anestesi

47
LAPORAN KASUS TOTAL INTRAVENOUS ANESTHESIA Pembimbing: dr. Dublianus, SpAn dr. Evita, SpAn Penyusun: Pipim Septiana Bayasari 030.07.203 Putri balqis 030.07.205 Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti 1

Upload: pipimseptiana

Post on 08-Dec-2014

110 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

Page 1: anestesi

LAPORAN KASUS

TOTAL INTRAVENOUS ANESTHESIA

Pembimbing:

dr. Dublianus, SpAn

dr. Evita, SpAn

Penyusun:

Pipim Septiana Bayasari 030.07.203

Putri balqis 030.07.205

Kepaniteraan Klinik

Ilmu Anestesi Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Periode 03 September 2011 – 06 Oktober 2011

1

Page 2: anestesi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya

sehingga saya mampu menyelesaikan tugas referat kepaniteraan Ilmu Anestesi yang

berjudul “Anestesi Umum Intravena” dengan tepat waktu. Tugas ini disusun untuk

memenuhi tugas kepaniteraan bagian Ilmu Anestesi. Dalam pembuatan laporan kasus

ini saya mengucapkan terima kasih kepada dr. dublianus sp.An dan dr. Evita sp.An ,

pembimbing kepaniteraan bagian anestesi, dan orang tua tercinta yang telah

memberikan dukungan spiritual dan materi.

Saya menyadari bahwa dalam tugas ini masih banyak kekurangan, sehingga

kritikan yang membangun sangat dibutuhkan untuk perbaikan kedepannya dan untuk

lebih memahami ilmu kedokteran, khususnya ilmu anestesi.

Cilegon, 03 Oktober 2012

Penyusun

2

Page 3: anestesi

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Tanggal Lahir : 13 April 1977

Umur : 34 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status perkawinan : Menikah

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Agama : Islam

Alamat : Ketileng timur, Cilegon

Tanggal masuk : 29 September 2012

Diagnosa : Retensio Plasenta

Tindakan : Kuretase

II. PEMERIKSAAN PRE ANESTESI

ANAMNESIS

Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 29 September 2012

Keluhan Utama :

Ari-ari belum lahir sejak 6 jam SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Cilegon dengan keluhan ari-ari belum lahir sejak 6 jam SMRS.

Pasien telah melahirkan di puskesmas pada jam 09.15 pagi hari yang sama tetapi ari-ari

belum lahir setelah melahirkan. Pasien mengatakan banyak darah merah segar keluar

3

Page 4: anestesi

setelah melahirkan. Di puskesmas dicoba untuk dikeluarkan plasenta tetapi tidak bisa

lalu dirujuk ke RSUD Cilegon. Pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah, pusing, lemas

tetapi tidak mual dan tidak muntah.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat asma (-)

Riwayat hipertensi (-)

Riwayat diabetes mellitus (-)

Riwayat penyakit jantung (-)

Riwayat penyakit ginjal (-)

Riwayat menjalani operasi (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

Riwayat hipertensi (-)

Riwayat Diabetes mellitus (-)

Riwayat asma (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital

Tekanan Darah : 125/70 mmHg

Nadi : 100 x/menit, reguler, cukup.

Suhu : 36,8 °C

Pernapasan : 20 x/menit, teratur

Kepala dan Leher

Kepala : Normosefali, ubun-ubun normal, rambut warna hitam,

distribusi merata, tidak mudah dicabut, pucat

4

Page 5: anestesi

Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-

Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), nafas cuping hidung -/-,

sekret -/-,

Mulut : bibir tidak pucat, tidak sianosis, trismus (-), mandibula tidak

menonjol, gerak sendi temporo mandibula baik

Rongga Mulut : Terlihat palatum mole dan durum. Terlihat tonsil dan uvula

( Mallapati I ), oral hygiene baik

Gigi – geligi : gigi palsu (-), gigi goyang (-), gigi depan menonjol

Leher : Leher pendek (-), gerak vertebra cervical baik, KGB tidak

teraba membesar

Thorax

Paru

Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris, pulsasi abnormal (-), gerak

pernapasan simetris, irama cepat, tipe abdomino-

thorakal, retraksi (-)

Palpasi : Gerak napas simetris, vocal fremitus simetris

Perkusi : Sonor di semua lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba, thrill (-)

Perkusi : Redup

Auskultasi : SISII reguler, murmur (-), gallop (-)

5

Page 6: anestesi

Abdomen

Inspeksi : Datar

Palpasi : Teraba supel, Kontraksi (-), TFU teraba 2 jari di bawah

pusar, nyeri tekan seluruh abdomen (+)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Akral dingin, edema (-), sianosis (-), pucat, CRT lebih 2

detik

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hemoglobin : 11,0 g/dl

Leukosit : 10, 500 ribu/ul

Hematokrit : 33%

Trombosit : 180, 000 ribu

Bleeding time : 2 menit

Cloting time : 9 menit

HbsAg : negatif

Golongan darah : O rhesus +

USG : Terdapat sisa plasenta

Diagnosis kerja : P3 A0 H3 post partum dengan retensio plasenta 6 jam SMRS

Rencana tindakan : kuretase

KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat disimpulakan

- Diagnosis : P3 A0 H3 post partum dengan retensio plasenta 6 jam SMRS

- Rencana : kuretase

6

Page 7: anestesi

- Status operatif : ASA I

Malampati grade I

- Rencana tehnik anastesi : anastesi umum dengan tehnik total intravenous anastesi

LAPORAN ANASTESI

Preoperatif :

- Informed consent (+)

- Puasa (+) selama 6 jam

- Tidak ada gigi goyang dan tidak memakai gigi palsu

- Kateter urin (+)

- IV line terpasang infus RL 12 tetes/menit

- Keadaan umum: baik

- Kesadaran : Compos mentis

- Tanda vital : TD 120/80 mmHg, Nadi 84x/menit, RR 18x/menit, suhu 36.5 o C

Premedikasi anastesi:

Sebelum dilakukan anastesi diberikan ondansetron 4 mg secara bolus iv, dan melakukan tindakan

skin test antibiotik ceftriaksone

KEADAAN SELAMA PEMBEDAHAN

Lama operasi : 10 menit ( jam 15.30)

Lama anastesi : 15 menit (jam 15.25)

Tehnik anastesi : TIVA diinduksi dengan 100 mg, fentanil 100 mcg

Posisi : litotomi

Infus : RL pada tangan kanan 12 tpm

Premedikasi : ondancetron 4 mg iv bolus

Medikasi : Pospargin 0,2 mg

7

Page 8: anestesi

Induxin 10 IU

Tramadol 100 mg

Ketorolac 30 mg

Pronalges supp 100 mg

Di ruang operasi:

- Jam 15.15 pasien masuk kamar operasi, ditidurkan terlentang di atas meja operasi,

dipasang manset untuk mengukur tekanan darah di tangan kiri dan di pasang

monitor.

- Jam 15.20 di lakukan premedikasi yaitu dengan pemberian ondanstron 4 mg

- Jam 15. 25 dilakukan induksi dengan propofol 100 mg iv, dan fentanil 100 mcg iv

Setelah reflek bulu mata menghilang segera kepala di ekstensikan lalu meletakan

face mask pada hidung dan mulut pasien di alirkan o2 2L/ menit,

- Jam 15.30 anastesi sudah cukup dalam, ahli bedah di persiapkan memulai operasi,

selama operasi tanda vital dan saturasi o2 dimonitor tiap 5 menit

- Jam 15.45 operasi selesai, alat anastesi dilepas dan penderita dipindahkan ke ruang

pulih sadar.

Monitoring selama operasi

Jam

(waktu)

Tindakan Tekanan darah Nadi Saturasi Oksigen

Jam 15.15

Pasien masuk kamar operasi,

ditidurkan terlentang di atas

meja operasi, dipasang manset

untuk mengukur tekanan darah

di tangan kiri dan di pasang

monitor

127/83 mmHg 84 x/m 100 %

Jam 15.20

di lakukan premedikasi yaitu

dengan pemberian ondanstron

4 mg

125/69 mmHg 85 x/m 100%

Jam 15. dilakukan induksi dengan 103/58 mmHg 76 x/m 99%

8

Page 9: anestesi

20 propofol 100 mg iv, dan fentanil

100 mcg iv. Setelah reflek bulu

mata menghilang segera kepala

di ekstensikan lalu meletakan

face mask pada hidung dan

mulut pasien di alirkan o2 2L/

menit,

Jam 15.30

anastesi sudah cukup dalam,

ahli bedah di persiapkan

memulai operasi, selama

operasi tanda vital dan saturasi

o2 dimonitor tiap 5 menit

103/63 mmHg 78 x/m 100%

Jam 15.35

Kondisi terkontrol

Pospargin 0,2 mcg I.V

Induksi 10 IU (drip)

114/67 mmHg 82 x/m 100%

Jam

15.40

Kondisi terkontrol

Ketorolac 30 mg IV

Tramadol 100 mg (drip)

Citrosol 3 tab 600 mcg

Pronalges supp

116/68 mmHg 85 x/m 100%

Jam

15.45

operasi selesai, alat anastesi

dilepas dan penderita

dipindahkan ke ruang pulih

sadar.

124/76 mmHg 83x/m 100%

Di Ruang Pemulihan

Jam 15.45 : pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dalam keadaan belum sadar dengan posisi kepala ekstensi dan terpasang guedel lalu dialirkan oksigen sebanyak 2L.

Monitoring pasca Anestesi

9

Page 10: anestesi

Jam

(waktu)

Tekanan darah Nadi Saturasi Oksigen

Jam 15.50

126/82 mmHg 87 x/m 100 %

Aldrete Scoring Sistem

No. Kriteria Skor

1 Aktivitas

motorik

Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas

perintah atau secara sadar.

Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas perintah

atau secara sadar.

Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas

perintah atau secara sadar.

2

1

0

2 Respirasi Nafas adekuat dan dapat batuk

Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi

Apneu/tidak bernafas

2

1

0

3 Sirkulasi Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula

Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari semula

Tekanan darah berbeda >50% dari semula

2

1

0

4 Kesadaran Sadar penuh

Bangun jika dipanggil

Tidak ada respon atau belum sadar

2

1

0

5 Warna kulit Kemerahan atau seperti semula

Pucat

Sianosis

2

1

0

Keterangan:

10

Page 11: anestesi

9-10 Pindah dari unit perawatan pasca anestesi 7-8 Pindah ke ruangan 5-6 Pindah ke ICU

BAB II

11

Page 12: anestesi

ANALISA KASUS

Pada pasien ini akan direncanakan kuretase atas indikasi terdapatnya sisa plasenta. Sebelum dilakukan kuretase, dilakukan konsultasi ke bagian anestesi. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa pasien termasuk ASA I yaitu pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia.

Anestesi pada pasien ini dilakukan dengan tekhnik total intravena anestesi (TIVA), karena memenuhi indikasi TIVA, yaitu pembedahan singkat ½- 1 jam tanpa membuka peritoneum, bukan operasi kepala dan leher dan merupakan ASA I. Selain itu, alasan pemilihan tekhnik intravena adalah agar pasien dapat tertidur selama operasi dan kembali sadar setelah operasi selesai. Obat yang digunakan untuk anestesi intravena pada pasien ini adalah fentanyl 100 mcg dan propofol 100 mg.

Fentanyl digunakan sebagai analgesik karena obat ini merupakan opioid agonis yang mempunyai efek analgesik 100 kali lebih kuat dari morfin, selain itu obat ini mempunyai mulai kerja yang cepat dan masa kerja yang singkat. Pada pasien ini kita berikan fentanyl 100 mcg sesuai dosis fentanyl yaitu 1- 3 mcg/ kgbb. Pada pasien ini mempunyai berat badan 52 kg.

Propofol diberikan pada pasien ini untuk memberikan efek hipnotik selain itu propofol mempunyai recovery yang cepat dan dapat menyebabkan kehilangan kesadaran dalam waktu sekitar 30 detik, dan pasien akan kembali sadar cepat bila dibandingkan obat induksi intravena lainnya. Hal inilah yang menjadikan keuntungan utama dari penggunaan propofol sebagai obat induksi. Propofol bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek analgesik maupun relaksasi otot, maka dalam kasus ini pemakaian fentanyl dapat memberikan efek analgesik yang tidak dimiliki propofol. Karena berat pasien ini 52kg, maka dosis propofol yang diberikan adalah 100mg, sesuai dengan dosis propofol 2- 2,5mg/ kgbb.

Pada pasien ini diberikan ketorolac dam tramadol sebagai analgesik pasca operasi. Dimana tramadol merupakan analgetik kuat yang bekerja pada reseptor opiat sebagai opioid sintetik. Sedangkan ketorolac, adalah obat antiinflamasi non steroid (OAINS) yang berfungsi sebagai analgetik non opioid sebagai obat tambahan dari penggunaan tramadol, dimana kerja ketorolac adalah menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di sistem saraf pusat.

Penilaian pulih sadar, atau aldrete score, sebenarnya pasien diijinkan pulang ke rumah setelah stabil diruang pemulihan karena score >9 poin, teteapi masih dikembalikan keruangan karena harus diobservasi kembali perdarahan, laboratorium dan tanda vital.

Pemberian cairan

Kebutuhan Cairan Basal : 4 x 10kg = 40 cc

2 x 10kg = 20 cc

12

Page 13: anestesi

1 x 32 kg = 32 cc

Total = 92 cc (52 kg)

Kebutuhan cairan Operasi : Operasi sedang x Berat badan

6 x 52kg = 312 cc

Kebutuhan Cairan Puasa : Lama jam puasa x kebutuhan basal

8jam x 92 cc = 736 cc

Pemberian Cairan jam Pertama : kebutuhan basal + kebutuhan operasi + 50% puasa

92 +312 + (50% x 736) = 772 cc

BAB IIIANESTESI UMUM

13

Page 14: anestesi

Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral

disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias

anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot. Anestesi umum

adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau dipraktekkan yang dapat

disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan.1

Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar

ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan

pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa

sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium

anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya

kelebihan dosis.1,2

Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan

utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa

pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan

peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat,

murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan

atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot

yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diingini 5 .Obat anestesi

umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai

daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja obat yang

cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus

tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas.5

Macam-macam Teknik Anestesi5

Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap,

peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang

diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan

pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.

Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya untuk

mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida yang

dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk

14

Page 15: anestesi

menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari minimal

volume udara semenit.

Semi closed method : Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang

dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat

anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar.

Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari

zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh gas flow

kurang dari 100% kebutuhan.

Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi

dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung

anestetik dapat digunakan lagi.

Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi maka

perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-

lain.

1. Persiapan Pra Anestesi

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus

dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2

hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi

pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat

mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan

kunjungan pra anestesi adalah:1

a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.

b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan

fisik dan kehendak pasien.

c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society

Anesthesiology):

ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan

faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

15

Page 16: anestesi

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang

sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka

mortalitas 16%.

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian

terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak

selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,

angina menetap. Angka mortalitas 68%.

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir

tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi

/ dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)6

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari

kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.

Pemeriksaan praoperasi anestesi 5

I. Anamnesis

1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.

2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.

3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit

anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,

pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.

4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang

sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik

seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan

aminoglikosid, dll.

5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis

pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.

6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi

seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik

7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.

16

Page 17: anestesi

8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,

kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,

psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.

II. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan

2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas

3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang

diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.

4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu

tubuh.

5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,

keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi

ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari

visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan

mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam

melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:

i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior

oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla

pharingeal

ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding poster uvula

iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula

iv. Mallampati IV : palatum durum saja

6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung

7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi

8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda

regurgitasi.

9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari

tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah

blok saraf regional.1,2

III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain2

Lab rutin :

1. Pemeriksaan lab. Darah

17

Page 18: anestesi

2. Urine : protein, sedimen, reduksi

3. Foto rongten ( thoraks )

4. EKG

Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :

1. EKG pada anak

2. Spirometri pada tumor paru

3. Tes fungsi hati pada ikterus

4. Fungsi ginjalpada hipertensi

5. AGD, elektrolit.

2. Premedikasi Anestesi

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan

dari premedikasi antara lain :1,2

a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.

b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam

c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin

e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron

f. memperlancar induksi, misal : pethidin

g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin

h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas atropin.

i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang

ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan

obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur

pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi

sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu

yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam

operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan2

Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat

premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:2,3

18

Page 19: anestesi

a. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.

b. Transquillizer yaitu dari golongan Benzodiazepin, misal diazepam dan

midazolam

c. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.

d. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.

e. Antihistamin, misal prometazine.

f. Antasida, misal gelusil

g. H2 reseptor antagonis, misal cimetidine

Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam. Secara

intramuskular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus darurat dengan waktu

tindakan pembedahan yang tidak pasti obat dapat diberikan intravena. Obat segera

efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum akan dimulai dalam waktu 1 jam

dianjurkan premedikasi intramuskular.4

3. Obat-obatan Premedikasi

Pada kasus ini digunakan obat premedikasi :

a. Midazolam 1,2,5

Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin dengan sifat

yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Midazolam bersifat larut dalam

air serta merupakan benzodiazepin pilihan untuk pemberian parenteral. Penting untuk

diketahui bahwa obat ini dapat bersifat menjadi larut lemak pada pH fisiologuis

sehingga dapat dengan cepat menembus sawar darah otak dan menimbulkan efek

sentral.10 Merupakan benzodiapin kerja cepat yang bekerja menekan SSP. Midazolam

berikatan dengan reseptor benzodiazepin yang terdapat di berbagai area di otak seperti

di medulla spinalis, batang otak, serebelum system limbic serta korteks serebri.

Midazolam memiliki onset yang lebih cepat , eliminasi waktu paruh yang lebih

pendek (2-4 jam), serta kurva dosis responsif yang lebih curam daripada

benzodiazepin lain yang tersedia. Oleh karena itu, midazolam seringnya diberikan

secara intravena sebelum pasien masuk ke dalam kamar operasi.10 Efek induksi terjadi

sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila sebelumnya diberikan premedikasi

obat narkotika dan 2-2,5 menit tanpa premedikasi narkotika sebelumnya.

19

Page 20: anestesi

Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi anestesi, basal

sedasion sebelum tindakan diagnostik atau pembedahan yang dilakukan di bawah

anestesi lokal serta induksi dan pemeliharaan selama anestesi. Obat ini

dikontraindikasikan pada keadaan sensitif terhadap golongan benzodiazepine, pasien

dengan insufisiensi pernafasan, dan acute narrow-angle glaucoma.

Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri sebelum

tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan antikolinergik atau

analgesik. Dewasa : 0,07- 0,1 mg/kg BB secara IM sesuai dengan keadaan umum

pasien, lazimnya diberikan 5 mg. Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025 – 0,05

mg/kg BB (IM). Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10

menit sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harus diturunkan 1- 1,5 mg

dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV.

b. Fentanil 5,6

Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan

termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk

sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan remifentanil,

suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk

meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan

selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan

demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya

kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka

dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai

premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun

intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif.8

Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek

depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan analgetik

fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang

masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya

digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan

yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi

dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya

20

Page 21: anestesi

digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca

operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam

bentuk kombinasi tetap dengan droperidol.5 Fentanyl dan droperidol (suatu

butypherone yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk

menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida

memberikan suatu efek yang disedut sebagai neurolepanestesia.1,2

c. Ondansetron1,2

Merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat efektif yang dapat menekan

mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Ondansetron

mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan basal rendah.

Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat terjadi konstipasi.

Ondansetron dieliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama

secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukonida atau sulfat dalam hati.5 Dosis

ondansentron yang biasanya diberikan untuk premedikasi antara 4-8 mg/kgBB. Dalam

suatu penelitian kombinasi antara Granisetron dosis kecil yang diberikan sesaat

sebelum ekstubasi trakhea ditambah Dexamethasone yang diberikan saat induksi

anestesi merupakan suatu alternatif dalam mencegah muntah selama 0-2 jam setelah

ekstubasi trakhea daripada ondansetron dan dexamethasone.1,2

4. Induksi

Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya

stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi

untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.

Pada kasus ini digunakan obat induksi :

a. Propofol

Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan

emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.

Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.5,6

Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena

lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat

21

Page 22: anestesi

setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah

postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol

digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan

agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam

menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan

propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu

timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan

adanya skuele neurologik.6

Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat.

Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis

atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang

berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.5,7

Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti

selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi.10

Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan

karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik

kembali normal dengan intubasi trakea.

Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah

2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat

dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol

diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang

dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar

daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme

ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat

bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-

obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal.

Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun.

Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca

operasi yang minimal.

Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat

dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada

otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai

22

Page 23: anestesi

efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan

jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek

antiemetik. 1,5

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,

apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa

hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya

sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi

nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).2,5

b. Ketamine

Merupakan larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif

aman. Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestetik dan kataleptik dengan kerja

singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik tetapi lemah untuk

sistem viseral. Ketamin dapat meningkatkan tekanan darah, frekuensi nadi dan curah

jantung sampai 20%. 1,5

Mekanisme aksi ketamine adalah memblokade membran terhadap efek

eksitasi neurotranmiter asam glutamat pada reseptor subtipe NMDA. Ketamine

merupakan obat yang sangat lipofilik dan dengan cepat didistribusikan ke dalam

organ yang perfusinya baik seperti otak, hati dan ginjal. Kemudian, ketamine

diredistribusi ke dalam jaringan-jaringan yang berperfusi kurang baik bersamaan

dengan metabolisme hepatik dan diikuti dengan ekskresi urin dan bilier. Ketamine

merupakan satu-satunya anestesi intravena yang memiliki efek analgesik dan mampu

menghasilkan stimulasi cardiovaskular yang berkaitan dengan dosis. Nadi, tekanan

darah arteri dan cardiac output dapat meningkat secara signifikan di atas nilai normal.

Variabel-variabel ini mencapai puncaknya 2-4 menit setelah injeksi bolus intravena,

kemudian menurun ke nilai normal selama 10-20 menit kemudian. Ketamine

menghasilkan efek terhadap kardiovaskuler ini dengan menstimulasi sistem saraf

simpatis pusat , kurang lebih, dengan menghambat reuptake norepinefrin pada

terminal saraf simpatis. Peningkatan kadar epinefrin dan noerpinefrin plasma terjadi

selama 2 menit setelah bolus ketamine intravena dan kembali ke kadar normal dalam

kurang dari 15 menit. Ketamine secara nyata meningkatkan aliran darah otak,

konsumsi oksigen dan tekanan intrakranial. Sebagaimana anestesi yang menguap,

ketamine merupakan sebuah obat yang secara potensial berbahaya ketika tekanan

23

Page 24: anestesi

intrakranial meningkat. Meskipun ketamine menurunkan laju pernapasan, tonus otot

pernapasan bagian atas tetap dipertahankan dengan baik dan refleks-refleks jalan

napas biasanya tetap dipelihara.1,2

Penggunaan ketamine telah dihubungkan dengan disorientasi, ilusi sensori dan

persepsi serta mimpi yang nyata postoperasi (sehinggan disebut dengan fenomena

emergence). Diazepam (0,2-0,3 mg/kgBB) atau midazolam (0,025-0,05 mg) secara

intravena, yang diberikan sebelum pemberian ketamine dapat mengurangi insidensi

efek-efek negatif ini. Meskipun demikian, penggunaan ketamin dosis rendah dalam

kombinasi dengan anestesi inhalasi dan intravena yang lainnya telah menjadi alternatif

pilihan daripada analgesik opioid dalam meminimalkan depresi pernapasan. Selain

itu, ketamine sangat bermanfaat bagi pasien geriatri dan pasien dengan resiko tinggi

terjadi syok kardiogenik atau syok sepsis dikarenakan efek kardiostimulasinya.

Ketamin dosis rendah juga digunakan bagi pasien-pasien rawat jalan yang

dikombinasikan dengan propofol serta bagi anak-anak yang menjalani prosedur yang

menyakitkan (seperti penggatian dressing pada luka bakar).7

Untuk induksi ketamin diberikan secara IV dengan dosis 2 mg/kgBB (1-4,5

mg/kgBB) dalam waktu 60 detik; stadium operasi dicapai dalam 5-10 menit. Untuk

mempertahankan anestesi dapat diberikan dosis ulangan setengah dari semula.

Ketamin IM untuk induksi diberikan 10 mg/kgBB (6,5-13 mg/kgBB), stadium operasi

terjadi dalam 12-25 menit.1,5

5. Pemeliharaan

a. Nitrous Oksida (N2O)

Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak

berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi

dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang

kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini

tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh

karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat

relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas

terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak

oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan

pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.

24

Page 25: anestesi

Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.

Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah

sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.2,5

b. Isofluran

Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Isofluran

merelaksasi otot sehingga baik untuk melakukan intubasi. Obat pelumpuh otot

non-depolarisasi dan isofluran saling menguatkan (potensiasi) sehingga dosis

isofluran perlu dikurangi sepertiganya. Tendensi timbulnya aritmia amat kecil,

sebab isofluran tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.2,5

Isofluran 3-3,5% dalam O2 atau kombinasi N2O-02 biasanya digunakan

untuk induksi, sedangkan kadar 0,5-3% cukup memuaskan untuk mempertahankan

anestesia.7

6. Obat Pelumpuh Otot

Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga

menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini

dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten,

misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal

kurarin.

Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan

laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam

pembedahan dan ventilasi kendali.2,5

2 golongan obat pelumpuh otot yaitu :2

a. Depolarisasi.

- Ada fasikulasi otot

- Berpotensiasi dengan antikolinesterase

- Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada perangsangan

tunggal atau tetanik

- Belum dapat diatasi dengan obat spesifik

25

Page 26: anestesi

- Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh otot

non depolarisasi dan asidosis

- Contoh: suksametonium (suksinil kolin)

b. Non depolarisasi

- Tidak ada fasikulasi otot

- Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik

inhalasi, eter, halothane, enfluran, isoflurane

- Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan

tunggal atau tetanik

- Dapat diantagonis oleh antikolinesterase

- Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium bromida),

norkuron (pankuronium bromida), esmeron (rokuronium bromida).

Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :

Atracurium besilat (tracrium)

Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang

mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice

leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat

terdahulu antara lain adalah :

a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia

unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi

hati dan ginjal.

b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.

c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.6

Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada

umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama

kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit.7

26

Page 27: anestesi

Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja

obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase. Nampaknya

atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan

penyakit jantung dan ginjal yang berat.1,6

Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg

atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu

dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.

Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv

Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv

Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv5

7. Intubasi Endotrakeal

Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan

nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan

untuk :2

a. Mempermudah pemberian anestesi.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.

c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.

d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.

e. Pemakaian ventilasi yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut.

8. Terapi Cairan

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati

jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan

untuk :2

a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.

b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi :

a. Pra operasi

27

Page 28: anestesi

Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,

penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada

ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk

dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius

kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.

b. Selama operasi

Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan

pada dewasa untuk operasi :

Ringan= 4 ml/kgBB/jam.

Sedang= 6 ml/kgBB/jam

Berat = 8 ml/kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari

10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan

lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /

dekstran .2

c. Setelah operasi

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan

selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien. 1,2

9. Pemulihan

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi

yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk

observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan

sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di

ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari

komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.2

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu

dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa

cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,

dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang

28

Page 29: anestesi

sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional

anestesi digunakan skor Bromage.2,5

Tabel 1. Aldrete Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Aktivitas

motorik

Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas

atas perintah atau secara sadar.

Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas

perintah atau secara sadar.

Tidak mampu menggerakkan ekstremitas

atas perintah atau secara sadar.

2

1

0

2 Respirasi Nafas adekuat dan dapat batuk

Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi

Apneu/tidak bernafas

2

1

0

3 Sirkulasi Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula

Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari

semula

Tekanan darah berbeda >50% dari semula

2

1

0

4 Kesadaran Sadar penuh

Bangun jika dipanggil

Tidak ada respon atau belum sadar

2

1

0

5 Warna kulit Kemerahan atau seperti semula

Pucat

Sianosis

2

1

0

Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

Tabel 2. Steward Scoring System

29

Page 30: anestesi

No. Kriteria Skor

1 Kesadaran Bangun

Respon terhadap stimuli

Tak ada respon

2

1

0

2 Jalan napas Batuk atas perintah atau menangis

Mempertahankan jalan nafas dengan baik

Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan

nafas

2

1

0

3 Gerakan Menggerakkan anggota badan dengan tujuan

Gerakan tanpa maksud

Tidak bergerak

2

1

0

Steward score ≥5 boleh dipindah ruangan.

Tabel 3. Robertson Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Kesadaran Sadar penuh, membuka mata, berbicara

Tidur ringan

Membuka mata atas perintah

Tidak ada respon

4

3

2

1

2 Jalan napas Batuk atas perintah

Jalan nafas bebas tanpa bantuan

Jalan nafas bebas tanpa bantuan ekstensi

kepala

Tanpa bantuan obstruksi

3

2

1

0

3 Aktifitas Mengangkat tangan atas perintah 2

30

Page 31: anestesi

Gerakan tanpa maksud

Tidak bergerak1

0

Tabel 4. Scoring System untuk pasien anak

Tanda Kriteria

Tanda vital Respirasi, T/N, suhu seperti semula

Reflek laryng dan pharyng Mampu menela, batuk, dan muntah

Gerakan Mampu bergerak sesuai umur dan tingkat

perkembangan

Muntah Muntah, mual pusing minimal

Pernafasan Tidak ada sesak nafas, stridor, dan

mendengkur

Kesadaran Alert, orientasi tempat, waktu, dan orang

Tabel 5. Bromage Scoring System

Kriteria Skor

Gerakan penuh dari tungkai 0

Tak mampu ekstensi tungkai 1

Tak mampu fleksi lutut 2

Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3

Bromage score < 2 boleh pindah ke ruang perawatan.

31

Page 32: anestesi

BAB IV

KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang

melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien

dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya.

32

Page 33: anestesi

Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi

kistektomi pada penderita perempuan, usia 46 tahun, status fisik ASA II, dengan diagnosis

kistoma ovari yang dilakukan teknik anestesi semi closed dengan ET no.7,0 respirasi

terkontrol.

Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada

diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat

ditekan seminimal mungkin.

Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari

segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi

hal yang memerlukan penanganan serius.

Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,

FKUI, CV Infomedia, Jakarta.

33

Page 34: anestesi

2. Qauliyah, Asta. 2010. Ovarium. http://astaqauliyah.com/2010/05/referat-kedokteran-

epidemiologi-etiologi-dan-patofisiologi-penyakit-kista-ovarium/

3. Hadibroto,R. Budi, 2005. Laparoskopi pada Kista Ovari.

http://obstetriginekologi.com/kistoma-ovarii

4. Anonim, 2010. Kista Ovarium. http://fkunhas.com/kista-ovarium-kista-indung-telur-

20100708296.html

5. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk

Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional

6. Lab/ SMF Anestesiologi & reanimasi . 2010. Panduan Kepaniteraan Klinik

Anestesiologi.

7. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi

ke- 4. Jakarta :Gaya baru.

8. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai

Penerbit FKUI

9. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran

FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta : Media Aesculapius

34