atau mengayun. Apabila kata “Pukung”
ditambah dengan awalan “ba” maka menjadi kata Bapukung yang dalam
bahasa Banjarnya berfungsi sebagai kata keterangan, yaitu menerangkan
keadaan anak atau bayi yang sedang dipukung. Apabila ditambah dengan
awalan “di” maka kata pukung akan berubah menjadi “dipukung” yang
menjelaskan sebagai kata perintah. Sedangkan kata dasar “pukung” apabila
dimbahkan lagi dengan awalan “ma” maka kata pukung akan berubah lagi
menjadi “mamukung” yang berfungsi sebagai kata kerja yakni mamukung anak
atau bayi.62
Adapun secara istilah Bapukung merupakan suatu tradisi yang
dilkukan oleh masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru Kecamatan Kateman
Kabupaten Indragiri Hilir, Riau dalam menidurkan sang anak dalam posisi
duduk tegap, punggung serta tulang belakang lurus, lutut kaki ditekuk hampir
menyentuh dada, tangan bersedekap hingga mengenai dada atau perut layaknya
posisi bayi dalam kandungan, kemudian dari leher, punggung dan bagian
belakang sampai kepinggang diikat dengan menggunakan kain panjang dengan
ikatan yang tidak terlalu kuat dan tidak pula terlalu kendor agar bayi atau anak
yang dipukung masih bisa bernafas seperti biasanya tanpa dipukung serta
membuatnya nyaman.
62
Hasil Wawancara dengan Nenek Arne‟ sebagai Dukun Beranak dari masyarakat Suku
Banjar (13 Februari 2019. Pukul: 09.38 WIB)
-
34
Selaras dengan penuturan yang disampaikan oleh Bapak Syafi‟i sebagai tetua
masyarakat Suku Banjar di Desa Penjuru:
“Bapukung tu cara mangguringakan anak dalam ayunan yang
baumur 2 bulan sampai 1.5 tahun tapi anak tu didudukakan, duduk
lurus mun kada lurus kada mau inya kina kaluku sakit belekangnyak.
Ni nih punggung awan tulang belekang nih harus lurus kamay handak
bisa jua mamukungnya kada mau semberangan, imbah tu lintuhut nih
dilipat parak kadada tapi kada kana dada belum cuman hamper jua
pang, amun pusisi tangan kekanak tu inya begempit lawan parut
amun kada tu digempitakan lawan dada supaya inya kada kawa
bagarak imbah tu hanyar pulang dililit lawan tapih bahalay baukuran
1.8 meter atau kain panjangkah berangai yang penting kawa diikat,
diikatnya tu mulai dari atas dari gulu’ lilit begemet sampai
kabalakang amun tapihnya cukup sampaiyakan kapinggang. Nah
lilitannya tu pulang jangan talalu kancang kada jua talalu kandur
yang sadang-sadang hajak supaya kekanak tu kawa banafas nyaman
inyak amun talalu kancang kina kaluku sakit kasian inyak, kada bulih
jua talalu kandur lilitannya kina kaluku lapas pulang mun inya
bagarak-garak pukoknya ulah inya senyaman-nyamannyak imbah tu
hanyar diayun bagamat ulah inya nyaman sambil nyanyiakan lagu-
lagu islam kada katinggalan lagu Bapukungnya jua”.63
Terjemahannya:
“Bapukung merupakan cara menidurkan anak yang berusia 2 bulan
sampai 1.5 tahun dalam ayunan dengan posisi duduk, punggung dan
tulang belakang mesti lurus dan yang memukungnya hendaklah
pandai dan telaten, tidak bisa sembarangan sebab jika sembarangan
dalam mamukung anak takut sang anak sakit dan terjadi hal yang
tidak diinginkan, kemudian posisi lutut dilipat hampir menyentuh
dada, serta posisi tangan anak menyentuh dada atau perut.Kemudian
mulai dari leher hingga belakang diikat dengan menggunakan kain
panjang berukuran 1.8 meter jika mencukupi