anestesi obstetri

Upload: whydia-wedha-sutedja

Post on 02-Mar-2016

59 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

ANESTESI

TRANSCRIPT

http://www

ANESTESI OBSTETRIdr. Erwin Kresnoadi, M.Si.Med, Sp.AnBagian / SMF Anestesiologi dan Reanimasi FK Unram / RSU Provinsi NTB

PERUBAHAN FISIOLOGI DAN ANATOMI PADA IBU HAMIL

Selama kehamilan terdapat perubahan fisiologi ibu hamil akibat dari peningkatan konsentrasi berbagai hormon, efek mekanik dari uterus yang gravid, peningkatan kebutuhan metabolik dan konsekuensi hemodinamik dari rendahnya tekanan sirkulasi plasenta. Kebanyakan perubahan yang terjadi pada trimester pertama disebabkan oleh perubahan hormonal. Efek mekanik uterus menjadi nyata jika uterus mulai keluar dari kavum pelvis, yang kebanyakan terjadi pada trimester kedua.1-5Perubahan sistem kardiovaskuler

Selama kehamilan curah jantung meningkat sebesar 30% sampai 50% karena peningkatan laju jantung dan volume sekuncup yang disertai dengan penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan paru.

Selama kehamilan trimester kedua, maka uterus yang telah besar dapat menekan vena kava inferior pada saat ibu dalam posisi terlentang, kondisi ini menyebabkan penurunan aliran balik vena dan curah jantung sampai sebesar 25% - 30%. Walaupun tekanan darah di ekstremitas superior dapat dipertahankan dengan mekanisme vasokonstriksi dan takikardia, namun perfusi uteroplasenta dapat berkurang pada saat ibu dalam posisi terlentang.

Figure 1. Changes in maternal heart rate, stroke volume, and cardiac output during pregancy with the gravida in the supine position and in the lateral position.

(Diambil dari : http://acc-www.bsd.uchicago.edu/manuals/obstetric/obanesthesia.html)Hipotensi yang terus-menerus juga dapat terjadi pada parturien dalam posisi terlentang, terutama bila diberikan anestesi regional atau general atau bila mekanisme kompensasi normal terganggu. Karena alasan ini, maka disarankan untuk menggeser uterus ke lateral pada saat operasi apapun yang dilakukan setelah usia kehamilan 20 minggu.

Kompresi vena kava juga dapat menyebabkan distensi pleksus venosus epidural sehingga meningkatkan risiko injeksi intravena selama pemberian anestesi epidural. Selama kehamilan juga terjadi penurunan kapasitas rongga epidural sehingga obat anestesi lokal epidural dapat menyebar lebih luas.1,6 Perubahan volume darah dan isi darah

Volume darah pada trimester awal kehamilan sudah mengalami peningkatan dan pada usia kehamilan aterm meningkat sebesar 30% sampai 50%. Peningkatan jumlah sel darah merah (25%) yang lebih sedikit dibandingkan peningkatan volume plasma (45%) menyebabkan anemia dilusional. Walaupun wanita hamil masih dapat mentoleransi kehilangan darah sedang, namun adanya anemia sebelumnya dapat menurunkan kemampuan kompensasi pasien bila terjadi perdarahan berat. Pada wanita hamil sering ditemukan leukositosis ringan sehingga jumlah sel darah putih kurang baik bila digunakan sebagai indikator infeksi.6

Figure 2. Changes in blood volume, plasma volume, red cell volume, and cardiac output during pregnancy and in the puerperium. The curves were constructed from various resports in the literature and illustrate trends in percent change rather than absolute values.

(Diambil dari : http://accwww.bsd.uchicago.edu/manuals/obstetric/obanesthesia.html)

Secara umum, kehamilan akan menginduksi kondisi hiperkoagulasi sehingga terjadi peningkatan fibrinogen, faktor-faktor VII, VIII, X dan XII serta produk degradasi fibrin. Pada kehamilan juga terjadi peningkatan pergantian trombosit, pembekuan darah dan fibrinolisis serta peningkatan jumlah trombosit sehingga dapat dikatakan bahwa pada kehamilan terjadi peningkatan status koagulasi intravaskuler yang masih terkompensasi.7 Pasien hamil yang sedang menjalani operasi mempunyai risiko tinggi terjadi tromboemboli selama periode perioperatif.1 Perubahan sistem gastrointestinal

Inkompetensia sfinkter esofagus bagian bawah dan perubahan anatomi gaster dan pylorus dapat meningkatkan risiko refluks esofageal, oleh karena itu wanita hamil mempunyai risiko tinggi terjadi regurgitasi isi gaster dan pneumonitis aspirasi. Tetapi sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti pada usia kehamilan berapa minggu resiko ini menjadi signifikan. Walaupun sfinkter esofagus bagian bawah sudah terganggu sejak awal kehamilan (terutama pada pasien dengan heartburn), faktor mekanis ini akan menjadi nyata pada kehamilan yang telah lanjut. Secara umum kita harus lebih waspada akan risiko aspirasi pada pasien hamil setelah usia kehamilan 18 atau 20 minggu.1Perubahan keseimbangan sistem respirasi dan asam-basa

Ventilasi alveolus pada bulan ke empat kehamilan meningkat sebesar 25%, sedangkan pada saat aterm meningkat sebesar 45% sampai 70%. Kondisi ini menyebabkan alkalosis respirasi kronis yang ditandai dengan PaCO2 sebesar 28 32 mmHg, pH yang sedikit alkalis (kira-kira 7,44) dan penurunan kadar bikarbonat dan buffer basa. Walaupun konsumsi oksigen meningkat selama kehamilan, PaCO2 biasanya hanya mengalami sedikit peningkatan dan masih dalam rentang normal. Kapasitas fungsional residual paru (FRC) pada uterus yang mulai mengembang mengalami penurunan sebesar 20%, kondisi ini menyebabkan penurunan cadangan oksigen. Jika FRC turun lebih jauh (seperti pada obesitas morbid, distensi intraabdomen perioperatif, meletakkan pasien dalam posisi terlentang, trendelenburg atau lithotomi) maka pasien rentan terjadi gangguan ventilasi / sumbatan jalan napas yang dapat menyebabkan hipoksemia.

Penambahan berat badan selama kehamilan dan pembesaran kapiler-kapiler di mukosa saluran pernafasan dapat menimbulkan masalah tersendiri selama ventilasi dengan tekanan positif dan intubasi endotrakeal.

Penurunan FRC, peningkatan konsumsi oksigen dan pengurangan kapasitas buffer dapat menimbulkan hipoksemia dan asidosis selama periode hipoventilasi atau apnea. Lebih jauh, induksi anestesi general pada kehamilan berlangsung lebih cepat karena adanya hiperventilasi alveolar dan penurunan kapasitas fungsional residual paru sehingga agen-agen anestesi inhalasi lebih cepat mencapai equilibrasi1. Faktor lainnya yang dapat mempercepat induksi anestesi adalah penurunan MAC agen-agen anestesi volatil sampai sebesar 30% pada awal kehamilan.8 Ahli anestesi harus lebih waspada saat memasukkan obat analgesik dan agen anestesi pada parturien, karena hilangnya kesadaran dapat berlangsung lebih cepat dan sulit diprediksi.1Perubahan respon anestesi

Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil, konsentrasi obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai anestesia; kebutuhan halotan menurun sampai 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%8. Selain terjadi penurunan MAC agen-agen anestesi inhalasi, dosis thiopental yang dibutuhkan juga berkurang sejak awal kehamilan.7,8Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal yang diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih rendah. Hal ini karena pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih sempit.Pada pasien hamil juga dapat terjadi blokade saraf yang lebih luas pada anestesi spinal atau epidural. Selain itu kehamilan juga meningkatkan respon terhadap blokade saraf perifer. Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut saraf akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada lokasi membran reseptor (enhanced diffusion).

Konsentrasi cholinesterase plasma menurun sampai sebesar 25% sejak awal kehamilan sampai tujuh hari post partum. Namun jarang terjadi blokade neuromuskuler yang berkepanjangan karena volume plasma yang besar mengakibatkan distribusi obat yang merata sehingga mengurangi efek dari penurunan hidrolisis obat. Meskipun demikian dosis suksinilkolin sebaiknya dikontrol dengan hati-hati pada pasien hamil dan ahli anestesi harus memonitor blokade neuromuskuler dengan stimulator saraf untuk memastikan reverse/pemulihan yang adekuat sebelum ekstubasi.9

Pada kehamilan juga terjadi penurunan konsentrasi albumin sehingga fraksi obat bebas dalam darah meningkat, akibatnya resiko toksisitas obat selama kehamilan juga meningkat.1 PERTIMBANGAN PADA FETUS Risiko teratogenisitas

Agen-agen anestesi dapat menyebabkan perubahan besar pada ibu hamil berupa hipoksia dan hipotensi berat sehingga dapat berbahaya bagi fetus. Selain efek tersebut, saat ini perhatian juga ditujukan pada risiko teratogen dari obat-obat anestesi.

Teratogenisitas mempunyai pengertian sebagai setiap perubahan post natal yang signifikan baik dalam fungsi atau bentuk setelah terapi yang diberikan selama periode prenatal. Perhatian akan adanya efek merugikan agen-agen anestesi berawal dari efek obat tersebut yang telah diketahui pada sel-sel mamalia. Efek merugikan tersebut terjadi dalam rentang dosis terapi dan perubahan sel irreversibel yang terjadi dapat berupa berkurangnya motilitas sel, pemanjangan waktu sintesis DNA, dan inhibisi pembelahan sel.1,10Prinsip-prinsip teratogenisitas

Terdapat sejumlah faktor penting yang mempengaruhi potensi teratogenisitas suatu substansi antara lain adalah suseptibilitas spesies, dosis obat, durasi dan waktu terpapar, dan predisposisi genetik.

Interaksi antara dosis obat dengan waktu pemberian juga sangat penting. Teratogen dengan dosis kecil dapat menyebabkan malformasi atau kematian pada embrio yang masih awal, sedangkan dosis yang lebih besar mungkin kurang berbahaya pada fetus.9-10

Manifestasi teratogenisitas antara lain adalah kematian, abnormalitas struktur, hambatan pertumbuhan, dan defisiensi fungsional. Kematian akan menyebabkan abortus, fetal death atau stillbirth pada manusia, tergantung pada waktu terjadinya, sedangkan pada binatang akan menyebabkan resorbsi fetus. Abnormalitas struktural dapat menyebabkan kematian jika sangat berat, akan tetapi kematian juga dapat terjadi tanpa disertai anomali kongenital. Hambatan pertumbuhan pada saat ini dianggap sebagai salah satu manifestasi dari teratogenisitas, selain itu kondisi ini juga berhubungan dengan banyak faktor lainnya seperti insufisiensi plasenta, faktor genetik dan lingkungan. Usia kehamilan pada saat terpapar sangat menentukan organ atau jaringan target, tipe defek, dan berat-ringannya kerusakan. Sebagian besar abnormalitas struktural disebabkan oleh paparan selama periode organogenesis, yaitu kira-kira pada hari ke 31 sampai 71 setelah hari pertama haid terakhir.1

Dalam menentukan kemungkinan teratogenistas agen anestesi perlu dipertimbangkan dengan tingginya angka kejadian hasil kehamilan yang buruk yang terjadi secara alami. Robert dan Lowe (1975) memperkirakan bahwa sebanyak 80% hasil konsepsi manusia mengalami keguguran, bahkan keguguran tersebut banyak yang terjadi sebelum diketahui ada kehamilan. Diperkirakan separuh dari abortus dini ini disebabkan oleh abnormalitas kromosom. Insiden anomali kongenital diantara manusia adalah sebesar 3% dan sebagian besar tidak diketahui sebabnya. Dari jumlah tersebut yang terpapar obat atau toksin sebelumnya hanya sebesar 2% sampai 3%.9 Teratogenisitas dalam periode perioperatif

Anestesia dan pembedahan dapat menyebabkan perubahan pada fisiologi ibu sehingga mengakibatkan hipoksia, hiperkapnea, stress, abnormalitas temperatur dan metabolisme karbohidrat. Kondisi-kondisi tersebut dapat bersifat teratogen itu sendiri atau mereka dapat meningkatkan teratogenisitas agen-agen lainnya10. Hipoglikemia berat, hipoksia dan hiperkarbia yang lama dapat menyebabkan anomali kongenital pada binatang dalam percobaan laboratorium, tetapi bukti tersebut masih kurang kuat untuk mendukung teratogenisitas pada manusia setelah mengalami kondisi tersebut dalam waktu singkat.1

Ibu hamil yang mengalami hipoksemia kronis dapat menyebabkan bayi yang dilahirkan mempunyai berat lahir rendah tetapi tidak ditemukan defek kongenital.6-9Radiasi pengion juga merupakan teratogen pada manusia, efek kelainan yang muncul berhubungan erat dengan besar dosis yang diterima oleh ibu hamil. Kelainan yang muncul mulai dari meningkatnya risiko kanker pada anak sampai pada anomali kongenital atau kematian janin. Data pada binatang dan manusia menunjukkan bahwa paparan radiasi sebesar 5 sampai 10 rad tidak akan meningkatkan insiden anomali major atau restriksi pertumbuhan. Besar dosis radiasi yang diterima oleh fetus pada foto polos thorak diperkirakan sebesar 8 milirad dan pada barium enema sebesar 800 milirad.10Teratogenisitas obat obat anestetik

Teratogenisitas tidak berkaitan dengan pemakaian obat-obat induksi yang biasa digunakan, (seperti : barbiturat, ketamin, dan benzodiazepin) bila obat tersebut diberikan dalam dosis klinis selama anestesia.10 Selain itu tidak ditemukan bukti yang mendukung tentang teratogenisitas opioid pada manusia, bukti yang ada menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan insiden anomali kongenital diantara ibu hamil yang menggunakan morfin atau methadon selama kehamilan.10-13

Data penelitian pada manusia menunjukkan adanya peningkatan teratogenisitas pada pemberian tranquilizer. Dalam sebuah review, dilaporkan bahwa insiden anomali kongenital berat sebesar 11% sampai 12% bila ibu hamil mengkonsumsi meprobamat atau klordiazepoksid selama kehamilan dibandingkan dengan insiden sebesar 4,6% bila ibu mengkonsumsi ansiolitik lainnya dan 2,6% bila ibu tidak minum obat. Tetapi peneliti lain tidak mendapatkan adanya efek merugikan berdasarkan penelitiannya dengan meprobamat atau klordiazepoksid intrauterin.1

Terapi benzodiazepin menjadi kontroversial setelah beberapa penelitian melaporkan adanya hubungan antara konsumsi diazepam oleh ibu hamil selama trimester pertama kehamilan dengan bayi yang menderita palatoschizis, dengan atau tanpa labioschizis. Safra dan Oakley (1975) melakukan penelitian terhadap 278 ibu yang bayinya menderita malformasi berat; mereka mencatat bahwa pada ibu yang mengkonsumsi diazepam mempunyai risiko empat kali lebih besar bayinya menderita cleft mulut dibandingkan kelainan lainnya. Kedua peneliti tersebut berkesimpulan bahwa risiko terjadi labioschizis sebesar 0,4% sedangkan risiko palatoschizis sebesar 0,2%.14

Penelitian juga melaporkan adanya hubungan antara konsumsi diazepam oleh ibu hamil dengan kelainan cleft mulut. Seperti penelitian retrospektif pada 854 wanita yang mengkonsumsi diazepam pada trimester pertama kehamilan,gagal menunjukkan adanya peningkatan risiko akibat terapi dengan benzodiazepin.Walaupun konsensus para ahli anestesi menyebutkan bahwa diazepam tidak terbukti teratogen pada manusia, namun sebaiknya perlu dipertimbangkan rasio untung ruginya sebelum memberikan obat ini untuk terapi jangka lama selama trimester pertama kehamilan. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pemberian benzodiazepin (seperti midazolam) dosis tunggal selama tindakan anestesi akan membahayakan fetus.1Teratogenisitas obat anestesi lokal

Prokain, lidokain dan bupivakain dapat menyebabkan efek sitotoksik yang reversibel pada kultur fibroblast hamster.9Akan tetapi, tidak ada bukti yang mendukung adanya teratogenisitas morfologi atau behavioral akibat pemberian lidokain pada tikus,dan juga tidak ada bukti yang mendukung adanya teratogenisitas akibat penggunaan anestetik lokal pada manusia.10

Penyalahgunaan kokain oleh ibu hamil dapat menyebabkan outcome kehamilan yang buruk, yaitu berupa abnormalitas perilaku neonatus, dan pada beberapa penelitian disebutkan adanya peningkatan insiden defek kongenital pada saluran genitourinaria dan gastrointestinal. Risiko yang paling besar pada fetus akibat penyalahgunaan kokain oleh ibu hamil adalah tingginya insiden solusio plasenta.10Teratogenisitas obat pelumpuh otot

Penelitian tentang teratogenisitas obat-obat pelumpuh otot dengan cara standar secara in vivo pada binatang mengalami kesulitan dengan adanya depresi respirasi dan kebutuhan akan ventilasi mekanis. Fujinaga dkk (1992) menggunakan sistem kultur embrio tikus untuk menyelidiki toksisitas reproduktif d-tubocurarine, pancuronium, atrakurium dan vecuronium dosis tinggi. Walaupun toksisitas tersebut muncul dengan adanya penurunan panjang crown-rump (kepala-pantat), berkurangnya jumlah pasangan somit, dan abnormalitas morfologi, efek tersebut hanya terjadi pada konsentrasi plasma ibu sebesar 30 kali lebih tinggi dibandingkan konsentrasi yang ditemukan dalam praktek klinis. Obat-obat ini mempunyai batas keamanan yang lebar jika diberikan pada ibu selama fase organogenesis karena kadar obat dalam plasma fetus hanya sebesar 10% sampai 20% dari konsentrasi dalam plasma ibu.12 Apakah obat ini bila diberikan pada kehamilan yang telah lanjut dapat menyebabkan bahaya masih belum diketahui dengan pasti.

Terdapat banyak wanita yang mendapat obat pelumpuh otot selama beberapa hari pada saat hamil tua namun tidak ditemukan adanya efek merugikan pada bayinya.1Teratogenisitas obat anestesi inhalasi

Penelitian epidemiologis yang dilakukan mulai tahun 1960 sampai tahun 1970 menunjukkan adanya bahaya reproduktif (seperti aborsi spontan, anomali kongenital) pada pekerja dalam kamar operasi atau bedah mulut. Bahaya tersebut disebabkan karena paparan agen-agen anestesi, terutama dengan gas nitro oksida.1

Pada tahun 1980 an Cohen dkk melaporkan adanya peningkatan kejadian abortus spontan sebesar dua kali lipat diantara perawat kamar operasi dokter gigi yang terpapar. Insiden defek bayi yang dilahirkan oleh perawat kamar operasi dokter gigi yang terpapar juga mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan perawat yang tidak terpapar. Akan tetapi, validitas hasil penelitian ini masih diragukan; karena insiden anomali diantara dokter gigi yang tidak terpapar sama dengan perawat kamar operasi yang terpapar. Secara keseluruhan peningkatan risiko anomali kongenital akibat paparan kronis dengan gas nitro oksida tidak didukung oleh data epidemologis yang ada.15Akhir-akhir ini dilaporkan adanya penurunan fertilitas diantara perawat wanita yang bekerja dalam ruangan dokter gigi yang tercemar oleh gas nitro oksida selama lebih dari 5 jam perminggu. Akan tetapi, karena kelompok yang terkena efek hanya terdiri dari 19 orang maka sulit untuk diambil kesimpulan berdasarkan data tersebut.Penelitian terbaru tidak mampu membuktikan adanya hubungan antara pekerjaan dalam kamar operasi dengan meningkatnya risiko reproduktif. Outcome kehamilan baik pada perawat kamar operasi yang terpapar dan tidak terpapar adalah sama.1TERATOLOGI BEHAVIORAL

Telah diketahui sebelumnya bahwa beberapa agen anestesi dapat menyebabkan abnormalitas tingkah laku tanpa disertai perubahan morfologi yang nyata. Sistem saraf pusat (SSP) sangat sensitif terhadap berbagai pengaruh selama periode myelinisasi, yang pada manusia terjadi pada bulan ke empat kehamilan sampai dua bulan post natal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa paparan halotan selama periode intrauterin dalam waktu singkat dapat mempengaruhi cara belajar selama post natal dan dapat menyebabkan degenerasi SSP dan penurunan berat otak tikus.Sistem saraf pusat tikus sangat rentan terhadap efek hatothan selama periode trimester kedua.Pemberian obat (seperti barbiturat, meperidin dan promethazin) secara sistemik selama periode prenatal juga dapat menyebabkan perubahan tingkah laku pada binatang, sedangkan pemberian lidokain tidak menimbulkan efek apapun.1

Jevtovic-Todorovic dkk (2003) menyebutkan bahwa agen-agen anestesi yang dipakai belakangan ini bekerja melalui dua mekanisme utama yaitu potensiasi reseptor asam gamma-aminobutirat (GABA) dan antagonistik reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan obat yang bekerja melalui kedua mekanisme tersebut dapat menginduksi apoptosis neuronal yang luas pada otak tikus yang sedang berkembang bila diberikan pada periode synaptogenesis (yaitu periode growth-spurt otak).16 Jevtovic-Todorovic dkk juga mengamati bahwa pemberian obat anestesi general cocktail (midazolam, isofluran dan nitro oksida) pada bayi tikus usia 7 hari dengan dosis yang cukup untuk mempertahankan anestesi umum selama 6 jam akan menyebabkan neurodegenerasi apoptosis luas pada otak yang berkembang, defisit fungsi sinaptik hipokampus dan gangguan memori/belajar yang permanen. Mereka menyimpulkan bahwa defisit tersebut terlalu ringan sehingga sulit dideteksi, tetapi akan menetap sampai dewasa. Akan tetapi, implikasi pada fetus manusia akibat pemberian anestesi general masih belum diketahui.17PERSIAPAN PREOPERASI / PREANESTESI (PRE-OP VISIT)

Tujuan 1. mengenal pasien, mengetahui masalah saat ini, mengetahui riwayat penyakit dahulu serta keadaan / masalah yang mungkin menyertai pada saat ini.2. menciptakan hubungan dokter-pasien3. menyusun rencana penatalaksanaan sebelum, selama dan sesudah anestesi / operasi4. informed consent

Penilaian catatan medik (chart review) 1. Membedakan masalah obstetri / ginekologi dengan masalah non-obstetri yang terjadi pada kehamilan. 2. Jenis operasi yang direncanakan3. indikasi / kontraindikasi4. Ada / tidak kemungkinan terjadinya komplikasi, faktor penyulit5. obat-obatan yang pernah / sedang / akan diberikan untuk masalah saat ini yang kemungkinan dapat berinteraksi dengan obat / prosedur anestesi6. hasil-hasil pemeriksaan penunjang / laboratorium yang diperlukan

Pemeriksaan pasien

Anamnesis : penting mengumpulkan data tambahan tentang riwayat penyakit yang dapat menjadi penyulit / faktor risiko tindakan anestesi (asma, hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, gangguan pembekuan darah, dsb), riwayat operasi / anestesi sebelumnya, riwayat alergi, riwayat pengobatan, kebiasaan merokok / alkohol / obat-obatan.Pemeriksaan fisik : tinggi / berat badan, tanda vital lengkap, kepala / leher (perhatian KHUSUS pada mulut / gigi / THT / saluran napas atas, untuk airway maintenance selama anestesi / operasi), jantung / paru / abdomen / ekstremitas.Pada kasus obstetri / kasus non-obstetri dalam kehamilan, penting dilakukan : pemeriksaan obstetri (umumnya telah dilakukan oleh dokter obstetri), pemantauan kesejahteraan janin (dengan fetal monitoring).

Menetapkan rencana anestesi 1. Konsultasi dengan dokter yang akan melakukan tindakan obstetrik.2. Penjelasan kepada pasien : metode, risiko, cara, persiapan (diet, puasa, premedikasi), pemulihan, dsb.Pertimbangan : Fisiologi Kehamilan / Persalinan (Maternal Physiology)

Sistem pernapasan Perubahan pada fungsi pulmonal, ventilasi dan pertukaran gas. Functional residual capacity menurun sampai 15-20%, cadangan oksigen juga berkurang. Pada saat persalinan, kebutuhan oksigen (oxygen demand) meningkat sampai 100%.Menjelang / dalam persalinan dapat terjadi gangguan / sumbatan jalan napas pada 30% kasus, menyebabkan penurunan PaO2 yang cepat pada waktu dilakukan induksi anestesi, meskupun dengan disertai denitrogenasi. Ventilasi per menit meningkat sampai 50%, memungkinkan dilakukannya induksi anestesi yang cepat pada wanita hamil.18

Sistem kardiovaskularPeningkatan isi sekuncup / stroke volume sampai 30%, peningkatan frekuensi denyut jantung sampai 15%, peningkatan curah jantung sampai 40%. Volume plasma meningkat sampai 45% sementara jumlah eritrosit meningkat hanya sampai 25%, menyebabkan terjadinya dilutional anemia of pregnancy. Meskipun terjadi peningkatan isi dan aktifitas sirkulasi, penekanan / kompresi vena cava inferior dan aorta oleh massa uterus gravid dapat menyebabkan terjadinya supine hypertension syndrome. Jika tidak segera dideteksi dan dikoreksi, dapat terjadi penurunan vaskularisasi uterus sampai asfiksia janin. Pada persalinan, kontraksi uterus / his menyebabkan terjadinya autotransfusi dari plasenta sebesar 300-500 cc selama kontraksi. Beban jantung meningkat, curah jantung meningkat, sampai 80%. Perdarahan yang terjadi pada partus pervaginam normal bervariasi, dapat sampai 400-600 cc. Pada sectio cesarea, dapat terjadi perdarahan sampai 1000 cc. Meskipun demikian jarang diperlukan transfusi. Hal itu karena selama kehamilan normal terjadi juga peningkatan faktor pembekuan VII, VIII, X, XII dan fibrinogen sehingga darah berada dalam hypercoagulable state.

Ginjal Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus meningkat sampai 150% pada trimester pertama, namun menurun sampai 60% di atas nonpregnant state pada saat kehamilan aterm. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh aktifitas hormon progesteron. Kadar kreatinin, urea dan asam urat dalam darah mungkin menurun namun hal ini dianggap normal. Pasien dengan preeklampsia mungkin berada dalam proses menuju kegagalan fungsi ginjal meskipun pemeriksaan laboratorium mungkin menunjukkan nilai "normal".

Sistem gastrointestinalUterus gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan perubahan sudut gastroesophageal junction, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung. Sementara itu terjadi juga peningkatan sekresi asam lambung, penurunan tonus sfingter esophagus bawah serta perlambatan pengosongan lambung. Enzim-enzim hati pada kehamilan normal sedikit meningkat. Kadar kolinesterase plasma menurun sampai sekitar 28%, mungkin akibat hemodilusi dan penurunan sintesis. Pada pemberian suksinilkolin dapat terjadi blokade neuromuskular untuk waktu yang lebih lama. Lambung HARUS selalu dicurigai penuh berisi bahan yang berbahaya (asam lambung, makanan) tanpa memandang kapan waktu makan terakhir.

Sistem saraf pusatAkibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil, konsentrasi obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai anestesia; kebutuhan halotan menurun sampai 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%. Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal yang diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih rendah. Hal ini karena pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih sempit. Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut saraf akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada lokasi membran reseptor (enhanced diffusion).

Transfer obat dari ibu ke janin melalui sirkulasi plasentaJuga menjadi pertimbangan, karena obat-obatan anestesia yang umumnya merupakan depresan, dapat juga menyebabkan depresi pada janin. Harus dianggap bahwa SEMUA obat dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin.

Tindakan Anestesi / Analgesi Regional

Analgesi / blok epidural (lumbal) : sering digunakan untuk persalinan per vaginam.Anestesi epidural atau spinal : sering digunakan untuk persalinan per abdominam / sectio cesarea.

Keuntungan : 1. Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi janin dapat dicegah / dikurangi.2. Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam persalinan.3. Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan anestesi umum)4. Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat anestesia regional sudah siap.

Kerugian :1. Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)2. Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama3. Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi.4. Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat menurun, sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat.

Kontraindikasi :1. Pasien menolak 2. Insufisiensi utero-plasenta 3. Syok hipovolemik &. Kelainan SSP tertentu 4. Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi 5. Sepsis6. Gangguan pembekuan

Teknik :1. Pasang line infus dengan diameter besar, berikan 500-1000 cc cairan kristaloid / koloid 500 cc.2. 15-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida 3. Observasi tanda vital

Epidural : posisi pasien lateral dekubitus atau duduk membungkuk, dilakukan punksi antara vertebra L2-L5 (umumnya L3-L4) dengan jarum / trokard. Ruang epidural dicapai dengan perasaan "hilangnya tahanan" pada saat jarum menembus ligamentum flavum.

Spinal / subaraknoid : posisi lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi antara L3-L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis), dengan jarum / trokard. Setelah menembus ligamentum flavum (hilang tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus selaput duramater, mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.

Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang epidural / subaraknoid. Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi, menggunakan jarum halus atau kapas.Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah punksi ditutup dengan kasa dan plester.Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.

Obat anestetik yang digunakan : lidocain 1-5%, chlorprocain 2-3% atau bupivacain 0.25-0.75%. Dosis yang dipakai untuk anestesi epidural lebih tinggi daripada untuk anestesi spinal.

Komplikasi yang mungkin terjadi :1. Jika terjadi injeksi subarakhnoid yang tidak diketahui pada rencana anestesi epidural, dapat terjadi total spinal anesthesia, karena dosis yang dipakai lebih tinggi. Gejala berupa nausea, hipotensi dan kehilangan kesadaran, dapat sampai disertai henti napas dan henti jantung. Pasien harus diatur dalam posisi telentang / supine, dengan uterus digeser ke kiri, dilakukan ventilasi O2 100% dengan mask disertai penekanan tulang cricoid, kemudian dilakukan intubasi. Hipotensi ditangani dengan memberikan cairan intravena dan ephedrine.2. Injeksi intravaskular ditandai dengan gangguan penglihatan, tinitus, dan kehilangan kesadaran. Kadang terjadi juga serangan kejang. Harus dilakukan intubasi pada pasien, menggunakan 1.0 - 1.5 mg/kgBB suksinilkolin, dan dilakukan hiperventilasi untuk mengatasi asidosis metabolik.3. Komplikasi neurologik yang sering adalah rasa sakit kepala setelah punksi dura. Terapi dengan istirahat baring total, hidrasi (>3 L/hari), analgesik, dan pengikat / korset perut (abdominal binder).

Tindakan Anestesi Umum

Tindakan anestesi umum digunakan untuk persalinan per abdominam / sectio cesarea.

Indikasi : 1. Gawat janin.2. Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap anestesia regional.3. Diperlukan keadaan relaksasi uterus.

Keuntungan :1. Induksi cepat.2. Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal.3. Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah.

Kerugian :1. Risiko aspirasi pada ibu lebih besar.2. Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat.3. Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan asidosis pada janin.4. Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas maternal.

Teknik :1. Pasang line infus dengan diameter besar, antasida diberikan 15-30 menit sebelum operasi, observasi tanda vital, pasien diposisikan dengan uterus digeser / dimiringkan ke kiri.2. Dilakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit, atau pasien diminta melakukan pernapasan dalam sebanyak 5 sampai 10 kali.3. Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan operator siap, dilakukan induksi dengan 4 mg/kgBB tiopental atau propofol 2 mg/kgBB dan 1-2 mg/kgBB suksinilkolin.4. Dilakukan penekanan krikoid, dilakukan intubasi, dan balon pipa endotrakeal dikembangkan. Dialirkan ventilasi dengan tekanan positif.5. O2-N2O 50%-50% diberikan melalui inhalasi, dan suksinilkolin diinjeksikan melalui infus. Dapat juga ditambahkan inhalasi 1.0% enfluran, 0.75% isofluran, atau 0.5% halotan, sampai janin dilahirkan, untuk mencegah ibu bangun.6. Obat inhalasi dihentikan setelah tali pusat dijepit, karena obat-obat tersebut dapat menyebabkan atonia uteri. 7. Setelah itu, untuk maintenance anestesi digunakan teknik balans (N2O/narkotik/relaksan), atau jika ada hipertensi, anestetik inhalasi yang kuat juga dapat digunakan dengan konsentrasi rendah.8. Ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar.9. (catatan) Jika terjadi hipertonus uterus, sementara diperlukan relaksasi uterus yang optimal, hal ini menjadi indikasi untuk induksi cepat dan penggunaan anestetik inhalasi.

CATATAN : Pada kasus-kasus obstetri patologi yang memerlukan obat-obatan / penanganan medik selain anestesi, diberikan sebagaimana seharusnya.Contoh : 1. pada pre-eklampsia, diberikan juga vasodilator, magnesiumsulfat.2. pada infeksi atau kemungkinan infeksi, diberikan antibiotika.3. pada keadaan umum / tanda vital yang buruk, misalnya syok, hipoksia, ditatalaksana dengan oksigen, cairan, obat2an, dan sebagainya.

ANESTESIA / ANALGESIA UNTUK OPERASI NON-OBSTETRI PADA MASA KEHAMILAN (NON-OBSTETRICAL SURGERY DURING PREGNANCY)

Sekitar 1-5% wanita hamil mengalami masalah yang tidak berhubungan secara langsung dengan kehamilannya, yang memerlukan tindakan operasi (misalnya : trauma, appendiksitis, dsb dsb). Mortalitas / morbiditas maternal : tidak berbeda signifikan dengan tindakan anestesi / operasi pada wanita yang tidak hamil. Mortalitas / morbiditas perinatal : LEBIH TINGGI signifikan, antara 5-35%. Pada kasus gawat darurat, mortalitas maternal dan perinatal SANGAT TINGGI.

Pertimbangan tindakan anestesi untuk bedah non-obstetri pada masa kehamilan :1. Keselamatan ibu (prioritas utama)2. Usaha mempertahankan kehamilan3. Usaha mempertahankan fisiologi sirkulasi utero-plasenta yang optimal4. Pencegahan sedapat mungkin, pemakaian obat-obatan yang memiliki efek depresi, efek hambatan pertumbuhan atau efek teratogen terhadap janin.

Anjuran / pertimbangan :1. Operasi elektif sebaiknya ditunda sedapat mungkin sampai 6 minggu pasca persalinan (setelah masa nifas, di mana semua perubahan fisiologis akibat kehamilan diharapkan telah kembali pada keadaan normal).2. Operasi semi-urgent sebaiknya ditunda sampai trimester kedua atau ketiga.3. Teknik anestesia regional (terutama spinal) lebih dianjurkan, karena paparan / exposure obat-obatan terhadap janin relatif paling minimal.4. Premedikasi minimal : barbiturat lebih dianjurkan dibandingkan benzodiazepin; narkotik dapat digunakan untuk analgesia.5. Untuk pasien yang direncanakan anestesia dengan N2O, berikan suplementasi asam folat (N2O dapat menghambat sintesis dan metabolisme asam folat).6. Jika operasi dilakukan dalam masa kehamilan, lanjutkan pemeriksaan antenatal dengan perhatian khusus pada fetal heart monitoring dan penilaian aktifitas uterus, untuk deteksi kemungkinan persalinan preterm pascaoperasi. ANESTESIA / ANALGESIA UNTUK KASUS GINEKOLOGI

KuretaseUntuk tindakan kuretase, digunakan : 1. analgetika (pethidin 1-2 mg/kgbb, dan/atau neuroleptika ketamin HCl 0,5-1 mg/kgbb, dan/atau tramadol 1-2 mg/kgbb, ketolorak 30 mg) 2. sedativa (midazolam 5 mg) 3. atropin sulfat (0,25-0,5 mg) diberikan melalui infus intravena. Untuk meningkatkan kontraksi uterus digunakan ergometrin maleat.

Laparotomi operasi ginekologi

Untuk operasi ginekologi dengan laparotomi, digunakan anestesia umum.

Laparoskopi

Untuk tindakan laparoskopi, diperlukan keadaan khusus :1. Pengisian rongga abdomen dengan udara (pneumoperitoneum)2. Kadang diperlukan posisi Trendelenburg ekstrim. 3. Kadang digunakan elektrokoagulasi.

Tujuan anestesi pada laparoskopi adalah :1. mencegah peningkatan tekanan parsial CO2 dalam darah (PaCO2) pada insuflasi abdomen dgn gas CO2. 2. mengurangi potensial kejadian aritimia akibat hiperkarbia dan asidosis.3. mempertahankan stabilitas kardiovaskular pada keadaan peningkatan tekanan intraabdominal yg besar akibat insuflasi CO2 (umumnya tekanan naik sampai 20-25 cmH2O, dapat sampai 30-40 cm H2O).4. menciptakan relaksasi otot yg adekuat untuk membantu tindakan operasi

Pengisian rongga peritoneum dengan CO2 dapat menyebabkan peningkatan PaCO2 jika pernapasan tidak dikendalikan. Kelebihan CO2 dapat diatasi dengan kendali frekuensi pernapasan 1.5 kali di atas frekuensi basal. Peningkatan tekanan intraabdominal akibat insuflasi gas dapat menyebabkan muntah dan aspirasi, serta peningkatan tekanan vena sentral dan curah jantung sekunder akibat redistribusi sentral volume darah. Tekanan intraabdominal sampai 30-40 cm H2O sebaliknya dapat menyebabkan penurunan tekanan vena sentral dan curah jantung dengan cara menurunkan pengisian jantung kanan.

Metode yang dianjurkan adalah anestesi dengan N2O-O2 perbandingan 75%-25% inhalasi, dengan anestetik narkotik dan muscle relaxant. Dapat juga digunakan tambahan anestesi inhalasi dalam konsentrasi rendah, seperti 0.5-1.0% isofluran atau enfluran. Jika diperlukan, anestesia lokal blok regio periumbilikal dapat dilakukan dengan 10-15 cc bupivacain 0.5%. Sedasi ringan dapat diberikan.

Fertilisasi in vitro

Untuk aspirasi oosit secara laparoskopi, digunakan anestesi yang sesuai. Untuk aspirasi oosit dengan panduan ultrasonografi, dapat digunakan anestesi lokal regio suprapubik dengan bupivacain 0.5% 10 - 15 cc, disertai tambahan analgesi dan sedasi dengan benzodiazepin kombinasi bersama fentanil, meperidin atau morfin dosis rendah.

DAFTAR PUSTAKA1. Manley S, De Kelaita G, Joseph NJ. Preoperative pregnancy testing in ambulatory surgery. Anesthesiology 1995; 83 : 690 3.

2. Azzam FJ, Padda GS, DeBoard JW, et al. Preoperative pregnancy testing in adolescents. Anesth Analg 1996 ; 82 : 4 7.

3. Cohen SE. Physiologic alterations of pregnancy : Anesthetic implications . In : Barash, ed. American society of anesthesiologists refresher. Courses in Anesthesiology. Philadelphia, JB Lippincott, 1993 : 51 64.

4. Eveline AM. Faure. http://acc-www.bsd.uchicago.edu/manuals/obstetric/obanesthesia.html5. Gerbasi FR, Bottom S, Farag A, et al. Increased intravascular coagulation associated with pregnancy. Obstet Gynecol 1990 ; 75 : 385 9.6. Shepard TH. Catalog of teratogenic agents. 7th ed. Baltimore, Md. The Johns Hopkins University Press, 1992

7. Gin T, Chan MTV. Decreased minimum alveolar concentration of isoflurane in pregnant humans. Anesthesiology 1994 ; 81 : 829 32.

8. Gin T, Mainland, Chan MTV, et al. Decreased thiopental requirements in early pregnancy. Anesthesiology 1997 ; 86 : 73 8.9. Roberts CJ, Lowe CR. Where have all the conceptions gone? Lancet 1975 ; 1 : 498 9.

10. Mole RH. Radiation effects on prenatal development and their radiological significance. Br J Radiol 1999 ; 52 : 89 -101.

11. Briggs GC, Freeman RK, Yaffe SJ. Drugs in pregnancy and lactation. 3rd ed. Baltimore, Md, Williams & Wilkins, 1990.

12. Fujinaga M, Baden JM, Mazze RI. Developmental toxicity of nondepolarizing muscle relaxants in cultured rat embryos. Anethesiology 1992 ; 76 : 999 1003.

13. Jevtovic-Todorovic, Hartman RE, Izumi Y, et al. Early exposure to common anesthetic agents causes widespread neurodegeneration in the developing rat brain and persistent learning deficits. J Neurosci 2003 ; 23 : 876 82.14. Shiono PH, Mills JL. Oral clefts and diazepam use during pregnancy. N Engl J Med 1998 ; 311 : 919 20.15. Cohen EN, Brown BW, Wu ML, et al. Occupational disease in dentistry and chronic exposure to trace anesthetic gases. J Am Dent Assoc 1980 ; 101 : 21 31.16. Jevtovic-Todorovic, Hartman RE, Izumi Y, et al. Early exposure to common anesthetic agents causes widespread neurodegeneration in the developing rat brain and persistent learning deficits. J Neurosci 2003 ; 23 : 876 8217. Baker BW, Hughes SC, Shnider SM, et al. Maternal anesthesia and the stressed fetus : Effects of isoflurane on the asphyxiated fetal lamb. Anesthesiology 1990 ; 72 : 65 70. 18. Fujinaga M, Baden JM. Maternal and fetal effects of anesthesia. In : Healy TJ, Cohen PJ, Ed. A Practice of anesthesia. Sevenoaks. England, 1995 : 400 -17.

17