anastesi pd pasien dg peny.ginjal

39
ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT GINJAL A. EVALUASI FUNGSI GINJAL Taksiran yang akurat terhadap fungsi ginjal bergantung pada determinasi laboratorium. Kerusakan ginjal dapat mengarah pada disfungsi glomerulus, disfungsi tubulus, atau obstruksi traktus urinarius. Karena abnormalitas dari fungfi glomerulus menyebabkan gangguan yang berat dan dapat dideteksi, maka tes laboratorium yang dapat digunakan adalah yang berhubungan dengan laju filtrasi glomerulus (GFR). Blood Urea Nitrogen (BUN) Sumber utama urea dalam tubuh adalah hati. Selama katabolisme protein, amonia diproduksi dari deaminasi asam-asam amino. Konversi hati dari amonia menjadi urea mencegah pembentukan amonia toksik: 2NH 3 + CO 2 H 2 N-CO-NH 2 + H 2 O BUN berhubungan langsung dengan katabolisme protein dan berhubungan terbalik dengan filtrasi glomerulus. Akibatnya, BUN bukanlah indikator yang bisa digunakan untuk perhitungan GFR kecuali jika katabolisme protein normal dan konstan. Selain itu, 40-

Upload: sukmasusanti

Post on 26-Jul-2015

144 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT

GINJAL

A. EVALUASI FUNGSI GINJAL

Taksiran yang akurat terhadap fungsi ginjal bergantung pada determinasi

laboratorium. Kerusakan ginjal dapat mengarah pada disfungsi glomerulus,

disfungsi tubulus, atau obstruksi traktus urinarius. Karena abnormalitas dari fungfi

glomerulus menyebabkan gangguan yang berat dan dapat dideteksi, maka tes

laboratorium yang dapat digunakan adalah yang berhubungan dengan laju filtrasi

glomerulus (GFR).

Blood Urea Nitrogen (BUN)

Sumber utama urea dalam tubuh adalah hati. Selama katabolisme protein,

amonia diproduksi dari deaminasi asam-asam amino. Konversi hati dari amonia

menjadi urea mencegah pembentukan amonia toksik:

2NH3 + CO2 H2N-CO-NH2 + H2O

BUN berhubungan langsung dengan katabolisme protein dan berhubungan

terbalik dengan filtrasi glomerulus. Akibatnya, BUN bukanlah indikator yang bisa

digunakan untuk perhitungan GFR kecuali jika katabolisme protein normal dan

konstan. Selain itu, 40-50 % dari filtrat secara normal direabsorbsi secara pasif

oleh tubulus renal; hipovolemi meningkatkan fraksi ini.

Konsentrasi BUN normal adalah 10-20 mg/dl. Nilai yang lebih rendah

dapat didapatkan pada starvasi dan penyakit hati; peningkatan biasanya

disebabkan oleh berkurangnya GFR atau meningkatnya katabolisme protein.

Selanjutnya dapat berlanjut pada keadaan katabolisme yang tinggi

(trauma/sepsis), degradasi darah baik pada traktus gastrointestinal atau pada

Page 2: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

hematoma besar, atau diet tinggi protein. Konsentrasi BUN yang lebih besar dari

50 mg/dl biasanya berhubungan dengan kerusakan ginjal.

Kreatinin Serum

Kreatinin adalah produk dari metabolisme otot yang dikonversi ke

kreatinin tanpa enzim. Produksi kreatinin pada sebagian besar orang adalah relatif

konstan dan berhubungan dengan massa otot, rata-rata 20-25 mg/kg pada laki-laki

dan 15-20 mg/kg pada perempuan. Kreatinin disaring (dan dalam jumlah kecil

disekresi) tetapi tidak direabsorbsi pada ginjal. Konsentrasi kreatinin serum

berhubungan langsung dengan massa otot tubuh tapi berkebalikan dengan filtrasi

glomerulus (gambar 1). Oleh karena massa otot tubuh biasanya konstan, maka

pengukuran kreatinin serum biasanya berdasarkan indeks GFR. Konsentrasi

kreatinin serum normal adalah 0,8-1,3 mg/dL pada laki-laki dan 0,6-1 mg/dL pada

perempuan. Gambar 1 menunjukkan bahwa setiap penggandaan kreatinin serum

mewakili penurunan 50 % dari GFR. Makan daging dalam jumlah besar, terapi

simetidine, dan peningkatan asetoasetat (seperti pada ketoasidosis), dapat

meningkatkan jumlah kreatinin serum tanpa perubahan pada GFR. Makanan

daging meningkatkan timbunan kreatinin. Simetidine menghambat sekresi

kreatinin oleh tubulus ginjal.

GFR menurun dengan meningkatnya umur pada sebagian besar orang (5%

per dekade setelah umur 20 tahun), tetapi karena massa otot juga menurun,

kreatinin serum tetap relatif normal; produksi kreatinin bisa menurun sampai 10

mg/kg. Pada pasien yang tua, peningkatan kecil dari kreatinin serum bisa

menunjukkan perubahan besar pada GFR. Dengan menggunakan umur dan berat

badan (dalam kg), GFR bisa diperkirakan dengan formula/rumus seperti di bawah

ini untuk pria:

Creatinine clearance = (140−umur ) x BB

72 x kreatinin plasma

Untuk perempuan, persamaan tadi dikali dengan 0,85 untuk

mengkompensasi perbedaan kecil pada massa otot.

Page 3: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

Tabel 32-1. Kelompok pasien berdasarkan fungsi glomerulus

Creatinin Clearance (mL/mnt)

Normal 100-120

Penurunan cadangan ginjal 60-100

Kerusakan ginjal ringan 40-60

Insufisiensi ginjal sedang 25-40

Gagal ginjal < 25

Penyakit ginjal tingkat akhir < 10

Rasio BUN : Kreatinin

Kecepatan aliran tubulus ginjal yang rendah meningkatkan reabsorbsi urea

namun tidak berpengaruh terhadap kreatinin serum. Akibatnya, rasio BUN

terhadap kreatinin serum meningkat di atas 10:1. Penurunan aliran tubulus bisa

disebabkan oleh penurunan perfusi ginjal atau obstruksi dari traktus urinarius.

Rasio BUN : kreatinin yang lebih dari 15:1 dapat dilihat pada kekurangan volume

dan pada edema dengan gangguan yang berhubungan dengan berkurangnya aliran

tubular ( seperti pada gagal jantung, sirosis, sindrom nefrotik) dan juga pada

obstruksi uropati. Meningkatnya katabolisme protein juga dapat meningkatkan

rasio ini.

Creatinine Clearance

Pengukuran creatinine clearance adalah metode yang paling akurat untuk

perkiraan klinis fungsi ginjal. Meskipun pengukuran biasanya dilakukan setelah

24 jam, penentuan creatinine clearance 2 jam lebih akurat dan lebih mudah untuk

dilakukan. Secara umum kerusakan ginjal ringan mengakibatkan kreatinin

clearance menjadi 40-60 mL/menit. Clearance antara 24-40 mL/menit

menimbulkan disfungsi ginjal moderat dan hampir selalu menimbulkan gejala.

Creatinine clearance yang kurang dari 25 mL/menit adalah indikasi adanya gagal

ginjal.

Page 4: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

Penyakit ginjal progresif mempertinggi sekresi kreatinin pada tubulus

proksimal. Akibatnya, dengan penurunan fungsi ginjal kreatinin klirens semakin

mempertinggi GFR.

Urinalisis

Selanjutnya urinalisis merupakan tes rutin yang paling biasa dilakukan

untuk evaluasi fungsi ginjal. Meskipun kegunaannya untuk tujuan tersebut masih

diragukan, urinalisis dapat membantu untuk mengidentifikasi beberapa gangguan

pada disfungsi tubulus ginjal maupun beberapa gangguan nonrenal. Urinalisis

rutin termasuk pH, berat jenis (BJ), deteksi dan kuantitas kadar glukosa, protein,

dan bilirubin, dan pemeriksaan mikroskopik terhadap sedimen urin. pH urin

membantu hanya jika pH arteri diketahui. Bila pH urin lebih dari 7,0 asidosis

sistemik memberi kesan asidosis tubulus renal. Berat jenis berhubungan dengan

osmolalitas urin; 1,010 biasanya sesuai dengan 290 mOsm/kg. BJ lebih dari 1,018

setelah puasa 1 malam menunjukkan adekuatnya kemampuan ginjal dalam

mengkonsentrasi. Berat jenis yang lebih rendah dengan adanya hiperosmolalitas

plasma sesuai dengan diabetes insipidus.

Glikosuria adalah hasil dari ambang batas glukosa pada tubulus rendah

(normalnya 180 mg/dL) atau hiperglikemia. Proteinuri yang dideteksi melalui

urinalisis rutin seharusnya dievaluasi dengan pengumpulan urin 24 jam. Ekskresi

protein urin lebih dari 150 mg/dl adalah signifikan. Peningkatan kadar bilirubin

pada urin terlihat pada obstruksi biliar.

Analisa mikroskopik pada sedimen urin bisa mendeteksi adanya sel darah

merah atau sel darah putih, bakteri, dan kristal. Sel darah merah bisa

mengindikasikan adanya perdarahan akibat tumor, batu, infeksi, koagulopati, atau

trauma. Sel darah putih dan bakteri biasanya berhubungan dengan infeksi. Kristal

mungkin menunjukkan adanya abnormalitas pada asam oksalat, asam urat, atau

metabolisme kristin.

Page 5: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

B. PERUBAHAN FUNGSI GINJAL DAN EFEKNYA TERHADAP

AGEN-AGEN ANESTESI

Beberapa obat yang biasanya dipakai pada saat anestesi sebagian kecil

tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi. Dengan adanya kerusakan ginjal,

modifikasi dosis mungkin diperlukan untuk mencegah akumulasi obat atau

metabolit aktif. Efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja

farmakologikal dari agen-agen ini. Pada observasi terakhir mungkin disebabkan

akibat menurunnya ikatan protein dengan obat, perembesan ke otak karena

perubahan pada sawar darah otak, atau efek sinergis dengan toksin yang tertahan

pada gagal ginjal.

Agen Intravena

Propofol dan Etomidate

Farmakokinetik dari keduanya, propofol dan etomiate, secara

signifikan tidak dipengaruhi oleh gangguan fungsi ginjal. Penurunan ikatan

protein dari etomidate pada pasien dengan hipoalbuminemia bisa

meningkatkan efek farmakologiknya.

Barbiturat

Pasien dengan penyakit ginjal sering terjadi peningkatan sensifitas

terhadap barbiturat selama induksi, meskipun profil farmakokinetik tampak

tidak berubah. Mekanismenya terlihat dengan meningkatnya barbiturat bebas

yang bersirkulasi sebagai akibat dari penurunan ikatan protein. Asidosis juga

bisa menyebabkan agen ini lebih cepat masuk ke otak dengan meningkatkan

fraksi non ion pada obat

Ketamine

Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal.

Beberapa metabolit aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan dapat

berpotensi terakumulasi pada gagal ginjal. Efek hipertensi sekunder dari

ketamin tidak diinginkan pada pasien hipertensi ginjal.

Benzodiazepin

Page 6: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

Benzodiazepin mengalami metabolisme dan konjugasi di hati sebelum

dieliminasi di urin. Karena sebagian besar terikat kuat dengan protein,

peningkatan sensitifitas bisa terlihat pada pasien-pasien dengan

hipoalbuminemia. Diazepam seharusnya digunakan dengan hati-hati pada

adanya kerusakan ginjal karena potensi untuk terjadinya akumulasi metabolit

aktif.

Opioid

Sebagian besar opioid sekarang ini digunakan pada terapi anestesi

(morfin, meperidin, fentanyl, sulfentanyl, dan alfentanyl) di inaktifasi oleh

hati; beberapa metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik

remifentanil tidak dipengaruhi oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang

cepat di dalam darah. Dengan pengecualian morfin dan meperidin, akumulasi

signifikan dari metabolit aktif umumnya tidak terjadi pada agen tersebut.

Akumulasi metabolit morfin (morphine-6-glucoronide) dilaporkan

memperpanjang depresi pernapasan pada beberapa pasien dengan gagal

ginjal. Peningkatan level normepiridin, metabolit meperidin, dihubungkan

dengan kejang. Farmakokinetik dari kebanyakan agonis-antagonis opioid

yang sering digunakan (butorphanol, nalbuphine, dan buprenorphine) tidak

dipengaruhi oleh gagal ginjal.

Agen-agen Antikolinergik

Dalam dosis yang digunakan untuk premedikasi, atropin dan

glikopirolat umumnya bisa digunakan secara aman pada pasien-pasien

dengan kerusakan ginjal. Karena lebih dari 50% dari obat-obat ini dan

metabolit aktifnya secara normal diekskresi melalui urin, akan tetapi potensi

akumulasi terjadi bial dosis diulang. Scopolamin kurang tergantung pada

ekskresi ginjal, tetapi efek sistem saraf pusat bisa dipertinggi oleh azotemia.

Phenothiazines, H2 blocker, dan agen-agen yang berhubungan

Beberapa phenothiazine, seperti prometahazine dimetabolisme menjadi

komponen tidak aktif oleh hati. Meskipun profil farmakokinetik tidak mampu

diubah oleh adanya kerusakan ginjal, potensinya terhadap efek depresi pusat

oleh azotemia juga dapat terjadi. Efek antiemetiknya terutama dapat berguna

Page 7: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

untuk penanganan mual perioperatif. Droperidol sebagian tergantung pada

ginjal untuk diekskresikan. Akumulasi dapat dilihat pada dosis besar pada

pasien dengan kerusakan ginjal, secara relatif dosis kecil droperidol (<2,5mg)

biasanya digunakan di klinik.

Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal.

Metoclopramid sebagian diekskresikan tidak berubah di urin dan juga akan di

akumulasi pada gagal ginjal. Meskipun diatas 50% dari dolasetron

diekskresikan di urin, tidak ada dosis penyesuaian yang direkomendasikan

untuk beberapa 5-HT3 blocker pada pasien dengan insufisiensi ginjal.

Agen-agen Inhalasi

Agen-agen volatile

Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien dengan disfungsi

ginjal karena kurangnya ketergantungan mereka pada ginjal untuk eliminasi,

kemampuannya untuk mengontrol tekanan darah, dan biasanya mempunyai

efek langsung minimal pada aliran darah ginjal. Meskipun pasien dengan

gangguan ginjal ringan sampai sedang tidak menunjukkan perubahan pada

uptake atau distribusi, induksi cepat dan segera bisa dilihat pada pasien

anemia berat (hemoglobin < 5 g/dl) dengan gagal ginjal kronik; observasi ini

dapat dijelaskan oleh turunnya kofisien pemisah gas atau turunnya

konsentrasi alveolar minimum. Enflurane dan sevoflurane (dengan aliran <

2L/menit) tidak disarankan untuk pasien dengan penyakit ginjal yang

menjalani prosedur lama karena potensi terjadinya akumulasi fluoride.

Nitrous Oxide

Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan nitrous

oxide sampai 50% pada pasien dengan gagal ginjal dengan tujuan untuk

meningkatkan kandungan O2 arteri pada keadaan anemia. Dasar pemikiran ini

bisa dibenarkan hanya pada pasien anemia berat (hemoglobin < 7 g/dl),

dimana peningkatan kecil dari kandungan oksigen bisa menunjukkan

persentase signifikan perbedaan O2 arteri dan vena.

Page 8: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

Pelumpuh Otot

Succinylcholine

Succinylcholine bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, asalkan

konsentrasi kalium serum kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila

kalium serum lebih tinggi atau diragukan, pelumpuh otot nondepolarisasi

sebaiknya digunakan. Meskipun penurunan kadar pseudokolinesterase

dilaporkan pada beberapa pasien uremik yang menjalani dialisis,

pemanjangan signifikan dari blokade neuromuskular jarang terlihat.

Cisatracurium, Atracurium, dan Mivacurium

Mivacurium tergantung secara minimal pada ginjal untuk eliminasi.

Efek yang sedikit memanjang dapat dilihat karena menurunnya

pseudokolinesterase plasma. Cisatracurium dan atracurium didegradasi di

plasma oleh eliminasi enzim hidrolisis ester dan nonenzim Hofmann. Agen-

agen tersebut mungkin merupakan obat pilihan untuk pelumpuh otot pada

pasien-pasien dengan gagal ginjal.

Vecuronium dan Rocuronium

Eliminasi vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dri 20% dari

obat ini dieliminasi melalui urin. Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1

mg/kg) hanya memanjang sedikit pada pasien insufisiensi ginjal. Recuronium

secara primer mengalami eliminasi hepatik, tetapi perpanjangan kerja pada

penyakit ginjal berat pernah dilaporkan.

Curare

Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi

empedu; 40-60% dosis curare secara normal diekskresi di urin.

Meningkatnya pemanjangan efek terlihat pada pemberian dosis berulang

pada pasien dengan kerusakan ginjal signifikan. Dosis lebih rendah dan

perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan untuk pemeliharaan agar

pelumpuh otot optimal.

Page 9: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

Pacuronium, Pipecuronium, Alcuronium, dan Doxacurium

Agen-agen tersebut tergantung terutama pada ekskresi ginjal (60-

90%). Walaupun pancuronium dimetabolisme di hati menjadi metabolit

intermediat yang kurang aktif, eliminasi paruh waktunya masih tergantung

pada ekskresi ginjal (60-80%). Fungsi neuromuskular harus dimonitor ketat

jika obat-obat tersebut digunakan pasien dengan fungsi ginjal abnormal.

Metocurine, Gallamine, dan Decamethonium

Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal

untuk eliminasi dan harus dihindari penggunaannya pada pasien dengan

kerusakan fungsi ginjal

Obat-obat Reversal

Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi endrophonium,

neostigmine, dan pyridostigmine. Waktu paruh dari obat-obat ini pada pasien

dengan kerusakan ginjal memanjang setidaknya sama dengan pelumpuh otot

sebelumnya di atas.

C. ANASTESI PADA PASIEN DENGAN GAGAL GINJAL

PERTIMBANGAN PREOPERASI

Gagal Ginjal Akut

Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal secara cepat yang

menghasilkan penumpukan dari sampah nitrogen (azotemia). Zat ini

sebagian besar bersifat racun, dihasilkan oleh metabolisme protein dan

asam amino. Termasuk urea, senyawa guanidine (termasuk creatin dan

creatinin), asam urat, asam amino alifatik, berbagai jenis peptida dan

metabolisme dari asam amino aromatik.

Azotemia dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan

penyebabnya yaitu prerenal, renal, dan postrenal. Azotemia prerenal

diakibatkan oleh penurunan akut perfusi ginjal. Azotemia renal biasanya

Page 10: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

karena penyakit intrinsik ginjal, iskemia ginjal, atau nofrotoksin. Azotemia

postrenal disebabkan oleh gangguan atau obstruksi traktus urinarius.

Azotemia prerenal dan postrenal bersifat reversible pada tahap inisial

namun jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan azotemia renal.

Kebanyakan pasien dewasa dengan gagal ginjal akan terjadi oliguria.

Pasien yang nonoliguri (yaitu pasien dengan urin output  > 400 mL/hari)

terus menerus membentuk urin yang secara kualitatif jelek, pada pasien ini

cenderung memiliki pemeliharaan yang cukup baik dari GFR. Walaupun

filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus terganggu, kelainannya untuk

cenderung buruk lebih sedikit pada gagal ginjal nonoliguri.

Pembahasan mengenai gagal ginjal akut bervariasi, namun pada tipe

oliguria bertahan sampai 2 minggu dan diikuti oleh fase diuretik yang

ditandai dengan adanya peningkatan yang progresif pada urin output. Fase

diuretik ini sering menghasilkan sangat banyak urin output dan biasanya

tidak ditemui pada gagal ginjal yang non oligurik. Fungsi urinari semakin

baik dalam beberapa minggu namun tidak kembali normal sampai 1 tahun.

Gagal Ginjal Kronis

Sindroma ini dikarakteristikkan oleh adanya penurunan fungsi

ginjal yang progresif dan irreversibel dalam waktu 3-6 bulan. Penyebab

utamanya adalah hipertensi nefrosklerosis, diabetik nefropati,

glomerulonefritis kronis, dan penyakit ginjal polikistik.

Manifestasi penuh dari sindrom ini sering dikenal dengan uremia

yang akan terlihat setelah GFR menurun dibawah 25 mL/menit. Pasien

dengan klirens dibawah 10 mL/menit (sering disebut dengan end stage

renal disease) akan bergantung kepada dialisis untuk bertahan sampai

dilakukan transplantasi. Dialisis dapat berbentuk intermittent hemodialysis

melalui arteriovenous fistula atau dialisis peritoneal yang terus menerus

melalui kateter yang diimplantasikan.

Page 11: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

Tabel 32-2. Manisfestasi Uremia

Neurological  Cardiovascular 

  Peripheral neuropathy   Fluid overload

  Autonomic neuropathy   Congestive heart failure

  Muscle twitching   Hypertension

  Encephalopathy   Pericarditis

    Asterixis   Arrhythmia

    Myoclonus   Conduction blocks

    Lethargy   Vascular calcification

    Confusion   Accelerated atherosclerosis

    Seizures Metabolic     Coma   Metabolic acidosisPulmonary    Hyperkalemia

  Hyperventilation   Hyponatremia

  Interstitial edema   Hypermagnesemia

  Alveolar edema   Hyperphosphatemia

  Pleural effusion   HypocalcemiaGastrointestinal    Hyperuricemia

  Anorexia   Hypoalbuminemia

  Nausea and vomiting Hematological   Delayed gastric emptying   Anemia

  Hyperacidity   Platelet dysfunction

  Mucosal ulcerations   Leukocyte dysfunction

  Hemorrhage Skin   Adynamic ileus   HyperpigmentationEndocrine    Ecchymosis

  Glucose intolerance   Pruritus

  Secondary hyperparathyroidism Skeletal   Hypertriglyceridemia   Osteodystrophy

  Periarticular calcification

Efek yang meluas dari uremia biasanya dapat dikontrol dengan

dialisis. Banyak pasien yang menjalani dialisis setiap hari umumnya merasa

normal dan beberapa tidak terjadi discoloration yang berkaitan dengan

tahap akhir penyakit ginjal dan dialisis. Mayoritas pasien di dialisis 3 kali

perminggu. Sayangnya, semakin lama biasanya komplikasi uremia sukar

disembuhkan. Lebih lagi, beberapa komplikasi berhubungan langsung

dengan proses dialisis tersebut. Hipotensi, neutropenia, hipoksemia,

Page 12: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

sindroma disequilibrium bersifat sementara dan hilang beberapa jam

setelah dialisis. Beberapa faktor yang menyebabkan hipotensi selama

dialisis termasuk efek vasodilatasi dari larutan asetat dialisat, neuropati

otonom dan pergerakan yang cepat dari cairan. Interaksi antara sel darah

putih dengan membran dialisis derivat cellophane akan mengakibatkan

neutropenia dan leukocyte-mediated pulmonary disfunction menyebabkan

hipoksemia. Sindroma disequilibrium ditandai oleh gejala neurologis

sementara yang berhubungan dengan penurunan dengan cepat osmolaritas

ekstraselular daripada osmolaritas intraselular.

Tabel 32-3. Komplikasi dialisis

Neurologis Sindrom disequilibriumDemensia

HematologiAnemiaTransient neutropeniaAntikoagulasi residualHipokomplementemia

Kardiovaskular Deplesi volume intravaskularHipotensiAritmia

MetabolikHipokalemiaKehilangan protein dalam jumlah banyak

PulmonalHipoksemia

SkeletalOsteomalasiaArtropatiMiopati

Gastrointestinal Asites

InfeksiPeritonitisTransfusion-related hepatitis

Manifestasi dari Gagal Ginjal

a. Metabolik

Pasien dengan gagal ginjal dapat berkembang dengan

abnormalitas dari metabolik yang multipel termasuk hiperkalemia,

hiperphospatemia, hipokalemia, hipermagnesemia, hiperuricemia, dan

hipoalbuminemia. Retensi air dan natrium akan mengakibatkan

pemburukan dari hiponatremia dan cairan ekstra seluler yang

berlebihan. Kegagalan untuk mengekskresikan asam yang non folatil

Page 13: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

mengakibatkan asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi.

Hipernatremia dan hipokalemia adalah komplikasi yang jarang.

Hiperkalemia adalah abnormalitas yang paling mematikan

karena memiliki efek pada jantung. Hal ini biasanya ditemukan pada

pasien dengan kreatinin klirens < 5 mL/menit, namun dapat

berkembang secara cepat pada pasien dengan klirens yang lebih tinggi

ketika disertai masukan kalium yang besar (trauma, hemolisis, infeksi

atau konsumsi kalium).

Hipermagnesia biasanya ringan kecuali masukan magnesium

meningkat (umumnya dari antasida yang mengandung magnesium).

Hipokalsemia terjadi dengan sebab yang tidak diketahui. Mekanisme

yang diakibatkan oleh deposit kalsium ke tulang secara sekunder oleh

karena hiperphospatemia, resistensi dari hormon paratiroid dan

penurunan absorbsi usus halus secara sekunder menurunkan sintesis

ginjal dari 1,25-dihidroksi kolekalsiferol. Gejala dari hipokalsemia

jarang berkembang kecuali pasien dalam kondisi alkalosis. 

Pasien dengan gagal ginjal juga secara cepat kehilangan protein

jaringan sehingga menyebabkan hipoalbuminemia. Anoreksia, restriksi

protein dan dialisis (terutama dialisis peritonium) juga berperan.  

b. Hematologik

Anemia biasanya muncul jika kreatinin klirens dibawah 30

ml/menit. Konsentrasi hemoglobin umumnya 6-8 gram/dl. Penurunan

produksi eritropoetin menurunkan produksi sel darah merah, dan

menurunkan pertahanan sel. Faktor tambahan termasuk perdarahan

saluran cerna, hemodilusi, dan penekanan sumsum tulang dari infeksi

sebelumnya. Walaupun dengan transfusi, konsentrasi hemoglobin

meningkat sampai 9 gram/dl sangat sulit untuk dipertahankan.

Pemberian eritropoetin biasanya dapat mengoreksi anemia.

Page 14: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

Peningkatan  dari 2,3-difosfogliserat bertanggung jawab dalam

penurunan kapasitas pembawa oksigen. 2,3-DPG memfasilitasi

pelepasan oksigen dari hemoglobin. Asidosis metabolik juga

mengakibatkan pergeseran ke kanan pada kurva oksigen-hemoglobin

dissosiasi.

Fungsi platelet dan sel darah putih terganggu pada pasien

dengan gagal ginjal. Secara klinis, hal ini dimanifestasikan sebagai

pemanjangan waktu perdarahan dan gampang terkena infeksi. Beberapa

pasien mengalami penurunan aktivitas platelet faktor III, dan juga

penurunan ikatan dan agregrasi platelet. Pasien yang dihemodialisa juga

memiliki efek sisa antikoagulan dari heparin.  

c. Kardiovaskuler

Cardiac Output dapat meningkat pada gagal ginjal untuk

menjaga pengantaran oksigen pada penurunan kapasitas pembawa

oksigen. Retensi natrium dan abnormalitas pada sistem renin

angiotensin berakibat pada hipertensi arteri sistemik. Hipertropi

ventrikel kiri umum dijumpai pada gagal ginjal kronis. Cairan

ekstraseluler yang berlebihan oleh karena retensi natrium bersamaan

dengan peningkatan kebutuhan yang terganggu oleh karena anemia dan

hipertensi mengakibatkan pasien gagal jantung dan edema pulmonum.

Peningkatan permeabilitas dari membran kapiler alveoli dapat menjadi

faktor predisposisi. Blok konduksi tidak sering ditemukan dan mungkin

diakibatkan oleh deposit kalsium dari sistem konduksi. Aritmia sering

ditemukan dan mungkin berhubungan pada kelainan metabolik.

Perikarditis uremia dapat ditemukan pada beberapa pasien, pasien bisa

asimptomatis , bisa datang dengan adanya nyeri dada atau terbentuknya

tamponade jantung. Pasien dengan gagal ginjal kronis juga ditandai

dengan peningkatan pembuluh darah perifer dan penyakit arteri

koroner.

Page 15: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

Depresi volume intravaskuler dapat muncul pada fase diuretik

pada gagal ginjal akut jika penggantian cairan tidak adekuat.

Hipovolemi juga muncul jika terlalu banyak cairan yang dikeluarkan

ketika dialisis.

d. Pulmonary

Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien bergantung pada

peningkatan ventilasi permenit untuk mengkompensasikan asidosis

metabolik. Cairan ekstravaskular pulmonum biasanya meningkat pada

bentuk edema interstitial, mengakibatkan perluasan alveoli ke gradient

oksigen arterial yang menyebabkan terjadinya hipoksemia.

Peningkatan permeabilitas dari kapiler alveolar pada beberapa pasien

menyebabkan edema paru walaupun dengan tekanan kapiler paru yang

normal, karakteristik pada foto toraks menyerupai ”butterfly wings”.

e. Endokrin

Toleransi glukosa yang abnormal adalah karakteristik dari gagal

ginjal dan ini disebabkan oleh resistensi perifer pada insulin, pasien

mempunyai glukosa dalam darah dengan jumlah besar dan jarang

menggunakannya. Hiperparatiroidisme sekunder pada pasien dengan

gagal ginjal kronis dapat mengakibatkan penyakit tulang metabolik,

yang dapat menyebabkan fraktur. Kelainan metabolisme lemak sering

mengakibatkan hipertrigliseridemia dan kemungkinan berperan dalam

atherosklerosis.

Peningkatan dari kadar protein dan polipeptida dalam sirkulasi

yang biasanya segera didegradasikan di ginjal sering terlihat, hal ini

berhubungan dengan hormon paratiroid, insulin, glukagon, hormone

pertumbuhan, luteinizing hormone, dan prolaktin.

Page 16: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

f. Gastrointestinal

Anoreksia, nausea, vomiting dan ileus adinamik umumnya

berhubungan dengan azotemia. Hipersekresi dari asam lambung

meningkatkan insiden dari tukak peptik dan perdarahan saluran

pencernaan, yang muncul pada 10-30% dari pasien. Penundaan

pengosongan lambung secara sekunder pada neuropati autonom dapat

mencetuskan adanya aspirasi perioperatif. Pasien dengan gagal ginjal

kronis juga memiliki insiden tinggi terhadap virus hepatitis (tipe B dan

C), sering diikuti oleh disfungsi hepatik.

g. Neurologis

Tubuh kurus, letargi, konfusi, kejang, dan koma adalah

manifestasi dari uremik encephalopathy. Gejala pada umumnya

berhubungan dengan derajat azotemia.

Neuropati autonom dan perifer umumnya dijumpai pada pasien

dengan gagal ginjal kronis. Neuropati perifer bersifat sensoris dan

melibatkan bagian distal ekstremitas bawah.

Evaluasi Preoperatif

Efek umun dari azotemia harus dievaluasi secara teliti pada pasien

gagal ginjal. Sebagian besar pasien dengan gagal ginjal akut yang

memerlukan operasi penyakitnya menjadi kritis. Gagal ginjalnya

berhubungan dengan komplikasi post operatif atau trauma. Pasien dengan

gagal ginjal akut juga mempercepat pemecahan protein. Manajemen

perioperatif yang optimal tergantung dari dialisis preoperatif. Hemodialisis

lebih efektif dari pada peritoneal dialisis dan dapat dilakukan melalui

kateter dialysis sementara pada jugular interna, dialisis dengan subklavia

atau femoral. Kebutuhan dialisis pada pasien nonoligurik dapat disesuaikan

dengan kebutuhan individual.

Page 17: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

Table 32-4. Indikasi Untuk Dialisis

Overload Cairan

Hiperkalemi

Asidosis Berat

Enselopaty Metabolik

Perikarditis

Koogulopati

Refraktory Gastrointestinal Symtom

Toksisitas Obat

Pasien dengan gagal ginjal kronis biasanya dibawa ke ruang operasi

untuk memperbaiki arteriovenous fistula dibawah anestesi local atau

regional. Bagaimanapun juga prosedur atau pekerja anestesi, evaluasi

komplit diperlukan untuk memastikan bahwa mereka berada dalam kondisi

medis yang optimal; semua manifestasi yang reversibel dari uremia harus

dikontrol. Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau hari sebelumnya

dibutuhkan.

Evaluasi fisik dan laboratorium harus di fokuskan pada fungsi

jantung dan pernafasan. Tanda–tanda kelebihan cairan atau hipovolemia

harus dapat diketahui. Kekurangan volume intravaskuler sering disebabkan

oleh dialisis yang berlebihan. Perbandingan berat pasien sebelum dan

sesudah dialisis mungkin membantu. Data hemodinamik, jika tersedia dan

foto dada sangat bermakna dalam kesan klinis. Analisa gas darah arteri juga

berguna dalam mendeteksi hipoksemia dan mengevaluasi status asam-basa

pada pasien dengan keluhan sesak nafas. EKG harus diperiksa secara hati-

hati untuk tanda-tanda dari hiperkalimia atau hipokalsemia seperti pada

iskemia, blok konduksi, dan ventrikular hipertropi. Echocardiography

sangat bermakna  dalam mengevaluasi fungsi jantung pada pasien dibawah

prosedur pembedahan mayor karena hal ini dapat mengevaluasi ejeksi

Page 18: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

fraksi dari ventrikel, seperti halnya mendeteksi hipertrofi dan derajat

hipertropi, pergerakan abnormal pembuluh darah, dan cairan perikard.

Adanya friction rub bisa tidak terdengar pada auskultasi pada pasien

dengan efusi perikard.

Transfusi sel darah merah pre operatif harusnya diberikan hanya

pada pasien dengan anemia berat (hemoglobin <6-7 g/dL) atau ketika

kehilangan darah sewaktu operasi diperkirakan. Pemeriksaan waktu

perdarahan dan pembekuan dianjurkan, khususnya jika ada pertimbangan

regional anestesi. Elektrolit serum, BUN, dan pengukuran kreatinin dapat

menentukan keadekuatan dialisis. Pengukuran glukosa dibutuhkan dalam

mengevaluasi kebutuhan potensial untuk terapi insulin perioperatif.

Terapi obat preoperatif harus diberikan secara hati-hati pada obat

yang dieliminasi di ginjal. Penyesuaian dosis dan pengukuran kadar darah

(jika memungkinkan) dibutuhkan untuk mencegah toksisitas obat.

Table 32-5. Obat yang berpotensial berakumulasi secara signifikan pada

pada pasien dengan gangguan ginjal

Muscle relaxants

Metocurine, Gallamine, Decamethonium, Pancuronium, Pipecurium, Doxacurium,

Alcuronium

Anticholinergics 

Atropine, Glycopyrrolate

Metoclopramide

H2 reseptor antagonists 

Cimetidine, Ranitidine

Digitalis

Diuretics

Calcium Channel antagonis

Nifedipine, Diltiazem

β – Adrenergic blockers 

Propanolol, Nadolol, Pindolol, Atenolol

Anti Hipertensi

Page 19: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

Clonidine, Methyldopa, Captporil, Enalapril, Lisinopril, Hydralazine, Nitroprusside

(Thiocyanate)

Antiarrhytmics

Procainamide, Disopyramide, Bretylium, Tocainide, Encainide (Genetically

determined)

Bronchodilators

Terbutalline

Psychiatric 

Lithium

Antibiotics

Penicillins, Cephalosporin, Aminoglycosid, Tetracycline, Vancomycin

Anticonvulsants

Carbamazepine, Ethosuximide, Primidone

Premedikasi

Pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan

pengurangan dosis dari opioid atau benzodiazepin. Promethazine, 12.5-25

mg intramuscular, berguna sebagai sedasi tambahan dan sebagai

antiemetic. Profilaksis untuk aspirasi dengan H2 blocker diindikasikan pada

pasien mual, muntah atau perdarahan saluran cerna. Metoclopramide, 10

mg secara oral atau tetes lambat intra vena juga berguna dalam

mempercepat pengosongan lambung, mencegah mual dan menurunkan

resiko aspirasi. Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi harus

dilanjutkan sampai pada saat pembedahan.

PERTIMBANGAN INTRAOPERATIF

Monitoring

Prosedur pembedahan membutuhkan perhatian pada kondisi medis

secara menyeluruh. Karena bahaya dari adanya oklusi, tekanan darah

sebaiknya tidak diukur dari cuff pada lengan dengan fistula arteriovena.

Page 20: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

Monitoring intraarterial, vena sentral, dan arteri paru diindikasikan,

terutama pada pasien dibawah prosedur dengan pergeseran cairan yang

luas, volume intravaskuler sering sulit disesuaikan hanya dari tanda klinis.

Monitoring tekanan darah intraarteri secara langsung diindikasikan pada

pasien yang hipertensinya tidak terkontrol. Monitoring invasif yang agresif

diindikasikan khususnya pada pasien diabetes dengan penyakit ginjal berat

yang sedang menjalani pembedahan mayor, pasien jenis ini mungkin

memiliki tingkat morbiditas 10 kali lebih banyak pada pasien diabetes

tanpa penyakit ginjal. Yang terakhir ini menunjukkan insiden yang tinggi

pada komplikasi kardiovaskular pada grup pertama.

Induksi

Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan saluran cerna harus

menjalani induksi cepat dengan tekanan krikoid. Dosis dari zat induksi

harus dikurangi untuk pasien yang sangat sakit. Thiopental 2-3 mg/kg atau

propofol 1-2 mg/kg sering digunakan. Etomidate, 0,2-0,4 mg/kg dapat

dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil.

Opioid, beta-bloker (esmolol), atau lidokain bisa digunakan untuk

mengurangi respon hipertensi pada intubasi. Succinylcholine, 1,5 mg/kg,

bisa digunakan untuk intubasi endotrakeal jika kadar kalium darah kurang

dari 5 meq/L. Rocuronium (0,6mg/kg),cisatracurium (0,15 mg/kg),

atracurium (0,4 mg/kg) atau mivacurium (0,15 mg/kg) dapat digunakan

untuk mengintubasi pasien dengan hiperkalemia. Atracurium pada dosis ini

umumnya mengakibatkan pelepasan histamin. Vecuronium, 0,1 mg/kg

tepat digunakan sebagai alternatif, namun pemanjangan efeknya harus

diperhatikan. Penggunaan laringaeal mask airway, jika tersedia, biasanya

menghindarkan respon simpatis (hipertensi) yang berlebihan yang kadang-

kadang berhubungan dengan intubasi dan membutuhkan paralisis otot.

Page 21: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

Pemeliharaan

Tehnik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi

dengan efek minimal pada cardiac output, karena peningkatan cardiac

output merupakan mekanisme kompensasi yang prinsipil pada anemia.

Anestesi volatil, nitrous oxide, fentanyl, sufentanil, alfentanil, remifentanyl,

hydromorphone dan morfin dianggap sebagai agen pemeliharaan yang

memuaskan. Isoflurane dan desflurane merupakan agen volatile yang

pilihan karena mereka memiliki efek yang sedikit pada cardiac output.

Nitrous oxide harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan fungsi

ventrikel yang lemah dan jangan digunakan pada pasien dengan konsentrasi

hemoglobin yang sangat rendah (< 7g/dL) untuk pemberian 100% oksigen.

Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena akumulasi dari

normeperidine. Morfin boleh digunakan, namun efek kelanjutannya perlu

diperhatikan.

Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan

gagal ginjal. Ventilasi spontan yang tidak adekuat dengan hipercarbi

progreif dibawah pengaruh anestesi dapat menyebabkan asidosis

respiratorik yang mungkin mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang

dapat menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan peningkatan

konsentrasi kalium serum yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat

merusak karena mengeser kurva disosiasi hemoglobin ke kiri, dan

mengeksaserbasi hipokalemia yang telah ada, dan menurunkan aliran darah

otak.

Terapi Cairan

Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal

memerlukan penggantian untuk kehilangan cairan insensible dengan 5 %

dekstrosa dalam air. Prosedur yang berhubungan dengan kehilangan cairan

yang banyak atau pergeseran membutuhkan kristalloid isotonik, koloid,

atau keduanya. Ringer laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemia

Page 22: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

yang membutuhkan banyak cairan, karena kandungan kalium (4 meq/L),

normal saline dapat digunakan. Cairan bebas glukosa digunakan karena

intoleransi glukosa yang berhubungan dengan uremia. Kehilangan darah

diganti dengan packed red blood cells. Transfusi darah tidak memiliki efek

atau mungkin bermanfaat bagi pasien gagal ginjal yang merupakan calon

donor ginjal; transfusi menurunkan kemungkinan reaksi penolakan

transplantasi ginjal pada beberapa pasien.

D. ANESTESI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN GINJAL RINGAN

SAMPAI SEDANG

Pertimbangan Preoperatif

Ginjal biasanya menunjukkan fungsi yang besar. GFR,  yang dapat

diketahui dengan kreatinin klirens, dapat menurun dari 120 ke 60 mL/

menit tanpa adanya perubahan klinis pada fungsi ginjal. Walaupun pada

pasien dengan kreatinin klirens 40 -60 mL/menit umumnya asimtomatik.

Pasien ini hanya memiliki gangguan ginjal ringan namun harus

dipertimbangkan sebagai gangguan ginjal. Perhatian dalam perawatan

pasien ini merupakan pemeliharaan terhadap fungsi ginjal yang tersisa,

yaitu dengan mempertahankan keadaan normovolemia.

Ketika kreatinin klirens mencapai 25 – 40 mL/menit, merupakan

gangguan ginjal sedang dan pasien bisa disebut memiliki insufisiensi

ginjal. Azotemia yang signifikan selalu muncul, dan hipertensi maupun

anemia secara bersamaan. Manajemen anestesi yang tepat pada pasien ini

sama pentingnya pada pasien gagal ginjal yang berat. Yang terakhir ini

terutama selama prosedur yang berkaitan dengan insiden yang relatif

tinggi dari gagal ginjal postoperatif,  seperti pembedahan konstruktif dari

jantung dan aorta. Kehilangan volume intravaskular, sepsis, obstruktif

jaundice, kecelakaan, injeksi kontras dan aminoglikosid, angiotensin

converting enzim inhibitor, atau terapi NSAID adalah faktor resiko mayor

Page 23: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

tambahan pada perburukan akut pada fungsi ginjal. Hipovolemia muncul

khususnya sebagai faktor yang penting dalam berkembangnya gagal ginjal

akut postoperatif. Penekanan dalam penanganan pasien ini adalah pada

pencegahan, karena angka kematian dari gagal ginjal post operatif sebesar

50%–60%. Peningkatan resiko perioperatif berhubungan dengan

kombinasi penyakit ginjal lanjut dan diabetes.

Profilaksis untuk gagal ginjal dengan cairan diuresis efektif dan

diindikasikan pada pasien dengan resiko tinggi jantung, rekonstruksi aorta

mayor, dan kemungkinan prosedur pembedahan lainnya. Mannitol (0,5

g/kg) sering digunakan dan diberikan sebagai perioritas pada induksi.

Meskipun controversial, efek menguntungkan dari manitol muncul

berkaitan dengan cairan dieresis daripada efek antioksidannya. Cairan

intravena harus diberikan untuk mencegah kehilangan cairan intra

vaskular. Infus intravena dengan fenoldopam atau dopamin dosis rendah

dapat meningkatkan aliran darah ginjal dan meningkatkan dieresis melalui

aktivasi dari vasodilator reseptor dopamin pada pembuluh darah ginjal.

Loop diuretik juga dibutuhkan untuk membantu dieresis, mempertahankan

output urin yang adekuat dan mencegah kelebihan cairan.

Pertimbangan Intraoperatif

Monitoring

Monitor standard digunakan untuk prosedur termasuk kehilangan

cairan yang minimal. Untuk operasi yang berhubungan dengan kehilangan

cairan atau darah yang signifikan, pemantauan urin output dan volume

intravaskular perjam sangat penting. Walaupun dengan urin output yang

cukup tidak memastikan fungsi ginjal baik, namun selalu diusahakan

pencapaian urin output lebih besar dari 0,5 mL/kgBB/jam. Pemantauan

tekanan intra arterial juga dilakukan jika terjadi perubahan tekanan darah

yang cepat, misalnya pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol atau

Page 24: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

sedang dalam prosedur yang berhubungan dengan perubahan yang

mendadak pada preload maupun afterload jantung.

Induksi

Pemilihan zat induksi tidak sepenting dalam memastikan volume

intravaskular yang cukup untuk induksi. Anestesi induksi pada pasien

dengan insuffisiensi ginjal biasanya menghasilkan hipotensi jika terjadi

hipovolemia. Kecuali jika diberikan vasopressor, hipotensi biasanya

muncul setelah intubasi atau rangsangan pembedahan. Perfusi ginjal, yang

dipengaruhi oleh hipovolemia semakin buruk,  sebagai hasil pertama

adalah hipotensi dan kemudian secara simpatis atau farmakologis

diperantarai oleh vasokonstriksi ginjal. Jika berlanjut, penurunan perfusi

ginjal mengakibatkan kerusakan ginjal postoperatif. Hidrasi preoperatif

biasanya digunakan untuk mencegah hal ini.

Pemeliharaan

Semua zat pemeliharaan dapat diberikan kecuali Sevoflurane yang

diatur dengan aliran gas yang rendah. Walau enflurane bisa digunakan

secara aman pada prosedur singkat, namun lebih baik dihindari pada

pasien dengan insuffisiensi ginjal karena masih ada pilihan obat lain yang

memuaskan. Pemburukan fungsi ginjal selama periode ini dapat dihasilkan

dari efek hemodinamik lebih lanjut dari pembedahan (perdarahan) atau

anestesi (depresi jantung atau hipotensi), efek hormon tidak langsung

(aktifasi simpatoadrenal atau sekresi ADH), atau ventilasi tekanan positif.

Efek ini biasanya reversibel ketika diberikan cairan intravena yang cukup

untuk mempertahankan volume intravaskuler yang normal atau meluas.

Pemberian utama dari vasopresor α – adrenergik (phenyleprine dan

norepineprine) juga dapat mengganggu. Dosis kecil intermitten atau infus

singkat mungkin bisa berguna untuk mempertahankan aliran darah ginjal

sebelum pemberian yang lain (seperti transfusi) dapat mengatasi hipotensi.

Page 25: Anastesi Pd Pasien Dg Peny.ginjal

Jika mean tekanan darah arteri, cardiac output dan cairan intravaskuler

cukup, infus dopamin dosis rendah (2-5 mikrogram/kg/menit) dapat

diberikan pada pasien dengan batasan urin output untuk mempertahankan

aliran darah ginjal dan fungsi ginjal. ”Dosis dopamin untuk ginjal” juga

dapat menunjukkan setidaknya sebagian membalikkan vasokonstriksi

arteri ginjal selama infus dengan vasopresor α–adrenergik

(norepinephrine). Fenoldopam juga mempunyai efek yang sama.

Terapi Cairan

Perhatikan jika ditemukan pemberian cairan yang berlebihan,

namun masalah biasanya jarang dengan pasien yang urin outputnya cukup.

Maka perlu dilakukan pemantauan pada urin outputnya, jika cairan yang

berlebihan diberikan maka akan menyebabkan edema atau kongestif paru

yang lebih mudah ditangani daripada gagal ginjal akut.