angiofibroma nasofaring belia bahan tht

19
Angiofibroma Nasofaring I. Definisi Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor fibrovaskular jinak yang jarang, yang berasal dari area superoposterior foramen sfenopalatina. Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang relatif jarang ditemukan. Tumor ini secara histopatologis merupakan tumor jinak, tetapi secara klinis bersifat destruktif. 1,2,5,8 Tumor ini tumbuh relatif cepat dan dapat mendestruksi tulang disekitarnya dan dapat meluas ke sinus paranasal, fossa pterigomaksila, fossa infratemporal, fossa temporal, pipi, orbita, dasar tengkorak dan rongga intrakranial. Perluasan ke intrakranial 10-30 % dari semua kasus dengan bagian yang sering dikenai adalah kelenjar hipofise, fossa cranii anterior dan media. Secara histopatologis tumor mengandung dua unsur, yaitu unsur jaringan ikat fibrosa dan unsur pembuluh darah. 1,2,5,8 II. Anatomi Rongga faring merupakan kantong fibromuskular yang bentuknya menyerupai corong, yang besar dibagian atas dan sempit dibagian bawah. Kantong ini dimulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidug melalui koana, kedepan berhubungan 1

Upload: peter-young

Post on 08-Dec-2015

71 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

angiofibroma nasofaring belia

TRANSCRIPT

Page 1: Angiofibroma Nasofaring Belia bahan tht

Angiofibroma Nasofaring

I. Definisi

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor fibrovaskular jinak yang

jarang, yang berasal dari area superoposterior foramen sfenopalatina.

Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang relatif jarang ditemukan.

Tumor ini secara histopatologis merupakan tumor jinak, tetapi secara klinis

bersifat destruktif.1,2,5,8

Tumor ini tumbuh relatif cepat dan dapat mendestruksi tulang disekitarnya

dan dapat meluas ke sinus paranasal, fossa pterigomaksila, fossa infratemporal,

fossa temporal, pipi, orbita, dasar tengkorak dan rongga intrakranial. Perluasan

ke intrakranial 10-30 % dari semua kasus dengan bagian yang sering dikenai

adalah kelenjar hipofise, fossa cranii anterior dan media. Secara histopatologis

tumor mengandung dua unsur, yaitu unsur jaringan ikat fibrosa dan unsur

pembuluh darah. 1,2,5,8

II. Anatomi

Rongga faring merupakan kantong fibromuskular yang bentuknya

menyerupai corong, yang besar dibagian atas dan sempit dibagian bawah.

Kantong ini dimulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus

setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga

hidug melalui koana, kedepan berhubungan dengan mulut melalui ismus

orofaring, sedangkan dengan laring dibawah berhubungan dengan melalui aditus

laring dan kebawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior

pada orang dewasa kurang lebih 14 cm. Untuk tujuan klinis faring dibagi atas

nasofaring, orofaring dan laringofaring.6

Batas nasofaring dibagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian bawah

adalah palatum mole, kedepan adalah rongga hidung sedangkan kebelakang

adalah vertebra servikal. Nasofaring merupakan bagian dari faring yang berfugsi

untuk respirasi. Nasofaring mendapatkan suplai dari dari arteri faringeal asenden

dan cabang arteri maksila interna. Persarafan nasofaring berasal dari cabang N

IX, N X, dan saraf simpatis.6

1

Page 2: Angiofibroma Nasofaring Belia bahan tht

Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan

beberapa struktur penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral

faring dengan resesus faring yang disebut dengan rosenmuller, kantong ratkhe

yang merupakan invaginas struktur embrio6

Gambar 1. Anatomi Nasofaring

III. Epidemiologi

Angiofibroma nasofaring yang sering juga disebut dengan angiofibroma

nasofaring belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma) merupakan tumor jinak

yang sering ditemukan di nasofaring, dan sering ditemukan pada remaja pria

berusia antara 14-25 dan diperkirakan hanya 0.05 % dari semua tumor jinak yang

ada di kepala dan leher. Insiden pada usia dewasa sangat jarang ditemukan.

Pradillo dkk melaporkan bahwa persentasi pasien dengan usia lebih dari 25 tahun

hanya 0.7% dari semua pasien angiofibroma nasofaring sedangkan jumlah kasus

di RS M.Djamil Padang bagian THT-KL, Juli 2008 – Desember 2010 berjumlah 9

orang dengan usia antara 13-21 tahun. Umumnya terdapat pada rentang usia 7

sampai dengan 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan

jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring

terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Dilaporkan insidennya

antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000 pada pasien THT. Di RSUP. H. Adam Malik dari

Januari 2001 – Nopember 2002 dijumpai 11 kasus angiofibroma nasofaring.1,3

2

Page 3: Angiofibroma Nasofaring Belia bahan tht

IV. Etiologi

Penyebab tumor ini belum diketahui secara jelas. Banyak penulis yang

mengajukan berbagai macam teori, tetapi secara garis besar dibagi menjadi 2

golongan yaitu :1,3,5

1. Teori jaringan asal tumbuh

Teori jaringan asal tumbuh pertama kali ditemukan oleh Verneuil

yang diikuti oleh Bensch (1878). Ia menduga bahwa tumor terjadi

akibat pertumbuhan abnormal pada jaringan fibrokartilago embrionik

di daerah oksipital.

Teori yang sampai sekarang banyak dianut, dikemukakan oleh

Neel, yang berpendapat bahwa tempat perlekatan spesifik

angiofibroma adalah dinding postero-lateral atap rongga hidung,

tempat prossesus sfenoid palatum bertemu dengan ala horizontal dari

vomer dan akar prosesus pterigoideus tulang sfenoid.

2. Teori Hormonal

Martin dkk pertama kali mengemukakan bahwa diduga

angiofibroma nasofaring merupakan hasil dari ketidakseimbangan

hormonal, yaitu adanya kekurangan androgen atau kelebihan estrogen.

Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor

dengan jenis kelamin dan umur serta hambatan pertumbuhan pada

semua penderita angiofibroma nasofaring.

V. Patogenesis

Tumor pertama kali tumbuh dibawah mukosa ditepi sebelah posterior dan

lateral koana pada atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluar dibawah

mukosa sepanjang atap nasofaring,mencapai tepi septum dan meluas kearah

bawah membentuk tonjolan masssa diatap rongga hidung posterior. Perluasan

kearah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum kesisi

kontralateral dan memipih konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar

kearah foramen sfenopalatina, masuk kefisura pterigomaksila dan akan mendesak

dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fosa

intratemporal yang akan menimbulkan benjolan dipipi, dan rasa penuh diwajah.

Apabila tumor telah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak

3

Page 4: Angiofibroma Nasofaring Belia bahan tht

gejala yang khas pada wajah, yang disebut “muka kodok”. Tumor juga dapat

meluas hingga kearah intrakranial

Perluasan kearah intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan

pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa

serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosum dan fosa hipofise5

VI. Perdarahan

Suplai darah angiofibroma bersifat ipsilateral. Arteri pemasok utama

biasanya berasal dari arteri maksilaris interna. Pada tumor yang lebih besar

sumber perdarahannya berasal dari arteri faringeal asenden, arteri palatina mayor,

arteri meningeal rekuren dan arteri oksipital. Sebagian besar arteri pemasok tumor

ini merupakan cabang dari arteri karotis eksterna. Bila tumor meluas ke fossa

infratemporal, akan mendapatkan perdarahan dari arteri temporalis superfisialis,

arteri fasialis eksterna dan pembuluh darah transfasial. Pada tumor yang tumbuh

ke intrakranial sumber perdarahan yang utama, didapatkan dari sistem a. karotis

interna.3

Kesulitan utama dalam pembedahan tumor ini adalah perdarahan hebat,

yang dapat mencapai 2000-3000 cc dalam waktu yang singkat. Perdarahan saat

operasi dapat disebabkan karena hanya sebagian tumor yang terangkat atau tumor

sudah terdapat di intrakranial. Perdarahan hebat selain mengganggu jalannya

operasi sehingga sulit untuk melihat asal tumor, juga dapat terjadi syok

hipovolemik dan dapat mengakibatkan kematian. Untuk mengurangi perdarahan

hebat, Pandi mengemukakan beberapa upaya untuk mengatasinya, antara lain:

penggunaan anastesi dengan teknik hipotensi, tindakan ligasi a. karotis eksterna,

terapi hormonal, radiasi, dan tindakan embolisasi preoperasi.3

VII. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan radiologik. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan

histopatologis jaringan tumor pasca operasi, sebaiknya tindakan biopsi

dihindari.3,5,7

4

Page 5: Angiofibroma Nasofaring Belia bahan tht

VIII. Gejala Klinis dan Pemeriksaan fisik

Keluhan paling sering dijumpai adalah hidung tersumbat yang bersifat

progresif, epistaksis berulang dan rinore kronik. Epistaksis biasanya hebat dan

jarang berhenti spontan. Keluhan lain berupa rinolalia, anosmia, sefalgia, tuli

konduktif, deformitas wajah, proptosis dan diplopia. Sumbatan ostium sinus dapat

menyebabkan sinusitis. Perluasan tumor ke orofaring menimbulkan disfagia, dan

dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Bila tumor masuk ke dalam fisura

orbitalis superior timbul proptosis, dan dapat disertai gangguan visus serta

deformitas wajah penderita. Dari nasofaring tumor dapat meluas ke fossa

pterigopalatina, lalu ke fossa infra temporal, kemudian menyusuri rahang atas

bagian belakang dan terus masuk ke jaringan lunak antara otot maseter dan

businator. Hal tersebut di atas akan menimbulkan pembengkakan pipi dan trismus.

Perluasan tumor ke rongga intra kranial akan menimbulkan gejala neurologis.1,3,5,7

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi poterior maka akan tampak massa

tumor yang memiliki konsistensi kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai

merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh

selaput lendir sedangkan bagian yang meluas keluar nasofaring berwarna putih

atau abu-abu.

IX. Histopatologis

Secara makroskopis merupakan tumor yang konsistensinya kenyal keras,

warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Terdapat banyak

pembuluh darah pada mukosa dan tak jarang dijumpai adanya ulserasi. Pada

potongan melintang, tampak tumor tidak berkapsul, berlobus-lobus, tepinya

berbatas tegas, dan mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya.

Secara mikroskopik gambaran daerah vaskuler bervariasi, baik bentuk

maupun ukurannya dalam jaringan fibrosa. Sebagian terdiri dari jaringan

pembuluh darah dengan dinding yang tipis dalam stroma kolagen yang lebih

seluler. Sebagian lagi terdiri dari pembuluh darah yang agak tebal dindingnya,

terletak dalam stroma yang kurang seluler.1

5

Page 6: Angiofibroma Nasofaring Belia bahan tht

Gambar 2 : tampak komponen vaskuler diantara stroma jaringan ikat

X. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologik dapat membantu dalam menegakkan diagnosis

dan rencana tindakan selanjutnya. Pada pemeriksaan radiologik konvensional

akan terlihat gambaran klasik angiofibroma nasofaring dini. Gambaran ini di

sebut sebagai tanda “Holman Miller”. Dari pemeriksaan ini juga akan terlihat

adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring, atau erosi dinding orbita, arkus

zigoma dan tulang di sekitar nasofaring.1,3,8

Pada pemeriksaan CT-Scan dengan potongan koronal dan aksial, akan

memberikan gambaran yang lebih jelas. Dengan pemeriksaan ini diketahui lokasi

tumor dan perluasaan ke struktur sekitarnya serta melihat adanya invasi ke

tulang.8

Gambar 3 : CT Scan JNA : a. Potongan koronal, b. Potongan aksial

6

Page 7: Angiofibroma Nasofaring Belia bahan tht

Pemeriksaan magnetik resonance imaging dapat dilakukan dan bermanfaat

untuk melihat perluasan tumor ke intrakaranial dan hubungannya dengan

pembuluh darah utama serta struktur neurologik disekitarnya.8

Gambar 4 . MRI JNA : potongan koronal

Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis akan memberikan gambaran

yang khas yaitu :

1. Pendorongan arteri maksila interna ke depan sebagai akibat

pertumbuhan tumor dari nasofaring ke arah fossa pterigomaksila.

2. Massa tumor terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai

maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikan.

Pemeriksaan angiografi bertujuan untuk melihat pembuluh darah

pemasok utama, mengevaluasi besar dan perluasan serta residu tumor.

Suplai darah dapat dari kedua sisi leher.

XI. Stadium Tumor

Sistem penderajatan angiofibroma nasofaring pertama kali dikemukakan

oleh Sessions dkk, lalu dimodifikasi oleh Fisch dan Chandler.1,2,3,5,7,8

Klasifikasi menurut Session adalah :

1. Stadium IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau

nasofaringeal voult.

2. Stadium IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau

nasofaringeal voult dengan meluas setidaknya satu sinus paranasal.

7

Page 8: Angiofibroma Nasofaring Belia bahan tht

3. Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila.

4. Stadium IIB : Tumor memenuhi pterigomaksila tanpa mengerosi

tulang orbita.

5. Stadium IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas

sedikit ke intrakranial.

6. Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau

tanpa meluas ke sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut:

1. Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa

mendestruksi tulang.

2. Stadium II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus

paranasal dengan destruksi tulang.

3. Stadium III : Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan

atau regio paraselar.

4. Stadium IV : Tumor menginvasi tumor kavernosus, regio kiasma

optik dan atau fossa pitultary.

Chandler seperti dikutip oleh Ungkanont membagi penderajatan tersebut

menjadi sebagai berikut:

1. Stadium I : Tumor terbatas di nasofaring

2. Stadium II : Meluas ke kavum nasi dan atau sinus sfenoid.

3. Stadium III : Meluas ke salah satu atau lebih sinus maksila dan

etmoid, fossa pterigomaksila dan infratemporal, orbita dan atau

pipi

4. Stadium IV : Meluas ke rongga intra kranial.

XII. Penatalaksanaan

Berbagai jenis pengobatan dikembangkan sejak ditemukannya tumor ini.

Penatalaksanaan tumor ini yaitu:3,5

1. Operasi

Operasi merupakan pilihan utama, pada penatalaksanaan

angiofibroma nasofaring. Operasi sebaiknya dilakukan di rumah skit

dengan fasilitas cukup. Beberapa pendekatan dapat dilakukan sesuai

dengan lokasi tumor, luas penyebara tumor, vaskularisasi,

8

Page 9: Angiofibroma Nasofaring Belia bahan tht

keberhasilan embolisasi dan ketermpilan operator. Terdapat beberapa

pendekatan operasi seperti transpalatal (pendekatan trasnpalatal,

transpalatal dengan ekstensi sublabial) transmaksila (rhinotomi

lateral/maksilektomi medial, pendekatan osteotomi Le Fort I,

digloving midfasial, pendekatan facial translocation), pendekatan

lateral basis krani (pendekatan preauricular subtemporal infratemporal,

pendekatan infratemporal tipe C), kombinasi dua pendekatan dan juga

melalui pendekatan endoskopi endonasal

2. Radioterapi

Terapi radiasi biasanya digunakan sebagai terapi paliatif untuk

mengurangi perdarahan pada saat operasi, sebagai terapi tambahan

pada tumor yang rekuren, dan pada tumor dengan pertumbuhan

intrakranial. Radiasi pada usia remaja dapat mengganggu

pertumbuhan tulang wajah, radionekrosis dan perubahan tumor

menjadi ganas. Terapi ini dilakukan juga pada pasien yang menolak

operasi dan pada tumor yang tidak mungkin untuk di operasi lagi.

3. Hormonal

Terapi hormonal diberikan preoperatif bertujuan untuk mengurangi

volume tumor dengan memberikan flutamid yang merupakan

antagonis androgen non steroid.

Di Indonesia seperti yang dikutip oleh Dharmabakti melaporkan

bahwa setelah pemberian estrogen, ternyata tumor mengecil tetapi

setelah pemberian dihentikan tumor tumbuh lagi.

4. Sitostatika

Geopfert dkk (1985) pertama kali memberikan sitostatika terhadap

5 kasus angiofibroma nasofaring yang mengalami residif dengan

memberikan kombinasi deksorubisin dan dekarbasin atau kombinasi

vinkristin, daktinomisin dan siklofosfamid. Hasil yang diperoleh

ternyata cukup memuaskan dan tumor mengalami regresi secara

perlahan-lahan, tanpa menimbulkan komplikasi. Sitostatika diberikan

pada tumor rekuren yang besar, pasca tindakan pembedahan, tumor

dengan pertumbuhan intrakranial dan tumor yang mendapat

9

Page 10: Angiofibroma Nasofaring Belia bahan tht

perdarahan utama dari pembuluh darah intrakranial. Obat yang

diberikan antara lain doksorubisin dan dacarbazine atau kombinasi

vinkristin, daktinomisin dan siklofosfamid.

5. Emboli

Tindakan embolisasi sebelum operasi dilakukan untuk mengurangi

perdarahan dan mencegah komplikasi akibat perdarahan. Untuk

melakukan embolisasi diperlukan angiografi terlebih dahulu untuk

mengetahui arteri mana yang memberi perdarahan tumor, sehingga

sering disebut angiografi embolisasi praoperasi. Embolisasi pra

operasi dapat mengurangi perdarahan saat operasi, tetapi perdarahan

pasca embolisasi saat operasi masih mungkin terjadi tergantung dari

derajat tumor.

Gambar 5 : Angiogram A. Carotis (a). Pre-Embolisasi (b). Post-

Embolisasi

6. Ligasi arteri karotis eksterna

Salah satu cara untuk mengurangi perdarahan selama operasi

adalah dengan melakukan tindakan ligasi arteri karotis eksterna.

Wilson mengemukakan bahwa perdarahan utama angiofibroma

nasofaring hampir semuanya unilateral, berasal dari a.maksilaris

interna dan a.faringeal asenden, yang merupakan cabang dari a.karotis

eksterna. Ligasi a.karotis eksterna dapat mengurangi perdarahan saat

operasi. Menurut Wilson, beberapa penulis menyatakan bahwa dengan

10

Page 11: Angiofibroma Nasofaring Belia bahan tht

ligasi arteri karotis eksterna ipsilateral hanya sedikit menurunkan

perdarahan, tetapi ligasi kedua arteri karotis eksterna dilaporkan

sangat berguna pada beberapa kasus.

XIII. Kekambuhan3

Gullane et al (1992) melaporkan angka kekambuhan 36% pada pasien

yang menjalani operasi dan 57% pada pasien yang menjalani radioterapi. Harma

(1959) melaporkan angka kekambuhan 46,5%. Laffargue (1947) seperti dikutip

oleh Lloyd melaporkan tidak adanya kekambuhan sama sekali. Lee KJ menulis

angka kekambuhan sekitar 6-20% pada pasien yang menjalani operasi. Horisson

melaporkan angka kekambuhan 27,5%. Pandi dan Rifki5 melaporkan timbulnya

kekambuhan 6,4%. Dharmabakti melaporkan angka kekambuhan penderita

angiofibroma yang telah dilakukan pembedahan 21,8%. Fagan melaporkan angka

kekambuhan 37,5%. Besarnya angka kekambuhan sangat tergantung kepada

luasnya tumor, teknik pembedahan yang digunakan dan pengalaman ahli

bedahnya sendiri.

XIV. Komplikasi3

Teknik operasi dengan menggunakan transpalatal yang dilakukan Rifki

untuk tumor stadium I dan II dapat mengakibatkan gangguan fungsi palatum.

Pendekatan rinotomi lateral memberikan lapangan pandang operasi yang lebih

baik, tetapi dapat mengakibatkan sikatrik yang mengganggu kosmetik.

11

Page 12: Angiofibroma Nasofaring Belia bahan tht

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahma, S. Et al., Angiofibroma Nasofaring pada Dewasa. Bagian

Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher (THT-KL).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang

2. Anggreani, L. Et al., Gambaran Ekspresi Reseptor Estrogen β pada

Angiofibroma Nasofaring Belia dengan Menggunakan

pemeriksaan Imunohistokimia. Bagian Telinga Hidung

Tengggorokan Kepala Leher (THT-KL). Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia Jakarta

3. Firdaus, M. A. Et al,. Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring

Juvenil dengan Pendekatan Transpalatal. Bagian Telinga Hidung

Tenggorokan Bedah Kepala Leher (THT-KL). Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas Padang

4. Asroel, H. A. Angiofibroma Nasofaring Belia. Bagian

Tenggorokan Hidung dan Telinga. Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera utara

5. Roezin A, Dharmabakti US. Angiofibroma Nasofaring Belia.

Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, editor. Telinga Hidung dan

Tenggorok, edisi ke-6, Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2007; 189-

190

6. Snell Richard S. Anatomi klinis Edisi keenam. Jakarta : EGC ;

2006. p. 796-796

7. Adams GL,. Et al,. Boies – Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997. 324

8. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available

from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm

12