anestesi dikenal sehari
DESCRIPTION
not minTRANSCRIPT
PERSIAPAN PREOPERASI / PREANESTESI (PRE-OP VISIT)
Tujuan:
1. Mengenal pasien, mengetahui masalah saat ini, mengetahui riwayat penyakit
dahulu serta keadaan / masalah yang mungkin menyertai pada saat ini.
2. Menciptakan hubungan tenaga kesehatan-pasien
3. Menyusun rencana penatalaksanaan sebelum, selama dan sesudah
anestesi/operasi
4. Informed consent
Penilaian Catatan Medik (chart review)
1. Membedakan masalah obstetri / ginekologi dengan masalah non-obstetri
yang terjadi pada kehamilan.
2. Jenis operasi yang direncanakan
3. Indikasi / kontraindikasi. Ada/tidak kemungkinan terjadinya komplikasi, faktor
penyulit
4. Obat-obatan yang pernah / sedang / akan diberikan untuk masalah saat ini
yang kemungkinan dapat berinteraksi dengan obat / prosedur anestesi
5. Hasil-hasil pemeriksaan penunjang / laboratorium yang diperlukan
Pemeriksaan Pasien
Anamnesis : penting mengumpulkan data tambahan tentang riwayat penyakit yang
dapat menjadi penyulit / faktor risiko tindakan anestesi (asma, hipertensi, penyakit
jantung, penyakit ginjal, gangguan pembekuan darah, dsb), riwayat operasi /
anestesi sebelumnya, riwayat alergi, riwayat pengobatan, kebiasaan merokok /
alkohol / obat-obatan.
Pemeriksaan fisik : tinggi berat badan, tanda vital lengkap, kepala/leher (perhatian
khusus pada mulut/gigi/THT/saluran napas atas, untuk airway maintenance selama
anestesi/operasi), jantung/paru/abdomen/ekstremitas.
Anatomi
Tulang punggung terdiri dari :
7 vertebra servkalis
12 vertebra torakalis
5 vertebra lumbal
5 vertebra sakral menyatu pada dewasa
4-5 vertebra koksigeal menyatu pada dewasa
Prosesus spinosus C2 teraba langsung di bawah oksipital. Prosesus spinosus C7
menonjol dan disebut sebagai vertebra prominens.
Garis lurus yang menghubungkan kedua krista iliaka tertinggi akan memotong
prosesus spinosus vertebra L4 atau L4-L5.
Peredaran darah
Medula spinalis diperdarahi oleh a. Spinalis anterior dan a. Spinalis
posterior.
Anestesi dikenal sehari-hari sebagai bius. Obat atau agen anestesi akan
menghilangkan sebagian atau seluruh perasaan. Ada tiga jenis anestesi: umum,
regional dan lokal. Ketika seorang pasien diberikan anestesi umum, mereka akan
sepenuhnya kehilangan kesadaran. Anestesi umum dapat diberikan dalam beberapa
metode. Metode yang paling umum adalah dengan menyuntikkan obat ke dalam
pembuluh darah, dan dengan gas anestesi yang diberikan melalui masker.
Terkadang juga dua metode ini diterapkan secara bersamaan pada pasien.
Pertimbangan anestesi umum
Dokter anestesi memeriksa klien guna menilai apakah klien cocok untuk
diberikan anestesi umum atau untuk dilakukan operasi. Beberapa hal yang
dipertimbangkan dalam pemberian anestesi umum, antara lain:
Riwayat kesehatan, termasuk kondisi kesehatan saat ini, seperti
diabetes atau masalah jantung.
Riwayat pembedahan (operasi) sebelumnya.
Alergi, misalnya apakah klien alergi terhadap makanan atau obat-
obatan tertentu.
Obat yang dikonsumsi saat ini, termasuk rokok dan alkohol.
Beberapa hal lain yang mungkin akan diterapkan pada klien sebelum
menjalani operasi antara lain:
Makan dan minum - biasanya klien diminta untuk tidak makan atau
minum beberapa jam sebelum operasi.
Shaving (pencukuran) - rambut atau bulu di sekitar lokasi operasi
mungkin perlu dicukur.
Prosedur lain - mungkin klien diminta untuk menerapkan beberapa hal
atau prosedur pra operasi lainnya.
Anestesi Lokal
Merupakan obat anestesi yang diberikan untuk menghentikan sensasi nyeri
sementara waktu di bagian tubuh tertentu. Selama pembiusan, Anda dapat tetap
sadar. Obat ini umumnya diberikan melalui suntikan di daerah yang akan dioperasi.
Jika ingin didapatkan daerah baal yang lebih luas, dokter dapat melakukan
pemblokan saraf di suatu bagian. Misalnya pada jari, seluruh tangan, atau satu
rahang pada pencabutan gigi.
Selain berbentuk obat suntik, anestesi lokal juga tersedia dalam bentuk
salep, misalnya untuk sariawan yang super nyeri di mulut; atau berupa obat tetes
seperti obat tetes mata yang digunakan untuk membaalkan mata saat operasi
katarak.
Obat anestesi lokal umumnya bekerja dengan cepat dan dapat langsung
terasa manfaatnya hanya dalam beberapa menit setelah diberikan. Efek obatnya
juga bertahan hingga dua jam atau lebih sehingga dokter dapat leluasa melakukan
prosedur tanpa harus berulang kali menyuntikkan obat. Jika efeknya sudah habis,
sensasi di daerah yang dibius akan pulih sempurna. Jika ada kemungkinan timbul
nyeri setelah obat habis, Anda akan perlu minum obat antinyeri.
Obat anestesi lokal ini cocok digunakan untuk operasi-operasi kecil seperti
pengangkatan tahi lalat, kutil, tumor jinak kulit, biopsi, hingga pencabutan gigi.
Beberapa efek samping yang sering terjadi di antaranya mual, mengantuk,
perubahan mood, telinga berdenging, pusing, gangguan penglihatan sementara,
hingga gemetar, kebas, nyeri kepala, atau otot terasa berkedut. Meski jarang sekali
terjadi, pemberian bius lokal dapat menimbulkan komplikasi berupa kejang atau
henti jantung.
Anestesi Regional
Anestesi regional adalah pembiusan satu bagian tubuh yang akan dioperasi,
misalnya daerah perut ke bawah, daerah tungkai, atau daerah dada. Anestesi ini
diberikan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal pada saraf yang
mempersarafi bagian tubuh tersebut. Anestesi ini memungkinkan kita dapat tetap
sadar tapi tidak merasakan apapun saat dioperasi.
Berbeda dengan anestesi lokal, pemberian anestesi regional tidak hanya
dapat menghilangkan rasa nyeri, tetapi juga sensasi lainnya. Bagian tubuh yang
dibius akan terasa berat, baal, bahkan tidak dapat digerakkan sementara waktu.
Salah satu jenis anestesi regional yang paling populer adalah anestesi
spinal dan epidural. Pada anestesi yang banyak diberikan pada ibu hamil ini, obat
dimasukkan ke rongga sekitar tulang belakang, dekat dengan sumsum tulang
belakang. Pada anestesi spinal, suntikan hanya diberikan satu kali, sedangkan pada
epidural, obat diberikan terus-menerus melalui sebuah selang kecil selama masih
diperlukan.
Dengan anestesi regional ini, dokter dapat melakukan operasi caesar
dengan ibu dalam keadaan sadar. Anestesi epidural juga sering dilakukan untuk
meredakan nyeri selama kontraksi pada ibu yang ingin melahirkan secara normal.
Sama seperti anestesi lokal, efek anestesi regional juga akan menghilang secara
perlahan-lahan dan tubuh akan pulih kembali seperti semula dalam beberapa jam.
Meski tergolong cukup aman, ada beberapa efek samping yang dapat terjadi
setelah pemberian anestesi spinal dan epidural. Di antaranya:
● Tekanan darah rendah
Merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Hal ini terjadi karena
persarafan pembuluh darah ikut terpengaruh oleh obat anestesi. Akibatnya
pembuluh darah melebar dan tekanan darah menjadi turun. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya rasa melayang atau mual.
● Nyeri dan rasa tidak nyaman saat disuntik
Pada orang tertentu, anestesi regional dapat sulit dilakukan atau obat tidak
tersebar merata. Jika hal ini terjadi, bukan tidak mungkin prosedur harus diulang
atau diganti dengan prosedur anestesi lain sehingga menimbulkan rasa nyeri atau
tidak nyaman. Jika Anda merasakan nyeri tajam saat disuntik, segera beritahukan
dokter agar ia dapat mengubah posisi jarum.
● Mengompol atau malah sulit buang air kecil
Setelah diberikan anestesi epidural atau spinal, Anda akan sulit
mengendalikan kandung kemih. Pada pria, Anda dapat jadi sulit untuk buang air
kecil. Sedangkan pada wanita, rasa ingin buang air kecil dapat menghilang sehingga
timbul mengompol. Tidak heran jika dokter perlu memasang kateter pada saluran
kencing Anda. Jangan kuatir, efek ini hanya sementara. Kemampuan Anda untuk
menahan dan mengeluarkan urine akan kembali segera setelah efek obat
anestesinya habis.
● Gatal-gatal
Kombinasi antara obat anestesi spinal dengan obat anti nyeri tertentu dapat
menimbulkan rasa gatal di kulit. Jika hal ini terjadi, segera beritahukan perawat atau
dokter.
● Mual
Meski lebih sering terjadi pada bius umum, kadang-kadang mual juga dapat
terjadi pada anestesi spinal.
● Sakit kepala
Sakit kepala dapat terjadi setelah anestesi spinal. Meski demikian, perlu
diingat bahwa penyebab sakit kepala dapat bermacam-macam, termasuk stress
menghadapi operasi, dehidrasi, atau operasinya sendiri. Sakit kepala ini biasanya
akan hilang dalam beberapa jam dan dapat diobati dengan obat pereda nyeri.
● Kerusakan saraf
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi dan umumnya bersifat sementara
waktu. Kerusakan saraf ditandai dengan hilangnya sensasi, sensasi seperti tertusuk
jarum dan kadang-kadang kelemahan otot yang berlangsung beberapa hari hingga
minggu.
Anestesi Umum
Anestesi umum adalah obat bius yang digunakan untuk membuat seseorang
memasuki tidur yang dalam. Dengan demikian, Anda tidak akan merasakan apapun
selama pembedahan berlangsung. Obat anestesi umum dapat diberikan dengan
cara dihirup melalui masker atau selang, diberikan melalui infus dan suntikan, atau
dapat juga kombinasi keduanya.
Anestesi umum dapat menekan seluruh fungsi tubuh, termasuk pernapasan,
denyut jantung, aliran darah, saluran cerna, serta refleks menelan, batuk, atau
memuntahkan benda asing yang masuk ke dalam paru-paru. Karena itu, dokter
anestesi harus mengawasi kondisi Anda secara seksama selama pembedahan
berlangsung. Agar pernapasan dapat tetap lancar, dokter akan memasukkan selang
ke dalam tenggorokan untuk menyalurkan oksigen segera setelah Anda tertidur. Jika
operasi sudah selesai, obat bius akan distop dan Anda akan dibawa ke ruang
pemulihan untuk pengawasan lebih lanjut.
Beberapa efek samping anestesi umum di antaranya:
● Mual dan muntah segera setelah operasi. Untuk mencegah terhirupnya
muntahan, Anda harus puasa sedikitnya 8 jam sebelum operasi.
● Kedinginan dan menggigil hingga 30 menit setelah operasi.
● Bingung, sulit berpikir jernih, dan amnesia. Gangguan ini bersifat
sementara dan biasanya terjadi pada lansia.
● Gangguan berkemih, baik sulit buang air kecil atau mengompol.
● Pusing berputar.
● Nyeri tenggorok atau cedera bibir dan gigi akibat pemasangan selang
pernapasan.
Selain efek samping di atas, ada beberapa efek samping serius tetapi jarang
terjadi, yaitu:
● Serangan jantung, gagal jantung, atau stroke.
● Tekanan darah meningkat atau menurun.
● Pneumonia alias infeksi paru-paru atau gangguan pernapasan lainnya.
● Kegagalan pemasangan selang pernapasan.
● Alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat-obatan anestesi.
● Kerusakan otot dan peningkatan suhu tubuh secara mendadak
● Kematian
Karena sifatnya yang memengaruhi seluruh tubuh, kemungkinan timbulnya
efek samping pada anestesi umum akan lebih besar dibanding anestesi lokal
ataupun regional. Meski demikian, efek samping ini umumnya bersifat ringan dan
dapat diatasi dengan mudah. Efek samping yang serius juga sangat jarang terjadi
pada orang yang secara secara umum sehat.
Epidural Anestesia
Anestesia epidural dihasilkan dengan menyuntikkan obat anestesi local
kedalam ruang epidural. Blok saraf terjadi pada akar nervus spinalis yang berasal
dari medula spinalis dan melintasi ruang epidural. Anestetik local melewati
duramater memasuki cairan cerebro spinal sehingga menimbulkan efek
anestesinya. Efek anesthesia yang dihasilkan lebih lambat dari anesthesia spinal
dan terbentuk secara segmental.
Anesthesia epidural dapat digunakan mulai dari analgesia dengan blok motorik
minimal sampai anesthesia dengan blok motorik penuh. Variasi ini dapat dikontrol
dengan pemilihan obat, konsentrasi dan dosis. Pengunaan analgesia post operasi
secara kontinu dengan narkotik atau local anestesi melalui kateter epidural
semakin popular saat ini.
ANATOMI
Daerah epidural tersusun atas bagian dasar oleh membran sacrococcygeal,
bagian posterior dibatasi oleh ligamentum flavum dan daerah anterior dari lamina
dan processus articularis, bagian anterior dibatasi oleh ligamentum longitudinal
posterior yang membungkus tulang vertebra dan discus intervertebralis. Bagian
lateraldibatasi oleh foramen intervertebralis dan pedikel
Ruang epidural berisi lemak dan jaringan limphatik maupun vena epidural. Vena
tidak memiliki katub dan berhubungan langsung dengan vena intracranial. Vena juga
berhubungan dengan vena thorasik dan vena abdominal. Vena pada foramen
intervertebralis, berlanjut pada pelvis yaitu pada pleksus vena sacralis. Daerah
paling luas didaerah tengah dan runcing pada bagian lateralnya. Pada daerah
lumbal luasnya 5-6 mm dan pada daerah thoraks luasnya 3-5 mm.
FISIOLOGI. (2)
1. Blokade neural.
Anestesi local yang ditempatkan didaerah epidural bereaksi secara langsung pada
akar nervus spinalis yang terdapat dibagian lateral dari ruang epidural. Akar nervus
tersebut dibungkus dengan lapisan dural dan anestesi local mencapai cairan
serebrospinal dengan menyerap pada dura. 0nset blok lebih lama dibandingkan
dengan anestesi spinal, dan intensitas blok sensoris dan motorik rendah.
2. Kardiovaskuler.
Hipotensi akibat dari blokade simpatik mirip seperti yang digambarkan pada
anestesi spinal. Dosis yang besar dari anestesi local yang digunakan dapat
diabsorbsi secara sistemik, mengakibatkan terjadinya depresi miokard. Epinefrin
yang ditambahkan pada anestesi local dapat diabsorbsi dan akan memberikan efek
sitemik seperti takikardi dan hipertensi.
3. Anesthesia epidural mengurangi terjadinya thrombosis vena dan embolisme
pulmoner pada pembedahan ortopedi. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya
peningkatan perfusi keanggota gerak bagian bawah. Selain itu terdapat
kecenderungan terjadinya penurunan koagulasi, penurunan agregasi platelet, dan
perbaikan fungsi fibrinolitik selama anestesi epidural.
4. perubahan fisiologis lain serupa dengan yang dihasilkan oleh anestesi spinal.
INDIKASI.
Pada umumnya indikasi epidural anestesi sama dengan spinal anestesi. Sebagai
keuntungan epidural anestesi adalah anestesi dapat diberikan secara kontinyu
setelah penempatan cateter epidural, oleh karena itu tehnik ini cocok untuk
pembedahan yang lama dan analgesia setelah pembedahan.
Indikasi Khusus :
A. Pembedahan sendi panggul dan lutut.
Dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi epidural untuk pembedahan panggul
dan lutut dapat mengurangi insidens trombosis vena. Penyebab kematian pasien
yang menjalani pembedahan sendi yang total adalah emboli paru. Lagi pula
kehilangan darah selama pembedahan sendi panggul lebih kecil pada pemakaian
tehnik anestesi epidural.
B. Revaskularisasi ektremitas bawah
Penelitian menunjukkan bahwa anestesia epidural pada pasien dengan penyakit
pembuluh darah periper , aliran darah kedistal selama rekonstruksi pembuluh
darah anggota gerak bagian bawah adalah baik dan penyumbatan cangkokan
pembuluh darah setelah operasi adalah kecil dibandingkan dengan anestesi umum.
C. Persalinan.
Pasien-pasien obsteric yang takut nyeri melahirkan dapat ditangani dengan epidural
anestesi dan memperoleh bayi dengan riwayat biokemia yang baik dari pada bayi
dilahirkan pada ibu yang diberikan opioid atau anetestetik lainnya secara intravena.
D. Penanganan nyeri post operasi.
Anestesi local konsentrasi rendah dan opoid atau kombinasi obat ini dengan
analgesik lain adalah manjur pada kontrol nyeri post operasi. Analgesia post operasi
ini memudahkan ambulatory dini dan kerja sama yang baik dengan phisio terapi.
KONTRA INDIKASI
Absolut :
Pasien tidak setuju
Infeksi local pada daerah kulit yang akan ditusuk.
Sepsis generalisata (seperti septicemia, bacteremia).
Koagulopathi.
Alergi terhadap suatu jenis anestetik local.
Peningkatan tekanan intracranial.
Relatif :
Hipovolemia
Penyakit SSP
Nyeri punggung kronik.
Pasien yang mendapat obat penghambat platelet, termasuk aspirin, dripiridamol,
dan NSAID
PROSEDUR
A. Persiapan peralatan dan Jarum epidural.
Seperti pada anestesi umum, obat-obatan serta mesin anestesia disiapkan
sebelum penderita masuk ruangan ; begitu pula dengan monitor standar. Persiapan
termasuk vasopressor untuk mencegah hipotensi, oksigen suplemen melalui nasal
kanula atau masker untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedatif atau
anestetik.
Pada umumnya jarum weiss atau tuohy ukuran 17 yang digunakan untuk
ideintifikasi ruang epidural. Jarum ini mempunyai stylet dan ujungnya tumpul dengan
lubang pada sisi lateral dan mempunyai dinding tipis yang dapat dilalui kateter
ukuran 20. Jarum ukuran 22 sering digunakan untuk tehnik dosis tunggal.
B. Menentukan posisi pasien
Pasien dapat diposisikan pada posisi duduk, posisi lateral atau posisi prone dengan
pertimbangan yang sama dengan anestesi spinal.
C. Identifikasi Ruang epidural.
Ruang epidural teridentifikasi setelah ujung jarum melewati ligamentum flavum dan
menimbulkan tekanan negatif pada ruang epidural. Metode untuk identifikasi ini
dibagi dalam dua kategori : loss of resistance tehnik dan hanging drop tehnik.
1. Loss of resistence tehnik.
Tehnik ini adalah cara yang umum dipakai untuk identifikasi ruang epidural. Cara
ini dengan mengarahkan jarum melewati kulit masuk kedalam ligamentum
interspinosus, dimana dibuktikan oleh adanya tahanan. Pada saat ini intraduser
dikeluarkan dan jarum dihubungkan dengan spoit yang diisi dengan udara atau Nacl
0,9 %, kemudian tusukan dilanjutkan sampai keruang epidural.
Ada dua cara mengendalikan kemajuan penempatan jarum. Pertama
menempatkan dua jari menggenggam spoit dan jarum dengan tekanan tetap pada
pangkalnya sehingga jarum begerak kedepan sampai jarum masuk kedalam ruang
epidural. Pendekatan lain dengan menempatkan jarum beberapa millimeter dan
saat itu dihentikan dan kendalikan dengan hati-hati. Dorsum tangan non dominan
menyokong belakang pasien dengan ibu jari dan jari tengah memegang poros
jarum. Tangan non dominan mengontrol masuknya jarum epidural dan setelah itu
ibu jari tangan dominan menekan fluger dari spoit. Ketika ujung jarum berada dalam
ligamentum fluger tidak bisa ditekan dan dipantulkan kembali, tetapi ketika jarum
masuk ruang epidural terasa kehilangan tahanan dan fluger mudah ditekan dan tidak
dipantulkan kembali. Cara yang kedua lebih cepat dan lebih praktis tetapi
memerlukan pengalaman sebelumnya untuk menghindari penempatan jarum
epidural pada lokasi yang salah.
Apakah suntikan dengan Nacl 0,9 % atau udara yang dipakai pada loss of resistens
tehnik tergantung pada pilihan praktisi. Ada beberapa laporan gelembung udara
menyebabkan inkomplet atau blok tidak sempurna; betapapun ini terjadi hanya
dengan udara dalam jumlah yang banyak.
2. Hanging Drop tehnik.
Dengan tehnik ini jarum ditempatkan pada ligamentum intrspinosus , pangkal jarum
diisi dengan cairan Nacl 0,9 % sampai tetesan menggantung dari pangkal jarum.
Selama jarum melewati struktur ligamen tetesan tidak bergerak; akan tetapi waktu
ujung jarum melewati ligamentum flavum dan masuk dalam ruang epidural, tetesan
cairan ini terisap masuk oleh karena adanya tekanan negatif dari ruang epidural.
Jika jarum menjadi tersumbat, atau tetesan cairan tidak akan terisap masuk maka
jarum telah melewati ruang epidural yang ditandai dengan cairan serebrospinal
pada pungsi dural. Sebagai konsekuensi tehnik hanging drop biasanya digunakan
hanya oleh praktisi yang berpengalaman .
D. Pilihan tingkat block.
Anestesia epidural dapat dilakukan pada salah satu dari empat segmen dari tulang
belakang (cervical, thoracic, lumbar, sacral). Anestesia epidural pada segmen
sacralis biasanya disebut sebagai anesthesia caudal.
1. Lumbar epidural anesthesia.
a. Midline approach.
Pasien diposisikan, dipersiapkan dan ditutup kain steril dan diidentifikasi interspace
L4-5 sejajar Krista iliaka. Interspace dipilih dengan palpasi apakah level L3-4 atau
L4-5. Jarum ukuran 25 digunakan untuk anestesi local dengan infiltrasi dari
suferfisial sampai kedalam ligamentum interspinosa dan supraspinosa. Jarum
ukuran 18 G dibuat tusukan kulit untuk dapat dilalui jarum epidural. Jarum epidural
dimasukkan terus pada tusukan kulit dan dilanjutkan kearah sedikit kecephalad
untuk memperkirakan lokasi ruang interlaminar dan sebagai dasar adalah pada
perocesus spinosus superior. Setelah jarum masuk pada struktur ligamentum , spoit
dihubungkan dengan jarum dan tahanan diidentifikasi. Poin utama disini bahwa
adanya perasaan jarum masuk pada struktur ligamentum. Apabila perasaan kurang
jelas adalah akibat tahanan pada otot paraspinosus atau lapisan lemak
mengakibatkan injeksi local anestesi kedalam ruang lain dari pada ruang epidural
dan terjadi gagal blok. Apabila ini terjadi penempatan jarum pada ligamentum
diperbaiki, kemudian jarum dilanjutkan masuk keruang epidural dan loss of resistensi
diidentifikasi dengan Hati-hati.
b. Paramedian approach
Biasanya dipilih pada kasus dimana operasi atau penyakit sendi degeratif
sebelumnya ada kontra indikasi dengan median approach. Tehnik ini lebih mudah
bagi pemula, karena saat jarum bergerak kedalam ligamen dan perubahan tahanan
tidak terjadi, maka jarum masuk ke otot paraspinosus dan tahanan hanya dirasakan
bila jarum sampai pada ligamentum flavum.
Pasien diposisikan, dipersiapkan dan ditutupi kain streril seperti pada mid line
approach. Jarum ditusukkan kira-kira 2-4 cm kelateral garis tengah pada bagian
bawah processus spinosus superior. Tusukan kulit dibuat dan jarum epidura
langsung diarahkan kecephalad seperti pada median approach dan kemudian
jarum dilanjutkan kearah midline. Setelah strukur dermal ditembusi spoit
dihubungkan dengan jarum dan selanjutnya jarum masuk masa otot psraspinosus
akan terasa tahanan minimal dan kemudian sampai ada peningkatan tahanan yang
tiba-tiba ketika jarum sampai pada ligamentum flavum. Jika jarum telah melewati
ligamentum flavum dan setelah loss of resiten teridentifikasi maka jarum telah masuk
kedalam ruang epidural.
.
2. Thoracic epidural anesthesia.
Thoracic epidural anesthesia adalah tehnik yang lebih sulit dari pada lumbar
epidural anesthesia , dan kemungkinan untuk trauma pada medulla spinalis adalah
besar. OLeh karena itu, yang penting bahwa praktisi sepenuhnya familiar dengan
lumbar epidural anesthesia sebelum mencoba thoracic epidural block.
a. Midline approach
Interspase lebih sering diidentifikasi dengan pasien pada posisi duduk. Pada
segmen atas thoracic, sudut processus spinosus lebih miring dan curam kearah
kepala. Jarum dimasukkan melewati jarak yang relatif pendek mencapai ligamentum
supraspinous dan interspinous, dan ligamentum flavum diidentifikasi biasanya tidak
lebih dari 3-4 cm dibawah kulit. Kehilangan tahanan yang tiba-tiba adalah tanda
masuk dalam ruang epidural. Semua tehnik epidural anesthesia diatas regio lumbal
kemungkinan kontak langsung dengan medulla spinalis harus dipertimbangkan
selama mengidentifikasi ruang epidural. Jika didapatkan nyeri yang membakar
kemungkinan bahwa jarum epidural kontak langsung dengan medulla spinalis harus
dipertimbangkan dan jarum harus dengan segera dipindahkan. Kontak berulang
dengan tulang dan tidak didapatkan ligamentum atau ruang epidural adalah indikasi
untuk merubah pada pendekatan paramedian.
b. Paramedian approach.
Pada pendekatan paramedian , interspase diidentifikasi dan jarum ditusukkan kira-
kira 2 cm kelateral garis tengah pada pinggir kaudal prosesus spinosus superior.
Pada tehnik ini jarum ditempatkan hampir tegak lurus pada kulit dengan sudut
minimal 10-15 derajat kearah midline dan dilanjutkan sampai lamina atau pedikle
dari tulang belakang disentuh. Jarum ditarik kebelakang dan ditujukan kembali
agak kecephalad. Jika tehnik ini sempurna ujung jarum akan kontak dengan
ligamentum flavum. Spoit dihubungkan dengan jarum, dan pakai tehnik loss of
resistence atau hanging drop untuk mengidentifikasi ruang epidural. Sama dengan
paramedian approach pada regio lumbar, jarum harus dilanjutkan sebelum
ligamentum flavum dilewati dan ruang epidural didapatkan.
3. Cervical epidural anesthesia.
Tehnik ini khusus dilakukan dengan pasien pada posisi duduk dan leher
difleksikan. Jarum epidural dimasukkan pada midline khususnya pada interspase
C5-C6 atau C6-C7 dan ditusukkan secara relatif datar kedalam ruang epidural
dengan memakai tehinik loss of resistence dan lebih sering dengan hanging drop.
E. Penempatan kateter.
Kateter epidural digunakan untuk injeksi ulang anestesi local pada operasi yang
lama dan pemberian analgesia post operasi.
(1). Kateter radiopaq ukuran 20 disusupkan melalui jarum epidural, ketika bevel
diposisikan kearah cephalad. Jika kateter berisi stylet kawat, harus ditarik kembali1-
2 cm untuk menurunkan insiden parestesia dan pungsi dural atau vena.
(2). Kateter dimasukkan 2-5 cm ke dalam ruang epidural. Pasien dapat mengalami
parasthesia yang tiba-tiba dan biasanya terjadi dalam waktu yang singkat. Jika
kateter tertahan, kateter harus direposisikan. Jika kateter harus ditarik kembali,
maka kateter dan jarum dikeluarkan bersama-sama.
(3). Jarak dari permukaan belakang pasien diberi tanda pada pengukuran kateter.
(4). Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak dari bagian
belakang pasien yang diberi tanda pada kateter diukur lagi. Jika kateter telah masuk,
kateter ditarik kembali 2-3 cm dari ruang epidural.
(5). Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spoit. Aspirasi dapat
dilakukan untuk mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal, dan kemudian
kateter diplester dengan kuat pada bagian belakang pasien dengan ukuran yang
besar, bersih dan diperkuat dengan pembalutan.
F. Obat-obatan untuk anestesi epidural.
Anestetik local.
Pilihan obat anestetik local untuk anesthesia epidural ditentukan oleh lamanya
prosedur operasi dan intensitas blok motoris yang dikehendaki. kloroprokain
adalah kerja singkat, mevipakain adalah kerja sedang, buvipakain dan etidokain
adalah kerja lama. Buvipakain konsentrasi rendah tidak cocok digunakan pada
prosedur yang membutuhkan blok motoris untuk setiap blok sensorik dibandingkan
dengan obat lainnya.
Tabel. Anestetik local untuk anesthesia epidural
Obat Konsentrasi Lama anesthesia
dengan epinefrin
(menit)
Chloroprokain
Lidokain
Mepivakain
Bupivakain
Etidokain
2 – 3 %
1,5 %
1,5 %
0,5 %
1,0 %
60
60 – 90
90 – 120
> 180
> 150
Epinefrin.
Penambahan epinefrin (5 g/ml) kedalam anestesi local yang disuntikkan kedalam
ruang epidural tidak hanya memperpanjang efeknya dengan cara menekan
absorbsi, menurunkan konsentrasi obat dalam darah dan juga mengurangi
keracunan sitemik. Epinefrin juga mengurangi suatu kelainan akibat penyuntikan
intravaskuler. Sejumlah kecil epinefrin diabsorbsi dari ruang epidural yang akan
membentuk efek beta adrenergik, peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik
dan peningkatan denyut jantung.
Tes dosis
Karena anestesi epidural termasuk meninjeksikan sejumlah besar obat anestesi
local, pemasangan kateter mesti berada pada tempat yang benar. Aspirasi pluger
dari spoit dapat menarik darah atau CSS. Kateter epidural ditarik kembali dan
ditempatkan pada tempat lain apabila terdapat darah atau CSS dalam kateter. Tes
dosis selalu diperlukan, hal ini terdiri dari 3 ml anestesi local dari konsentrasi yang
sama untuk anestesi spinal dan mengandung 5 g epinefrin (lidokain 1,5 % dan
epinefrin 1 : 200.000 yang sering digunakan). Bila jarum atau kateter masuk
kedalam vena epidural mengakibatkan peningkatan denyut jantung 20 denyut
permenit atau lebih besar dalam dua menit. Jika jarum atau kateter terletak diruang
epidural , hal tersebut tidak terjadi dan tidak ada perubahan tekanan darah atau
denyut jantung.
Sering sejumlah kecil cairan teraspirasi sebelum obat anestesia diinjeksikan. Adanya
cairan ini adalah cairan serebrospinal atau anestesia lokal yang diinjeksikan
sebelumnya. Dipstick test membedakan adanya glukosa, dimana cariran
serebrospinal mengandung glukosa dan tidak ada pada cairan anestesi lokal.
Dosis anestesi.
Penyebaran obat anestetik local dalam ruang epidural hanya tergantung pada
volume yang dinjeksikan . sedang konsentrasi anestetik local dalam larutan hanya
berpengaruh pada derajat dan densitas dari blok. Onset anestesi epidural labih
lambat walaupun ditambahkan sodium bikarbonat kedalam anestesi local untuk
mempercepat onsetnya.
Volume larutan anestetik yang tepat untuk anesthesia epidural lumbal berkisar dari
15 – 25 ml. Studi pada sukarelawan muda menunjukkan kebutuhan rata-rata adala
1,6 ml per segemen spinal yang dianestesi. Pada ruang epidural torakal yang
sempit kurang lebih dibutuhkan setengahnya. Pasien yang tua, pasien hamil, dan
pasien dengan tekanan intra abdominal yang meningkat diperlukan volume
anestetik local lebih sedikit untuk mencapai distribusi yang diberikan.
Penambahan anestetik local yang dibutuhkan ditentukan oleh pilihan ahli
anestesiologi pada observasi klinik. Bila anestetik dihabiskan untuk dua dermatom ,
penambahan sepertiga sampai setengah dari jumlah anestetik local semula akan
diperoleh anesthesia yang adekuat. Bilamana menggunakan anestetik epidural dan
anestesi umum bersama-sama, penambahan dosis diberikan pada interval waktu
yang sesuai dengan karakteristik obat anestesi local.
Opioid.
Dibandingkan dengan spinal opioid , epidural opioid menghasilkan efek yang hampir
sama dan dibutuhkan perhatian yang sama, karena diberikan jumlah yang lebih
besar. Opioid mempunyai kerja sinergis dengan anestetik local yaitu memepertinggi
efektivitas konsentrasi yang kecil dari obat anestetik local.
KOMPLIKASI
1. Intra operatif
a. Pungsi dural
Pungsi dural yang tidak disengaja terjadi pada 1 % injeksi epidural. Jika hal ini
terjadi, ahli anestesi mempunyai sejumlah pilihan tergantung pada kasusnya.
Perubahan keanestesi spinal dapat terjadi oleh injeksi sejumlah anestesi kedalam
aliran cairan serebrospinal. Kemudian anestesi spinal dapat dikerjakan dengan
menyuntikkan sejumlah anestesi lokal keruang subarachnoid melalui jarum. Jika
anestesi epidural diperlukan ( misalnya untuk analgesia post operasi), kateter akan
direposisikan keda-lam interspace diatas pungsi dengan demikian ujung dari
kateter epidural berada jauh dari tempat pungsi dural. Kemungkinan anestesi spinal
dengan injeksi kateter epidural dapat dipertimbangkan.
b. Komplikasi kateter
(1). Kegagalan pemasangan kateter epidural adalah kesulitan yang lazim.. hal ini
lebih sering ditemukan apabila jarum epidural diinsersikan pada bagian lateral
dibandingkan apabila jarum diinsersikan pada median atau ketika bevel dari jarum
secara cepat ditusukkan kedalam ruang epidural. Hal tersebut dapat juga terjadi
apabila bevel dari jarum hanya sebagian yang melewati ligamentum flavum
sewaktu penurunan resistensi terjadi. Pada kasus terakhir , pergerakan yang hati-
hati dari jarum sejauh 1 mm kedalam ruang epidural dapat memudahkan insersi
kateter. Kateter dan jarum sebaiknya ditarik dan direposisikan bersama-sama jika
terjadi tahanan.
(2). Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh darah epidural sehingga
darah teraspirasi oleh kateter atau takikardia ditemukan dengan dosis test. Kateter
seharusnya ditarik secara perlahan-lahan sampai darah tidak ditemukan pada
aspirasi dari pengetesan. Penarikan penting agar dapat segera dipindahkan dan
diinsersikan kembali.
(3). Keteter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang epidural. Jika tidak terjadi
infeksi, tetap memakai kateter tidak lebih banyak memberikan reaksi dibandingkan
dengan pembedahan. Pasien seharusnya dinformasikan dan diterangkan mengenai
masalah yang terjadi. Komplikasi dari eksplorasi bedah serta pengeluaran kateter
lebih besar dibandingkan dengan komplikasi dari penanganan secara konservatif.
c. Injeksi subarachnoid yang tidak disengaja . Injeksi dengan sejumlah basar
volume anestesi local kedalam ruang subarachnoid dapat menghasilkan anestesi
spinal yang total.
d. Injeksi intravaskuler anestesi local kedalam vena epidural menyebabkan
toksisitas pada sistim saraf pusat dan kardiovaskuler yang menyebabkan konvulsi
dan kardiopulmonary arrest.
e. Overdosis anestesi local. Toksisitas anestesi local secara sistemik
kemungkinan disebabkan oleh adanya penggunaan obat yang jumlahnya relatif
basar pada anesthesia epidural.
f. Kerusakan spinal cord. Dapat terjadi jika injeksi epidural diatas lumbal 2.
Onset parestesia unilateral menandakan insersi jarum secara lateral masuk
kedalam ruang epidural. Selanjutnya injeksi atau insersi kateter pada bagian ini
dapat menyebabkan trauma pada serabut saraf. Saluran kecil arteri pada arteri
spinal anterior juga masuk kedalam area ini dimana melewati celah pada foramen
intervertebral. Trauma pada arteri tersebut dapat menyebabkan iskemia spinal cord
anterior atau hematoma epidural.
g. Perdarahan. Perforasi pada vena oleh jarum dapat menyebabkan suatu
perdarahan yang emergensi dan mematikan. Jarum seharusnya dipindahkan dan
direposisikan. Lebih baik mereposisikan jarum pada ruang yang berbeda, dimana
jika terdapat perdarahan pada tempat itu maka dapat meyebabkan kesulitan dalam
penempatan jarum secara tepat.
2. Post Operasi
a. Sakit kepala post pungsi dural. Jika dural dipungsi dengan jarum epidural
ukuran 17, menyebabkan sebanyak 75 % dari pasien muda untuk menderita sakit
kepala post punsi dural .
b. Infeksi. Abses epidural adalah suatu komplikasi yang sangat jarang timbul
akibat anestesi epidural. Sumber infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari
penyebaran secara hematogen pada ruang epidural dari suatu infeksi pada bagian
yang lain . Infeksi dapat juga timbul dari kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi
kateter yang dipergunakan untuk pertolongan nyeri post operasi atau melalui suatu
infeksi kulit pada tempat insersi. Pasien akan mengalami demam, nyeri punggung
yang hebat dan lemah punggung secara local. Selanjutnya dapat terjadi nyeri
serabut saraf dan paralisis. Pada awalnya pemeriksaan laboratorium ditemukan
suatu lekosit dari lumbal pungsi. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
Myelography atau Magnetik Resonance Imaging (MRI). Penanganan yang dianggap
penting adalah dekompresi laminektomi dan pemberian antibiotik. Penyembuhan
neurologik yang baik adalah berhubungan dengan cepatnya penegakan diagnosis
dan penanganan.
c. Hematoma epidural adalah suatu komplikasi yang sangat jarang dari
anestesi epidural. Trauma pada vena epidural menimbulkan koagulophati yang
dapat menyebabkan suatu hematoma epidural yang besar. Pasien akan merasakan
nyeri punggung yang hebat dan defisit neurologi yang persisten setelah anestesi
epidural. Diagnosis dapat segera ditegakkan dengan computered tomographi atau
MRI. Decompresi laminektomy penting dilakukan untuk memelihara fungsi neurologi.
Anestesi Spinal
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk tindakan-
tindakan bedah, obstetrik, operasi operasi bagian bawah abdomen dan ekstremitas
bawah. Teknik ini baik sekali bagi penderita-penderita yang mempunyai kelainan
paru-paru, diabetes mellitus, penyakit hati yang difus dan kegagalan fungsi ginjal,
sehubungan dengan gangguan metabolisme dan ekskresi dari obat-obatan.
Bagian motoris dan proprioseptis paling tahan terhadap blokade ini dan yang paling
dulu berfungsi kembali. Sedangkan saraf otonom paling mudah terblokir dan paling
belakang berfungsi kembali. Tingginya blokade saraf untuk otonom dua dermatome
lebih tinggi daripada sensoris, sedangkan untuk motoris dua-tiga segemen lebih
bawah. Secara anatomis dipilih segemen L2 ke bawah pada penusukan oleh karena
ujung bawah daripada medula spinalis setinggi L2 dan ruang interegmental lumbal
ini relatif lebih lebar dan lebih datar dibandingkan dengan segmen-segmen lainnya.
Lokasi interspace ini dicari dengan menghubungkan krista iliaka kiri dan kanan.
Maka titik pertemuan dengan segmen lumbal merupakan processus spinosus L4
atau L4-L5 interspace.
Ligamentum yang dilalui pada waktu penusukan yaitu :
Kulit
Subkutis
Ligamentum supraspinosum
Ligamentum interspinosum
Ligamentum flavum
Ruang epidural
Duramater
Ruang subaraknoid
Pada orang tua biasanya terjadi kalsifikasi ligamentum teratas, sehingga
menyulitkan penusukan. Untuk mengatasi hal ini, kita sarankan penusukan
paramedian, dimana jarum hanya melalui otot dan fascia kemudian ligamentum
flavum.
Midline approach yaitu apabila kita menusukkan jarum tepat di garis yang
menghubungkan processus spinosus satu dengan yang lainnya, pada sudut
800 dengan punggung. Sedangkan Paramedian
approach penusukan 1 jari lateral dari garis jarum diarahkan ke titik tengah pada
garis median dengan sudut sama dengan midline
approach.
Pada penusukan mungkin yang keluar bukan liquor tapi darah, sebab di bagian
anterior maupun posterior medulla spinalis terdapat sistim arteri dan vena. Apabila
setelah 1 menit liquor yang keluar masih belum jernih sebaiknya jarum dipindahkan
ke segmen yang lain. Bila liquor tidak jernih, sebaiknya anestesi spinal ini ditunda
dan dilakukan analisa dari liquor. Adapun jarum yang dipakai paling besar ukuran
22, kalau mungkin pakai jarum 23 atau 25. Makin kecil jarum yang kita pakai, makin
kecil kemungkinan terjadinya sakit kepala sesudah anestesi (post spinal
headache). Obat spinal anestesi yang paling menonjol adalah tetrakain dan
dibukain, yang mempunyai efek kuat dan kerjanya lebih lama.
Tingginya anestesi tergantung dari :
Posisi penderita waktu penyuntikkan dan sesudahnya.
Tingginya segemen yang dipilih pada penusukkan, makin ke arah kranial makin
tinggi.
Volume dari obat yang disuntikkan, makin banyak makin tinggi.
Kekuatan dan kecepatan penyuntikkan.
Indikasi :
1. Bedah ektremitas bagian bawah.
2. Bedah panggul.
3. Tindakan sekitar rektum-perineum.
4. Bedah obstetri-ginekologi.
5. Bedah urologi.
6. Bedah abdomen bagian bawah.
7. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi dengan
anestesia umum ringan.
Kontraindikasi Absolut :
1. Pasien menolak.
2. Infeksi pada tempat suntikan.
3. Hipovolemia berat, syok.
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan.
5. Tekanan intrakranial meninggi.
6. Fasilitas resusitasi minim.
7. Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsultan anestesia.
Kontraindikasi Relatif :
1. Infeksi sistemik.
2. Infeksi sekitar tempat suntikan.
3. Kelainan neurologis.
4. Kelainan psikis.
5. Bedah lama.
6. Penyakit jantung.
7. Hipovolemia ringan.
8. Nyeri punggung kronis.
Peralatan yang digunakan :
1. Peralatan monitor tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.
2. Peralatan resusitasi dan anestesia umum.
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam ( Quincke-Babcock) atau jarum spinal dengan
ujung pensil ( Pencil Point, Whitecare ).
Teknik Anestesi Spinal :
Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 – 1500 ml.
Oksigen diberikan dengan masker 6 – 8 L/mnt.
Posisi lateral merupakan posisi yang paling enak bagi penderita.
Kepala memakai bantal dengan dagu menempel ke dada, kedua tangan
memegang kaki yang ditekuk sedemikian rupa sehingga lutut dekat ke perut
penderita.
L3 – 4 interspace ditandai, biasanya agak susah oleh karena adanya edema
jaringan.
Skin preparation dengan betadin seluas mungkin. Sebelum penusukan betadin
yang ada dibersihkan dahulu.
Jarum 22 – 25 dapat disuntikkan langsung tanpa lokal infiltrasi dahulu, juga
tanpaintroducer dengan bevel menghadap ke atas.
Kalau liquor sudah ke luar lancar dan jernih, disuntikan xylocain 5% sebanyak 1,25
– 1,5 cc.
Penderita diletakan terlentang, dengan bokong kanan diberi bantal sehingga perut
penderita agak miring ke kiri, tanpa posisi Trendelenburg.
Untuk skin preparation, apabila penderita sudah operasi boleh mulai.
Tensi penderita diukur tiap 2 – 3 menit selama 15 menit pertama, selanjutnya tiap
15 menit.
Apabila tensi turun dibawah 100 mmHg atau turun lebih dari 20 mmHg dibanding
semula, efedrin diberikan 10 – 15 mgl.V.
Sakit kepala 90% timbul dalam 3 hari pertama pasca operasi. Lokalisasinya 50% di
bagian frontal, 25% oksipital dan sisanya menyeluruh. Penyebab sakit kepala ini
adalah adanya kebocoran liquor cerebrospinal pada bekas tempat penusukan,
sehingga otak kekurangan cairan penyangga. Nyeri terasa apabila penderita duduk
atau berdiri dan berkurang bila terlentang.
Pencegahan :
Sebaiknya menggunakan jarum yang lebih kecil ( no. 25 – 26 ).
Pemberian intake cairan yang cukup dan dapat ditambah analgetika.
Tidur posisi terlentang selama ± 24 jam pasca operasi akan mengurangi tekanan
liquor cerebrospinal di daerah penusukkan, sehingga mengurangi kebocoran.
Apabila diperlukan, dapat diberikan epidural patch dengan menyuntikkan darah
sendiri sebanyak 10 cc. Hal ini akan menutup lubang duramater dan menghilangkan
kebocoran liquor.
Keuntungan dan kerugian spinal anestesi
Keuntungan penggunaan anestesi regional adalah murah,
sederhana, dan penggunaan alat minim, non eksplosif karena tidak menggunakan
obat-obatan yang mudah terbakar, pasien sadar saat pembedahan, reaksi stres
pada daerah pembedahan kurang bahkan tidak ada, perdarahan relatif sedikit,
setelah pembedahan pasien lebih segar atau tenang dibandingkan anestesi umum.
Kerugian dari penggunaan teknik ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk induksi
dan waktu pemulihan lebih lama, adanya resiko kurang efektif block saraf sehingga
pasien mungkin membutuhkan suntikan ulang atau anestesi umum, selalu ada
kemungkinan komplikasi neurologi dan sirkulasi sehingga menimbulkan
ketidakstabilan hemodinamik, dan pasien mendengar berbagai bunyi kegiatan
operasi dalam ruangan operasi. (Morgan et.al 2006)
Teknik Spinal Anestesi
1. Teknik Median (metode midline)
Tulang belakang dipalpasi dan posisi tubuh pasien diatur agar tegak lurus dengan
lantai. Ini untuk memastikan jarumnya dimasukkan secara paralel dengan lantai dan
akan tetap pada posisi garis tengah walaupun penusukan lebih dalam (Gambar 3).
Processus spinosus vertebrae di lokasi yang akan digunakan dipalpasi, dan akan
menjadi tempat memasukkan jarum. Setelah mempersiapkan dan menganestesi
kulit seperti di atas, jarum dimasukkan ke garis tengah. Mengingat bahwa arah
processus vertebra mengarah ke bawah, maka setelah jarum masuk langsung
diarahkan perlahan ke arah cephalad. Jaringan sub kutan akan memberikan sedikit
tahanan terhadap jarum. Setelah dimasukkan lebih dalam, jarum akan memasuki
ligamen supraspinal dan interspinal, yang akan terasa meningkat kepadatan
jaringannya. Jarum juga terasa lebih kuat tertanam. Jika terasa jarum memnyentuh
tulang, berarti jarum mengenai bagian bawah processus spinosus. Kontak dengan
tulang pada tusukan yang lebih dalam menunjukkan bahwa jarum pada posisi garis
tengah dan menyentuh processus spinosus atas atau berada di posisi lateral dari
garis tengah dan mengenai lamina. Dalam kasus seperti ini jarum harus diarahkan
kembali. Saat jarum menembus ligamentum flavum, akan terasa tahanan yang
meningkat. Pada titik inilah prosedur anestesi spinal dan epidural dibedakan. Pada
anestesi epidural, hilangnya tahanan tiba-tiba menandakan jarum menembus
ligamentum flavum dan memasuki ruang epidural. Untuk anestesi spinal, jarum
dimasukkan lagi hingga menembus membran dura-subarachnoid dan ditandai
dengan adanya aliran LCS. (Morgan et.al 2006)
2. Teknik (metode) Paramedian
Penusukan kulit untuk teknik paramedian dilakukan 2 cm lateral ke prosesus
spinosus superior dari tingkat yang ditentukan. Karena teknik lateral ini sebagian
besar menembus ligamen interspinous dan otot paraspinous, jarum akan
menghadapi perlawanan kecil pada awalnya dan mungkin tidak tampak berada di
jaringan kuat. Jarum diarahkan dan lanjutan pada 10-25 ° sudut ke arah garis
tengah. Identifikasi ligamentum flavum dan masuk ke dalam ruang epidural sering
kali lebih halus dibanding dengan teknik median. Jika tulang dijumpai pada
kedalaman yang dangkal dengan teknik paramedian, jarum kemungkinan
bersentuhan dengan bagian medial lamina yang lebih rendah dan harus diarahkan
terutama ke atas dan sedikit lebih lateral. Di sisi lain, jika tulang yang
ditemukanlebih dalam, jarum biasanya kontak dengan bagian lateral lamina yang
lebih rendah dan harus diarahkan hanya sedikit ke atas, lebih ke arah garis tengah.
(Morgan et.al 2006)
PERTIMBANGAN ANATOMI
Adanya perbedaan anatomi yang signifikan dibandingkan dengan orang dewasa,
yang harus menjadi pertimbangan saat menggunakan anestesi regional pada anak-
anak. Sebagai contoh, pada neonatus dan bayi, conus medullaris terletak lebih
rendah pada column spinal (kira-kira pada vertebra L3) dibandingkan dengan orang
dewasa di mana kira-kira terletak di vertebra L1. Ketidaksamaan ini merupakan hasil
dari tingkat pertumbuhan yang berbeda antara spinal cord dan colum tulang vertebra
pada bayi. Namun, pada usia 1 tahun conus medullaris mencapai tingkat yang sama
di L1 seperti pada orang dewasa (1-6).
Sakrum anak-anak juga lebih sempit dan datar dibandingkan pada orang dewasa.
Saat lahir, sakrum, yang dibentuk oleh lima vertebra sakral, tidak sepenuhnya
ossified dan terus tumbuh sampai kira-kira 8 tahun. Fusi yang tidak lengkap dari
lengkungan vertebral sakralis membentuk hiatus sakral. Caudal dalam ruang
epidural dapat diakses dengan mudah pada bayi dan anak-anak melalui hiatus
sakral. Karena pengembangan yang terus menerus dari atap kanal sakral, maka
terdapat banyak variasi pada hiatus sakral. Pada anak-anak, hiatus sakralis terletak
lebih cephalad dibandingkan orang dewasa. Oleh karena itu, hati-hati bila
menempatkan caudal blok pada bayi, karena dura mungkin berakhir lebih caudal
sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya penusukan pada dural.(2)
Tabel 1. Hubungan caudal dari spinal cord dan ruang subaraknoid dengan
vertebra (1)
Umur Berakhirnnya spinal
cord
Berkhirnya
subarachnoid space
Neonatus dan bayi
Anak dan dewasa
L3
L1
S3 – S4
S1 – S2
Pada neonatus garis intercristal (Tuffier’s line) membagi di L5-S1 (bedakan pada
interspace orang dewasa, L4 atau L 3-4). (2, 5)
Sebuah garis imajiner yang ditarik antara dua crista iliaca superior (garis
intercristal) selalu berada di bawah tingkat terendah dari spinal cord, tampa
memandang usia. Pemberian blok pada tingkat ini mengurangi kejadian kerusakan
pada spinal cord.Sebagai aturan umum ruang epidural akan ditemukan di 1 mm / kg
berat badan, namun dalam hal ini terdapat banyak variasi pada setiap individu. (2)
Dalam hal ini juga telah dikemukakan bahwa jaringan lemak epidural pada anak
anak kurang padat dibandingkan orang dewasa. Dengan kurangnnya lemak di
ruang epidural hal ini membuat ruang epidural menjadi lebih longgar sehingga tidak
hanya dapat memfasilitasi penyebaran anesthestic lokal, tetapi juga memudahkan
majunya kateter epidural dari ruang caudal epidural ke tingkat lumbal dan torakal. (1-
2).
REFERENSI
1. Gaiser RR. Spinal, Epidural, and Caudal anesthesia. In : Introducton to
anesthesia, editor : Longnecker DE, Murphy FL, ed 9 th, WB Saunders Company,
1997.
2. Molnar R. Spinal, aepidural, and Caudal anesthesia. In : Clinical Anesthesia
Procedures of the Massachusetts General Hospital, editor Davison JK, Eukhardt
WF, Perese DA, ed 4 th, London, Little brown and Company, 1993.
3. Tetlaff JE, Spinal, Epidural and Caudal Block. In : Clynical Anestesiolgy.
Editor : Morgan GE, Mikhail MS, ed 2 nd, USA , Appleton & Lange, 1996.
4. Mulroy MF, Epidural Anesthesia. In : Regional anesthesia, ed 2 nd, USA,
Little, Brown and Company, 1996.
5. Conachie I, Geachie J. Reginal anaesthetic Technique. In A Practice of
Anesthesi, editor : Healy TEJ, Cohen PJ, ed 6 th, London, Edward Arnold, 1995.
6. Brown DL, Spinal, Epidural and Caudal anesthesia. In : Anesthesia, editor :
Miller RD, ed 5 th, Volume 1, California, Churchill Livingstone, 2000.
7. Bernards CM, Epidural and Spinal Anesthesia. In : Handbook of Clinical
Ansthesia, editor : Barrash PG, Gullen BF, Stoelting RK, Philadelpia, Lippincott
Williams and Wilkins, 2001.
8. Dalens B, Lumbar Epidural Anesthesia . In Regional Anesthesia in infans,
children and adolescents, editor : Garner J, USA, Williams & Wilkins wevwerly
Europe, 1995.
9. Dalens B and Khandwala R, Thoracic and Cervical Epidural Anesthesia . In :
Regional Anesthesia in Infans, Children, and Adolescents, editor : Garner J, USA,
Eilliams Weverly Europe, 1995.
10. Katz J, Spinal and Epidural. In : Atlas of RegionalAneasthesia, ed 2 nd,
California, USA, Appleton & Lange, 1994.