angifibroma nasofaring juvenil
DESCRIPTION
Referat Angifibroma Nasofaring Juvenil Pembimbing: dr. Liliek Andriani, Sp.THT-KL Oleh: Shania Dyah Kurnia Dewi Pravica Juti Arunasari KSM ILMU THT RSU HAJI SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2021TRANSCRIPT
REFERAT
Angiofibroma Nasofaring Juvenil
Pembimbing:
dr. Liliek Andriani, Sp.THT-KL
Oleh:
Shania Dyah Kurnia Dewi (202110401011072)
Pravica Juti Arunasari (202110401011003)
KSM ILMU THT
RSU HAJI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Angiofibroma Nasofaring
Juvenil
Referat dengan judul “Angiofibroma Nasofaring Juvenil” telah diperiksa dan
disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi
kepaniteraan Dokter Muda di bagian Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala
Leher (THT-KL) RSU Haji Surabaya.
Surabaya, 12 November 2021
Pembimbing
dr. Liliek Andriani, Sp. THT-KL
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis mampu menyelesaikan
referat yang berjudul “Angiofibroma Nasofaring Juvenil”. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW
yang telah membawa kita dari zaman yang gelap gulita menuju zaman yang
terang menderang seperti saat ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak, rekan sejawat, dan terutama dr. Liliek Andriani, Sp. THT-KL yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing, sehingga referat ini dapat
terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat membuka diri
terhadap kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga referat ini dapat
memberikan manfaat bagi seluruh pembaca yang membutuhkannya.
Surabaya, 12 November 2021
Penulis
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 Anatomi 2
2.1.1 Anatomi Nasofaring 2
2.1.2 Vaskularisasi Nasofaring 3
2.1.3 Inervasi Nasofaring 3
2.2 Definisi 3
2.3 Epidemiologi 3
2.4 Etiologi 4
2.5 Patofisiologi 4
2.6 Staging Tumor 5
2.7 Perluasan Tumor 5
2.8 Makroskopis 6
2.9 Mikroskopis 6
2.10 Anamnesis 7
2.11 Pemeriksaan Fisik 8
2.12 Pemeriksaan Penunjang 9
2.13 Diagnosis 12
2.14 Tatalaksana 13
2.15 Komplikasi 16
2.16 Prognosis 17
2.17 Differential Diagnosis 17
BAB 3 KESIMPULAN 19
DAFTAR PUSTAKA 20
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring…………………………………….....2
Gambar 2.2 Klasifikasi Tumor Radkowski…………………………......5
Gambaran 2.3 Mikroskopis Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma.....7
Gambaran 2.4 Penampakan Hollman Miller Sign…………………….10
Gambaran 2.5 Erosi pada Dasar Sinus Sfenoid………………………..10
Gambaran 2.6 Penampakan salt and pepper...........................................12
Gambaran 2.7 Gambaran Angiografi Suplai Vaskular JNA...................13
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angiofibroma Nasofaring Juvenil (ANJ) merupakan tumor jinak langka
namun mempunyai risiko yang tinggi karena sifatnya yang agresif, destruktif,
menyebar lokal dan seringkali meluas ke tulang tengkorak. Angka kejadian ANJ
berkisar 0,5% dari semua tumor kepala leher, dengan frekuensi 0,4 per satu juta
penduduk dengan angka puncak 3,4 per satu juta penduduk yaitu pada usia remaja
di Amerika Serikat. Meskipun jarang, ANJ secara eksklusif terjadi pada laki-laki.
Usia penderita umumnya pada dekade kedua, antara 10-24 tahun, dan jarang
terjadi pada usia lebih dari 25 tahun. Kasus angiofibroma dapat terjadi di luar
nasofaring, lokasi paling sering pada sinus maksilaris (32%) dan sinus ethmoid
(10%). Angiofibroma yang timbul di sinus maksilaris dan ethmoid secara klinis
berbeda dari angiofibroma nasofaring. Mereka berkembang pada usia yang sedikit
lebih tua dan lebih sering terjadi pada wanita.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi Nasofaring
Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring(Sumber: Netter)
Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan
dengan orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada
orang dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada dimensi
anteroposterior. Dinding posteriornya sekitar 8 cm dari aparatus piriformis
sepanang dasar hidung. Bagian atap dibentuk oleh permukaan yang melandai
dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan bagian posterior dibatasi vertebra
cervical I dan II. Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak
yang merupakan batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum
molle. Batas dinding lateral merupakan fasia faringobasilar dan m. konstriktor
faring superior.
2
2.1.2 Vaskularisasi Nasofaring
Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah
arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan
cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari
arteri karotis eksterna dan cabang cabangnya.Pembuluh darah vena berada di
bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah
superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya.
2.1.3 Inervasi Nasofaring
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas
otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris
saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf
ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal
dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim
tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion
sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus.
2.2 Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di
nasofaring yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena
mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya,
seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah
yang sulit dihentikan (Arsyad, 2016).
2.3 Epidemiologi
Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari pasien THT,
diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan kepala. Tumor ini
umumnya terjadi pada laki-laki dekade ke-2 antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada
usia lebih dari 25 tahun (Arsyad, 2016).
3
2.4 Etiologi
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak
diajukan. Salah satu di antaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa
tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap
rongga hidung. Faktor ketidak-seimbangan hormonal juga banyak dikemukakan
sebagai penyebab adanya kekurangan androgen atau kelebihan estrogen.
Anggapan ini didasarkan juga atas adanya hubungan erat antara tumor dengan
jenis kelamin dan umur. Banyak ditemukan pada anak atau remaja laki-laki
(Arsyad, 2016).
2.5 Patofisiologi
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan
lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah
mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke
arah bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung posterior.
Perluasan ke arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong
septum ke sisi kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan ke arah
lateral, tumor melebar ke arah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterygo
maksila dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus,
akan masuk ke fosa intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan
“rasa penuh” di wajah. Apabila tumor telah mendorong salah satu atau kedua bola
mata maka tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut 'muka kodok".
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan
pterygo maksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa
serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise
(Arsyad, 2016).
4
2.6 Staging Tumor
Gambar 2.2 Klasifikasi Tumor Radkowski
(Vuzitas, 2018)
● Tipe 1a : Tumor terbatas pada hidung dan nasofaring
● Tipe 1b : Tumor ekstensi ke satu atau lebih sinus paranasal
● Tipe 2a : Ekstensi minimal ke fossa pterigopalatina
● Tipe 2b : Tumor menempati fossa pterigopalatina tanpa keterlibatan orbita
● Tipe 2c : Ekstensi fossa infratemporal tanpa keterlibatan pipi atau lempeng
pterigoid
● Tipe 3a : Erosi dasar tengkorak (fossa kranial tengah atau pterigoid)
● Tipe 3b : Ekstensi intrakranial dengan atau tanpa keterlibatan kavernosa
(Vuzitas, 2018).
2.7 Perluasan Tumor
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan
lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah
mukosa, sepanjang atas nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke
arah bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung posterior. Perluasan
ke arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi
kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan ke arah lateral, tumor
melebar ke arah foramen spenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan
mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fosa
intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di
5
wajah. Apabila tumor telah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka
tampak gejala khas pada wajah yang disebut “muka kodok” (Arsyad, 2016).
Perluasan ke arah intrakranial dapat terjadi melalui fosa intratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa
serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise
(Arsyad, 2016).
2.8 Makroskopis
Secara makroskopik, gambaran angiofibroma sangat tergantung pada
komponen penyusunnya, yaitu komponen pembuluh darah dan komponen
jaringan fibrosa. Gambaran massa sangat bervariasi mulai dari putih pucat sampai
merah dan terdapat lapisan pembuluh darah yang rapuh. Tumor jenis ini tidak
berkapsul dan meluas melalui submukosa dan infiltrasi lokal. Pada spesimen yang
besar, tumor biasanya berlobulasi dengan ketebalan yang bervariasi. Saluran
vaskular ini kekurangan otot polos di sekitarnya dan persarafan pembuluh darah
normal dan oleh karena itu cenderung berdarah deras ketika ada tindakan
pembedahan (Ginting, 2018).
Secara makoskopik, gambaran angiofibroma sangat tergantung pada
komponen penyusunnya yaitu komponen pembuluh darah dan jaringan fibrosa.
Gambaran massa sangat bervariasi seperti bertangkai/pedungkel, berlobus, elastis
dan berwarna merah muda sampai kelabu. Meskipun secara histopatologi JNA
jinak, tetapi JNA memiliki vaskularisasi yang banyak, agresif dan bersifat
destruktif (Wilson, 2019).
2.9 Mikroskopis
Gambaran mikroskopik dari tumor ini bervariasi karena adanya komponen
vaskuler diantara jaringan ikat padat. Dari mikroskop elektron disimpulkan bahwa
sel stroma dapat berasal dari fibroblas dan miofibroblas yang sering dapat dilihat
pada kelainan fibroproliferatif (Ginting, 2018).
6
Gambaran 2.3 Mikroskopis Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
(Wilson, 2019)
(A) Pembesaran 50x pembuluh darah tipis dengan bentuk bervariasi dan stroma
jaringan ikat fibrokolagen
(B) pembesaran 200x dengan bentuk sel mast bervariasi bulat ovoid
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma adalah tumor berkapsul semu dan
terdiri dari sejumlah pembuluh darah dengan lapisan endotel tunggal, tertanam
pada stroma kaya kolagen dan fibrosa. Bentuk yang tidak sempurna ini
menyebabkan mudah ruptur dan berdarah (Wilson, 2019).
2.10 Anamnesis
Juvenil angiofibroma biasanya mempengaruhi populasi pria, paling sering
antara 9 dan 19 tahun. Gejala yang paling sering adalah sumbatan hidung dan
epistaksis. Obstruksi hidung mungkin bilateral meskipun lesi unilateral, karena
ekstensi nasofaring serta deviasi septum hidung oleh lesi yang meluas. Epistaksis
biasanya cepat dan intermiten. Hidung purulen dan nyeri wajah dapat disebabkan
oleh obstruksi jalur drainase sinus, dan gangguan pendengaran konduktif
menunjukkan obstruksi tuba eustachius. Lesi lanjut dapat muncul dengan
proptosis dan pembengkakan wajah karena ekstensi fossa orbital dan
7
infratemporal (ITF). Oftalmoplegia karena gangguan saraf kranial jarang terjadi,
tetapi dapat mempersulit apeks orbita dan invasi sinus kavernosus (Safadi, 2018).
Diagnosis biasanya hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Gejala
yang paling sering ditemukan (lebih dari 80%) ialah hidung tersumbat yang
progresif dan epiktasis berulang yang masif. Adanya obstruksi hidung
memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis yang
diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba Eustachius akan menimbulkan ketulian
atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke
intrakranial (Arsyad, 2016).
Penyebaran tumor ke kavum sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis
kronik. Proptosis dan perubahan penglihatan mengindikasikan keterlibatan orbita.
Pembengkakan pipi, defisit neurologis, perubahan penghidu, rhinolalia clausa,
dan otalgia juga mungkin terjadi. Penyebaran tumor ke anterior dapat
mengganggu duktus nasolakrimal mengakibatkan dakriosistitis (Dewi, 2018).
2.11 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik rinoskopi anterior menunjukkan banyak sekret
mukopurulen pada kavum nasal yang umumnya mengaburkan tumor dari
penglihatan pemeriksa. Beberapa pasien mengalami penonjolan tumor keluar dari
lubang hidung anterior. Palatum sering bergeser ke inferior karena desakan tumor
yang berwarna merah muda atau kemerahan mengisi nasofaring. Palpasi
transpalatal mencatat konsistensi tumor kenyal, namun palpasi tidak dianjurkan
mengingat risiko perdarahan sangat tinggi (Dewi, 2018).
Pada pemeriksaan fisik secara rhinoskopi posterior akan terlihat massa
tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai
merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh
selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar
nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda,
pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen
fibromanya, karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami
8
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi (Arsyad, 2016).
2.12 Pemeriksaan Penunjang
CT Scan
Computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI) dan
angiografi membantu dalam menentukan lokasi, hubungan dengan struktur
neurovaskular penting dan penilaian suplai darah untuk memilih pendekatan
paling traumatis untuk kontrol hemostatik. CT lebih unggul dalam menguraikan
landmark tulang, menunjukkan erosi tulang, invasi sphenoid, dan prediktor
signifikan kekambuhan. CT lebih akurat untuk navigasi berbasis gambar
intraoperatif. CT sering menunjukkan massa jaringan lunak dengan remodeling
atau destruksi tulang, yang berasal dari dekat foramen sphenopalatina, meluas ke
nasofaring dan fossa pterigopalatina yang berdekatan. Tanda Holman-Miller, yang
merupakan pembengkokan ke depan dari dinding posterior rahang atas, ditemukan
pada 80% JA tetapi juga dapat terjadi pada tumor jinak atau ganas lainnya. Tanda
patognomonik JA adalah erosi lempeng pterigoid medial atas yang ditemukan
pada 98% JA (Lopez, 2017).
Karakteristik temuan CT:
1. Lengkungan anterior dinding maksila posterior (Holman-Miller sign).
2. Erosi dasar sinus sfenoid dan penyebaran tumor yang berdekatan dari
nasofaring ke sinus sfenoid.
3. Erosi basis pterygoid.
4. Distribusi tumor khas dengan lobul yang bertambah banyak dan tumor berbatas
tegas melibatkan fossa infra temporal, menyebar melalui fisura orbital inferior,
orbits posterior, dan fisura orbital superior.
5. Erosi dan perluasan kanal vidian (Dewi, 2018).
9
Gambaran 2.4 Penampakan Hollman Miller Sign
(Dewi, 2018)
Gambaran 2.5 Erosi pada Dasar Sinus Sfenoid
(Dewi, 2018)
MRI
MRI lebih berguna untuk menilai jaringan lunak, invasi sumsum tulang
dan ekstensi intrakranial, hal itu juga merupakan modalitas pilihan untuk tindak
lanjut karena potensi untuk membedakan proses reparatif pasca operasi dari
kekambuhan. Pada MRI, JA menunjukkan intensitas sinyal rendah dan sedang
hingga tinggi pada urutan pembobotan T1 dan T2 pra-kontras. Kekosongan sinyal
10
intra-lesi dan peningkatan intens setelah injeksi kontras mencerminkan aliran
dalam pembuluh darah yang membesar sesuai dengan diagnosis JA. Nilai
koefisien difusi (ADC) tinggi dan komponen degeneratif/kistik dapat terlihat.
Penggunaan MRI dan sekuens supresi lemak membantu dalam mendeteksi edema
sumsum tulang, berbanding terbalik dengan keberhasilan pembedahan. MRI juga
berguna dalam mendeteksi perluasan intrakranial, dural, intrakavernosa,
menunjukkan hubungan tumor dengan arteri karotis interna dan hipofisis. Deteksi
keterlibatan dural mungkin menantang, tetapi harus dicurigai jika peningkatan
terlihat pada gambar T1-weighted pasca-kontras. MRI juga sebagai, sekuens
pemulihan inversi yang dilemahkan cairan kontras (FLAIR) dilaporkan sensitif
dalam mendeteksi penyebaran leptomeningeal. MRI akhirnya dapat membantu
dalam membedakan pengumpulan cairan dan penebalan mukosa inflamasi dari
sinus paranasal dari perluasan tumor intra-sinus (Lopez, 2017).
MRI memberikan gambaran jaringan lunak lebih baik. Tumor dapat
menampilkan gambaran salt and pepper dengan komponen fibrosa tumor
berwarna putih dan komponen vaskular angiomatosa berwarna gelap. Gambaran
penyebaran tumor akan lebih jelas dengan kontras gadolinium. MRI berguna
untuk penilaian tumor intrakranial yang berbatasan dengan sinus kavernosus dan
internal carotid artery (ICA) dan untuk evaluasi lanjutan tumor residual/tumor
berulang (Dewi, 2018).
11
Gambaran 2.6 Penampakan salt and pepper
(Dewi, 2018)
Angiografi
Angiografi memberi informasi suplai vaskular mayor dan untuk
embolisasi pre-operatif. Arterial mayor yang menyuplai tumor-tumor ini adalah
internal maxillary artery ipsilateral yang khas dengan pembuluh darah tambahan
ascending pharyngeal artery dan cabang-cabang ICA kavernosa atau sistem
karotid eksternal kontralateral (Dewi, 2018).
Gambaran 2.7 Gambaran Angiografi Suplai Vaskular JNA
(Dewi, 2018)
2.13 Diagnosis
JNA biasanya terjadi pada laki-laki remaja, meskipun kasus pada wanita
dan pasien yang lebih tua juga ada. Gejala awal termasuk perdarahan yang
bermanifestasi sebagai epistaksis berulang atau dahak bercampur darah, sumbatan
hidung unilateral, telinga penuh karena otitis media serosa. Saat massa
berkembang, tergantung pada ukuran dan struktur yang terlibat, pasien mungkin
mengalami sakit kepala, sekret hidung, anosmia, rinolalia,
12
pembengkakan/deformasi pipi/langit-langit, epifora, proptosis dan/atau penurunan
ketajaman visual (ketika orbit dilanggar), trismus (ketika fossa infratemporal
terlibat) (Vuzitas, 2018).
Anterior rhinoskopi dan visualisasi endoskopik menunjukkan halus,
kenyal, mungkin lobulated, polipoid, kekuningan sampai merah / ungu, massa
hypervascularized muncul dari belakang konka (yang dapat lateral), dengan
ukuran variabel, extension dan obstruksi choanal. Penyebab tumor terutama
memiliki pertumbuhan submukosa, hal itu dapat membuat penampakan asal yang
salah di turbinat tengah. JNA biasanya menunjukkan perdarahan kontak, dan
pulsasi ringan dapat terlihat pada pemeriksaan endoskopi (Vuzitas, 2018).
Pemeriksaan rongga mulut dapat menunjukkan dislokasi inferior palatum
molle oleh massa nasofaring, dan palpasi intraoral dapat mengungkapkan massa
antara maksila dan ramus asendens mandibula. Noda darah pada dinding posterior
faring dapat terlihat (Vuzitas, 2018).
2.14 Tatalaksana
Operasi/pembedahan
Pendekatan bedah ditentukan oleh lokasi tumor, penyebaran, dan keahlian
pembedah. Teknik harus mempertimbangkan efek pembedahan pada tulang
kraniofasial pada pasien laki-laki usia muda, yang masih tumbuh sampai usia 20
tahun. Faktor-faktor yang dapat membatasi pertumbuhan wajah meliputi
peningkatan jaringan lunak dan periosteum, diseksi mukoperiosteum langit-
langit, etmoidektomi, osteotomi fasial, serta penggunaan fiksasi metal (Dewi,
2018).
Pembedahan pada JNA memerlukan perencanaan matang, meliputi
penyusutan tumor dengan pemberian anti-androgen dan devaskularisasi tumor
dengan embolisasi. Anti-androgen flutamide merupakan golongan antagonis
androgen non-steroid; diberikan selama 6 minggu (10 mg/kg/ hari) mengurangi
volume tumor (rata-rata pengurangan 16,5 %, maksimum 40%). Efikasi masih
terbatas pada pasien post pubertas, tidak efektif pada pasien prepubertas karena
kadar testosteron minimal atau bahkan tidak ada. Embolisasi pre-operatif rutin
13
dilakukan karena dapat menurunkan kehilangan darah intra-operatif dan
meningkatkan area pembedahan, sehingga eksisi tumor komplit dapat dicapai
(Dewi, 2018).
Teknik pembedahan JNA meliputi pembedahan terbuka dan pembedahan
endoskopik atau kombinasi. Reseksi endoskopik sangat direkomendasikan untuk
tumor stage I-IIIA dari sistem staging Radkowski karena rendahnya kehilangan
darah intra-operatif, masa rawat inap, serta kekambuhan dibandingkan pendekatan
tradisional pembedahan terbuka. Kontraindikasi pembedahan endoskopik yaitu
pada tumor residual yang melibatkan area kritis (ICA, nervus optikus, sinus
kavernosa, dura) (Dewi, 2018).
Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor
dan perluasannya seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial
atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke
intrakranial. Selain itu operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat
dilakukan dengan dipandu CT Scan 3 dimensi dan pengangkatan tumor dapat
dibantu dengan laser (Arsyad, 2016).
Radiasi
Radiasi sinar eksternal telah terbukti efektif sebagai pengobatan primer
serta pengobatan pascaoperasi untuk lesi residual, dan sebagian besar seri
melaporkan 80 hingga 85% tingkat kontrol lokal (resolusi lengkap atau penyakit
residual asimtomatik), meskipun involusi tumor mungkin memerlukan waktu.
sampai 3 tahun. Dosis radiasi yang digunakan bervariasi, berkisar antara 3.000
dan 5.500 cGy (lebih umum 3.000–3.600 cGy). Terlepas dari kemanjuran
radioterapi, tingkat efek samping yang tinggi serta kekhawatiran tentang
keganasan akibat radiasi telah membatasi perannya. Untuk meminimalkan efek
samping radioterapi, baru-baru ini radioterapi konformal telah diterapkan.
Chakraborty et al melaporkan pada delapan pasien yang dianggap tidak dapat
dioperasi karena ekstensi intrakranial/intraorbital yang luas atau kedekatan dengan
saraf optik. Mereka dirawat dengan radioterapi termodulasi intensitas (IMRT)
dengan dosis rata-rata 39,6 (30-46) Gy. Kontrol lokal pada 2 tahun adalah 87,5%.
14
Meskipun satu pasien meninggal 1 bulan setelah terapi karena epistaksis masif,
tidak ditemukan komplikasi jangka panjang selain rinitis kronis. Radiosurgery
stereotactic menggunakan pisau gamma pertama kali diperkenalkan oleh Dare et
al yang berhasil merawat dua pasien untuk tumor residual setelah operasi. lvarez
dkk melaporkan 10 kasus JNA lanjut (Andrews dkk7 stadium IV) yang dirawat
dengan pendekatan multimodal termasuk pembedahan dan radiosurgery untuk
tumor residual. Mereka tidak mengalami efek samping yang luar biasa (Safadi,
2018).
Radioterapi mungkin memiliki peran untuk lesi residual atau rekurensi
yang melibatkan struktur neurovaskular kritis dari dasar tengkorak yang tidak
cocok untuk eksisi bedah. Radioterapi memiliki peran yang sangat terbatas dalam
pengelolaan JA. Penting untuk membedakan lesi simptomatik rekuren yang
sebenarnya dari jaringan sisa yang asimtomatik dan tidak tumbuh. Sisa tumor
kecil atau peningkatan jaringan yang terdeteksi pada MRI pada pasien tanpa
gejala dapat mengalami involusi setelah beberapa waktu. Oleh karena itu,
intervensi lebih lanjut, baik pembedahan atau radiasi, harus secara hati-hati
diindikasikan untuk lesi yang simtomatik dan tumbuh saja (Safadi, 2018).
HormonalPengobatan hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II
dengan preparat testosteron reseptor blocker (flutamid). Terapi hormonal dengan
cara penghambat reseptor androgen seperti flutamide adalah terapi tambahan yang
mungkin. Hal ini telah terbukti membantu mengurangi ukuran tumor sebelum
reseksi bedah atau dalam pengaturan kekambuhan, tetapi tidak memiliki hasil
kuratif sendiri (Arsyad, 2016).
Terapi hormonal memiliki daya tarik karena kemungkinan keterlibatan
reseptor androgen dalam etiopatogenesis JA. Pada pasien pasca-pubertas,
flutamide, antagonis reseptor androgen, telah digunakan sebelum operasi untuk
mencapai regresi parsial tumor dari struktur vital yang berdekatan dan
memungkinkan pendekatan bedah yang lebih konservatif (Lopez, 2017).
15
Ekspresi reseptor somatostatin (SST) di JA menunjukkan bahwa sub-tipe
ini memungkinkan penggunaan analog SST spesifik untuk mengobati tumor
residual, berulang dan tidak dapat dioperasi (Lopez, 2017).
Ekspresi reseptor lain menunjukkan potensi variabel yang sama.
Tamoxifen, antagonis reseptor estrogen, menghambat proliferasi sel stroma
JA142, namun efek samping Tamoxifen menghalangi aplikasi klinisnya di JA.
Bevacizumab, antibodi monoklonal yang menghambat VEGF-A, mungkin juga
bermanfaat, tetapi data klinis masih kurang. Pilihan yang belum teruji, meskipun
menarik adalah glukokortikoid karena tampaknya mampu menurunkan regulasi
VEGF, dan mengurangi kepadatan mikrovaskular dan volume tumor dan
reseptornya diregulasi di JA (Lopez, 2017).
2.15 Komplikasi
Komplikasi yang paling signifikan dari JNA adalah kehilangan darah,
terutama dalam operasi / prosedural, dan bisa berakibat fatal jika tidak ada
tindakan pencegahan yang tepat. Eksoftalmos, deformitas wajah/orbita,
kehilangan penglihatan, dan hilangnya gerakan ekstraokular dapat terjadi akibat
invasi orbital oleh tumor. Kehilangan penglihatan juga bisa menjadi komplikasi
potensial dari embolisasi nontarget jika ada keterlibatan cabang arteri karotis
interna. Komplikasi berat lainnya dari embolisasi pra operasi termasuk
vasospasme arteri, kelumpuhan wajah, infark, atau cedera saraf kranial.
Komplikasi sedikit parah termasuk pembengkakan wajah, nyeri atau sensasi
abnormal, sakit kepala, atau mual/muntah. Komplikasi bedah dapat mencakup
banyak hal yang sama, dengan penambahan jaringan parut dan deformitas wajah.
Terapi hormonal, jika digunakan, dapat menyebabkan feminisasi sebagai
komplikasi atau setidaknya efek samping yang tidak diinginkan pada remaja laki-
laki (Tork, 2019).
Morbiditas yang paling umum adalah kehilangan darah yang luas dan
kebutuhan untuk transfusi. Hal ini tidak jarang, terutama pada tumor lanjut dan
dengan suplai darah multikomponen. Kemungkinan kebutuhan transfusi darah
harus didiskusikan dengan pasien dan orang tua sebelum operasi. Seringkali
pembedahan yang diperlukan akan mengakibatkan morbiditas yang direncanakan
seperti mata kering akibat hilangnya robekan akibat reseksi saraf vidian atau
16
ganglion sfenopalatina. Hipoestesia dalam distribusi V2 atau V3, trismus,
dan/atau defek septum posterior dapat terjadi tergantung pada luasnya
pembedahan. Komplikasi yang sesuai dengan semua operasi sinus dan dasar
tengkorak juga mungkin terjadi termasuk namun tidak terbatas pada: cedera otot
ekstraokular, kehilangan penglihatan, kebocoran cairan serebrospinal, epistaksis
pascaoperasi, sinusitis, hiposmia, atau anosmia (Wilson, 2019).
2.16 Prognosis
Tidak terdapat perbedaan angka kekambuhan yang signifikan antara
pendekatan eksternal dan teknik endoskopik, tetapi dipengaruhi oleh perbedaan
sistem staging dan strategi follow up. Studi Sun, dkk. mengidentifikasi tiga faktor
prediktif yang mungkin meningkatkan kekambuhan, yaitu usia saat diagnosis (di
bawah 18 tahun), ukuran tumor (>4 cm), dan staging berdasarkan klasifikasi
Radkowski (Dewi, 2018).
2.17 Differential Diagnosis
1.Neuroblastoma olfaktorius (esthesioneuroblastoma)
Sangat meningkatkan massa rongga hidung dari neuroepithelium
olfaktorius yang dapat memiliki gejala dan usia onset yang serupa. Tumor ini
dapat memiliki tampilan dumbbell pada pencitraan dengan ekstensi intrakranial
dan pinggang berpusat pada pelat cribriform. Tumor ini dapat menunjukkan kista
intrakranial, difusi terbatas, dan area nekrosis. Neuroblastoma penciuman jauh
lebih umum pada wanita daripada JNA.
2.Rhabdomyosarcoma:
Sarkoma jaringan lunak dari otot lurik. Ketika terjadi di kepala dan leher,
situs yang paling umum adalah di dalam orbit, tetapi juga situs parameningeal
seperti nasofaring, fossa pterygopalatine, telinga tengah, sinus paranasal, atau
ruang parafaring telah dijelaskan. Kondisi ini biasanya merupakan keganasan
pada pasien yang lebih muda, dengan 70% terjadi lebih muda dari 12 tahun, dan
40% terjadi lebih muda dari 5 tahun. Rhabdomyosarcoma akan menunjukkan
peningkatan kontras yang bervariasi, ringan hingga sedang, dengan peningkatan
17
avid atipikal, tidak seperti JNA. Rhabdomyosarcoma juga biasanya akan
membatasi difusi, yang dapat menjadi pembeda lainnya.
3. Polip sinonasal:
Polip inflamasi yang dapat menjadi hipervaskular setelah cedera berulang
tetapi akan memiliki vaskularisasi yang lebih sedikit dibandingkan JNA. Yang
paling umum adalah polip antrochoanal, yang berasal dari sinus maksilaris dan
memanjang melalui ostium maksila ke dalam rongga hidung. Polip sinonasal juga
dapat berasal dari atau meluas ke nasofaring. Namun, biasanya tidak akan meluas
ke foramen sphenopalatina atau fossa pterygopalatine. Remodeling tulang halus,
tidak merusak. Polip akan menunjukkan peningkatan perifer tanpa peningkatan
sentral, tidak seperti angiofibroma nasofaring. Juga terlihat pada remaja/dewasa
muda dengan sumbatan hidung, tetapi jarang menyebabkan epistaksis.
4. Encephalocele:
Meninges menutupi outpouching dari parenkim otak dan CSF yang
menonjol melalui cacat dasar tengkorak. Varian nasoethmoidal/nasofaring dapat
muncul sebagai massa rongga hidung. Hal ini umumnya lebih anterior diposisikan
dari JNA dan nonenhancing.
5. Karsinoma nasofaring:
Tumor mukosa yang muncul di aspek superolateral nasofaring di dalam
fossa Rosenmuller. Ca nasofaringa merupakan keganasan terutama pada orang
dewasa, dengan insiden puncak 40 sampai 60 tahun, dan jarang terjadi pada
kelompok pediatrik/remaja. Ca nasofaring memiliki asosiasi EBV yang kuat.
Tumor ini menunjukkan pola peningkatan homogen ringan, tidak seperti
peningkatan avid angiofibroma nasofaring. Tumor ini juga merupakan lesi
destruktif, namun tidak seperti angiofibroma nasofaring, lesi ini rentan terhadap
infiltrasi lemak parafaring dan jaringan lunak wajah bagian dalam lainnya.
Seringkali akan menunjukkan kerusakan tulang yang lebih luas, termasuk clivus
dan ke dalam sinus kavernosa (Tork, 2019).
18
BAB 3
KESIMPULAN
Juvenile nasopharingeal angiofibrioma merupakan tumor jinak bersifat
destruktif terhadap tulang-tulang di sekitarnya. Tumor ini terutama pada laki-laki
usia 14-15 tahun. Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari
pasien THT, diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan
kepala. Tumor ini umumnya terjadi pada laki-laki dekade ke-2 antara 7-19 tahun.
Jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun.
Etiologi JNA masih belum jelas, banyak spekulasi dan bukti tidak
langsung bahwa pengaruh endokrin atau hormonal berperan. Etiologi JNA dari
teori jaringan asal dan faktor keseimbangan hormonal. Gejala khas JNA adalah
obstruksi nasal unilateral pada pasien remaja laki-laki dengan rinorea dan
epistaksis unilateral berulang. Diagnosis JNA ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan radiologis. Konfirmasi radiologi seperti CT dan MRI dapat
sangat membantu menegakkan diagnosis tanpa biopsi yang dapat meningkatkan
risiko perdarahan.
Modalitas terapi dengan pembedahan, endoskopi, terapi hormonal, dan
radioterapi. Komplikasi dari JNA adalah kehilangan darah. Eksoftalmos,
deformitas wajah/orbita, kehilangan penglihatan, dan hilangnya gerakan
ekstraokular dapat terjadi akibat invasi orbital oleh tumor. Komplikasi berat
embolisasi pra operasi termasuk vasospasme arteri, kelumpuhan wajah, infark,
atau cedera saraf kranial. Komplikasi bedah: penambahan jaringan parut dan
deformitas wajah. Terapi hormonal: feminisasi .
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Arsyad, Efiaty. et al. 2016. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher). Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
2. Dewi, N. M. A. W. (2018). Tatalaksana juvenile nasopharyngeal angiofibroma.
Cermin Dunia Kedokteran, 45(3), 202-205.
3. Ginting, H. K., & Supriana, N. (2018). Angiofibroma nasofaring juvenil.
Radioterapi & Onkologi Indonesia, 9(1), 29-33.
4. López, F., Triantafyllou, A., Snyderman, C. H., Hunt, J. L., Suárez, C., Lund,
V. J., ... & Ferlito, A. (2017). Nasal juvenile angiofibroma: Current
perspectives with emphasis on management. Head & neck, 39(5), 1033-1045.
5. Safadi, A., Schreiber, A., Fliss, D. M., & Nicolai, P. (2018). Juvenile
angiofibroma: current management strategies. Journal of Neurological Surgery
Part B: Skull Base, 79(01), 021-030.
6. Tork, C. A., & Simpson, D. L. (2019). Nasopharyngeal Angiofibroma.
7. Vuzitas, A., & Manea, C. (2018). Juvenile nasopharyngeal angiofibroma–
literature review and case series. Romanian Journal of Rhinology, 8(29).
8. Wilson, M. N., Nuss, D. W., Zacharia, B. E., & Snyderman, C. H. (2019).
Surgical management of juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Operative
Techniques in Otolaryngology-Head and Neck Surgery, 30(1), 22-2.
20