angifibroma nasofaring juvenil

28
REFERAT Angiofibroma Nasofaring Juvenil Pembimbing: dr. Liliek Andriani, Sp.THT-KL Oleh: Shania Dyah Kurnia Dewi (202110401011072) Pravica Juti Arunasari (202110401011003) KSM ILMU THT RSU HAJI SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2021

Upload: pravicajuti

Post on 11-Nov-2021

25 views

Category:

Health & Medicine


3 download

DESCRIPTION

Referat Angifibroma Nasofaring Juvenil Pembimbing: dr. Liliek Andriani, Sp.THT-KL Oleh: Shania Dyah Kurnia Dewi Pravica Juti Arunasari KSM ILMU THT RSU HAJI SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2021

TRANSCRIPT

Page 1: Angifibroma Nasofaring Juvenil

REFERAT

Angiofibroma Nasofaring Juvenil

Pembimbing:

dr. Liliek Andriani, Sp.THT-KL

Oleh:

Shania Dyah Kurnia Dewi (202110401011072)

Pravica Juti Arunasari (202110401011003)

KSM ILMU THT

RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2021

Page 2: Angifibroma Nasofaring Juvenil

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

Angiofibroma Nasofaring

Juvenil

Referat dengan judul “Angiofibroma Nasofaring Juvenil” telah diperiksa dan

disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi

kepaniteraan Dokter Muda di bagian Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala

Leher (THT-KL) RSU Haji Surabaya.

Surabaya, 12 November 2021

Pembimbing

dr. Liliek Andriani, Sp. THT-KL

i

Page 3: Angifibroma Nasofaring Juvenil

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis mampu menyelesaikan

referat yang berjudul “Angiofibroma Nasofaring Juvenil”. Sholawat serta salam

semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW

yang telah membawa kita dari zaman yang gelap gulita menuju zaman yang

terang menderang seperti saat ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua

pihak, rekan sejawat, dan terutama dr. Liliek Andriani, Sp. THT-KL yang telah

meluangkan waktunya untuk membimbing, sehingga referat ini dapat

terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini

masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat membuka diri

terhadap kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga referat ini dapat

memberikan manfaat bagi seluruh pembaca yang membutuhkannya.

Surabaya, 12 November 2021

Penulis

ii

Page 4: Angifibroma Nasofaring Juvenil

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR GAMBAR iv

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2

2.1 Anatomi 2

2.1.1 Anatomi Nasofaring 2

2.1.2 Vaskularisasi Nasofaring 3

2.1.3 Inervasi Nasofaring 3

2.2 Definisi 3

2.3 Epidemiologi 3

2.4 Etiologi 4

2.5 Patofisiologi 4

2.6 Staging Tumor 5

2.7 Perluasan Tumor 5

2.8 Makroskopis 6

2.9 Mikroskopis 6

2.10 Anamnesis 7

2.11 Pemeriksaan Fisik 8

2.12 Pemeriksaan Penunjang 9

2.13 Diagnosis 12

2.14 Tatalaksana 13

2.15 Komplikasi 16

2.16 Prognosis 17

2.17 Differential Diagnosis 17

BAB 3 KESIMPULAN 19

DAFTAR PUSTAKA 20

Page 5: Angifibroma Nasofaring Juvenil

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring…………………………………….....2

Gambar 2.2 Klasifikasi Tumor Radkowski…………………………......5

Gambaran 2.3 Mikroskopis Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma.....7

Gambaran 2.4 Penampakan Hollman Miller Sign…………………….10

Gambaran 2.5 Erosi pada Dasar Sinus Sfenoid………………………..10

Gambaran 2.6 Penampakan salt and pepper...........................................12

Gambaran 2.7 Gambaran Angiografi Suplai Vaskular JNA...................13

iv

Page 6: Angifibroma Nasofaring Juvenil

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angiofibroma Nasofaring Juvenil (ANJ) merupakan tumor jinak langka

namun mempunyai risiko yang tinggi karena sifatnya yang agresif, destruktif,

menyebar lokal dan seringkali meluas ke tulang tengkorak. Angka kejadian ANJ

berkisar 0,5% dari semua tumor kepala leher, dengan frekuensi 0,4 per satu juta

penduduk dengan angka puncak 3,4 per satu juta penduduk yaitu pada usia remaja

di Amerika Serikat. Meskipun jarang, ANJ secara eksklusif terjadi pada laki-laki.

Usia penderita umumnya pada dekade kedua, antara 10-24 tahun, dan jarang

terjadi pada usia lebih dari 25 tahun. Kasus angiofibroma dapat terjadi di luar

nasofaring, lokasi paling sering pada sinus maksilaris (32%) dan sinus ethmoid

(10%). Angiofibroma yang timbul di sinus maksilaris dan ethmoid secara klinis

berbeda dari angiofibroma nasofaring. Mereka berkembang pada usia yang sedikit

lebih tua dan lebih sering terjadi pada wanita.

1

Page 7: Angifibroma Nasofaring Juvenil

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA2.1 Anatomi

2.1.1 Anatomi Nasofaring

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring(Sumber: Netter)

Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan

dengan orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada

orang dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada dimensi

anteroposterior. Dinding posteriornya sekitar 8 cm dari aparatus piriformis

sepanang dasar hidung. Bagian atap dibentuk oleh permukaan yang melandai

dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan bagian posterior dibatasi vertebra

cervical I dan II. Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak

yang merupakan batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum

molle. Batas dinding lateral merupakan fasia faringobasilar dan m. konstriktor

faring superior.

2

Page 8: Angifibroma Nasofaring Juvenil

2.1.2 Vaskularisasi Nasofaring

Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah

arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan

cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari

arteri karotis eksterna dan cabang cabangnya.Pembuluh darah vena berada di

bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah

superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya.

2.1.3 Inervasi Nasofaring

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas

otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris

saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf

ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal

dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim

tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion

sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus.

2.2 Definisi

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di

nasofaring yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena

mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya,

seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah

yang sulit dihentikan (Arsyad, 2016).

2.3 Epidemiologi

Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari pasien THT,

diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan kepala. Tumor ini

umumnya terjadi pada laki-laki dekade ke-2 antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada

usia lebih dari 25 tahun (Arsyad, 2016).

3

Page 9: Angifibroma Nasofaring Juvenil

2.4 Etiologi

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak

diajukan. Salah satu di antaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa

tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap

rongga hidung. Faktor ketidak-seimbangan hormonal juga banyak dikemukakan

sebagai penyebab adanya kekurangan androgen atau kelebihan estrogen.

Anggapan ini didasarkan juga atas adanya hubungan erat antara tumor dengan

jenis kelamin dan umur. Banyak ditemukan pada anak atau remaja laki-laki

(Arsyad, 2016).

2.5 Patofisiologi

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan

lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah

mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke

arah bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung posterior.

Perluasan ke arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong

septum ke sisi kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan ke arah

lateral, tumor melebar ke arah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterygo

maksila dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus,

akan masuk ke fosa intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan

“rasa penuh” di wajah. Apabila tumor telah mendorong salah satu atau kedua bola

mata maka tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut 'muka kodok".

Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan

pterygo maksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa

serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise

(Arsyad, 2016).

4

Page 10: Angifibroma Nasofaring Juvenil

2.6 Staging Tumor

Gambar 2.2 Klasifikasi Tumor Radkowski

(Vuzitas, 2018)

● Tipe 1a : Tumor terbatas pada hidung dan nasofaring

● Tipe 1b : Tumor ekstensi ke satu atau lebih sinus paranasal

● Tipe 2a : Ekstensi minimal ke fossa pterigopalatina

● Tipe 2b : Tumor menempati fossa pterigopalatina tanpa keterlibatan orbita

● Tipe 2c : Ekstensi fossa infratemporal tanpa keterlibatan pipi atau lempeng

pterigoid

● Tipe 3a : Erosi dasar tengkorak (fossa kranial tengah atau pterigoid)

● Tipe 3b : Ekstensi intrakranial dengan atau tanpa keterlibatan kavernosa

(Vuzitas, 2018).

2.7 Perluasan Tumor

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan

lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah

mukosa, sepanjang atas nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke

arah bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung posterior. Perluasan

ke arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi

kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan ke arah lateral, tumor

melebar ke arah foramen spenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan

mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fosa

intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di

5

Page 11: Angifibroma Nasofaring Juvenil

wajah. Apabila tumor telah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka

tampak gejala khas pada wajah yang disebut “muka kodok” (Arsyad, 2016).

Perluasan ke arah intrakranial dapat terjadi melalui fosa intratemporal dan

pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa

serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise

(Arsyad, 2016).

2.8 Makroskopis

Secara makroskopik, gambaran angiofibroma sangat tergantung pada

komponen penyusunnya, yaitu komponen pembuluh darah dan komponen

jaringan fibrosa. Gambaran massa sangat bervariasi mulai dari putih pucat sampai

merah dan terdapat lapisan pembuluh darah yang rapuh. Tumor jenis ini tidak

berkapsul dan meluas melalui submukosa dan infiltrasi lokal. Pada spesimen yang

besar, tumor biasanya berlobulasi dengan ketebalan yang bervariasi. Saluran

vaskular ini kekurangan otot polos di sekitarnya dan persarafan pembuluh darah

normal dan oleh karena itu cenderung berdarah deras ketika ada tindakan

pembedahan (Ginting, 2018).

Secara makoskopik, gambaran angiofibroma sangat tergantung pada

komponen penyusunnya yaitu komponen pembuluh darah dan jaringan fibrosa.

Gambaran massa sangat bervariasi seperti bertangkai/pedungkel, berlobus, elastis

dan berwarna merah muda sampai kelabu. Meskipun secara histopatologi JNA

jinak, tetapi JNA memiliki vaskularisasi yang banyak, agresif dan bersifat

destruktif (Wilson, 2019).

2.9 Mikroskopis

Gambaran mikroskopik dari tumor ini bervariasi karena adanya komponen

vaskuler diantara jaringan ikat padat. Dari mikroskop elektron disimpulkan bahwa

sel stroma dapat berasal dari fibroblas dan miofibroblas yang sering dapat dilihat

pada kelainan fibroproliferatif (Ginting, 2018).

6

Page 12: Angifibroma Nasofaring Juvenil

Gambaran 2.3 Mikroskopis Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma

(Wilson, 2019)

(A) Pembesaran 50x pembuluh darah tipis dengan bentuk bervariasi dan stroma

jaringan ikat fibrokolagen

(B) pembesaran 200x dengan bentuk sel mast bervariasi bulat ovoid

Juvenile nasopharyngeal angiofibroma adalah tumor berkapsul semu dan

terdiri dari sejumlah pembuluh darah dengan lapisan endotel tunggal, tertanam

pada stroma kaya kolagen dan fibrosa. Bentuk yang tidak sempurna ini

menyebabkan mudah ruptur dan berdarah (Wilson, 2019).

2.10 Anamnesis

Juvenil angiofibroma biasanya mempengaruhi populasi pria, paling sering

antara 9 dan 19 tahun. Gejala yang paling sering adalah sumbatan hidung dan

epistaksis. Obstruksi hidung mungkin bilateral meskipun lesi unilateral, karena

ekstensi nasofaring serta deviasi septum hidung oleh lesi yang meluas. Epistaksis

biasanya cepat dan intermiten. Hidung purulen dan nyeri wajah dapat disebabkan

oleh obstruksi jalur drainase sinus, dan gangguan pendengaran konduktif

menunjukkan obstruksi tuba eustachius. Lesi lanjut dapat muncul dengan

proptosis dan pembengkakan wajah karena ekstensi fossa orbital dan

7

Page 13: Angifibroma Nasofaring Juvenil

infratemporal (ITF). Oftalmoplegia karena gangguan saraf kranial jarang terjadi,

tetapi dapat mempersulit apeks orbita dan invasi sinus kavernosus (Safadi, 2018).

Diagnosis biasanya hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Gejala

yang paling sering ditemukan (lebih dari 80%) ialah hidung tersumbat yang

progresif dan epiktasis berulang yang masif. Adanya obstruksi hidung

memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis yang

diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba Eustachius akan menimbulkan ketulian

atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke

intrakranial (Arsyad, 2016).

Penyebaran tumor ke kavum sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

kronik. Proptosis dan perubahan penglihatan mengindikasikan keterlibatan orbita.

Pembengkakan pipi, defisit neurologis, perubahan penghidu, rhinolalia clausa,

dan otalgia juga mungkin terjadi. Penyebaran tumor ke anterior dapat

mengganggu duktus nasolakrimal mengakibatkan dakriosistitis (Dewi, 2018).

2.11 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik rinoskopi anterior menunjukkan banyak sekret

mukopurulen pada kavum nasal yang umumnya mengaburkan tumor dari

penglihatan pemeriksa. Beberapa pasien mengalami penonjolan tumor keluar dari

lubang hidung anterior. Palatum sering bergeser ke inferior karena desakan tumor

yang berwarna merah muda atau kemerahan mengisi nasofaring. Palpasi

transpalatal mencatat konsistensi tumor kenyal, namun palpasi tidak dianjurkan

mengingat risiko perdarahan sangat tinggi (Dewi, 2018).

Pada pemeriksaan fisik secara rhinoskopi posterior akan terlihat massa

tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai

merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh

selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar

nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda,

pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen

fibromanya, karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami

8

Page 14: Angifibroma Nasofaring Juvenil

hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi (Arsyad, 2016).

2.12 Pemeriksaan Penunjang

CT Scan

Computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI) dan

angiografi membantu dalam menentukan lokasi, hubungan dengan struktur

neurovaskular penting dan penilaian suplai darah untuk memilih pendekatan

paling traumatis untuk kontrol hemostatik. CT lebih unggul dalam menguraikan

landmark tulang, menunjukkan erosi tulang, invasi sphenoid, dan prediktor

signifikan kekambuhan. CT lebih akurat untuk navigasi berbasis gambar

intraoperatif. CT sering menunjukkan massa jaringan lunak dengan remodeling

atau destruksi tulang, yang berasal dari dekat foramen sphenopalatina, meluas ke

nasofaring dan fossa pterigopalatina yang berdekatan. Tanda Holman-Miller, yang

merupakan pembengkokan ke depan dari dinding posterior rahang atas, ditemukan

pada 80% JA tetapi juga dapat terjadi pada tumor jinak atau ganas lainnya. Tanda

patognomonik JA adalah erosi lempeng pterigoid medial atas yang ditemukan

pada 98% JA (Lopez, 2017).

Karakteristik temuan CT:

1. Lengkungan anterior dinding maksila posterior (Holman-Miller sign).

2. Erosi dasar sinus sfenoid dan penyebaran tumor yang berdekatan dari

nasofaring ke sinus sfenoid.

3. Erosi basis pterygoid.

4. Distribusi tumor khas dengan lobul yang bertambah banyak dan tumor berbatas

tegas melibatkan fossa infra temporal, menyebar melalui fisura orbital inferior,

orbits posterior, dan fisura orbital superior.

5. Erosi dan perluasan kanal vidian (Dewi, 2018).

9

Page 15: Angifibroma Nasofaring Juvenil

Gambaran 2.4 Penampakan Hollman Miller Sign

(Dewi, 2018)

Gambaran 2.5 Erosi pada Dasar Sinus Sfenoid

(Dewi, 2018)

MRI

MRI lebih berguna untuk menilai jaringan lunak, invasi sumsum tulang

dan ekstensi intrakranial, hal itu juga merupakan modalitas pilihan untuk tindak

lanjut karena potensi untuk membedakan proses reparatif pasca operasi dari

kekambuhan. Pada MRI, JA menunjukkan intensitas sinyal rendah dan sedang

hingga tinggi pada urutan pembobotan T1 dan T2 pra-kontras. Kekosongan sinyal

10

Page 16: Angifibroma Nasofaring Juvenil

intra-lesi dan peningkatan intens setelah injeksi kontras mencerminkan aliran

dalam pembuluh darah yang membesar sesuai dengan diagnosis JA. Nilai

koefisien difusi (ADC) tinggi dan komponen degeneratif/kistik dapat terlihat.

Penggunaan MRI dan sekuens supresi lemak membantu dalam mendeteksi edema

sumsum tulang, berbanding terbalik dengan keberhasilan pembedahan. MRI juga

berguna dalam mendeteksi perluasan intrakranial, dural, intrakavernosa,

menunjukkan hubungan tumor dengan arteri karotis interna dan hipofisis. Deteksi

keterlibatan dural mungkin menantang, tetapi harus dicurigai jika peningkatan

terlihat pada gambar T1-weighted pasca-kontras. MRI juga sebagai, sekuens

pemulihan inversi yang dilemahkan cairan kontras (FLAIR) dilaporkan sensitif

dalam mendeteksi penyebaran leptomeningeal. MRI akhirnya dapat membantu

dalam membedakan pengumpulan cairan dan penebalan mukosa inflamasi dari

sinus paranasal dari perluasan tumor intra-sinus (Lopez, 2017).

MRI memberikan gambaran jaringan lunak lebih baik. Tumor dapat

menampilkan gambaran salt and pepper dengan komponen fibrosa tumor

berwarna putih dan komponen vaskular angiomatosa berwarna gelap. Gambaran

penyebaran tumor akan lebih jelas dengan kontras gadolinium. MRI berguna

untuk penilaian tumor intrakranial yang berbatasan dengan sinus kavernosus dan

internal carotid artery (ICA) dan untuk evaluasi lanjutan tumor residual/tumor

berulang (Dewi, 2018).

11

Page 17: Angifibroma Nasofaring Juvenil

Gambaran 2.6 Penampakan salt and pepper

(Dewi, 2018)

Angiografi

Angiografi memberi informasi suplai vaskular mayor dan untuk

embolisasi pre-operatif. Arterial mayor yang menyuplai tumor-tumor ini adalah

internal maxillary artery ipsilateral yang khas dengan pembuluh darah tambahan

ascending pharyngeal artery dan cabang-cabang ICA kavernosa atau sistem

karotid eksternal kontralateral (Dewi, 2018).

Gambaran 2.7 Gambaran Angiografi Suplai Vaskular JNA

(Dewi, 2018)

2.13 Diagnosis

JNA biasanya terjadi pada laki-laki remaja, meskipun kasus pada wanita

dan pasien yang lebih tua juga ada. Gejala awal termasuk perdarahan yang

bermanifestasi sebagai epistaksis berulang atau dahak bercampur darah, sumbatan

hidung unilateral, telinga penuh karena otitis media serosa. Saat massa

berkembang, tergantung pada ukuran dan struktur yang terlibat, pasien mungkin

mengalami sakit kepala, sekret hidung, anosmia, rinolalia,

12

Page 18: Angifibroma Nasofaring Juvenil

pembengkakan/deformasi pipi/langit-langit, epifora, proptosis dan/atau penurunan

ketajaman visual (ketika orbit dilanggar), trismus (ketika fossa infratemporal

terlibat) (Vuzitas, 2018).

Anterior rhinoskopi dan visualisasi endoskopik menunjukkan halus,

kenyal, mungkin lobulated, polipoid, kekuningan sampai merah / ungu, massa

hypervascularized muncul dari belakang konka (yang dapat lateral), dengan

ukuran variabel, extension dan obstruksi choanal. Penyebab tumor terutama

memiliki pertumbuhan submukosa, hal itu dapat membuat penampakan asal yang

salah di turbinat tengah. JNA biasanya menunjukkan perdarahan kontak, dan

pulsasi ringan dapat terlihat pada pemeriksaan endoskopi (Vuzitas, 2018).

Pemeriksaan rongga mulut dapat menunjukkan dislokasi inferior palatum

molle oleh massa nasofaring, dan palpasi intraoral dapat mengungkapkan massa

antara maksila dan ramus asendens mandibula. Noda darah pada dinding posterior

faring dapat terlihat (Vuzitas, 2018).

2.14 Tatalaksana

Operasi/pembedahan

Pendekatan bedah ditentukan oleh lokasi tumor, penyebaran, dan keahlian

pembedah. Teknik harus mempertimbangkan efek pembedahan pada tulang

kraniofasial pada pasien laki-laki usia muda, yang masih tumbuh sampai usia 20

tahun. Faktor-faktor yang dapat membatasi pertumbuhan wajah meliputi

peningkatan jaringan lunak dan periosteum, diseksi mukoperiosteum langit-

langit, etmoidektomi, osteotomi fasial, serta penggunaan fiksasi metal (Dewi,

2018).

Pembedahan pada JNA memerlukan perencanaan matang, meliputi

penyusutan tumor dengan pemberian anti-androgen dan devaskularisasi tumor

dengan embolisasi. Anti-androgen flutamide merupakan golongan antagonis

androgen non-steroid; diberikan selama 6 minggu (10 mg/kg/ hari) mengurangi

volume tumor (rata-rata pengurangan 16,5 %, maksimum 40%). Efikasi masih

terbatas pada pasien post pubertas, tidak efektif pada pasien prepubertas karena

kadar testosteron minimal atau bahkan tidak ada. Embolisasi pre-operatif rutin

13

Page 19: Angifibroma Nasofaring Juvenil

dilakukan karena dapat menurunkan kehilangan darah intra-operatif dan

meningkatkan area pembedahan, sehingga eksisi tumor komplit dapat dicapai

(Dewi, 2018).

Teknik pembedahan JNA meliputi pembedahan terbuka dan pembedahan

endoskopik atau kombinasi. Reseksi endoskopik sangat direkomendasikan untuk

tumor stage I-IIIA dari sistem staging Radkowski karena rendahnya kehilangan

darah intra-operatif, masa rawat inap, serta kekambuhan dibandingkan pendekatan

tradisional pembedahan terbuka. Kontraindikasi pembedahan endoskopik yaitu

pada tumor residual yang melibatkan area kritis (ICA, nervus optikus, sinus

kavernosa, dura) (Dewi, 2018).

Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor

dan perluasannya seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial

atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke

intrakranial. Selain itu operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat

dilakukan dengan dipandu CT Scan 3 dimensi dan pengangkatan tumor dapat

dibantu dengan laser (Arsyad, 2016).

Radiasi

Radiasi sinar eksternal telah terbukti efektif sebagai pengobatan primer

serta pengobatan pascaoperasi untuk lesi residual, dan sebagian besar seri

melaporkan 80 hingga 85% tingkat kontrol lokal (resolusi lengkap atau penyakit

residual asimtomatik), meskipun involusi tumor mungkin memerlukan waktu.

sampai 3 tahun. Dosis radiasi yang digunakan bervariasi, berkisar antara 3.000

dan 5.500 cGy (lebih umum 3.000–3.600 cGy). Terlepas dari kemanjuran

radioterapi, tingkat efek samping yang tinggi serta kekhawatiran tentang

keganasan akibat radiasi telah membatasi perannya. Untuk meminimalkan efek

samping radioterapi, baru-baru ini radioterapi konformal telah diterapkan.

Chakraborty et al melaporkan pada delapan pasien yang dianggap tidak dapat

dioperasi karena ekstensi intrakranial/intraorbital yang luas atau kedekatan dengan

saraf optik. Mereka dirawat dengan radioterapi termodulasi intensitas (IMRT)

dengan dosis rata-rata 39,6 (30-46) Gy. Kontrol lokal pada 2 tahun adalah 87,5%.

14

Page 20: Angifibroma Nasofaring Juvenil

Meskipun satu pasien meninggal 1 bulan setelah terapi karena epistaksis masif,

tidak ditemukan komplikasi jangka panjang selain rinitis kronis. Radiosurgery

stereotactic menggunakan pisau gamma pertama kali diperkenalkan oleh Dare et

al yang berhasil merawat dua pasien untuk tumor residual setelah operasi. lvarez

dkk melaporkan 10 kasus JNA lanjut (Andrews dkk7 stadium IV) yang dirawat

dengan pendekatan multimodal termasuk pembedahan dan radiosurgery untuk

tumor residual. Mereka tidak mengalami efek samping yang luar biasa (Safadi,

2018).

Radioterapi mungkin memiliki peran untuk lesi residual atau rekurensi

yang melibatkan struktur neurovaskular kritis dari dasar tengkorak yang tidak

cocok untuk eksisi bedah. Radioterapi memiliki peran yang sangat terbatas dalam

pengelolaan JA. Penting untuk membedakan lesi simptomatik rekuren yang

sebenarnya dari jaringan sisa yang asimtomatik dan tidak tumbuh. Sisa tumor

kecil atau peningkatan jaringan yang terdeteksi pada MRI pada pasien tanpa

gejala dapat mengalami involusi setelah beberapa waktu. Oleh karena itu,

intervensi lebih lanjut, baik pembedahan atau radiasi, harus secara hati-hati

diindikasikan untuk lesi yang simtomatik dan tumbuh saja (Safadi, 2018).

HormonalPengobatan hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II

dengan preparat testosteron reseptor blocker (flutamid). Terapi hormonal dengan

cara penghambat reseptor androgen seperti flutamide adalah terapi tambahan yang

mungkin. Hal ini telah terbukti membantu mengurangi ukuran tumor sebelum

reseksi bedah atau dalam pengaturan kekambuhan, tetapi tidak memiliki hasil

kuratif sendiri (Arsyad, 2016).

Terapi hormonal memiliki daya tarik karena kemungkinan keterlibatan

reseptor androgen dalam etiopatogenesis JA. Pada pasien pasca-pubertas,

flutamide, antagonis reseptor androgen, telah digunakan sebelum operasi untuk

mencapai regresi parsial tumor dari struktur vital yang berdekatan dan

memungkinkan pendekatan bedah yang lebih konservatif (Lopez, 2017).

15

Page 21: Angifibroma Nasofaring Juvenil

Ekspresi reseptor somatostatin (SST) di JA menunjukkan bahwa sub-tipe

ini memungkinkan penggunaan analog SST spesifik untuk mengobati tumor

residual, berulang dan tidak dapat dioperasi (Lopez, 2017).

Ekspresi reseptor lain menunjukkan potensi variabel yang sama.

Tamoxifen, antagonis reseptor estrogen, menghambat proliferasi sel stroma

JA142, namun efek samping Tamoxifen menghalangi aplikasi klinisnya di JA.

Bevacizumab, antibodi monoklonal yang menghambat VEGF-A, mungkin juga

bermanfaat, tetapi data klinis masih kurang. Pilihan yang belum teruji, meskipun

menarik adalah glukokortikoid karena tampaknya mampu menurunkan regulasi

VEGF, dan mengurangi kepadatan mikrovaskular dan volume tumor dan

reseptornya diregulasi di JA (Lopez, 2017).

2.15 Komplikasi

Komplikasi yang paling signifikan dari JNA adalah kehilangan darah,

terutama dalam operasi / prosedural, dan bisa berakibat fatal jika tidak ada

tindakan pencegahan yang tepat. Eksoftalmos, deformitas wajah/orbita,

kehilangan penglihatan, dan hilangnya gerakan ekstraokular dapat terjadi akibat

invasi orbital oleh tumor. Kehilangan penglihatan juga bisa menjadi komplikasi

potensial dari embolisasi nontarget jika ada keterlibatan cabang arteri karotis

interna. Komplikasi berat lainnya dari embolisasi pra operasi termasuk

vasospasme arteri, kelumpuhan wajah, infark, atau cedera saraf kranial.

Komplikasi sedikit parah termasuk pembengkakan wajah, nyeri atau sensasi

abnormal, sakit kepala, atau mual/muntah. Komplikasi bedah dapat mencakup

banyak hal yang sama, dengan penambahan jaringan parut dan deformitas wajah.

Terapi hormonal, jika digunakan, dapat menyebabkan feminisasi sebagai

komplikasi atau setidaknya efek samping yang tidak diinginkan pada remaja laki-

laki (Tork, 2019).

Morbiditas yang paling umum adalah kehilangan darah yang luas dan

kebutuhan untuk transfusi. Hal ini tidak jarang, terutama pada tumor lanjut dan

dengan suplai darah multikomponen. Kemungkinan kebutuhan transfusi darah

harus didiskusikan dengan pasien dan orang tua sebelum operasi. Seringkali

pembedahan yang diperlukan akan mengakibatkan morbiditas yang direncanakan

seperti mata kering akibat hilangnya robekan akibat reseksi saraf vidian atau

16

Page 22: Angifibroma Nasofaring Juvenil

ganglion sfenopalatina. Hipoestesia dalam distribusi V2 atau V3, trismus,

dan/atau defek septum posterior dapat terjadi tergantung pada luasnya

pembedahan. Komplikasi yang sesuai dengan semua operasi sinus dan dasar

tengkorak juga mungkin terjadi termasuk namun tidak terbatas pada: cedera otot

ekstraokular, kehilangan penglihatan, kebocoran cairan serebrospinal, epistaksis

pascaoperasi, sinusitis, hiposmia, atau anosmia (Wilson, 2019).

2.16 Prognosis

Tidak terdapat perbedaan angka kekambuhan yang signifikan antara

pendekatan eksternal dan teknik endoskopik, tetapi dipengaruhi oleh perbedaan

sistem staging dan strategi follow up. Studi Sun, dkk. mengidentifikasi tiga faktor

prediktif yang mungkin meningkatkan kekambuhan, yaitu usia saat diagnosis (di

bawah 18 tahun), ukuran tumor (>4 cm), dan staging berdasarkan klasifikasi

Radkowski (Dewi, 2018).

2.17 Differential Diagnosis

1.Neuroblastoma olfaktorius (esthesioneuroblastoma)

Sangat meningkatkan massa rongga hidung dari neuroepithelium

olfaktorius yang dapat memiliki gejala dan usia onset yang serupa. Tumor ini

dapat memiliki tampilan dumbbell pada pencitraan dengan ekstensi intrakranial

dan pinggang berpusat pada pelat cribriform. Tumor ini dapat menunjukkan kista

intrakranial, difusi terbatas, dan area nekrosis. Neuroblastoma penciuman jauh

lebih umum pada wanita daripada JNA.

2.Rhabdomyosarcoma:

Sarkoma jaringan lunak dari otot lurik. Ketika terjadi di kepala dan leher,

situs yang paling umum adalah di dalam orbit, tetapi juga situs parameningeal

seperti nasofaring, fossa pterygopalatine, telinga tengah, sinus paranasal, atau

ruang parafaring telah dijelaskan. Kondisi ini biasanya merupakan keganasan

pada pasien yang lebih muda, dengan 70% terjadi lebih muda dari 12 tahun, dan

40% terjadi lebih muda dari 5 tahun. Rhabdomyosarcoma akan menunjukkan

peningkatan kontras yang bervariasi, ringan hingga sedang, dengan peningkatan

17

Page 23: Angifibroma Nasofaring Juvenil

avid atipikal, tidak seperti JNA. Rhabdomyosarcoma juga biasanya akan

membatasi difusi, yang dapat menjadi pembeda lainnya.

3. Polip sinonasal:

Polip inflamasi yang dapat menjadi hipervaskular setelah cedera berulang

tetapi akan memiliki vaskularisasi yang lebih sedikit dibandingkan JNA. Yang

paling umum adalah polip antrochoanal, yang berasal dari sinus maksilaris dan

memanjang melalui ostium maksila ke dalam rongga hidung. Polip sinonasal juga

dapat berasal dari atau meluas ke nasofaring. Namun, biasanya tidak akan meluas

ke foramen sphenopalatina atau fossa pterygopalatine. Remodeling tulang halus,

tidak merusak. Polip akan menunjukkan peningkatan perifer tanpa peningkatan

sentral, tidak seperti angiofibroma nasofaring. Juga terlihat pada remaja/dewasa

muda dengan sumbatan hidung, tetapi jarang menyebabkan epistaksis.

4. Encephalocele:

Meninges menutupi outpouching dari parenkim otak dan CSF yang

menonjol melalui cacat dasar tengkorak. Varian nasoethmoidal/nasofaring dapat

muncul sebagai massa rongga hidung. Hal ini umumnya lebih anterior diposisikan

dari JNA dan nonenhancing.

5. Karsinoma nasofaring:

Tumor mukosa yang muncul di aspek superolateral nasofaring di dalam

fossa Rosenmuller. Ca nasofaringa merupakan keganasan terutama pada orang

dewasa, dengan insiden puncak 40 sampai 60 tahun, dan jarang terjadi pada

kelompok pediatrik/remaja. Ca nasofaring memiliki asosiasi EBV yang kuat.

Tumor ini menunjukkan pola peningkatan homogen ringan, tidak seperti

peningkatan avid angiofibroma nasofaring. Tumor ini juga merupakan lesi

destruktif, namun tidak seperti angiofibroma nasofaring, lesi ini rentan terhadap

infiltrasi lemak parafaring dan jaringan lunak wajah bagian dalam lainnya.

Seringkali akan menunjukkan kerusakan tulang yang lebih luas, termasuk clivus

dan ke dalam sinus kavernosa (Tork, 2019).

18

Page 24: Angifibroma Nasofaring Juvenil

BAB 3

KESIMPULAN

Juvenile nasopharingeal angiofibrioma merupakan tumor jinak bersifat

destruktif terhadap tulang-tulang di sekitarnya. Tumor ini terutama pada laki-laki

usia 14-15 tahun. Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari

pasien THT, diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan

kepala. Tumor ini umumnya terjadi pada laki-laki dekade ke-2 antara 7-19 tahun.

Jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun.

Etiologi JNA masih belum jelas, banyak spekulasi dan bukti tidak

langsung bahwa pengaruh endokrin atau hormonal berperan. Etiologi JNA dari

teori jaringan asal dan faktor keseimbangan hormonal. Gejala khas JNA adalah

obstruksi nasal unilateral pada pasien remaja laki-laki dengan rinorea dan

epistaksis unilateral berulang. Diagnosis JNA ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan radiologis. Konfirmasi radiologi seperti CT dan MRI dapat

sangat membantu menegakkan diagnosis tanpa biopsi yang dapat meningkatkan

risiko perdarahan.

Modalitas terapi dengan pembedahan, endoskopi, terapi hormonal, dan

radioterapi. Komplikasi dari JNA adalah kehilangan darah. Eksoftalmos,

deformitas wajah/orbita, kehilangan penglihatan, dan hilangnya gerakan

ekstraokular dapat terjadi akibat invasi orbital oleh tumor. Komplikasi berat

embolisasi pra operasi termasuk vasospasme arteri, kelumpuhan wajah, infark,

atau cedera saraf kranial. Komplikasi bedah: penambahan jaringan parut dan

deformitas wajah. Terapi hormonal: feminisasi .

19

Page 25: Angifibroma Nasofaring Juvenil

DAFTAR PUSTAKA

1. Arsyad, Efiaty. et al. 2016. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala dan Leher). Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia

2. Dewi, N. M. A. W. (2018). Tatalaksana juvenile nasopharyngeal angiofibroma.

Cermin Dunia Kedokteran, 45(3), 202-205.

3. Ginting, H. K., & Supriana, N. (2018). Angiofibroma nasofaring juvenil.

Radioterapi & Onkologi Indonesia, 9(1), 29-33.

4. López, F., Triantafyllou, A., Snyderman, C. H., Hunt, J. L., Suárez, C., Lund,

V. J., ... & Ferlito, A. (2017). Nasal juvenile angiofibroma: Current

perspectives with emphasis on management. Head & neck, 39(5), 1033-1045.

5. Safadi, A., Schreiber, A., Fliss, D. M., & Nicolai, P. (2018). Juvenile

angiofibroma: current management strategies. Journal of Neurological Surgery

Part B: Skull Base, 79(01), 021-030.

6. Tork, C. A., & Simpson, D. L. (2019). Nasopharyngeal Angiofibroma.

7. Vuzitas, A., & Manea, C. (2018). Juvenile nasopharyngeal angiofibroma–

literature review and case series. Romanian Journal of Rhinology, 8(29).

8. Wilson, M. N., Nuss, D. W., Zacharia, B. E., & Snyderman, C. H. (2019).

Surgical management of juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Operative

Techniques in Otolaryngology-Head and Neck Surgery, 30(1), 22-2.

20

Page 26: Angifibroma Nasofaring Juvenil