annida

47
“Ini bule, apa abis nyebur ke air mendidih sih? Kok biar bulu mata ikut memutih?” Tak ada seseorang pun yang menginginkan kekurangan dalam dirinya, meski kesempurnaan juga mustahil dimiliki seseorang. Ada saja yang kurang, membuat kesempurnaan itu hanyalah angan. Hendra, cowok berotak cerdas dan bebas menggunakan fasilitas yang diinginkan. Mobil, motor gede, notebook, apalagi yang namanya ponsel, bukanlah barang langka buat Hendra. Tapi apa arti itu semua jika selalu merasa keberadaannya di lingkungan tempatnya bergaul, kurang mendapat tempat. Hendra bukan cowok yang kasar apalagi tempramental. Bahkan sebaliknya, Hendra punya senyum yang setiap orang berhak mendapatkannya jika dia mau, karena Hendra memang tak pilih-pilih orang untuk disenyumi. Bahkan Hendra terkenal royal, hingga setiap yang dimilikinya, mulai dari uang, pulsa, hingga tanpa segan mengulurkan kartu kredit jika seseorang membutuhkan bantuannya. Lalu apa yang kurang dalam diri Hendra? Pigmen, itu jawabnya. Kondisi genetisnya yang tak sempurna, menyebabkan organisme dalam tubuhnya tak bisa membentuk pigmen. Dan lahirlah dia sebagai manusia albino. Rambut dan kulit memutih tak wajar. Keadaan seperti itu tentu saja membuatnya tak bisa pilih-pilih teman, apalagi pacar. Hendra pernah menitikkan air mata, saat dua tahun lalu dia menyaksikan klip lagu Chrisye, Seperti Yang Kau Minta, yang bercerita seorang cowok albino mendamba cinta seorang cewek yang diidamkannya. Lagu itu, hingga kini tetap dipilihnya sebagai lagu ”kebangsaan”. Meski sebenarnya dia tak pernah mendamba pada cewek manapun. Dia tahu pasti, apa akhir dari yang didambakannya, luka! “Mama Via masuk rumah sakit. Ada nggak yang bisa ngantar Via ke sana.” ucap pak Hans yang baru terima telepon dari papa Via. Via di sampingnya sudah bercucuran air mata. “Saya bisa!” . Hendra tak menunggu persetujuan dari siapa-siapa, dia telah berlari ke arah tempat parkir untuk mengambil mobilnya. Padahal, Via bagi Hendra masihlah asing. Dia hanya butuh alamat rumah sakit. Tentang siapa Via dan bagaimana dengan pelajaran Fisika yang ditinggalkannya, Hendra tak mengacuhkannya. “Terima kasih, Kak Hendra mau menolongku.” Hendra hanya melirik sekali ke wajah Via, lalu kembali konsentrasi pada arus lalu lintas. “Oh iya, namaku Via. Anak kelas IA. Kalo nggak salah, Kak Hendra kelas III IPA 1 ya?” Hendra hanya mengangguk. Gara-gara dia albino, seluruh penghuni sekolah kenal dengan dirinya. Hendra pernah berangan, dia bisa seperti Irfan, Ansar, ataupun Farid yang terkenal seantero sekolah karena digilai cewek. Tapi keyataannya, orang lebih mengenal dia akibat kekurangan yang dimilikinya. Entah di sekolah, mal, ataupun di tempat keramaian lainya, Hendra selalu jadi pusat perhatian. Bahkan pernah sekali, saat dia mencari alamat teman di sebuah perkampungan kumuh, begitu dia keluar dari mobil, anak-anak langsung mengerumuni dia sambil bernyanyi; “Bule masuk kampung… bule masuk kampung!” “Ini bule apa abis nyebur ke air mendidih sih? Kok sampai bulu mata ikut memutih?” “Iya, ya? Semuanya putih! Putih seperti ada kelainan. Biasanya kan, bule cakep. Ini kok lebih mirip… atau jangan-jangan alien nih?” “Kakak bule dari mana? Pasti tinggalnya di negeri bersalju, sampe putih begini. Atau kakak ini pangeran yang akan mempersunting Putri Salju? Tapi kok, pangerannya nggak

Upload: ekomuba21

Post on 11-Dec-2015

56 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

paper

TRANSCRIPT

“Ini bule, apa abis nyebur ke air mendidih sih? Kok biar bulu mata ikut memutih?”

Tak ada seseorang pun yang menginginkan kekurangan dalam dirinya, meski kesempurnaan juga mustahil dimiliki seseorang. Ada saja yang kurang, membuat kesempurnaan itu hanyalah angan. Hendra, cowok berotak cerdas dan bebas menggunakan fasilitas yang diinginkan. Mobil, motor gede, notebook, apalagi yang namanya ponsel, bukanlah barang langka buat Hendra. Tapi apa arti itu semua jika selalu merasa keberadaannya di lingkungan tempatnya bergaul, kurang mendapat tempat.Hendra bukan cowok yang kasar apalagi tempramental. Bahkan sebaliknya, Hendra punya senyum yang setiap orang berhak mendapatkannya jika dia mau, karena Hendra memang tak pilih-pilih orang untuk disenyumi. Bahkan Hendra terkenal royal, hingga setiap yang dimilikinya, mulai dari uang, pulsa, hingga tanpa segan mengulurkan kartu kredit jika seseorang membutuhkan bantuannya.Lalu apa yang kurang dalam diri Hendra? Pigmen, itu jawabnya. Kondisi genetisnya yang tak sempurna, menyebabkan organisme dalam tubuhnya tak bisa membentuk pigmen. Dan lahirlah dia sebagai manusia albino. Rambut dan kulit memutih tak wajar. Keadaan seperti itu tentu saja membuatnya tak bisa pilih-pilih teman, apalagi pacar.Hendra pernah menitikkan air mata, saat dua tahun lalu dia menyaksikan klip lagu Chrisye, Seperti Yang Kau Minta, yang bercerita seorang cowok albino mendamba cinta seorang cewek yang diidamkannya. Lagu itu, hingga kini tetap dipilihnya sebagai lagu ”kebangsaan”. Meski sebenarnya dia tak pernah mendamba pada cewek manapun. Dia tahu pasti, apa akhir dari yang didambakannya, luka!“Mama Via masuk rumah sakit. Ada nggak yang bisa ngantar Via ke sana.” ucap pak Hans yang baru terima telepon dari papa Via. Via di sampingnya sudah bercucuran air mata. “Saya bisa!” .

Hendra tak menunggu persetujuan dari siapa-siapa, dia telah berlari ke arah tempat parkir untuk mengambil mobilnya. Padahal, Via bagi Hendra masihlah asing. Dia hanya butuh alamat rumah sakit. Tentang siapa Via dan bagaimana dengan pelajaran Fisika yang ditinggalkannya, Hendra tak mengacuhkannya. “Terima kasih, Kak Hendra mau menolongku.”Hendra hanya melirik sekali ke wajah Via, lalu kembali konsentrasi pada arus lalu lintas.“Oh iya, namaku Via. Anak kelas IA. Kalo nggak salah, Kak Hendra kelas III IPA 1 ya?”Hendra hanya mengangguk. Gara-gara dia albino, seluruh penghuni sekolah kenal dengan dirinya.Hendra pernah berangan, dia bisa seperti Irfan, Ansar, ataupun Farid yang terkenal seantero sekolah karena digilai cewek. Tapi keyataannya, orang lebih mengenal dia akibat kekurangan yang dimilikinya.Entah di sekolah, mal, ataupun di tempat keramaian lainya, Hendra selalu jadi pusat perhatian. Bahkan pernah sekali, saat dia mencari alamat teman di sebuah perkampungan kumuh, begitu dia keluar dari mobil, anak-anak langsung mengerumuni dia sambil bernyanyi; “Bule masuk kampung… bule masuk kampung!”“Ini bule apa abis nyebur ke air mendidih sih? Kok sampai bulu mata ikut memutih?”“Iya, ya? Semuanya putih! Putih seperti ada kelainan. Biasanya kan, bule cakep. Ini kok lebih mirip… atau jangan-jangan alien nih?”“Kakak bule dari mana? Pasti tinggalnya di negeri bersalju, sampe putih begini. Atau kakak ini pangeran yang akan mempersunting Putri Salju? Tapi kok, pangerannya nggak gagah?”Hendra berusaha tersenyum, meski di balik dadanya dia merasakan luka yang lumayan sakit. Saat terluka seperti itu, dia terkadang meragukan keadilan Tuhan, yang memperlihatkan kuasa-Nya dengan menciptakan makhluk serupa dirinya. Tapi keraguan itu diusirnya cepat saat dia terjaga bahwa masih banyak yang bernasib lebih malang daripada dirinya. Dia memang tak bebas memilih teman apalagi pacar, tapi dia bebas menggunakan uang. Dia memang bisa mengeluh dengan kondisi kulit tubuhnya yang memutih tak wajar, tapi tak sedikit orang yang ingin punya kaki, ingin punya tangan, ingin tubuhnya sempurna. Jadi, dia harus mensyukuri apa yang dimilikinya kini. “Kak Hendra melamun?”Via mencoba mengusik kebisuan yang menjalar sepanjang perjalanan ke rumah sakit.“Nggak tahu harus cerita apa. Oh iya, mamamu sakit apa?”Via memulai jawabannya dengan air mata. Inilah yang tak diinginkan Hendra hingga memilih asyik dengan pikirannya. Dia takut kesedihan Via teraduk jika dia bertanya tentang mamanya.“Perusahaan papaku bangkrut. Mama memang ada gejala hipertensi. Aku takut, dia stroke menerima kenyataan pahit yang perlahan mulai meresap ke keluarga kami.”

“Perlahan meresap?” selidik Hendra.“Papa tiba-tiba punya wanita simpanan, lalu perusahaan bangkrut, dan Irfan kakakku, minggu lalu ditemukan hampir mati akibat over dosis.”“Jadi kamu adiknya Irfan?”Hendra sangat kenal dengan Irfan, meski beda kelas. Irfan yang cakep, setiap semester berganti pacar, bahkan Hendra selalu berangan, seandainya saja dia terlahir seberuntung Irfan. Tapi ternyata…? Kali ini dia merasa jauh lebih beruntung daripada Irfan yang selama ini sempurna di matanya.“Padahal aku sudah sering nasihatin Kak Irfan, biar nggak rapuh dengan kenyataan yang tiba-tiba berubah pahit. Tapi dia selalu beralasan jika dia malu pada teman-teman kalo ketahuan sebagai anak dari keluarga broken home.” Helaan napas Hendra berubah berat. Dia mulai merasa bahwa dirinya tak semalang yang dipikirkannya selama ini.“Gitu juga dengan mama. Berkali-kali aku ingatkan untuk tegar, kerapuhan hanya akan membuat suasana semakin pahit. Tapi nggak nyangka, mama merasakan ini sebagai ujian yang maha dahsyat.”Mobil telah tiba di rumah sakit. Sebelum turun dari mobil, Hendra menyempatkan diri menatap sekilas ke arah Via. Beberapa menit saja bersamanya, dia mendapat banyak pelajaran. Via bukan cewek sembarangan, bisik batinnya memuji. Saat papanya keliru, harusnya dia yang rapuh, bukan Irfan yang cowok ataupun mamanya yang telah banyak mengecap garam kehidupan. Tapi sekali lagi, Hendra hanya bisa memuji Via dalam hati. Dia tak boleh menyimpan kagum berlebihan, apalagi sampai mengucapkan cinta, karena akan berkesan pamrih dari bantuan yang telah diberikan pada Via.“Makasih, Ndra!”. Hendra mengangguk sambil tersenyum, melepas langkah Via menelusuri koridor rumah sakit. Saat hendak berbalik pulang ke sekolah, tiba-tiba seorang ibu menampakkan wajah resah, bergegas ke arah telpon umum yang menempel di dinding rumah sakit.Hendra menghentikan langkah. Perlahan didengarnya suara ibu yang menelpon itu berkesan memelas.“Tolonglah, Bu! Anak saya sakit. Gaji saya bulan depan nggak usah dibayar, asal ibu mau meminjamkan uang untuk biaya perawatan anak saya.”Hendra melirik ibu setengah baya itu. Wajahnya jelas menampakkan kekecewaan. Gagang telpon diletakkan dengan lemas.“Ada yang bisa kubantu, Bu?” Hendra mencoba mendekat.Wanita itu terkesima. Memperhatikan Hendra dari ujung kaki hingga ujung rambut. Hendra yakin, keheranan ibu itu bukan karena dia menggunakan seragam sekolah di tengah rumah sakit. Tapi karena dia albino.“Tadi aku dengar Ibu minjam uang. Kebetulan aku punya uang tunai. Tadi mau bayar SPP tapi ada teman yang butuh antaran ke sini. Ibu pakai aja uang ini!” Wanita itu semakin keheranan. Sejenak dia merasa dirinya tengah bermimpi dengan mengucek-ngucek matanya yang basah air mata. Hendra meraih tangan wanita itu lalu memegangkan uang ke tangannya.“Semoga anak Ibu cepat sembuh!”“Terima kasih,”Hanya batin ibu itu yang membisikkan kalimat. Dia masih juga belum percaya, jika dia bisa mendapatkan uang dari orang yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Padahal, dia baru saja memelas tapi tak berhasil menggugah hati majikannya, yang selama ini menggunakan tenaganya untuk mencuci dan mengurus segala keperluan dapur.Sejak bangun pagi hingga menjelang siang seperti ini, Hendra telah dua kali memberikan yang terbaik yang dia bisa. Bukan maksud menghitung ataupun mengingat terus apa yang telah diberikannya, tapi dia selalu berusaha mengingat senyum orang-orang yang telah dibantunya. Hendra sangat bahagia saat melihat orang bisa tersenyum karena bantuannya, meski tak jarang dia menerima senyum ”aneh” karena kekurangan yang dimilikinya. Hari ini bukan hari pertama Hendra menawarkan bantuan. Dia selalu seperti itu, tak bisa berkata tidak, saat seseorang meminta bantuannya. Bukan karena ingin dipuji sebagai malaikat, tapi semata karena ingin menutupi kekurangan yang dimilikinya dengan kebaikan.Pulang dari rumah sakit menuju sekolah, laju mobilnya lebih cepat dari biasanya. Dengan harapan bisa ikut ulangan harian Fisika. Tapi siapa sangka, kemahirannya membawa mobil, teruji saat dengan tiba-tiba seorang pengemis tua yang kerap mangkal di lampu merah Ahmad Yani, menyeberang. Dia telah

berusaha menghindar, dan pengemis itu pun selamat, tapi mobil sedannya terpuruk di depan mobil kanvas yang juga melaju cepat dari arah yang berlawanan. Dia masih sempat melihat pengemis itu berlari ke arahnya untuk menolong, tapi semua berubah gelap kemudian. Dalam gelap itu, ada sesuatu yang terlepas dari raganya. Melayang ke atas, meninggalkan tubuhnya yang berlumuran darah dan memacetkan arus lalu lintas.Pengemis yang tadi diselamatkannya, ternyata datang bukan untuk menolong tapi untuk mengambil dompet dan ponselnya. Hendra melihatnya dengan jelas. Saat orang-orang mulai mengerumuninya, satu per satu barang berharga miliknya, dijarah. Dia hanya memandangi tubuhnya yang berlumuraan darah tanpa bisa berbuat apa-apa. Bahkan hingga tubuhnya dilarikan ke rumah sakit, dia belum bisa apa-apa. Tapi jiwanya yang telah terpisah dari raga bisa menyaksikan semua yang terjadi pada dirinya. Jiwanya menangis ketika hingga dua hari di rumah sakit, dia belum juga dibesuk siapa-siapa. Semua karena identitas tentang dirinya, kabur karena dompetnya ”diselamatkan” saat kecelakaan, sementara wajahnya tak bisa lagi dikenali akibat luka. Ke mana semua orang yang pernah ditolongnya? Seolah tak ada yang merasa kehilangan dirinya, untuk kemudian berusaha mencari keberadaannya.Hendra hampir saja menganggap dirinya telah mati, jika dia tak menyaksikan jarum infus masih menancap di nadinya, layar pengukur detak jantung masih menampakkan gerakan garis kurva tak beraturan.Menjelang siang, seseorang masuk ke dalam kamar perawatannya. Lelaki cakep dengan wajah yang bersinar. Dia mencoba mengingat, di mana dia pernah bertemu dengan orang itu, atau bahkan mungkin pernah dia tolong sebelumnya. Lama dicarinya, tak satu pun file tentang orang itu tersimpan di memorinya. Yang membuatnya tersentak, saat lelaki berseragam putih bersih itu mengulurkan tangan untuknya, bukan untuk raganya yang masih belum bisa apa-apa, tapi pada jiwanya yang kini melayang di sekitar tubuh tak berdayanya. Dia satu-satunya yang bisa melihat keberadaannya. Lalu dengan suara lembut, mengajaknya untuk pergi dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik dari yang selama ini dilaluinya. Hendra percaya saja. Karena selama ini dia memang selalu merasa, hidup tak adil untuknya. Menolong tanpa pamrih, tapi saat dia butuh seseorang untuk memberinya semangat hidup, tak ada yang ingin duduk di sisinya.Hendra tak bisa mungkir bahwa dia keberatan terlahir sebagai manusia albino, meski sesering mungkin dia mengambil orang yang lebih cacat dari dirinya sebagai pembanding. Dia pun tak merasa salah dengan pilihannya untuk ikut bersama dengan sosok berseragam putih yang menjanjikan kehidupan yang jauh lebih baik. Hendra menyambut uluran tangan sosok berseragam putih itu. Suster panik menghubungi dokter. Tapi terlambat, detak jantungnya yang mulai soak sejak kecelakaan, pasif di detik berikutnya. Di detik yang sama, kepergian Hendra memberi firasat pada orang-orang terdekatnya. Di rumah, mama dan papanya yang selama ini menganggap Hendra sedang berkunjung dan tinggal hidup bersama anak panti seperti yang selama ini dilakukannya, sering bermimpi tentang Hendra yang pergi dengan seorang lelaki berjubah putih.Sementara di sekolah, Via dan semua orang yang pernah ditolongnya, tak pernah menduga jika ”malaikat putih” yang selama ini menolongnya, telah pergi. Sosoknya yang albino mungkin saja tak membuat orang kehilangan warna karena ketidakhadirannya, tapi ketulusan hati Hendra jarang bisa menyerupainya.

Sajadah-sajadah

Siapa sih yang tak tahu sajadah. Barang yang hanya berupa lembaran kain dengan berbagai motif dan bahan itu sangat mudah kita jumpai. Bagi kebanyakan orang sajadah adalah sebuah kemestian ketika hendak melakukan shalat, terutama shalat jamaah. Walaupun sebagian masjid telah menyediakan karpet yang bagus dan mahal, tapi tetap saja sajadah seolah menjadi kebutuhan tersendiri.

            Husna tidak menyalahkan keberadaan sajadah. Ia pun juga memiliki sajadah kesayangan. Adakalanya Husna sangat terbantu dengan sajadah, karena dapat menjadi alas ketika shalat, saat menyetrika, maupun saat ingin selonjor

tanpa harus kedinginan. Tetapi kali ini Husna memang harus berpikir puluhan kali ketika akan menyertakan sajadah untuk shalat jamaah Maghrib di masjid dekat tempat kosnya. Kebiasaan barunya ini cukup menjengkelkan teman kosnya. Ke masjid selalu terlambat.

“Husnaaaa! Cepetan, ntar telat lagi, lho,” teriak Nina dari luar kamar. Tak ada jawaban.

            Klek! Pintu kamar terbuka dan wajah bulat Nina menyembul dengan balutan mukena dari balik pintu.

            “Lagi ngapain, sih? Cepet!”

Husna menoleh sekilas. Pandangannya kembali tertuju pada sajadah biru yang terlipat rapi di tepi dipan. Membawanya berarti menyertakan beban berat berton-ton ke masjid. Tapi kalaupun ditinggal bukan berarti masalah akan selesai.

            “Bawa… nggak... bawa… nggak… bawa…” Husna menghitung kancing bajunya dengan serius.

            “Kamu tuh, mau shalat jamaah apa nggak, sih? Atau mau berangkat sendiri?”

            “Sebentar, dong. Lagi pusing, nih. Cerewet amat.”

            Husna ragu-ragu menyentuh sajadahnya. Saat jemarinya hampir menyentuh bahan beludru itu, buru-buru ia menariknya. Nina berdecak sebal.

            “Ya Allah, Husna. Kalau mau bawa ya bawa. Kalau nggak, ya nggak. Pusing amat!” Husna hanya membisu. “Udahlah aku berangkat duluan aja. Daripada menyaksikan orang yang sajadah-phobinya kumat.”

            “Kalau kamu berangkat duluan, aku akan shalat sendiri aja di rumah.”

            “Eh, masa gara-gara sajadah sampai nggak ke masjid? Ingat setelah shalat nanti ada rapat terakhir membahas persiapan pesantren adik-adik TPA yang tinggal tiga hari lagi.” Nina memperhatikan tetangga kamarnya dengan seksama. Wajah Husna benar-benar tampak bingung. Dengan sabar yang dipaksakan, akhirnya Nina menjajarinya di dipan. Ia tak lagi peduli dengan jarum jam yang terus bergerak ke arah angka tujuh.

            “Sebenarnya ada apa sih?” Husna menatap mata Nina sesaat. Kepalanya lurus lagi.

            “Aku, malu...”

            “Malu? Malu dengan siapa? Dan kenapa? Tumben kamu yang biasanya cuek bisa malu. Lebih sering kamu itu bersikap yang malu-maluin.”

            “Aku serius, Nin!”

            “Oke, oke. Tapi kenapa?”

            “Yang pasti aku malu gara-gara sajadah itu.”

            “Eh, ingat tujuan kita. Kemarin kita bersepakat bahwa akan sering-sering shalat jamaah di masjid. Bukan hanya itu, kita pun tidak boleh mengambil tempat di shaf yang sama. Agar kita bisa membaur dengan remaja dan ibu-ibu yang lain. Katanya ingin membuat forum kajian untuk remaja dan ibu-ibu. Belum-belum sudah mutung. Kapan berhasil dakwah kita kalau seperti ini?”

            Husna tersenyum dalam hati melihat Nina berkata sebijak itu. Dalam hati ia senang punya teman yang ceria dan baik seperti Nina. Yah, meskipun sering iseng dan jail.

             “Katanya kita ini sodara. Kalau ada masalah kan harus dipecahkan bersama. Apalagi kalau ternyata masalahnya bisa menghambat tujuan mulia kita.”

            “Baiklah, tapi kamu harus berjanji satu hal.”

            “Oke.”

            “Kamu harus serius.” Nina mengangguk mantap.

***

            Awalnya Husna begitu senang membawa sajadah birunya ke masjid untuk shalat jamaah. Itu memang sajadah kesayangannya karena ia membeli dari hasil tabungannya. Ia pun berharap sajadahnya bisa membawa berkah. Siapa tahu ada orang yang juga membutuhkan alas shalat. Kalau hal itu terjadi peluang mendapat pahala semakin banyak. Dan ternyata impiannya tidak percuma.

            “Terima kasih, Dek. Tadi saya buru-buru ke masjid. Jadi lupa nggak bawa sajadah.” Seorang ibu setengah baya tersenyum ramah ketika Husna membagi sajadah dengannya. Tapi rasa senang itu tidak berlangsung lama. Saat shalat mulai tampaklah sebuah permasalahan yang bagi Husna tidak bisa diremehkan. Shaf shalat tidak rapat. Padahal Umar bin Khattab pernah merapikan shaf dengan pedangnya karena begitu pentingnya shaf yang rapat dan lurus agar tidak ada celah bagi setan untuk mengganggu.

            Saat shalat, manusia harus melepaskan semua atribut dunianya. Tak ada lagi perbedaan pangkat, golongan dan kekayaan. Semua jamaah shalat bersatu dan taat kepada sang imam. Tak ada lagi sekat sosial. Yang ada, hanya ketundukan pada Sang Khalik.

            Husna meyakini bahwa penyebab utama dari fenomena yang ada di depannya bisa jadi karena mereka tidak tahu betapa pentingnya shaf shalat yang rapat dan rapi. Dan kondisi itu diperparah dengan sajadah. Para jamaah shalat lebih memilih posisi di tengah sajadah masing-masing. Mereka tidak peduli adanya ruang kosong akibat sajadah yang digelar. Bahkan ada beberapa orang yang tanpa beban meletakkan sajadahnya sehasta di sebelah sajadah lainnya. Padahal kalau mau, tempat itu masih bisa diisi satu orang lagi. Tapi entahlah, sepertinya telah menjadi sebuah kesepakatan jika kesalahan dilakukan bersama maka statusnya kan berubah menjadi benar.

            Sebenarnya sang imam selalu mengingatkan agar merapatkan dan meluruskan shaf sebelum shalat. Tapi seruan imam itu seperti angin yang berlalu begitu saja. Buktinya setiap hari kondisinya selalu sama. Dan Husna bertekad akan berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan yang ada. Baginya ini adalah peluang amal yang harus dimanfaatkan.

***

            Husna membalas tatapan sinis seorang ibu muda dengan senyum termanisnya. Ibu muda itu kelihatan dari orang yang cukup berada. Mukenanya jelas tergolong mahal, tapi sayang wajahnya tidak ramah. Kalau ia mau tersenyum sedikit saja, pasti kelihatan sangat cantik. Merasa senyumnya tak terbalas, Husna menjadi jengah.

            “Ehm… maaf, Tante. Apa ada yang salah dengan saya?” Husna bertanya dengan hati-hati. Suaranya dibuat sepelan mungkin agar tidak mengganggu yang lain.

            “Lho, nggak nyadar juga. Tampangnya, sih mahasiswa tapi nggak tahu sopan santun!” jawabnya pedas. Meskipun suara si Tante pelan tapi cukup membuat wajah-wajah di sekitar mereka menoleh.

            “Mbak, kenapa nempel-nempel dekat saya? Seenaknya saja menumpuki sajadah saya dengan sajadah murahan! Ini sajadah mahal, saya beli dari Arab saat umrah seminggu yang lalu. Harganya satu juta lebih. Emang kalau lecek dan rusak bisa ngganti?”

Muka Husna seperti disiram lahar Merapi yang baru keluar dari kawah. Wajahnya memerah, telinganya memanas dan kelopak matanya membasah pelan. Pandangannya segera terpaku pada sajadah biru yang menutupi sebagian sajadah si Tante. Dia melakukan semua itu karena ingin shaf shalat menjadi rapat. Apalagi posisinya yang ada di ujung paling kiri barisan membuatnya harus mendekat ke arah kanan. Tapi Husna benar-benar tidak menyangka akan mendapat reaksi seperti itu.

“Maaf Tante, saya hanya tidak ingin shaf-nya renggang.” Husna berkata sehalus mungkin.

            “Tidak usah menggurui, saya sudah pernah naik haji dan umrah dua kali.”

            Dengan cepat si Tante berdiri dan menyambar sajadah mahalnya. Ia bergegas ke barisan belakang. Tinggallah Husna yang menjadi sorotan berpuluh pasang mata dengan berjuta ekspresi. Ada ekspresi simpati karena kasihan, ekspresi gemes dan gregetan, ekspresi geli karena menahan tawa sampai yang cuek seolah tak terjadi apa-apa. Husna tidak lagi peduli dengan tatapan mata yang tertuju kepadanya. Yang ia rasakan cuma satu: malu!

***

            Husna mulai hati-hati bersikap, karena tak semua niat baik berbuntut manis. Kali lain ia duduk di sebelah seorang gadis sebaya. Sajadah gadis itu cukup lebar hampir dua kali sajadahnya.

            “Maaf, Mbak. Boleh saya letakkan sajadah saya di bawah sajadah Mbak?”

            “Tapi, apa Mbak nggak takut sajadahnya kotor?” Si Gadis agak ragu.

            “Insya Allah, nggak apa-apa. Saya cuma ingin shaf shalat kita rapat. Kan setiap mau shalat kita selalu diingatkan imam untuk meluruskan dan merapikan shaf.”

            “Oo, begitu, ya. Silakan kalau begitu.”

            Setelah mendapat izin, Husna meletakkan sajadahnya di bawah sajadah merah si Gadis.

            “Kalau boleh saya tahu, kenapa sih Mbak kita harus rapat shafnya?”

Husna merasa mendapat respon positif. Dia tidak ingin menyiakan kesempatan baik itu.

            “Dalam shalat berjamaah, kerapatan shaf merupakan salah satu syarat diterimanya shalat. Kita adalah umat yang satu dan harus tunduk dengan setiap perintah imam. Tak ada lagi perbedaan pejabat dan rakyat biasa, orang kaya dan miskin. Semua menjadi sama di hadapan Allah. Shaf yang rapat juga mencerminkan eratnya hubungan orang muslim, sehingga tidak mudah dipecah belah. Jadi siapapun yang shalat di sebelah kita, kita harus merapatkan shaf dengannya. Shaf yang tidak rapat berarti menyediakan tempat untuk setan yang akan selalu mengganggu kita. Jadi dengan shaf yang rapi, akan membantu kita khusyu’ dalam shalat. Kalau saat kita menghadap Allah saja masih tidak dapat bersatu dan bersama dengan yang lain, bagaimana kita bisa rukun dalam kehidupan sehari-hari?”

            Si Gadis mengangguk-angguk dan menyambut hangat seruan Husna. Tapi sambutan hangat itu segera lenyap ketika seorang nenek menghampiri mereka.

            “Neng, kenapa sajadah saya dipake? Nenek itu baru belajar shalat dan harus pake sajadah biar nggak kedinginan. Masa baru ditinggal wudhu sebentar sajadah sudah lenyap. Di tempat suci begini kok masih sempat ngembat barang orang.”

            Husna berusaha tersenyum dengan tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

            “Maaf, Nek, saya dari tadi di sini. Dan ini sajadah saya. Mungkin Nenek lupa menaruh sajadah Nenek.” Husna menjaga kalimatnya dengan hati-hati. Gadis di sebelahnya meliriknya curiga.

            “Kalau itu memang sajadah Neng, kenapa mesti disembunyikan di bawah sajadah orang lain?” tangan si Nenek menunjuk sajadahnya yang tertutup oleh sajadah si Gadis.

Tiba-tiba si Gadis berdiri.

            “Maaf, Mbak. Saya setuju dengan shaf yang rapat, tapi saya nggak mau sajadah saya dijadikan tempat menyembunyikan barang curian. Apalagi dengan kedok merapatkan shaf.” Husna ingin menjelaskan lebih jauh tapi si Gadis terlanjur pergi.

***

            Tawa Nina hampir meledak. Ia tutup mulutnya agar tidak bersuara karena teringat pesan Husna. Setelah berhasil menguasai diri ia mulai bersuara .

            “Kok nasibmu sial banget. Trus, si Nenek gimana?”

            “Pas si Gadis pergi, si Nenek baru sadar bahwa sajadahku memang berbeda, hanya mirip saja. Dia baru ingat bahwa sajadahnya dititipkan ke cucunya.”

            “Ya udah, mending nggak usah bawa saja.”

              “Sudah kucoba kemarin.”

             “Trus hasilnya?”

             “Aku harus mencuci mukenaku.”

             “Apa hubungannya?”

             “Kemarin aku kan telat, terpaksa shalat di teras yang basah karena hujan. Dan tidak ada seorang pun yang membagi sajadahnya untukku. Malah mereka memandang aneh padaku.” Nina mendengus prihatin sekaligus salut dengan upaya keras Husna untuk mengubah budaya shaf yang tidak rapat.

            “Ya, sudah. Kesepakatan untuk berpencar selama shalat jamaah kita cabut saja dulu. Untuk shaf yang rapat sepertinya kita harus memberi contoh.”

             “Maksudnya?”

            “Kita shalat bersebelahan saja. Biar orang-orang melihat kelurusan dan kerapian shaf kita. Sekalian kita mencoba memahamkan tentang pentingnya shaf yang rapat dan lurus. Mungkin perlu kita sosialisasikan lebih gencar. Bisa lewat mading, atau buletin.”

            “Sepertinya itu ide yang bagus. Tapi sekarang aku bawa sajadah nggak?”

            “Aduuuh! Sajadah lagi, sajadah lagi. Nggak usah bawa aja dulu. Ntar bermasalah lagi.”

            Berdua, mereka segera bergegas ke Masjid As Syuhada.. Sampai di masjid, suasana begitu lengang. Shaat  Isya telah dimulai. Mereka segera mencari tempat. Shaf shalat memang banyak yang tidak rapat, tapi sepertinya tidak muat kalau diisi, apalagi untuk dua orang sekaligus.

            “Sudah, kamu di sini aja. Aku akan mencari tempat lain. Ntar keburu habis shaat Isyanya. Sepertinya ini rakaat terakhir.”

            “Tapi kamu kan, nggak bawa sajadah.”

            “Nggak apa-apa. Hari ini kan, tidak hujan jadi lantainya nggak basah.”

Setelah bersusah payah akhirnya Husna menemukan tempat yang berada di sela-sela shaf. Sekilas Husna melirik ke kiri, dan dia agak terkejut ketika mengetahui bahwa orang yang sudah shalat di sebelahnya adalah nenek yang menuduhnya mencuri beberapa hari lalu. Sebenarnya Husna ingin mencari tempat lain. Tapi selain susah, juga akan menyita banyak waktu. Husna hampir saja melakukan takbiratul ikram ketika si Nenek menoleh dan tersenyum ke arahnya. Belum hilang rasa kagetnya, si Nenek malah membungkuk dan mengambil sajadahnya. Si Nenek berbagi sajadah dengannya. Reflek Husna menolak.

            “Lho, Nek nggak usah. Nenek shalat saja.” Spontan Husna bicara pada Nenek yang seharusnya masih shalat. Ia tidak sadar berbuat salah dengan mengajak bicara orang yang sedang shalat.

             “Nggak apa-apa. Maaf ya, kejadian kemarin.” Dengan santai si Nenek melanjutkan shalatnya seolah tidak terjadi apa-apa. Tinggal Husna yang kebingungan dengan semua yang terjadi. Ah, kalau saja aku tadi membawa sajadah pasti pasti Nenek tidak perlu berbuat begitu. Pe-er shaf belum selesai sudah ditambah pe-er Nenek yang harus diajari tentang tata cara shalat yang benar. Semoga ini adalah ladang amal baru yang bisa menjadi pendulang pahala.

Aksara Tanpa Kata

Jemari Andi tampak menari-nari di atas keyboard hitam komputernya. Matanya lurus menatap monitor. Bersamaan dengan tarian jarinya, muncul pula huruf-huruf di balik kaca monitor, satu per satu. Tulisannya sekarang sudah sekitar enam-tujuh halaman. Lumayan untuk dikirim ke media massa langganannya.

Andi Sulaiman Fahmi. Siapa yang tak kenal nama itu? Salah satu penulis yang sangat produktif saat ini. Tulisannya tersebar di berbagai media massa. Entah sudah berapa banyak judul tulisan hasil karangannya. Sulit untuk dihitung saking banyaknya.

Ia rentangkan kedua tangannya ke samping, sekadar menghilangkan pegal yang hinggap di badan. Sudah dua jam penuh ia duduk di depan komputer.

“Hoaaaeemm... akhirnya selesai juga,” ujarnya lirih menahan kantuk. Ia pandangi monitor komputer yang memampang tulisan terbarunya. Saat tiba-tiba...

“Tok... tok... tok...” “Tok... tok... tok...”

Terdengar ketukan beberapa kali pada pintu rumah. Andi memasang pendengaran kedua telinganya. Tak ada suara memanggil, betul-betul hanya ketukan.

“Siapa sih, malam-malam begini bertamu ke rumah orang?” komentar Andi dalam hati.

Ia melirik jam di tangan kirinya. Ha! Pukul 00.15. Siapa ya, pikirnya. Dengan langkah agak gontai karena rasa kantuk yang belum sepenuhnya pudar, dia berjalan menuju pintu rumahnya.

“Tok... tok... tok... ”

“Iya, ya, sabar dong!”

Sebelum membuka pintu, Andi mengintip dari lubang kunci di pintu agar tahu siapa gerangan tamunya. Dia tidak melihat siapa pun di situ. Rasa penasaran pun segera menggerayangi dirinya.

“Tok... tok... tok...”

Rasa itu semakin membuncah. Pintu pun akhirnya dibuka. Lalu tertangkap oleh kornea matanya sesosok hitam di samping pintu. Tiba-tiba, tanpa sepatah kata pun, sosok itu langsung masuk ke rumah. Andi kaget bukan main dibuatnya, hingga ia hanya mematung malihat semua itu terjadi. Mulutnya membentuk bulatan kecil, melongo.

“He! Apa-apaan ini?” serunya kemudian dari belakang sambil mengekori tamu tadi. Melalui lorong-lorong rumahnya, sosok tersebut langsung menuju ruang tamu. Tahu dari mana ia letak ruang tamu, pikir Andi.

Orang misterius itu kemudian duduk di atas sofa.

“Siapa Anda?” kejar Andi sembari mendaratkan berat badannya di sofa satu lagi, di depan ‘sang tamu’.

“Masa tidak kenal aku, Pak? Aku sudah akrab sekali dengan rumah ini.” Dia malah balik bertanya.

Jawaban itu membuat alis mata ‘tuan rumah’ terangkat, heran. Segera dibuka kembali halaman-halaman memori dalam otaknya. Dia periksa satu per satu, tapi ia tak kunjung menemukan sosok tersebut di dalamnya.

“Bahkan....” dia berhenti beberapa detik, sengaja membiarkan kalimatnya menggantung. “Aku lahir di sini!”

Rasa heran dalam diri Andi memuncak.

“Namamu siapa? Perasaan aku tidak punya keluarga sepertimu.”

“Panggilanku Shofa, panjangnya Shof pun Makin merenggang. Kenal kan dengan nama itu?”

Andi segera ingat nama itu, salah satu judul dari sekian tulisannya. Pernah dimuat di salah satu majalah bulanan beberapa waktu yang lalu.

“Anda tulis dalam diriku bahwa shof-shof itu harus rapat, rapi dan tertib. Anda juga katakan bahwa shof-shof yang renggang akan diisi oleh setan., yang akan membuat salat kita tidak khusyuk. Lalu anda kutip ayat Al Qur’an juga hadist Nabi untuk menguatkan pendapat. Hasilnya... perfect!” dia mengacungkan kedua ibu jarinya, “Hingga salah satu media mau menerbitkan diriku.”

“Lalu apa maksudmu datang ke sini?”

Pelan tapi pasti, sorot matanya berubah tambah seram. Dari auranya sekarang, bisa dipastikan ia datang ke tempat ini dengan membawa sekelumit marah. Beberapa waktu suasana hening, tak ada suara yang keluar dari mulut keduanya. Hingga....

“Aku ke sini hendak menuntutmu!”

“Menuntutku, apa maksudmu?”

Senyum sinis mengembang di bibir Andi. Paling-paling hanya gertakan. Bukankah sebagai penulis, sudah sering ia menerima gertakan-gertakan seperti ini? Apalagi kalau sudah menulis masalah politik. Lha, ini kan cuma....

Mata sosok itu menerawang jauh ke depan.

“Sekarang semua orang telah melihat dan membaca pada diriku. Ada sebagaian dari mereka yang sadar dan segolongan yang lain tetap acuh tak acuh.”

Pak Andi mulai menyimak dengan serius. Sinisnya hilang seketika, entah kenapa. Serasa ada sebuah kekuatan yang telah membuat hatinya ciut. Sosok itu kemudian melanjutkan penjelasannya.

“Anda tahu, golongan pertama tadi dulunya sering menyanjungku bahkan memuji-muji diriku karena telah membuat mereka sadar. Tapi sekarang, mereka berubah. Mereka mennolok-olok diriku. Katanya aku tak tahu diri! Aku bingung apa maksudnya. Setelah kuselidiki sebab-musababnya, akhirnya aku tahu. Pantesan mereka berkata begitu, wong penulisku saja masih enggan mengisi shof kosong di depannya.”

Sejenak sosok itu menatap Andi.

“Karena itu, aku datang kemari untuk  meminta pertanggungjawaban anda. Aku tak tahan mendengar olok-olok mereka.”

Andi tertunduk malu. Ingat akan perbuatannya beberapa hari lalu di Masjid Nurul Iman.

“Tok... tok... tok...”

Ketukan pintu terdengar kembali. Kali ini diiringi tangis yang memilukan.

“Masuk,” sambut Andi.

Andi sedikit kaget, tapi ia segera bisa mengatasinya. Bukan apa-apa, karena yang datang kali ini sosok hitam lagi.

“Aku malu, hik... hik...” suara tangisnya semakin terdengar jelas.

“Siapa kamu dan apa yang membuat kamu malu?” tanya Andi lembut.

Terbersit rasa kasihan melihatnya begitu. ‘Sang tamu’ belum bisa juga mengatasi diri, air matanya terus saja mengalir.

“Jangan menangis. Kalau begini terus, gimana saya bisa tahu masalah adik,” Andi memakai istilah adik untuk mencairkan suasana.

“Hiks... aku si Sedek. Nama asliku Sedekah Membawa Berkah.”

Andi mengernyitkan dahi.

“Masa Kakak lupa?” tangisnya terdengar pelan, “Aku adalah tulisan yang Kakak kirim ke majalah Bintang tiga bulan yang lalu, dan baru dimuat sebulan kemudian.”

Yang mendengarkan penjelasannya mengangguk-anggukkan kepala tanda ingat kembali, “Ya, ya. Aku ingat.”

“Kak, semua pembeli majalah Bintang telah membacaku. Kata mereka isiku bagus. Mereka bilang aku berbobot. Asal Kakak tahu, tidak sedikit dari mereka yang bersegera mengeluarkan zakat untuk mendapatkan keberkahan dalam harta mereka, sebagaimana yang Kakak maksud. Melihat itu, aku bangga sekali karena ternyata diriku bisa memberikan pencerahan bagi orang lain. Ta.. tapi, Kak, siang tadi mereka malah mengejekku, mencerca diriku. Hik... hik...” tangis itu pecah kembali.

Sekarang Andi tak bisa menyuruhnya berhenti menangis seperti tadi. Ia yakin ini berkaitan dengannya. Bahkan, semua ini gara-gara dirinya sendiri.

“Aku tanya mengapa mereka melakukan itu? Mereka menjawab ‘Hei, Sedek, penulismu itu agak kikir tahu!’ Malu sekali aku mendengar jawaban itu. Tak bisa kubayangkan merahnya wajahku waktu itu. Malu, Kak! Makanya, sekarang aku datang ke sini untuk mengadu.” Buliran air itu terus merayap di pipi, membuatnya semakin sesenggukan.

Sementara itu, ndi semakin menekuk dalam wajahnya. Mukanya merah padam, malu pada mereka berdua. Dia sekarang sadar bahwa tulisan yang ia karang selama ini masih banyak yang tidak sesuai dengan kelakuan dan sifatnya. Bayangan anak kecil yang diabaikannya di lampu merah beberapa hari lalu, berkelebat kembali dalam memorinya.

Keadaan hening beberapa saat. Andi hanyut dalam renungan. Terbetik di dasar hatinya untuk segera bertaubat dengan memperbaiki kelakuannya selama ini. Ya! Aku harus bertaubat. Aku harus berubah, mumpung Dia masih memberikanku kesempatan. Tekadnya dalam hati.

“Tok... tok... tok...”

“Ya, silakan masuk.” dia masih menekukkan wajah. Suasana masih kaku. Hening... hampa.

“Dbrakkkk!”

Andi mendongak, terperanjat. Suasana berubah tegang. Ia segera bangkit menuju asal suara itu datang dan kaget bukan main mendapati pintu rumahnya sudah bercerai dari engselnya. Sesosok hitam berdiri kokoh di balik pintu yang hancur karena tendangannya.

“Siapa kamu? Berani-beraninya merusak rumah orang.” Suara Andi terdengar penuh emosi. Pintu itu merupakan kenang-kenangan yang sangat berarti baginya. Benda itu ia beli dari hasil honor tulisannya yang pertama kali dimuat di media massa beberapa tahun silam.

“Hei, Andi! Masa kamu lupa? Aku si Silat, hasil tulisan tanganmu sendiri.”

“Nama panjangmu?” tanya Andi penuh selidik.

“Sudah kuduga, pasti kamu sudah lupa denganku,” lalu ia memandang tuan rumah dengan mata menyipit, “Panjangnya si Silaturahmi Membawa Berkah.”

“Apa maksudmu melakukan semua ini?” tanya Andi sambil menunjuk pintu yang sudah rebah di ujung jari kakinya.

“Ha... ha... ha...” sosok itu tertawa lepas.

Geraham Andi menggeretakkan giginya. Emosi pun tak tertahankan, dan akhirnya...

“Chiattttt!” refleks Andi mundur beberapa langkah.

Andi memasang kuda-kuda, mencoba menyerang kembali. Tetapi, sosok itu terlalu tangguh bagi pria itu yang sama sekali tidak punya latar belakang sebagai seorang pesilat. Berkali-kali bogem mentah mendarat di tubuhnya. Pria itu pun lemas menahan sakit. Kini tubuhnya bersender pasrah di dinding. Tamu terakhir itu pun mendekatinya. Lalu, diambilnya pot bunga yang terbuat dari kaca, dan....

“Ctarrrrr!”

Pot itu hancur-lebur setelah beradu kuat dengan kepala Andi. Serpihan kaca berhamburan di mana-mana. Andi merasakan sakit yang tiada tara. Ia meraung-raung sambil memegang kepalanya. Darah segar yang mengalir di wajahnya dibiarkannya begitu saja. Dia benar-benar kehabisan tenaga. Ia pasrah, hanya erangan kesakitan yang terucap dari lisannya.

“Andi! Aku sudah muak denganmu. Tulisanmu banyak yang tidak sesuai dengan perilakumu sehari-hari. Kau menulis hanya karena honor yang kau terima. Dasar mata duitan!”

Tanpa diduga....

Sosok hitam itu mengeluarkan sebilah belati dari balik pakaian. Mata Andi hanya bisa terbelalak mengetahui apa yang ia lihat. Tangan kekar itu menjambak rambut lawannya.

“Rasakan akibatnya!” ujarnya sambil menempelkan belati itu di leher Andi.

“Tapi, aku ingin taubat.” suara Andi mengiba.

“Terlambat, Andi!”

Benda itu berjalan perlahan. Lalu....

 “Tida....kkk!” teriak Andi sekuat tenaga.

Ia berusaha menghindar. Ditolehkan kepala ke kanan. Ia tergeragap. Tangannya menyentuh sesuatu. Mouse. Sekejap matanya menangkap monitor komputer di hadapannya.

Terburu Andi memperhatikan sekelilingnya. Mencari-cari sosok-sosok hitam. Ia berusaha mengingat kembali apa yang baru dialami. Mengusap mata, saat matanya kembali membuka, ia tatap monitor komputer. Masih terpampang sebuah tulisan dengan judul... Ikhlas. ***

PLIS DONG, AKH!

“Assalamu‘alaikum, Ukhti!” suara melengking itu spontan membuatku mendongak. Tommy terlihat sumringah saat melihatku.

“Apa kabar nih? Lama nggak ketemu. Jadi kangen!”

Mulutku tercekat. Hari gini dia bilang kangen sama aku? Ugh. Rasanya aku ingin tenggelam ditelan bumi. Masalahnya saat itu aku tidak sendirian. Aku sedang bersama adik mentoringku. Masalahnya lagi, baru lima menit yang lalu aku mengisi mentoring tentang manajemen hati dan sikap. Nah, kalau sekarang aku disapa Tommy seperti itu kan jadi rumit. Bisa-bisa dikira aku punya skandal dengan ikhwan yang satu ini.

            “Iya, liburan kemana aja, Ukh? Cerita-cerita dong!” Tommy masih nyerocos tanpa merasa bersalah sama sekali. Sementara itu aku senin-kamis menahan malu sambil menghindari tatapan adik-adik mentorku yang sesekali tersenyum nakal dan berdehem-dehem. Mungkin saat itu mukaku sudah berubah menjadi traffic light, merah kuning hijau. Tapi dia tetap saja cuek dan pasang innocent face.

            Tommy adalah teman sekelas SD-ku. Enam tahun sekelas dengan nomor absen yang berurutan membuat kami lumayan akrab. Sering ngobrol, sering kerja kelompok, sering merancang ide-ide konyol, tapi sering bertengkar juga. Pokoknya dulu bisa dikatakan kami berteman baik deh. Waktu lulus SD, dia pindah ke luar kota. Tidak pernah ada kabar sampai tiba-tiba dia sudah satu jurusan, bahkan sekelas denganku di universitas. Tapi tentu saja semua sudah berubah. Paling tidak sekarang aku sedikit-sedikit juga tahu adab bergaul dengan lawan jenis.

            Tapi, entahlah bagaimana dengan Tommy. Dia memang terbuka, suka bergaul, bercanda, dan ngobrol dengan siapa saja. Sepertinya sekarang dia juga sudah cukup paham. Sekarang kami sama-sama bergabung di rohis fakultas. Tommy sering juga ikut kajian umum di fakultas, sering terlihat kumpul bareng ikhwan-ikhwan mushala, sering ikut dalam kepanitian SKI, dan juga  cukup sering menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan pengetahuan Islamnya cukup terakreditasi. Tapi untuk masalah ‘centilnya’ ini, ah entahlah....

            “Kok diem terus sih, Van! Ngomong dong! Ngomong...!” Disuruh ngomong aku malah semakin kikuk. Apa lagi kalau mengingat nada suaranya yang mirip-mirip iklan operator telepon selular yang beberapa waktu lalu sempat populer, “Ngomong dong, sayang..!” Weeit...!

            “Iya, ya, liburanku biasa-biasa aja kok. Pulang cuma seminggu, belum hilang kangennya sama orang rumah. Kemari... nggak jadi deh!” aku nyaris saja keterusan bicara. Tadinya aku mau cerita kalau kemarin aku ketemu sama Dela, teman kami dalam hal gila-gilaan waktu di SD dulu. Wah, kalau tadi aku cerita, pasti obrolan nostalgia SD akan jadi panjang.

            “Kemarin kenapa? Cerita dong... aku jadi penasaran nih.”

“Nggak usah, nggak penting kok! Anggap aja tadi aku nggak ngomong apa-apa”

“Uh... dari dulu kamu nggak berubah. Bikin orang penasaran.”

Aku cuma ngiyem mendengarnya.

 “Eh, Van, Van. Kamu liat akhwat itu nggak?” Kali ini Tommy mengalihkan pembicaraan. Matanya mengarah pada seorang akhwat yang berbaju abu-abu di seberang. “Emangnya kenapa?” Aku terpancing ingin tahu.

            “Itu tuh, bajunya kok nggak match ya. Liat tuh, bajunya abu-abu, bawahannya hijau, jilbabnya item, eh... tasnya merah. Bagusan kan kalo roknya item dan tasnya apa gitu kek, yang penting jangan merah. Trus kaos kakinya itu lho, kok kuning. Aduh...!” Tommy sok-sok memberikan penilaian bak seorang desainer sambil memukul-mukulkan telapak tangan ke jidatnya. “Payah ah, penampilannya! Kalau kamu hari ini sudah cukup match kok, Van. Bagus, bagus!” Tommy memandangi sekilas setelan biru yang kupakai.

Aku sudah tidak tahan mendengar komentar-komentarnya tadi. Siapa yang butuh komentar darinya? Kalau saja kami masih jadi anak SD, sudah kutonjok dia dari tadi. Hiiihhh!

            “Plis dong, Akh! Penting nggak sih buat kamu? Kasian lagi kalau beliaunya denger kamu ngomongin dia kaya gitu. Bisa kehilangan pede. Lagian harusnya kan antum jaga pandangan dong!” jawabku ketus disertai tampang bete. Khusus kalau sedang bicara dengan Tommy kata-kataku jadi campur aduk, tergantung mood. Kadang pakai istilah akhi, antum, afwan, atau istilah-istilah Arab lain. Tapi kadang juga keluar aku, kamu, kasian deh lu, dan bahasa-bahasa gaul lainnya yang dulu biasa kami pakai.

            “Emang nggak boleh ya komentar kaya gitu? Kalau aku malah seneng kalo ada yang ngeritik. Ah, wanita memang susah dimengerti.”

Aku menahan diri untuk tidak berkomentar sambil mengepal-kepalkan telapak tanganku di samping baju. Rasanya darahku sudah mendidih sampai ke otak. Melawan kata-katanya hanya akan memicu perdebatan yang sulit diramalkan endingnya.

            “Eh, udah deh, aku pergi dulu ya.”

Tiba-tiba rongga dadaku terasa lega mendengar kalimat terakhirnya itu. Lega.

“Tapi Ukh, sebelumnya tolong liatin muka saya ada tip-exnya nggak?”

Saking gembiranya, aku langsung menuruti persyaratan untuk membuatnya menghilang dari hadapanku. Aku mendongak menatap wajah yang ditumbuhi sehelai jenggot itu. “Nggak ada, kok,” jawabku.

“Makasih ya, Ukh! Tapi bukannya kita nggak boleh memandang wajah lawan jenis? Sudah ya, wassalamu’alaikum...!”

Tinggal aku yang bengong dan gondok habis. Ugh... kena deh! Awas ya!***

“Assalamu‘alaikum...” Sosok Tommy sudah muncul di depan kostku. Aku celingukan mencari teman yang mungkin dibawanya serta. Nihil.

“Waalaikum salam warahmatullah.. Sendirian aja, Tom? Nggak bawa temen?” Aku jadi kikuk. Serba salah. Setahuku kalau ada dua orang laki-laki dan perempuan maka ketiganya ada setan. Hiyy. Di sini ada setan dong!

Tommy sudah empat kali berkunjung ke kostku. Aku juga sudah selalu berpesan kalau dia harus mengajak seorang teman biar kami nggak ngobrol berdua. Tapi sampai sekarang dia masih suka nekat datang sendirian. Dan aku juga belum bisa mengusirnya dengan tegas. Nggak tega.

“Afwan, tadi cuma mampir karena habis beli jus dekat sini. Udah bikin tugas analisis konflik dan perdamaian, Ukh?”

“Udah, baru aja selesai.” Aku berusaha menghemat kata-kataku. 

“Aku bingung nih, masalahnya gimana sih? Bisa minta tolong dijelasin nggak?”

Pertanyaannya bikin aku garuk-garuk kepala. Memaksaku untuk menjawab panjang lebar. “Bisa nggak kalo nanya di kampus aja?”

“Tapi aku kan mau ngerjain nanti malem. Besok kita juga nggak ketemu di kampus. Padahal lusa harus dikumpulin.” Suaranya bernada kecewa.

“Emang nggak bisa nanya ke yang lain?!”

“Eh, kok ketus banget sih, Van! Aku kan udah bilang, mampir ke sini karena kebetulan habis beli jus di samping kostmu, trus inget kalau ada tugas yang aku nggak ngerti. Jadi sekalian nanya. Malu bertanya sesat di jalan. Kita kan nggak boleh menyembunyikan ilmu yang kita miliki. Ya udah kalau nggak boleh.”

Tiba-tiba hatiku meluluh. Kena jebakan kata-katanya. “Emang mau nanya apa sih?”

Tommy nyengir. “Nah, gitu dong!”

Akhirnya terjadilah diskusi kecil kami selama hampir setengah jam.

“Makasih banyak, Vanti! Entar namamu kucantumin di daftar pustaka deh.” Tommy berusaha melucu.

Tapi bagiku yang udah bete banget jadi enggak lucu sama sekali. Plis dong, Akh!

“Pulang dulu ya. Sampai jumpa. Mimpi indah ya!Bu bye..”

Gleg. “Kok sampai jumpa sih? Pake bubye pula.”

“Eh, iya, afwan. Assalamu‘alaikum...”

“Alaikum salam warahmatullah.”***

Sepertinya belakangan ini Tommy menjadi sebuah masalah bagiku. Dan entah kenapa banyak kebetulan-kebetulan yang menyebabkan aku harus bersama dengannya. Misalnya pernah waktu jalan tiba-tiba kebetulan dia juga sedang jalan kaki dan tanpa sungkan-sungkan langsung mengajak ngobrol. Waktu beli makanan di kantin juga ketemu. Tiga kali ketemu di ke toko buku. Ke perpustakaan juga ketemu. Di luar kebetulan-kebetulan itu, Tommy juga sering sekali mengirim sms, menelepon, dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tidak penting. Suka curi-curi pandang, suka memujiku, dan hal-hal lain yang menurutku sangat menjengkelkan. Rasanya aku ingin beberapa hari cuti jadi orang yang mengenalnya, biar kalau ketemu lagi aku tidak perlu merasa begitu bosan seperti sekarang.

“Jangan-jangan kalian jodoh” Aku hampir tersedak waktu Ika tiba-tiba mengucapkan hal itu. Memecahkan keasyikanku menikmati makan siang di kantin Yu Jum.

“Uhuk... uhuk... hari gini ngomongin jodoh?!” aku buru-buru minum karena tenggorokanku tercekat.

“Emangnya nggak boleh? Kuliah sudah semester lima, umur sudah kepala dua. Kalau memang jodoh kan bisa segera...” Ika cengar-cengir melihatku.

“Astaghfirullah, ngapain sih ngomong kaya gitu, Ka? Jodoh itu rahasia Allah, dengan siapa dan kapan itu rahasia Allah. Nggak usah dipikirin pun toh kalau sudah tiba waktunya akan datang sendiri. Nggak bisa diundur dan nggak bisa dipercepat.”

“Iya, tapi kan kalau memang sudah siap maka makruh hukumnya menunda-nunda pernikahan.” Kali ini Ika mengedip-ngedipkan matanya centil. Membuatku serasa semakin ingin menghilang.

“Yee, siapa yang bilang sudah siap nikah?”

“Lho, kamu belum tahu ya? Tommy kan mau nikah muda! Jadi... jangan-jangan dia sudah punya calon. Siapa tahu...! Inget lho, kalau sudah ketemu jodoh dan mampu, maka makruh hukumnya menunda pernikahan.” Ika kelihatan bersemangat sekali membuatku jengkel.

“Udah ah... kamu bikin aku kehilangan nafsu makan aja, Ka! Kalau kamu berminat, bungkus deh buat kamu!” Ika hanya terkekeh mendengarnya.***

Entah kenapa tanpa kusadari, obrolan dengan Ika itu menghantui pikiranku. “Iya, jangan-jangan, jangan-jangan... oh tidak! Paling hanya aku yang ke-geer-an.

New sms! Handphoneku tiba-tiba mengoceh sendiri.

Ups, dari Tommy!

Vanti yang baik, tolong ya siapin surat izin pinjam tempat buat syura besok. Plizz, you are my only hope =) 

Ih, apa-apaan sih ini kok minta tolong saja merayunya sampai maut begini. Nggak menghargai banget, masa ngomong sama akhwat masih tetap gombal-gambel kaya gini sih. Tiba-tiba pikiranku kembali melayang pada perkataan Ika siang tadi. Jangan-jangan.... Kadang sikapnya memang suka aneh sih, suka ngajak ngobrol lama-lama, suka memuji, suka sok kebetulan mampir dengan alasan beli jus. Padahal di dekat kostnya pasti juga ada yang jual jus, ngapain juga jauh-jauh beli jus sampai ke sini. SMS yang model begitu juga bukan barang baru lagi. Ihh.* * *

“Hati-hati lho, Van!”

“Kenapa?” alis mataku terangkat refleks.

“Hati-hati lah... sama ikhwan kaya gitu!” tukas Evi, tetangga kamarku.

“Tahu nggak, kemarin Tommy ke sini lagi lho...”

“O ya?” kini mataku yang terbelalak.

“Hati-hati sama hatimu sendiri. Kan kamu sendiri yang bilang apa tuh... witing tresna jalaran suka kulina. Nah, kalau kamu tiba-tiba jadi suka sama dia gara-gara dia sering ke sini gimana?” Evi menatapku serius.

“Apalagi kalian udah kenal sejak kecil kan?” pertanyaannya semakin menusukku.

“So what gitu lho...”

“Ya silakan ditafsirkan sendiri... aku cuma mengingatkan, setan itu cerdik bin lihai lho...”

Aku manggut-manggut

“Harus bisa tegas!” tambah Evi lagi.

“Tegas? Maksudnya, kalau dia dateng lagi aku harus apa? Kalau dia sms nggak usah dibales gitu?”

“Iyalah... kalau dia dateng tuh, nggak usah dibukain pintu! Kalau sms nggak usah dibales. Kalau becanda nggak usah diladeni, pokoknya bersikaplah dingin!”

“O... gitu ya?”***

            Ternyata saran Evi cukup jitu. Tommy tidak lagi menjadi masalah bagiku dalam tiga minggu terakhir. Senangnya....

            “New sms!”

            Kuraih handphoneku.

            Tommy!

            Ass. Van, tidak saya kira, anti juga bisa bersikap tegas dan cool. Cocok dengan kriteria saya. Jadi, kapan anti siap menikah?

            Pliss dong, Akh!

            Tiba-tiba mataku memanas. Aku tidak sanggup bernapas lagi.***

Refund yang No Fund

Mata itu berbinar-binar. “Jam tujuh, Jeng!”

            Ajeng tak bergerak dari telungkupnya. Matanya setia mengikuti huruf demi huruf jurnal komunikasi di depannya. Dua hari lagi dia harus mengirimkan bab tiga ke supervisor.

            Karin menyodok Ajeng. “Denger nggak?”

            Ugh. Dari kemarin omongan Karin nggak lepas dari sale! Sale  Topshop, Fcuk, Zara. Sekarang Next. Esok Next mulai sale. Dia naksir blazer hitam Next.

            Bukannya Ajeng nggak naksir!

            “Iya.” Ajeng menjawab datar.

            Karin tertawa bahagia. “Sale winter lalu aku nggak bisa belanja, Jeng. Soalnya uang kepake tur Eropa. Aku tadi cek account. Kiriman dari Bapak sudah masuk.” Dia tidak punya fasilitas overdraft.

            Mulut Ajeng mengerucut. “Bukannya kamu masih ngutang sama Mbak Ira?” Mereka berdua membayar sewa rumah pada Mbak Ira, karena rumah disewa atas nama Mbak Ira. Tiap bulan mereka berbagi bill. Mbak Ira membayar paling banyak, karena kamarnya paling besar. Lalu Karin. Sedang Ajeng menempati kamar singel yang terkecil. Cuman muat kasur, lemari dan meja kecil. Ada sisa ruang sedikit untuk sholat.

Karin belum bayar kopi Costa pada Ajeng. Pekan lalu juga utang ongkos ke car boot sale Whitley Bay. Memang nggak banyak sih. Enam pound. Cuma, segitu bisa makan tiga hari. Ajeng menggerutu dalam hati.

Karin seperti tak mendengar.

“Sewa rumah bulan lalu?”

            Karin seperti tersengat. “Aku akan bayar.” Dia menggerutu panjang pendek. Sale nggak ada tiap hari, begitu isi gerutunya .

            Ajeng menutup dua telinga. Dia perlu kosentrasi.

            Karin begitu itu. Anak orang kaya. Hobinya jalan-jalan dan belanja. Liburan akhir tahun main ski ke Austria. Punya mobil dan HP. Tapi sering ngutang. Sedihnya utangnya dilupakan.

            Ajeng sering apes. Kalo jalan sama Karin, misal minum kopi, Karin minta dibayarin dulu. Alasannya belum ambil uang ke ATM. Minum kopi ya paling sepound lebih dikit. Cuma, bisa dipastikan Karin lupa sama utangnya. Pernah Ajeng mencatat, sebulan utang-utang kecil Karin sampai pada jumlah 23 pound! Mulai dari beli minum, ongkos, bayar kartu fotokopi, sampai... beli pembalut.

            Ubun-ubun Ajeng rasanya sudah berasap. Uang segitu buat Emak di rumah bisa buat belanja dua pekan! Bukan apa-apa. Ajeng kan miskin. Ke sini juga disekolahkan orang. Nggak seperti Karin. Bapaknya kayak yang punya bank saja. Kapan saja, berapa saja Karin minta, selalu ada. Mbak Ira juga bukan orang kaya. Supaya bisa meneruskan sekolahnya, dia kerja serabutan ke mana-mana.

             “Blazernya buat Agustusan. Mas Agung pasti datang. Dia panitia.”

            Ajeng membuka tangan di telinganya, melongo. Dia lupa dengan jurnalnya.

            “Mas Agung?” Dia tak percaya.

            “Agung Haryanto.” Wajah itu melamun.

            Ajeng memukul Karin dengan jurnalnya. “Bangun ooi!”

            Karin kembali ke bumi, manyun. “Napa?”

            “Mas Agung udah tua, Karin!”

            “Paling baru 26, beda 7 tahun saja.”

            Ajeng menatap temannya takjub. “Orang kayak dia biasanya udah nikah lagi umur segitu!” Jenggotan, baju koko.

            “Nggak ada istrinya.”

            “Kali ditinggal.”

            “Kalo nggak ada di sini, lebih mudah kan.”

            “Ampuun deh. Waras dikit napa sih Karin!” Semprot Ajeng. Ajeng mengemasi bukunya. Kekesalannya bertambah-tambah. Selain hobi belanja, dia juga senang melakukan pendekatan pada makhluk-makhluk.

Karin sebenarnya manis, asal dia mengurangi make upnya. Dia cukup menarik kalau pakai bajunya proper. Pernah, pergi mengunjungi kapal Dewaruci--bertambat di Quayside dalam lomba tallship--dia datang dengan baju skimpi, celana jins yang robeknya sampai pangkal paha dan melorot rendah sekali. Asli, Ajeng nggak mau dekat-dekat dengan Karin. Dia tidak mau melihat bagaimana teman serumahnya dinikmati pelaut yang sudah lama tidak lihat perempuan itu.Eh, ndilalah. Dengan bahagianya Karin cerita dia diajak ngobrol banyak awak kapal.

            Asli, Ajeng geleng-geleng. Ada ya makhluk seajaib Karin?

            Lha, mau mendekati Mas Agung? Yang ustadz itu?

***

            Pagi Agustus yang segar dan ramah. Cericit burung saling meningkahi. Di Jakarta, Ajeng tak pernah mendengar suara burung pagi-pagi. Dulu, ketika baru sampai di sini, bangun pagi hari, Ajeng takjub mendengar kicauan burung. Di sini memang begitu. Penduduk banyak menyediakan makanan burung di halamannya. Di danau buatan, roti bertaburan seperti pasir di pantai. Merpati dan bebek di Leazes Park sampai tak bisa menghabiskan ‘sumbangan’ makanan itu. Mereka makmur dan gendut. Menembak burung liar bisa kena penjara. Makanya burung di sini berkembang biak. Ajeng sempat berfantasi menangkap bebek di sana dan memasak bebek hijau a la Tante Ayu dari Padang. Fantasi saja. Ajeng masih takut polisi.

“Jeng, sudah siap belum?” Suara melengking Karin. Ia minta ditemani belanja.

            Agak malas Ajeng keluar kamar.

            “Ayo!” Karin tidak sabar, menuruni tangga.

            “Biasanya jam segini, kamu masih ngorok,” Ajeng misuh-misuh.

            Karin pura-pura tidak mendengar. Dia menyambar jilbab dari gantungan baju dan melemparkan kepada Ajeng. “Aku tunggu di mobil.” Lalu dia melesat keluar.

            Nona ini kalau ada maunya... Padahal pakai mobil dia ke city centre nggak sampai enam menit.

            “Aku naksir blazer hitamnya, Jeng. Kemarin, sebelum sale masih 100 pound. Katanya, hari ini bisa jadi 60 persen. Bisa dapat 40 pound. Di Jakarta nggak dapat segitu. Boro-boro. Sepotong Next bisa dua juta. Ada sepatu yang cantik temannya. Aku lihat masih ada ukuranku. Mungkin bisa dapet 15 pound.”

            Sepatu Ajeng dibawa dari Indonesia.

            “Uang segitu bisa bayar kamar lhoo.”

            Bibir itu manyun.

            “Aku akan bayar. Denger nggak sih?”

            “Habis, masih ada utang, udah maruk mau belanja. Kasihan Mbak Ira. Kerja banting tulang gitu.”

            “Aku kan bilang,” seru Karin  melengking. “Aku akan bayar. Aku cuma mau pake bajunya untuk tujuh belasan. Trus direfund.”

            W H A T?!

            Ajeng menatap temannya horor.

            “Maksudmu?”

            “Aku beli dulu, trus dibalikin. Uangnya kan dapat lagi.”

            “Setelah bajunya kamu pake?”

            Karin nampak gelisah. “Ya.” Suaranya kecil.

            N O!

            “Rugi amat yang beli baju setelah kamu pake.” Ajeng ketus.

            “Why?” Suara itu penuh ancaman.

            “Bau!”

            Karin mengumpat. “Aku nggak pernah bau lagi! Kamu tuh.”

            Hening.

            “Kan boleh gitu, Jeng. Kalo nggak puas, nggak suka barangnya, ada masa 14 hari untuk refund. Banyak yang kayak gitu.”

            “Baju?”

            “Ya, macam-macam. Kemarin Mas Han beli digital cam untuk graduationnya. Pas udah dipake, kameranya dibalikin. Uangnya dapat lagi. Daripada nyewa kamera.”          

Ajeng berdiam diri. Dia tetap merasa apa yang akan dilakukan Karin salah.

            “Tahu nggak? Next juga jualan scarf lho. Beli deh. Aku mau nyari yang pake nama Nextnya. Aku mau pakai jilbab esok...”

            Ajeng memutar bola matanya.

            Sejak kapan si seksi ini kepikiran pake jilbab?

            “Mas Agung,” Karin terkikik.

            Ajeng tersegat lebah. “Napa?”

            “Pasti nggak pernah liat anak jilbab modis.”

            Hidup di jaman kapan sih kamu, Karin? “Di Indonesia dah banyak lagi anak jilbab gaya kamu,” tukas Ajeng datar.

            “Eh?” Wajah itu tidak percaya.

            “Sudah banyak yang jilbabnya mini, nampak udel. Banyak juga yang jilbab cekek, nampak big boobs. Jadi, kayak kamu mah dah pasaran,” dengus Ajeng.

            “Kan nggak ada yang secantik aku.” Suara itu bahagia.

            Ajeng mau muntah. “Cantik tapi...”

            “Sirik tanda tak mampu.”

            Hoek.

            Karin parkir di dalam kampus. Tak menunggu langkah kecil Ajeng, Karin setengah berlari menyeberang. Ajeng sengaja memperlambat langkahnya.

            “Jeeeng, aku tunggu di depan pintu ya?” pekik Karin.

            Ajeng meleletkan lidah.

            Pagi Sabtu, jalanan sepi. Kampus pun hampir kosong. Gedung pustaka Robinson menjulang dari jauh, seakan mempunyai magnet yang amat kuat. Di saku jaket Ajeng ada kartu mahasiswa. Walau kampus sedang libur, Ajeng bisa membuka gedung dengan kartunya.

            Pergi? Tidak?

            Wajah murka Karin membayang.

            Menghela napas, Ajeng menekan tombol lampu penyeberang di depan St. Mary.

            Wuih. Di depan Next antrian sudah mengular... sampai ke Superdrug. Ada ibu-ibu dengan pushchair juga. Semangat amat sih.

            “Hallo, Ajeng. Ngesale juga nih,” Beberapa ibu-ibu Indonesia, bergerombol di barisan agak ke depan.

            Ajeng meringis. “Nunggu sejak jam berapa, Bu?”

            “Hampir jam lima. Tapi, kan kita hampir paling depan.” Mereka tertawa riang.

            Ajeng tertawa terpaksa. Dia lalu pamit, menuju ujung antrian.

            Jalan Northumberland mulai hidup. Karin thumps up melihat Ajeng. Mereka terpisah lima orang.

            “Assalamu’alaikum. Ajeng? Karin? Apa kabar?”

            Satu suara membuat Ajeng melongokkan kepala. Mbak Onny. Yang membina pengajian putri Newcastle. Muka Ajeng memanas. Dia merasa tertangkap basah melakukan sesuatu yang kurang pantas. Ajeng keluar dari antrian dan menyalami Mbak Onny.

            “Pulang kerja Mbak?”

            Mbak Onny cleaner. Suaminya Ph.D. Belum selesai, beasiswa sudah habis. Mbak Onny yang juga dosen di Jogja mencari penghasilan dengan menjadi petugas kebersihan.

            “Baru akan berangkat. Besok datang?”

            Kerongkongan Ajeng kering. Dia mengangguk lemah.

            Mbak Onny tersenyum tipis. “Jangan lupa sisihkan uang untuk Pangandaran, Jogja dan yang lain ya?” Mata itu begitu damai.

            Ajeng tunduk. Coba tadi ke kampus saja.

            “Sendirinya belum tentu ngirim ke Pangandaran,” Karin menyong, menatap punggung Mbak Onny yang hampir hilang.

            “Sok tau lu.” Kepala Ajeng memanas.

            Untungnya pintu Next dibuka. Seperti ombak, manusia berduyun masuk ke toko. Karin mendesak maju. Ajeng membiarkan yang lain mendahului. Minatnya untuk lihat-lihat lenyap.Karin seperti orang demam. Pontang-panting meraup blazer yang dia idam-idamkan; sepatu, scarf. Dua-dua tangannya penuh dengan baju, rok dan lain-lain. Ajeng berdiri di tepi. Toko itu terlalu penuh untuk bisa jalan dengan tenang. Baju dan rok Ajeng masih banyak yang bagus.

***

            Kalau kemarin, Karin yang menunggu Ajeng di depan pintu, kali ini giliran Ajeng.

            “Lama amat sih dandannya?”

            Mbak Ira tidak di rumah. Menginap di rumah temannya.

            Ketika pintu itu terbuka pelan-pelan, Ajeng menahan tawa kuat-kuat. Menor beh. Jilbab cekek. Aduh, nggak Karin amat deh.

            “Aku belum selesai.” Karin mengacungkan tangannya. Kuku palsu!

            Karena takut pertahanan dirinya jebol—ngakak nggak habis-habisan—Ajeng mendahului Karin menuju Leazes Park.

            Anak ajaib. Karin pernah mikir nggak sih nyambung di mana jilbab sama kuku palsu? Ajeng geleng-geleng kepala. Tapi, ya, masih mending berteman sama Karin. Undergrad yang lain pada hobi clubbing, atau kasinoing. Betul itu. Teman-teman, kalau week end, sering janjian di Monument, terus jalan ke club. Atau mereka suka ngumpul di kasino. Alasan anak gadis muslim yang lain, mereka sekadar duduk di lounge. Ada sandwich gratis.

            “Kan nggak betting. Lumayan, free dinner.”

            Ajeng nggak deh.

            Walau Karin hobi berpakaian seksi, sejauh ini, dia nggak freely touchy, gitu loh. Exsesively  flirty, iya. Anaknya kadang nyebelin. Tapi, dalamnya dia baik.

            Setiap memasuki pagar Leazes, selalu Ajeng ingat Bang Rul. Bang Rul gila bola. Bulan pertama di sini, melulu pertanyaan Abang tentang Owen. Pohon kiri kanan yang merundukkan rimbunnya ke jalan, hmm, Ajeng suuuka. Sebentar lagi, Autumn. Daun-daunnya akan berguguran dan menghiasi jalan. Menguning seperti emas. Pohon tinggal ranting dan dahan saja. Dulu, waktu baca prospek Newcastle Uni, Ajeng jatuh cinta dengan danau ini. Baguuus sekali. Pulau kecil yang romantis. Kebayang nggak sih, kemping di pulau kecil, sendiri saja? Di sekitar angsa dan bebek liar? Menghidupkan api unggun? Yummy.

Eh, pas melihat betulan. Asli, Ajeng terperangah. Ini mah kolam ikan! Bukan ‘lake’. Ketipu, sodara-sodara! Tapi, tetap cakep. Kolam ikan yang terawat dan bersih. Apalagi di kanannya, playground anak-anak baru saja dibangun. Lengkap dengan lantai warna warninya.

            Di kiri danau, hampir ke dekat St James Park, komunitas Indonesia mendirikan tenda makanan. Ibu-ibu berkumpul di tenda. Sebagian sibuk mengatur makanan, sebagian ngerumpi sambil icip-icip. Anak-anak berlarian. Warna kulit mereka beragam. Dari yang putih bule, putih Cina, sampai hitam Afrika. Teriakan mereka medok Geordie.

            “Let’s go to the wa’er!”

            “It’s not fun!”  Fun dibaca dekat ke bunyi u, daripada a.

            Bapak mereka, ada yang bule, ada yang Afrika, bergerombol di satu sudut. Bapak-bapak PhD kumpulnya di sudut lain. Diskusinya melulu tentang perkembangan tesis. Anak muda-muda punya kesibukan lain. Ada yang menyiapkan tonggak untuk mengibarkan bendera. Ada yang  menyiapkan perangkat games dadakan. Ada yang bungkus-bungkus kado hadiah. Ajeng pilih gabung ke sini. Menggunting kertas kado, menempelkannya ke kotak hadiah. Panitia menyiapkan puluhan hadiah. Sebagian untuk anak-anak seperti spidol, magic board.

            “Aku juga mau deh dapet hadiah ginian?” Ajeng membolak-balik kotak girl’s kit.

            “Masa kecil kurang bahagia lu,” Naning temannya membungkus kado berkomentar dengan cuek.

            Ajeng cengar-cengir.

            Waktu kecil—sekarang juga sih—mana ada dalam kamus keluarga Ajeng dibelikan mainan. Kalau mau punya mainan, ya dibuat sendiri. Boneka dijahit Emak. Pistol-pistolan dibuat dari pohon bambu.

            “Eh, udah dipanggil upacara,” Naning menyenggol Ajeng. Di sekitar mereka bertumpuk kotak kado.

Ajeng buru-buru menggunting selotip. Merapihkan lipat kertas kado dan sigap menempelkan selotip.Yup. Sudah. Lagu Indonesia Raya sudah setengah jalan. Pelan Ajeng menggabungkan diri. Di depan komandan upacara, ketua PPI. Ada yang mengibarkan bendera, berdua. Komunitas Indonesia berdiri berjejer. Mungkin seratus lah.

            Aneh ya, upacara di negeri orang.

            Pembacaan puisi. Puisi ini terjemahan lagu Indonesia Raya. Tujuannya memberikan pemahaman lebih pada adik-adik kecil yang lahir dan besar di sini. Ini tugas Karin.

            Karin berjalan dari samping, menuju tengah lapangan. Wajah percaya dirinya  penuh senyum. Satu kali matanya mengerling pada Mas Agung. Tapi yang dikerling tidak melepaskan pandang dari bendera merah putih. Percuma Karin!

            Karin berbalik.

            Alaaaamaaaak.

            Ajeng ingin berlari ke depan, menyambar lengan temannya dan mengajaknya minggir.

            Pada leher blazer Next hitamnya itu, yang di dalamnya ada jilbab cekek, bergelantungan dengan manis....

            Aduh, merek dan harga baju!

            Kertas itu menari-nari ditiup angin.

            Sebagian menahan tawa. Sebagian pura-pura tak tahu. Sebagian lagi berdiskusi, walau bisik-bisik.

            “Wah, lupa memotong mereknya ya.”

            “Mau direfund kali.” Cekikikan.

            Muka Ajeng memanas. Aduh, cepet dong Karin.

            Karin menyelesaikan puisi dan dengan gerakan yang lebih gemulai dari biasa meninggalkan tengah lapangan. Ajeng menyelinap di antara badan-badan, menyelusuri belakang barisan dan menarik Karin. Karin berusaha menepiskan helaan Ajeng. Ajeng mengencangkan tarikannya sampai akhirnya Karin mengalah dan mundur.

            “Apaan sih?” Karin tak meleparkan pandangannya dari tempat Mas Agung berdiri.

            Ajeng menelan ludah. Hatinya kecut. “Ka... kamu...” Bagaimana Karin yang sangat peduli dengan penampilan menerima berita ini?

            “Apa sih?” Karin tidak sabar.

            “Lupa...” Ajeng membersihkan kerongkongannya. “Merek baju.”

            Muka Karin memucat. Tangannya gemetar merayapi punggungnya, menuju bawah tengkuk. Jarinya menyentuh merek itu. Mulut Karin terbuka dan tertutup tanpa suara. Matanya membelalak. Wajahnya penuh horror. Tanpa suara, dia membalikkan badan, membawa kakinya berlari, menjauh dari kerumunan orang.

            Jantung Ajeng jatuh sampai dasar perutnya.

            Karin menerima berita ini lebih buruk yang dia duga.

            Biasanya, dia punya rasa humor. Setengah berlari Ajeng menyusul Karin. Ajeng belum sempat mencicipi gule Bu Faqih yang terkenal itu!

            Yaaaa. Karin deh.***

Cahaya HijauAbdul Razak M.H. Pulo

             Bertahun-tahun aku dikuasai cahaya hijau. Ia makhluk berbentuk tak beraturan dengan cakar-cakar baja yang setiap saat mencengkram tubuhku. Melumat perasaanku. Menguasai pikiranku. Bisikannya tak kuasa kubendung. Bisikannya menghantam imajinasiku, bahkan mengalahkan egoku. Tergeletak aku dalam dunia ciptaan bayang-bayangnya. Malam seolah tak berganti siang. Kehangatan membeku. Ceria dirundung derita. Di sekelilingku selalu remang-remang laksana senja kala di penghujung musim hujan.

            Sebelum cahaya hijau merajai istana kehidupanku, aku bersama teman-teman sekampung ramai-ramai mengabdikan diri tanpa pikir panjang untuk menjadi anggota organisasi terlarang, yang melancarkan serangan kepada pemerintah sah negeri ini. Dilatih kami menggunakan senjata di tengah belantara. Kami melalui malam-malam kelam yang tak bercahaya dan siang-siang lambat yang merayap tak bertenaga. Setelah dua puluh hari diberi bekal keahlian kokang senjata, diajak kami menyerang sebuah pos tentara di kampungku.            Letusan bedil sahut-sahutan bagai lolongan serigala di bawah bayangan bulan purnama. Berdesing-desing peluru, memendar percikan api bagai kepingan-kepingan emas yang melesat di udara. Teriakan-teriakan seakan menjembol gendang telinga. Rintihan teman di sampingku, teman karibku, menghujam perasaan paling sensitif yang aku punya. Aku tiarap. Meraih tangannya. Dia mati! Darah tergenang dalam lubang-lubang bekas jejak sepatu: kental, pekat.            Aku dibangunkan gagak-gagak hitam yang terbang mengitari pucuk-pucuk pohon. Seolah mereka sedang menatap tajam ke arahku. Pelupuk mataku berat kupaksa buka. Segera saja mataku menangkap puluhan tubuh tergeletak kaku. Tak ada yang tegak berdiri. Aku merasa diriku bagai sekerat daging yang siap dicabik gagak-gagak bermata merah itu.            Aku bangkit. Tatapanku nanar menyentuh ruang-ruang kosong di sudut-sudut gubuk pelepah rumbia. Lolongan anjing hutan yang menyelinap di sela-sela pohon memantul ke kupingku. Desir hasrat merah darah kering menganyirkan bau udara, menggelitiki hidungku. Bangkai-bangkai manusia berserakan. Selongsong peluru bertabur tak beraturan. Beberapa pucuk bedil tercampak begitu saja. Pistol di pinggangku masih utuh. Kucabut. Kutembakkan ke udara berkali-kali. Menggelegar. Gagak-gagak buyar.            Cicit burung pipit, lenguhan kerbau. desau angin, gemerisik daun, suara jangkrik, dan lolongan anjing hutan bersatu-padu menggubah simfoni alam menjadi irama nestapa.            Temanku mati. Ayahku pun kudapati mati terpanggang di antara bara api dan puing-puing di atas lantai-tanah gubuk kami. Kematian Ayah membuatku sepi. Tak akan ada lagi kicau burung. Tak akan ada lagi canda saat menjual bakung. Tak ada lagi tempat bertanya baris-baris kitab kuning. Semua sirna, pudar menuju hitam. Kelam. Gulita! “Aku keluarr...” teriakku dahsyat.            Aku keluar. Aku bukan lagi anggota organisasi keparat itu. Aku menyesal. Sia-sia kubergabung. Pistol dan beberapa pelurunya kubuang ke rawa-rawa. Terseok-seok aku  berjalan. Pikiranku tertuju kepada Ibu.            “Ibuku, sudah hijrah ke Desa Fajar, kampung nenekku, semenjak ketentraman terenggut dari kampung kami. Ayah tidak mau ikut kala itu, katanya ia akan menyusul setelah panen tiba. Ayahku menanam kacang kuning dan jagung dua-tongkol. Hampir panen. Tapi, kini ayah telah tiada. Seluruh penduduk kampung telah eksodus ke masjid dan sekolah di pinggir jalan raya. Mereka meninggalkan rumah, ternak, sawah, ladang. Tikus, babi, dan kera pasti akan berpesta pora di sana- di lahan-lahan yang terbengkalai.            Berita kematian ayah membuat ibuku sangat terpukul. Ia semakin kurus. Pada saat yang sama, aku mendapati diriku termenung sepanjang hari. Dan aku lebih suka mengurung diri di dalam bilik gubuk kayu peninggalan nenek di Desa Fajar. Sebuah desa yang bergunung-gunung, berlembah—lembah. Dan matahari selalu memberinya sinar secara sempurna.            Tujuh bulan berlalu. Di belakang gubuk, terpacak aku menatap kosong bukit-bukit subur yang melatarbelakangi Lembah Leher Angsa. Tiba-tiba dari dasar lembah keluar cahaya hijau benderang melesat cepat ke arahku. Aku panik. Kaget. Gugup. Cahaya itu membentuk lingkaran parabola melingkupi seluruh tubuhku. Dalam sekejap muncul suara bisikan, tapi terdengar laksana auman singa di telingaku.            Berbagai jenis suara kemudian datang silih berganti. Cahaya hijau berputar-putar melingkari tubuhku. Suara musik mirip irama padang pasir membuai pikiranku, entah dari mana asalnya. Dan pada saat yang sama, cahaya hijau itu mencengkram bumi. Menelusup ke dalamnya. Lalu naik dan menempel di telapak kakiku. Sekejap kemudian, terdengar suara azan. Dan saat itu pula, cahaya hijau berputar-putar di atas ubun-ubunku. Lalu tegak lurus menembus awan dalam hitungan detik.            Beberapa detik berlalu. Cahaya hijau telah kembli. Kini, ia punya banyak lengan panjang sperti gurita. Aku terpana. Ternganga. Dan, oh, serta merta dengan cepat cahaya itu menerobos dari atas. Menembus puncak kepalaku. Terus menyusup sampai leher, lalu ke dada, perut, dan, ahh... ke seluruh tubuhku saat pertama ia masuk terasa sakit sekali, namun beberapa saat kemudian aku merasakan kedamaian yang luar biasa. Hijau. Hijau. silau. Pada saat itulah, aku berjanji kepada si cahaya hijau untuk akan mematuhi segala perintahnya.            Antara diri-sadarku dan cahaya hijau saling berebutan menguasai ragaku. Perintah pertama yang diberikan cahaya hijau adalah menyuruhku mengambil pisau dapur, untuk menggorok leherku sendiri. Aku lakukan. Aku ambil sikap. Kugenggam erat gagang pisau. Kutarik “Sreet...tt..” Darah segar muncurat. Aku tersungkur. Aku mengerang. Meraung kesakitan. Untung saja ibuku, yang sedang menggoreng telur, menangkap eranganku yang perih. Terdengar suara langkahnya berlari. Ia berlutut, di hadapanku mataku yang berkunang. Menarik selendang di kepalanya dengan cekatan. Mengikat lukaku erat-erat supaya darah berhenti. Membalut leherku. Memanggil para tetangga dan membawaku ke rumah sakit. Aku mendapatkan enam jahitan. Aku sembuh. Tapi suaraku parau kini.            Cahaya hijau datang dan marah besar. Kau telah melanggar janji. Kau harus menebus dosa, katanya.            Cahaya hijau, inginkan aku menebus dosa dengan cara mati. Silih berganti kesadaran dan cahaya hijau menguasai ragaku juga jiwaku.            Kepalaku terasa mau pecah. Burai. Sebulan kemudian aku minggat dari rumah, dengan menumpang bus umum menuju ibukota. Malamnya aku tidur di emperan toko di dalam pasar ibukota. Cahaya hijau terus saja menguntitku. Kurang ajar!            Ia datang dan dengan cepat menerobos dari atas. Menembus puncak kepalaku. Terus menyusup sampai leher, lalu ke dada, perut dan berhenti di pinggangku. Sementara, salah satu tangannya yang keras mengebor sampai menembusi telapak kakiku, lalu naik ke paha, dan juga berhenti di pinggang. Kini ia sangat kuat. Ia memutar-mutar tubuhku layaknya sebuah gasing. Ia menarikku tanpa ampun, tak dapat kubendung. Disuruh aku menebus dosa dengan cara mencari kerja, ya kerja. Tapi ke mana aku dibawa? Ia

terus menarikku dalam gerimis dan keremangan malam ke markas mahkluk-mahkluk coklat. Aku harus cari kerja di sana, tiada cara lain. Disuruh aku menghantam salah seorang dari mahkluk coklat, dengan cara begitu mereka akan menembakku, sehingga aku akan mati. Tertebuslah dosaku.            Pukulan kuat kepalan tanganku menimpa wajah salah satu di antara mahluk coklat. Berdarah. ia terhuyung dan jatuh. Kemudian aku juga jatuh berguling-guling setelah tinju dan tunjangan teman-temannya menghujam tubuhku. Saat pukulan-pukulan itu menimpaku, tubuhku seolah-olah berserakan berkeping-keping, lalu menyatu kembali. Begitu seterusnya saat pukulan-pukulan mendarat di tubuhku. Tak ada sakit yang aku rasakan. Cahaya hijau masih di dalam tubuhku. Merayap-rayap. Mendenyut-denyut. Lalu terasa tubuhku diguyur dengan air bertubi-tubi, dingin sekali. Aku buka mata. Tersenyum. Cahaya hijau menginginkan aku menebus dosa dengan cara mati. Tapi nyatanya mati belum juga menjemput.            Dikurung aku dalam kamar sempit berjeruji besi. Aku merasa bagai hidup di neraka. Siksaan demi siksaan, pukulan demi pukulan merambahi seluruh tubuhku: kepala, leher, tangan, kaki, perut, punggung, wajah bahkan kemaluanku. Aku ditanya dengan paksa, dibumbui siksaan dan pukulan. Dituduh aku merampas senjata mereka. Aku mengaku saja. Karena mengaku dipukul, tak mengaku juga dipukul. Tak beda.            Seringai-seringai bengis berdisis-desis saat mahluk-mahkluk coklat melintasi bilik jerujiku. Tatapan mereka menghujam manik mataku. Sementara itu, cahaya hijau sangat murka sebab aku masih dapat menghirup udara, meski udara yang kuhirup berat, berbau, dan sangat kotor.            Ibuku di Desa Fajar lagi-lagi terpukul dengan kepergianku yang tanpa pamit, setelah ayahku. Ia mencariku ke mana-mana: tak ada. Dengan putus asa, ibu menjumpai seorang penduduk desa seberang yang memelihara seekor burung beo, yang konon burung itu mampu meramal posisi suatu benda, termasuk posisi manusia yang hilang.            Dan beruntung. Beo itu benar, aku ada di ibukota, katanya. Ibu dan pamanku menyusul ke ibukota berbekal rasa cinta, kasih sayang, dan rindu kepadaku. kami bertemu di markas makhluk coklat.            “Tolonglah, Pak, izinkan anak saya pulang. Saya sangat rindu padanya, Pak,” pinta Ibuku.            “Tidak bisa. Dia perampas senjata. Dia harus dihukum!” jawab makhluk coklat setengah membentak.            Tak diizinkan aku pulang. Ibu menangis. Paman menangis. Aku tidak.            Hari berganti. Minggu berganti. Sepertinya mahkluk-mahkluk coklat itu tak suka melihatku selalu bicara dengan cahaya hijau, meski isi bicaraku hanyalah perjanjian-perjanjian penebusan dosa. Akhirnya, mereka membawaku paksa ke sebuah tempat. Jauh sekali. Seperti di alam mimpi.            Di sana, mahkluk-makhluk putih menyambutku dengan anggun menebar senyum. Aku melayang. Mereka menuntunku. Mereka membimbingku. Mereka baik-baik, tak seperti mahkluk yang kutemui sebelumnya: beringas, kejam, bengis, suka menyiksa.            Mahluk-mahkluk putih itu saling bekerja sama di antara mereka. Mereka bisa masuk ke dalam perasaan, pikiran, dan anganku. Mereka memberiku makanan bergizi. Mereka juga memberiku butiran-butiran merah, putih, biru, coklat, kadang kuning. Aku dapat tidur nyenyak. Cahaya hijau pun sudah tak berdaya, terkulai lemah, matanya layu. Ia hanya dapat menguasai jari-jari kakiku.            Orang-orang putih begitu perhatian kepadaku, juga kepada teman-temanku di tempat yang penuh bayang-bayang abstrak itu. Di situlah aku berada kini, bertahun-tahun.

RAMBUT GONDRONG ZULBoim Lebon

07:30. Zul masih ngulet di atas kasur. Gaya nguletnya lain daripada yang lain! Kaya penari balet lagi show, tangannya melesat ke atas, kakinya megar, terus pose beberapa detik, baru ganti gaya lagi! Ya, begitu berulang-ulang, sampai akhirnya cowok bernama lengkap Zulkifli itu melintir dan jatuh dari atas kasurnya! Gedubraaak! “Aduuh…! Kenapa saya ada di sini?” Zul mengucek-ucek matanya yang belo dan berbulu mata lentik, kaya mata itik. Hihihi. Setelah menyadari bahwa dirinya barusan bermimpi terjun payung dari pesawat hercules, cowok kelas satu aliyah itu berusaha bangun untuk langsung mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi kutolong… iiih… kok jadi nyanyi? “Iiih, kenapa juga saya bisa ada di sini?” Zul melihat ke jam dinding yang tertawa. Zul kaget. “Wow, udah siang!” Cowok yang punya berat badan 55 kg itu segera bergerak meninggalkan kamarnya menuju kamar mandi, tapi sebelum benar-benar keluar dari kamarnya, anak yang punya rambut panjang menjuntai nyaris melewati bahunya itu tertegun. Dia melihat ada seseorang berdiri di hadapannya dengan wajah yang jelek banget! Muka gembil dan rambut panjang awut-awutan. Zul kembali mengulang adegan, yaitu mengucek-ucek matanya yang belo dan berbulu mata lentik itu. Zul menajamkan pandangan ke arah sosok misterius. Tentu saja sambil membaca doa-doa yang dihapalnya. “Allahumma barik lana fima rajak tana wa kina aja bannnar, eh itu sih doa mau makan, Ya Allah doa apalagi ya?” Zul mulai panas dingin.

“S-siapa dia? Makhluk halus dari mana ini? Hiiii… syereeem!” Zul kembali mengucek-ucek matanya (iiih, apa nggak ada adegan lain? Dari tadi ngucek-ngucek mata melulu!), sambil menahan napasnya dan mengamati sosok aneh bin ajaib di hadapannya itu, dan ternyata… olala, cowok yang punya pipi temben itu pun tersadar sambil nyengir, rupanya dia sedang berdiri di depan cermin! Hihihi. Akhirnya Zul dengan cengengesan segera masuk ke kamar mandi. “Kirain ada penampakan…!”***04:00 Sebetulnya Zul sudah bangun pada jam segitu. Shalat tahajud dua rakat, plus witir tiga rakaat, terus berangkat ke masjid di belakang rumah. Shalat Subuh berjamaah, ikutan ta’lim masjid, terus balik lagi ke rumah, terus mata sepet, ya tidur lagi, deh! Yah, Zul masuk sekolah siang, jadinya dia masih bisa tidur lagi setelah aktifitas ibadah paginya beres. Zul ini anak kos-kosan. Tadinya sih dia sekolah di daerah Tangerang, sekolah di SMP Negeri, tapi karena dia ingin masuk ke sekolah agama yang bagus menurut informasi yang dia terima, maka akhirnya dia sekolah di luar kota. Waktu itu Zul bertemu sama Yudha, kakak kelasnya yang cerita kalo di sebuah daerah ada sekolah SMU yang berasrama dan memiliki sejumlah mata pelajaran bagus, artinya ada keseimbangan antara pelajaran umum dan pelajaran agamanya, bahkan kata Yudha, banyak siswanya yang sudah hapal Qur’an. Zul tertarik. Dia ngomong sama ortunya dan ortunya setuju sekallleee! Apalagi Zul waktu itu bilang dia mau berubah jadi anak yang shaleh, nggak mau banyak main, nggak mau naksir-naksiran lagi, pokoknya nggak mau buang-buang waktu lagi, deh! Percuma! Nggak benar itu filosofi muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga! Uh, nehi! Tapi pas Zul daftar, di sekolah itu lagi ada renovasi, akibatnya asramanya nggak bisa langsung dipakai. Jadinya dia kudu kos dulu. Namun begitu ia merasa tetap bisa melatih sifat kemandirian. Misalnya dengan cara belajar bangun malam untuk shalat tahajud, nyuci baju sendiri, masak nasi sendiri, mandi sendiri! Hihihi. Tapi untuk bangun malam, kadang-kadang masih sering kebablasan. Apalagi kalo malamnya dia keasyikan nonton tivi, jangankan tahajud, subuh juga suka los! Makanya mulai sekarang dia nggak mau lagi di kamarnya ada tivi! Pokoknya yang namanya tv tidak boleh ada di kamar lagi, harus masuk ke ruang tamu! Lho, kok cuma pindah ke ruang tamu? Sama aja, dong! Nggak, pokoknya nggak ada lagi yang namanya tivi, radio, cd, vcd, dvd, si didi, eh, ini kan nama kucing tetangga, pokoknya semua harus mengungsi dari ruangan ini!” Ya, sebetulnya menurut Zul yang namanya tivi itu bisa dibilang penting nggak penting! Dibilang penting karena suka ada informasi menarik, tapi jadi nggak penting karena di sana masih suka ada tayangan yang bikin mata dan hati risih. Bahkan kalo diitung-itung masih banyak yang bikin risih daripada yang berisi. Jadi ya gitu deh, penting nggak penting, pokoknya harus ngungsi!

Yang jelas, untuk sementara tivi itu harus diparkir di dalam lemari pakaiannya, berikut perangkat lunak lainnya. Nanti, kalo acara-acara tivi di Indonesia udah banyak yang baik dan benar Zul akan memajangnya kembali. Zul sudah mandi. Mencari baju di lemari bajunya yang penuh sesak dengan segala macam barang, jadi selain ada baju, ya ada tivi yang disimpan, juga ada album foto kenangan waktu SMP dulu. Aduh, Zul mesem-msesem melihat foto seorang cewek cantik dalam album itu. “Maharani kamu kok cantik banget, sih?” kata Zul sambil geleng-geleng kepala, ke kiri ke kanan, ke atas ke bawah. Dulu Zul naksir banget ama si Rani itu, bahkan sampai sering ngimpi berdampingan dengan Maharani hingga akhir hayat. Duilee! Tapi ketika Zul mendapat nasihat dari Yudha supaya jangan mikiriin cewek dulu, Zul berusaha melupakan Maharani yang sebetulnya sudah mulai memberikan lampu ijo. “Udahlah Zul jangan mikirin yang begituan dulu kalo lo mau cita-cita kesampaian,” pesan Yudha. Buat Zul, berat melupakan Maharani yang cantik, makanya ketika dia ingin pindah sekolah ke sekolah agama yang bagus, pikirnya sekalian aja biar bisa ngelupain Maharani, deh. Biar nggak ketemu-ketemu lagi, gitu! Abis, kalo masih ketemu susah ngelupainnya! Tapi untuk sementara Zul belum bisa membuang sisa-sisa foto itu, makanya sebagian disembunyikan di lemari bajunya. Itung-itung pengganti kamper! ***08:30! Ini adalah hari Jum’at! Saatnya untuk bersih-bersih!Zul yang sudah mandi, langsung mau nyari barbershop! Doski mau potong bebek angsa, eh sori, mau potong rambut! Udah tiga bulan lebih cowok kelahiran kota industri ini nggak potong rambut sehingga rambutnya mulai gondrong. Lagian kasihan sama kutu, jadi pusing kalau mau jalan-jalan di kepala Zul. Juga Ustadz Hendra paling nggak suka melihat santri cowok berambut gondrong! Setelah rapih-jali, Zul keluar kamar untuk mencari tukang potong rambut. Ketika melewati sebuah pusat pertokoan, Zul mampir dulu. Mau lihat-lihat dan numpang ngadem.Biar pun baru buka tapi pusat pertokoan itu sudah ramai. Zul melihat-lihat deretan kemeja yang dipajang, dan tiba-tiba Zul beristigfar, karena di ujung sana nampak seorang cewek cantik berdiri memandang ke arahnya. Zul terus ngucap sambil berusaha menundukkan pandangan, dia nggak mau tergoda untuk melihat sosok itu.

Ya, biarpun baru beberapa bulan jadi anak sekolah agama, Zul sudah ingin kelihatan sebagai anak santri yang hakiki. Sambil melihat-lihat ke deretan kemeja dia terus saja menundukkan pandangan, dan ketika mendekati ke arah cewek cantik itu, Zul tanpa sengaja melihat ke arah kakinya, lho kok… menggantung? Zul kaget. “Setan? Masak sih, siang-siang ada setan?” Buru-buru Zul merapal doa-doa yang dihapalnya lagi, “Allahuma barik lana, iiih, kok doa mau makan lagi? Bismilllah… Bismillah…” Zul mengucek-ngucek matanya yang belo dan punya bulu mata lentik itu. Again, ngucek-ngucek mata lagi? Abis, mau ngucek-nguce mata siapa lagi! Akhirnya Zul memastikan sosok cewek cantik tadi… oops, teryata sebuah manekin! Zul jadi ngikik sendiri! Capek-capek udah jaga pandangan mata, taunya cuma cewek boongan alias boneka peraga yang sengaja di pajang di sudut toko! Ih, jijay bajaj!Setiap minggu, biasanya menjelang shalat Jum’at si Zul emang suka rapih-rapih, dengan memotong kuku tangannya, kuku kakinya dan juga kalo kerajinanan sampe ke kuku-kuku teman-temannya. Hehehe. Eh, asal jangan motongin kuku kaki kuda aja! Disepak tau rasa, deh, Zul! Zul memang paling terkenal rapi-rapi. Eh, rapi itu bersih, dan bersih itu sebagian daripada iman. Iya, kan? Tapi kadang suka kelewatan, bisa hampir semua tempat dia rapihkan. Dari mulai kamar, terus lemari bukunya, terus kamar mandinya, dan kadang-kadang kelasnya juga dirapikan, terus sandal-sandal di masjid, sandal-sandal di toko… Hihihi. ***09:15 Di dekat pertokoan ada sebuah barbershop, dan Zul berjalan ke arah tempat itu. Tapi penuh. “Berapa orang lagi nih, Kang?” tanya Zul ke tukang potong rambut. “Yang ngantri?” “Ya, ada empat setengah kepala lagi, deh!” “Lho, kok pake setengah, sih?” “Yang satu anak kecil!” “Oooh…” Kalo diitung-itung setiap kepala menghabiskan waktu setengah jam, berarti bisa dua jam lebih Zul harus menunggu giliran dipotong rambutnya. “Hm, daripada nunggu dua jam mendingan cari tempat lain, deh!” Zul memutuskan naik angkot yang melewati pasar tradisional, di sana kayanya lebih banyak tempat untuk potong rambut. Tapi pas sampai sana tempat itu juga penuh! “Duile, banyak banget orang mau potong rambut!” Zul melihat ke jam tangannya, menghitung-hitung, “Hmm, setengah dua belas sudah harus siap shalat jum’at, nih. Jadi masih sempat mencari tempat lain.” Ya, Zul memutuskan jalan lagi untuk mencari tempat cukur yang lain.

10:30 Pas di barbershop pojokan pasar Zul menarik napas lega, karena agak mendingan, di situ si tukang cukur cuma nyukur satu orang aja. “Berarti cuma nunggu sebentaran, nih,” kata Zul seraya bersiap memasuki tempat cukur rambut. Tapi begitu mau masuk ke barbershop, Zul kaget bukan main. Dia melihat Maharani! Dia langsung mengucek-ngucek matanya yang belo dan punya bulu mata lentik itu. Kali ini nggak cuma sekali mengucek, bahkan sampai pake so clean segala biar pandangan matanya jadi is the best! “Eh, nggak salah lihat, nih?” “Eh, Zul?” ujar si Rani. “R-ante eh kok rante, R-ranii?” “Kok kamu di sini?” tanya Maharani lagi. “Saya kan sekarang sekolah di sini, mondok di sini, kamu sendiri ngapain di sini?” tanya Zul masih nggak percaya. “Lagi ke rumah nenek. Dia sakit jadi sekeluarga pada nengokin. Iiih, gak nyangka ya bisa ketemu di sini,” ujar Rani kelihatan senang bertemu Zul. “Eh, i-iya,” kata Zul mulai deg-degan. “Udah lama juga ya nggak ketemu, sejak lulus sampe sekarang. Lama juga ya?” “Iya, hampir setengah tahun.” “Eh, kamu gemukan, deh!” komentar Maharani lagi. “Makan melulu ya?” Zul nyengir. Pantesan aja yang diingatnya cuma doa mau makan! “Di sini udaranya kan masih bersih,” jawab Zul memberi alasan kenapa badannya tumbuh subur. “Terus kamu ngapain?” “M-mau potong rambut...” “Potong rambut? Kayanya kamu bagusan gondrong, gitu. Manglingin tau. Aku aja tadi nggak tau kalo itu kamu.”

“Ooh, gitu ya?” idung Zul kembang-kempis. 11:30 Sebelum azan berkumandang Zul sudah ada di masjid sekolahan, untuk shalat Jum’at berjamaah. “Hei, Zul, rambut kamu masih gondrong? Ntar ditegur Ustad Hendra lho!” kata Ridwan yang menggelar sajadah di samping Zul. “Iya, nih, mungkin besok kali baru gue mau potong. Abis, abis…” “Abis kenapa?” “Ah, abis… abis...” Zul nggak berani meneruskan kata-katanya hanya dalam hatinya dia bertekad, untuk menjadi calon santri yang baik, harus mampu mengenyahkan godaan, termasuk godaan dari sang cewek pujaan yang tiba-tiba saja muncul di sebuah kota yang berjarak sekitar 300 kilo meter dari kota asalnya itu! “Abis jum’atan deh, baru potong...” kata Zul lagi. “Lho, kan sunahnya sebelum Jum’atan rapih-rapih, bersih-bersih…” Zul cuma nyengir. ***16:45 Zul bertekad potong rambut! Habis shalat Ashar, kebetulan jam terakhir kosong, Zul kembali mencari barber shop. Tapi anehnya Zul mendatangi tempat cukur di mana dia bertemu dengan Maharani tadi. “Kayanya nyukur di sini enak, deh! Adem,” kata Zul beralasan. Atau Zul masih berharap ketemu lagi dengan cewek cantik mantan incerannya di SMP dulu? “Ah, nggak! Ini baru salah satu godaan, pokoknya saya harus potong rambut! Apapun yang terjadi! Niatnya potong rambut. Biar kelihatan rapih dan bersih! Titik! Nggak ada niat-niat lain! Titik. Tapi kalo dia nongol lagi, gimana? Koma…” “Mau dipotong model apa nih?” tanya tukang cukur mengingatkan Zul yang bengong. “Eh, potong pendek Kang!” “Sepuluh senti, lima senti?” “Satu senti!” “Botak dong?” Tak lama, rambut Zul sudah hampir lenyap dipangkas pisau cukur. Tersisa sedikit. Zul kelihatan lebih segar, karena kepalanya yang punya satu pitak itu kelihatan lebih cerah dan bercahaya, apalagi kalo berdiri di bawah lampu neon! “Masa bodo, kalo ntar ketemu Maharani lagi dan dia bilang suka rambut gondrong masa bodo! Rambut gue sekarang botak dan itulah gue!” Eh, pas keluar dari barbershop anehnya Maharani lewat lagi. Tentu saja Zul kaget lagi, tapi kali ini dia nggak perlu ngucek-ngucek mata lagi. Nanti terlalu banyak pengulangan adegan! “Eh, kok ketemu lagi, sih? Jadi sepeti kebetulan, deh!” tegur Zul ke Rani. “Iya, kaya di sinetron-sinetron!” jawab Maharani menimpali. “Tadi siang belanja tapi masih ada yang kurang, terus disuruh ke sini lagi, deh. Lha, kamu juga ngapain lagi di sini?” "Potong rambut!” kata Zul menjawab dengan mantap. “Ow, pantesan, kamu jadi kelihatan botski begitu? Aduuuh… bagus banget! Jadi keliatan rapih!” “Lha, tadi kamu bilang suka cowok rambut gondrong?” “Oh, saya sih melihat cowok rambut gondrong suka, melihat cowok rambutnya botak juga suka…” Hah, Zul jadi bingung. Tapi kini tekadnya sudah bulat, “Tapi sori, saya harus cepat pulang, karena menjelang magrib ada ta’lim!.” “Cepat pulang? Iih, kayaknya lagunya slank aja. Eh, tapi aku paling suka deh sama cowok yang hobi ta’lim!” Hah? “Boleh ikutan ta’lim, Zul?” “Eh nggak, nggak boleh ini ta’lim khusus santri!” jelas Zul. “Khusus anak-sanak sekolahan aja!” “Ikut pulang bareng, deh! Kita kan satu arah. Rumah nenekku di belakang sekolahan kamu lho, ternyata!” “Eh jangan…!” “Dulu kamu paling sering ngajakin pulang bareng. Kamu kok sekarang berubah, deh!” “Eh iya, eh nggak, eh iya, ehenggak, eh iya gue udah berubah, eh nggak kok! G-gue masih seperti yang dulu, yuk kita pulang bareng…” Maharani tersenyum. Tapi ketika hendak melangkah menggandeng tangan Rani, kaki Zul tersandung badan trotoar. Dia terjatuh! Gedubraaak! “Eh, di mana nih?” Zul mengucek-ngucek matanya yang belo dan punya bulu mata lentik itu sambil melihat ke sekelilingnya. “Lho, Maharani mana? “Hei suara apa, itu?” teriak suara bariton dari arah depan. Tak ada jawaban, yang ada hanya cekikikan anak-anak sekelas!

“Zul, kenapa kamu? Ya, ampun tidur lagi!” “Astagfirullah, j-jadi, j-jadi saya m-mimpi? Alhamdulilllaaaah…!” teriak Zul dari bangkunya! “Hei, Zul, “ bentak Ustadz Hendra dari depan kelas, “kamu ngigo ya? Di kelas kok bisa tertidur? Cepat bangun dan cuci muka sana!” “Eh iya, Pak…” “Hei Zul,” tahan ustad Hendra, “kenapa rambutmu belum dipotong?” “Eh, nanti pulang pulang sekolah…” jawab Zul dengan cepat ngeloyor keluar kelas. Sementara tawa cekikikan anak sekelas belum juga mereda. Hihihi.

SLAMET, HEPY, DAN TAHUN BARUIyus

    Pagi tahun baru 2006 di rumah Erdin dibuka dengan kehebohan. Pasalnya, Mami mencak-mencak ketika masuk ke kamar mandi tercium aroma jengkol yang menyengat.

    “Erdin, Zef, Atiee……!!!” teriak Mami dengan histeris, mengingatkan orang pada jurus Auman Singa di film Kungfu Hustle-nya Stephen Cow.

    Erdin yang lagi berskiping ria, buru-buru berlari ke arah si empunya suara. Bang Zef yang masih gosok gigi langsung mencelat keluar dari kamar mandi. Sementara Mpok Atie yang asyik memupuri mukanya, spontan ngibrit menuju asal suara.

    “Ada apa sih, Mi…??” tanya Erdin, Bang Zef, dan Mpok Atie bareng-bareng, kayak keluar dari satu tenggorokan. 

    “Siapa yang pipis dengan aroma jengkol ini?!” tanya Mami dengan gaya interogator.

    Ketiga kakak beradik itu serentak mengendus-ngendus aroma yang dimaksud Mami.

    “Hmm…jengkol jenis apa nih?” tanya Erdin sambil terus mengendus.

    “Kayaknya semur jengkol nih…” sahut Bang Zef.

    “Ah, bukan. Ini mah kerupuk jengkol,” ralat Mpok Atie.

    “Kalian ini apa sih?!” sergah Mami sambil melotot. “Mami tanya siapa yang pipis dengan aroma jengkol ini, bukan identifikasi jenis jengkolnya!”

    “Hmm…Mami baru nyadar ya?” tanya Bang Zef. “Fenomena ini kan muncul sejak si Slamet numpang di rumah kita.”

    “Iya, Mi,” timpal Mpok Atie. “Mami ingat nggak, kemaren kamar mandi kita beraroma apa? Pete kan? Itu karena dia habis makan pete dua papan.”

 “Ya Allah, Slamet!” pekik Mami. “Aduh, gimana caranya menghilangkan aroma jengkol ini ya?”

    “Tenang, Mi,” sahut Erdin dengan gayanya yang tengil. “Menghilangkan aroma jengkol ini sangat mudah.”

    “Caranya?” tanya peserta yang hadir.

    “Caranya, nanti kalo Slamet datang, kita suruh dia makan pete yang banyak, karena aroma pete dapat menghilangkan aroma jengkol yang menyengat.”

    “Lha, nanti kan jadi bau pete?” protes Mpok Atie.

    “Jangan panik! Untuk menghilangkan bau pete, caranya juga sangat mudah.”

    “Gimana caranya?” tanya semua orang.

    “Suruh si Slamet makan jengkol lebih banyak lagi, karena aroma jengkol dapat menghilangkan aroma pete yang menyengat.”

    Bang Zef siap memoles kepala Erdin, tapi si empunya kepala buru-buru kabur ke depan untuk melanjutkan skipingnya. Pas Erdin membuka pintu, Slamet muncul. Erdin hampir nabrak cowok jangkung itu.

    “Eh, Met, kamu dicari Mami tuh,” sambut Erdin.

    “Ada apa?”

    “Soal jengkol!”

    “Jengkol? Ada apa dengan jengkol?”

    Erdin ngangkat bahu. Slamet ngoloyor ke dalam. Mami yang masih uring-uringan langsung mendampratnya.

    “Slamet, kamu kalo makan jengkol jangan pipis di sini!” rutuk Mami.

    “Lha, jadi saya harus pipis di mana, Tante?” tanya Slamet dengan wajah lugu.

    “Di terminal sana!” sungut Mami. “Kamu tahu nggak sih, di rumah ini nggak ada orang yang doyan jengkol.”

    “Habis, saya bingung harus makan apa, Tante. Sekarang kan lagi musim makanan mengandung formalin. Daripada saya kena penyakit, saya makan jengkol aja yang bebas formalin. Lagian kan jengkol mengandung vitamin B, A, dan U yang tinggi, Tante.”

    “Vitamin B, A, dan ..?”

    “Iya, Tante...” jawab Slamet, kalem. “Vitamin B..A..U...”

    Itulah segelintir masalah yang dihadapi keluarga Erdin di tahun baru. Slamet yang jadi trouble maker itu datang persis subuh-subuh di malam tahun baru kemarin. Katanya dia habis ikut pawai tiup terompet sama teman-teman sekampungnya di monas. Sambil niup terompet yang bikin kuping kriting, cowok itu melas-melas supaya diizinkan numpang tidur di rumah Erdin.

    “Please dong, Tante, rumah saya lagi kena banjir tahunan. Saya kan nggak mungkin tidur di emperan toko. Tahun baru gitu loh, Tante...”

    “Kamu ini! Udah tahu rumah kebanjiran malah ikut pawai tahun baruan!” semprot Mami. “Memangnya dengan niup terompet banjir di rumah kamu itu bakal surut?”        “Ya, nggak sih, Tante,” sahut Slamet. “Kan nggak perlu niup terompet banjirnya juga lama-lama surut sendiri.”

    Sambil menahan dongkol, Mami akhirnya mengizinkan Slamet untuk nginap di rumahnya. Kedongkolan Mami memang ada alasannya. Terbukti, besoknya, pagi-pagi buta, dari kamar Slamet melengking lagu dangdut yang digeber dengan volume tinggi.

    “Aku bukan pengemis cintaaaa......!”

    Mami yang lagi tadarusan di kamarnya langsung syok.

    “Slameeet...!”  Mami menahan gemeletuk giginya sambil keluar lalu menggedor pintu kamar Slamet.

    “Slamet, buka pintunya!” teriak Mami.

    Pintu terbuka, kepala Slamet nongol. Terasa hempasan angin diikuti raungan musik dangdut yang keluar dari kamar Slamet. 

    “Ada apa, Tante?” tanyanya tanpa dosa.

    “Kamu sadar nggak ini jam berapa?”

    “Emang kenapa, Tante?”

    “Emang kenapa?” Mami melotot. “Kamu pikir apa yang biasa dilakukan orang pagi-pagi buta begini?”

    “Tidur lagi. Tapi, saya lagi senam aerobik, Tante. Tante mau ikut? Sini ke dalam, Tante!”Mami sudah tak sanggup lagi. “MATIKAN MUSIKNYAAAA.....!”

    Jurus Auman Singa lagi. Dan Slamet langsung mencelat ke dalam, lalu raungan musik dangdut itu pun mati seketika.

***

    SELAMAT TAHUN BARU 2006. Triple-E membaca spanduk gede yang terpampang di pintu masuk RSJ Mendingan Waras itu.

    “Jadi, sekarang mami kamu selalu mengeluarkan jurus Auman Singa setiap marah sama sesuatu?” tanya Evita, ngomentarin cerita tentang si Slamet yang heboh.

    “Tadinya ogut khawatir itu jadi kebiasaan baru Mami dalam rangka mengisi tahun baru 2006 ini,” sahut Erdin. “Tapi, pas si Slamet udah balik lagi  ke rumahnya, Mami udah nggak teriak-teriak lagi tuh.”

    “Berarti nasib kita masih lebih baik, Ta,” timpal Eddy. “Di tahun baru ini kita juga lagi kedatangan tamu, Din. Hepy namanya. Dia anak kakaknya Bibi Maryam yang lagi tugas di Jakarta.”

    “Gimana orangnya? Rese kayak si Slamet nggak?”

    “Untungnya nggak. Semua kebiasaannya normal-normal aja.”

    “Cuma,” timpal Evita. “Narsisnya itu nggak ketulungan. Setiap hari dia ngebangga-banggain soal kehebatan prestasi kerjanya melulu. Pegawai teladan-lah, the rising star-lah, pokoknya bikin bete deh!”

    “Wah, itu bagus. Berarti si Hepy itu orangnya kreatif dan inovatif.”

    “Iya sih. Cuma kadang-kadang ngenyeknya itu bikin kuping panas. Abis, dia selalu ngebandingin pekerjaannya dengan pekerjaan kita di Wistang.”

    Slamet, pasien RSJ yang masih suka angot, muncul sambil menjinjing kantong semen berisi sesuatu. Di belakang Slamet, Pak Munadi berjalan membuntuti dengan muka curiga.

    “Hei, Slamet, bawa apa kamu?” teriak Pak Munadi.

    Slamet cengar-cengir di tempatnya. “Ini Apel...!”

    Slamet menunjukkan bungkusan kantong semen berisi tikus hasil buruannya yang bergerak-gerak.

    “Kamu jangan macam-macam ya, Met. Di sini dilarang piara binatang! Awas kamu kalau ketahuan bawa binatang.”

    Pak Munadi pergi sambil menggerutu. Triple-E menghampiri Slamet.

    “Eh, Met, tikus jenis apa yang berhasil kamu tangkep?” tanya Eddy.

    “Ini Apel!” sahut Slamet dengan sengit.

    “Coba sini saya lihat!” Erdin mengambil kantong semen dari tangan Slamet lalu membukanya. Dua ekor tikus di dalamnya langsung berlompatan.

    “Nah, ini tikus kan? Kamu bilang ini apel? Gimana sih kamu?” sungut Evita.

    “Iya...ini memang tikus, tapi saya kasih nama Apel!”

    Triple-E geleng-geleng kepala, lalu ngeloyor menuju ruang Om Probo.

    “Di tahun baru ini, Om ingin membuat program yang mengarahkan pasien untuk berpikir secara ilmiah. Harapan Om, pasien yang sudah mulai sembuh bisa menggunakan kembali nalarnya dengan baik.”

    “Apa nama programnya, Om?”

    “Lomba berpikir ilmiah. Tapi, pasien nggak perlu harus membuat percobaan. Yang penting mereka punya ide untuk kita nilai

ilmiah atau tidak.”

    Ide Om Probo itu digelar dua hari kemudian.

    “Kamu punya ide ilmiah apa?” tanya Om Probo kepada seorang pasien yang asyik mengunyah makanan.

    “Ini hasil penelitian dadakan, baru aja saya lakukan.”

    “Apa hasil penelitian kamu?”

    “Menggabungkan dua jenis tanaman yang berbeda spesiesnya. Saya rasa ini pasti berhasil.”

    “Oh ya?” Om Probo, antusias. “Apa dua jenis tanaman itu?”

    “Kelapa dan singkong.”

    Om Probo berpikir sebentar. “Apa yang terjadi dengan kedua tanaman itu?”

    “Jadi getuk,” sahut si pasien sambil menunjukkan makanan di tangannya.

    Sementara itu Triple-E sedang menghadapi Dulkamdi dan Jonted yang terlibat perang mulut.    “Kenapa kalian berantem?” tanya Erdin.

    “Dia ngatain saya kambing kurap!” teriak Dulkamdi setengah menangis. “Saya kan selebritis!”

    “Lho, saya cuma bilang, “Selamat Tahun Baru, Kambing Kurap!”. Emang itu salah?” balas Jonted nggak mau kalah.

    “Jelas salah,” sahut Eddy. “Soalnya teman kamu ini bukan kambing, apalagi kambing kurap. Dia ini selebritis...”

    “Kamu harus minta maaf sama dia,” kata Evita. “Bilang, “Selamat Tahun Baru, Selebritis.” Ayo!”

     “Ntar dulu. Saya mau tanya,” kata Jonted. “Kalau saya nggak boleh ngatain selebritis sebagai kambing kurap, boleh nggak saya ngatain kambing kurap sebagai selebritis?”

    Triple-E berpikir sebentar.

    “Boleh!” jawab Erdin mantap. “Boleh banget. Ayo lakukan!”

    “Asal kambing kurap itu nggak tersinggung aja,” timpal Eddy.

    “Terima kasih kalo begitu,” ucap Jonted. Habis gitu dia ngomong keras-keras ke arah Dulkamdi, “Selamat Tahun Baru, Selebritis!”

    Dulkamdi tersenyum senang. Triple-E kelihatan lega karena berhasil mendamaikan dua pasien itu. Sementara Jonted ngoloyor sambil nyengir penuh kemenangan.

    “Ah, kena kita dikadalin si Jonted!” cetus Evita.

    “Iya, ogut juga baru sadar...” Erdin menyahut dengan lesu.

    “Jadi...tetap saja si Dulkamdi itu kambing kurap kan...?” tanya Eddy, sambil memanyunkan bibirnya.

***    Di rumah Eddy, keluarga Bibi Maryam sedang membicarakan soal Hepy, keponakan Paman Yadi yang numpang tinggal buat ngurus kenaikan jabatannya di kantor cabang Jakarta.

    “Kalian contoh tuh si Hepy,” cetus Bibi Maryam. “Kerja baru satu tahun, dia sudah mau diangkat jadi kepala cabang Jakarta. Hebat nggak tuh?”

    “Satu tahun?” Eddy bertanya sambil ngemil combro. “Gimana bisa? Kalo nggak nyogok, pasti ada main tuh si Hepy.”

    “Buruk sangka deh!” sungut Bibi. “Ingat ya, sirik itu tanda tak mampu.”

    “Bukan sirik, Bi,” ralat Evita. “Eddy cuma curiga. Kepala Cabang itu kan jabatan tertinggi di kantor cabang. Masa sih bisa didapat cuma dalam jangka satu tahun?”

    “Ogut baru percaya kalo si Hepy itu kerja di ABTI.”

    “ABTI?” tanya Bibi Maryam. “Apa itu?”

    “Asosiasi Bandar Togel Indonesia...”

    “Ah, kamu!” sergah Bibi, sebel. “Kalo sirik bilang aja sirik!”

    Tahu-tahu yang diomongin nongol. Hepy muncul dari pintu gerbang diapit sama Bang Zambronx yang pake seragam polisi! Triple-E langsung melotot. Bang Zambronx preman jalanan jadi polisi?

    “Hai!” sapa Hepy dengan riang. “Lagi pada ngobrolin apaan nih?”

    “Nggak, lagi kaget aja ngelihat gandengan kamu.”

    “Oh ya? Kenalin nih. Bang Zambronx...”

    “Kamu ngapain juga, Bronx, pake pakaian polisi? Kamu kan preman?”

    “Biarin. Polisi aja boleh pake pakaian preman, kenapa preman nggak boleh pake pakaian polisi?”

    Evita menarik tangan Hepy sambil berbisik, “Ngapain juga kamu bergaul sama Zambronx? Kamu kan cewek baik-baik, Py!”

    “Ih, biarin aja. Bang Zambronx kan juga preman baik-baik.”

    “Kamu jangan ngeyel ya, Py! Kamu anak baru di sini. Aku tuh tahu banget gimana kelakuan Zambronx.”

    “Aku cuma berteman kok. Lagian Bang Zambronx tuh orangnya baik, suka nolong aku kalo lagi digangguin sama cowok-cowok norak di sini.”

    Evita cuma bisa geleng kepala. Hepy nggak bisa dikasih tahu kalau Zambronx itu BD yang paling dicari sama polisi berpakaian preman. Dia itu bukan cuma BD narkoba, tapi juga BD togel.

    “Abang balik dulu ya, Py,” kata Zambronx sambil melambaikan tangan. “Kalo kamu dapat masalah sama cowok-cowok di sini, jangan ragu-ragu buat ngontak Abang. Daag..!”Hepy balas berdaag ria. Eddy dan Evita saling pandang sambil tersenyum sepet.

    “Eh, Bi, besok aku menghadap direktur utama buat ngomongin soal pengangkatan aku jadi kepala cabang Jakarta. Bibi mau nggak nganterin aku?”

    “Ah, Bibi malu, Py,” sahut Bibi Maryam. “Ajak Eddy dan Evita aja tuh. Biar mereka bisa belajar sama kamu, gimana caranya mengukir prestasi kayak kamu.”

    “Boleh,” jawab Hepy sambil melihat Eddy dan Evita dengan pandangan nyebelin, “asal mereka nggak bikin bete aja.”

    Besok paginya, Hepy sudah melenggang di kantornya dengan lagak tengil yang nggak ketulungan. Apalagi di kanan dan kirinya berjalan Eddy dan Evita dengan wajah manyun. Pikiran Hepy, orang pasti menganggap dua saudaranya itu bodyguard sewaannya.

    “Kalian tunggu di sini ya!” perintah Hepy. “Aku mau menghadap dirut yang udah nggak sabar buat ngangkat aku jadi kepala cabang di sini.”

    Eddy dan Evita cuma bisa menatap Hepy dengan sinis campur pasrah. Hepy melangkah dengan gagah gemulai menuju ruangan dengan pintu bertuliskan “Don’t Disturb! Dirut Gitu Lohh..!”

    “Kepala cabang?” gerutu Eddy. “Huh, amit-amit cabang bayi...!”

    “Paling urusannya dari Cabang sampai Merauke...” sahut Evita.

    Sementara di dalam ruang dirut, Hepy duduk dengan khusyuk, menunggu detik-detik dirut mengeluarkan suara emasnya yang berisi persetujuan pengangkatan dirinya sebagai kepala cabang.

    “Hepy...” akhirnya setelah ditunggu lama, terdengar juga suara dirut. “kamu sudah satu tahun bekerja di perusahaan ini. Mulai dari jadi SPG (Sales Promotion Girl), lalu STM (Sales Ter-Manja), dan terakhir SMA (Sales Minta Ampun). Hari ini saya telah memutuskan untuk mengangkat kamu menjadi kepala cabang Jakarta.”

    Hepy kelihatan senang bukan main, wajahnya bercabang-cabang...senang, bahagia, bangga, dan senang lagi.

    “Nah, apa pendapat kamu tentang keputusan saya ini, Hepy?” tanya sang dirut.

    “Terima kasih...” suara Hepy terdengar pelan.

    “Terima kasih? Cuma terima kasih yang bisa kamu lakukan?”

    “Iya deh iya...terima kasih atas semua kebaikan Papi selama ini kepada Hepy...”

    Eddy dan Evita yang diam-diam mengintip adegan itu, nggak tahan untuk nggak ketawa. Dasar si Hepy Anak Papi! ***