anton tanjung - s3.amazonaws.com · dan seketika itu juga bikin gue down. padahal, gue udah nyiapin...

Penerbit PT Elex Media Komputindo

ANTON TANJUNG

Prescription.indd 3 12/27/2018 14:39:03

Copyright ©2019 Anton Tanjung

Hak cipta dilindungi oleh Undang-UndangDiterbitkan pertama kali tahun 2018 oleh PT Elex Media Komputindo,Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta

Penulis : Anton TanjungPenyunting : Dion RahmanPenata Letak : Divia PermatasariIlustrasi dan Desainer Sampul : Hani Widiani

719030119ISBN: 978-602-04-8917-9 978-602-04-8918-6 (digital)

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, JakartaIsi di luar tanggung jawab Percetakan


8

KEHEBOHAN yang terjadi pas jam istirahat adalah ma -kan an sehari-hari yang nggak bisa dihindari saat sekolah. Ngabisin wak tu sambil jajan di kantin, duduk-duduk doang bareng teman-teman di halaman sekolah, sambil nikmatin pemandangan indah yang sedang berkeliaran di seantero sekolah; cewek-cewek yang lagi mondar-mandir maksud gue. Cewek dengan rambut panjang terurai itu semacam idaman para cowok umur empat belas tahun yang lagi puber macem gue.

Saat itu gue masih anak SMP yang duduk di bangku kelas IX. Nggak lama lagi gue bakal berubah status jadi anak SMA. Hal yang bikin gue semangat buat menjalani hidup adalah kenyataan bahwa gue semakin beranjak dewasa.

Ngomong-ngomong dewasa, nggak afdal rasanya kalau tumbuh tanpa melibatkan cinta-cintaan dalam kehidup -an kita. Kisah cinta monyet gue bisa dibilang prematur. Dimulai terlalu cepat. Saat di taman kanak-kanak dulu, gue pernah suka sama teman sekelas. Namanya Wulan, dia anaknya cantik banget. Kulitnya putih, hidungnya man cung, rambutnya panjang ber warna hitam kecokelat-cokelatan mirip bule, dan dia bikin bocah kumal kayak gue waktu itu tertarik.

Setiap hari kerjaan gue gangguin dia terus, narikin ram -butnya, dan bikin dia nangis sekenceng-kencengnya. Gue jadi bingung sendiri, kenapa gue, si (calon) cowok gagah perkasa yang lagi suka sama cewek mikirnya kalau hal romantis yang bisa gue lakukin saat umur segitu adalah narikin rambutnya sampai dia nangis. Perbuatan romantis


9

macam apa itu? Jack nggak ngelakuin itu sama Rose di film Titanic. Romeo juga nggak pake jambak-jambakin rambutnya Juliet pas lagi meerayu. Sumpah, itu norak banget. Kenapa juga gue bisa ngelakuin hal sebodoh itu?

Semenjak kejadian itu gue punya semacam resolusi kalau udah gede, gue nggak bakalan memperlakukan cewek yang gue suka kayak gitu lagi.

Setelah lulus SMP gue udah punya target ke depannya, yaitu sekolah di SMA terfavorit di kota gue. Mengikuti syarat-syarat pendaftaran, turut hadir saat ujian masuk berlangsung, dan siapa yang nyangka kalau gue bakal ketemu seorang cewek yang bikin gue penasaran banget. Cewek dengan rambut panjang terurai serta poni yang menutup sebagian keningnya itu terlihat familier. Gue kayak pernah melihatnya di suatu tempat tapi entah di mana dan kapan. Kira-kira, siapakah dia…?

Setelah gue melihat wajah cewek itu dengan saksama, ternyata dia Dinda, teman satu SD gue. Walaupun kami nggak sekelas, tapi ingatan gue sama cewek itu sangat kuat. Gue nggak nyangka dia bermetamorfosis jadi cewek cantik banget. Kulitnya putih, rambut panjangnya berponi, matanya bulat dengan bulu mata yang lentik, wajahnya seperti belasteran, bibirnya kecil berwarna merah muda, dan suaranya yang imut kayak anak kecil.

Tiba-tiba gue jadi pengin ngajakin dia ngobrol. Tapi gue terlalu gengsi buat memulai karena udah lama nggak ketemu. Terus takutnya kalau gue nanya duluan, berlagak sok akrab ngenalin diri sebagai temen SD, dia langsung


10

ngebales, “Anton yang mana ya, gue udah lupa tuh.” Atau yang lebih parah, “Oh, Anton yang dekil kayak gembel itu, ya? Kok nggak ada bedanya ya sekarang sama dulu.” Lalu tertawa sambil melengos ninggalin gue. Bikin gue kepengin menggali lubang kuburan gue sendiri.


11

“Woi! Liatin apaan lo, Tek?” sambar temen gue dari belakang,

“Ganggu aja lo!” umpat gue. “Gue lagi liatin anugerah dari Tuhan nih, cantik banget.” Kalimat itu terucap dengan tatapan terfokus ke arah Dinda.

Setelah itu gue memberanikan diri buat ngajakin Dinda ngobrol. Awalnya basi-basi nanyain kabar, keluarga, sekolah, sampai keadaan cuaca pun sempat gue tanyain saking gue nggak tahu harus ngomongin apa lagi. Untung aja gue nggak langsung nanyain harga sembako sama daging di pasar. Dan untungnya Dinda masih inget gue. Anton yang Anton aja, bukan yang dekil dan nggak ada bedanya dulu dan sekarang. Setelah itu kami tukeran nomor, dan setibanya di rumah, gue nyoba ngirimin pesan ke Dinda.

Hai Dinda, masih ingat aku nggak? Ini aku Atek.

Dan setelah gue baca lagi SMS yang gue kirim, gue baru sadar kalau itu adalah pembuka pesan paling basi yang pernah gue lakuin. Ya, iyalah dia masih ingat gue. Gue kan baru ketemu dan ngobrol sama dia siang tadi. Sumpah gue malu banget. Dasar bocah dekil!

Seiring berjalannya waktu, kami semakin dekat. Udah kayak orang pacaran padahal belum mengutarakan pe -


12

rasaan. Saat pengumuman kelulusan penerimaan murid baru, gue mendapatkan dua berita sekaligus. Satu berita baik dan satu berita kurang baik. Berita baiknya kalau gue diterima jadi murid baru di SMA yang gue impikan, sementara berita kurang baiknya ternyata gue sama Dinda nggak satu sekolah karena Dinda masuk ke sekolah favorit lainnya. Walaupun sekolah kami deketan, tapi tetap ada jarak yang memisahkan, dan gue takutnya ada cowok ganteng yang bakal pedekatein dia di sekolahnya.

SEMENJAK deket sama Dinda, gue mulai mempelajari segala sesuatu tentang cewek dari majalah yang biasa Nyokap sama Chaca baca. Mulai dari apa-apa aja yang mereka suka dan nggak suka. Berlanjut pada apa yang harus cowok lakukan dalam kondisi-kondisi tertentu, misalkan pas lagi PMS. Dan yang terpenting adalah apa yang nggak boleh para cowok lakukan pada seorang cewek. Seperti berbohong dan mengingkari janji, misalnya. Itu adalah kesalahan terbesar yang sulit untuk dimaafkan bagi para cewek. Dan kesalahan besar gue dimulai dari sini, di kencan pertama kami, saat gue dan Dinda janjian buat nonton film.

Gue udah janji buat menjemput Dinda jam tujuh malem, tapi gue tetep nungguin balesan dia buat kepastian. Apa-kah dia mau dijemput sesuai perjanjian awal, atau kita ketemu langsung di bioskop. Sebagai gentleman, nggak seharusnya gue nanyain itu ke gebetan. Normalnya gue


13

langsung jemput dia ke rumahnya. Nemuin orangtuanya buat minjem anaknya bentar buat diajak nonton. Seperti itulah seorang pria sejati saat mengajak kencan. Tapi ma-salahnya gue belum tahu alamat rumahnya, dan gue nungguin balesan dari dia buat jawaban alamat rumahnya

Sampai beberapa menit kemudian pesan dari gue belum dibales juga. Gue langsung nelepon Dinda, dan … nggak nyambung. Gue bingung harus ngapain saat itu. Lalu selintas pikiran membersit di benak gue. Apakah nggak ada balesan sama telepon nggak nyambung ini pertanda kalau kencan pertama kami ini batal? Sebuah kode, kalau Dinda lebih milih jalan sama cowok lain yang lebih keren di sekolahnya, daripada gue? Atau, dia lagi diapelin kakak kelasnya yang kapten basket, makanya dia nggak ngaktifin HP-nya?

Semua pikiran-pikiran buruk berseliweran di benak gue dan seketika itu juga bikin gue down. Padahal, gue udah nyiapin boneka sama bunga yang mau gue kasih ke dia selesai nonton nanti.

Setelah lama gue tenggelam dalam pikiran-pikiran yang dipenuhi prasangka buruk, gue melihat jam tangan. Udah setengah delapan, dan nggak ada satu pun pemberitahuan masuk di HP gue. Karena udah kadung mau keluar, akhirnya gue milih pergi buat malem mingguan ke rumah temen gue, daripada ngebangke di rumah. Menunggu sesuatu yang nggak pasti.

Saat lagi seru-seruan maen PS di rumah temen, tiba-tiba ada banyak pesan masuk di HP gue. Setelah gue lihat,


14

Jadi, selama tadi gue nungguin balesan dari dia, di waktu yang sama dia juga nungguin kabar dari gue? Jadi seka rang siapa yang salah? Gue? Gue yang salah atas semua ini?

Gue nggak ngerasa salah sebenernya. Terus kalau be -gitu, Dinda? Nah, dia juga nungguin pesan dari gue, semen -tara gue udah berkali-kali ngirim SMS dan nelepon dia. Terus siapa sebenarnya yang salah atas kesalahpahaman ini?

“Bentar, Tek, baru dapet sinyal nih. SMS dari cewek gue baru pada masuk sekarang,” curhat temen gue yang juga lagi ngutak-ngatik HP-nya.

Usut punya usut, ternyata sinyal yang telah menjadi orang ketiga dalam kehancuran kencan pertama kami ini. Dia yang bikin kisah gue sama Dinda jadi rumit. Tanpa mikir panjang lagi gue langsung cabut ke rumah Dinda yang alamatnya udah dia kirim lewat salah satu pesan tadi. Sesekali gue melirik ke jok belakang melalui spion. Di sana teronggok buket bunga sama boneka yang seharusnya

Makasih udah bohong sama aku. Lain kali jangan janji dan ngebuat orang lain nunggu dengan janji palsumu. Satu hal, jangan pernah hubungi aku lagi.

Dinda

ternyata semua pesan itu dari Dinda. Banyak banget, tapi gue langsung tertohok begitu baca pesan terakhirnya.


15

sekarang udah dipeluk-peluk sama diciumi Dinda sambil bilang, “Makasih ya, Tek. Kamu kok romantis banget.” Namun rencana romantis ala gue itu gagal total.

Begitu sampai di depan rumah yang gue yakin rumah-nya Dinda, gue langsung markir mobil di depan gerbang-nya. Gue turun dengan nenteng kantong keresek ala ibu-ibu yang isinya boneka dan bunga. Tangan gue bergerak refleks menekan bel, sampai berkali-kali dan nggak ada jawaban. Saat gue menengok jam tangan, sudah jam sembilan. Untuk terakhir gue mengetuk, lalu tiba-tiba ada seseorang menyahut dari dalam.

“Sebentar, ya.” Dan pintu pun terbuka.Gue mendapati seorang perempuan paruh baya ber-

badan kurus dengan rambut yang udah mulai memutih. Di antara ketakutan gue akan ancaman Dinda yang dikirim lewat SMS, gue agak syok melihat perempuan di depan gue ini. Dinda, kenapa kamu berubah secepat ini…?

Pikiran gue tertepis saat perempuan paruh baya ini menjelaskan kalau Dinda pergi bareng orangtuanya setengah jam yang lalu. Dan saat itulah kaki gue terasa lemas kayak agar-agar. Banyak banget rintangan saat gue mau meraih hati seseorang yang gue suka. Karena nggak mau pulang dengan tangan kosong, gue nitipin keresek berisi boneka dan bunga di tangan gue ke si ibu.

“Nitip ini buat Dinda ya, Bu. Sekalian bilang maaf dari saya.”

Gue pulang dengan hati kosong. Seandainya ada mbak kunti yang lewat di depan gue malem itu, ada kemungkinan


16

dia bisa memasuki hati gue. Gue langsung ke mobil dan kembali ke rumah temen gue. Nggak tahu kenapa kesalahpahaman sinyal ini bisa bikin hubungan gue sama Dinda jadi kacau kayak gini.

Dalam perjalanan, HP gue berbunyi. Dari Dinda. Dengan sigap gue langsung menerimanya.

“Halo, Dinda. Tadi aku udah ke rumah kamu, tapi kata-nya kamunya nggak ada. Aku mau jelasin sesuatu sama kamu.” Gue langsung mengonfrontasinya.

“Mau jelasin apa lagi? Semuanya udah jelas.” Suara Dinda kedengaran datar.

“Tadi itu ternyata sinyal HP aku lagi kacau. Sejak tadi aku udah berusaha buat ngehubungin kamu, mastiin kita jadi nonton apa enggak. Tapi nggak ada satu pun balesan dari kamu. Telepon juga nggak nyambung. Jadi aku pikir—”

“Udah, ya, nggak usah repot-repot ke rumah aku lagi. Dan nggak usah bawain kado segala. Besok aku balikin kado dari kamu. Kasih aja ke cewek lain yang mungkin malem ini lagi kamu ajakin jalan sebagai ganti aku. Cewek yang jadi alesan kenapa kamu telat dateng ke rumah.”

Saat gue mau motong buat jelasin, Dinda udah motong duluan.

“Udah, ya. Aku tutup teleponnya.”Tut … tut … tut….Gue terdiam di dalam mobil setelah menyimpan HP dan

mencoba kembali fokus nyetir. Kenapa Dinda jadi mikir gue lagi jalan sama cewek lain ya? Yang awalnya sinyal eror terus batal nonton, kok jadi merambat ke mana-mana sih?


anton tanjung - s3.amazonaws.com · dan seketika itu juga bikin gue down. padahal, gue udah nyiapin...

Documents